PRESENTASI KASUS SEORANG ANAK LAKI-LAKI 3 TAHUN DENGAN MEGACOLON KONGENITAL
Oleh : Agung Ismanuworo
G99122010
Pembimbing : dr. Suwardi, Sp. BA
KEPANITERAAN KEPANITERAAN KLINIK SMF ILMU BEDAH FAKULTAS KEDOKTERAN UNS/RSUD DR MOEWARDI SURAKARTA 2013
STATUS PASIEN
A. ANAMNESA
1. Identitas Pasien Nama
: An. WR
No RM
: 011985557
Umur
: 3 tahun
Jenis Kelamin
: Laki-laki
Agama
: Islam
Alamat
: Gergunung RT/RW 01/02 Klaten
Masuk RS
: 8 Juni 2013
Pemeriksaan
: 11 Juni 2013
2. Keluhan Utama Jarang buang air besar.
3. Riwayat Penyakit Sekarang Kurang lebih sejak kecil pasien mengeluh jarang buang air besar. Pasien buang air besar ± 1-2 minggu sekali. Pasien bisa BAB jika diberi pencahar seperti microlax. Pasien juga mengeluh perutnya semakin lama semakin membesar dan tegang. Pasien tidak mengeluhkan adanya muntah atau demam. Karena keluhan biaya, pasien kemudian berobat ke RSDM.
4. Riwayat Penyakit Dahulu
R. Mondok
: (-)
R. Operasi
: (-)
R. Mekonium keluar : lebih dari 24 jam
5. Riwayat Penyakit keluarga
R. sakit serupa
: (-)
6. Anamnesa Sistemik Pemeriksaan dilakukan tanggal 11 Juni 2013 Keluhan utama
: jarang buang air besar
2
Kepala
: Pusing (-), nggliyer (-), jejas (-)
Mata
: Pandangan kabur (-), mata kuning (-), pandangan dobel (-), berkunang-kunang (-)
Hidung
: Pilek (-), mimisan (-), hidung tersumbat (-)
Telinga
: Pendengaran berkurang (-), keluar cairan (-), berdenging (-)
Mulut
: Mulut terasa kering (-), bibir biru (-), sariawan (-), gusi berdarah (-), gigi berlubang (-), bibir pecah pecah (-)
Tenggorokan
: Sakit telan (-), serak (-), gatal (-)
Respirasi
: Sesak (-), batuk (-), dahak (-), batuk darah
(-),
mengi (-) Cardiovaskuler
: Nyeri dada (-), pingsan (-), kaki bengkak (-), keringat dingin (-), berdebar-debar (-)
Gastrointestinal
: Mual (-), muntah (-), perut terasa panas (-), kembung (-), perut terasa penuh (+), perut membesar (+), muntah darah (-), BAB warna hitam (-), BAB darah lendir (-), BAB sulit (+), ambeien (-)
Genitourinaria
: BAK warna seperti teh (-), BAK batu (-), BAK panas (-), BAK warna merah (-), nyeri saat BAK (-), kencing sedikit (-)
Muskuloskeletal
: nyeri otot (-), nyeri sendi (-), bengkak sendi (-), kesemutan (-)
Extremitas
: atas
:
pucat (-/-), kebiruan (-/-), bengkak (-/-), luka (-/-), terasa dingin (-/-)
bawah :
pucat (-/-), kebiruan (-/-), bengkak (-/-), luka (-/-), terasa dingin (-/-)
Kulit
: kering (-), gatal (-), luka (-), pucat (-), kuning (-), kebiruan (-)
B. PEMERIKSAAN FISIK
Keadaan umum : KU sedang, CM, gizi kesan kurang (BMI : 11/(0,87) 2 =14,53)
3
Tanda vital: a. Nadi
: 80x / menit, ireguler, isi cukup, elastisitas cukup.
b. Respirasi
: 24 x / menit
c. Suhu
: 36,7 0 C (per axiller)
Kulit
: Warna sawo matang, pucat (-), ikterik (-), petechie (-), venectasi (-), spider nevi (-), turgor baik (+)
Kepala
: Bentuk mesocephal, luka (-), rambut warna hitam dan tidak mudah dicabut
Mata
: Cekung (-/-), conjungtiva pucat (-/-), sklera ikterik (-/-), reflek cahaya (+/+), pupil isokor (3mm/3mm), oedem palpebra (-/-)
Telinga
: Sekret (-/-), darah (-/-), nyeri tekan mastoid (-/-)
Hidung
: Napas cuping hidung (-/-), sekret (-/-), epistaksis (-/-)
Mulut
: Bibir kering (-), sianosis (-), stomatitis (-), mukosa pucat (-), gusi berdarah (-),
lidah kotor (-), lidah hiperemis (-), lidah
tremor (-), papil lidah atrofi (-) Tenggorokan : Tonsil hipertrofi (-), faring hiperemis (-) Leher
: Simetris, trachea di tengah , JVP tidak meningkat, KGB servikal membesar (-), tiroid membesar (-), nyeri tekan (-)
Thorax
: Normochest, simetris, retraksi supraternal (-), spider nevi (-), pernapasan tipe thoraco-abdominal
Jantung
Paru
: Inspeksi
: Ictus cordis tidak tampak
Palpasi
: Ictus cordis tidak kuat angkat
Perkusi
: Batas jantung kesan tidak melebar
Auskultasi
: BJ I-II intensitas normal, reguler, bising (-)
: Inspeksi
: Simetris statis dan dinamis
Palpasi
: Fremitus raba kanan = kiri
Perkusi
: Sonor / Sonor
Auskultasi : Suara dasar vesikuler (+/+), ST (-/-), wheezing (-/-) Abdomen
: Inspeksi
: Dinding perut sejajar tinggi dinding dada, distended (+)
Auskultasi : Bising usus (+) normal
4
Extremitas
Perkusi
: Timpani, pekak alih (-)
Palpasi
: Supel, Nyeri Tekan (-), Hepar/Lien tidak teraba.
: Atas
: Pitting edem (-/-), akral dingin (-/-), luka (-/-), clubbing finger (-/-)
Bawah
: Pitting oedem (-/-), akral dingin (-/-),luka (-/-), clubbing finger (-/-)
C. ASSESSMENT I
Susp. Megacolon Congenital
D. PLANNING I
MRS, IFVD NaCl 20 tpm, cek lab, colon in loop, rontgen thorax E. PEMERIKSAAN PENUNJANG 1. Laboratorium
Hemoglobin
: 11,0 g/dL
Hematokrit
: 34,2 %
Jml eritrosit
: 4,73 x 106 /uL
Jml leukosit
:7,9 x 103 /uL
Jml trombosit : 327 x 103/uL GDS
: 96 mg/dl
Natrium
: 138 mmol/L
Kalium
:5,3 mmol/L
Clorida
:108 mmol/L
5
2. Radiologis
Rontgen Thorax PA + Lat
Cor : besar dan bentuk normal Pulmo : tampak patchy infiltrat di paracardial kanan Sinus costophrenicus kanan kiri anterior posterior tajam Retrosternal dan retrocardiac space dalam batas normal Hemidiaphragma kanan kiri normal Trakhea di tengah Sistema tulang baik Kesan: bronkopneumonia
Colon in Loop
Kaliber rectum terlebar lebih kecil dari kaliber colon sigmoid (R/S index < 1), mengarah gambaran megacolon aganglionik.
F. ASSESMENT II
Megacolon Congenital
G. PLANNING II
7
IVFD D¼ NS 10 tpm
Inj. Cefotaxim 200 mg/12 jam
Inj. Metronidazole 100 mg/8 jam
Inj. Metamizole 100 mg/8 jam
Inj. Ranitidin 10 mg/12 jam
Cek DR3, albumin, elektrolit
Puasa
Pro TCS
8
TINJAUAN PUSTAKA MEGACOLON KONGENITAL A. Definisi
Megakolon Kongenital adalah pembesaran abnormal atau dilatasi kolon karena tidak adanya sel-sel ganglion myenterik pada usus besar segmen distal (aganglionosis). Sel-sel ganglion bertanggung jawab atas kontraksi ritmik yang diperlukan untuk mencerna makanan yang masuk. Hilangnya fungsi motorik dari segmen ini menyebabkan dilatasi hypertropik massive kolon proximal yang normal sehingga terjadi kesulitan defekasi dan feses terakumulasi menyebabkan Megakolon. Kondisi ini dapat segera terlihat segera setelah lahir ditandai dengan gagalnya penundaan pasase awal dari mekonium sehingga terjadi distensi abdominal, yang disertai dengan muntah dalam waktu 48 jam sampai 72 jam. Pada banyak kasus, segmen aganglionic terdapat pada rectum dan kolon sigmoid. Ancaman terhadap hidup yang utama pada kelainan ini adalah terjadinya enterocolitis, dengan gangguan cairan dan elektrolit serta perforasi pada kolon yang membesar dan tegang atau pada apendiks dengan peritonitis. 1,6,7
B. Etiologi
Sekitar 10% kasus penyakit Hirschsprung timbul secara herediter melalui mutasi sporadik di dalam gen, angka ini dapat lebih tinggi pada pasien dengan segmen penyakit yang lebih panjang. Sehingga dapat disimpulkan bahwa seseorang dengan riwayat keluarga terpapar penyakit Hirschsprung beresiko lebih tinggi. Penyakit Hirschsprung ditemukan pada kelainan-kelainan Kongenital sebagai berikut: 1. Sindroma Down 2. Sindroma Neurocristopathy 3. Sindroma Waardenburg-Shah 4. Sindroma buta-tuli Yemenite 5. Piebaldism 6. Sindroma Goldberg-Shprintzen 7. Neoplasia endokrin multiple tipe II 8. Sindroma hypoventilasi Kongenital terpusat
9
9. Cartilage-hair hypoplasia 10. Sindroma hypoventilasi entral primer (Ondine’s curse) 11. Penyakit Chagas, pada penyakit ini tripanosoma menginvasi langsung dinding usus dan menghancurkan pleksus. Penyakit Hirschsprung juga bisa timbul karena ibu polyhidramnion saat hamil ; adanya obstruksi usus organik karena neoplasma dan penyempitan usus karena inflammasi; toxic Megakolon komplikasi dari colitis ulceratif atau penyakit Crohn ; dan gangguan psychosomatic fungsional. Kondisi-kondisi ini tidak berhubungan dengan berkurangnya ganglia dinding usus. 1
C. Patofisiologi
Penyakit Hirschsprung timbul karena adanya aganglioner Kongenital pada saluran pencernaan bagian bawah. Aganglioner diawali dari anus, yang merupakan bagian yang selalu terlibat, dan berlanjut ke arah proximal dengan jarak yang bervariasi. Plexus myenterik (Auerbach) dan submucosal (Meissner) yang tidak terbentuk mengakibatkan berkurangnya fungsi dan kemampuan usus untuk melakukan gerakan peristaltik. Hingga saat ini, mekanisme pasti tentang perkembangan penyakit Hirschsprung masih belum diketahui. 7 Embriologi sel-sel ganglion enteric berasal dari neural crest, yang apabila berkembang normal, akan ditemukan neuroblast di usus pada minggu ke 7 kehamilan dan mencapai usus besar pada minggu ke 12 kehamilan. Salah satu etiologi penyakit Hirschsprung ini adalah adanya gangguan migrasi dari neuroblast yang menuju ke distal usus. Adapun etiologi lain mengatakan bahwa migrasi tersebut berjalan normal, namun ada kegagalan dari neuroblast untuk bertahan, berproliferasi atau berdifferensiasi di bagian distal aganglionik segmen. Distribusi abnormal menyebabkan usus dan komponen-komponennya membutuhkan pertumbuhan dan perkembangan secara neuronal, seperti fibronectin, laminin, neural cell adhesion molecule (NCAM), dan faktor-faktor neurotropik.1 Tiga plexus neuronal yang menginervasi usus: plexus submucosal (Meissner), plexus intermuscular (Auerbach) dan plexus mucosal yang lebih kecil. Ketiga plexus ini akhirnya tergabung dan berpengaruh pada segala aspek dari fungsi bowel , termasuk absorpsi, sekresi, motilitas dan aliran darah.
10
Gerakan usus yang normal, secara primer dikendalikan oleh neuron intrinsic. Fungsi bowel tetap adequate, meskipun innervasi ekstrinsik hilang. Ganglia ini mengendalikan kontraksi dan relaksasi otot polos, dengan dominasi relaksasi. Pengendalian ekstrinsik utamanya melalui serat-serat kolinergik dan adrenergik. Serat kolinergik menimbulkan kontraksi, dan serat adrenergik utamanya menimbulkan inhibisi. Pada pasien penyakit Hirschsprung, sel-sel ganglion tidak terbentuk, sehingga terjadi peningkatan innervasi usus ekstrinsik. Kedua innervasi, baik kolinergik maupun adrenergik berjalan 2-3 kali normal. Sistem adrenergik (excitator) diduga lebih mendominasi dari pada sistem kolinergik (inhibitor) sehingga terjadi peningkatan kerja otot polos. Dengan hilangnya nerves inhibitory enteric intrinsic, kerja otot polos yang meningkat tidak tertanggulangi dan menyebabkan ketidakseimbangan kontraktilitas otot polos, peristaltik yang tidak terkoordinasi dan obstruksi fungsional. 6
D. Klasifikasi
Menurut letak segmen aganglionik maka penyakit ini dibagi dalam : 1. Megakolon kongenital segmen pendek Bila segmen aganglionik meliputi rektum sampai sigmoid (70-80%). 2. Megakolon kongenital segmen panjang Bila segmen aganglionik lebih tinggi dari sigmoid (20%). 3. Kolon aganglionik total Bila segmen aganglionik mengenai seluruh kolon (5- %) 4. Kolon aganglionik universal Bila segmen aganglionik meliputi seluruh usus sampai pylorus (5%) 1
E. Manifestasi Klinis
Gambaran klinis penyakit Hirschsprung dapat kita bedakan berdasarkan usia gejala klinis mulai terlihat : Periode Neonatal
Ada trias gejala klinis yang sering dijumpai, yakni pengeluaran mekonium yang terlambat, muntah hijau dan distensi abdomen. Pengeluaran mekonium yang terlambat (lebih dari 24 jam pertama) merupakan tanda klinis yang
11
signifikan. Swenson (1973) mencatat angka 94% dari pengamatan terhadap 501 kasus, sedangkan Kartono mencatat angka 93,5% untuk waktu 24 jam dan 72,4% untuk waktu 48 jam setelah lahir. Muntah hijau dan distensi abdomen biasanya dapat berkurang manakala mekonium dapat dikeluarkan segera. Sedangkan enterokolitis merupakan ancaman komplikasi yang serius bagi penderita penyakit Hirschsprung ini, yang dapat menyerang pada usia kapan saja, namun paling tinggi saat usia 2-4 minggu, meskipun sudah dapat dijumpai pada usia 1 minggu. Gejalanya berupa diarrhea, distensi abdomen, feces berbau busuk dan disertai demam. Swenson mencatat hampir 1/3 kasus Hirschsprung datang dengan manifestasi klinis enterokolitis, bahkan dapat pula terjadi meski telah dilakukan kolostomi. 1,3,5 Anak
Pada anak yang lebih besar, gejala klinis yang menonjol adalah konstipasi kronis dan gizi buruk (failure to thrive). Dapat pula terlihat gerakan peristaltik usus di dinding abdomen. Jika dilakukan pemeriksaan colok dubur, maka feces biasanya keluar menyemprot, konsistensi semi-liquid dan berbau tidak sedap. Penderita biasanya buang air besar tidak teratur, sekali dalam beberapa hari dan biasanya sulit untuk defekasi. Kasus yang lebih ringan mungkin baru akan terdiagnosis di kemudian hari.3
Gambar 2.7 Foto pasien penderita Hirschsprung berusia 3 hari. Terlihat abdomen sangat distensi F. Diagnosis
Diagnosis ditegakkan berdasarkan hasil anamnesis, pemeriksaan fisik dan penunjang. Anamnesis Pada neonatus :
1. mekonium keluar terlambat, > 24 jam 2. tidak dapat buang air besar dalam waktu 24-48 jam setelah lahir 3. perut cembung dan tegang
12
4. muntah 5. feses encer Pada anak :
1. Konstipasi kronis 2. Failure to thrive (gagal tumbuh) 3. Berat badan tidak bertambah 4. Nafsu makan tidak ada (anoreksia) Pemeriksaan Fisik
Pada inspeksi abdomen terlihat perut cembung atau membuncit seluruhnya, didapatkan perut lunak hingga tegang pada palpasi, bising usus melemah atau jarang. Pada pemeriksaan colok dubur terasa ujung jari terjepit lumen rektum yang sempit dan sewaktu jari ditarik keluar maka feses akan menyemprot keluar dalam jumlah yang banyak dan kemudian kembung pada perut menghilang untuk sementara. Pemeriksaan penunjang
1. Pemeriksaan Radiologi Pemeriksaan radiologi merupakan pemeriksaan yang penting pada penyakit Hirschsprung. Pada foto polos abdomen dapat dijumpai gambaran obstruksi usus letak rendah, meski pada bayi sulit untuk membedakan usus halus dan usus besar. Pemeriksaan yang merupakan standard dalam menegakkan diagnosa Hirschsprung adalah barium enema, dimana akan dijumpai 3 tanda khas : a. Tampak daerah penyempitan di bagian rektum ke proksimal yang panjangnya bervariasi; b. Terdapat daerah transisi, terlihat di proksimal daerah penyempitan ke arah daerah dilatasi; c. Terdapat daerah pelebaran lumen di proksimal daerah transisi. 1 Apabila dari foto barium enema tidak terlihat tanda-tanda khas penyakit Hirschsprung, maka dapat dilanjutkan dengan foto retensi barium, yakni foto setelah 24-48 jam barium dibiarkan membaur dengan feces. Gambaran khasnya adalah terlihatnya barium yang membaur dengan feces kearah proksimal kolon. Sedangkan pada penderita yang bukan Hirschsprung
13
namun disertai dengan obstipasi kronis, maka barium terlihat menggumpal di daerah rektum dan sigmoid.
Gambar 2.8. Terlihat gambar barium enema penderita Hirschsprung. Tampak rektum yang mengalami penyempitan,dilatasi sigmoid dan daerah transisi yang melebar.
2. Manometri anus yaitu pengukuran tekanan sfingter anus dengan cara mengembangkan balon di dalam rektum 3. Biopsi rektum menunjukkan tidak adanya ganglion sel-sel saraf.
G. Penatalaksanaan
1.
Tindakan Non Bedah
Pengobatan non bedah dimaksudkan untuk mencegah serta komplikasi-komplikasi yang mungkin terjadi atau untuk memperbaiki keadaan umum penderita sampai pada saat operasi definitif dapat dikerjakan. Pengobatan non bedah diarahkan pada stabilisasi cairan, elektrolit, asam basa dan mencegah terjadinya overdistensi sehingga akan menghindari terjadinya perforasi usus serta mencegah terjadinya sepsis. Tindakan-tindakan nonbedah yang dapat dikerjakan adalah pemasangan pipa nasogastrik, pemasangan pipa rektum, pemberian antibiotik, lavase kolon dengan irigasi cairan, koreksi elektrolit serta pengaturan nutrisi. 1 2.
Tindakan Bedah. a.
Tindakan Bedah Sementara
14
Tindakan bedah sementara dimaksudkan untuk dekompresi abdomen dengan cara membuat kolostomi pada kolon yang mempunyai ganglion normal bagian distal. Tindakan dimaksudkan guna menghilangkan obstruksi usus dan mencegah terjadinya enterokolitis yang diketahui sebagai penyebab utama terjadinya kematian pada penderita penyakit Hirschsprung. Manfaat lain dari kolostomi adalah menurunkan angka kematian pada saat dilakukan tindakan bedah definitif dan mengecilkan kaliber usus pada penderita Hirschsprung yang telah besar sehingga memungkinkan dilakukan anastomose.3,5 b.
Tindakan Bedah Definitif
1.
Prosedur Swenson
Prosedur ini adalah prosedur pertama untuk operasi penyakit Hirschsprung dengan metode “pull-through”. Tehnik ini diperkenalkan pertama kali oleh Swenson dan Bill pada tahun 1948. Segmen yang aganglionik direseksi dan puntung rektum ditinggalkan 2-4 cm dari garis mukokutan kemudian dilakukan anastomosis langsung diluar rongga peritoneal. Pada prosedur ini enterokolitis masih dapat terjadi sebagai akibat spasme puntung rektum yang ditinggalkan. Untuk mengatasi hal ini
Swenson
melakukan
sfingterektomi
parsial
posterior.
Prosedur ini disebut prosedur Swenson I. 1, 9 Pada 1964 Swenson memperkenalkan prosedur Swenson II dimana setelah dilakukan pemotongan segmen kolon yang aganglionik, puntung rektum ditinggalkan 2 cm di bagian anterior dan 0,5 cm di bagian posterior kemudian langsung dilakukan sfingterektomi parsial langsung. Ternyata prosedur ini sama sekali tidak mengurangi spasme sfingter ani dan tidak mengurangi komplikasi enterokolitis pasca bedah dan bahkan pada prosedur Swenson II kebocoran anastomosis lebih tinggi dibanding dengan prosedur Swenson I.
1,9
Prosedur Swenson dimulai dengan approach ke intra abdomen, melakukan biopsi eksisi otot rektum, diseksi rektum
15
ke bawah hingga dasar pelvik dengan cara diseksi serapat mungkin ke dinding rektum, kemudian bagian distal rektum diprolapskan melewati saluran anal ke dunia luar sehingga saluran anal menjadi terbalik, selanjutnya menarik terobos bagian kolon proksimal (yang tentunya telah direseksi bagian kolon yang aganglionik) keluar melalui saluran anal. Dilakukan pemotongan rektum distal pada 2 cm dari anal verge untuk bagian anterior dan 0,5-1 cm pada bagian posterior, selanjunya dilakukan anastomose end to end dengan kolon proksimal yang telah ditarik terobos tadi. Anastomose dilakukan dengan 2 lapis jahitan, mukosa dan sero-muskuler. Setelah anastomose selesai, usus dikembalikan ke kavum pelvik / abdomen. Selanjutnya dilakukan reperitonealisasi, dan kavum abdomen ditutup. 1,5
Gambar 2.9 Prosedur Swenson
2.
Prosedur Duhamel
Prosedur ini diperkenalkan Duhamel tahun 1956 untuk mengatasi kesulitan diseksi pelvik pada prosedur Swenson. Prinsip dasar prosedur ini adalah menarik kolon proksimal yang ganglionik ke arah anal melalui bagian posterior rektum yang aganglionik,
menyatukan
dinding
posterior
rektum
yang
aganglionik dengan dinding anterior kolon proksimal yang
16
ganglionik
sehingga
membentuk
rongga
baru
dengan
anastomose end to side.3 Prosedur Duhamel asli memiliki beberapa kelemahan, diantaranya pembentukan
sering
terjadi
fekaloma
stenosis,
di
dalam
inkontinensia
puntung
rektum
dan yang
ditinggalkan apabila terlalu panjang. Oleh sebab itu dilakukan beberapa modifikasi prosedur Duhamel, diantaranya : a. Modifikasi Grob (1959) : Anastomose dengan pemasangan 2 buah klem melalui sayatan endoanal setinggi 1,5-2,5 cm, untuk mencegah inkontinensia; b. Modifikasi
Talbert
dan
Ravitch :
Modifikasi
berupa
pemakaian stapler untuk melakukan anastomose side to side yang panjang; c. Modifikasi Ikeda: Ikeda membuat klem khusus untuk melakukan
anastomose,
yang
terjadi
setelah
6-8
hari
kemudian; d. Modifikasi Adang: Pada modifikasi ini, kolon yang ditarik transanal
dibiarkan
prolaps
sementara.
Anastomose
dikerjakan secara tidak langsung, yakni pada hari ke-7-14 pasca bedah dengan memotong kolon yang prolaps dan pemasangan 2 buah klem; kedua klem dilepas 5 hari berikutnya. Pemasangan klem disini lebih dititikberatkan pada fungsi hemostasis.1
17
Gambar 2.10 Prosedur Duhamel
3. Prosedur Soave atau Endorectal Pull Through Prosedur ini sebenarnya pertama sekali diperkenalkan Rehbein tahun 1959 untuk tindakan bedah pada malformasi anorektal letak tinggi. Namun oleh Soave tahun 1966 diperkenalkan untuk tindakan bedah definitif Hirschsprung. Tujuan utama dari prosedur Soave ini adalah membuang mukosa rektum yang aganglionik, kemudian menarik terobos kolon proksimal yang ganglionik masuk kedalam lumen rektum yang telah dikupas tersebut. 3
4. Prosedur Rehbein Prosedur ini tidak lain berupa deep anterior resection, dimana
dilakukan
anastomose
end
to
end antara
usus
aganglionik dengan rektum pada level otot levator ani (2-3 cm diatas anal verge), menggunakan jahitan 1 lapis yang dikerjakan intraabdominal ekstraperitoneal. Pasca operasi, sangat penting melakukan businasi secara rutin guna mencegah stenosis. 3
18
DAFTAR PUSTAKA
1. Kartono D. Penyakit Hirschsprung : Perbandingan prosedur Swenson dan Duhamel modifikasi. Disertasi. Pascasarjana FKUI. 1993. 2. Heikkinen M, Rintala R, Luukkonen. Longterm anal spincter performance after surgery for Hirschsprung’s disease. J Pediatr Surg 1997; 32: 1443-6. 3. Fonkalsrud. Hirschsprung’s disease. In:Zinner MJ, Swhartz SI, Ellis H, editors. Maingot’s Abdominal Operation. 10th ed. New
York:
Prentice-Hall
intl.inc.;1997.p.2097-105. 4. Swenson O. Hirschsprung’s disease : A Review. J Pediatr 2002;109:914-918. 5. Swenson O, Raffensperger JG. Hirschsprung’s disease. In: Raffensperger JG,editor. Swenson’s pediatric surgery. 5 th ed. Connecticut:Appleton & Lange; 1990: 555-77. 6. Farid Nur Mantu. Catatan Kuliah Ilmu Bedah Anak . Jakarta: EGC, 1993. 7. Sjamsuhidajat dan Wim de jong. Tindakan Bedah: organ dan sistem organ, usus halus, apendiks, kolon, dan anorektum, Kelainan bawaan , In: Buku Ajar Ilmu Bedah. Jakarta: EGC; 2004: 908-10. 8. Snell, Richard S. Anatomi Klinik untuk Mahasiswa Kedokteran. Jakarta: EGC, 2006. 9. Lee,
Steven
L,
(2005),
Hirschprung
http://emedicine.medscape.com/article/178493-overview
19
disease,