REFERAT
PATOGENESIS NEFROPATI DIABETIK
oleh : Coass Interna
Pembimbing : dr. Supriyanto Kartodarsono, SpPD.
KEPANITERAAN KLINIK SMF ILMU PENYAKIT DALAM FAKULTAS KEDOKTERAN UNS / RSUD DR MOEWARDI SURAKARTA 2011
DAFTAR ISI Halaman KATA PENGANTAR............................................................................................ 3 DAFTAR ISI............................................................................................................4 BAB I. PENDAHULUAN.......................................................................................5 BAB II. MEKANISME TERJADINYA KOMPLIKASI KRONIK DM................8 BAB III. NEFROPATI DIABETIK......................................................................15 A. Definisi...........................................................................................15 B. Epidemiologi..................................................................................15 C. Prevalensi.......................................................................................16 D. Faktor Resiko.................................................................................17 E. Etiologi...........................................................................................19 F. Patogenesis Nefropati Diabetik......................................................20 G. Klasifikasi......................................................................................26 H. Prediktor Nefropati Diabetik..........................................................29 I.
Penatalaksanaan Nefropati Diabetik..............................................32
BAB IV. PENUTUP..............................................................................................34 DAFTAR PUSTAKA............................................................................................35
2
BAB I PENDAHULUAN Di antara penyakit degeneratif atau penyakit tidak menular yang akan meningkat jumlahnya di masa yang akan datang, diabetes adalah salah satu di antaranya. Peningkatan prevalensi diabetes melitus di beberapa negara berkembang adalah kibat dari peningkatan kemakmuran di negara bersangkutan. Peningkatan pendapatan perkapita dan perubahan gaya hidup terutama di kotakota besar, menyebabkan peningkatan prevalensi penyakit degeneratif seperti penyakit jantung koroner (PJK), hipertensi, hiperlipidemia, diabetes, dll. Data epidemiologis negara berkembang masih belum banyak, oleh karena itu angka prevalensi yang dapat ditelusuri terutama berasal dari negara maju (Suyono, 2006). Diabetes melitus (DM) jika tidak ditangani dengan baik akan mengakibatkan timbulnya komplikasi pada berbagai organ tubuh seperi mata, ginjal, jantung, pembuluh darah kaki, syaraf, dll. Nefropati diabetik merupakan komplikasi mikrovaskular diabetes mellitus. Mekanisme patofisiologis nefropati diabetes tidak sepenuhnya dimengerti. Abnormalitas awal yang dapat dibuktikan termasuk hipertensi intrarenal, hiperfiltrasi (laju filtrasi glomerulus meningkat [GFR]), dan mikroalbuminuria. Secara klinis, alat skrining yang paling penting untuk mengidentifikasi nefropati awal adalah deteksi mikroalbuminuria (Evans, 2000). Nefropati
diabetes
yang
lanjut
juga
menjadi
penyebab
utama
glomerulosklerosis dan stadium akhir penyakit ginjal di seluruh dunia. Antara 20% dan 40% dari pasien dengan diabetes pada akhirnya berkembang menjadi nefropati, meskipun alasannya mengapa tidak semua pasien dengan diabetes berkembang menjadi komplikasi tidak diketahui. Riwayat alami nefropati diabetik berbeda sesuai dengan jenis diabetes dan apakah mikroalbuminuria (didefinisikan sebagai > 30 mg tetapi < 300 mg albumin dalam urin per hari) hadir. Jika tidak diobati, 80% orang yang memiliki diabetes tipe 1 dan mikroalbuminuria akan berlanjut menjadi nefropati yang jelas (yakni proteinuria ditandai oleh > 300 mg
3
albuminse diekskresikan per hari), sedangkan hanya 20-40% dari mereka dengan diabetes tipe 2 selama periode 15 tahun akan mengalami perkembangan. Sebagaimana Nielsen et al. memperlihatkan lebih dari satu dekade yang lalu, secara jelas, prediksi awal perkembangan penyakit adalah meningkatnya tekanan darah sistolik, bahkan dalam rentang prehypertensive. Di antara pasien yang memiliki diabetes tipe 1 dengan nefropati dan hipertensi, 50% akan terus berkembang menjadi stadium akhir penyakit ginjal dalam satu dekade (Dronavalli, 2008). Di dalam laporan perhimpunan nefrologi Indonesia (PERNEFRI) tahun 1995, disebutkan bahwa nefropati diabetik menduduki urutan nomer tiga (16,1%) setelah glomerulonefritis kronik (30,1%) dan pielonefrotis kronik (18,51 %) sebagai penyebab paling sering gagal ginjal terminal yang memerlukan cuci darah di Indonesia (Roesli, 2001). Tingginya prevalensi nefropati diabetik sebagai penyebab gagal ginjal terminal juga menjadi masalah di negara lain. Di Amerika dan Eropa, DM telah menjadi penyebab utama terjadinya gagal ginjal terminal, seiring dengan meningkatnya prevalensi diabetes. Sekitar 20-30% dari penderita DM baik tipe I atau tipe II berkembang menjadi nefropati diabetik. Tetapi pada DM tipe II lebih sedikit terjadinya nefropati diabetik (ADA, 2003). Sekitar 35% penderita gagal ginjal terminal yang menjalani cuci darah di Amerika disebabkan oleh nefropati diabetik. Laporan di Eropa menyebutkan prevalensi sebesar 15%, sedangkan prevalensi di Singapura pada tahun 1992 adalah 25%. Perbedaan prevalensi selain disebabkan adanya perbedaan kriteria dignosis, mungkin juga disebabkan oleh perbedaan ras, genetik, geografi, atau faktor-faktor lain yang belum diketahui mengingat mahalnya pengobatan cuci darah dan cangkok ginjal. Berbagai upaya dilakukan untuk dapat menegakkan diagnosis nefropati diabetik sedini mungkin, sehingga progrefitasnya menjadi gagal ginjal terminal dapat dicegah atau sedikitnya diperlambat (Roesli, 2001). Dengan besarnya angka kejadian tersebut, kami ingin membahas lebih lanjut mengenai nefropati diabetik secara khusus patogenesis nefropati diabetik.
4
BAB II MEKANISME TERJADINYA KOMPLIKASI KRONIK DM Jika dibiarkan tidak dikelola dekelola dengan baik, DM akan menyebabkan terjadinya berbagai komplikasi kronik, baik mikroangiopati maupun makroangiopati. Adanya pertumbuhan dan kematian sel yang tidak normal merupakan dasar terjadinya komplikasi kronik pada DM. Perubahan dasar atau disfungsi tersebut terutama terjadi pada endotel pembuluh darah, sel otot polos pembuluh darah maupun pada sel mesangial ginjal. Semuanya menyebabkan perubahan pada pertumbuhan dan kelangsungan hidup sel, yang kemudian pada gilirannya akan menyebabkan komplikasi vaskuler diabetes. Pada nefropati diabetik terjadi peningkatan tekanan glomerular. Semua itu akan menyebabkan berkurangnya area filtrasi dan kemudian terjadi perubahan yang mengarah kepada terjadinya glomerulosklerosis (Sudoyo, 2006). Patogenesis terjadinya kelainan vaskuler pada DM terjadinya kelainan vaskuler pada DM meliputi terjadinya imbalans metabolik maupun hormonal. Pertumbuhan sel otot polos pembuluh darah maupun sel mesangial keduanya distimulasi oleh sitokin. Kedua macam sel tersebut juga berespon terhadap berbagai substansi vasoaktif dalam darah, terutama angiotensin 2. Di pihak lain hiperinsulinemi seperti yang tampak pada DM tipe 2 atau pemberian insulin eksogen ternyata akan memberikan stimulus mitogenik yang akan menambah perubahan yang terjadi akibat pengaruh angiotensin pada sel otot polos pembuluh darah maupun pada sel mesangial. Jelas baik faktor hormonal maupun metabolik berperan dalam patogenesis terjadinya kelainan vaskuler diabetes (Sudoyo, 2006). Jaringan yang rentan terhadap terjadinya komplikasi kronik DM (jaringan saraf, jaringan kardiovaskuler, sel endotel pembuluh darah dan sel retina (lensa mata) mempunyai kemampuan untuk memasukkan glukosa dari lingkungan sekitar ke dalam sel tanpa memerlukan insulin (insulin independent) , agar dengan demikian jaringan yang sangat penting tersebut akan diyakinkan mendapat cukup pasokan glukosa sebelum glukosa tersebut digunakan untuk energi di otot maupun untuk disimpan disimpan sebagai cadangan lemak. Tetapi pada keadaan
5
hiperglkemia kronik, tidak cukup terjadi down regulation dari sistem transportasi glukosa yang insulin independent ini, sehingga sel akan kebanjiran masuknya glukosa; suatu keadaan yang disebut sebagai hiperglisolia (Sudoyo, 2006). Hiperglisolia kronik akan mengubah homeostasis biokimiawi sel tersebut yang kemudian berpotensi untuk terjadinya perubahan dasar terbentuknya komplikasi kronik diabetes, yang meliputi beberapa jalur biokimiawi seperti jalur reduktase aldosa, jalur stres oksidatif sitoplasmik, jalur pleiotropik protein kinase C dan terbentuknya spesies glikosilasi jalur intraseluler (Sudoyo, 2006). Jalur Reduktase (Sudoyo, 2006) Pada jalur reduktase aldosa ini, oleh enzim reduktase aldosa, dengan adanya coenzim NADPH, glukosa akan diubah menjadi sorbitol. Kemudian oleh sorbitol dehidrogenase dengan memanfaatkan nikotiamid adenin dinukleotida teroksidasi (NAD), sorbitol akan dioksidasi menjadi fluktosa. Sarbitol dan fluktosa keduanya tidak terfosforilisasi, tetapi bersifat sangat hidrofilik, sehingga lamban penetrasinya melalui membran lipit bilayer. Akibatnya terjadi akumulasi poliol intraselular, dan sel akan kembang, bengkak akibatnya masuk air ke dalam sel karena proses osmotik. Sebagai akibat lain keadaan tersebut, akan terjadi pula imbalans ionik dan imbalans metabolit yang secara keseluruhan akan mengakibatkan terjadinya kerusakan sel terkait. Altivitas jalur poliol akan menyebabkan meningkatnya trun over NADPH, diikuti dengan menurunnya rasio NADPH sitosol bebas terhadap NADP+. Rasio sitosol NADPH terhadap NADP+ ini sangat penting dan kritikal untuk fungsi pembuluh darah. Menurunya rasio NADPH sitosol terhadap NADP+ ini dikenal sebagai keadaan pseudohipoksia. Hal lain yang penting pula adalah bahwa sitosolik NADPH juga sangat penting dan diperlukan untuk proses defens antioksidans. Glutation reduktase juga memerlukan sirosolik NADPH untuk menetrallisasikan sebagai oksidans interaselular. Menurunnya rasio NADPH dengtan demikian menyebabkan terjadinya stres oksidarif yang lebih besar. Terjadinya hipergliksolia melalui jalur sorbitol ini juga memberikan pengaruh pada beberapa jalur metabolik lain seperti terjadinya glikasi nonenzimatik intraselular dan aktivasi protein kinase C.
6
Jalur Pembentukan Produk Akhir Glikasi Lanjut (Sudoyo, 2006) Proses glikasi protein non-enzimatik terjadi baik intra maupun ektraselular. Proses glikasi ini dipercepat oleh adanya stres oksidatif yang meningkat akibat berbagai keadaan dan juga oleh peningkatan aldosa. Modifikasi protein oleh karena proses glikasi ini akan menyebabkan terjadinya perubahan pada jaringan dan perubahan pada sifat sel melalui terjadinya cross linking protein yang terglikosilasi tersebut. Perubahan ini akan menyebabkan perubahan fungsi sel secara langsung , dapat juga secara tidak langsung melalui perubahan pengenalan oleh reseptornya atau perubahan pada tempat pengenalannya sendiri. Pengenalan produk glikasi lanjut yang berubah oleh reseptor AGE (RAGE = Receptor for Advence Glycation End Product ) mungkin merupakan hal penting untuk kemudian terjadinya komplikasi kronik diabetes. Segera setelah perikatan antara RAGE dan ligandnya, akan terjadi aktivasi mitogen acrivated protein kinase (MAPK) dan tranformasi inti dari faktor transkipsi gen target terkait dengan mekanisme proinflamatori dan molekul perusak jaringan. Jalur Protein Kinase (Sudoyo, 2006) Hiperglikemia
intraselular
(hiperglisolia)
akan
menyebabkan
meningkatnya diasilgliserol (DAG) intraselular, dan kemudian selanjutnya peningkatan protein Kinase C, terutama PKC Beta. Perubahan tersebut kemudian akan berpengaruh pada sel endotel, menyebabkan terjadinya perubahan vasoreaktivasi melalui keadaan meningkatnya endotelin 1 dan menurunnya eNOS. Peningkatan PKC akan menyebabkan proliferasi sel otot polos dan juga menyebabkan terbentuknya sitolin serta berbagai faktor pertumbuhan seperti TGF Beta dan VEGF. Protein kinase C juga akan berpengaruh menurunkan aktivasi fibronolis. Semua keadaan tersebut akan menyebabkan perubahan- perubahan yang selanjutnya akan mengarah kepada proses angiopati diabetik. Jalur Stres Oksidatif (Sudoyo, 2006) Stress oksidatif terjadi apabila ada peningkatan pembentukan radikal bebas dan menurunnya sistem pentralan dan pembuangan radikal bebas tersebut. Adanya
peningkatan
stress
oksidatif
pada
penyandang
diabetes
akan
menyebabkab terjadinya proses autooksidasi gkukosa dan berbagai substrat lain
7
seperti asam amino dan lipid. Peningkatan stress oksidatif juga akan menyebabkan terjadinya peningkatan proses glikasi protein yang kemudian berlanjut dengan meningkatnya produk glikasi lanjut. Peningkatan stres oksidatif pada gilirannya akan menyebabkan pengaruh langsung maupun tidak langsung terhadap sel endotel pembuluh darah yaitu dengan terjadinya perokdidasi membran lipid, akrifasi faktor transkripsi (NF-κB), peningkatan oksidasi LDL dan kemudian juga pembentukan produk glikasi lanjut. Memang didapatkan saling pengaruh antara produk glikasi lanjut dan spesies oksigen reaktif (reactive oxygen spesies = ROS). Produk glikasi lanjut akan memfasilitasi pembentukan spesies oksigen reaktif akan memfasilitasi pembentukan produk glikasi lanjut. Spesies oksigen reaktif akan merusak lipid dan protein melalui proses oksidasi, cross linking dan fragmentasi yang kemudian memfasilitasi pembentukan ROS, melalui perubahan stuktural dan perubahan fungsi protein (pembuluh darah, membrab sel dsb). Seperti telah dikemukakan, proses selanjutnya setelah berbagai jalur biokimiawi yang mungkin berperan pada pembentukan komplikasi kronik DM melibatkan berbagai proses patobiologik terjadinya komplikasi kronik DM. Inflamasi (Sudoyo, 2006) Dari pembicaraan diatas tampak bahwa berbagai mekanisme dasar mungkin berperan dalam terbentuknya komplikasi kronik DM yaitu antara lain aktivasi jalur reduktase aldosa, stes oksidatif, terbentuknya jalur akhir glikasi lanjut atau prekursornya serta aktifasi PKC, yang semua itu akan menyebabkan terjadinya disfungsi endotel, mengganggu dan merubah sifat berbagai protein penting dan kemudian akan memacu terbentuknya sitokin proinflamasi serta faktor pertumbuhan seperti TGF-B dan VEGF. Berbagai macam sitokin seperti molekul adhesi (ICAM,VICAM, E-selectin, P-selectin dsb.) dengan jelas sudah terbukti meningkat jumlahnya pada penyandang DM. Prototipe petanda adanya proses inflamasi yaitu CPR dan NF-κB pada penyandang DM juga jelas meningkat seiring dengan meningkatnya kadar A1c. Jelas bahwa proses inflamasi penting pada terjadinya komplikasi kronik DM.
8
Peptida Vasoktif (Sudoyo, 2006) Berbagai peptida berpengaruh pada pengaturan pembuluh darah, dan disangka mungkin berperan pada terjadinya komplikasi kronik DM. Insulin merupakan peptida pengatur yang terutama mengatur kadar glukosa darah. Insulin juga mempunyai peran pengatur mitogenik. Pada kadar yang biasa didapatkan pada penyandang DM dan hipertensi, insulin dapat memfasilitasi terjadinya proliferasi sel seperti sel otot polos pembuluh darah. Insulin juga mempunyai pengaruh lain yaitu sebagai hormon vasoaktif. Insulin secara fisiologis melalui NO dari endotel mempunnyai pengaruh terhadap terjadinya vasodilatasi pembuluh darah. Pengaruh ini bergantung pada banyaknya insulin dalam darah (dose dependent). Pada keadaan resistensi insulin dengan adanya hiperinsulinemia pengaruh insulin untuk terjadinya vasodilatasi akan menurun. Peptida vasoaktif yang lain adalah angiotensin II, yang dikenal berperan pada patogenesis terjadinya pertumbuhan abnormal pada jaringan kardiovaskular dan jaringan ginjal. Pengaruh angiotensin II dapat terjadi melalui 2 macam reseptor yaitu reseptor AT1 dan reseptor 2. Sebagian besar respons fisiologis terhadap angiotensin berjalan melalui reseptor AT1. Penghambatan terhadap kerja angiotensin II memakai Aceinhibitor terbukti dapat mengurangi kemungkinan terjadinya penyakit kardiovaskular. Prokoagulan (Sudoyo, 2006) Segera setelah terjadi aktivasi PKC akan terjasi penurunan fungsi fibrinolisis
dan
kemudian
akan
menyebabkan
meningkatnya
keadaan
prokoagukasi yang kemudian pada gilirannya akan menyebabkan kemungkinan penyumbatan
pembukuh
darah.
Pada
penyandang
DM
denga
adanya
hiperglikemia melalui berbagai mekanisme akan menyebabkan terjadinya gangguan terhadap pengaturan berbagai macam fungsi trombosit, yang kemudian juga akan menambah kemungkinan terjadinya keadaan prokoagulasi pada penyandang DM. Dengan demikian jelas adanya peran faktor prokoagulasi pada kemungkinan terjadinya komplikasi kronik DM.
9
PPAR (Sudoyo, 2006) Ekspresi PPAR didapatkan pada berbagi jaringan vaskular dan berbagai kelainan vascular, terutama pada sel otot polos, endotel dan monosit. Ligand terhadap PPAR alpha terbukti mempunyai efek inflamasi. Pada tikus percobaan yang tidak mempunyai PPAR alpha didapatkan respons inflamasi yang memanjang jika tikus tersebut distimulasikan dengan berbagai stimulus. Pada sel otot polos pembuluh darah, asam fibrat, (suatu ligand PPAR) terbukti dapat menghambat signal proinflamotori akibat rangsangan sitolin dari NF-kB dan AP1. Dari beberapa kenyataan tersebut, dapat disimpulkan bahwa PPAR terkait juga sebab terjadinya komplikasi kronik DM. Setelah melihat berbagai kemungkinan jalur mekanisme terjadinya kompikasi kronik DM serta kelanjutan keterlibatan berbagai proses patobiologik lain, tampak bahwa yang terpenting pada pembentukan dan kemudian lebih lanjut progresi komplikasi vascular diabetes adalah hiperglikemia, resistensi insulin, sitokin dan substrat vasoaktif. Tampak pula bahwa apapun jalur mekanisme yang terjadi dan proses lain yang terlihat yang terpenting adalah adanya hiperglikemia klonik dan selanjutnya peningkatan glukosa sitosolik (hiperglisolia). Apakah dengan menurunkan dan memperbaiki keadaan hiperglikemia ini kemudian dapat terbukti akan menurunkan komplikasi kronik DM. Beberapa penelitian epidemiologis dalam skala besar dan jangka lama seperti UKPDS telah dapat membuktikan dengan sangat baik bahwa dengan memperbaiki hiperlikemia melalui berbagai cara dapat secara bermakna menurunkan komplikasi kronik DM, terutama komplikasi mikrovaskular, yang merupakan komplikasi kronik khas DM akibat hiperglikemia. Sedangkan untuk komplikasi makrovaskular walaupun jelas didapatkan penurunan tetapi penurunan tersebut tidak bermakna. Kemungkinan besar karena untuk terjadinya komplikasi makrovakular banyak sekali faktor lain selain hiperglikemia yang juga berpengaruh, seperti faktor tekanan darah dan juga faktor lipid. Pada UKPDS jelas didapatkan bahwa menurunnya tekanan darah tinggi dapat memberikan pengaruh yang nyata bermakna teryhadap penurunan komplikasi makrovaskular DM. Berbagai faktor lain terkait komplikasi kronik DM , termasuk merokok tentu
10
saja harus diperhatikan dalam usaha menurunkan tingkat kejadian berbagai komplikasi kronik DM. Pada pembicaraan berikut akan dikemukakan hal-hal yang perlu dikerjakan untuk berbagai faktor terkait komplikasi DM tersebut, yaitu untuk diagnosis dini dan strategi pengelolaannya.
11
BAB III NEFROPATI DIABETIK A. Definisi Nefropati diabetik merupakan kelainan degeneratif vaskuler ginjal, mempunyai hubungan dengan gangguan metabolisme karbohidrat atau intoleransi glukosa (diabetes melitus). Pada umumnya, nefropati diabetik didefinisikan sebagai sindrom klinis pada pasien diabetes melitus yang ditandai dengan albuminuria menetap (> 300 mg/24 jam atau > 200 µ g/menit) pada minimal 2 kali pemeriksaan dalam kurun waktu 3 sampai 6 bulan, penurunan
kecepatan filtrasi glomerulus yang tidak fleksibel dan
peningkatan tekanan darah arterial tetapi tanpa penyakit ginjal lainnya atau penyakit kardiovaskuler (Batuma, 2011). B. Epidemiologi Diabetes mellitus mengambil peran sebesar 30-40% sebagai penyebab utama stadium akhir penyakit ginjal kronis di Amerika Serikat, Jepang, dan Eropa yang diawali dengan nefropati diabetik (Ayodele, 2004). Progresivitas nefropati diabetik mengarah stadium akhir penyakit ginjal dipercepat dengan adanya hipertensi (Kronenberg, 2008). Angka kejadian nefropati diabetik pada diabetes mellitus tipe 1 dan 2 sebanding, tetapi insiden pada tipe 2 sering lebih besar daripada tipe 1 karena jumlah pasien diabetes mellitus tipe 2 lebih banyak daripada tipe 1. Pasien diabetes mellitus tipe 2 dengan end-stage renal failure (ESRF) jumlahnya saat ini meningkat karena meningkatnya pula prevalensi diabetes mellitus tipe 2 dan secara progresif akan menurunkan angka kematian yang disebabkan oleh penyakit jantung dan pembuluh darah (Kronenberg, 2008). Insidensi nefropati diabetik terutama banyak terjadi pada ras kulit hitam dengan frekuensi 3-6 kali lipat lebih tinggi dibanding dengan ras kulit putih. Sementara itu, tidak ada perbedaan yang begitu signifikan kejadian nefropati diabetik antara pria dan wanita (Batuma, 2011). Di Amerika, nefropati diabetik merupakan salah satu penyebab kematian tertinggi di antara semua komplikasi diabetes mellitus, dan penyebab
12
kematian tersering adalah karena komplikasi kardiovaskular. Prognosis yang buruk akan muncul apabila terjadi progresi nefropati diabetik dan memburuknya fungsi ginjal yang cepat sehingga menyebabkan mortalitas 70 – 100 kali lebih tinggi dari pada populasi normal. Bahkan dengan upaya dialisa, kelangsungan hidupnya pun masih rendah yaitu sepertiga pasien meninggal dalam satu tahun setelah dimulai dialisa. Pasien nefropati diabetik yang menjalani terapi penggantian ginjal, morbiditasnya 2-3 kali lebih tinggi dibanding pasien nondiabetik dengan penyakit ginjal stadium akhir (Eppens, 2006). C. Prevalensi Penelitian di luar negeri pada penderita diabetes mellitus tipe 1 menyatakan bahwa 30-40% dari penderita ini akan berlanjut menjadi nefropati diabetik dini dalam waktu 5-15 tahun setelah diketahui menderita diabetes. Apabila telah berlanjut menjadi nefropati diabetik, maka perjalanan penyakit tidak dapat dihambat lagi. Dengan demikian setelah 20-30 tahun menderita diabetes maka sekitar 40-50% akan mengalami gagal ginjal yang membutuhkan cuci darah dan transplantasi ginjal (Molitch, 2004). Pada penderita diabetes melitus tipe 2 diperkirakan sekitar 5-10% dari penderita akan menjadi gagal ginjal terminal. Secara persentasi tidak terlalu besar, tetapi mengingat jumlah penderita diabetes melitus tipe 2 lebih banyak maka secara keseluruhan jumlah penderita penderita gagal ginjal terminal pada penderita diabetes melitus tipe 2 akan lebih banyak (Evans, 2000). Prevalensi nefropati diabetik di negara barat sekitar 16%. Penelitian di Inggris membuktikan bahwa pada orang Asia jumlah penderita nefropati diabetik lebih tinggi dibandingkan dengan orang barat. Hal ini disebabkan karena penderita diabetes melitus tipe 2 di Asia terjadi pada umur yang relatif lebih muda sehingga berkesempatan mengalami nefropati diabetik lebih besar. Di Thailand nefropati diabetik dilaporkan sebesar 29,4%, di Philipphine sebesar 20,8%, sedang di Hongkong 13,1%. Di Indonesia terdapat angka yang bervariasi dari 2,0% sampai 39,3% (Santoso, 2010).
13
Tabel Prevalensi Nefropati Diabetik Menurut Beberapa Peneliti Di Indonesia (Santoso, 2010)
D. Faktor Resiko Faktor-faktor risiko terjadinya nefropati diabetik antara lain hipertensi, glikosilasi hemoglobin, kolesterol total, peningkatan usia, resistensi insulin, jenis kelamin, ras (kulit hitam), dan diet tinggi protein (Arsono, 2005). Hipertensi atau tekanan darah yang tinggi merupakan komplikasi dari penyakit diabetes mellitus dipercaya paling banyak menyebabkan secara langsung terjadinya nefropati diabetik. Hipertensi yang tak terkontrol dapat meningkatkan progresivitas untuk mencapai fase nefropati diabetik yang lebih tinggi (Fase V nefropati diabetik) (Santoso, 2010). Tidak semua pasien diabetes mellitus tipe I dan II berakhir dengan nefropati diabetik. Dari studi perjalanan penyakit alamiah ditemukan beberapa faktor risiko antara lain: 1. Hipertensi Hipertensi dapat menjadi penjadi penyebab dan akibat dari nefropati diabetik. Dalam glomerulus, efek awal dari hipertensi sistemik adalah dilatasi arteriola afferentia, yang berkontribusi kepada hipertensi intraglomerular, hiperfiltrasi, dan kerusakan hemodinamik. Respon ginjal terhadap system renin-angiotensin menjadi abnormal pada ginjal diabetes. Untuk alasan ini, agen yang dapat mengkoreksi kelainan tekanan
14
intraglomerular dipilih dalam terapi diabetes (Santoso, 2010). ACE inhibitors secara spesifik menurunkan tekanan arteriola efferentia, karena dengan menurunkan tekanan intraglomerular dapat membantu melindungi glomerulus dari kerusakan lebih lanjut, yang terlihat dari efeknya pada mikroalbuminuria (Velasquez, 1998). Terutama setelah mikroalbuminuria muncul, kontrol metabolik hanya salah satu faktor dalam mencegah progresi penyakit ginjal. Hipertensi pada stadium ini diperkirakan menjadi penyabab penurunan cepat kerusakan ginjal (Santoso, 2010). 2. Predisposisi genetika berupa riwayat keluarga mengalami nefropati diabetik dan hipertensi (Santoso, 2010). 3. Kepekaan (susceptibility) nefropati diabetik a. Antigen HLA (Human Leukosit Antigen) Beberapa penelitian menemukan hubungan faktor genetika tipe antigen HLA dengan kejadian nefropati diabetik. Kelompok penderita diabetes dengan nefropati lebih sering mempunyai Ag tipe HLA-B9 (Santoso, 2010) b. Glukose transporter (GLUT) Setiap penderita diabetes mellitus yang mempunyai GLUT 1-5 mempunyai potensi untuk mendapat nefropati diabetik (Santoso, 2010). 4. Hiperglikemia Kontrol metabolik yang buruk dapat menjadi memicu terjadinya nefropati diabetik. Nefropati diabetik jarang terjadi pada orang dengan HbA1c < 7.58.0% (Di Landro, 1998). Pada akhirnya, glukosa memiliki arti dan pertanda klinis untuk kelainan metabolik yang memicu nefropati diabetik (The DCCT Research Group, 1993). 5. Kelainan metabolik lain yang berhubungan dengan keadaan hiperglikemi juga berperan dalam perkembangan nefropati diabetik termasuk AGEs dan polyols. AGEs ialah hasil pengikatan nonenzimatik, yang tidak hanya mengubah struktur tersier protein, tapi juga menghasilkan intra dan intermolekular silang. Berbagai macam protein dipengaruhi oleh proses
15
ini. Kadar AGEs di sirkulasi dan jaringan diketahui berhubungan dengan mikroalbuminuria pada pasien diabetes. Kadar AGEs pada dinding kolagen arteri lebih besar 4 kali lipat pada orang dengan diabetes (Makita, 1991). Pasien diabetes dengan ESRD memiliki AGEs di jaringan dua kali lipat lebih banyak daripada pasien diabetes tanpa gangguan ginjal. 6. Merokok Merokok meningkatkan progresi nefropati diabetik (Marcantoni, 1998). Analisis
mengenai
faktor
risiko
menunjukkan
bahwa
merokok
meningkatkan kejadian nefropati diabetik sebesar 1,6 kali lipat lebih besar (Mehler, 1998). E. Etiologi Faktor-faktor etiologis timbulnya penyakit ginjal diabetik adalah (Hendromartono, 2006) : 1.
Kurang terkendalinya kadar gula darah (gula darah puasa
> 140-160 mg/dl (7,7-8,8 mmol/l); A1C > 7-8%. 2.
Faktor-faktor genetis. 3.
Kelainan hemodinamik (peningkatan aliran darah ginjal
dan laju filtrasi glomerulus, peningkatan tekanan intraglomerulus). 4.
Hipertensi sistemik.
5.
Sindroma resistensi insulin (sindroma metabolik).
6.
Keradangan.
7.
Perubahan permeabilitas pembuluh darah.
8.
Asupan protein berlebih.
9.
Gangguan metabolik.
10.
Pelepasan growth factor.
11.
Kelainan metabolisme karbohidrat/lemak/protein.
12.
Kelainan struktural (hipertrofi glomerulus, ekspansi
mesangium, penebalan membran basalis glomerulus). 13.
Gangguan pompa ion.
14.
Hiperlipidemia
(hiperkolesterolemia
hipertrigliseridemia).
16
dan
15.
Aktivasi protein kinase
F. Patogenesis Nefropati Diabetik Teori patogenesis nefropati diabetik menurut Viberti (Permanasari, 2010): 1. Hiperglikemia Diabetes Control and Complication Trial (DCCT) dalam penelitiannya mengatakan bahwa penurunan kadar glukosa darah dan kadar HbA1c pada penderita DM tipe 1 dapat menurunkan resiko perkembangan nefropati diabetik. Perbaikan kontrol glukosa pada penderita DM tipe 2 dapat mencegah kejadian mikroalbuminuria. Keadaan mikroalbuminuria akan memperberat kejadian nefropati diabetik. Dengan bukti-bukti ini menunjukkan bahwa hubungan antara hiperglikemia dengan nefropati tidak ada yang meragukan, ini tampak pada kenyataan bahwa nefropati dan komplikasi mikroangiopati dapat kembali normal bila kadar glukosa darah terkontrol. 2. Glikosilasi Non Enzimatik Hiperglikemia kronik dapat menyebabkan terjadinya glikasi non enzimatik asam amino dan protein. Terjadi reaksi antara glukosa dengan protein yang akan menghasilkan produk AGEs (Advanced Glycosylation Products). Penimbunan AGEs dalam glomerulus maupun tubulus ginjal dalam jangka panjang akan merusak membrane basalis dan mesangium yang akhirnya akan merusak seluruh glomerulus. 3. Polyolpathway Dalam polyolpathway, glukosa akan diubah menjadi sorbitol oleh enzim aldose reduktase. Di dalam ginjal enzim aldose reduktase merupakan peran utama dalam merubah glukosa menjadi sorbitol. Bila kadar glukosa darah meningkat maka sorbitol akan meningkat dalam sel ginjal dan akan mengakibatkan berkurangnya kadar mioinositol, yang akan mengganggu osmoregulasi sel sehingga hingga sel itu rusak. 4. Glukotoksisitas
17
Konsistensi dengan penemuan klinik bahwa hiperglikemia berperan dalam perkembangan nefropati diabetik, studi tentang sel ginjal dan glomerulus yang diisolasi menunjukkan bahwa konsentrasi glukosa yang tinggi akan menambah penimbunan matriks ekstraseluler. Menurut Lorensi, glukosa mempunyai efek toksis terhadap sel, begitu pula terhadap sel ginjal, sehingga dapat terjadi nefropati diabetik. 5. Hipertensi Hipertensi mempunyai peranan penting dalam patogenesis nefropati diabetik disamping hiperglikemi. Penelitian menunjukkan bahwa penderita diabetes dengan hipertensi lebih banyak mengalami nefropati dibandingkan penderita diabetes tanpa hipertensi. Hemodinamik dan hipertrofi mendukung adanya hipertensi sebagai penyebab terjadinya hipertensi glomeruler dan hiperfiltrasi. Hiperfiltrasi dari neuron yang sehat lambat laun akan menyebabkan sklerosis dari nefron tersebut. Jika dilakukan penurunan tekanan darah, maka penyakit ini akan reversibel. 6. Proteinuria Proteinuria merupakan prediktor independent dan kuat dari penurunan fungsi ginjal baik pada nefropati diabetik maupun glomerulopati progresif lainnya. Adanya hipertensi renal dan hiperfiltrasi akan menyebabkan terjadinya filtrasi protein, dimana pada keadaan normal tidak terjadi. Proteinuria yang berlangsung lama dan berlebihan
akan menyebabkan
kerusakan tubulo-interstisiel dan progresifitas penyakit. Bila reabsorbsi tubuler terhadap protein meningkat
maka akan terjadi akumulasi protein
dalam sel epitel tubuler dan menyebabkan pelepasan sitokin inflamasi seperti endotelin I, osteoponin, dan monocyte chemotractant protein-I (MCP-1). Faktor-faktor ini akan merubah ekspresi dari pro-inflamatory dan fibritic cytokines dan infiltrasi sel mononuclear, menyebabkan kerusakan dari tubulointerstisiel dan akhirnya terjadi renal scarring dan insufisiensi. Patogenesis terjadinya kelainan ginjal pada diabetes tidak dapat diterangkan dengan pasti. Pengaruh genetik, lingkungan, faktor metabolik, dan
18
hemodinamik berpengaruh terhadap terjadinya proteinuria. Gangguan awal pada jaringan ginjal sebagai dasar terjadinya nefropati adalah terjadinya proses hiperfiltrasi-hiperperfusi membran basal glomeruli. Gambaran histologi jaringan pada nefropati diabetik memperlihatkan adanya penebalan membran basal glomerulus, ekspansi mesangial glomerulus yang akhirnya menyebabkan glomerulosklerosis, hyalinosis arteri eferen dan eferen serta fibrosis tubulo interstitial. Berbagai faktor berperan dalam terjadinya kelainan tersebut. Peningkatan glukosa yang menahun (glukotoksisitas) pada penderita yang mempunyai predisposisi genetik merupakan faktor-faktor utama ditambah faktor lainnya dapat menimbulkan nefropati. Glukotoksisitas terhadap basal membran dapat melalui 2 jalur (Bethesda, 2010). :
Gambar 1. Patogenesis Nefropati Diabetik 1. Alur metabolik (metabolik pathway)
19
Faktor metabolik diawali dengan hiperglikemia, glukosa dapat bereaksi secara proses non enzimatik dengan asam amino bebas menghasilkan AGE’s (advance glycosilation end-products). Peningkatan AGE’s akan menimbulkan kerusakan pada glomerulus ginjal. Terjadi juga akselerasi jalur poliol, dan aktivasi protein kinase C. Pada alur poliol (polyol pathway) terjadi peningkatan sorbitol dalam jaringan akibat meningkatnya reduksi glukosa oleh aktivitas enzim aldose reduktase. Peningkatan sorbitol
akan
mengakibatkan
berkurangnya
kadar
inositol
yang
menyebabkan gangguan osmolaritas membran basal.
Gambar 2. Mekanisme Polyol Pathway Penjelasan : Aldose reduktase adalah enzim utama pada jalur polyol, yang merupakan sitosolik monomerik oxidoreduktase yang mengkatalisa NADPH-dependent reduction dari senyawa karbon, termasuk glukosa. Aldose reduktase mereduksi aldehid yang dihasilkan oleh ROS (Reactive Oxygen Species) menjadi inaktif alkohol serta mengubah glukosa menjadi sorbitol dengan menggunakan NADPH sebagai kofaktor. Pada sel, aktivitas aldose reduktase cukup untuk mengurangi glutathione (GSH)
20
yang merupakan tambahan stress oksidatif. Sorbitol dehydrogenase berfungsi untuk mengoksidasi sorbitol menjadi fruktosa menggunakan NAD – sebagai kofaktor. 2. Alur Hemodinamik Gangguan hemodinamik sistemik dan renal pada penderita DM terjadi akibat glukotoksisitas yang menimbulkan kelainan pada sel endotel pembuluh darah. Faktor hemodinamik diawali degan peningkatan hormon vasoaktif seperti angiotensin II. angiotensin II juga berperan dalam perjalanan nefropati diabetik. Angiotensin II berperan baik secara hemodinamik maupun non-hemodinamik. Peranan tersebut antara lain merangsang vasokontriksi sistemik, meningkatkan tahanan kapiler arteriol glomerulus, pengurangan luas permukaan filtrasi, stimulasi protein matriks ekstra selular, serta stimulasi chemokines yang bersifat fibrogenik. Hipotesis ini didukung dengan meningkatnya kadar prorenin, aktivitas faktor von Willebrand dan trombomodulin sebagai penanda terjadinya gangguan endotel kapiler. Hal ini juga yang dapat menjelaskan mengapa pada penderita dengan mikroalbuminuria persisten, terutama pada DM tipe 2, lebih banyak terjadi kematian akibat kardiovaskular dari pada akibat GGT. Peran hipertensi dalam patogenesis diabetik kidney disease masih kontroversial, terutama pada penderita DM tipe 2 dimana pada penderita ini hipertensi dapat dijumpai pada awal malahan sebelum diagnosis diabetes ditegakkan. Hipotesis mengatakan bahwa hipertensi tidak berhubungan langsung dengan terjadinya nefropati tetapi mempercepat progesivitas ke arah GGT pada penderita yang sudah mengalami diabetik kidney disease.
21
Gambar 3. Mekanisme AGE – Pathway Penjelasan : mekanisme melalui produksi intracelular prekursor AGE (Advanced Glycation End-Product) menyebabkan kerusakan pembuluh darah. Perubahan ikatan kovalen protein intraseluler oleh prekursor dicarbonyl AGE akan menyebabkan perubahan pada fungsi selular. Sedangkan adanya perubahan pada matriks protein ekstraseluler mengakibatkan interaksi abnormal dengan matriks protein yang lain dan dengan integrin. Perubahan plasma protein oleh prekursor AGE membentuk rantai yang akan berikatan dengan reseptor AGE, kemudian menginduksi perubahan pada ekspresi gen pada sel endotel, sel mesangial, dan makrofag. Dari kedua faktor diatas maka akan terjadi peningkatan TGF beta yang akan menyebabkan proteinuria melalui peningkatan permeabilitas vaskuler. TGF beta juga akan meningkatkan akumulasi ektraceluler matrik yang berperan dalam terjadinya nefropati diabetik (Bethesda, 2010).
22
G. Klasifikasi Tahap Nefropati Diabetik Tahapan Nefropati Diabetik (Mongensen), terbagi menjadi 5 tahapan (Hendromartono, 2006) : Tahap Kondisi Ginjal 1 Hipertrofi
AER N
LFG ↑
TD N
Prognosis Reversibel
N
↑
↑/ N
Mungkin
Hiperfungsi 2
Kelainan struktur
reversibel 3
Mikroalbuminuria persisten
4
Makroalbuminuria Proteinuria
20-200
↑/ N
↑
mg/menit >200
Mungkin reversibel
Rendah
Hipertensi
mg/menit
Mungkin bisa stabilisasi
5
Uremia
Tinggi
<10
/Rendah
ml/menit
Hipertensi
Kesintasan 2 tahun + 50 %
Keterangan : AER = Albumin Excretion Rate LFG = Laju Filtration Glomerulus (GFR) N = Normal TD = Tekanan Darah Diagnosis nefropati diabetik dimulai dari dikenalinya albuminuria pada penderita DM baik tipe I maupun tipe II. Bila jumlah protein atau albumin di dalam urin masih sangat rendah, sehingga sulit untuk dideteksi dengan metode pemeriksaan urin yang biasa, akan tetapi sudah > 30 mg/24 jam ataupun > 20mg/menit disebut juga sebagai mikroalbuminuria. Hal ini sudah dianggap sebagai nefropati insipien. Derajat albuminuria atau proteinuria ini dapat juga ditentukan dengan rationya terhadap kreatinin dalam urin yang diambil sewaktu, disebut sebagai albumin atau kreatinin ratio
23
(ACR). Tingginya ekskresi albumin atau protein dalam urine selanjutnya akan menjadi petunjuk tingkatan kerusakan ginjal seperti terlihat dalam tabel di bawah ini (Hendromartono, 2006) : Kategori
Kumpulan Urine
Kumpulan Urine
Urine Sewaktu
24 jam (mg/24
Sewaktu
(µg/mg
jam) (µg/menit) creatinin) Normal < 30 < 20 < 30 Mikroalbuminuria 30 – 299 20 - 199 30 - 299 Albuminuria Klinis ≥ 300 ≥ 200 ≥ 300 Tahap I : Pada tahap ini LFG meningkat sampai dengan 40% di atas normal yang disertai dengan hiperfiltrasi dan hipertrofi ginjal. Albuminuria belum nyata dan tekanan darah biasanya normal. Tahap ini masih reversible dan berlangsung 0 – 5 tahun sejak awal diagnosis DM tipe I ditegakkan. Dengan pengendalian glukosa darah yang ketat, biasanya kelainan fungsi maupun struktur ginjal akan normal kembali. Tahap II : Terjadi setelah 5 -10 tahun diagnosis DM tegak, saat perubahan morfologik ginjal dan faal ginjal berlanjut, dengan LFG masih tetap meningkat. Albuminuria hanya akan meningkat setelah latihan jasmani, keadaan stress atau kendali metabolik yang memburuk. Keadaan ini dapat berlangsung lama. Hanya sedikit yang akan berlanjut ke tahap berikutnya. Progresivitas biasanya terkait dengan memburuknya kendali metabolik. Tahap ini selalu disebut sebagai tahap sepi (silent stage) atau disebut juga tahap asimptomatik. Tahap III :
Disebut juga tahap insipien yaitu tahap awal nefropati (insipient diabetik nephropathy), saat mikroalbuminuria telah nyata. Tahap ini biasanya terjadi 10-15 tahun diagnosis DM tegak. Secara histopatologis, juga telah jelas penebalan membran basalis glomerulus. LFG masih tetap tinggi dan tekanan darah masih tetap ada dan mulai meningkat. Keadaan ini dapat
24
bertahan bertahun-tahun dan progresivitas masih mungkin dicegah dengan kendali glukosa dan tekanan darah yang kuat. Tahap IV : Ini merupakan tahapan di mana nefropati diabetik bermanifestasi secara klinis
dengan proteinuria yang persisten dengan
pemeriksaan laboratorium sederhana, tekanan darah sering meningkat, LFG menurun di bawah normal. Ini terjadi setelah 15 – 20 tahun DM tegak. Penyulit diabetes lainnya sudah pula dapat dijumpai seperti retinopati, neuropati, gangguan profil lemak dan gangguan vascular umum. Progresivitas ke arah gagal ginjal hanya dapat diperlambat dengan pengendalian glukosa darah, lemak darah dan tekanan darah. Tahap V : Ini adalah tahap gagal ginjal atau End Stage Renal Failure, saat LFG sudah sedemikian rendah sehingga penderita menunjukkan tanda-tanda sindrom uremik, dan memerlukan tindakan khusus yaitu terapi pengganti, dialisis maupun cangkok ginjal.
Gambar 4. Progresi Kerusakan Ginjal Kronik Pada DM tipe II, pada saat diagnosis ditegakkan, sudah banyak penderita yang mengalami mikro dan makroalbuminuria, karena sebenarnya DM telah berlangsung bertahun-tahun sebelumnya. Lagipula keberadaan albuminuria kurang spesifik untuk adanya nefropati diabetik. Tanpa
25
penanganan khusus 20-40 % dari tahap ini akan berlanjut kepada nefropati nyata. Setelah terjadinya penurunan LFG maka laju penurunan akan bervariasi secara individual, akan tetapi 20 tahun setelah keadaan ini, hanya sekitar 20 % pada mereka yang berlanjut menjadi penyakit ginjal tahap akhir (PGTA). Pada tahap ini tidak ada lagi perbedaan antara DM tipe I dan tipe II. Begitupun karena usia penderita dengan DM tipe II lebih tua, maka banyak pula penderita yang diiringi penyakit jantung koroner, yang sering membuat penderita tak sampai mencapai PGTA. Akan tetapi karena penanggulangan PJK dewasa ini telah lebih baik, maka banyak pula penderita DM yang hidupnya cukup lama yaitu sampai mengalami gagal ginjal (Michael, 2005). H. Prediktor Nefropati Diabetik Selama dekade ini banyak usaha dilakukan untuk melakukan identifikasi kelompok pasien yang dikemudian hari akan mengalami nefropati diabetik dan akan mendapat manfaat bila dilakukan terapi dini. Prediktor yang sampai saat ini telah diteliti adalah : Mikroalbuminuria, hiperfiltrasi, hipertensi dan kontrol glukosa darah yang buruk. Prediktor ini masih belum baku dan masih memerlukan banyak penelitian lanjutan. Penelitian yang dilakukan terhadap prediktor ini sebagian besar dilakukan pada diabetes tipe I, dan sedikit sekali pada diabetes tipe II. Kombinasi dari beberapa faktor prediksi terjadinya nefropati akan lebih prediktif daripada satu faktor prediksi tunggal (Tjokroprawiro, 1999). 1. Mikroalbuminuria Mikroalbuminuria adalah prediktor yang paling banyak diteliti dan merupakan kelainan klinis yang terjadi paling dini (kecepatan eskresi albumin antara 30 – 300 mg / 24 jam atau 20 – 200 mikrogram / menit) Pada DM tipe 1, mikroalbuminuria merupakan prediktor yang sangat penting bagi progresifitas nefropati diabetik. Terdapat beberapa bukti bahwa mikroalbuminuria memprediksi proteinuria klinis dan peningkatan angka kematian pada DM tipe 2, walaupun korelasi belum terbukti benar sehingga masih diperlukan penelitian lebih lanjut untuk memantapkan
26
reabilitas mikroalbuminuria sebagai petanda tunggal untuk nefropati diabetik klinis bagi DM tipe 2. Mikroalbuminuria telah dilaporkan sebagai prediktor terjadinya proteinuria klinis pada 22% pasien DM tipe 2, dibandingkan dengan 87,5% pada DM tipe 1. Pada DM tipe 2, proteinuria walaupun pada stadium mikroalbuminuria pun sudah merupakan prediktor mortalitas yang kuat. “Survival rate” 10 tahun untuk pasien dengan mikroalbuminuria pada saat penelitian dilaksanakan adalah 22,4%, sedangkan 57,3% dari pasien yang tidak terdapat mikroalbuminuria masih hidup pada saat itu. Sebagian besar kematian disebabkan oleh kelainan kardiovaskuler
dan
hanya
5%
yang
meninggal
karena
uremia.
Mikroalbuminuria pada DM tipe 2 sudah dapat ditemukan pada saat diagnosis ditegakkan, sedangkan pada DM tipe 1 baru sesudah 10 – 15 tahun kemudian. Mogensen, memakai kombinasi mikroalbuminuria dengan peningkatan GFR (lebih dari 150 ml / menit) dan hipertensi (tekanan diastolik lebih dari 90 mmHg) sebagai indeks prediktif bagi pasien DM tipe 2. 2. Hiperfiltrasi Hiperfiltrasi biasanya banyak didapat pada waktu diagnosis ditegakkan dan mempunyai pengaruh yang penting pada patogenesis nefropati diabetik. Tetapi, tidak semua pasien dengan hiperfiltrasi berkembang menjadi nefropati diabetik sehingga prediktor ini jangan digunakan sendiri. Selby, menyatakan bahwa nilai prediktif pada pasien DM tipe 2 tidak meyakinkan karena terutama pada orang tua dengan DM tipe 2 ekskresi albumin abnormal melalui urin dapat terjadi tanpa diabetes sehingga skrining pada pasien seperti ini tidak dianjurkan. 3. Hipertensi Pada DM tipe 2 tekanan darah sering sudah meningkat pada waktu diagnosis ditegakkan. Hipertensi yang sudah terjadi pada saat ini tidak merupakan suatu prediktor untuk terjadinya nefropati seperti yang didapat pada penelitian cohort pada DM tipe 2 di Rochester, tetapi sebaliknya penelitian pada suku Indian Pima hipertensi dilaporkan, dapat merupakan
27
faktor prediksi terjadinya nefropati. Setelah terjadi mikro-albuminuria tingginya tekanan darah dan kecepatan ekskresi albumin untuk DM tipe 1 dan DM tipe 2 hampir sama. Tingginya tekanan darah merupakan prediktor progresivitas terjadinya nefropati klinis pada pasien DM tipe 1 dengan menurunkan tekanan darah mikroalbuminuria juga akan mengalami penurunan secara nyata. Pada seseorang dengan diabetes yang sebelumnya normotensif dan kemudian menderita hipertensi, dapat merupakan tanda permulaan kelainan ginjal padanya. Penurunan tekanan darah sesudah keadaan ini merupakan usaha yang terpenting untuk mencegah terjadinya kemunduran fungsi ginjal. Pada pasien dengan tekanan diastolik 90 mmHg didapat proteinuria yang persisten 2,5 kali lebih sering daripada mereka dengan tekanan diastolik 70 mmHg. 4.
Hiperglikemi Hipergilkemia juga merupakan faktor risiko terjadinya nefropati diabetik pada DM tipe 1 yang terbukti dengan penelitian-penelitian, sedang pad DM tipe 2 bukti-bukti penelitian sangat sedikit. Dalam penelitian epidemiologi secara longitudinal kontrol kadar glukosa darah yang buruk merupakan prediktor terjadinya nefropati diabetik secara klinis baik pada DM tipe 2 maupun DM tipe 1. Bila sudah terjadi nefropati diabetik secara klinis kontrol glukosa darah tidak akan efektif memperbaiki albuminuria atau mencegah penurunan GFR menjadi gagal ginjal terminal. Pada Diabetes Control and Complications Trial (DCCT) yang dilakukan di Amerika utara selama 10 tahun sejak 1982 pada 1441 pasien DM tipe 1, berumur antara 13 dan 39 tahun, dengan lama penelitian antara 3-9 tahun, baru selesai dilaporkan pada bulan Juni 1993, telah dibuktikan bahwa kontrol glukosa darah yang baik akan mencegah dan mengurangi komplikasi diabetes, termasuk nefropati (35 – 50%). Penelitian ini dilakukan khusus pada pasien dengan DM tipe 1 sehingga perlu penyesuaian khusus untuk pasien DM tipe 2 karena rasio benefit-risiko tidak sebaik bila dibandingkan DM tipe 1.
28
I. Penatalaksanaan Nefropati Diabetik Tujuan pengelolaan nefropati diabetik adalah mencegah atau menunda progresifitas penyakit ginjal dan memperbaiki kualitas hidup pasien sebelum menjadi gagal ginjal terminal. 1. Evaluasi Penurunan fungsi ginjal harus sudah diperiksa pada awal ditegakkannya diagnosis diabetes melitus dan pada saat pengobatan rutin. Pemantauan dilakukan dengan melakukan pemeriksaan terhadap adanya mikroalbuminuria serta penentuan kreatinin serum dan klirens kreatinin. Pemantauan Fungsi Ginjal pada Pasien Diabetes Tes Penentuan
Evaluasi awal Follow Up Sesudah pengendalian Diabetes tipe 1 : tiap tahun
mikroalbuminurin
gula darah awal (dalam 3 setelah 5 tahun.
Klierens Kreatinin
bulan
diagnosis Diabetes tipe 2 : tiap tahun
ditegakkan) Saat awal
setelah diagnosis ditegakkan. diagnosis Tiap 1-2 tahun sampai laju
ditegakkan
filtrasi
glomerulus
ml/menit/1,73m2, Kreatinin serum
Saat
awal
ditegakkan
<100
kemudian
tiap tahun atau lebih sering. diagnosis Tiap tahun atau lebih sering tergantung
dari
laju
penurunan fungsi ginjal. 2. Terapi Prinsip tatalaksana nefropati diabetik adalah melalui : a. Pengendalian gula darah (olahraga, diet, OAD) b. Pengendalian tekanan darah (diet rendah garam, obat antihipertensi), target TD pada nefropati diabetik <130/80 mmHg. c. Perbaikan fungsi ginjal (diet rendah protein, pemberian ACE-I dan ARB)
29
d. Pengendalian faktor ko-morbiditas lain (pengendalian kadar lemak, mengurangi obesitas, dll). Non farmakologis : menerapkan gaya hidup sehat yaitu olah raga rutin (berjalan 3-5 km/hari dengan kecepatan sekitar 10-12 menit/km, 4-5 kali seminggu), diet (pembatasan asupan garam 4-5 /hari serta asupan protein 0,8 g/kg bb ideal/hari), menghentikan merokok, membatasi alkohol. Farmakologis : OAH yang dianjurkan adalah ACE-I atau ARB. 3. Rujukan Pasien dengan LFG < 60 ml/menit/1,73m2 atau jika ada kesulitan dalam mengatasi hipertensi atau hiperkalemia perlu dirujuk ke dokter yang ahli dalam perawatan nefropati diabetik. Jika LFG < 30 ml/menit/1,73 m 2 atau jika pasien beresiko mengalami penurunan fungsi ginjal yang cepat atau diagnosis dan prognosis pasien diragukan.
30
BAB IV PENUTUP Diabetes Melitus (DM) merupakan penyakit metabolik yang berlangsung kronik dimana penderita diabetes tidak bisa memproduksi insulin dalam jumlah yang cukup atau tubuh tidak mampu menggunakan insulin secara efektif sehingga terjadilah kelebihan gula di dalam darah dan baru dirasakan setelah terjadi komplikasi lanjut pada organ tubuh. Nefropati diabetik merupakan komplikasi mikrovaskular diabetes mellitus. Pada sebagian penderita komplikasi ini berlanjut menjadi gagal ginjal terminal yang memerlukan pengobatan cuci darah atau transplantasi ginjal. Nefropati diabetik merupakan kelainan degeneratif vaskuler ginjal yang ditandai dengan albuminuria menetap (> 300 mg/24 jam atau > 200 µ g/menit) pada minimal 2 kali pemeriksaan dalam kurun waktu 3 sampai 6 bulan. Apabila tanda-tanda tersebut dapat diketahui secara dini, penderita bisa mendapat bantuan untuk mengubah atau menyesuaikan gaya hidup agar bisa lebih memperlambat kegagalan tersebut, atau bahkan menghentikan kegagalan ginjal tersebut, tergantung dari penyebabnya. Tujuan pengelolaan nefropati diabetik adalah mencegah atau menunda progresifitas penyakit ginjal dan memperbaiki kualitas hidup pasien sebelum menjadi gagal ginjal terminal.
31
DAFTAR PUSTAKA American Diabetes Association (ADA). 2003. Diabetik www.diabetes.diabetesjournals.com/cgi/content
Nephropathy.
Arsono, Soni. 2005. Diabetes Melitus Sebagai Faktor Risiko Kejadian Gagal Ginjal Terminal (Studi Kasus Pada Pasien RSUD Prof.Dr. Margono Soekarjo Purwokerto). Jurnal Epidemiologi Ayodele, O.E., Alebiosu, C.O., Salako, B.L. 2004. Diabetik nephropathy—a review of the natural history, burden, risk factors and treatment. Dalam: Journal National Medical Association: 1445–54. Batuma, Vehici. 2011. Diabetik Nephropaty. eMedicine Medscape Di Landro, D., Catalano, C., Lambertini, D., Bordin, V., Fabbian, F., Naso, A., dan Romagnoli, G. 1998. The effect of metabolik control on development and progression of diabetik nephropathy. Dalam : Nephrology Dial Transplant, 13(Suppl 8),35-43 Dronavalli, S., Duka I., Bakris G.L. 2008. The pathogenesis of diabetik nephropathy. Nature clinical practice endocrinology and metabolism. August 2008 VOL 4 NO 8 Eppens, M. C., Craig, M. E., Cusumano, J., Hing, S., Chan., A. K. F., Howard, N. J., Silink, M., dan Donaghue, K. C. 2006. Prevalence of Diabetes Complications in Adolescents With Type 2 Compared With Type 1 Diabetes. Diabetes Care, 29, 1300-6 Evans, T.C., Capell P. 2000. Diabetik Nephropathy. Clinical Diabetes. VOL. 18 NO.1 Winter 2000 Foster, D.W. 1994. Diabetes Mellitus in Harrison Prinsip-Prinsip Ilmu Penyakit Dalam. Edisi 13, EGC. Jakarta. Hal 2212-2213. Gustaviani, R. 2006. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Ed. IV : Diagnosis dan Klasifikasi Diabetes Melitus. Jakarta: Balai Penerbit FKUI Hendromartono. 2006. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam, Edisi IV : Nefropati Diabetik. Jakarta, Balai Penerbit FKUI.
32
Kronenberg, H. M., Sholmo Melmed, Kenneth S, Polonsky P, Reed Larsen. 2008. Williams Textbook of Endocrinology, 11th ed. Philadelphia, Saunders Elsevier's Health Sciences Ligaray, K. 2007. Diabetes Mellitus, Type 2. www.emedicine.com/med Makita, Z., Radoff, S., Rayfield, E., Yang, Z., Skolnik, E., Delaney, V., Friedman, E., Cerami, A., dan Vlassara, H. 1991. Advanced glycosylation end products in patients with diabetik nephropathy. Dalam : New England Journal Medicine, 325, 836-42 Marcantoni, C., Ortalda, V., Lupo, A., dan Maschio, G. 1998. Progression of renal failure in diabetik nephropathy. Dalam : Nephrology Dial Transplant, 13(Suppl 8), 16-19. Mehler, P., Jeffers, B., Biggerstaff, S., dan Schrier, R. (1998). Smoking as a risk factor for nephropathy in non-insulin-dependent diabetiks. Dalam : Journal Gen Internal Medicine, 13, 842-45 Molitch, M. E., DeFronzo, R. A., Franz, M. J., Keane, W. F., Mogensen, C. E., Parving, H-H., Steffes, M. W. 2004. Nephropathy in Diabetes. Dalam : Diabetes Care January, 27 (Supplemen I), 79-83 Permanasari, A., Dwiana A., Saleh A., Dharma M. 2010. Nefropati Diabetes. http://www.scribd.com/doc/47089834/Nefropati-Diabetikum Rani, A. Soegaondo, S. Nasir, A. 2005. Standar Pelayanan Medik PAPDI. Jakarta: Balai Penerbit FKUI Roesli, R. Susalit, E. Djafaar, J. 2001. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Ed. III : Nefropati Diabetik. Jakarta: Balai Penerbit FKUI Santoso, A.H. 2010. Patofisiologi Nefropati Diabetik. http://www.scribd.com/doc/35946583/Nefropati-Diabetik-PatofisiologiArief-H-Santoso Soegondo, S. 2006. Konsensus Pengelolaan dan Pencegahan Diabetes Melitus Tipe 2 di Indonesia 2006. Jakarta, PB. Perkeni.
33
Soman, S.S. 2009. Diabetik Nephropathy. eMedicine Specialties Sudoyo, Aru W., Bambang Setiyohadi, Idrus Alwi, Marcelinus Simadibrata K, Siti Setiati. 2006. Komplikasi Kronik Diabetes : Mekanisme Terjadinya, Diagnosis, dan Strategi Pengelolaan dalam Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. FK UI : Pusat Penerbitan Ilmu Penyakit Dalam hal 1184-88 Suyono, S. 2006. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam, Edisi IV: Diabetes Melitus Di Indonesia. Jakarta, Balai Penerbit FKUI. p: 1875 The DCCT Research Group. 1993. The effect of intensive treatment of diabetes on the development and progression of long-term complications in insulindependent diabetes mellitus. Dalam : New England Journal Medicine, 329, 977-86 Tjokroprawiro, A. 1999. Diabetes Update – 1999. Presented at: Surabaya Diabetes Update – VI. Surabaya, 13-14. November 1999. Velasquez, M., Bhathena, S., Striffler, J., Thibault, N., dan Scalbert, E. 1998. Role of angiotensin-converting enzyme inhibition in glucose metabolism and renal injury in diabetes. Dalam : Metabolism, 47 (12 Suppl 1), 7-11 Waspadji, S. 1996. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Ed. III : Gambaran Klinis Diabetes Melitus. Jakarta: Balai Penerbit FKUI .
34