PRESENTASI KASUS BRONKOPNEUMONIA DAN P I E R R E R OB OB I N SY N D R OME
Disusun oleh: Ashiela Nahda Kemala 1102014043
Pembimbing: dr. Endang Poerwati, Sp.A(K)
KEPANITERAAN KLINIK ILMU KESEHATAN ANAK PERIODE 02 JULI 2018 – 08 SEPTEMBER 2018 FAKULTAS KEDOKTERAN YARSI – RSUD RSUD PASAR REBO JAKARTA
STATUS PASIEN A. Identitas Pasien: 1. Nama
: An. G
2. Umur
: 4 bulan
3. Tanggal lahir
: 26 Maret 2018
4. Jenis Kelamin
: Perempuan
5. Agama
: Kristen
6. Alamat
: Jl Swadaya RT03/09 Kel. Pasar Minggu
7. Tanggal masuk rumah sakit
: 11 Juli 2018
8. Tanggal pemeriksaan
: 11 Juli 2018
9. Ruang rawat
: Bangsal Mawar
10. Nomor 10. Nomor rekam medis
: 2018-793439
B. Identitas Orang tua: Ayah Ibu Tn. R Ny N 35 tahun 24 tahun Kristen Kristen Karyawan Ibu rumah tangga Jl Swadaya RT03/09 Kel. Pasar Minggu
Nama Usia Agama Pekerjaan Alamat Hubungan dengan anak
Anak kandung
C. Anamnesa: Anamnesa dilakukan secara Alloanamnesis dengan ibu pasien pada tanggal 11 Juli 2018. 1. Keluhan Utama: Demam tinggi sejak 1 hari SMRS.
2. Riwayat Penyakit Sekarang:
2
Pasien datang dibawa ibunya ke IGD RSUD Pasar Rebo pada tanggal ⁰
11 Juli 2018 karena demam tinggi (38,5 C) sejak 1 hari SMRS. Ibunya mengaku demam muncul setelah pasien dirujuk ke RS Harapan Kita untuk diambil darah. Keluhan lainnya yaitu batuk kering sejak 2 minggu SMRS Pasar Rebo. Batuk sering menyebabkan muntah susu yang diminumnya. Tidak ada sesak, mual, muntah, maupun kejang. BAB normal, BAK normal kuning jernih. Pasien memiliki kelainan pada lidahnya, yakni lidah yang pendek, sehingga menyebabkan ia sering tersedak.
3. Riwayat Penyakit Dahulu: 1. Asfiksia berat saat baru lahir 2. Hiperbilirubinemia 3. Ventricular Septal Defect (diagnosis pasti saat bayi berusia 1 bulan) 4. Sempat di rawat inap di NICU pada tgl 3 April 2018 sampai 25 April 2018 menggunakan ventilasi mekanik dengan diagnosis multiple congenital disease, hiperbilirubinemia, anemia, dan ventricular septal defect .
4. Riwayat penyakit keluarga: 1. Tidak ada riwayat kelainan jantung (-) 2. Tidak ada anggota keluarga besar yang mempunyai cacat/ kelainan sejak lahir, seperti down syndrome. syndrome.
3
5. Silsilah Keluarga (Genogram)
Tn.
Ny.
R
N
An. G
Keterangan: : Laki-laki
: Pasien
: Perempuan
6. Riwayat Tumbuh Kembang: Usia
Motorik kasar
Motorik halus
Bicara
Sosial
3 bulan
Angkat kepala dan miringmiring, tengkurap
Menahan jari tangan pemeriksa, namun belum dapat menahan barang yang ada di tangannya
Belum bisa mengoceh spontan
Belum bereaksi dengan bunyi Merespon cahaya, namum belum merespon terhadap objek yang ada didepannya
4
7. Riwayat Pribadi: Kehamilan
Kelahiran
Pasca lahir
Masalah kehamilan
Tidak ada
ANC
12 kali
Tempat persalinan
RSIA Restu Kasih
Penolong persalinan
Dokter
Cara persalinan
SC a/i lilitan tali pusat
Usia gestasi
37 minggu
Keadaan bayi
Berat lahir :2750 gr Panjang badan: 47 cm Lingkar kepala: 37 cm APGAR Score: 6/9 Kelainan bawaan: PJB
8. Riwayat Imunisasi: Hep B
: 1 bulan (1 kali)
BCG
: 0 bulan, 1 bulan (2 kali)
DPT
: 2 bulan (1 kali)
Hib
: 2 bulan (1 kali)
Polio
: 2 bulan (1 kali)
5
Imunisasi
Usia Bulan Lahir
1
2
3
4
1√
2
3
4
1√
2
3
4
DTP
1
√2 3
4
Hib
1
2√
PCV
1
2
3
Rotavirus
1
2
3
Hep B Polio
0
5
6
Tahun 9
12
15
18
24
3
5
1 kali√
BCG
3
5
4 4
Influenza
1
Campak
1
MMR
1
Tifoid
2 1
Hep A Varisela
1 kali
HPV Japanese
1
2
Encephalitis Dengue
9. Riwayat Makanan: ASI
: Sejak lahir sampai saat ini
Susu Formula
: Sejak lahir sampai saat ini
MPASI
:-
6
10. Riwayat Sosial Ekonomi dan Lingkungan: Pasien merupakan anak tunggal yang tinggal bersama kedua orang tua kandungnya dan kedua kakek dan neneknya dirumah yang berukuran sekitar 10 x 15 m dengan ventilasi yang yang cukup. tetapi rumah sangat berdekatan antar tetangga. Tetangga pasien tidak ada yang sedang batuk. Ayah pasien bekerja sebagai karyawan dan saat ini ayah pasien merupakan perokok sejak usia 20 tahun. tahun . 1 hari menghabiskan 3 batang rokok. Ibu pasien merupakan ibu rumah tangga yang sehari-hari hanya mengurus anak dan keperluan dirumah.
11. Riwayat Kebiasaan: Pasien merupakan anak tunggal, pasien tinggal bersama kedua orangtua kandungnya, kakeknya dan neneknya. Pasien diasuh oleh ibu kandungnya setiap hari. Pasien minum ASI kira-kira 2 jam sekali. Pasien bergerak aktif. Pasien sudah bisa mengangkat kepalanya. Jika sedang tidak minum ASI pasien biasanya tidur atau menggerakkan tangannya, dan tengkurap sambil mengangkat kepalanya.
D. Status Generalis Di Bangsal Mawar 11/07/2018 jam 13:00 WIB
Keadaan umum
: Sedang
Kesadaran umum
: Composmentis
Nadi
: 75 kali/menit reguler, teraba, isi cukup
Suhu
: 36,8 oC
Pernafasan
: 24 kali/menit, terdapat stridor
1. Keadaan Umum
: Baik
7
2. Kesadaran
: Composmentis
3. Status Gizi
:
a. Berat badan
: 4,7 kg
b. Panjang badan
: 54 cm
c. Lingkar Kepala
: 37 cm
d. BB/U
: -2 SD s/d +2 SD (berat badan normal)
e. TB/U
: -2 SD s/d +2 SD (tinggi badan normal)
f.
: -2 SD s/d +2 SD (gizi baik)
BB/TB
8
9
E. Pemeriksaan Fisik 1. Kepala
1. Bentuk
: normochepal
2. Posisi
: simetris
3. Wajah
: mikrognathia
1.
Warna
: Kuning pucat
2.
Jaringan Parut: Tidak ada
3.
Pigmentasi
: dalam batas normal
4.
Turgor
: Baik
5.
Ikterus
: Tidak ada
6.
Sianosis
: Tidak ada
7.
Pucat
: Seluruh tubuh
8.
Rambut
: Hitam, tumbuh teratur, tidak mudah dicabut
9.
Efloresensi
: Tidak ada
2. Kulit
3. Mata
1. Exophthalmus
: Tidak ada
2. Enopthalmus
: Tidak ada
3. Edema kelopak
: Tidak ada
4. Konjungtiva anemis
: -/-
5. Sklera ikterik
: -/-
6. Pupil
: isokor
7. Refleks cahaya
: langsung (+/+) tidak langsung (+/+)
4. Hidung
1. Bentuk
: Normotia
2. Napas cuping hidung : Tidak ditemukan 3. Septum deviasi
: Tidak ditemukan
4. Sekret
: Tidak ditemukan
10
5. Telinga
1.
Bentuk
: dextra dan sinistra Normotia
2.
Pendengaran
: tidak bisa dilakukan tes
3.
Darah & sekret
: Tidak ditemukan
6. Mulut
1. Trismus
: Tidak ada
2. Faring
: normal
3. Lidah
: glossoptosis
4. Uvula
: normal
5. Tonsil
: normal
6. Palatum
: terdapat cleft palate
1. Trakea
: Tidak deviasi
2. Kelenjar tiroid
: Tidak ada pembesaran
3. Kelenjar limfe
: Tidak ada pembesaran
7. Leher
8. Paru-paru
1. Inspeksi
: Pergerakan dinding dada simetris simetris dalam keadaan statis statis dan
dinamis kanan kiri. Retraksi (-) 2. Palpasi
: Tidak teraba kelainan dan masa pada seluruh lapang paru.
3. Perkusi
: Terdengar sonor pada seluruh lapang paru.
4. Auskultasi : Suara dasar napas vesicular +/+, rhonki +/+, wheezing +/+ 9. Jantung
1. Inspeksi
: Iktus cordis tidak terlihat
2. Palpasi
: Iktus cordis teraba
3. Perkusi
: Batas jantung sulit dinilai
4. Auskultasi : Bunyi jantung I-II normal regular, gallop (-) murmur tidak jelas terdengar
11
10. Abdomen
1. Inspeksi
: buncit simetris
2. Auskultasi : Bising usus (+) normal 3. Perkusi
: Timpani di seluruh kuadaran,
4. Palpasi
: Supel, nyeri tekan ulu hati (-), hepar tidak teraba membesar,
lien tidak teraba membesar, nyeri tekan (-), nyeri lepas (-), undulasi (-)
11. Genitalia
Tidak terdapat kelainan
12. Ekstremitas
1. Akral tidak dingin pada ekstremitas atas dan bawah kanan-kiri 2. Edema (-) pada ekstremitas bawah kanan-kiri 3. Capilarry refill time < 2 detik Status Neurologis
GCS
: E4M6V5(15)
Brudzinski II
:-/-
Kaku kuduk
:-
Refleks patologis
Laseque
: >70o / >70o
Babinski : -/-
Gorda
: -/-
Brudzinski I
:-/-
Chaddock : -/-
Gordon
: -/-
Kernig
: >135o / >135o
Oppenheim: -/-
Schaeffer : -/-
12
F. Pemeriksaan Penunjang Penunjang Pemeriksaan laboratorium darah tgl 12 Juli 2018 Jenis Pemeriksaan
Hasil
Hematologi
Hemoglobin
12,8 g/dL
Hematokrit
36 %
Eritrosit
4,7 juta/uL
Leukosit
14,1 103 /uL
Trombosit
380.000 /uL
G. Resume Pasien datang dibawa ibunya ke IGD RSUD Pasar Rebo pada tanggal 11 Juli 2018 karena demam tinggi sejak 1 hari SMRS. Ibunya mengaku demam muncul setelah pasien dirujuk ke RS Harapan Kita untuk diambil darah. Keluhan lainnya yaitu batuk kering sejak 2 minggu SMRS Pasar Rebo. Batuk sering menyebabkan muntah susu yang diminumnya. Tidak ada pilek, sesak, maupun kejang. Pasien memiliki kelainan pada lidahnya, yakni lidah yang pendek, sehingga menyebabkan ia sering tersedak. Pada pemeriksaan laboratorium didapatkan Hb 12,8 g/dL, Ht 36 %, Eritrosit 4,7 juta, Leukosit 14.100, dan trombosit 380.000.
H. Diagnosis
Bronkhopneumonia DD Bronkiolitis
Pierre Robin Syndrome DD CHARGE Syndrome
I. Tatalaksana Medikamentosa 13
- IVFD Kaen 1B 470cc/24 jam - Paracetamol drop 3 x 0,5 cc - Injeksi Cinam (Ampicillin + Sulbaktam) 2 x 250 mg
Follow Up
11 Juli 2018 jam 13.30 S:.Batuk (+) berdahak namun dahak d ahak sulit dikeluarkan, Demam (-), Pilek (-), BAB (+) 1 x normal, BAK (+) normal kuning jernih. Batuk sering menyebabkan pasien muntah susu yang sebelumnya diminum. Mual (-) muntah (-) kejang (-). Pasien memiliki kelainan pada lidahnya yang pendek yang mengakibatkan sering tersedak. Ibu pasien juga mengatakan bahwa ketika bernafas biasa pasien mengeluarkan bunyi seperti mengorok. O: Keadaan Umum : Baik Kesadaran : Composmentis Tanda-tanda Vital Frekuensi Nadi :75 x/menit BB : 4,7 kg Frekuensi Nafas: 24 x/menit Suhu : 36,8˚C Kepala : normochephal Wajah : simetris, mikrognathia (+) Mata : Conjungtiva anemis (-), sklera ikterik (-), Reflek cahaya langsung / tidak langsung (+/+), cekung (-), air mata (+). THT : Auricular dextra-sinistra tampak normal, sekret (-), serumen serumen (-) Hidung : bentuk normal, rhinorrhea (-), nafas cupin g hidung (-) Tenggorokan : sulit dinilai Mulut dan bibir : lembab, sianosis (-), stomatitis (-), caries gigi (-), pucat (-) glossoptosis (+) cleft palate berbentuk U (+) Leher : Pembesaran KGB (-), Pembesaran kelenjar thyroid (-), trachea terletak di tengah. Thorak : Pulmo: simetris, retraksi iga (-), sikatriks (-), nyeri tekan (-), krepitasi (-), fraktur fraktur (-), kedua lapang paru sonor, vesikuler +/+, ronki +/+, wheezing +/+ Cor: BJ I-II normal reguler, murmur tidak terdengar jelas, gallop (-) Abdomen : Supel, Datar simetris, sikatriks (-),tympani pada 4 kuadran, nyeri tekan (-), pembesaran hepar dan lien (-), bising usus (+) pada 4 kuadran, turgor kulit kembali cepat. Ekstremitas : akral hangat, edema (-), sianosis (-), hematom (-), CRT < 3 dtk A: Bronkhopneumonia, Pierre Robin Syndrome P : - IVFD IVFD Kaen1B 470 cc/24 jam
14
- Inj. Cinam (Ampicilllin + Sulbactam) 3 x 250 2 50 mg - Paracetamol drop 3 x 0,5 cc
12 Juli 2018 jam 05.30 S:.Batuk (+) berdahak, namun dahak sulit dikeluarkan, Demam (-), Pilek (-), BAB (+) 1 x normal, BAK (+) normal kuning jernih. Batuk sering men yebabkan pasien muntah susu yang sebelumnya diminum. Mual (-) kejang (-). Setiap diberi susu susu pasien sering tersedak dan muntah. Suara nafas seperti mengorok. O: Keadaan Umum : Baik Kesadaran : Composmentis Tanda-tanda Vital Frekuensi Nadi :101 x/menit BB : 4,7 kg Frekuensi Nafas: 20 x/menit Suhu : 34,3˚C SaO2 : 99% Kepala : normochephal Wajah : simetris, mikrognathia (+) Mata : Conjungtiva anemis (-), sklera ikterik (-), Reflek caha ya langsung / tidak langsung (+/+), cekung (-), air mata (+). THT : Auricular dextra-sinistra tampak normal, sekret (-), serumen serumen (-)
15
Hidung : bentuk normal, rhinorrhea (-), nafas cupin g hidung (-) Tenggorokan : sulit dinilai Mulut dan bibir : lembab, sianosis (-), stomatitis (-), caries gigi (-), pucat (-) glossoptosis (+) cleft palate berbentuk U (+) Leher : Pembesaran KGB (-), Pembesaran kelenjar thyroid (-), trachea terletak di tengah. Thorak : Pulmo: simetris, retraksi iga (-), sikatriks (-), nyeri tekan (-), krepitasi (-), fraktur (-), kedua lapang paru sonor, vesikuler +/+, ronki +/+, wheezing +/+ Cor: BJ I-II normal reguler, murmur tidak terdengar jelas, gallop (-) Abdomen : Supel, Datar simetris, sikatriks (-),tympany pada 4 kuadran, nyeri tekan (-), pembesaran hepar dan lien (-), bising usus (+) pada 4 kuadran, turgor kulit kembali cepat. Ekstremitas : akral hangat, edema (-), sianosis (-), hematom (-), CRT < 3 dtk A: Bronkhopneumonia, Pierre Robin Syndrome P : - IVFD IVFD Kaen1B 470 cc/24 jam - Inj. Cinam (Ampicilllin + Sulbactam) 3 x 250 2 50 mg - Paracetamol drop 3 x 0,5 cc
13 Juli 2018 jam 05.30 S:.Batuk (-) namun dahak masih ada dan sulit keluar, Demam (-), Pilek (-), BAB (+) 1 x normal, BAK (+) normal kuning jernih. Batuk sering menyebabkan pasien muntah susu yang sebelumnya diminum. Mual (-) muntah (-) kejang (-). Suara Su ara nafas seperti mengorok. O: Keadaan Umum : Baik Kesadaran : Composmentis Tanda-tanda Vital Frekuensi Nadi :115 x/menit BB : 4,7 kg Frekuensi Nafas: 24 x/menit Suhu : 36,3˚C SaO2 : 92% Kepala : normochephal Wajah : simetris, mikrognathia (+) Mata : Conjungtiva anemis (-), sklera ikterik (-), Reflek cahaya langsung / tidak langsung (+/+), cekung (-), air mata (+). THT : Auricular dextra-sinistra dextra-sinistra tampak normal, sekret (-), serumen serumen (-) Hidung : bentuk normal, rhinorrhea (-), nafas cupin g hidung (-) Tenggorokan : sulit dinilai Mulut dan bibir : lembab, sianosis (-), stomatitis (-), caries gigi (-), pucat (-) glossoptosis (+) cleft palate berbentuk U (+)
16
Leher : Pembesaran KGB (-), Pembesaran kelenjar thyroid (-), trachea terletak di tengah. Thorak : Pulmo: simetris, retraksi iga (-), sikatriks (-), nyeri tekan (-), krepitasi (-), fraktur fraktur (-), kedua lapang paru sonor, sonor, vesikuler +/+, +/+, ronki +/+, wheezing +/+ Cor: BJ I-II normal reguler, murmur tidak terdengar jelas, gallop (-) Abdomen : Supel, Datar simetris, sikatriks (-),tympany (-),tympany pada 4 kuadran, nyeri tekan (-), pembesaran hepar dan lien (-), bising usus (+) pada 4 kuadran, turgor kulit kembali cepat. Ekstremitas : akral hangat, edema (-), sianosis (-), hematom (-), CRT < 3 dtk A: Bronkhopneumonia, Pierre Robin Syndrome P : - IVFD Kaen1B 470 cc/24 jam - Inj. Cinam (Ampicilllin + Sulbactam) 3 x 250 25 0 mg - Paracetamol drop 3 x 0,5 cc
14 Juli 2018 jam 05.30 S:.Batuk (-) namun dahak masih ada dan sulit keluar, Demam (-), Pilek (-), BAB (+) 1 x normal, BAK (+) normal kuning jernih. Batuk sering menyebabkan pasien muntah susu yang sebelumnya diminum. Pasien terkadang muntah. Mual (-) kejang (-). Suara nafas seperti mengorok. O: Keadaan Umum : Baik Kesadaran : Composmentis Tanda-tanda Vital Frekuensi Nadi :123 x/menit BB : 4,7 kg Frekuensi Nafas: 24 x/menit Suhu : 36,3˚C SaO2 : 99% Kepala : normochephal Wajah : simetris, mikrognathia (+) Mata : Conjungtiva anemis (-), sklera ikterik (-), Reflek cahaya langsung / tidak langsung (+/+), cekung (-), air mata (+). THT : Auricular dextra-sinistra dextra-sinistra tampak normal, sekret (-), serumen serumen (-) Hidung : bentuk normal, rhinorrhea (-), nafas cupin g hidung (-) Tenggorokan : sulit dinilai Mulut dan bibir : lembab, sianosis (-), stomatitis (-), caries gigi (-), pucat (-) glossoptosis (+) cleft palate berbentuk U (+) Leher : Pembesaran KGB (-), Pembesaran kelenjar thyroid (-), trachea terletak di tengah.
17
Thorak : Pulmo: simetris, retraksi iga (-), sikatriks (-), nyeri tekan (-), krepitasi (-), fraktur fraktur (-), kedua lapang paru sonor, sonor, vesikuler +/+, ronki +/+, wheezing +/+ Cor: BJ I-II normal reguler, murmur tidak terdengar jelas, gallop (-) Abdomen : Supel, Datar simetris, sikatriks (-),tympany (-),tympany pada 4 kuadran, nyeri tekan (-), pembesaran hepar dan lien (-), bising usus (+) pada 4 kuadran, turgor kulit kembali cepat. Ekstremitas : akral hangat, edema (-), sianosis (-), hematom (-), CRT < 3 dtk A: Bronkhopneumonia, Pierre Robin Syndrome P : - IVFD Kaen1B 470 cc/24 jam - Inj. Cinam (Ampicilllin + Sulbactam) 3 x 250 25 0 mg - Paracetamol drop 3 x 0,5 cc
K. Prognosis Ad vitam
: dubia ad bonam
Ad functionam
: dubia
Ad sanationam
: dubia
18
TINJAUAN PUSTAKA BRONKOPNEUMONIA 1. DEFINISI
Bronkopneumonia disebut juga pneumonia lobularis adalah peradangan pada parenkim paru yang melibatkan bronkus/bronkiolus yang berupa distribusi berbentuk bercak-bercak (patchy distribution). Konsolidasi bercak berpusat disekitar bronkus yang mengalami peradangan multifokal dan biasanya bilateral. Konsolidasi pneumonia yang tersebar (patchy) ini biasanya mengikuti suatu bronkitis atau bronkiolitis.
2. EPIDEMIOLOGI 2.1. Distribusi Bronkopneumonia
Berdasarkan hasil SKRT 2001, angka prevalensi ISPA 2% dari lima penyakit yang disurvei (ISPA, infeksi saluran nafas kronik, hipertensi, kulit, dan sendi), dengan prevalensi tinggi pada golongan bayi (39%) dan balita (42%). ISPA merupakan penyebab utama kematian pada bayi dan balita dengan CFR masing-masing (27,6%), dan (22,8%). Angka kematian bayi dan balita menjadi indikator derajat kesehatan masyarakat. Prevalensi ISPA di Indonesia berdasarkan Surkesnas (Survei Kesehatan Nasional) 2001 masih sangat tinggi tinggi yaitu 38,7% pada umur dibawah 1 tahun dan 42,2% umur 1-4 tahun. Cause Specific Death Rate (CSDR) pneumonia pada anak umur <1 tahun laki-laki 940 per 100.000 penduduk dan perempuan 652 per 100.000 penduduk, pada anak umur 1-4 1 -4 tahun laki-laki 44 per 100.000 10 0.000 penduduk dan perempuan p erempuan 40 per 100.000 penduduk. Proporsi kematian balita akibat ISPA 28% artinya dari 100 balita yang meninggal 28 disebabkan oleh penyakit ISPA.
19
Profil Kesehatan Indonesia tahun 2005, prevalensi ISPA tinggi pada p erempuan (24%) daripada laki-laki (23%).12 Menurut hasil penelitian Taisir (2005) di Kelurahan Lhok Bengkuang Kecamatan Tapak Tuan Aceh Selatan dengan menggunakan desain Cross Sectional , berdasarkan jenis kelamin IR ISPA balita pada laki -laki (43,3%) lebih tinggi daripada perempuan (33,7%). Menurut hasil penelitian Barus (2005) di tiga Kelurahan Kecamatan Medan Baru dengan menggunakan desain Cross Sectional , diketahui bahwa kelompok umur >19 tahun merupakan anggota rumah tangga terbanyak yaitu 568 jiwa (66,7%), demikian juga kasus ISPA terbanyak pada kelompok umur ini, yaitu 280 kasus (65,6%). Namun bila dihitung angka Age angka Age Specific Morbidity Rate tertinggi adalah pada kelompok ≤5 tahun (79,4 %). 2.2. Distribusi Bronkopneumonia Berdasarkan Tempat dan Waktu
Berdasarkan hasil Surkesnas 2001 proporsi kematian karena penyakit sistem pernapasan pada p ada bayi ba yi sebesar 23,9% di Jawa Bali, 15,8% di Sumatera, dan 42,6% di Kawasan Timur Indonesia. Pada balita sebesar 16,7% di Jawa Bali, 29,4% di sumatera, dan 30,3% di Kawasan Timur Indonesia. Profil Kesehatan Indonesia tahun 2005, prevalensi ISPA di pedesaan (25%) lebih tinggi dibandingkan dengan perkotaan (22%). Prevalensi ISPA untuk kawasan Sumatera 20%, sementara untuk kawasan Jawa-Bali adalah 23% dan kawasan KTI (Kalimantan, Sulawesi, dan NTB/NTT/Papua) 29%. Profil Kesehatan Indonesia tahun 2008, pneumonia yang terjadi pada balita berdasarkan laporan 26 provinsi, tiga provinsi dengan cakupan tertinggi berturut-turut adalah provinsi Nusa Tenggara Barat 56,50%, Jawa Barat 42,50% dan Kepulauan Bangka Belitung 21,71%. Sedangkan cakupan terendah adalah provinsi DI Yogyakarta 1,81%, Kepulauan Riau 2,08%, dan NAD 4,56%.3Profil Kesehatan Sulawesi Selatan tahun 2004 prevalensi ISPA (97,9 %) dan di kota Makasar (29,47%).
20
3. ETIOLOGI Bronkopneumonia dapat juga dikatakan suatu peradangan pada parenkim paru yang disebabkan oleh bakteri, virus, jamur. 20 Bakteri seperti Diplococus Diplococus pneumonia, pneumonia, Pneumococcus sp, sp, Streptococcus Streptococcus sp, Hemoliticus aureus, aureus, Haemophilus influenza influenza,, Basilus friendlander ( Klebsial Klebsial pneumonia), pneumonia), dan Mycobacterium tuberculosis. Virus seperti Respiratory syntical virus, virus, Virus influenza, dan Virus sitomegalik. Jamur seperti Citoplasma capsulatum, capsulatum, Criptococcus nepromas, nepromas, Blastomices dermatides, dermatides, Cocedirides immitis, immitis, Aspergillus sp, sp, Candinda albicans, albicans, dan Mycoplasma dan Mycoplasma pneumonia pneumonia.. Meskipun hampir semua organisme dapat menyebabkan bronkopneumonia, penyebab yang sering adalah stafilokokus, stafilokokus, streptokokus, streptokokus, H. influenza, influenza, Proteus sp dan Pseudomonas aeruginosa aeruginosa..18 Keadaan ini dapat disebabkan oleh sejumlah besar organisme yang berbeda dengan patogenitas yang bervariasi. Virus, tuberkolosis dan organisme dengan patogenisitas yang rendah dapat juga menyebabkan bronkopneumonia, namun gambarannya gambarannya bervariasi sesuai agen etiologinya.
4. KLASIFIKASI 4.1. Klasifikasikasi Gejala ISPA Untuk Golongan Umur <2 bulan
a. Bronkopneumonia berat, adanya nafas cepat ( fast fast breating ) yaitu frekuensi pernafasan sebanyak 60 6 0 kali per menit atau lebih, atau adanya ad anya tarikan yang kuat pada dinding dada bagian bawah ke dalam ( severe severe chest indrawing ). ). b. Bukan bronkopneumonia, batuk tanpa pernafasan cepat atau penarikan dinding dada.
4.2. Klasifikasi Gejala ISPA Untuk Golongan Umur 2 bulan – <5 <5 tahun
a. Bronkopneumonia sangat berat, adanya batuk atau kesukaran bernafas disertai nafas sesak atau tarikan dinding dada bagian bawah ke dalam (chest (chest indrawing ). ).
21
b. Bronkopneumonia berat, adanya batuk atau kesukaran bernafas disertai adanya nafas cepat sesuai umur. Batas nafas cepat ( fast breathing ) pada anak umur 2 bulan - <1 tahun adalah 50 kali atau lebih per menit dan untuk anak umur 1 tahun adalah 40 kali atau lebih permenit. c. Bukan bronkopneumonia, batuk tanpa pernafasan cepat atau penarikan dinding dada. 5. PATOGENESIS DAN PATOFISIOLOGI 5.1. Stadium I/Hiperemia (4 – 12 12 jam pertama/kongesti)
Pada stadium I, disebut hyperemia karena mengacu pada respon peradangan permulaan yang berlangsung pada daerah baru yang terinfeksi. Hal ini ditandai dengan peningkatan aliran darah dan permeabilitas kapiler di tempat infeksi. Hiperemia ini terjadi akibat pelepasan mediator-mediator peradangan dari sel-sel mast setelah pengaktifan sel imun dan cedera jaringan. Mediator-mediator tersebut mencakup histamin dan prostaglandin. Degranulasi sel mast juga mengaktifkan jalur komplemen. Komplemen bekerja sama dengan histamin dan prostaglandin untuk melemaskan otot polos vaskuler paru dan peningkatan permeabilitas kapiler paru. paru. Hal ini mengakibatkan perpindahan eksudat plasma ke dalam ruang interstisium sehingga
terjadi
pembengkakan dan edema antar kapiler dan alveolus. Penimbunan cairan di antara kapiler dan alveolus meningkatkan jarak yang harus ditempuh oleh oksigen dan karbondioksida maka perpindahan gas ini dalam darah paling berpengaruh dan sering mengakibatkan penurunan saturasi oksigen hemoglobin.
5.2. Stadium II/Hepatisasi Merah (48 jam berikutnya)
Pada stadium II, disebut hepatisasi merah karena terjadi sewaktu alveolus terisi oleh sel darah merah, eksudat dan fibrin yang dihasilkan oleh penjamu (host (host ) sebagai bagian dari reaksi peradangan. peradangan. Lobus yang terkena menjadi padat oleh karena adanya penumpukan leukosit, eritrosit dan cairan sehingga warna paru menjadi merah dan pada perabaan seperti hepar, pada stadium ini udara alveoli tidak ada atau sangat minimal
22
sehingga anak akan bertambah sesak, stadium ini berlangsung sangat singkat, yaitu selama 48 jam.
5.3. Stadium III/Hepatisasi Kelabu (3- 8 hari)
Pada stadium III/hepatisasi kelabu yang terjadi sewaktu sel-sel darah putih mengkolonisasi daerah paru yang terinfeksi. Pada saat ini endapan fibrin terakumulasi di seluruh daerah yang cedera dan terjadi fagositosis sisa-sisa sel. Pada stadium ini eritrosit di alveoli mulai di reabsorpsi, lobus masih tetap padat karena berisi fibrin dan leukosit, warna merah menjadi pucat kelabudan kapiler darah tidak lagi mengalami kongesti.
5.4. Stadium IV/Resolusi (7-11 hari)
Pada stadium IV/resolusi yang terjadi sewaktu respon imun dan peradangan mereda, sisa-sisa sel fibrin dan eksudat lisis dan diabsorpsi oleh makrofag sehingga jaringan kembali ke strukturnya semula.
6. MANIFESTASI KLINIS
Bronkopneumonia biasanya didahului oleh infeksi saluran nafas bagian atas selama beberapa hari. Suhu dapat naik secara mendadak sampai 39 -400C dan mungkin disertai kejang karena demam yang tinggi. Anak sangat gelisah, dispnue, dispnue, pernafasan cepat dan dangkal disertai pernafasan cuping cupin g hidung dan sianosis di sekitar hidung dan mulut. Batuk biasanya tidak dijumpai pada awal penyakit, anak akan mendapat batuk setelah beberapa hari, pada awalnya berupa batuk kering kemudian menjadi produktif.
Pada pemeriksaan fisik didapatkan, inspeksi : perlu diperhatikan adanya tahipnue, tahipnue, dispnue, dispnue, sianosis sekitar hidung dan mulut, pernapasan cuping hidung, distensi abdomen, retraksi sela iga, batuk semula nonproduktif menjadi produktif, serta nyeri dada pada waktu menarik napas. Palpasi : suara redup pada sisi yang sakit, hati mungkin membesar, fremitus raba mungkin meningkat pada sisi yang sakit, dan nadi
23
mungkin mengalami peningkatan (tachicardia (tachicardia). ). Perkusi : suara redup pada sisi yang sakit. Auskultasi, auskultasi sederhana dapat dilakukan dengan cara mendekatkan telinga ke hidung/mulut bayi. Pada anak yang bronkopneumonia akan terdengar stridor.
Pada bronkopneumonia, hasil pemeriksaan fisik tergantung pada luasnya daerah yang terkena. Pada perkusi toraks sering tidak dijumpai adanya kelainan. Pada auskultasi mungkin hanya terdengar ronki basah gelembung halus sampai sedang. Bila sarang bronkopneumonia bronkopneumonia menjadi satu (konfluens) mungkin pada perkusi terdengar suara yang meredup dan suara pernafasan pada auskultasi terdengar mengeras.
1. Menggigil mendadak, demam yang tinggi dengan cepat dan berkeringat banyak 2. Nyeri dada seperti ditusuk yang diperburuk dengan pernafasan dan batuk. 3. Sakit parah dengan takipnea jelas (25 – 45/menit) 45/menit) dan dispnea. 4. Nadi cepat dan bersambung 5. Bradikardia relatif ketika demam menunjukkan infeksi virus, infeksi mycoplasma atau spesies legionella. 6. Sputum purulen, kemerahan, bersemu darah, kental atau hijau relatif terhadap preparat etiologis. 7. Tanda-tanda lain: demam, krakles, dan tanda-tanda konsolidasi lebar (Baughman, Diane C,)
7. DIAGNOSIS
Menurut Mansjoer Arif 2000, pemeriksaan penunjang dari Bronkopnemonia adalah:
24
1. Pemeriksaan darah menunjukkan leukositosis dengan predominan polimorfonuklear atau dapat ditemukan leukopenia yang menandakan prognosis buruk. Dapat ditemukan anemia ringan atau sedang. 2. Pemeriksaan radiologi memberi gambaran bervariasi: - Bercak konsolidasi merata para bronkopneumonia. - Bercak konsolidasi satu lobus pada pneumonia lobaris. - Gambaran pneumonia difus atau infiltrat interstisialis pada pneumonia stafilokokus. 3. Pemeriksaan mikrobiologik, spesimen usap tenggorok, sekresi nasofaring, bilasan bronkus atau sputum, darah, aspirasi trakea, pungsi pleura atau aspirasi paru.
8. TATALAKSANA
Menurut Mansjoer Arif 2000, penatalaksanaan medis bronkopneumonia adalah:
1. Oksigen 1-2 liter 2. IVFD dextrose 10%; NaCl 0,9%=3:1, +KClL 10mEq/500ml cairan. 3. Jika sesak tidak terlalu hebat, dapat dimulai makanan enteral bertahap melalui selang nasogastrik dengan feading drip. 4. Jika sekresi lendir berlebihan dapat diberikan in halasi dengan salin normal dan beta agonis untuk memperbaiki transfor mukosilier. 5. Koreksi gangguan keseimbangan asam basa dan elektrolit. 6. Anti biotik sesuai dengan hasil biakan atau berikan:
a. Untuk kasus bronkopneumonia community base: base: 1. Ampicilin 100mg/kgBB/hari dalam 4 hari pemberian. 2. Chloramfenikol 75 mg/kgBB/hari dalam 4 kali pemberian. 25
b. Untuk kasus bronkopneumonia hospital base: base: 1. Cefotaxim 100mg/kgBB/Hari dalam 2 kali pemberian. 2. Amikasin 10-15mg/kgBB/Hari dalam 2 kali pemberian. 10. KOMPLIKASI
Dengan penggunaan antibiotika, komplikasi hampir tidak pernah dijumpai. Komplikasi yang dapat dijumpai adalah empyema dan otitis media akut. Komplikasi lain seperti meningitis, perikarditis, osteomielitis, peritonitis lebih jarang di lihat. Pneumonia biasanya dapat diobati dengan baik tanpa menimbulkan komplikasi. Bagaimanapun, komplikasi dapat terjadi pada beberapa pasien terutama penderita yang termasuk ke dalam faktor risiko tinggi: a) Akumulasi cairan : cairan dapat menumpuk diantara pleura dan bagian bawah dinding dada (efusi pleura) dan dapat pula terjadi empiema. Chest tube (atau drainage secara bedah ) mungkin dibutuhkan untuk mengeluarkan cairan. b) Abses, pengumpulan pus (nanah) pada area yang terifeksi pneumonia. Biasanya membaik dengan terpai antibiotik, namun meskipun jarang terkadang membutuhkan tindakan bedah untuk membuangnya. c) Bakteremia, muncul bila infeksi pneumonia menyebar dari paru masuk ke peredaran darah. Ini merupakan komplikasi yang serius karena infeksi dapat cepat menyebar ke organ lain. 11. PROGNOSIS
Dengan pemberian antibiotika yang tepat dan adekuat maka mortalitas dapat diturunkan sampai kurang dari 1%. Mortalitas bisa lebih tinggi didapatkan pada anakanak dengan keadaan malnutrisi energi protein dan yang datang terlambat untuk pengobatan.
26
PIERRE ROBIN SYNDROME
1. DEFINISI
Mikrognathia merupakan deformitas kongenital hipoplasia mandibula, yakni rahang bawah yang berbentuk lebih kecil dan lokasinya lebih posterior dari maxilla. Hipoplasia mandibula dapat terjadi tunggal atau sebagai kombinasi dengan kelainan lain yang dihubungkan dengan glossoptosis, suatu keadaan dimana posisi lidah lebih posterior dari dari posisi lidah normal yang menyebabkan derajat obstruksi jalan jalan nafas yang bervariasi. Hubungan antara antara mikrognathia, celah pada langit mulut, dan obstruksi obstruksi jalan nafas dideskripsikan oleh St-Hilaire pada tahun 1822, oleh Faibain pada tahun 1846, dan oleh Shukowsky pada tahun 1911. Pada Pad a tahun 1923 Pierre Robin mendeskripsikan glossoptosis dan hubungannya dengan mikrognathia dan komplikasi jalan nasa. Pada publikasi selanjutnya tahun 1934, dia menjelaskan sebagai trias dari mikrognathia, glossoptosis, dan celah langit pasrial berbentuk U, dan deskripsi ini dipakai sebagai basis terminologi modern Pierre Robin Syndrome atau Pierre Robin Sequence.
2. EPIDEMIOLOGI
Pierre Robin Syndrome tetap menjadi kelainan yang jarang, dengan estimasi prevalensi antara 1:8.500 dan 1:14.000 kelahiran bayi. Pada 73% kasus, Pierre Robin terjadi sebagai bagian dari sindrom lain dengan malformasi multipel. Pierre Robin Syndrome dilaporkan terjadi behubungan dengan Stickler Syndrome (20-25% kasus), Campomelic Dysplasia, Sinroma Trisomi 11q, Sindroma delesi 4q, velocardiofacial syndrome, dan Treacher-Collins Syndrome.
3. ETIOLOGI DAN PATOGENESIS
27
Pierre Robin Syndrome merupakan sebuah kondisi dengan penyebab multifaktorial. Pada sekitar usia 7-10 minggu kehamilan, rahang b awah tumbuh dengan cepat, memberikan lidah untuk turun antara palatum. Apabila, untuk beberapa alasan, rahang bawah tidak tumbuh dengan seharusnya, lidah dapat mencegah palatum/langit pada mulut untuk menutup, yang menghasilkan menghasilkan celah pada langit mulut. Rahang bawah yang kecil atau tunbuh tidak normal juga menyebabkan lidah untuk berlokasi di posterior mulut, menyebabkan kesulitan bernapas ketika pasien p asien lahir. Penyebab pasti Pierre Robin Syndrome belum diketahui, Mekasnisme yang mungkin adalah genetik; volume cairan amnion yang sedikit, yang dapat menyebabkan pertumbuhan rahang bawah yang terbatas, kelemahan pada oto-otot wajah (myotonia); atau kelainan jaringan ikat. Penyebab genetik pada beberapa kasus (Pierre Robin Syndrome tanpa malformasi lain) dapat termasuk mutasi atau delesi bagian DNA yang berdekatan dengan gen SOX9 (berlokasi pada kromosom 17 (17q24). Gen ini membuat perintah untuk memproduksi protein (protein SOX9) yang berperan dalam pembentukan banyak jaringan yang berbeda dan organ-organ selama masa perkembangan embrionik. Protein SOX9 mengatur aktivitas gen-gen lain, terutama gen-gen yang berperan dalam perkembangan rangka tubuh, termasuk rahang.
Terdapat 3 teori patofisiologi yang dapat menjelaskan keadaan mikrognathia: 1. Teori mekanik merupakan teori yang sudah banyak diterima. Sudah banyak dipublikasikan bahwa terdapat kendala pertumbuhan mandibula selama di u terus yang menghasilkan kegagalan lidah untuk turun. Hal ini mencegah penyatuan pada palatum yang sedang terbentuk yang menyebabkan celah pada palatum. Oligohidramnion dapat menjadi faktor penyerta. Cairan amniotik yang berku rang menyebabkan dukungan fetus yang berkurang untuk kepala fetus yang menyebabkan dagu fleksi ke bawah. Penyebab konstriksi intrauterin lain
28
mencakup kehamilan multipel, kelainan uterus atau tempat implantasi zigot yang abnormal. 2. Teori maturasi neurologikal diusulkan oleh elektromiografi otot-otot lidah, dinding faring dan langit mulut. Ketidakmampuan perkembangan janin untuk menumbuhkan mandibula mencegah lidah untuk turun. Koreksi spontan seiring dengan usia mendukung teori ini. 3. Teori disregulasi atau regulasi rhombocephalus dihubungkan dengan masalah masalah mayor dari ontogenesis. Anomali kromosom sering dihubungkan dengan Pierre Robin Syndrome. Ini secara klasik dihubungkan dengan beberapa sindrom yang diturunkan secara mendelian. Pierre-Robin Syndrome non sindromik/ tanpa malformasi tambahan dapat disebabkan oleh disregulasi oleh gen SOX9 dan KCNJ2.
4. MANIFESTASI KLINIS DAN KRITERIA DIAGNOSIS
Pierre Robin Syndrome dicirikan dengan trias mikrognathia, glossoptosis, dan obstruksi jalan nafas. 1. Mikroretrognathia akan secepatnya teridentifikasi saat lahir dan sebagai kriteria diagnosis. Hipoplasia mandibula bentuknya kecil baik dalam dimensi vertikal maupun horizontal.
Oleh karena itu itu terjadi terjadi penurunan proyeksi
anteroposterior rahang dan penampilan retrognathia yang klasik. Terlepas dari micrognathia, Randall menggambarkan hal yang penting penemuan retrogenia, atau pergeseran posterior dagu, mencirikan mulanya an omali dalam urutan ini. 2. Glossoptosis, didefinisikan sebagai penempatan posterior yang abnormal lidah, adalah fitur karakteristik kedua dari PRS. Posisi lidah sangat ditentukan
29
oleh ukuran dan orientasi mandibula. Karena rahang yang lebih kecil memiliki lebih sedikit proyeksi anterior, lidah pada gilirannya akan bergeser ke posterior. Terlebih lagi, meskipun lidah biasanya dicatat dari ukuran normal, rahang hypoplastic memberikan volume yang lebih sedikit di rongga mulut dan memaksa lidah untuk masuk ke dalam ruang yang lebih kecil, yang selanjutnya berfungsi untuk memperburuk penyumbatan dari pharynx posterior. 3. Obstruksi jalan napas, penyelesaian triad, adalah hasilnya dari posisi lidah abnormal, yang berfungsi untuk oklusi faring hidung dan mulut pada inspirasi. Bayi dengan PRS mungkin memiliki obstruksi jalan nafas pada tingkat dasar lidah, yang dapat menyebabkan desaturasi oksigen berulang, apnea, dan sianosis. Untuk memerangi obstruktif Pasukan, volume energi yang tinggi dikeluarkan untuk melanjutkan bernafas dan diwujudkan dengan retraksi suprasternal dan penggunaan otot-otot aksesori respirasi. Tergantung pada keparahan obstruksi jalan napas, beberapa bayi dapat mempertahankan saluran napas mereka saat bangun tetapi menderita obstruksi kapan tertidur, terutama pada posisi telentang.
Kesulitan makan umum terjadi saat bayi berjuang bernafas saat makan. Refluks gastroesofagus dan aspirasi adalah gejala umum dari proses ini. Celah terkait mencegah pembentukan tekanan intraoral negatif, yang diperlukan untuk menghisap susu dari payudara atau botol; micrognathia dan glossoptosis lebih lanjut menghambat penghisapan mekanis. Obstruksi jalan napas dan menghasilkan tekanan intrathoracic negatif yang telah diidentifikasi sebagai faktor yang terkait dengan peningkatan gastroesophageal reflux. Mengingat kalori yang buruk asupan yang terkait dengan refluks dan kesulitan menyusui dan peningkatan upaya pernapasan mendorong peningkatan pengeluaran energi, bayi-bayi ini sering gagal tumbuh dan tidak dapat memperoleh berat badan selama periode postnatal awal.
30
Pierre Robin Syndrome umumnya diasosiasikan dengan yang luas U-berbentuk celah langit-langit, tetapi ini tidak penting untuk diagnosis. Pada pasien dengan micrognathia yang parah, lidah mengambil secara proporsional lebih banyak volume di orofaring, menghasilkan glossoptosis dalam pengaturan mandibula yang kecil. Selama perkembangan embrio, palatal palatal yang berorientasi vertikal dimobilisasi ke posisi horizontal selama minggu kedelapan pembangunan. Banyak teori telah disarankan untuk menjelaskan temuan umum celah langit-langit di PRS. Meskipun tidak ada di trias klasik, celah langit-langit tetap yang paling umum terkait kelainan pada PRS. Apalagi 80% bayi didiagnosis dengan PRS memiliki anomali terkait lainnya. Manifestasi lain yang mungkin dari PRS termasuk kelainan kardiovaskular dan paru-paru, seperti jantung murmur, tekanan darah tinggi di arteri paru-paru (hipertensi pulmonal), dan penyempitan pembukaan antara arteri paru-paru dan ventrikel kanan jantung (stenosis pulmonal) . Anomali sistem muskuloskeletal, termasuk yang di lengan, kaki, kaki, dan kolom vertebral, juga sering terjadi. Radang telinga tengah (otitis media) biasanya disertai dengan infeksi telinga berulang terjadi pada sekitar 80% pasien, dan defek mata (okular) tercatat pada sekitar 10% hingga 30% pasien. Gigi hadir saat lahir (gigi natal) adalah temuan sering lainnya.
5. DIAGNOSIS BANDING
CHARGE Syndrome
6. TATALAKSANA
A. Manajemen Nonoperatif
31
Posisi rawan atau lateral akan menyelesaikan masalah obstruksi saluran napas di 70% dari kasus Pierre Robin Syndrome. Dengan posisi yang sesuai, banyak anak-anak ini juga akan dapat makan secara normal dan tidak perawatan lebih lanjut diperlukan. Jika bayi terus menunjukkan desaturasi, kemudian penempatan tabung nasofaring (NP) diindikasikan, di mana tujuan tabung penempatan adalah untuk melewati situs obstruksi saluran napas bagian atas.
Chang dkk telah mendiskusikan teknik penciptaan tabung NP individual dari tabung endotrakeal, dengan diameter dan panjang yang dipilih sesuai dengan berat bayi. Mereka melaporkan penggunaan yang berhasil dan aman dari saluran udara NP yang dimodifikasi di atas saluran napas tradisional NP dalam membebaskan obstruksi saluran napas dan juga mengurangi kebutuhan untuk operasi. Saluran udara NP yang dimodifikasi memiliki lebih sedikit ruang bebas. Pemeliharaan yang dimodifikasi NP saluran napas bersama dengan penggantian dan pembersihan bisa dilakukan oleh staf perawat dan diajarkan kepada orang tua, memungkinkan untuk manajemen rumah dari bayi-bayi ini. Saluran udara
32
yang mendukung biasanya diperlukan selama 2 hingga 4 bulan untuk dukungan pernapasan. Perhatian untuk memberi makan adalah faktor terpenting kedua dalam merawat bayi dengan Pierre Robin Syndrome. Bayi yang tidak mengalami gangguan pernapasan mungkin masih menunjukkan kesulitan dengan proses aktif makan, terutama dengan yang terkait celah lan git-langit. Makan dini melalui selang
nasogastrik
mengurangi
jumlah
energi
yang
dibutuhkan
dan
memungkinkan untuk penambahan berat badan dini. Perlu dicatat bahwa perawatan nonoperatif lebih kemungkinan untuk berhasil dengan pasien yang tidak mengalami nonsyndromic dibandingkan dengan pasien syndromic. Dipercaya secara luas bahwa ada bagian dari bayi Pierre Robin Syndrome yang tidak menanggapi tindakan konservatif dan akan membutuhkan intervensi lebih lanjut. Langkah-langkah temporalisasi seperti suplemen
oksigen,
tabung
nasofaring,
masker
laring,
dan
intubasi
berkepanjangan tidak memadai pada bayi dengan berat gangguan pernapasan. Metode yang paling umum untuk pembedahan manajemen obstruksi saluran napas termasuk adhesi lidah-bibir, osteogenesis distraksi, dan trakeostomi.
B. Tindakan Operatif 1. Adhesi Lidah-Bibir Tongue-lip adhesoion (TLA) pertama kali dijelaskan oleh Shukowsky pada tahun 1911 dan dipopulerkan oleh Douglas pada pertengahan abad ke-20. Prosedur ini berfungsi untuk memperbaiki masalah glossoptosis dengan menarik pangkal lidah ke depan dan menjahitnya ke bibir bawah. Setelah sembuh, mukosa ini berfungsi untuk menambatkan lidah anterior sampai bayi mengembangkan saluran napas yang lebih stabil dengan pertumbuhan. TLA bisa hanya dilakukan pada bayi yang belum tumbuh gigi bawahnya, karena mereka bisa menggigit secara tidak sengaja. Setelah pertumbuhan yang cukup 33
telah terjadi, TLA harus dilepaskan dengan prosedur kedua. TLA dijelaskan dengan baik dalam literatur bedah plastik dan beberapa modifikasi telah diterbitkan dalam beberapa tahun terakhir. Sebuah metode tradisional dijelaskan di sini.
Sebelum intubasi, laringoskopi langsung dan bronkoskopi harus dilakukan untuk mengecualikan anomali jalan napas supraglotis dan subglotis.
34
Bayi kemudian diintubasi dan ditempatkan dalam posisi terlentang posisi. Sebuah jahitan polipropilena 3-0 dilewatkan melintang melalui lidah sebagai jahitan traksi dan mirrorimage berlawanan flap mukosa persegi panjang dirancang pada bibir bawah dan lidah perut. Anestesi lokal dengan epinefrin disusupi sepanjang sayatan. Genioglossus dilepaskan dengan lift Cottle melalui insisi lidah ventral dan ditinggikan dari rahang lingual. Polipropilena 4-0 jahitan dilewatkan di sekitar mandibula dan dibawa Otot lingual, dan kemudian diikat di punggung alveolar di adimakamkan sebagai lidah ditarik ke depan dengan jahitan traksi. Flap mukosa ditutup dengan 4-0 chromics terganggu dan otot ditutup dengan 4 – 0 Vicryl. Tusukan tusukan lidah diamankan ke ba gian bawah bibir dan dagu dengan strip perekat dan dapat ditarik ke depan jika diperlukan pasca operasi. Dua jahitan melewati secara vertikal TLA dan terhubung ke tombol dari lidah posterior ke tombol pada dagu eksternal eksternal inferior. Tomboltombol ini dan jahitan meredakan ketegangan pada flap lidah-bibir sebagai lukanya menyembuhkan. Fitur-fitur penting dari prosedur ini seperti yang dijelaskan oleh Rogers et al termasuk rilis genioglossus dan yang terkubur jahitan circum mandibular. Gambar pasca operasi adalah ditunjukkan dalam gambar dibawah.
35
Jahitan traksi lidah dan kancing dihapus pada 7 hingga 12 hari pasca operasi. Diantara usia 9 bulan hingga 1 tahun, lidah dilepaskan. Pascaoperasi komplikasi termasuk dehiscence parsial atau total reparasi, operasi ulang, infeksi jaringan lunak atau abses, tidak dapat diterima dasar jaringan parut lidah, dan konversi menjadi trakeostomi. Sebagian besar penulis menyimpulkan bahwa TLA adalah opsi yang cocok untuk bayi yang obstruksi saluran napasnya diisolasi ke dasar lidah dan yang terus desaturasi dengan posisi tengkurap. Sejumlah penelitian telah mengevaluasi efektivitas TLA dalam melindungi jalan nafas pada anak-anak dengan PRS. Kirschner dkk melaporkan hasil dari 29 pasien yang menjalani TLA, menemukan 83,3% berhasil dalam mengurangi obstruksi jalan nafas dan pengurangan di feeding tabung NG dari 93,1% sebelum operasi menjadi 72,4% pasca operasi, dengan 62% bayi ba yi disapih dari semua Feed tabung NG dalam 6 36
bulan. Evaluasi bayi Pierre Robin Syndrome untuk apnea tidur obstruktif sebelum dan sesudah TLA menunjukkan TLA menurunkan indeks hipopnea apnea obstruktif (jumlah apnea obstruktif dan hypopnea dibagi dengan tidur total waktu) dengan mengurangi jumlah kejadian per jam, menurun pengukuran pCO2 puncak akhir pasang surut dan meningkatkan saturasi oksigen. Meskipun apnea tidur obstruktif membaik dalam banyak kasus setelah TLA, menyelesaikan resolusi gejala hanya ditemukan pada 38% pasien. Denny, Amm, dan Schaefer meninjau pengalaman mereka dengan TLA dan menyimpulkan bahwa meskipun tingkat keberhasilan awal tinggi untuk koreksi obstruksi saluran napas, kebanyakan pasien dengan pernapasan berat marabahaya membutuhkan intervensi sekunder dalam yang pertama tahun kehidupan seperti gangguan rahang bawah dan trakeostomi untuk manajemen saluran napas dan penempatan tabung tabu ng gastrostomi untuk dukungan nutrisi. 2. Penutupan Celah pada Palatum Tujuan dari pembedahan lubang pada langit mulut adalah untuk menutup palatum untuk mengembalikan fungsi normal, yakni makan, minum, dan untuk menstimulasi perkembangan bicara normal. Celah pada langit
mulut/ palatum dapat terjadi sebagai sebagai deformitas
tunggal atau sebagai kombinasi dengan celah pada bibir. Celah pada langit mulut/ palatum terjadi sebagai akibat dari kegagalan penyatuan dari proses pembentukan wajah embrionik yang menyebabkan fissura pada palatum. Hal ini dapat berupa komplit (memanjang melalui palatum durum dan palatum molle) atau parsial. Palatum membentuk langit-langit dari rongga mulut dan dasar pada hidung, sehingga celah pada palatum ini memberi hubungan bebas antara kedua kompartemen ini.
37
Sebagai hasil, tatalaksana dari celah palatum ini kompleks karena berpotensi menimbulkan masalah dengan den gan pemberian p emberian makanan, bicara, infeksi saluran telinga bagian tengah, oklusi, dan penyatuan rahang. Tatalaksana bedah pada celah palatum dapat menghasilkan hasil terbaik dalam satu prosedur operasi sebelum anak mencapai usia 12-14 bulan. Celah pada palatum ditutup
38
dengan pembedahan dengan mengangkat dua flap mukoperiosteal. Otot-otot levator terangkat, diarahkan dan diperbaiki; dan penutupan oleh tiga lapis mukosa hidung dan mukosa mulut tercapai. Tindakan operasi dibawah anestesi general biasanya berlangsung sekitar dua jam. Perhatian khusus dibutuhkan sebagai tindakan perbaikan dari celah palatum selama 2-3 minggu. Disarankan pada pasien untuk dihindari penggunaan botol dan dot sebelum terjadi perbaikan palatum. Dilarang bagi orangtua pasien untuk memberikan makanan keras atau makanan renyah selama 3 minggu post operatif.
7. KOMPLIKASI
A. Pendengaran Anak dengan celah pada langit mulut mempunyai resiko lebih tinggi untuk mendapatkan gangguan pendengaran. Tuba Eustachius menghubungakan antara ruang telinga tengah degan bagian belakang tenggorokan. Pada umumnya itu membuka dan tertutup untuk menurunkan tekanan yang terbentuk di belakang gendang telinga. Apabila Tuba Eustachius tidak membuka, maka tekanan meningkat sampai mukus atau cairan terakumulasi di belakang gendang telinga. Otot-otot yang bekerja dalam proses membukanya Tuba tidak berfungsi pada pasien dengan celah pada pad a langit mulut yang menyebabkan lebih banyak ban yak masalah yang berhubungan dengan cairan, otitis media, dan infeksi telinga yang menyebabkan nyeri. Karena masalah ini, penting bagi orangtua pasien untuk melakukan tes pendengaran dalam beberapa bulan pertama. Apabila pendengaran tidak berfungsi dengan baik karena penumpukan cairan atau karena tekanan yang tidak sama, mungkin dibutuhkan bagi otolaringologis untuk menaruh tabung untuk menyamakan tekanan. Tabung tersebut biasanya dipasang bersamaan dengan dijalankannya operasi penyambungan celah pada palatum. Penting bahwa pasien 39
dengan celah pada langit mulut melakukan tes pendengaran rutin untuk memonitor adanya masalah pada telinga tengah yang dapat menyebabkan perlambatan perkembangan pendengaran normal dan juga perkembangan bicara. Selagi pasien bertumbuh-kembang, frekuensi infeksi telinga dan cairan pada telinga akan menurun. B. Bicara Celah langit mulut yang tidak diperbaiki menyebabkan suara bicara menjadi hipernasal karena udara dapat lewat melalui hidung ketika pasien bicara. Kebanyakan bicara membutuhkan hidung untuk tertutup dari mulut. Operasi langit mulut biasanya memperbaiki masalah, namun terapi bicara tetap disarankan. Kirakira sebanyak 20-30% dari kasus celah pada langit mulut mempunyai inkompetensi velofaringeal atau bicara yang hipernasalsetelah operasi, dan mungkin membutuhkan flap faring untuk memperbaikinya pada sekitar usia 4-5 tahun.
C. Gigi Celah pada langit mulut biasanya mempengaruhi perkembangan gigi. Pada area celah, gigi biasanya tumbuh dengan posisi miring dengan tambahan gigi atau gigi yang tidak tumbuh pada area celah. Pemeriksaan radiologi biasanya dilakukan untuk memastikan posisi pasti dari gigi. Gangguan pertumbuhan gigi mempengaruhi bicara, mengunyah, mengganggu penampilan dan seringnya memerlukan terapi ortodonti.
8. PROGNOSIS
40
Setelah lahir, ada potensi untuk mengejar pertumbuhan rahang bawah yang cepat, biasanya dalam 1 tahun pertama.Namun, pertumbuhan ini bergantung pada penyebab yang mendasari. Meski terdapat kesulitan dalam pemberian makanan dan nutrisi, kebanyakan pasien dapat mentoleransi diet makanan tanpa obstruksi jalan nafas dalam usia 3 tahun. Dekanulasi yang sukses bagi p asien yang menjalankan trakeostomi juga tercapai pada usia ini. Kondisi velofaringeal yang membaik menghasilkan pengurangan obstruksi jalan nafas. Prognosis kemampuan bicara pada pasien Pierre Robin Syndrome (tanpa malformasi lainnya) tampaknya sama dengan pasien Pierre Robin Syndrome dengan kelainan bawaan tambahan. Umumnya, kematian pada pasien Pierre Robin Syndrome dipikirkan sebagai hasil dari apneu obstruktif dan gagal berkembang. Meskipun begitu, Pierre Robin Syndrome mempunyai etiologi yang beragam dan prognosis bergantung pada penyebab. Pasien Pierre Robin Syndrome tanpa kelainan/malformasi tambahan biasanya mempunyai prognosis yang lebih baik.
41
DAFTAR PUSTAKA
Anggraini O, Rahanoe M. Bayi usia 3 bulan dengan bronkopneumonia. Journal of Lampung University. Medula Unila. 2014; 2(3):66-72. Kementrian Kesehatan Republik Indonesia. Pneumonia balita. Jakarta: Kemenkes RI; 2010
Behrman, Kliegman, Arvin. Nelson: ilmu kesehatan anak. Edisi ke-15. Volume 2. Jakarta: EGC; 2000
Bradley JS, Byington CL, Shah SS, Alverson B, Carter ER, Harrison C, et al. The management of community-acquired pneumonia in infants and children older than 3 months of age : clinical practice guidelines by the pediatric infectious diseases society and the infectious diseases society of America. Clin Infect Dis. 2011; 53 (7):617-30.
Gangopadhyay et al,. (2012). Pierre Robin Sequence. Seminars in Plastic Surgery. 26(2):76 – 82. 82.
Misnadiarly, 2008, Penyakit Infeksi Saluran Napas Pneumoni pada Anak Orang Dewasa, Usia Lanjut Edisi 1, Jakarta, Pustaka Obor P opuler.
Oliveria, Cristiano C.,. Domingues, Maria Aparecida,. (2015). Pierre Robin sequence: case report, the relevance of autopsy. J autopsy. J Bras Patol Med Lab. Lab. 10:335-338.
Rahajoe NN, Supriyatno B, dan Setyanto DB. Buku ajar respirologi anak. Edisi ke- 1. Jakarta: IDAI; 2010.
42
Scott. R., Mader, Nicholas S. (2014). Regional Variations in the Presentaion and Surgical Management of Pierre Robin Sequence. The Laryngoscope. Laryngoscope. 124:28182825.
Shingal, Tulika., Tewfik, Ted L,. (2008). Pierre Robin Sequence: A Common Presentation. The Canadian Journal of CME . 9:49-52.
Thouvenin, Beatrice,. Djadi-Prat, Juliette. Et al. (2013). Developmental Outcome in Pierre Robin Sequence: A Longitudinal and Prospective Study of a Consecutive Series of Severe Phenotypes. American Journal of Medical Genetics Part A. 161A:312-319.
Watkins RR, Lemonovich TL (2011). Diagnosis and Management of Community Acquired Pneumonia in Adults. American Family Physician (83): 1299- 306.
43