OPA, NPM DAN NPS DALAM BINGKAI TEORI DAN PENERAPANNYA
OPA, NPM DAN NPS DALAM BINGKAI TEORI DAN PENERAPANNYA (Materi Kuliah Teori Administrasi Publik, Dr. Sutomo, M.Si)
Denhardt dan Denhardt dalam karyanya The New Public Service : Serving, Not Steering (2003) menyatakan bahwa dalam perjalanan p erjalanan administrasi publik sebagai disiplin ilmu dan seni (pengalaman pelaksanaan lapangannya) sedang bergelut dengan tiga pendekatan besar (mainstream), yaitu : old public administration, the new public management, dan new public service. Istilah bergelut itu sendiri menunjukkan bahwa ketiga pendekatan tersebut diadopsi untuk pelaksanaan administrasi negara di suatu Negara (termasuk (termasuk Indonesia), sehingga yang perlu untuk dikritisi adalah konteks lingkungan untuk penerapan pendekatan itu sendiri. Konteks lingkungan yang patut untuk dicermati adalah kondisi lingkungan social, budaya, ekonomi, politik, keamanan dan keadaan geografis wilayah dari suatu Negara. Ini berarti bahwa konteks lingkungan suatu Negara adalah dinamis sebagai hasil pembangunan yang dilaksanakan oleh Negara yang bersangkutan. Denhardt dan Denhardt (2003:11) menggambarkan sembilan unsur tentang pandangan pokok dari Old Publik Administrasi, yaitu : 1. The focus of government is on the direct of services through existing or through newly authorized agencies of government. Focus dari pekerjaan pemerintah adalah pada memberikan pelayanan secara langsung melalui agennya baik yang lama ataupun yang baru yang diberi kewenangan untuk melaksanakan jenis pelayanan yang telah ditentukan. 2. Public policy and administration is concerned with designing and implementing policies focused on singgle, politically defined objective. Administrasi dan kebijakan public berperhatian dengan perancangan dan implementasi kebijakan yang berpusat ke arah tungal, yaitu sasaran yang telah didefinisikan didefinisikan secara politik. 3. Public administrators play a limited limited role in policy making and government; rather they are charged with the implementation of public policies. Ajang gerak dari administrator publik dibatasi untuk berperan dalam pembuatan kebijakan ; mereka berurusan dengan implementasi kebijakan public.
4. The delivery of services should be carried out by administrators accountable to elected officials and given limited discretion in their work. Administrator dalam menyampaikan pelayanan harus melaksanakan pertanggungjawabannya kepada pejabat – pejabat yang dipilih dan diberi deskresi yang terbatas dalam pekerjaannya.
untuk itu mereka
5. Administrators are responsible to demokratically elected political leaders. Administrator bertanggungjawab pada pemimpin-pemimpin politik yang dipilih secara demokratik 6. Public programs are best administered through hirarchical organizations, with managers largely exerting control from the top of organization. Program-program public diadministrasikan secara baik melalui hirararkhi organisasi, dengan manajer-manajer yang diberi kewenangan pelaksanaan tetapi dalam kendali top organisasi. 7. The primary values of public organizations are efficiency and rationality. Nilai-nilai penting dari organisasi public adalah rasionalitas & efisiensi. 8. Public organization operate most efficeintly as closed systems; thus citizen involvement is limited. Organisasi public beroperasi harus secara efisien sebagai system yang tertutup, kemudian keterlibatan warga Negara dibatasi. 9. The role of the public administrator is largely defined as planning, organizing, staffing, directing, coordinating, reporting, and budgeting. Peran dari administrator public secara luas adalah dalam ruang lingkup POSDCOORB. Pemikiran-pemikiran yang berkembang dalam old public administration banyak dipengaruhi oleh gagasan Woodrow Wilson (simak Denhardt, 2003:5-8). Gagasan Woodrow Wilson dapat diketuhui dari hal-hal berikut : 1. Government should establish executive authorities, controlling essentially hierarchical organization and having as their goal achieving the most reliable and efficient operations possible.
2. Their tasks were (administrasi public) instead the implementation of policy and the provision of service, and in those tasks they were expected to act with neutrality and
profesional to execute faithfully the direction that came their way. Not to be actively or extensively involved in the development of policy.
3. They were to be watched carefully and held accountable to elected political leaders, so as not to deviate from established policy.
4. Wilson recoqnized a potential danger in the other direction as wel, the possible that politics, or more specifically, corrupt politicians migh negatively influence administrator in their pursuit of organizational efficiency.
Gagasan Wilson dpt disarikan dalam dua thema besar : 1. Gagasan bahwa pemisahan politik dan administrasi, dan ini sangat berpengaruh di Negara Barat hingga lebih 50 tahun lebih (gagasan Wilson pada tahun 1830). Politik harus berhubungan dengan kebijakan atau berbagai masalah yang berhubungan dengan tujuan Negara. Administrasi Negara sebagai badan ekskutif melaksanakan kebijaksanaan itu secara apolotis dan tidak memihak. Ketika kebijakan telah ditetapkan disitulah administrasi Negara baru bekerja. Administrator Publik harus melaksanakan accountability kepada pejabat politik yang telah terpilih (administrators were held to be accountable to their political masters – and only trought them to the citizenry). 2. Publik administrator harus mencari efisiensi sebesar mungkin dalam operasi-operasinya dan juga mencapai efisiensi yang terbaik dalam mencapai tujuannya melalui penyatuan keseragaman dan itu harus terjadi dalam struktur hirarkikal dari manajemen admnistratatifnya yang teratur dan mantap (juklak dan juknis). Hal tersebut didukung dengan berkembangnya pandangan Frederick W. Taylor dan Lyndall Urwick & Luther Gulick. Taylor The Principles of Sceintific Management berpendapat bahwa pekerjaaan manusia lebih dapat mencapai effisiensi terbesar jika didasari pada time and motion studies. Sedangkan Urwick & Gullick dengan organization as a Technical Problem yang memperkenalkan prinsip-prinsip administrasinya dengan akronim POSDCOORB, yang dengan tegas menyatakan bahwa POSDCOORB deapat diterapkan dalam semua kondisi dan bebas ruang dan waktu. Artinya prinsip tersebut dapat dilaksanakan di semua level administrasi dan semua keadaan terlepas apakah itu di Negara sedang berkembang atau Negara maju, jika tujuannya adalah untuk mendapatkan sasaran-sasaran dan tujuan-tujuan administrasi seefisien dan seefektif mungkin.
Pandangan Lain (kritik) untuk Old Public Administation saat diapilikasikan
1.
2.
3. 4. 5.
Marshall Dimock “that mechanically efficiency is “coldly calculating and inhuman, where, successful administration is warm and vibrant (semangat yang menggelora ketika memberi pelayanan). It is human” Baik administrator public maupun pemimpin politik perhatiannya yang terpenting dan mulya adalah pada isu-isu justice, liberty, freedom and equality. Oleh karenanya, isu tsb lebih berat dan lebih sulit dari pada effisien. Effisensi organisasi mungkin lebih mudah terjadi jika ada keterlibatan warga Negara dalam kerja pemerintahan. Effisiensi saja tidak cukup tetapi juga responsiveness to concern of citizents. Effisiensi menghendaki adanya mekhanisme rasional dalam organisasi. Sedangkan sebelum pejabat memutuskan sesuatu memerlukan informasi yang lengkap (komprehensif), benarkah ini sudah terpenuhi. Dan benarkah bahwa keputusan itu sudah mengakomodasi kepentingan organisasi dan kepentingan partisipan.
Denhardt dan Denhardt (2003) menyitir dari Donald Kettl tentang global public management reform ketika menyampaikan arus utama yang dipandang mengilhami adanya praktek New Public Management. Donald Kettl menyampaikan enam isu dalam reform managemen public global, yaitu : How can government find ways to squeeze more service from the same or a smaller revenue base ? Bagaimana pemerintah menemukan cara-cara untuk menekankan pelayanan dengan dasar penerimaan pendapatan meskipun kecil. How can government use market style incentive to root out the pathologi of bureaucracy ; how can traditional bureaucracy command and control mechanism be replaced with market strategies that will change the bahavior of program manager ?. How can government use market mechanisms to give citizents (now often called customers) greater choices among services – or at least encourage greater attention to serving customers better ? How can government make programs responsive ? how can government decentralize responsibility to give front-line managers greaters incenteives to serve How can governmet improve its capacity to devise and track policy ? how can government separate its role as purchace of service (a contractor) from its role in actually delivering service ? How can government on out put and out comes instead of processes or structures ? how can the y replace top down, rule-driven systems with buttom-up, result-driven systems Ada dua karya tulis yang dinilai penting dalam paradigma NPM, yaitu : (1) Reinventing Government, karya David Osborn dan Ted Gaebler (1991) dan (2) Banishing Bureaucracy, karya David Osborn & Peter Plastik (1997).
Reinventing Government, dapat diringkas dalam sepuluh kontatasi (pernyataan ilmiah) yang dijadikan prinsip dalam menjalankan administrasi Negara :
1. Steering rather than rowing, pemerintah berperan sebagai katalisator, yang tidak perlu melaksanakan sendiri pembangunan tapi cukup mengendalikan sumber yang ada di masyarakat. Peran pemerintah adalah mengoptimalkan penggunaan dana dan daya sesuai kepentingan public.
2. Empower community to solve their own problem, rather than merely deliver service. Pemerintah berperan memberdayakan masyarakat dalam pemberian pelayanan sehingga yang perlu dilakukan adalah mendorong masyarakat untuk dapat memecahkan masalahnya sendiri. Kemampuan tersebut dapat tercemin dari peran NGO dan badan semi pemerintah (Koperasi) untuk dapat memecahkan masalahnya dengan kemampuannya, misalnya : kebersihan lingkungan, kebutuhan sekolah, kesehatan pemukiman dsb.
3. Promote and encourage competition rather than monopolies. Dengan adanya persaingan maka sector usaha swasta dan pemerintah bersaing, dan dipaksa bekerja secara lebih professional dan efisien.
4. Be driven mission rather than rules. Pemerintah harus melakukan aktivitas yang menekankan kepada pencapaian apa yang merupakan missinya daripada menekankan peraturan-peraturan. Oleh karenanya kelonggaran untuk menghasilkan sesuatu menjadi keperluan.
5. Result oriented by funding outcomes rather than outputs. Orientasi pada kinerja yang baik (berarti kinerja eksternal) bukan semata-mata output yang dipersepsi internal.
6. Meet the need of the customer rather those of the bureaucracy. Mengutamakan p emenuhan kebutuhan konsumen (masyarakat sebagai penguna), bukan memenuhi kebutuhan birokrasi.
7. Concentrate on earning money rather than just spending it. Pemerintah harus mememiliki aparatur yang tahu cara yang tepat untuk menghasilkan suatu penerimaan bagi organisasi dan berkemampuan menghemat anggaran, daripada menghabiskan anggaran.
8. Invest in preventing problem rather than curing crises. Pemerintah yang antisipatif, lebih baik mencegah drpd menanggulangi. Lebih baik mencegah penyakit drpad mengobati. Dengan demikian akan terjadi mental switch dalam aparat pemerintah. 9. Desentralize authority rather than build hierarchi. Diperlukan desentralisasi dalam system pemerintahan sehingga mampu menggalang partisipasi dan pengembangan tim kerja. Mendorong organisasi bawahan akan leluasa untuk berkreasi dan mengambil inisiatif yang diperlukan.
10. Solve problem by influencing market force rather than by treating public programs. Pemerintah harus memperhatikan kekuatan pasar. Pasokan didasarkan kepada kebutuhan atau permintaan pasar dan bukan sebaliknya (subsidi). Untuk itu kebijakan harus berdasarkan kebutuhan pasar.
Banishing Bureaucracy, dapat diketahui dari pendapat intinya yang berisi lima strategi untuk melaksanakan reinventing government : 1. The core strategy (strategi inti). Menata kembali keorganisasian secara jelas mengenai tujuan, peran, dan arah organisasi.
2. Consequency strategi. Strategi yang mendoerong “persaingan sehat” guna meningkatkan motivasi dan kinerja pegawai, melalui reward and puninshment dengan memperhitungkan resiko ekonomi dan pemberian penghargaan.
3. Consumer strategy. Memusatkan perhatian untuk bertanggungjawab terhadap pelanggan. Organisasi harus menang dalam persaingan dan memberikan kepatian mutu bagi pelanggan. ` 4. Control strategy. Merubah lokasi bentuk kendali dalam organisasi. Kendali dialihkan kepada lapisan organisasi paling bawah yaitu pelaksana atau masyarakat, Kendali organisasi dibentuk berdasarkan visi dan misi yang telah ditentukan. Dengan demikian terjadi proses pemberdayaan organisasi, pegawai dan masyarakat.
5. Cultural strategy. Merubah budaya kerja organisasi yang terdiri dari unsur-unsur kebiasaan, emosi dan psikologi, sehingga pandangan masyarakat terhadap budaya organisasi puiblik ini berubah (tidak lagi memandang rendah masyarakat yang seharusnya dilayani).
Ferlie, Ashburner, Fitgerald dan Pettigrew (1997), The new puiblik management in Action, Oxford : Oxford University Press. NPM pada dasarnya sebagai pendekatan dalam administrasi public yang mampu menerapkan pengetahuan dan pengalaman yang diperoleh dari dunia manajemen bisnis dan disiplin lain untuk memperbaiki efektivitas, effisiensi, dan kinerja pelayanan public pada birokrasi modern. Sehingga dalam aksinya dapat berpedoman orientasi pada : 1. The efficience drive. Mengutamakan nilai efisiensi dalam pengukuran kinerja. 2. Downsizing and decentralization. Mengutamakan penyederhanaan struktur memperkaya fungsi dan mendelegasikan otoritas kepada unit yang lebih kecil agr berfungsi cepat dan tepat. 3. In search of excellence, mengutamakan kinerja optimal dengan memanfaatkan IPTEKS. 4. Public service orientation, menekankan pada kualitas, misi dan nilai yang hendak dicapai organisasi public, memberikan perhatian yang lebih besar kepada aspirasi, kebutuhan dan partisipasi user dan warga masyarakat, member otoritas lebih tinggi kepada pejabat yang dipilih masyarakat, termasuk wakil mereka, menekankan societal learning dalam pemberian pelayanan public, dan menekankan pada evaluasi kinerja secara berkesinambungan, partisipasi dan akuntabilitas.
Sedangkan Hood Vigoda (2003) mengutarakan tujuh (7) komponen doktrin dalam New Public Managemen, yaitu : 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7.
Pemahaman manajemen professional dalam sector public, Penggunaan indicator kinerja, Penekanan yang lebih besar pada control keluaran, Pergeseran perhatian ke unit yang lebih kecil, Pergeseran ke kompetisi yang lebih tinggi, Penekanan gaya swasta pada praktek manajemen, Penekanan disiplin dan penghematan yang lebih tingi dalam penggunaan sumberdaya.
Reinventing government merupakan deskripsi pemerintahan yang ideal yang dapat diadopsi oleh Negara untuk praktek administrasi Negara, sedangkan Banishing Bureaucracy merupakan langkah-langkah konkrit untuk memperbaiki birokrasi yang mampu mendorong transformasi birokrasi untuk mampu melaksanakan entrepenueurship yang menghasilkan jiwa dan kinerja yang lebih optimal. Gagasan-gagasan Ferlie dkk serta Vigoda, pada dasarnya lebih menekankan bagaimana melaksanakan banishing bureaucracy lebih cepat dapat dilaksanakan, karena gagasangagasan tersebut lebih menekankan pada tataran operasional, apa yang sepatutnya untuk dilaksanakan oleh administrasi Negara untuk memperbaiki birokrasi dan kinerjanya.
Jika dicermati maka kata kunci dari NPM adalah adanya merubah mental, struktur birokrasi untuk mendapatkan produktivitas yang mempu mengkatrol kinerja birokrasi yang dilandasi entrepenuership. Apa entrepenuership itu ? Osborn dan Gablier mengutip pendapat J. B. Say bahwa entrepenuership adalah semangat yang berupaya untuk mengubah sumber-sumber ekonomi keluar dari tingkat produktivitas yang rendah kea rah tingkat produktivitas yang lebih tinggi dan yang menhasilkan lebih besar. Thoha (2008:77 ) mewirausahakan birokrasi pemerintah bukan berarti setiap pejabat atau petugas diharuskan berdagang atau berusaha seperti pengusaha. Atau mengajari para pejabat pemerintah untuk beruasaha seperti para pengusaha. Melainkan adanya upaya para pejabat disertai semua komponen instansi puplik itu senantiasa BEKERJA KERAS UNTUK MEINGKATKAN AGAR SUPAYA SUMBER SUMBER YANG BERPOTENSI EKONOMI YANG DIJUMPAI OLEH INSTANSI PEMERINTAHN DARI YANG TIDAK PRODUKTIF BISA PRODUKTIF, DARI YANG PRODUKSINYA RENDAH DITINGKATKAN KE PRODUKSI YANG LEBIH TINGI. Oleh karenanya prinsip reinventing government itu adalah mentransformasikan kinerja dalam dunia usaha ke kinerja organisasi pemerintah.
Frederickson (1997) secara tegas menyatakan bahwa pelayanan publik yang diberikan oleh pemerintah atau administrasi publik sepatutnya diorientasikan kepada warga negara (citizents), warga negara dipandang tidak sekedar konsumen atau pelanggan (customers). Pandangan warga negara sebagai pelanggan adalah konsisten dengan interpretasi ekonomi pada kehidupan politik. Denhardt dan Denhardt (2003:57) that government ultimately reflects the accumulated selfinterests of largely disconnected and utility maximizing individuals. Pandangan memperlakukan warganegara sebagai costumers, maka tugas pemerintah adalah memuaskan pelanggan, kalimat tersebut merupakan gagasan utama dalam paradigma The New Public Management . Dalam pandangan The New Public Service gagasan warga negara sebagai pelanggan sering juga menimbulkan konflik dalam tataran praktek dan akademik, misalnya kebijakan luar negeri dan perlindungan lingkungan, maka tidak bisa dihubungkan dengan individuals costumers, tetapi semua individu-individu dalam masyarakat menerima pelayanan tersebut, tidak menjadi penting apakah mereka menginnginkan atau tidak. Dalam kasus lain, pemerintah berkewajiban untuk melayani pendidikan wajib belajar maka tidak bisa dikatakan bahwa anak yang berumur 7 hingga 15 tahun (usia belajar SD hingga SMTP) dikatakan menjadi pelanggan dari institusi pendidikan negeri, lebih tepatnya adalah kewajiban pemerintah (obligation). Meskipun dalam pelaksanaannya pemerintah diwajibkan juga membuat pedoman pelayanan minimalnya. Tetapi The New Public Service juga mengakui adanya kelebihan pandangan dalam paradigma New Public Management , terutama perhatian pada kinerja individu, kinerja organisasi, inovatif, akuntabilitas dan kreatif dalam mencari pemecahan masalah dalam upayanya meningkatkan kualitas pelayanan. Upaya tersebut nampak dari prinsip-prinsip reinventing government , dengan mengaplikasi semangat entreprenuership ke adalam organisasi publik, maka prinsip custumer driven government yang menempatkan masyarakat sebagai pelanggan yang harus dilayani dan dipuaskan. Thoha (2008:77) reinventing government itu pada hakekatnya adalah upaya untuk mentransformasikan jiwa dan kinerja wiraswasta (entrepreneurship) kedalam birokrasi pemerintah. Jiwa entrepreneurship itu menekankan pada upaya untuk meningkatkan sumber daya baik ekonomi, sosial, budaya, politik yang dipunyai oleh pemerintah dari yang tidak
produktif bisa produktif dari yang produktivitas rendah menjadi berproduktivitas tinggi. Denhardt dan Denhardt (2003:60) menegaskan bahwa : Perhaps the most important objection to the customers orientation has to do with accountability. In government, citizents are not only customers, they are owners. There is certainly no question but that government agencies should strive to offer the highest quality servis possible, within the constraints of low and accountability-and, indeed, many agencies are doing so. One of the most sophisticated efforts to improve service quality begins with a recoqnition of the differences between costumers and citizents.
1. 2. 3.
4. 5.
6.
7.
Sebelumnya Denhardt dan Denhadrt (2003:42-43) telah menegaskan garis-garis besar pemikiran The New Public Service sebagai berikut : Service citizents, not customers : the public interest is the result of a dialogue about shared values rather than the aggregation of individual self-interest. Seek the public intersest : public administrator contribute to building a collective, shared notion of the publik interest. Value citizenships over entrepeneuership : the public interest is better advanced by public servants and citizent comitted to making meaningful contributions to society than by entrepreneurship managers acting as if public money their own. Think strategically, act democratically : policies and programs meeting public need can be must effectively and responsibility achieved through collective efforts and collaborative processes. Recoqnize that accountability is not simple : public servant should be attentive to more than the market ; they should also attend to statutory and constitutional law, community values, political norms, professional standards, and citizen interest. Serve rather than steer : it is increasingly important for public servant to use shared, values based leadership in helping citizents articulate and meet their shared interest rather than attempting to control or steer society in new direction. Value people, not just productivity. Kepentingan publik sebagai cerminan kepentingan masyarakat adalah variatif dan dinamik sesuai dengan perkembangan masyarakat dan lingkungannya. Dalam koteks Indonesia yang dihadapkan pada dinamika globalisasi dan lingkungan ekonomi yang kompetitif maka pemerintah harus bertindak secara cepat sehingga mampu mengurangi dampak negatifnya. Persaingan global itu tidak hanya menjadi tantan gan industri besar, ternyata sekarang terbukti bahwa industri kecil juga terpengaruh dan harus menghadapinya, yang berdampak pula pada kualitas kesejahteraan hidup masyarakat. Dalam kaitan tersebut maka kualitas pelayanan publik yang berkaitan dengan industri merupakan domain dari kepentingan publik. Caiden (Thoha, 2005:47) disiplin administrasi publik ini pada hakekatnya merupak an suatu disiplin yang menanggapi masalah-masalah pelaksanaan persoalan-persoalan masyarakat (public affairs) dan manajemen dari usaha-usaha masyarakat ( public business). Administrasi publik dituntut untuk memberi jawabannya. Denhardt dan Denhardt (2003:73) menyatakan : The public interest based on shared values suggests a proses that goes beyond the interplay of special interest to include shared democratic and constitutional values. The public interest based on shared values “consensualist”. The public interest can also be expressed as those goals on which there is concensus and/or things that are good for a community as a community.
Berdasar pendapat Denhardt dan Caiden di atas maka administrator publik berkewajiban untuk berdialog bersama dengan masyarakat untuk dapat menyaring persoalan publik dan isu-isu publik yang menjadi domain kerjanya, merespon dan mengartikulasikannya hingga masuk ke kebijakan publik, karena warga negara percaya dan punya keyakinan dengan kapasitasnya. Dalam pandangan tersebut maka peran administrasi negara adalah responsiveness dan responsibility. Gary Wamsley (Denhardt, 2003:80) Instead, we should affirm a more “transcendent role” based on a commitment to the amelioration of societal problems and improving the qualit y of citizens’ lives. Dalam pandangan tersebut, maka peran administrasi publik adalah menyediakan pelayanan publik yang dikeluhkan oleh para stakeholders dalam memfasilitasi perkembangan industri yang ada, terutama yang ada di daerah dengan tetap berdasarkan prinsip-prinsip keadilan ( justice), partisipasi publik dan adanya kebebasan dalam mengeluarkan pendapat. 2.1.4.3 Konsep dan Dimensi Kualitas Pelayanan Publik Tantangan untuk mencapai pelayanan publik yang berkualitas merupakan domain administrasi publik yang kontemporer. Artinya, sejak berdirinya public administration yang dipelopori Woodrow Wilson (1887) dan Frank J. Goodnow (1900) masalah-masalah yang berkaitan dengan kegiatan-kegiatan suatu negara (the business of the state) dengan mengupayakan yang seefisien dan seefektif mungkin hingga kini masih relevan bahkan cenderung meningkat, terutana eksplorasi upaya-upayanya. Denhart dan Denhart (2003:60) menegaskan bahwa : There certainly no question but that government agencies should strive to offer the highest quality service possible, within the constrains of law and accountability-and, inded, many agencies are doing so. One the most sophisticated efforts to improve service quality begins with recoqnition of differeces between customers and citizent. Citizent are described as bearers a rights and duties within the context of wider community. Berdasar pendapat Denhart dan Denhart dapat dikatakan bahwa pemerintah sebagai penyedia pelayanan publik dengan kapasitasnya harus memperjuangkan kualitas pelayanan setinggi mungkin, dan organisasi publik sesegera mungkin melakukannya, tetapi juga mempertimbangkan batasan hukum dan akuntabilitas. Usaha untuk meningkatkan kualitas pelayanan dimulai dengan mengakui perbedaan pelanggan dan warga negara. Warga negara digambarkan sebagai pembawa hak dan kewajiban dalam kontek komunitas yang lebih luas. Pendapat Denhart tersebut secara jelas bahwa pelayanan publik berbeda dengan pelayanan yang disediakan oleh organisasi privat yang mempunyai keleluasaan dalam aktualisasi entrepenuership-nya bagi manajer, tetapi itu berarti tidak melarang untuk mempraktekkan semangat kewirausahaan dalam organisasi publik dan dalam menghargai pegawaipun tidak dapat dipersamakan dengan organisasi privat. Peters (1996:71) sependapat dengan Denhart bahwa fundamentally, this approach (participative) assummes that individuals are motivational in their organizational and political lives by solidary-participation-incentives rather than by material – pay and perquisites – incentives. Kualitas pelayanan publik dapat dipandang seb agai salah satu kinerja organisasi publik. Keban (2004:199) dalam konteks manajemen publik baru, penilian kinerja harus dilihat sebagai upaya yang berkesinamungan dalam rangka memperbaiki kinerja organisasi publik. Dasar penilaian kinerja tidak semata-mata pada proses yang ditempuh, perlakuan kepada bawahan atau kepada masyarakat dan bagaimana akuntabiltas berjalan di dalam organisasi, tetapi lebih luas lagi yaitu berkenaan dengan kualitas pelayanan, keterkaitan dengan misi dan visi atau nilai-nilai
yang diperjuangkan organisasi, kesesuaian apa yang dikerjakan organisasi publik dengan aspirasi dan kebutuhan masyarakat atau pengguna, dan sampai seberapa jauh suatu organisasi publik telah belajar memecahkan masalah dan memperbaiki situasi yang dihadapinya. Dengan demikian, tantangan bagi organisasi publik adalah menyusun program, mengarahkan perilaku pegawai, dan mengarahkan sumberdaya untuk menghasilkan kinerja organisasi yang sesuai dengan harapan-harapan masyarakat penggunanya. Tegasnya, harapan-harapan masyarakat terhadap organisasi publik merupakan sumber inspirasional dalam memanajemen organisasi publik sehingga kinerjanya dapat memenuhi kualifikasi pelayanan yang berkualitas. Jika masih terdapat keluhan-keluhan dari masyarakat terhadap pelayanan publik maka hal itu akan menjadi input yang diperlukan pada proses transformasi pada organisasi publik. Adiwisastra (2004:3) menegaskan bahwa fungsi pemerintah memberikan pelayanan publik tentu saja harus mempunyai kualitas. Kualitas pelayanan publik dalam pemerintahan demokratis yang berorientasi kepada publik adalah didasarkan pada harapan publik terhadap pelayanan itu, yang berarti kualitas yang baik bukan berdasarkan persepsi peyedia pelayanan melainkan berdasarkan sudut pandang atau persepsi pelanggan. Gaspersz (2004:27) identifikasi terhadap pelanggan/stakeholders berkaitan dengan mereka yang secara langsung maupun tidak langsung menggunakan jasa-jasa pelayanan publik atau mereka yang secara lansung maupun tidak langsung terkena dampak dari kebijakan-kebijakan organisasi publik. Stakeholder merupakan setiap orang atau kelompok yang berkepentingan dengan tingkat kinerja atau kesesuaian dari suatu organisasi publik, program atau subsprogramn ya. Mereka mungkin saja menjadi penasehat atau pemberi rekomendasi terhadap organisasi publik, karena mempunyai kepentingan dengan tingkat kinerja atau kesesuaian dari organisasi publik. Advardsson (Scheiung dan Christopher, 1993:333) mengartikan ku alitas pelayanan sebagai berikut : Quality can be defined as the totality of features and characteristics of product or service that bear on its ability to satisfy stated or implied need. Service as the result generated by activities at the interface between the supplier and the customer, and by supplier internal activities, to meet custumer needs. A common definition of service quality is that the service should correspond to the customer’s expectations and fulfill his or her needs and requirement . Dengan berdasar pendapat Advardsson di atas, maka kualitas pelayanan dapat didefinisikan sebagai pelayanan yang sebaiknya menyamai harapan-harapan pelanggan dan memenuhi kebutuhan-kebutuhan dan yang dipersyaratkan. Jika organisasi publik yang berkehendak memberi pelayanan yang berkualitas, maka seoptimal mungkin dituntut untuk dapat memenuhi keseluruhan segi dan karakteristik dari produk atau pelayanan yang menunjang pada kemampuannya untuk memuaskan kebutuhan yang telah dinyatakan secara tegas dan dinyatakan. Implikasinya adalah sistem transformasi internal dan ketrampilan pegawai diarahkan untuk memenuhi totalitas karakteristik yang telah dinyatakan. Russell & Taylor (2000:78) mendefinisikan kualitas sebagai kemampuan produk atau jasa memenuhi kebutuhan pelanggan. Dikatakan pula kualitas sebagai totalitas tampilan dan karakteristik produk atau jasa yang berusaha keras dengan segenap kemampuannya memuaskan kebutuhan tertentu. Kualitas pelayanan dapat dilihat dari dua sudut, yaitu produsen dan pelanggan atau pasar. Jika tinjauan dari sudut pandang pasar maka penilaian kualitas diserahkan kepada pengguna, yakni sejauhmana desain pelayanan yang dilaksanakan oleh organisasi berkemampuan memenuhi kebutuhan pelanggan (quality of design). Pelanggan melihat kualitas dari karakteristik yang seharusnya ia terima sehingga mencakup value (nilai), fitness for use
(cocok untuk digunakan), support (dukungan), dan psychological impressions (kesan psikologis), yang kesemuanya dipersepsi secara dinamik. Makna kualitas dari pelanggan diperoleh dari hasil perbandingan antara harapan tentang pelayanan (expected service) dan penilaian atas kenyataan pelayanan yang diterima ( perceved service). Sedangkan dari sudut produsen atau penyedia produk atau jasa, maka kualitas dilihat dari pemenuhan spesifikasi atau atribut-atribut yang telah dipersyaratkan dan dinyatakan, termasuk ketentuan biaya-biaya yang menjadi tanggungjawab pengguna. Pembinaan manajemen dan penggunaan sumber daya organisasi diarahkan untuk memenuhi persyaratan yang telah dinyatakan, pemenuhan tersebut dengan tujuan untuk memenuhi harapan pengguna sehingga didapatkan kepuasan. Kebutuhan yang dipersyaratkan dapat berwujud produk itu sendiri maupun proses interaksi antara warga negara den gan aparatur birokrasi pemerintah (penyampaiannya), seperti kesigapan dalam menerima permohonan, kesopanan, komitmen terhadap janji penyelesaian, dan sebagainya. Akibatnya adalah organisasi tidak hanya berfokus pada aspek transformasi saja tapi juga memperbaiki kualitas karyawan secara keseluhan, yakni pegawai yang bersentuhan langsung dengan penyampaian la yanan. Pandangan Russell dan Taylor disederhanakan dalam gambar sebagai berikut : Gambar 2.4 : Makna Kualitas versi Russell & Taylor
Sumber : Russell, Roberta S, dan Bernard W. Taylor, 2000, Operations Management . p.82. New Jersey : Printice-Hall Inc, Adanya perspektif pengguna dan perspektif produsen atau penyedia pelayanan dalam kualitas pelayanan seharusnya tidak dipandang dalam ruang pemikaran yang diametrikal, yakni pemikiran yang memisahkan kedua perspektif secara terpisah, karena dalam pencapaian kualitas pelayanan tidak lepas dengan perspektif sistem. Artinya kualitas pelayanan dari organisasi publik merupakan hasil interaksi timbal-balik dari suatu pertukaran sumberdaya antara lingkungan sebagai pengguna dan organisasi publik sebagai produsen. Tingkat kepuasan yang dirasakan oleh masyarakat atas pelayanan publik akan menjadi masukan bagi organisasi publik untuk memperbaiki kinerja dirinya, dan sebaliknya apa yang dipersyaratkan oleh organisasi publik akan menjadi pertimbangan bagi masyarakat atau badan usaha untuk meningkatkan kinerjanya juga. Secara normatif, pemerintah Republik Indonesia telah berusaha untuk mendorong adanya pelayanan publik yang berkulitas dengan tindakan memberi standar pelayanan sebagai jaminan adanya kepastian bagi penerima pelayanan. Standar pelayanan merupakan ukuran yang diarahkan untuk pembakuan dalam penyelenggaraan pelayanan publik yang wajib ditaati oleh pengguna, organisasi publik. Hal tersebut dapat dilihat dari adanya Instruksi Presiden nomor 1 tahun 1995 tentang Peningkatan Mutu Pelayanan Aparatur Pemerintah Kepada Masyarakat, dan ditindaklanjuti dengan Keputusan Menteri Pendayagunaan Aparartur Negara nomor 81 tahun 1995, yang menegaskan bahwa pelayanan yang berkualitas hendaknya sesuai dengan sendi-sendi kesederhanaan, kejelasan dan kepastian, keamanan, keterbukaan, efisiensi, keadilan yang merata, dan ketepatan waktu. Departemen Dalam Negeri telah mengeluarkan kebijakan dalam bentuk Surat Edaran Menteri dalam Negeri nomor 100/75 7/OTDA/2002 tentang standar pelayanan minimal (SPM), yang harus dipenuhi oleh Pemerintah Kabupaten/Kota dalam penyediaan pelyanan publik. SPM dalam pelayanan dasar sangat diperlukan bagi pemerintah daerah maupun masyarakat sebagai penerima layanan. Bagi pemerintah daerah dapat digunakan sebagai tolak ukur dalam menentukan spesifikasi karakteristik pelayanan yang diperlukan, sedangkan bagi masyarakat dapat digunakan sebagai ukuran kuantitas maupun kualitas pelayanan publik yang disediakan oleh pemerintah daerah. Dengan demikian tujuan dari SPM adalah untuk menjamin kualitas minimal dari suatu pelayanan publik yang diberikan pemerintah kepada masyarakat. Untuk mengkaji kualitas pelayanan yang diberikan organisasi selayaknya mempertimbangkan A Conceptual Model of Service Quality dari A. Parasuraman, L.L. Berry dan V.A Zeithaml (1985), model tersebut dapat digunakan untuk mengidentifikasi titik-titik kesenjangan pelayanan dari suatu organisasi, kemudian melakukan tindakan perbaikan dalam upaya memberikan pelayanan yang berkualitas. Adapun model dari Parasuraman, et al digambarkan sebagai berikut :
Gambar 2.5 : A Conceptual Model of Service Quality A versi Parasuraman , et al
Sumber : Ibrahim, Amin, 2007, Teori dan Konsep Pelayanan Publik Serta Implementasinya. Bandung : Mandar Madju. Ibrahim (2008:23) menjelaskan lima kesejangan dalam Gambar 2.4. sebagai berikut : 1) Kesenjangan pertama, dapat terjadi karena kurang dilakukann ya survei/penelitian akan kebutuhan pasar/masyarakat, atau kerena kurang dimanfaatkannya hasil penelitian yang dilakukan serta kurang terjadinya interaksi antara penyedia pelayanan dengan masyarakat. 2) Kesenjangan kedua, dapat terjadi kerena kurangnya komitmen menajemen/pihak pemerintahan dalam upaya mewujudkan kualitas pelayanan, kurang tepatnya persepsi terhadap kualitas pelayanan yang diinginkan pelanggan/masyarakat. 3) Kesenjangan ketiga, terjadi karena konflik peran dari para penyelenggara pelayanan, apakah mengutamakan kepuasan pimpinan atau masyarakat luas, personil yang tidak kompeten, bahkan lambatnya penguasaan teknologi atau tidak sesuai dengan tuntutan pelayanan, tidak tegasnya penerapan reward and punishment system atau bahkan tidak ada. 4) Kesenjangan keempat, terjadi karena miskinnya komunikasi horizontal sesama personil pelayanan, sehingga pelayanan berjalan tersendat-sendat. 5) Kesenjangan kelima, terjadi karena kesenjangan antara harapan dan kenyataan pelayanan yang diterima, yang merupakan akumulasi kinerja organisasi pelayanan. Parasuraman dalam Olsen, et al (1996: 11) mengemukakan bahwa kesenjangan kelima adalah yang harus diperhatikan karena kesenjangan diantara kualitas pelayanan yang diberikan terhadap ekspektasi terhadap kualitas pelayanan, yang merupakan jawaban dari definisi kualitas pelayanan itu sendiri. Hal ini juga didasari oleh pernyataan bahwa (1) kualitas selalu diukur
1. 2. 3. 4. 5.
berlawanan dengan ekspektasi, (2) proses pelayanan selalu melibatkan pelanggan sebagai pemain kunci, dan (3) pelayanan prima hanya akan muncul pada saat pelanggan juga menyatakan prima. Parasuraman, et al (Fitzsimmons, 2006:129) mengidentifikasi adanya 5 dimensi yang digunakan oleh pelanggan untuk menilai kualitas pelayanan, yaitu : Reliability. The ability to perform the promised service both dependably and accurately. Responsiveness. The willingness to help customers and to provide prompt service. Assurance. The knowledge and courtesy of employees as well as their ability to convey trust and confidence. Empathy. The provision of caring, individualized attention to customers. Tangibles. The appearance of physical facilites, equipment, personel, and communication materials.
Pengungkapan atribut-atribut dalam kualitas pelayanan yang diungkapkan Parasuraman,et al , kurang tepat untuk diterapkan dalam pelayanan perijinan yang disediakan oleh organisasi publik, karena dimensi-dimensi tersebut lebih sesuai untuk interaksi produsen dengan pelanggan yang mempunyai titik temu kepentingan yang bersifat ekonomis dan kurang memperhatikan hampiran hukum dan politik. Harmon dan Mayer (1986:37) menyatakan bahwa : The norms or values that operate in the sphere of public administration can be grouped into three general areas, or normative vectors : 1) Concerns about efficiency and effectiveness, which focus primarily on the workings of governmen t itself and the way its goods and services are distributed and delivery; 2) Concern about rights and the adequate of governmental process, which direct scrutiny toward government’s (and those acting in its name) relationship with its citizents; and 3) Concern about representation and the exercise of discretion, which aims attention at the control that the citizenry has over the workings of its government and its agents. These qualities are are determined by the pe culiar combination of politics, culture, and economics conditions in the society at particular historical time. Organisasi publik dalam beroperasi meyediakan dan memberikan pelayanan harus mempertimbangkan nilai-nilai atau norma-norma sebagai garis arah normatif, yakni perhatian pada efesien dalam bekerja dan efektif dalam mendistribusikan dan menyampaikan barang dan pelayanan, menghargai hak penduduk dan kememadaian proses-proses pemerintahan yang diteliti secara seksama yang ditujukan terhadap hubungan pemerintah dengan warga negaranya, menghargai pelaksanaan diskresi dan representasi. Sehingga kualitas pelayanan publik ditentukan oleh kombinasi yang khas dari politik, budaya, dan kondisi ekonomi dalam kehidupan masyarakatnya. Dalam kaitan pelayanan yang diberikan oleh organisasi publik, Ndraha (1997:63) mengemukakan bahwa : Jasa layanan atau layanan civil dipandang sebagai suatu deviden yang wajib didistribusikan kepaada rakyat oleh pemerintah dengan semakin baik, semakin mudah diperoleh dan semakmin adil. Tekanan pada aspek-aspek kecepatan, ketepatan, kemudahan, dan keadilan dalam layanan publik (civil) tersebut berkaitan dengan sifat monopoli dari layanan (civil) dimana masyarakat tidak memiliki pilihan untuk mengharapkan layanan yang sama pada institusi lain diluar pemerintah. Sedangkan dalam kaitan untuk menentukan kinerja kualitas pelayanan publik yang diberikan oleh organisasi publik, Frederickson (1997:234) menyatakan :
Public administration’s commitment, in theory and practice, to standart of equity and fairness is as important as its commitment to efficiency, economy, and effectiveness. Following standarts of equality and fairness can bind the citizent together in our own time and also bind us to future generations. … managing public organizations and institution so as to enhance the prospects for change and responsiveness. Equity (keadilan) dan fairness (kewajaran) secara sekilas nampak berbeda, tetapi jika ditelusuri lebih dalam diketahui bahwa kewajaran merupakan semangat moral dari aparatur publik untuk memperlakukan secara sama terhadap warga negara ketika memenuhi suatu kepentingannya. Fairness is taken here to a mean a more equal distribution of opportunities, cost, and benefits in social and political domain. Fredeirickson (1997:144) telah menegaskan bahwa, “ let us reiterate that equity as word is used here includes conceptual of fairness, justice, and equality. In the compound theory of social equity, the terms fairness, justice, and equality are used interchangeably”. Dengan demikian, dimensi-dimensi kualitas pelayanan dari organisasi publik yang dikemukakan oleh Frederickson adalah efisiensi, ekonomi, efektif, adil, dan responsif. Penelitian ini dalam upaya untuk mengetahui dimensi-dimensi kualitas pelayanan perijinan izin usaha lebih mendasarkan pada pendapat Frederickson di atas, maka untuk dapat mengetahui kualitas pelayanan publik yang diberikan oleh administrasi publik atau organisasi publik dapat dilihat dari efisien, ekonomi, efektif, adil, dan responsivitas (daya tanggap). Efisien adalah aktivitas pelayanan yang diberikan dengan melakukan pencarian perbandingan yang terbaik antara in put yang dikeluarkan dengan out put (hasil) pelayanan. Fredireckson (1997:58) Efficency - to achieve as much public good as possible for the avaiable dollars - is a compelling rationale for administrative practices. Efisiensi adalah bagaimana kita dapat menyediakan pelayanan yang lebih banyak atau lebih baik dengan sumber-sumber da ya yang tersedia. Epstein (1988:11) efficiency refers to the ratio of the quantity of service provide to the costs, in dollars or labor, required to produce the service. Kedua pendapat tersebut pada dasarnya mempunyai maksud yang sama bahwa efisiensi merupakan hasil perbandingan antara output dengan input yang terbaik. Suatu kegiatan atau program dari suatu organisasi dikatakan efisien apabila mampu menghasilkan output tertentu dengan input serendah-rendah nya, atau dengan input tertentu mampu menghasilkan output sebesa-besarnya. Jika pegawai berusaha dengan mengupayakann rasio perbandingan dalam mempergunakan sumber daya organisasi (waktu, bahan, peralatan, tenaga dan pikiran) untuk menghasilkan jenis pelayanan yang lebih besar dan lebih baik maka akan diperoleh efisiensi. Dimensi ekonomi dalam kaitan pelayanan terkait dengan pengelolaan primer sumber daya keuangan (uang/kas) menjadi input sekunder berupa tenaga kerja, bahan, dan infrastruktur yang dipergunakan untuk kegiatan operasi organisasi. Frederickson (1997:58) economy – to accomplish a public goals for the fewest possible tax dollars – is an equally beguilling objective. Dimensi ekonomi diluar sumber daya manusia dapat dilihat dari upaya pegawai atau organisasi untuk memperoleh bahan yang lebih baik dan lebih banyak dengan anggaran yang tersedia. Mahmudi (2005:90) dimensi ekonomi dalam kaitan tenaga kerja memiliki pengertian bahwa organisasi hendaknya memperoleh staf yang memiliki kompetensi, ketrampilan, dan motivasi tinggi sesuai dengan harapan yang tidak dikaitkan dengan gajinya. Dengan demikian, dimensi ekonomi dalam konsep kualitas pelayanan dapat dilihat dari kemampuan organisasi untuk mendapatkan bahan yang berkualitas dengan anggaran yang tersedia dan mendapatkan dan mempe rtahan pegawai yang berkompeten.
Etzioni (1985:120 efektivitas organisasi diukur dari tingkat sejauhmana ia berhasil mencapai tujuannya. Sedangkan Perry (1989:621) Effective performance of the job is the attainment of specific result required by the job through specific actions while maintaining or being consistent with policies, procedures, and conditions of the organizational environment. Kandungan makna efektif dalam pekerjaan pelayanan publik adalah pencapaian hasil spesifik yang sesuai dengan yang dipersyaratkan oleh jabatannya melalui tindakan spesifik yang mempertimbangkan atau konsisten dengan kebijakan, prosedur, dan kondisi lingkungan organisasi. Dengan demikian, aparat organisasi publik dalam memberi pelayanan selayaknya memahami kebutuhan dan keinginan masyarakat/pemohon dengan memanfaatkan kebijakan, prosedur dan disesuaikan dengan kondisinya. Efektitivitas dapat dilihat dari upaya aparatur untuk pemenuhan janji yang telah dinyatakan, ketepatan penyelesaian permohonan berdasar mekanisme dan aturan organisasi, keterjangkaun program dalam memenuhi sasaran. Responsivitas adalah kemampuan organisasi pemerintah dan anggotanya untuk mengenali aspirasi dan kebutuhan masyarakat. Jika organisasi tersebut berfungsi untuk melayani masyarakat, maka responsivisitas merujuk pada kecepatan aparatur organisasi publik dalam menanggapi dan menyelesaikan masalah yang dihadapi oleh pengguna atau warga negara. Ulrich, Quinn, dan Cameron (Perry, 1989:148-161) menyatakan : Pressures for responsiviness derive from public agencies’ being in “glass house” where their services are continually reviewed and assessed by citizens. Both efficiency (to reduce the cost of delivery service) and responsiveness (to asses which service are most critical to the public and deliver them in a first-class manner) must compose the mindset that administrators instill in employees. Dengan demikian, responsivitas adalah kemauan organisasi publik dan aparaturnya untuk membuat program dan bertindak dalam menanggapi h arapan, keinginan, dan aspirasi serta tuntutan penguna layanan/pemohon untuk menjaga dan meningkatkan mutu pelayanan, dan proses-proses tersebut bersedia untuk dipandang dan dinilai kembali oleh warga negara. Responsivitas dapat dilihat dari kecepatan pegawai dalam menanggapi kesulitan atau permasalahan yang dihadapi pemohon perijinan, kesediaan aparatur untuk memberi alternatif dalam penyelesaian permasalahan pemohon dengan dasar aturan dan etika, kemudahan pemohon untuk mendapatkan informasi yang dibutuhkan, kesigapan aparatur dalam memberi koreksi/pembetulan atas pelayanan yang disebabkan adanya kekhilafan atau kesalahan, kesediaan menerima kritik dari pemohon perijinan. Adil adalah cakupan atau jangkauan kegiatan dan pelayanan yang diberikan oleh organisasi pemerintah yang diusahakan seluas mungkin dengan distribusi yang merata dan perlakuan yang secara sama. Fredireckson (2003:60) mengajukan pengertian adil dari Rawl, yakni adil adalah cara bagaimana lembaga-lembaga sosial utama membagikan hak dan kewajiban fundamental dan menentukan pembagian keuntungan dari kerjasama sosial. Lembaga-lembaga sosial utama yang dimaksudkan adalah konstitusi politik dan aturan-aturan ekonomi dan sosial yang pokok. Dengan berdasar pengertian tersebut, adil dalam pelayanan perijinan mengandung lima hal, yaitu (1) persamaan dalam pemenuhan hak-hak sesuai ketentuan mekanisme yang ada. Dalam kaitan tersebut maka mekanisme yang diterapkan adalah fisrt come fisrt serve, (2) kesamaan perlakuan dalam penyelesaian masalah, (3) persamaan dalam pemenuhan kewajiban untuk memenuhi persyaratan-persyaratan atau aturan dalam mengajukan permohonan perijinan,
(4) adanya pembebanan biaya dan sangsi yang sama yang didasarkan atas proporsional kemampuan ekonomi dari pemohon. 2.1.5 Hubungan Reorganisasi dengan Kualitas Pelayanan Milakovich (1995:11) sejak tahun 1980-an para ahli pemerintahan telah menyatakan “ sounded the alarm by identifying the lack of a consistent model of frame work for managing service as the reason most often cited for customer dissatisfaction”. Peringatan tersebut untuk menyadarkan administrator publik bahwa apakah model kerangka kerangka kerja untuk mengelola pelayanan telah memenuhi harapan masyarakat, kenyataannya model kerangka kerja yang ada telah dikeluhkan oleh masyarakat. Model kerangka kerja merupakan pedoman bagi aparatur pemerintah untuk mentransformasi in put menjadi out put, dan dalam proses tersebut akan menggunakan proses kerja tertentu. Gaspersz (2005:77) pada umumnya semua produk diproduksi dan diserahkan kepada pelanggan melalui suatu proses kerja atau proses bisnis. Suatu proses kerja dapat didefinisikan sebagai integrasi skuensial dari orang, material, metode, dan mesin atau peralatan, dalam suatu lingkungan guna menghasilkan nilai tambah out put untuk pelanggan. Suatu proses kerja mengkonversi input terukur ke dalam out put terukur melalui langkah sekuensial yang terorganisasi. Gaspersz (2005:4) Indonesia sebagai negara sedang berkembang yang menuju ke negara industri perlu membangun sistem kualitas modern dan praktek manajemen kualitas terpadu di berbagai bidang kehidupan sebagai senjata untuk memenangkan kompetensi dalam pasar global. Manajemen kualitas terpadu atau total quality management (TQM) adalah sebagai