LAPORAN KASUS H PERTENSI URGENSI
Disusun Oleh : dr Muamar Amirullah
Pembimbing : dr
ntonius Rumambi DK, M.Kes.
Disus Disusun un dala dalam m rangk rangka men mengi giku kuti ti Kegi Kegiat atan an Inte Intern rnsi sip p Dok Dok er Indonesia Angk Angkat atan an IV Tahu Tahun 201 2015 (Nov (Novem emb ber 2015 015 s/d s/d Novem ovember 2016) di Rumah Sakit Tingkat III Robert Wolter Mongi sidi T ling-Manado-Sulawesi Utara
KRISIS HIPERTENSI
Krisis hipertensi merupakan salah satu kegawatan di bidang neurovaskular yang sering dijumpai di instalasi gawat darurat. Krisis hipertensi ditandai dengan peningkatan tekanan darah akut dan sering berhubungan dengan gejala sistemik yang merupakan konsekuensi dari peningkatan darah tersebut. Ini merupakan komplikasi yang sering dari penderita dengan hipertensi dan membutuhkan penanganan segera untuk mencegah (1)
komplikasi yang mengancam jiwa
.
EPIDEMIOLOGI
Duapuluh persen pasien hipertensi yang datang ke UGD adalah pasien hipertensi krisis. Data di Amerika Serikat menunjukkan peningkatan prevalensi hipertensi dari 6,7% pada penduduk berusia 20-39 tahun, menjadi 65% pada penduduk berusia di atas 60 tahun. Data ini dari total penduduk 30% diantaranya menderita hipertensi dan hampir 1%-2% akan berlanjut menjadi hipertensi krisis disertai kerusakan organ target
(1)
.
Sebagian besar pasien dengan stroke perdarahan mengalami hipertensi krisis. Pada JNC VII tidak menyertakan hipertensi krisis ke dalam tiga stadium klasifikasi hipertensi, namun hipertensi krisis dikategorikan dalam pembahasan hipertensi sebagai keadaan khusus yang memerlukan tatalaksana yang lebih agresif
(1)
.
Tabel 1. Klasifikasi Tekanan Darah menurut J NC VII Kategori
(2)
TD sistolik (mmHg)
Normal
TD diastolik (mmHg)
< 120
Dan
< 80
Pre-hipertensi
120-139
Atau
80-89
Hipertensi Stadium 1
140-159
Atau
90-99
Hipertensi Stadium 2
> 160
Atau
> 100
DEFINISI
Terdapat perbedaan dari beberapa sumber mengenai definisi peningkatan darah akut. Definisi yang paling sering dipakai adalah : 1. Hipertensi emergensi (darurat)
Peningkatan tekanan darah sistolik >180 mmHg atau diastolik > 120 mmHg secara mendadak disertai kerusakan organ target. Hipertensi emergensi harus ditanggulangi sesegera mungkin dalam satu jam dengan memberikan obat-obatan anti-hipertensi intravena.
[1]
2. Hipertensi urgensi (mendesak)
Peningkatan tekanan darah seperti pada hipertensi emergensi namun tanpa disertai kerusakan organ target. Pada keadaan ini tekanan darah harus segera diturunkan dalam 24 jam dengan memberikan obat-obatan anti hipertensi oral.
Dikenal beberapa istilah yang berkaitan dengan krisis hipertensi antara lain : 1. Hipertensi refrakter
Respon pengobatan yang tidak memuaskan dan tekanan darah > 200/110 mmHg, walaupun telah diberikan pengobatan yang efektif (triple drug ) pada penderita dan kepatuhan pasien. 2. Hipertensi akselerasi
Peningkatan tekanan darah diastolik > 120 mmHg disertai dengan kelainan funduskopi. Bila tidak diobati dapat berlanjut ke fase maligna. 3. Hipertensi maligna
Penderita hipertensi akselerasi dengan tekanan darah diastolik > 120-130 mmHg dan kelainan funduskopi disertai papil edema, peninggian tekanan intrakranial, kerusakan yang cepat dari vaskular, gagal ginjal akut, ataupun kematian bila penderita tidak mendapatkan pengobatan. Hipertensi maligna biasanya pada penderita dengan riwayat hipertensi esensial ataupun sekunder dan jarang pada penderita yang sebelumnya mempunyai tekanan darah normal. 4. Hipertensi ensefalopati
Kenaikan tekanan darah dengan tiba-tiba disertai dengan keluhan sakit kepala yang hebat, penurunan kesadaran dan keadaan ini dapat menjadi reversibel bila tekanan darah tersebut diturunkan.
ETIOLOGI DAN PATOFISIOLOGI
Faktor penyebab hipertensi intinya terdapat perubahan vaskular, berupa disfungsi endotel, remodeling , dan arterial stiffness. Namun faktor penyebab hipertensi emergensi dan hipertensi urgensi masih belum dipahami. Diduga karena terjadinya peningkatan tekanan darah secara cepat disertai peningkatan resistensi vaskular. Peningkatan tekanan darah yang mendadak ini akan menyebabkan jejas endotel dan nekrosis fibrinoid arteriol sehingga membuat kerusakan vaskular, deposisi platelet, fibrin dan ker usakan fungsi autoregulasi (1,4,8).
[2]
FAKTOR PENYEBAB KRISIS HIPERTENSI Hipertensi esensial Penyakit Parenkim Ginjal
Pielonefritis Kronik Glomerulonefritis Nefritis tubulointerstisial Penyakit Vaskular pada Ginjal
Stenosis Arteri Renalis Makroskopis poliarteritis nodusa Obat-obatan
Penghentian tiba-tiba obat obatan agonis alfa-2 adrenergik yang bekerja sentral seperti clonidine dan metildopa Intoksikasi obat simpatomimetik (kokain, dll) Interaksi dengan obat MAO-Inhibitor (phenilzine, selegiline) Kehamilan
Eklampsia/pre-eklampsi berat Endokrin
Feokromositoma Aldosteronisme primer Kelebihan hormone glukokortikoid Tumor yang mensekresikan rennin Kelainan Sistem Saraf Pusat
Stroke hemoragik Cedera Kepala
MEKANISME AUTOREGULASI
Autoregulasi merupakan penyesuaian fisiologis organ tubuh terhadap kebutuhan dan pasokan darah dengan mengadakan perubahan pada resistensi terhadap aliran darah dengan berbagai tingkatan perubahan konstriksi/dilatasi pembuluh darah. Bila tekanan darah turun maka akan terjadi vasodilatasi dan jika tekanan darah naik akan terjadi vasokonstriksi. Pada individu normotensi, aliran darah otak masih tetap pada fluktuasi Mean Atrial Pressure (MAP) 60-70 mmHg. Bila MAP turun di bawah batas autoregulasi, maka otak akan mengeluarkan oksigen lebih banyak dari darah untuk kompensasi dari aliran darah yang menurun. Bila mekanisme ini gagal, maka akan terjadi iskemia otak dengan manifestasi klinik seperti mual, menguap, [3]
pingsan dan sinkop. Pada pe derita hipertensi kronis, penyakit serebrova kular dan usia tua, batas ambang autoregulasi i i akan berubah dan bergeser ke kanan pa a kurva, sehingga pengurangan aliran darah dap at terjadi pada tekanan darah yang lebih tin gi (lihat gambar 2) (1)
.
Gambar 1. Patofisiologi hiperte si emergensi
(1)
.
[4]
Gambar 2. Kurva Autoregulasi
ada Tekanan Darah
(1)
Pada penelitian Stragard, dilakukan pengukuran MAP pada penderita hipertensi dengan yang normotensi. Didapatkan pen erita hipertensi dengan pengobatan memp nyai nilai diantara grup normotensi dan hiper ensi tanpa pengobatan. Orang dengan hi pertensi terkontrol (1)
cenderung menggeser autoregulasi ke arah normal . Dari penelitian didapatkan bahwa baik orang yang normotensi
aupun hipertensi,
diperkirakan bahwa batas te endah dari autoregulasi otak adalah kira-kira 25% di bawah resting MAP. Oleh karena it dalam pengobatan hipertensi krisis, penuru an MAP sebanyak 20%-25% dalam beberapa menit atau jam, tergantung dari apakah emergensi atau urgensi. Penurunan tekanan darah pada penderita diseksi aorta akut ataupun edem paru akibat payah jantung kiri dilakukan dala
tempo 15-30 menit dan bisa lebih cepat lagi dibandingkan
hipertensi emergensi lainya. enderita hipertensi ensefalopati, penurunan tekanan darah 25% dalam 2-3 jam. Untuk pasie
dengan infark serebri akut ataupun perd rahan intrakranial,
penurunan tekanan darah dil kukan lebih lambat (6-12 jam) dan harus darah tidak lebih rendah dari 70-180/100 mmHg
[5]
(1,2,4,6,8)
.
ijaga agar tekanan
MANIFESTASI KLINIS
Manifestasi klinis krisis hipertensi berhubungan dengan kerusakan organ target yang ada. Tabel 2. Prevalensi kerusakan target organ
Pada pasien dengan hipertensi krisis dengan perdarahan intrakranial akan dijumpai keluhan sakit kepala, penurunan tingkat kesadaran dan tanda neurologi fokal berupa hemiparesis atau paresis nervus cranialis. Pada hipertensi ensefalopati didapatkan penurunan kesadaran dan atau defisit neurologi fokal. Pada pemeriksaan fisik pasien bisa saja ditemukan retinopati dengan perubahan arteriola, Perdarahan dan eksudasi maupun papiledema. Pada sebagian pasien yang lain manifestasi kardiovaskular bisa saja muncul lebih dominan seperti; angina, akut miokardial infark atau gagal jantung kiri akut. Dan beberapa pasien yang lain gagal ginjal akut dengan oligouria dan atau hematuria bisa saja terjadi
(1,5,7)
Gambar 3. Papilledema. Pembengkakan optic disc dan margin kabur
(1)
[6]
.
.
PENDEKATAN DIAGNOSIS
Kemampuan dalam mendiagnosis hipertensi emergensi dan urgensi harus dapat dilakukan dengan cepat dan tepat sehingga dapat mengurangi angka morbiditas dan mortalitas pasien. Anamnesis dan pemeriksaan fisik dapat menunjukkan organ mana yang mengalami gangguan. Anamnesis
Anamnesis tentang riwayat penyakit hipertensinya, obat-obatan anti hipertensi yang rutin diminum, kepatuhan minum obat, riwayat pemakaian obat-obatan yang dapat menaikkan tekanan darah seperti kokain, phencyclidine (PCP), Lysergic Acid Diethylamide (LSD), amphetamin, atau obat-obat simpatomimetic lainnya. Gejala sistem saraf (nyeri kepala, perubahan mental, ansietas). Gejala sistem ginjal (BAK berwarna merah, jumlah urin berkurang). Gejala sistem kardiovaskuler (adanya sesak napas, payah jantung, kongestif dan oedema paru, nyeri dada). Riwayat penyakit yang menyertai dan penyakit kardiovaskular atau ginjal (glomerulonefritis, pyelonefritis) penting dievaluasi. Hal yang juga perlu untuk dievaluasi adalah r iwayat kehamilan untuk mencari tanda eklampsia sebagai penyebab krisis hipertensi(1,2,3).
[7]
Pemeriksaan fisik
Pemeriksaan fisik dilakukan pengukuran tekanan darah setelah beristirahat pada posisi (baring dan berdiri) pada kedua tangan. Begitu pula nadi diperiksa pada keempat ekstremitas, auskultasi paru untuk mencari edema paru, auskutasi jantung untuk mencari murmur/gallop, auskultasi arteri renalis untuk mencari bruit dan pemeriksaan neurologis serta funduskopi. Dilakukan funduskopi untuk melihat : edema retina, perdarahan retina, eksudat pada retina atau papil edema. Pemeriksaan kardiovaskuler dinilai apakah ada peningkatan tekanan vena jugularis, bunyi jantung 3, diseksi aorta, defisit nadi. Pemeriksaan neurologi untuk menilai tanda perubahan neurologis yang segera terjadi atau berkelanjutan. Tanda hipertensi ensefalopati seperti disorientasi, gangguan kesadaran, defisit neurologis fokal dan kejang fokal. Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan penunjang dilakukan dua cara, yaitu : a.
Pemeriksaan segera seperti :
Darah : Rutin, BUN, creatinine, elektrolit Urine : Urinalisa EKG : 12 lead : melihat tanda iskemi Rontgen Thoraks : Rontgen thorax dapat dilakukan untuk menilai ukuran jantung, tanda edema paru serta penapisan awal terjadinya diseksi aort a akut. b.
Pemeriksaan lanjutan (tergantung keadaan klinis dan hasil pemeriksaan pertama)
Dugaan kelainan ginjal : IVP, renal angiografi, biopsi renal Menyingkirkan kemungkinan tindakan bedah neurologi : CT scan Bila disangsikan feokromositoma : urine 24 jam untuk khatekolamin, metamefrin, Venumandelic Acid (VMA) Echocardiografi dua dimensi : membedakan gangguan fungsi diastolik dari gangguan fungsi sistolik ketika tanda gagal jantung didapatkan. Berikut adalah bagan alur pendekatan diagnostik pada pasien hipertensi
[8]
(1,2,5)
:
Pasien dengan Hipertensi
TD > 180/120 mmHg
Tidak
Ya
Kerusakan Organ Target
Tidak Krisis Hipertensi - Pre-hipertensi TDS 120-139 TDD 80-89 - Hipertensi stadium 1 TDS 140-159 TDD 90-99 - Hipertensi stadium 2 TDS > 160 TDD > 100
Tatalaksana
1. Neurologi - Tanda Stroke I skemik/Hemoragik
Nyeri kepala
Muntah
Penurunan kesadaran
Kelumpuhan anggota gerak/paresis n. cranialis
Bicara pelo
Mulut mencong - Flapping Tremor 2. Jantung & Paru - Nyeri dada - Perbedaan TD lengan kanan/kiri > 20 mmHg (diseksi aorta) - Auskultasi : murmur/mitral regurgitasi/gallop - Peninggian JVP - Ronkhi basah/sesak napas
3. Ginjal - Edema perifer - Oliguria/anuria - Hematuria/proteinuria - Peningkatan ureum kreatinin 4. Mata - Funduskopi Keith-Wagner (KW) III atau IV
Tidak
Hipertensi Urgensi
Gambar 4. Alur Diagnostik Krisis Hipertensi (1)
[9]
Ya
Hipertensi Emergensi
PENATALAKSANAAN 1. Hipertensi Urgensi A. Penatalaksanaan Umum
Manajemen penurunan tekanan darah pada pasien dengan hipertensi urgensi tidak membutuhkan obat-obatan parenteral. Pemberian obat-obatan oral aksi cepat akan memberi manfaat untuk menurunkan tekanan darah dalam 24 jam awal Mean Arterial Pressure (MAP) dapat diturunkan tidak lebih dari 25%. Pada fase awal standard goal penurunan tekanan darah dapat diturunkan sampai 160/110 mmHg. Penggunaan obat-obatan anti-hipertensi parenteral maupun oral bukan tanpa risiko dalam menurunkan tekanan darah. Pemberian loading dose obat oral anti-hipertensi dapat menimbulkan efek akumulasi dan pasien akan mengalami hipotensi saat pulang ke rumah. Optimalisasi penggunaan kombinasi obat oral merupakan pilihan terapi untuk pasien dengan hipertensi urgensi. B. Obat-obatan spesifik untuk hipertensi urgensi
Captopril adalah golongan angiotensin-converting enzyme (ACE) inhibitor dengan onset mulai 15-30 menit. Captopril dapat diberikan 25 mg sebagai dosis awal kemudian tingkatkan dosisnya 50-100 mg setelah 90-120 menit kemudian. Efek yang sering terjadi yaitu batuk, hipotensi, hiperkalemia, angioedema, dan gagal ginjal (khusus pada pasien dengan stenosis pada arteri renal bilateral). Nicardipine adalah golongan calcium channel blocker yang sering digunakan pada pasien dengan hipertensi urgensi. Pada penelitian yang dilakukan pada 53 pasien dengan hipertensi urgensi secara random terhadap penggunaan nicardipine atau placebo. Nicardipine memiliki efektifitas yang mencapai 65% dibandingkan placebo yang mencapai 22% (p=0,002). Penggunaan dosis oral biasanya 30 mg dan dapat diulang setiap 8 jam hingga tercapai tekanan darah yang diinginkan. Efek samping yang sering terjadi seperti palpitasi, berkeringat dan sakit kepala. Labetalol adalah gabungan antara α1 dan β-adrenergic blocking dan memiliki waktu kerja mulai antara 1-2 jam. Dalam penelitian labetalol memiliki dose range yang sangat lebar sehingga menyulitkan dalam penentuan dosis. Penelitian secara random pada 36 pasien, setiap grup dibagi menjadi 3 kelompok; diberikan dosis 100 mg, 200 mg dan 300 mg secara oral dan menghasilkan penurunan tekanan darah sistolik dan diastolik secara signifikan. Secara umum labetalol dapat diberikan mulai dari dosis 200 mg secara oral dan dapat diulangi setiap 3-4 jam kemudian. Efek samping yang sering muncul adalah mual dan sakit kepala.
[10]
Clonidine adalah obat-obatan golongan simpatolitik sentral (α2-adrenergicreceptor agonist ) yang memiliki mula kerja antara 15-30 menit dan puncaknya antara 2-4 jam. Dosis awal bisa diberikan 0,1-0,2 mg kemudian berikan 0,05-0,1 mg setiap jam sampai tercapainya tekanan darah yang diinginkan, dosis maksimal adalah 0,7 mg. Efek samping yang sering terjadi adalah sedasi, mulut kering dan hipotensi ortostatik. Nifedipine adalah golongan calcium channel blocker yang memiliki pucak kerja antara 10-20 menit. Nifedipine kerja cepat tidak dianjurkan oleh FDA untuk terapi hipertensi urgensi karena dapat menurunkan tekanan darah yang mendadak dan tidak dapat diprediksikan sehingga berhubungan dengan kejadian stroke.
2. Hipertensi Emergensi A. Penatalaksanaan Umum
Terapi hipertensi emergensi harus disesuaikan setiap individu tergantung pada kerusakan organ target. Manajemen tekanan darah dilakukan dengan obat-obatan parenteral secara tepat dan cepat. Pasien harus berada di dalam ruangan ICU agar monitoring tekanan darah bisa dikontrol dan dengan pemantauan yang tepat. Tingkat ideal penurunan tekanan darah masih belum jelas, tetapi penurunan Mean Arterial Pressure (MAP) 10% selama 1 jam awal dan 15% pada 2-3 jam berikutnya. Penurunan tekanan darah secara cepat dan berlebihan akan mengakibatkan jantung dan pembuluh darah orak mengalami hipoperfusi. Untuk menghindari hal tersebut maka pemberian anti hipertensi yang lebih bisa dikontrol secara intravena lebih dianjurkan dibanding terapi oral atau sublingual seperti Nifedipine. Tujuan penurunan TD bukanlah untuk mendapatkan TD normal, tetapi lebih untuk mendapatkan penurunan tekanan darah yang terkendali. Penurunan tekanan darah diastolik tidak kurang dari 100 mmHg. Tekanan sistolik tidak kurang dari 160 mmHg, ataupun MAP tidak kurang dari 120 mmHg selama 48 jam pertama, kecuali pada krisis hipertensi tertentu (misal : disecting aortiic aneurisma). Penurunan TD tidak lebih dari 20 % dari MAP ataupun TD yang didapat. Kemudian dilakukan observasi terhadap pasien, jika penurunan tekanan darah awal dapat diterima oleh pasien dimana keadaan klinisnya stabil, maka 24 jam kemudian tekanan darah dapat diturunkan secara bertahap menuju angka normal.
B. Penatalaksanaan khusus untuk hipertensi emergensi Neurologic emergency. Kegawatdaruratan neurologi sering terjadi pada hipertensi
emergensi seperti hypertensive encephalopathy, perdarahan intracranial dan stroke iskemik akut. American Heart Association merekomendasikan penurunan tekanan darah > 180/105 [11]
mmHg pada hipertensi dengan perdarahan intracranial dan MAP harus dipertahankan di bawah 130 mmHg. Pada pasien dengan stroke iskemik tekanan darah harus dipantau secara hati-hati 1-2 jam awal untuk menentukan apakah tekanan darah akan menurun secara sepontan. Secara terus-menerus MAP dipertahankan > 130 mmHg. Cardiac emergency. Kegawatdaruratan yang utama pada jantung seperti iskemik akut pada
otot jantung, edema paru dan diseksi aorta. Pasien dengan hipertensi emergensi yang melibatkan iskemik pada otot jantung dapat diberikan terapi dengan nitroglycerin. Pada studi yang telah dilakukan, bahwa nitroglycerin terbukti dapat meningkatkan aliran darah pada arteri koroner. Pada keadaan diseksi aorta akut pemberian obat-obatan β blocker (labetalol dan esmolol ) secara IV dapat diberikan pada terapi awal, kemudian dapat dilanjutkan dengan
obat-obatan
vasodilatasi
seperti
nitroprusside.
Obat-obatan
tersebut
dapat
menurunkan tekanan darah sampai target tekanan darah yang diinginkan (TD sistolik > 120mmHg) dalam waktu 20 menit. Kidney Failure. Acute kidney injury bisa disebabkan oleh atau merupakan konsekuensi dari
hipertensi emergensi. Acute kidney injury ditandai dengan proteinuria, hematuria, oligouria dan atau anuria. Terapi yang diberikan masih kontroversi, namun nitroprusside IV telah digunakan secara luas namun nitroprusside sendiri dapat menyebabkan keracunan sianida atau tiosianat. Pemberian fenoldopam secara parenteral dapat menghindari potensi keracunan sianida akibat dari pemberian nitroprusside dalam terapi gagal ginjal. Hyperadrenergic states. Hipertensi emergensi dapat disebabkan karena pengaruh obat-
obatan seperti katekolamin, klonidin dan penghambat monoamin oksidase. Pasien dengan kelebihan zat-zat katekolamin seperti pheochromocytoma, kokain atau amphetamine dapat menyebabkan over dosis. Penghambat monoamin oksidase dapat mencetuskan timbulnya hipertensi atau klonidin yang dapat menimbukan sindrom withdrawal. Pada orang-orang dengan kelebihan zat seperti pheochromocytoma, tekanan darah dapat dikontrol dengan pemberian sodium nitroprusside (vasodilator arteri) atau phentolamine IV ( ganglion-blocking agent ). Golongan β-blockers dapat diberikan sebagai tambahan sampai tekanan darah yang diinginkan tercapai. Hipertensi yang dicetuskan oleh klonidinterapi yang terbaik adalah dengan memberikan kembali klonidin sebagaidosis inisial dan dengan penambahan obatobatan anti hipertensi yang telah dijelaskan di atas. PROGNOSIS
Penyebab kematian tersering adalah stroke (25%) , gagal ginjal (19%) dan gagal jantung (13%). Prognosis menjadi lebih baik apabila penangannannya tepat dan segera
[12]
(1,6)
.
Tabel 5. Obat-obatan yang digunakan untuk hipertensi emergensi
[13]
STATUS PASIEN I.
Identitas Pasien
Nama
: Ny. NS
Jenis kelamin
: Perempuan
Umur
: 57 tahun
Alamat
: Tateli-Manado-Sulawesi Utara
Pekerjaan
: Ibu rumah tangga
Agama
: Islam
Status perkawinan
: Menikah
Tgl masuk
: 03-01-2016
II. Anamnesis Keluhan Utama
:
Keluar darah dari hidung sejak 1 jam SMRS Riwayat Penyakit Sekarang :
Pasien datang ke UGD dengan keluhan keluar darah dari hidung sejak 1 jam SMRS, keluhan dirasakan tiba-tiba saat pasien sedang duduk nonton TV. Darah yang keluar berwarna merah segar. Darah keluar dari kedua hidung dan saat pasien meludah kadangkadang juga terdapat darah. Pasien merasa pusing. Pasien tidak merasakan pusing berputar. Keluhan nyeri kepala, mual, muntah disangkal. Keluhan hidung berdarah tanpa penurunan kesadaran. Pasien menyangkal keluhan nyeri kepala disertai pandangan kabur, penglihatan ganda, nyeri dan gatal pada mata. Tidak terdapat adanya kelemahan anggota gerak, tidak terdapat rasa kesemutan, tidak terdapat lidah pelo, Buang air kecil dan buang air besar lancar tanpa keluhan. Pasien tidak ada riwayat trauma pada hidung. riwayat benda asing di hidung disangkal.
[14]
Riwayat penyakit dahulu :
Pasien sebelumnya mengalami pilek dan sering kambuh. Pasien mengaku mempunyai riwayat darah tinggi sejak 5 tahun yang lalu dan tidak rutin kontrol. Riwayat penyakit serupa disangkal. Riwayat trauma disangkal, riwayat batuk lama disangkal. Pasien menyangkal riwayat penyakit jantung, penyakit kencing manis, dan penyakit asma.
Pasien mengaku tidak mengkonsumsi obat obatan dalam jangka waktu lama dan de kat dan mengaku tidak mempunyai riwayat alergi
Pasien mengaku tidak ada alergi obat.
Riwayat penyakit keluarga :
Pasien mengaku terdapat anggota keluarga yang mengalami penyakit seperti pasien.Ibu kandung pasien menderita hipertensi.
III. Pemeriksaan Fisik
-
Kesadaran
: Compos Mentis
-
Tekanan darah
: 220/130 mmHg
-
Nadi
: 100 x/menit, regular
-
Pernapasan
: 22 x/menit normal
-
Suhu
: 36,5 C
-
BB
: 87 kg
0
Status Generalis Kepala
Bentuk
: Normal, simetris
Rambut
: Hitam, tidak mudah rontok
Mata
: Konjungtiva anemis -/-, sklera ikterik-/-, edema palpebra -/-, pupil
isokor kanan dan kiri. Refleks cahaya +/+
Telinga
: Bentuk normal, simetris, otorrhea -/-.
[15]
Hidung
: Bentuk normal, septum di tengah, tidak deviasi, nyeri tekan (-)
Rhinoskopi anterior : Rhinorrhea (+)/(+), perdarahan aktif (-)/(-), massa (-)/(-), polip (-)/(-)
Mulut
: Mulut simetris, tidak ada deviasi, Tonsil T1/T1, sianosis (-), deviasi
lidah (-) Leher
Trakea berada di tengah, tidak deviasi dan intak, Tidak terdapat pembesaran kelenjar tiroid dan kelenjar getah bening, JVP tidak meningkat. Thoraks Pulmo
Inspeksi
: Bentuk dada kanan kiri simetris, pergerakan nafas kanan sama
dengan kiri , tidak ada penonjolan masa.
Palpasi
: fremitus taktil kanan sama dengan kiri
Perkusi
:sonor pada kedua lapangan paru
Auskultasi
: ves +/+, ronki -/-, Wheezing -/-
Jantung
Inspeksi
: Iktus kordis tidak tampak
Palpasi
: Iktus kordis teraba pulsasi, tidak ada vibrasi
Perkusi Batas jantung :
o
Batas atas : ICS II garis parasternalis kiri
o
Batas kanan : ICS V garis sternalis kanan
o
Batas kiri : ICS V garis axillaris anterior kiri
Auskultasi
: S1 dan S2 murni regular, murmur (-), gallop (-).
Abdomen
Inspeksi
: Perut cembung, tidak tampak adanya kelainan
Auskultasi
: Bising usus (+) normal
Perkusi
: Suara timpani pada lapang abdomen, shifting dullness (-), undulasi (-)
Palpasi
:Nyeri tekan abdomen (-), hepar/lien tidak teraba, ballotement ginjal (-)
[16]
Genitalia
Tidak dinilai Ekstremitas
Akral hangat, CRT < 2”, arteri perifer teraba normal, edema ekstremitas -/-
Status Neurologis Saraf Cranial :
N. II (Optikus) Refleks cahaya langsung : +/+ (pupil bulat, isokor) Tajam penglihatan
: sulit dinilai
Lapang penglihatan
: baik dalam batas normal
Melihat warna
: baik dalam batas normal
Fundus okuli
: Tidak dilakukan
N. III (Occulomotor) Pupil Ukuran
: 3mm
Bentuk
: bulat
Isokor/anisokor
: Isokor
Reflex cahaya tidak langsung
: +/+
N. IV (Troklearis) Pergerakan bola mata (Ke Bawah Dalam)
: +/+
N. V (Trigeminus) Membuka mulut
: asimetris
Menguyah
: baik dalam batas normal
Menggigit
: baik dalam batas normal
Refleks kornea
: baik dalam batas normal
Sensabilitas wajah : baik dalam batas normal
N. VI (Abdusen) Pergerakan bola mata (ke lateral)
: baik dalam batas normal [17]
N VII (Facialis) Mengerutkan dahi
: simetris kanan-kiri
Menutup mata
: simetris kanan-kiri
Memperlihatkan gigi
: simetris kanan-kiri
N IX (glosofaringeus) Perasaan lidah (1/3 bagian lidah belakang) : baik dalam batas normal Posisi uvula
: tidak ada deviasi
N X (vagus) Arkus faring
: baik dalam batas normal
Menelan
: baik
Refleks muntah
: baik
N. XI (Asesorius) Menengok (M. Sternocleidomastoideus): baik, dapat menengok kanan dan kiri Mengangkat bahu (M. Trapezius)
: baik
N XII (Hipoglossus) Pergerakan lidah
: baik, dapat menggerakan lidah ke segala arah
Lidah deviasi
: tidak terdapat deviasi
Badan dan Anggota Gerak :
Anggota gerak atas Motorik: Baik Pergerakan: (+)/(+) Kekuatan: 5 / 5 Anggota gerak bawah Motorik: Baik Pergerakan: (+)/(+)
[18]
Kekuatan: 5 / 5 Tonus: Normal Refleks patologis : Babinski
: (-)/(-)
Chaddock
: (-)/(-)
Gondon
: (-)/(-)
Oppenheim
: (-)/(-)
Schiffer
: (-)/(-)
IV. Pemeriksaan Penunjang Laboratorium (03/01/2016) LAB
RESULT
NORMAL
Hb
15,5
13-16 gr%
Leukosit
11.700
4.000-10.000
Eritrosit
4,7
4-6 juta/mm3
Trombosit
265.000
150.000-450.000
Hematokrit
44
37-43%
GDS
126
80-120 mg/dl
Ureum
18
10-50
Creatinin
1,0
0,5-1,5 mg/dl
SGOT
32
< 31 U/L
SGPT
33
< 32 U/L
[19]
Rontgen Thoraks
Kesan : C/P Normal EKG
Irama sinus
Heart rate 88x/menit [20]
Axis normal
P wave N 0.08 detik
PR interval 0,16 detik
QRS kompleks 0,8 detik
Interval QT 0,32 detik
S V2 + R V6 > 35 mm
Kesan : Gambaran EKG Normal
V. Resume :
Pasien datang dengan keluhan epistaksis. Pasien juga mengeluh pusing. Pasien mempunyai riwayat hipertensi sejak 5 tahun yang lalu, tidak terkontrol. Pada pemeriksaan fisik ditemukan TD 220/130, pulsasi 100 x/menit, rhinorrhea (+/(+), perdarahan aktif (-)/(-). JVP tidak meningkat. Pemeriksaan fisik paru dan jantung dalam batas normal. Tidak didapatkan defisit neurologis maupun gangguan nervus kranialis. Pada pemeriksaan laboratorium didapatkan leukositosis. Rontgen thoraks dan EKG tidak ada kelainan.
[21]
VI. Daftar Masalah
Hipertensi urgensi Epistaksis VII.
Pembahasan
1. Hipertensi Urgensi
Atas dasar : Didapatkan krisis hipertensi yang digolongkan pada hipertensi
Urgensi, karena didapatkan peningkatan tekanan darah tanpa disertai kecurigaan kerusakan organ.
Assesment :
Planing
Berdasarkan krisis hipertensi digolongkan pada hipertensi urgensi.
Konsul Bagian Neurologi
Treatment
Non farmakologis o
Di rawat di ruangan
o
Istirahat baring
o
Diet rendah garam
o
Tujuan pengobatan hipertensi emergensi adalah menurunkan tekanan darah secepat dan seaman mungkin yang disesuaikan dengan keadaan klinis penderita
Farmakologis o
Infus RL 10 tpm
o
Amlodipine 10 mg 1 – 0 – 0
o
Candesartan 8 mg 0 – 1 – 0
o
Bisoprolol 5 mg ½ - 0 - 0
o
Menurunkan MAP tidak lebih dari 25% dalam 1-12 jam, setelah tidak ada tanda hipoferfusi organ penurunan dapat di lanjutkan hingga 24-72 jam sampai mendekati normal
2. Epistaksis
Atas dasar : Epistaksis adalah keluarnya darah dari hidung. Pada umumnya
terdapat dua sumber perdarahan yaitu dari bagian anterior dan bagian posterior. Epistaksis anterior dapat berasal dari Pleksus Kiesselbach atau dari
[22]
arteri ethmoidalis anterior. Sedangkan epistakasis posterior dapat berasal dari arteri
sphenopalatina
dan
arteri
ethmoid
posterior.
Epistaksis
dapat
ditimbulkan oleh sebab-sebab lokal dan umum atau kelainan sistemik, kelainan sistemik yang sering menimbulkan epistaksis adalah penyakit kardiovaskuler seperti hipertensi. Pada kasus ini, pasien mengalami hipertensi urgensi yang mengakibatkan terjadinya epistaksis anterior.
Assesment :
Planing
Epistaksis anterior ec hipertensi urgensi
Konsul Bagian THT
Treatment
Non farmakologis : Istirahat baring Farmakologis Pasang tampon hidung (tampon anterior), ini dilakukan untuk menekan dan menutup Pleksus Kiesselbach atau arteri ethmoidalis anterior agar perdarahan dapat berhenti. Selain itu dapat juga dengan cara menekan pangkal hidung untuk menghentikan perdarahan tersebut.
Pemberian antibiotik ceftriaxone bertujuan untuk mencegah terjadinya infeksi karena tampon dipasang selama 2x24 jam. Injeksi asam traneksamat bertujuan untuk menghentikan perdarahan. Pemberian ketorolac sebagai analgetik.
[23]
VIII. Diagnosa Epistaksis ec Hipertensi Urgensi IX. Follow up
Tgl
Pemeriksaan
04-01-2016
T : 170/120 mmHg P : 80x/menit R : 20x/menit S : 36,5C Pusing (-), pandangan kabur (-), mual (-), muntah (-), kesemutan di ekstremitas (-), BAB & BAK dbn. Kesadaran : CM Kepala : Normocephal Mata : Ka -/-, SI -/-, edema palpebral -/-, lensa keruh -/Leher : KGB tak, JVP tdk meningkat Tho :VBS +/+ Rk -/- wh -/-, BJ 1 dan 2 sama murni regular. Murmur -, gallop Abdomen : cembung, H/L tak membesar Akral hangat +/+ Kekuatan otot 5/5, 5/5 GDP: 110 mg/dl (75-115 mg/dl) GD2PP: 123 mg/dl (<200 mg/dl) Terapi Infus RL 10 tpm Tampon hidung Inj. Ceftriaxone 2x1 gr i.v
[24]
Inj. Ketorolac 1 Amp i.v Inj. Asam tranexamat 1 Amp i.v Amlodipine Candesartan Bisoprolol
05-01-2016
T : 150/110mmHg P : 81x/menit R : 20x/menit S : 36,4C Kesadaran : CM Keluhan (-) Kepala : Normocephal Mata: Ka -/-, SI -/-, edema palpebral -/-, lensa keruh -/Hidung : perdarahan aktif (-)/(-) Leher : KGB tak, JVP tdk meningkat Tho : VBS +/+ Rk -/- wh -/-, BJ 1 dan 2 sama murni regular. Murmur -, gallop Abdomen : cembung H/L tak membesar Akral hangat +/+ Kekuatan otot 5/5, 5/5 Terapi lanjut Aff tampon hidung, inj. As tranexamat & ketorolac stop
26-05-2015
T : 140/90mmHg P : 80x/menit R : 20x/menit
[25]
S : 36,6 C Nyeri kepala (+), pandangan kabur (-), diplopia (-), mual muntah (+) 2x Kepala : Normocephal Mata: Ka -/-, SI -/-, edema palpebral -/-, lensa keruh -/Leher : KGB tak, JVP tdk meningkat Tho : VBS +/+ Rk -/- wh -/-, BJ 1 dan 2 sama murni regular. Murmur -, gallop Abdomen : cembung H/L tak membesar Akral hangat +/+
Hasil CT Scan: Tidak tampak tanda perdarahan, infark maupun S.O.L Terapi lanjut
X. Prognosis :
Quo ad vitam
: Dubia
Quo ad functionam
: Dubia ad bonam
Quo ad sanactionam : Dubia [26]
PEMBAHASAN
Pasien didiagnosis dengan epistaksis anterior. Berdasarkan sumber perdarahannya, epistaksis anterior dapat berasal dari Pleksus Kiesselbach atau dari arteri ethmoidalis anterior. Pecahnya Pleksus Kiesselbach atau arteri ethmoidalis anterior dikarenakan berbagai sebab seperti trauma pada hidung, adanya benda asing, tumor jinak hidung, ataupun sebab sistemik seperti adanya riwayat hipertensi. Pada pasien ini berdasarkan anamnesis, terjadinya epistaksis dimungkinkan karena adanya riwayat hipertensi. Pleksus kiesselbach merupakan daerah dimana rentan terjadi perdarahan karena daerah ini mempunyai pembuluh darah yang kecil dan rapuh. Hipertensi dapat menyebabkan pleksus kiesselbach atau arteri ethmoidalis anterior menjadi pecah karena tingginya tekanan darah di daerah tersebut. Penatalaksanaan pada pasien ini berupa pasang tampon hidung (tampon anterior), ini dilakukan untuk menekan dan menutup Pleksus Kiesselbach atau arteri ethmoidalis anterior agar perdarahan dapat berhenti. Selain itu dapat juga dengan cara menekan pangkal hidung untuk menghentikan perdarahan tersebut. Pemberian antibiotik ceftriaxone injeksi bertujuan untuk mencegah terjadinya infeksi karena tampon dipasang selama 2x24 jam. Injeksi asam traneksamat bertujuan untuk menghentikan perdarahan. Pemberian ketorolac digunakan untuk menghilangkan rasa sakit. Pemberian anti hipertensi pada pasien didasarkan pada diagnosis kerja hipertensi urgensi karena pasien tidak menunjukkan tanda-tanda kerusakan organ target. Pemberian obat antihipertensi secara oral merupakan pilihan yang dapat diberikan pada pasien dengan hipertensi urgensi. Pemilihan obat berdasarkan mekanisme kerja dan ketersediaan obat. Amlodipine dipilih sebagai alternatif nicardipine yang merupakan pilihan pertama pada pasien hipertensi urgensi yang berasal dari golongan calcium-channel blocker. Candesartan dari golongan Angiotensin Receptor Blocker diberikan sebagai kombinasi dengan golongan Calcium channel blocker agar penurunan tekanan darah dapat berlangsung lebih cepat. Kombinasi obat ketiga adalah golongan antagonis adrenoseptor, yang dipakai adalah bisoprolol karena bekerja pada reseptor beta-1 yang dimetabolisme terutama di hepar dan memiliki waktu paruh yang panjang sehingga bisa dimanfaatkan efeknya untuk menurunkan tekanan darah dalam waktu yang lebih lama.
[27]
DAFTAR PUSTAKA
1. Devicaesaria, Asnelia. Hipertensi Krisis. Departemen Neurologi Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia/RSUPN Cipto Mangunkusumo. Medicinus Vol. 27, No.3, Desember 2014. 2. Anonymous. National High Blood Pressure Education Program. The seventh report of the Joint National Committe on prevention, detection, evaluation and treatment of high blood pressure. Bethesda (MD): Dept. of Health and Human Services, National Institutes of Health, National Heart, Lung, and Blood Institute, NIH Publication. 2004; No.04-5230l. 3. Zampagniole B, Pascale C, Marchisio M, et al. Hypertensive urgencies and emergencies. Prevalence and clinical presentation. Hypertension. 1996;27:144-7. 4. Sutters, M. Systemic Hypertension dalam Papadakis M, McPhee S, Rabow M. th
Current Medical Diagnosis and Treatment 55 edition. 2016. McGraw-Hill Education 5. Evidence-based Guideline for Management of Hypertension in adults. Report From the Panel Members Appointed to the Eighth Joint National Committee (JNC 8). JAMA. doi:10.1001/jama.2013.284427. 6. Pollack C, Rees C. Hypertnesive Emergency : Acute Care Evaluation and Management. 2008. Department of Emergency Medicine, Pennsylvania Hospital. University of Pennsylvania, Philadelphia. 7. Salkic S, Brkic S, Batic-Mujanovic O, et al. Emergency Room Treatment of Hypertensive Crises. MED ARH. 2015 OCT; 69(5): 302-306 8. Angelats EG, Baur EB. Hypertension, Hypertensive crisis, and Hypertensive emergency: approaches to emergency department care. Emergencias. 2010; 22: 209219 9. Efiaty arsyad. 2001. Epistaksis, Buku ajar ilmu kesehatan teling-hidung-tenggorokleher . FKUI. 2001
[28]