ANEMIA PADA PENYAKIT GINJAL KRONIK Makalah ini dibuat untuk memenuhi tugas dalam menjalani keterampilan klinis di SMF ilmu Penyakit Dalam rumah sakit Dr. Pirngadi Medan
Disusun oleh : Dea Oktari
1210070100062
Ridho Rahmatiqoh
1210070100115
Jean Retno Pertiwi
7112080035
SMF ILMU PENYAKIT DALAM RSUD DR. PIRNGADI MEDAN 2016
i
KATA PENGANTAR
Penulis mengucapkan puji dan syukur kepada Tuhan Yang Maha Esa, karena rahmatnya penulis bisa menyelesaikan makalah yang berjudul “Anemia pada penyakit ginjal kronik ”. Makalah ini diharapkan berguna sebagai khasanah ilmu pengetahuan khususnya
dalam bidang kesehatan yang memberikan gambaran mengenai imunisasi campak dan dapat bermanfaat untuk untuk institusi pendidikan sebagai sarana pendidikan untuk mempersiapkan peserta peserta didik dilingkungan pendidikan kesehatan. Selain itu penulis mengucapkan terima kasih kepada dokter pembimbing sehingga penulis dapat menyelesaikan penulisan makalah ini dengan tepat waktu. Penulis menyadari bahwa karya tulis ilmiah ini masih jauh dari kata sempurna. Karena itu, penulis mengharapkan masukan dan saran dari para pembaca karya tulis ilmiah ini untuk penyempurnaannya di masa yang akan datang. Semoga jerih payah dalam penulisan menghasilkan karya yang lebih baik dan dapat meberikan manfaat bagi semua kalangan pembaca terutama dibidang kesehatan.
Medan, September 2016
Penulis
ii
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR .............................................................. .................................................................................... .......................................... .................... i HALAMAN PENGESAHAN ........................................... ................................................................. ............................................ ........................... ..... ii DAFTAR ISI ............................................ .................................................................. ............................................ ............................................ ............................... ......... iii BAB 1 PENDAHULUAN ......................................... ............................................................... ............................................. ................................... ............ 1 BAB 2 ANATOMI DAN FISIOLOGI GINJAL ................................................ ................................................................ ................ 2 BAB 3 PENYAKIT GINJAL KRONIK ........................................... .................................................................. .................................. ........... 8 BAB 4 ANEMIA PADA PENYAKIT GINJAL KRONIK ............................................ ................................................ .... 15 BAB 5MANAJEMEN ANEMIA PADA PENYAKIT GINJAL KRONIK ....................... ....................... 20 BAB 6 LAPORAN KASUS ......................................... ............................................................... ............................................ ............................... ......... 31 BAB 7KESIMPULAN.......... 7KESIMPULAN................................. ............................................. ............................................ ............................................. ........................... .... 31 DAFTAR PUSTAKA ........................................................... .................................................................................. .............................................. ....................... 32
iii
BAB I PENDAHULUAN Ginjal menjalankan fungsi yang vital sebagai pengatur volume dan komposisi kimia darah (dan lingkungan dalam dalam tubuh) dengan mengekskresikan mengekskresikan zat terlarut dan dan air secara selektif. Apabila kedua ginjal oleh karena suatu hal gagal dalam menjalankan fungsinya, akan terjadi kematian dalam waktu 3 sampai 4 minggu. Fungsi vital ginjal dicapai dengan filtrasi plasma darah melalui glomerolus glomerolus diikuti dengan dengan reabsorbsi sejumlah zat terlarut dan air dalam jumlah sesuai di sepanjang tubulus ginjal. Kelebihan zat terlarut dan air akan diekskresikan keluar tubuh dalam urine melalui sistem pengumpul pengumpul urine. Gagal ginjal kronik (GGK) adalah suatu sindrom klinis yang disebabkan penurunan fungsi ginjal yang bersifat menahun, berlangsung progresif dan cukup lanjut. Gejala gagal ginjal kronik yaitu yaitu kurang nafsu makan, makan, mual, dan muntah, pembengkakan tangan, kaki, wajah, dan sekitar mata, letih, lemas, dan lesu. Laju Laju filtrasi glomerulus akan menurun menurun dengan progresif seiring dengan dengan rusaknya nefron. Hubungan Hubungan antara gagal ginjal kronik dengan anemia sudah diketahui sejak awal abad 19. Anemia pada penyakit ginjal kronik muncul ketika klirens kreatinin turun kira-kira 40 ml/mnt/1,73m2 dari permukaan tubuh. Anemia akan lebih berat apabila fungsi ginjal menjadi lebih buruk buruk lagi, tetapi apabila penyakit ginjal telah mencapai mencapai stadium akhir, anemia relative akan
menetap.
berkurangnya
Anemia pada Gagal produksi
Ginjal
Kronis
terutama
diakibatkan
oleh
Eritropoietin. Eritropoetin merupakan hormon yang dapat
merangsang sumsum tulang untuk memproduksi sel darah merah. Anemia Anemia yang terjadi pada gagal ginjal kronis biasanya jenis normokrom normositerdan non regeneratif. Anemia merupakan kendala yang cukup besar bagi upaya mempertahankan kualitas hidup pasien GGK. Anemia yang terjadi dapat mengganggu sejumlah aktifitas fisiologis sehingga dapat meningkatkan angka morbiditas dan mortalitas.
BAB II ANATOMI DAN FISIOLOGI GINJAL 2.1 Anatomi Ginjal
Ginjal merupakan organ yang berbentuk seperti kacang yang terletak di kedua sisi kolumna vertebralis. Ginjal kanan sedikit lebih rendah dari ginjal kiri karena tertekan ke bawah oleh hati. Kutub atas ginjal kanan setinggi iga ke 12 sedangkan kutub ginjal kiri setinggi iga ke 11. Permukaan anterior dan posterior kutub atas, bawah, dan tepi lateral ginjal berbentuk cembung sedangkan tepi medial nya berbentuk cekung karena adanya hilus. Beberapa struktur yang masuk atau keluar dari ginjal melalui hilus adalah Arteria dan Vena Renalis, saraf, pembuluh limfatik, dan ureter. Arteri renalis berasal dari aorta abdominalis(setinggi vertebra lumbalis II). Aorta terletak di sebelah kiri garis tengah, sehingga arteri renalis kanan lebih panjang dari arteri renalis kiri. Setiap arteri renalis bercabang sewaktu masuk ke dalam hilus ginjal. Vena renalis menyalurkan darah dari masing-masing ginjal ke dalam vena kava inferior yang terletak di sebalah kanan dari garis tengah. Vena renalis kiri kira-kira dua kali panjang dari vena renalis kanan. Saat
arteri
renalis
masuk
kedalam
hilus, arteri
tersebut
bercabang menjadi arteri interlobaris yang berjalan diantara piramid, selanjutnya membentuk percabangan arkuata yang melengkung melintasi basis piramid-piramid tersebut. Arteri arkuata lalu akan membentuk arteriol interlobularis yang tersusun pararel dalam
korteks.
Arteriol
interlobularis
Masing-masing arteriol aferen akan
ini selanjutnya membentuk arteriol
aferen.
menyuplai ke rumbai-rumbai kapiler yang disebut
glomerolus (jamak : glomeruli). Kapiler glomeruli bersatu membentuk arterior eferen yang kemudian bercabang-cabang membentuk sistem jaringan portal yang mengelilingi tubulus dan kadang disebut kapiler peritubular. Medula terbagi-bagi menjadi baji segitiga yang disebut piramid. Piramid-piramid tersebut dikelilingi oleh korteks yang disebut kolumna Bertini. Piramid-piramid tersebut tampak bercorak karena tersusun oleh segmen-segmen tubulus dan duktus pengumpul nefron. Papilla (apeks) dari tiap piramid membentuk duktus papilaris Bellini yang terbentuk dari persatuan bagian terminal dari banyak duktus pengumpul. Setiap duktus papilaris masuk ke dalam suatu perluasan ujung pelvis ginjal berbentuk seperti cawan yang disebut kaliks minor. Beberapa kaliks minor bersatu membentuk kaliks mayor, yang selanjutnya
bersatu
sehingga
membentuk
pelvis
ginjal.
Pelvis
ginjal merupakan
reservoar utama sistem pengumpul ginjal. Ureter menghubungkan pelvis ginjal dengan vesika urinaria. Ureter berasal dari bagian bawah pelvis renalis pada ureteropelvic junction
lalu turun ke bawah sepanjang kurang lebih 28 – 34 cm menuju kandung kemih. Dinding dari kaliks, pelvis dan urter mengandung otot polos yang berkontraksi secara teratur untuk mendorong urine menuju kandung kemih.
STRUKTUR MIKROSKOPIK GINJAL a. NEFRON
Unit kerja fungsional ginjal disebut sebagai nefron. Dalam setiap ginjal terdapat sekitar1 juta nefron yang pada dasarnya mempunyai struktur dan fungsi yang sama. Setiapnefron terdiri dari kapsula Bowman, yang mengitari rumbai kapiler glomerulus, tubuluskontortus
proksimal,
lengkung
henle,
dan
tubulus
kontortus
distal,
yang
mengosongkandiri ke duktus pengumpul.
b. KORPUSKULAR GINJAL
Korpuskular ginjal terdiri dari kapsula bowman dan rumbai kapiler glomerulus. Kapsula bowman merupakan suatu invaginasi dari tubulus proksimal. Terdapat ruang yang mengandung urine antara rumbai kapiler dan sel-sel kapsula bowman, dan ruang yang mengandung urine ini dikenal dengan ruang Bowman atau ruang kapsular. Kapsula Bowman dilapisi oleh sel-sel epitel. Sel epitel parietalis berbentuk gepeng dan membentuk bagian terluar dari kapsula; sel epitel visceralis jauh lebih besar dan membentuk bagian dalam kapsula dan juga bagian luar dari rumbai kapiler. Selvisceralis membentuk tonjolan yang disebut podosit, yang bersinggungan denganmembrana basalis pada jarak tertentu sehingga terdapat daerah yang bebas dari kontakantar sel epitel. Membrana basalis membentuk lapisan tengah dinding kapiler, terjepitdiantara sel-sel epitel pada satu sisi dan sel-sel endotel pada sisi yang lain.
Membranabasalis membentuk lapisan tengah dinding kapiler menjadi membrana basalis tubulusdan terdiri dari gel hidrasi yang menjalin serat kolagen. Sel-sel endotel membentukbagian terdalam dari rumbai kapiler. Sel endotel langsung berkontak dengan membrane basalis. Sel-sel endotel, membrana basalis, dan sel-sel epitel visceralis merupakan 3lapisan
yang
membentuk
membrane
filtrasi
glomerulus.
Membran
filtrasi
glomerulusmemungkinkan ultrafiltrasi darah melalui pemisahan unsur-unsur darah dan molekulprotein besar. Membrana basalis glomerulus merupakan struktur yang membatasi lewatnya zat terlarut ke dalam ruang urine berdasarkan seleksi ukuran molekul.Komponen penting lainnya dari glomerulus adalah mesangium, yang terdiri dari selmesangial dan matriks mesangial. Sel mesangial membentuk jaringan yang berlanjutantara lengkung kapiler dari glomerulus dan diduga berfungsi sebagai kerangkajaringan penyokong.
c. APARATUS JUKSTAGLOMERULUS
Aparatus jukstaglomelurus (JGA) terdiri dari sekelompok sel khusus yang letaknyadekat dengan kutub vascular masing-masing glomelurus yang berperan penting dalam mengatur pelepasan rennin dan mengontrol volume cairan ekstraselular (ECF) dan tekanan darah.
JGA terdiri dari 3 macam sel: 1. Juksta glomelurus (JG) atau sel glanular ( yang memproduksi dan menyimpan renin) pada dinding arteriol averen. 2. Makula densa tubulus distal. 3. Mesangial ekstraglomerular atau sel lacis.
Makula densa adalah sekelompok sel epitel tubulus distal yang diwarnai dengan pewarnaan khusus. Sel ini bersebelahan dengan ruangan yang berisi sel lacis dan sel JG yang menyekresi renin. Secara umum, sekresi renin dikontrol oleh faktor ekstrarenaldan intrarenal. Dua mekanisme penting untuk mengontrol sekresi renin adalah sel JGdan makula densa. Setiap penurunan tegangan dinding arteriol aferen atau penurunanpengiriman Na ke makula densa dalam tubulus distal akan merangsang sel JG untukmelepaskan renin dari granula tempat renin tersebut disimpan didalam sel. Sel JG, yangsel mioepitelialnya secara khusus mengikat arteriol aferen, juga bertindaksebagaitransducer tekanan perfusi ginjal. Volume ECF atau volume sirkulasi efektif (ECV)yang sangat menurun menyebabkan menurunnya tekanan
perfusi ginjal, yang sirasakansebagai penurunan regangan oleh sel JG. Sel JG kemudian melepaskan renin ke dalamsirkulasi, yang sebaliknya mengaktifkan mekanisme reninangiotensin-aldosteron.Mekanisme kontrol kedua untuk pelepasan berpusat didalam sel makula densa, yangdapat berfungsi sebagai kemoreseptor, mengawasi beban klorida yang terdapat padatubulus distal. Dalam keadaan kontraksi volume, sedikit natrium klorida ( NaCl)dialirkan ke tubulus distal (karena banyak yang di absorbsi ke dalam tubulus proximal)kemudian timbal balik dari sel makula densa ke sel JG menyebabkan peningkatan renin. Mekanisme sinyal klorida yang diartikan menjadi perubahan sekresi renin ini belumdiketahui dengan pasti. Suatu peningkatan volume ECF yang menyebabkanpeningkatan tekanan perfusi ginjal dan meningkatkan pengiriman NaCl ke tubulusdistal memiliki efek yang berlawanan dari contoh yang diberikan oleh penurunanvolume ECF – yaitu menekan sekresi renin.Faktor lain yang mempengaruhi sekresi renin adalah saraf simpatis ginjal, yangmerangsang pelepasan renin melalui reseptor beta1-adrenergik dalam JGA, angiotensinII yang menghambat pelepasan renin. Banyak faktor sirkulasi lain yang juga mengubahsekresi renin, termasuk elektrolit plasma (kalsium dan natrim) dan berbagai hormon,yaitu hormon natriuretik atrial, dopamin, hormone antidiuretik (ADH), hormoneadrenokortikotropik (ACTH), dan nitrit oksida (dahulu dikenal sebagai faktor relaksasiyang berasal dari endothelium [EDRF] ), dan prostaglandin. Hal ini terjadi mungkinkarena JGA adalah tempat integrasi berbagai input dan sekresi renin itu mencerminkaninteraksi dari semua faktor.
2.2 Fungsi Ginjal
Fungsi utama ginjal dirangkum dalam pembahasan dibawah, yang menekankan peranannyasebagai organ pengatur di dalam tubuh. Ginjal mengekresi bahan-bahan kimia asing tertentu(misalnya, obat-obatan), hormon, dan metabolit lain, tetapi fungsi ginjal paling utama adalahmempertahankan volume dan komposisi ECF dalam batas normal. Tentu saja ini dapatterlaksana dengan mengubah ekskresi air dan zat terlarut, kecepatan filtrasi yang tinggimemungkinkan pelaksanaan fungsi ini dengan ketepatan yang tinggi. Pembentukan renin daneritropoietin serta metabolism vitamin D merupakan fungsi nonekskreator yang penting.Sekresi renin berlebihan yang mungkin penting pada etiologi beberapa bentuk hipertensi.Defisiensi eritropoietin dan pengaktifan vitamin D yang dianggap penting sebagai penyebabanemia dan penyakit tulang pada uremia. Ginjal juga berperan penting dalam degradasi insulindan pembentukan sekelompok senyawa yang mempunyai makna endokrin yang berarti, yaituprostaglandin. Sekitar 20% insulin yang dibentuk oleh pancreas didegradasi oleh sel-sel tubulusginjal. Akibatnya, penderita diabetes yang menderita pa yah ginjal mungkin membutuhkaninsulin yang jumlahnya lebih sedikit. Prostaglandin merupakan hormone asam lemak tak jenuhyang terdapat dalam banyak jaringan tubuh. Medula ginjal membentuk PGI dan PGE2 yangmerupakan vasodilator potensial. Prostaglandin mungkin berperan penting dalam pengaturanaliran darah ginjal, pengeluaran renin, dan reabsorbsi Na+. Kekurangan prostaglandin mungkinjuga turut berperan dalam beberapa bentuk hipertensi ginjal sekunder, meskipun bukti-buktiyang ada sekarang ini masih kurang memadai.
Fungsi Utama Ginjal : 1. Fungsi ekskresi a. Mempertahankan osmolalitas plasma sekitar 285 mOsmol dengan mengubah ekskresiair. b. Mempertahankan volume ECF dan tekanan darah dengan mengubah-ubah ekresi Na+. c.
Mempertahankan
konsentrasi
plasma
masing-masing
elektrolit
individu
dalam
rentangnormal. d. Mempertahankan pH plasma sekitar 7,4 dengan mengeluarkan kelebihan H+ danmembentuk kembali HCO3-. e. Mengekresikan produk akhir nitrogen dari metabolisme protein (terutama urea, asam urat,dan kreatinin). f. Bekerja sebagai jalur ekskretori untuk sebagian besar obat.
2. Fungsi sekr esi a. Menyintesis dan mengaktifkan hormon.
b. Renin : penting dalam pengaturan tekanan darah. c. Eritropoetin : merangsang produksi sel darah merah oleh sumsum tulang. d. 1,25 dihidroksivitamin D3 : hidroksilasi akhir vitamin D3 menjadi bentuk paling kuat. e. Prostaglandin : sebagian besar adalah vasodilator, bekerja secara lokal, dan melindungidari kerusakan iskemik ginjal. f. Degradasi hormon polipeptida : Insulin, glukagon, parathormon, prolaktin, hormon pertumbuhan,ADH, dan hormone gastrointestinal(gastrin,polipeptida intestinal vasoaktif ).
BAB III PENYAKIT GINJAL KRONIK
3.1 Definisi
Penyakit ginjal kronik adalah suatu proses patofis iologis dengan etiologi yang beragam, yangmengakibatkan penurunan fungsi ginjal yang progresif dan berakhir pada gagal ginjal atau End Stage Renal Disease (ESRD). Selanjutnya Gagal ginjal adalah suatu keadaan klinis yangditandai dengan penurunan fungsi ginjal yang irreversible, pada suatu derajat yang memerlukanterapi pengganti ginjal yang tetap, berupa dialisis atau transplantasi ginjal. Uremia adalah suatusindrom klinik dan laboratorik yang terjadi pada semua organ, akibat penurunan fungsi ginjalpada penyakit ginjal kronik. Kriteria penyakit ginjal kronik adalah sebagai berikut :
1. kerusakan ginjal (renal damage) yang terjadi lebih dari 3 bulan, berupa kelainan struktural atau fungional, dengan atau tanpa penurunan laju filtrasi glomerulus (LFG), dengan manifestasi: - kelainan neurologis - terdapat tanda kelainan ginjal, termasuk kelainan dalam komposisi darah atau urine, atau kelainan dalam test pencitraan (imaging test).
2. Laju filtrasi glomerulus (LFG) kurang dari 60 ml/ menit/ 1.73 m2 selama 3 bulan, dengan atau tanpa kerusakan ginjal. Pada keadaan tidak terdapat kerusakkan ginjal lebih dari 3 bulan, dan LFG sama atau lebih dari 60 ml/ menit/ 1,73 m2, tidak termasuk kriteria penyakit ginjal kronik.
3.2 Epidemiologi
Telah diperkirakan bahwa sedikitnya 6% pada kumpulan populasi dewasa di Amerika Serikattelah menderita gagal ginjal kronik dengan LFG > 60 ml/mnt per 1,73 m2 (derajat 1 dan 2).Selain itu, 4,5% dari populasi Amerika Serikat telah berada pada derajat 3 dan 4. Data pada tahun 1995-1999, menyatakan bahwa di Amerika Serikat insiden penyakit ginjal kronikdiperkirakan 100 kasus/juta penduduk/ tahun dan angka ini meningkat 8% setiap tahun.DiMalaysia dengan populasi 18 juta, diperkirakan terdapat 1800 kasus baru gagal ginjal pertahun.Di negara-negara berkembang lainnya, insiden ini diperkirakan sekitar 40-60 juta/tahun.
3.3 Etiologi
Etiologi penyakit ginjal kronik sangatlah bervariasi di antara satu negara dan negara lainnya.Diabetes dan Nefropati hipertensi merupakan penyebab utama dari penyakit ginjal kronikmaupun gagal ginjal kronik. Hipertensi adalah penyebab yang umum dan merupakan akibatpada awal penyakit ginjal kronik.
3.4 Patofisiologi
Patofisiologi dari penyakit ginjal kronik pada awalnya tergantung pada penyakit awal yangmendasarinya, tetapi dalam perkembangan selanjutnya proses yang terjadi kurang lebih sama.Pengurangan masa ginjal menyebabkan hipertrofi struktur dan fungsi dari nefron yang sehat.Kompensasi hipertrofi ini diperantarai oleh molekul vaso aktif, sitokin, dan growth factor. Halini mengakibatkan terjadinya hiperfiltrasi, yang diikuti oleh peningkatan tekanan kapiler danaliran darah glomerulus. Proses adaptasi ini berlangsung singkat, akhirnya diikuti oleh prosesmaladaptasi berupa sklerosis nefron yang masih tersisa. Proses ini akhirnya diikuti olehpenurunan fungsi nefron yang progresif, walaupun penyakit dasarnya sudah tidak aktif lagi.Adanya peningkatan aktivitas aksis Renin Angiotensin Aldosteron intrarenal, ikut memberikankontribusi tehadap terjadinya hiperfiltrasi sclerosis dan progresifitas penyakit tersebut. Aktivasijangka panjang Aksis Renin Angiotensin Aldosteron, sebagian diperantarai oleh GrowthFactor, seperti Transforming Growth Factor s atau TGF-s. Beberapa hal yang juga dianggapberperan terhadap progresifitas penyakit ginjal kronik adalah albuminuria, hipertensi,hiperglikemia, dan dislipidemia . Terdapat variabilitas inter individual untuk terjadinyasclerosis dan fibrosis glomerulus maupun tubulointerstisial. Pada stadium paling dini penyakitgagal ginjal kronik, terjadi kehilangan daya cadang ginjal, pada keadaan dimana basal LFGmasih normal atau malah meningkat. Kemudian secara perlahan tapi pasti, akan terjadipenurunan fungsi nefron yang progresif, yang ditandai dengan peningkatan kadar urea dankreatinin serum. Sampai pada LFG sebesar 60%, pasien masih belum merasakan keluhan(asimptomatik), tetapi sudah terjadi peningkatan kadar urea dan kreatinin serum. Sampai padaLFG sebesar 30%, mulai terjadi keluhan pada pasien seperti nokturia, badan lemah, mual, nafsumakan kurang, dan penurunan berat badan. Sampai pada LFG di bawah 30%, pasienmemperlihatkan gejala dan tanda uremia yang nyata, seperti anemia, peningkatan tekanandarah, gangguan metabolisme fosfor dan kalsium, pruritus, mual, muntah, dan sebagainya.Pasien juga mudah terkena infeksi saluiran kemih, infeksi saluran napas, maupun infeksisaluran cerna. Juga akan terjadi gangguan keseimbangan air seperti hipo atau hipervolemia, gangguan keseimbangan elektrolit, antara lain Na dan K. Pada LFG di bawah 15%, akan terjadigejala dan komplikasi yang lebih serius,
dan pasien sudah memerlukan terapi pengganti ginjal(Renal Replacement Therapy) antara la in dialisis atau transplantasi ginjal. Pada keadaan inipasien dikatakan sampai pada stadium gagal ginjal.
3.5 Klasifikasi
Klasifikasi penyakit ginjal kronik didasarkan atas persamaan dari Kockcroft-Gault, sebagai berikut :
Creatinin Clearance Test (ml/mnt) = ( (140-umur) x BB) / (72 x Kreatinin plasma (mg/dl)) Catatan : pada wanita x 0,85
Derajat Penjelasan LFG (ml/mnt/1,73m2) : 1 Kerusakan ginjal dengan LFG normal atau↑ ≥ 90 2 Kerusakan ginjal dengan LFG ↓ ringan 60-89 3 Kerusakan ginjal dengan LFG ↓ sedang 30-59 4 Kerusakan ginjal dengan LFG ↓ berat 15-29 5 Gagal ginjal < 15 atau dialysis
Pada LFG < 15 ml/mnt/1,73 m2, terapi pengganti ginjal merupakan indikasi apabila terjadiuremia. Pada derajat 3 dan 4 (LFG kurang dari 60 ml/menit/ 1,73 m2) , komplikasi daripenyakit ginjal kronik menjadi lebih progresif. Seluruh sistem organ terganggu tetapi implikasiyang paling sering adalah anemia dan kehilangan energi , penurunan nafsu makan dangangguan status nutrisi, kelainan metabolisme kalsium dan fosfor yang disertai penyakit tulanmetabolik, dan kelainan natrium, air, kalium, dan keseimbangan asam basa. Ketika LFG turunmenjadi kurang dari 15 ml/ menit/ 1,73 m2, pasien biasanya mengalami gangguan yang beratpadat aktivitas kehidupan hari-harinya, pada kesehatannya status nutrisi, homeostasis air danelektrolik, sampai pada akhirnya mengalami derajat uremia dimana tanpa terapi penggantiginjal tidak bisa bertahan.
3.6. Gambaran klinis
Gambaran klinis pasien dengan penyakit ginjal kronik meliputi: • Sesuai dengan penyakit yang mendasari seperti diabetes melitus, infeksi traktus urinarius,batu traktus
urinarius,
hipertensi,
hiperurikemi,
lupus
eritematosus
sistemik,
infeksi
sistemik,inflamasi, penyakit metabolik, riwayat keluarga dengan penyakit ginjal, obat-obatan sepertianalgesik, NSAIDs, gold, penicillamine, antimikroba, lithium, ACE inhibitor. • Sindrom uremia, yang terdiri dari lemah letargi, anoreksia, mual,muntah, nokturia, kelebihanvolume cairan ( volume overload ), neuropati perifer, uremic frost, perikarditis, kejangkejangsampai koma. • Gejala komplikasinya antara lain hipertensi, anemia, osteodistrofi renal, payah jantung,asidosis metabolik, gangguan keseimbangan elektrolit (natrium, kalium, klorida) Pada anamnesis ditanyakan adanya sindrom uremia seperti napsu makan, makanan, mual, muntah, hiccups, napas yang pendek, edema, perubahan berat badan, keram otot, pruritus, ganggguan mental, dan aktivitas kehidupan sehari-hari. Pada pemeriksaan fisik dilakukanpemeriksaan tekanan darah, funduskopi, pemeriksaan precordial, pemeriksaan bruit pada abdomen, balotement, penilaian adanya edema, pemeriksaan neurologis (asterixis, neuropati,kelemahan otot, pemeriksaan ukuran prostat pada laki-laki dan adanya massa di pelvis padaperempuan.
3.7. Gambaran laboratorium
Gambaran laboratorium penyakit ginjal kronik meliputi: • Sesuai dengan penyakit yang mendasari • Penurunan fungsi ginjal berupa peningkatan kadar ureum dan kreatinin serum, dan penurunanLFG yang dihitung menggunakan rumus kockcroft-gault. Kadar kreatinin serum saja tidakbisa dipergunakan untuk memperkirakan fungsi ginjal • Kelainan biokimiawi darah meliputi penurunan kadar hemoglobin, peningkatan kadar asamurat,
hiper
atau
hipokalemia,
hiponatremia
,
hiper
atau
hipokloremia,
hiperfosfatemia,hipokalsemia, asidosis metabolik. • Kelainan urinalisis meliputi proteinuria, hematuri, leukosituria, cast, isosisteinuria.
3.8 Gambaran Radiologi
Pemeriksaan radiologi Penyakit ginjal kronik meliputi : • Foto polos abdomen, bisa tampak batu radio-opaque • Pielografi intravena jarang dikerjakan, karena kontras sering tidak bisa melewati filterglomerulus, di samping kekhawatiran pasien terjadinya pengaruh toksik oleh kontrasterhadap ginjal yang sudah mengalami kerusakkan • Pielografi antegrad atau retrograd dilakukan sesuai indikasi • USG ginjal memperlihatkan ukuran ginjal yang mengecil, korteks yang menipis, adanyahidronefrosis atau batu ginjal, kista, massa, kalsifikasi
• Pemeriksaan pemindaian ginjal atau renogarfi dikerjakan bila ada indikasi.
3.9. Biopsi dan Pemeriksaan Histopatologi Ginjal
Biopsi dan pemeriksaan histopatologi ginjal dilakukan pada pasien dengan ukuran ginjal yangmasih mendekati normal, dimana diagnosis secara noninvasif tidak bisa ditegakkan.Pemeriksaan histopatologi ini bertujuan untuk mengetahui etiologi, menetapakn terapi,prognosis, dan mengevaluasi hasil terapi yang telah diberikan. Biopsi ginjal indikasikontradilakukan pada keadaan dimana ukuran ginjal yang sudah mengecil (contracted kidne y), ginjalpolikistik, hipertensi yang tidak terkendali, infeksi perinefrik, gangguan pembekuan darah, gagal nafas, dan obesitas.
3.10. Penatalaksanaan
Perencanaan tatalaksana penyakit ginjal kronik sesuai dengan derajatnya. Penatalaksanaan penyakit ginjal kronik meliputi: 1. Terapi spesifik terhadap penyakit dasarnya 2. Pencegahan dan terapi terhadap kondisi komorbid Kondisi komorbid antara lain gangguan keseimbangan cairan, hipertensi yang tidakterkontrol,
infeksi
traktus
urinarius,
obstruksi
traktus
urinarius,
obat-obat
nefrotoksik,bahan radiokontras, atau peningkatan aktivitas penyakit dasarnya. 3. Memperlambat progesivitas penyakit ginjal kronik Tujuannya adalah untuk mempertahankan kadar LFG dan mencegah penurunan LFG lebihlanjut. Faktor utama penyebab perburukan fungsi ginjal adalah terjadinya hiperfiltrasi glomerulus.
• Pembatasan asupan protein Tujuan utama pembatasan asupan protein, selain untuk memperbaiki komplikasi uremia, adalahuntuk memperlambat kerusakan nefron. Pembatasan asupan protein mulai dilakukan pada LFG≤ 60 ml/menit, sedangkan diatas nilai tersebut pembatasan asupan protein tidak selaludianjurkan. Protein diberikan 0.6-0.8/kgbb/hari, yang 0.30-0.50 gr diantaranya merupakanprotein nilai biologi tinggi. Jumlah kalori yang diberikan sebesar 3035kkal/kgbb/hari.Dibutuhkan pemantauan yang teratur terhadap status nutrisi pasien. Bila terjadi malnutrisi,jumlah asupan kalori dan protein dapat ditingkatkan. Berbeda dengan lemak dan karbohidrat,kelebihan protein tidak disimpan dalam tubuh tetapi dipecah menjadi urea dan substansinitrogen lain, yang terutama diekskresikan melalui ginjal. Selain itu, makanan tinggi
proteinyang mengandung ion hidrogen, fosfat, sulfat, dan ion anorganik lain juga diekskresikanmelalui ginjal. Oleh karena itu, pemberian diet tinggi protein pada pasien penyakit ginjal kronikakan mengakibatkan penimbunan substansi nitrogen dan ion anorganik lain, dan megakibatkangangguan klinis dan metabolik yang disebut uremia. Denagn demikian pembatasan asupanprotein akan mengakibatkan berkurangnya sindrom uremik maslah penting lain adalah asupanprotein berlebih ( protein overload) akan mengakibatkan perubahan hemodinamik
ginjal
berupapeningkatan
aliran
darah
dan
tekanan
intraglomerulus
(intraglomerulus hiperfiltation), yangakan meningkatkan progresivitass pemburukan fungsi ginjal. Pembatasan asupan protein juga berkaitan dengan pembatasan asupan fosfat, karena protein dan fosfat selalu berasal darisumber yang sama. Pembatasan fosfat perlu untuk mencegah terjadinya hiperfosfatemia.
• Mengurangi hipertensi intraglomerular dan proteinuria Terapi farmakologis yang dipakai untuk mengurasi hipertensi glomerulus ialah denganpengggunaan antihipertensi, yang bertujuan untuk memperlambat progresivitas dari kerusakanginjal, dengan memperbaiki hipertensi dan hipertrofi intraglomerular. Selain itu terapi ini jugaberfungsi untuk mengontrol proteinuria. Tekanan darah yang meningkat akan meningkatkanproteinuria yang disebabkan transmisi ke glomerulus pada tekanan sistemik meningkat. Saat inidiketahui secara luas, bahwa proteinuria, berkaitan dengan proses perburukan fungsi ginjal,dengan kata lain derajat proteinuriaberkaitan dengan proses perburukan fungsi ginjal padapenyakit ginjal kronik. Beberapa obat antihipertensi, terutama penghambat enzim converting angotensin (ACE inhibitor) dan angiotensin reseptor bloker melalui berbagai studi terbuktidapat memperlambat proses perburukan fungsi ginjal, hal ini terjadi lewat mekanisme kerjanyasebagai antihipertensi dan antiproteinuria. Jika terjadi kontraindikasi atau terjadi efek sampingterhadap obat-obat tersebut dapat diberikan calcium chanel bloker, seperti verapamil dandiltiazem.
4. Pencegahan dan terapi terhadap penyakit kardiovakuler Hal ini dilakukan karena 40-45% kematian pada penyakit ginjal kronik disebabkan olehpenyakit kardiovaskuler. Hal hal yang termasuk ke dalam pencegahan dan terapi penyakitkardiovaskuler
adalah
pengendalian
diabetes,
pengendalian
hipertensi,
pengendaliandislipidemi, pengendalian anemia, pengendalian hiperfosfatemia dan terapi terhadapkelebihan cairan dan gangguan keseimbangan elektrolit. Semua ini terkait denganpencegahan
dan
terapi
terhadap
komplikasi
penyakit
ginjal
kronik
secara
keseluruhan.Pencegahan dan terapi terhadap komplikasi Penyakit ginjal kronik mengakibatkan berbagaikomplikasi yang manifestasinya sesuai dengan derajat penurunan fungsi ginjal yang terjadi.
BAB IV ANEMIA PADA PENYAKIT GINJAL KRONIK 4.1 Definisi
Menurut definisi, anemia adalah berkurangnya hingga di bawah nilai normal jumlah sel darahmerah , kuantitas hemoglobin, dan volume packed red cells (hematokrit) per 100 ml
darah.Anemia bukanlah suatu diagnosis, melainkan suatu cerminan perubahan patofisiologik yangmendasar yang diuraikan melalui anamnesis yang seksama, pemeriksaan fisik, dan konfirmasilaboratorium. Anemia merupakan satu dari gejala klinik pada gagal ginjal. Anemia padapenyakit ginjal kronik muncul ketika klirens kreatinin turun kira-kira 40 ml/mnt/1,73m2 daripermukaan tubuh, dan hal ini menjadi lebih parah dengan semakian memburuknya fungsiekskresi ginjal. Terdapat variasi hematokrit pada pasien penurunan fungsi ginjal. Kadar nilaihematokrit dan klirens kreatinin memiliki hubungan yang kuat. Kadar hematokrit biasanyamenurun, saat kreatinin klirens menurun sampai kurang dari 30-35 ml per menit. Anemia padagagal ginjal merupakan tipe normositik normokrom apabila tidak ada faktor lain yangmemperberat seperti defisiensi besi (menjadi gambaran hipokrom mikrositer) yang terjadi pada gagal ginjal. Anemia ini bersifathiporegeneratif. Jumlah retikulosit yang nilai hematokrit nya dikoreksi menjadi normal, tidakadekuat.
4.2 Patogenesis
Terdapat 3 mekanisme utama yang terlibat pada patogenesis anemia pada gagal ginjal, yaitu :hemolisis, produksi eritropoetin yang tidak adekuat, dan penghambatan respon dari selprekursor eritrosit terhadap eritropoetin. Proses sekunder yang memperberat dapat terjadiseperti intoksikasi aluminium. 1. Hemolisis Hemolisis pada gagal ginjal terminal adalah derajat sedang. Pada pasien hemodialisiskronik, masa hidup eritrosit diukur menggunakan 51Cr menunjukkan variasi dari sel darah merah normal yang hidup tetapi rata-rata waktu hidup berkurang 25-30%. Efek faktor yang terkandung pada uremic plasma pada Na-ATPase membran danenzim dari Pentosa phospat shunt pada eritrosit diperkirakan merupkan mekanisme yangmenyebabkan terjadinya hemolisis. Kelainan fungsi dari Pentosa phospat shunt mengurangiketersediaan dari glutation reduktase, dan oleh karena itu mengartikan kematian eritrositmenjadi oksidasi Hb dengan proses hemolisisis. Kerusakan ini menjadi semakin parah apabila oksidan dari luar masuk melalui dialisat atau sebagai obat-obatan. Peningkatankadar hormon PTH pada darah akibat sekunder hiperparatioidsm juga menyebabkanpenurunan sel darah merah yang hidup pada uremia, sejak PTH yang utuh atau normalterminal fragmen meningkatkan kerapuhan osmotik dari SDM manusia secara in vitro,kemungkinan oleh karena peningkatan kerapuhan seluler. Hyperparatiroidism
dapatmenekan
produksi
sel
darah
merah
melalui
2
mekanisme.yang pertama, efek langsungpenekanan sumsum tulang akibat peningkatan kadar PTH, telah banyak dibuktikan melaluipercobaan pada hewan. Yang kedua, efek langsung pada
osteitis fibrosa, yang mengurangirespon sumsum tulang terhadap eritropoetin asing. Terdapat laporan penelitian yangmenyatakan adanya peningkatan Hb setelah dilakukan paratiroidektomi pada pasien denganuremia. Mekanisme lainnya yang menyebabkan peningkatan rigiditas eritrosit yangmengakibatkan hemolisis pada gagal ginjal adalah penurunan fosfat intraseluler(hypofosfatemia) akibat pengobatan yang berlebihan dengan pengikat fosfat oral, denganpenurunan intracellular adenine nucleotides dan 2,3- diphosphoglycerate (DPG). Hemolisisdapat timbul akibat kompliksaidari prosedur dialisis atau dari interinsik imunologi dankelainan eritrosit. Kemurnian air yang digunakan untuk menyiapkan dialisat dan kesalahanteknik selama proses rekonstitusi dapat menurunkan jumlah sel darah merah yang hidup,bahkan terjadi hemolisis. Filter karbon bebas kloramin yang tidak adekuat akibat saturasifilter dan ukuran filter yang tidak mencukupi, dapat mengakibatkan denaturasi hemoglobin pemhambatan hexose monophosphate shunt, dan hemolisis kronik. Lisisnya sel juga dapatdisebabkan tercemarnya dialisat oleh copper, nitrat, atau formaldehide. Autoimun dankelainan biokomia dapat menyebabkan pemendekan waktu hidup eritrosit. Hipersplenismmerupakan gejala sisa akibat transfusi, yang distimulasi oleh pembentukan antibodi, fibrosissumsum tulang, penyakit reumatologi, penyakit hati kronis dapat mengurangi sel darahmerah yang hidup sebanyak 75% pada pasien dengan gagal ginjal terminal. Ada beberapamekanisme lainnya yang jarang , yang dapat menyebabkan hemolisis seperti kelebihan besipada darah, Zn, dan formaldehid, atau karena pemanasan berlebih. Perburukan hemolisispada gagal ginjal juga dapat disebabkan karena proses patologik lainnya sepertisplenomegali atau mikroangiopati yang berhubungan dengan periarteritis nodosa, SLE, danhipertensi maligna.
2. Defisiensi Eritropoetin Hemolisis sedang yang disebabkan hanya karena gagal ginjal tanpa faktor lain yangmemperberat
seharusnya
tidak
menyebabkan
anemia
jika
respon
eritropoesis
mencukupitetapi proses eritropoesis pada gagal ginjal terganggu. Alasan yang paling utama darifenomena ini adalah penurunan produksi eritropoetin pada pasien dengan gagal ginjal yangberat. Produksi eritropoetin yang inadekuat ini merupakan akibat kerusakan yang progresifdari bagian ginjal yang memproduksi eritropoetin. Peran penting defisiensi eritropoetin padapatogenesis anemia pada gagal ginjal dilihat dari semakin beratnya derajat anemia.Selanjutnya pada penelitian terdahulu menggunakan teknik bio-assay menunjukkan bahwadalam perbandingan dengan pasien anemia tanpa penyakit ginjal, pasien anemia denganpenyakit ginjal menunjukkan peningkatan konsentrasi serum eritropoetin yang
tidakadekuat. Inflamasi kronik, menurunkan produksi sel darah merah dengan efek tambahanterjadi
defisiensi
erotropoetin.
Proses
inflamasi
seperti
glomerulonefritis,
penyakitreumatologi, dan pielonefritis kronik, yang biasanya merupakan akibat pada gagal ginjalterminal, pasien dialisis terancam inflamasi yang timbul akibat efek imunosupresif.
3. Penghambatan eritropoesis Dalam hal pengurangan jumlah eritropoetin, penghambatan respon sel prekursor eritrositterhadap eritropoetin dianggap sebagai penyebab dari eritropoesis yang tidak adekuat padapasien uremia. Terdapat toksin-toksin uremia yang menekan proses ertropoesis yang dapatdilihat pada proses hematologi pada pasien dengan gagal ginjal terminal setelah terapireguler dialisis. Ht biasanya meningkat dan produksi sel darah merah yang diukur dengankadar Fe yang meningkat pada eritrosit, karena penurunan kadar eritropetin serum. Substansiyang menghambat eritropoesis ini antara lain poliamin, spermin, spermidin, dan PTHhormon. Spermin dan spermidin yang kadar serumnya meningkat pada gagal ginjal kronikyang tidak hanya memberi efek penghambatan pada eritropoesis tetapi juga menghambatgranulopoesis dan trombopoesis. Karena ketidakspesifikkan, leukopenia, dantrombositopenia bukan merupakan karakteristik dari uremia, telah disimpulkan bahwaspermin dan spermidin tidak memiliki fungsi yang signifikan pada patogenesis dari anemiapada penyakit ginjal kronik. Kadar PTH meningkat pada uremia karena hiperparatiroidsmsekunder, tetapi hal ini masih kontroversi jika dikatakna bahwa PTH memberikan efekpenghambatan pada eritropoesis. Walaupun menurut penelitian, dilaporkan paratiroidektomimenyebabkan peningkatan dari kadar Hb pada pasien uremia, peneliti lain mengatakan tidakada hubungan antara kadar PTH dengan derajat anemia pada pasien uremia. Walaupun efeklangsung penghambatan PTH pada eritropoesis belum dibuktikan secara final, akibat yanglain dari peningkatan PTH seperti fibrosis sum-sum tulang dan penurunan masa hiduperitrosit ikut bertanggung jawab dalam hubungan antara hiperparatiroidsm dan anemia padagagal ginjal.
4. Faktor Lain Mekanisme lain yang mempengaruhi eritropoesis pada pasien dengan gagal ginjal terminaldengan reguler hemodialisis adalah intoksikasi aluminium akibat terpapar oleh konsentrasitinggi dialisat alumunium dan atau asupan pengikat fosfat yang mengandung aluminium.Aluminium menyebabkan anemia mikrositik yang kadar feritin serum nya meningkat ataunormal pada pasien hemodialisis, menandakan anemia pada pasien tersebut
kemungkinandiperparah oleh intoksikasi alumnium. Patogenesis nya belum sepenuhnya dimengerti tetapiterdapat bukti yang kuat yang menyatakan bahwa efek toksik aluminium pada eritropoesismenyebabkan hambatan sintesis dan ferrochelation hemoglobine. Akumulasi aluminiumdapat mempengaruhi eritropoesis melalui penghambatan metabolisme besi normal denganmengikat transferin, melalui terganggunya sintesis porfirin, melalui terganggunya sirkulasibesi antara prekursor sel darah merah pada sumsum tulang.
4.3 Diagnosis
Anamnesis pada anemia dengan gagal ginjal ditanyakan tentang riwayat penyakit terdahulu,pemeriksaan fisik, evaluasi pemeriksaan darah lengkap dan pemeriksaan apus darah perifer.Kebanyakan
pasien
yang
tidak
memiliki
komplikasi,
anemia
ini
bersifat
hipoproliferatifnormositik normokrom, apus darah tepi menunjukkan burr cell. Perubahan morfologi sel darahmerah menampilkan proses hemolitik primer , mikroangiopati atau hemoglobinopati. Jumlahtotal retikulosit secara umum menurun. Mean corpuscular volume meningkat pada defisiensiasam folat, defisiensi B 12 dan pasien dengan kelebihan besi. Mean corpuscular volumemenurun pada pasien dengan thalasemia, defisiensi besi yang berat, dan intosikasi aluminiumyang berat. Pada era penggunaan rekombinant human eritropoetin (rHuEPO) , penilaianterhadap simpanan besi melalui perhitungan feritin serum, transferin, dan besi sangatdiperlukan. Pada keadaan dimana tidak ada faktor yang memperberat seperti penyakit inflamasi, penyakit hati, atau respons yang buruk dari rHuEPO, feritin serum merupakan indikator yangtepat dari simpanan besi tubuh. Jika s impanan menurun , nilai feritin serum menurun sebelumsaturasi transferin. Walaupun penyakit kronik dapat menurunkan besi dan transferin, pasiendengan saturasi transferin kurang dari 20% dan feriti n kurang dari 50 ng/ mm dapat dianggapterjadi defisiensi besi. Di sisi lain pasien memiliki saturasi lebih dari 20% yang gagal berespons terhadap replacement besi harus diperkirakan mengalami intoksikasi aluminium atauhemoglobinopati. Walaupun alat serologi dapat mengidentifikasi defisiensi besi denganspesifisitas, Memastikan dengan pasti penyebab membutuhkan berbagai jalur kehilangan besipada pasien tersebut termasuk saluran gastro intes tinal (4-5 ml blood loss / hari atau 5 mlkehilangan besi/ hari), prosedur dialisis ( 4-50 ml/ terapi dimana mungkin disebabkan karenaantikoagulan yang inadequat dan teknik penggunaan kembali dialister yang buruk), flebotomiyang rutin untuk kimia darah dan konsumsi besi pada terapi rHuEPO.
BAB V MANAJEMEN ANEMIA PADA PENYAKIT GINJAL KRONIK Penatalaksanaan anemia ditujukan untuk pencapaian kadar Hb > 10 g/dL dan Ht > 30%, baikdengan pengelolaan konservatif maupun dengan EPO. Bila dengan terapi konservatif target Hbdan Ht belum tercapai dilanjutkan dengan terapi EPO. Dampak Anemia pada gagal ginjalterhadap kemampuan fisik dan mental dianggap dan menggambarkan halangan yang besarterhadap rehabilitasi pasien dengan gagal ginjal terminal . Walaupun demikian efek anemiapada oksigenasi jaringan mungkin seimbang pada pasien uremia dengan penurunan afinitasoksigen dan peningkatan cardiac output saat hematokrit dibawah 25 %. Walaupun demikianbanyak pasien uremia memiliki hipertensi dan miokardiopati. Karena tubuh memilikikemampuan untuk mengkompensasi turunnya kadar hemoglobine dengan meningkatnyacardiac output. Selain itu banyak pasien memiliki penyakit jantung koroner yang berat danwalaupun anemia dalam derajat sedang dapat dis ertai dengan miokardial iskemik danangina. Terapi anemia pada gagal ginjal bervariasi dari pengobatan simptomatik melaluitransfusi sel darah merah sampai ke penyembuhan dengan transplantasi ginjal. Transfusi darahhanya memberikan keuntungan sementara dan beresiko terhadap infeksi (virus hepatitis danHIV) dan hemokromatosis sekunder. Peran dari transfusi sebagai pengobatan anemi primerpada pasien gagal ginjal terminal telah berubah saat dialisis dan penelitian serologic telahmenjadi lebih canggih. Transplantasi ginjal pada ban yak kasus, harus menunggu dalam waktuyang tidak tertentu dan tidak setiap pasien dialisis memenuhi syarat. Terdapat variasi terapiantara transfusi darah dan transplantasi, yaitu: 1. Suplementasi eritropoetin 2. Pembuangan eritropoesis inhibitor endogen dan toksin hemolitik endogen denganterapi transplantasi ginjal ekstra korporeal atau peritoneal dialisis. 3. Pembuangan kelebihan aluminium dengan deferoxamine 4. Mengkoreksi hiperpara tiroidism. 5. Terapi Androgen 6. Mengurangi iatrogenic blood loss 7. Suplementasi besi 8. Transfusi Darah
5.1 Suplementasi eritropoetin
Terapi
yang
sangat
efektif
dan
menjanjikan
telah
tersedia
menggunakan
recombinanthuman eritropoetin yang telah diproduksi untuk aplikasi terapi. Seperti yang telah didemonstrasikan dengan plasma kambing uremia yang kaya eritropoetin, humanrecombinant eritropoetin diberikan intravena kepada pasien hemodialisa ,telah dibuktikanmenyebabkan peningkatan eritropoetin yang drastis. Efek samping utamanya adalahmeningkatkan tekanan darah dan kejang terutama pada masa EPO fase koreksi. Peningkatan tekanan darah bukan hanyaakibat peningkatan viskositas darah tetapi juga peningkatan tonus vaskular perifer (tidak berhubungan dengan kadar Hb). Penelitian in vitromenunjukkan efek stimulasi human recombinant eritropoetin pada diferensiasi
murine
megakariosit.
Kecepatan
eritropoesis
yang
dipengaruhi
oleh
eritropoetindapat menimbulkan defisiensi besi khususnya pada pasien dengan peningkatan bloodloss. Seluruh observasi ini mengindikasikan bahwa recombinant human eritropoetin harusdigunakan dengan hati-hati. Hal ini juga memungkinkan bahwa kebanyakan efek sampingini dapat diminimalkan jika nilai Hematokrit tidak meningkat ke normal, tetapi pada nilai30-35%. Produksi recombinant human eritropoetin merupakan manajemen yang utamapada pasien uremia.
Indikasi dan Kontraindikasi terapi EPO 1.Indikasi: Bila Hb < 10 g/dL, Ht < 30% pada beberapa kali pemeriksaan dan penyebab lainanemia sudah disingkirkan. Syarat pemberian adalah: a. Cadangan besi adekwat : feritin serum > 100 mcg/L, saturasi transferin > 20% b. Tidak ada infeksi yang berat 2.Kontraindikasi: hipersensitivitas terhadap EPO 3.Keadaan yang perlu diperhatikan pada terapi EPO, hati-hati pada keadaan: a. Hipertensi tidak terkendali b. Hiperkoagulasi c. Beban cairan berlebih/fluid overload Sebaiknya EPO tidak diberikan pada tekanan dara h ≥180 mmHg dan atau ≥110 mmHg
Terapi Eritropoietin ini memerlukan syarat yaitu status besi yang cukup. Terdapatbeberapa kriteria pengkajian status besi pada Gagal ginjal Kronis: a. Anemia dengan status besi cukup b.Anemia defisiensi besi:
a. Anemia defisiensi besi absolut : Feritin serum < 100 mcg/L b. Anemia defisiensi besi fungsional: Feritin serum > 100 mcg/L Saturasi Transferin < 20 %.
1.1 Terapi Eritropoietin Fase koreksi: Tujuan: Untuk mengoreksi anemia renal sampai target Hb/Ht tercapai. a. Pada umumnya mulai dengan 2000-4000 IU subkutan, 2-3x semingguselama 4 minggu. b. Target respon yang diharapkan :Hb naik 1-2 g/dL dalam 4 minggu atau Ht naik 2-4 % dalam 2-4 minggu. c. Pantau Hb,Ht tiap 4 minggu d. Bila target respon tercapai: pertahankan dosis EPO sampai target Hb tercapai(> 10 g/dL) e. Bila terget respon belum tercapai naikkan dosis 50% f. Bila Hb naik >2,5 g/dL atau Ht naik > 8% dalam 4 mi nggu, turunkan dosis25% g. Pemantauan status besi: Selama terapi Eritropoietin, pantau status besi, berikan suplemen sesuaidengan panduan terapi besi.
1.2 Terapi EPO fase pemeliharaan a. Dilakukan bila target Hb sudah tercapai (>12 g/dL). Dosis 2 atau 1 kali 2000 IU/minggu Pantau Hb dan Ht setiap bulan Periksa status besi setiap 3 bulan b. Bila dengan terapi pemeliharaan Hb mencapai > 12 g/dL (dan status besicukup) maka dosis EPO diturunkan 25%
Pemberian eritropoetin ternyatadapat menimbulkan efek samping diantaranya: a. hipertensi: -
tekanan darah harus dipantau ketat terutama selama terapieritropoetin fase koreksi
- pasien mungkin membutuhkan terapi antihipertensi atau peningkatandosis obat antihipertensi - peningkatan tekanan darah pada pasien dengan terapi eritropoietintidak berhubungan dengan kadar Hb. b. Kejang: - Terutama terjadi pada masa terapi EPO fase koreksi - Berhubungan dengan kenaikan Hb/Ht yang cepat dan tekanan darahyang tidak terkontrol.
Terkadang pemberian EPO menghasilkan respon yang tidak adekwat. Respon EPOtidak adekwat bila pasien gagal mencapai kenaikan Hb/Ht yang dikehendaki setelahpemberian EPO selama 4-8 minggu. Terdapat beberapa penyebab respon EPO yangtidak adekwat yaitu: a. Defisiensi besi absolut dan fungsional (merupakan penyebab tersering) b. Infeksi/inflamasi (infeksi akses,inflamasi, TBC, SLE,AIDS) c. Kehilangan darah kronik d. Malnutrisi e. Dialisis tidak adekwat f. Obat-obatan (dosis tinggi ACE inhibitor, AT 1 reseptor antagonis) g. Lain-lain (hiperparatiroidisme/osteitis fibrosa, intoksikasi alumunium,hemoglobinopati seperti talasemia beta dan sickle cell anemia, defisiensi asam folatdan vitamin B12, multiple mioloma, dan mielofibrosis, hemolisis, keganasan).
Agar pemberian terapi Eritropoietin optimal, perlu diberikan terapi penunjang yangberupa pemberian: a. asam folat : 5 mg/hari b. vitamin B6: 100-150 mg c. Vitamin B12 : 0,25 mg/bulan d. Vitamin C : 300 mg IV pasca HD, pada anemia defisiensi besi fungsional yangmendapat terapi EPO e. Vitamin D: mempunyai efek langsung terhadap prekursor eritroid f. Vitamin E: 1200 IU ; mencegah efek induksi stres oksidatif yang diakibatkan terapibesi intravena g. Preparat androgen (2-3 x/minggu) : * Dapat mengurangi kebutuhan EPO * Obat ini bersifat hepatotoksik, hati-hati pada pasien dengan gangguan fungsi hati * Tidak dianjurkan pada wanita
5. 2 Terapi transplantasi ginjal ekstra korporeal atau peritoneal dialysis
Seluruh terapi pengganti ginjal ekstra korporeal dan peritoneal dialisis pada dasarnyadapat juga mempengaruhi patogenesis anemia pada gagal ginjal, sejak prosedur
inidapat membuang toksin yang menyebabkan hemolisis dan menghambat eritropoesis.Selain itu, pengalaman klinis membuktikan bahwa perkembangan nya lebih cepatdaripada menggunakan terapi eritropoetin. Ketidakefektivan pada terapi penggantiginjal merupakan akibat keterbatasan pengetahuan tentang toksin dan cara terbaik untukmenghilangkannya. Pendekatan sederhana untuk meningkatkan terapi detoksifikasi padauremia dengan meningkatkan batas atas ukuran molekular yang dibuang dengan difusidan atau transportasi konvektif tidak menghasilkan hasil yang memuaskan. Misalnya,tidak ada data yang membuktikan bahwa hemofiltrasi yang mencakup pembuanganjangkauan molekuler yang lebih besar dibanding hemodialisis dengan membaranselulosa yang kecil, merupakan dua terapi utama dalam mengkoreksi anemia pada gagalginjal. Selain itu continious ambulatory peritoneal dialysis (CAPD) , juga merupakanterapi dengan pembuangan jangkauan molekuler yang besar, ini lebih baikdibandingkan dengan hemodialisis standar dengan membaran selulosa yang kecil. Halini masih tidak jelas jika keuntungan CAPD ini hanya karena pembuangan yang lebihbaik dari inhibitor eritropoesis. Beberapa penelitian mengindikasikan CAPDmeningkatkan produksi eritropoetin, mungkin juga diluar ginjal dan karena oleh itumeningkatkan eritropoesis. Walaupun mekanismenya belum diketahui.
5. 3 Pembuangan kelebihan aluminium dengan deferoxamine
Sejak inhibitor eritropoesis diketahui, pada kasus intoksikasi aluminium, terapi dapatselektif dan efektif efek aluminium yang memperberat pada anemia dengan gagal ginjalselalu
harus
diasumsikan
ketika
terjadi
anemia
mikrositik
dengan
normal
ataupeningkatan feritin serum pada pasien reguler hemodialisis. Diagnosis ditegakkandengan peningkatan nilai aluminium serum, riwayat terpapar aluminium baik oralmaupun dialisat , gejala intoksikasi aluminium seperti ensekalopati penyakit tulangaluminium , dan keberhasila n percobaan terapi. Terapi utama adalah pemberian chelatordeferoxamin (DFO) IV selama satu sampai dua jam terakhir saat hemodialisa atauhemofiltrasi atau CAPD. Range dosis 0,5 – 2,0 gr. , 3 kali seminggu. DFOmemobilisasi aluminium sebagai larutan yang kompleks, dimana kemudian dibuangdengan terapi dialisis atau prosedur filtrasi. Efek samping utama adalah hipotensi, toksisitas okular, komplikasi neurologi seperti kejang dan mudah terkena infeksi jamur.Efek
samping
ini
berespons
terhadap
pemberhentian
terapi
sementara
waktu,pengurangan dosis atau pemberhentian terapi. Efek DFO pada anemia dapat berakibatdrastis yang menggambarkan perubahan nilai hemoglobine,feritin serum, dan konsentrasi aluminium , MCV, MCH pada pasien dengan ostemalasiayang berhubungan
dengan aluminium. Pada permulaan terapi pasien mengalami anemiamikrositik peningkatan nilai aluminium serum dan feritin . Setelah beberapa bulanterapi dengan DFO , MCV dan MCH pada nilai diatas normal, hemoglobine meningkatsecara signifikan dan feritin serum dan aluminium menurun
5.4 Mengkoreksi hiperparatiroidism
Sekunder hiperparatiroid pada anemia dengan gagal ginjal, paratiroidektomi bukan merupakan indikasi untuk terapi anemia. Pengobatan supresi aktivitas kelenjarparatiroid dengan 1,25- dihidroksi vitamin D3 biasanya berhubungan denganpeningkatan anemia.
5.5 Terapi Androgen
Sejak tahun 1970 an androgen telah digunakan untuk terapi gagal ginjal. Efek yangpositif
yaitu
meningkatkan
produksi
eritropoetin,
meningkatkan
sensitivitas
polifrasieritropoetin yang sensitif terhadap populasi stem cell. Testosteron ester (testosterone propionat,
enanthane,
cypionate),
androstanes(fluoxymesterone,oxymetholone,
derivat
methyltestosterone),
17-metil dan
komponen
19norterstosteron (nandrolone dekanoat, nandrolone phenpropionate) telah suksesdigunakan pada terapi anemia dengan gagal ginjal. Respon nya lambat dan efek dariobat ini dapat terbukti dalam 4 minggu terapi. Nandrolone dekanoat cukup diberikandengan dosis 100-200 mg, 1 x seminggu. Testosteron ester tidak mahal tetapi harusdibatasi karena efek sterilitas yang besar. Komponen 19-nortestosteron memiliki ratioanabolik : androgenik yang paling tinggi dan yang paling sedikit menyebabkanhirsutisme serta paling aman untuk pasien wanita. Fluoksimesterone dapatmenyebabkan priapismus pada pasien pria. Penyakit Hepatoseluler kolestatik dapat menyebabkan komplikasi pada penggunaan zat ini dan lebih sering pada 17 methylatedsteroid. Pada keadaan meningkatnya transaminase darah yang progesif dan bilirubinserum
yang meningkat,
terapi
harus
dihentikan.
Namun,
komponen
17-
methylatedsteroid ini memiliki ratio anabolik/ androgen yang baik dan dapat diberikan secara oral.Terapi dengan androgen dapat menimbulakan gejala prostatism atau pertumbuhan yangcepat dari Ca prostat. Rash kulit, perubahan suara seperti laki-laki, dan perubahan fisikadalah efek samping lainnya pada terapi ini.
5.6 Mengurangi iatrogenic blood loss
Sudah
tentu
termasukpencegahan
penatalaksanaan dan
koreksi
anemia
terhadap
pada faktor
penyakit iatrogenik
ginjal yang
terminal
juga
memperberat.
Kehilangandarah
ke
sirkulasi
darah
ekstrakorporeal
dan
dari
pengambilan
yang
berlebihanharuslah dalam kadar yang sekecil mungkin.
5.7 Suplementasi besi
Penggunaan pengikat fosfat dapat mempengaruhi dengan absorpsi besi pada usus.Monitoring penyimpanan besi tubuh dengan determinasi ferritin serum satu atau duakali pertahun merupakan indikasi. Absorpsi besi usus tidak dipengaruhi oleh uremia,suplementasi besi oral lebih dipilih ketika terjadi defisiensi besi. Jika terapi oral gagaluntuk memperbaiki defisiensi besi, penggantian besi secara parenteral harus dilakukan.
Indikasi terapi besi : -
Anemia defisiensi besi absolute
-
Anemia defisiensi besi Fungsionsial
Kontraindikasi terapi besi : -
Hipersensitifitas terhadap besi
-
Gangguan fungsi hati berat
-
Kandungan besi tubuh berlebih
Sediaan besi : -
Parenteral (IV) : Iron dextran, Iron sucrose, Iron gluconate, Iron desxtrin. (IM) : Iron dextran
-
Oral : kurang efekif, terutama bila pasien mendapat EPO. Apabila preparat suntuikan tidak tersedia dapat digunakan preparat besi oral
Terapi besi : -
Dosis uji coba : dilakukan sebelum mulai terapi besi
-
Iron sucrose : 20 – 50 mg (1-2,5 mL) diencerkan dengan 50 mL Nacl 0, 9% drip IV, dalam waktu paling cepat 15 menit
-
Iron dextran : 25 mg diencerkan dengan 50 mL Nacl 0,9 % drip IV, dalam waktu 30 menit
Terapi besi fase koreksi -
Tujuan : untuk koreksi anemia defisiensi besi absolute dan fungsional, sampai status gizi besi cukup yaitu feritin serum mencapai > 100 µg/L dan saturasi transferin >20%
-
Cara :
Iron sucrose : bila dapat ditoleransi 100mg diencerkan dengan 100mL Nacl 0,9% drip IV dalam waktu paling cepat 15 menit. Cara lain dapat disuntikkan IV atau melalui venous lood line tanpa diencerkan secara pelan pelan, paling cepat dalam waktu 15 menit
Iron dextran : 100 mg iron dextran diencerkan dengan 50 mL NaCl 0,9% diberikan 1-2 jam pertama HD melalui venous blood line. Cara ini diulang setiap HD (2x seminggu) sampai 10 kali atau dosis mencapai 1000mg
Iron gluconate : 125 mg setiap HD (2x seminggu) sampai 8 kali atau dosis mencapai 1000mg. Cara pemberian sama dengan iron dextran
-
Evaluasi status besi dilakukan 1 minggu pasca terapi besi fase koreksi
-
Bila status besi cukup dilanjutkan dengan terapi besi fase pemeliharaan.
Terapi besi fase pemeliharaan 1. Tujuan : menjaga kecukupan persediaan besi untuk eritropoiesis selama terapiEPO 2. Target terapi: Feritin serum > 100 mcg/L - < 500 mcg/LSaturasi transferin > 20 % - < 40% 3. Dosis : a. IV : iron sucrose : maksimum 100 mg/minggu, iron dextran : IV : 50 mg/minggu, iron gluconate : IV : 31,25-125 mg/minggu b. IM : iron dextran : 80 mg/ 2 minggu c. Oral: 200 mg besi elemental : 2-3 x/hari d. Status besi diperiksa setiap 3 bulan e. Bila status besi dalam batas target yang dikehendaki lanjutkan terapibesi dosis pemeliharaan. f. Bila feritin serum > 500 mcg/L atau saturasi transferin > 40%,suplementasi besi distop selama 3 bulan. g. Bila pemeriksaan ylang setelah 3 bulan feritin serum < 500 mcg/L dansaturasi transferun < 40%, suplementasi besi dapat dilanjutkan dengan dosis1/3-1/2 sebelumnya.
5.8 Transfusi Darah
Transfusi darah diberikan dalam bentuk PRC yang sebelumnya telah dilakukan skrining untuk hepatitis B,C, dan HIV Transfusi darah dapat diberikan pada keadaan khusus. Indikasi transfusi darah adalah: 1. Perdarahan akut dengan gejala gangguan hemodinamik 2. Tidak memungkinkan penggunaan EPI dan Hb < 7 g /dL
3. Hb < 8 g/dL dengan gangguan hemodinamik 4. Pasien dengan defisiensi besi yang akan diprogram terapi EPO ataupun yang telahmendapat EPO tetapi respon belum adekuat, sementara preparat besi IV/IM belum tersedia,dapat diberikan transfusi darah dengan hati-hati. Target pencapaian Hb dengan transfuse darah adalah : 7-9 g/dL (tidak sama dengan target Hb pada terapi EPO). Transfusi diberikansecara bertahap untuk menghindari bahaya overhidrasi, hiperkatabolik (asidosis), danhiperkalemia. Bukti klinis menunjukkan bahwa pemberian transfusi darah sampai kadar Hb10-12 g/dL berhubungan dengan peningkatan mortalitas dan tidak terbukti bermanfaat,walaupun pada pasien dengan penyakut jantung. Pada kelompok pasien yang direncakanuntuk transplantasi ginjal, pemberian transfusi darah sedapat mungkin dihindari. Transfusidarah memiliki resiko penularan Hepatiti s virus B dan C, infeksi HIV serta potensi terjadinya reaksi transfuse.
BAGAN PANDUAN TERAPI ERITROPOETIN PADA PASIEN YANG MENJALANI HEMODIALISIS
Catatan
:
FS
: Feritin serum
ST
: Saturasi transferin
ST
: KBS X 100 % KIBT
KBS
: Kadar besi serum ( serum iron )
KIBT
: Kapasitas ikat besi total ( total iron binding capacyti )
Target FS
: > 100 – 500 µg/L
Target ST
: > 20 % - < 40 %
Bila target FS & ST tercapai, lanjutkan terapi besi fase pemeliharaan. Selama terapi EPO : Monitor status besi tiap 3 bulan Monitor Hb dan Ht tiap bulan.
BAB VI LAPORAN KASUS 1. Anamnesis Pribadi
Nama
: Buswarman
Umur
: 46 Tahun
Jenis Kelamin
: Laki-laki
Status perkawinan
: Menikah
Agama
: Islam
Alamat
: Jl. Toba II gg Wadaja II
Tanggal Masuk
: 26 Juli 2016
2. Anamnesa Penyakit
Keluhan Utama
: Nyeri BAK
Telaah
:
Hal ini di alami os sejak ± 1 hari yang lalu,demam (+), mual (+), sejak 1 bulan lalu, muntah (-), mudah lelah dan pucat (+) sejak 1 bulan lalu. Riwayat pemasangan selang kencing selama 12 jam di RS lain. Riwayat BAK berdarah 2 tahun yang lalu. Riwayat BAK keluar batu (-). Riwayat BAK berpasir (-). Riwayat penyakit darah tinggi (-). Riwayat penyakit gula (-). Pasien pernah dianjurkan cuci darah tetapi menolak. BAB normal. 3. Status Present
Sensorium
: Compos Mentis
Tekanan Darah
: 110/70 mmHg
Nadi
: 88 x/i
Pernapasan
: 20 x/i
Suhu
: 37,5 oC
4. Status Generalis Kepala
Bentuk
: normal, simetris.
Rambut
: hitam lurus, distribusi merata
Mata
: Konjungtiva Anemis (+/+), Sklera Ikterik (-/-), Reflex Cahaya (+/+)
Telinga
: liang telinga lapang, serumen (+) N, sekret (-)
Hidung
: Septum deviasi (-), Pernapasan cuping hidung (-), sekret (-)
Mulut
: Mukosa bibir kering (-), Lidah kotor (-), Gusi tidak ada perdarahan,
faring tidak hiperemis.
Leher
Trakea
: Medial
KGB
: tidak membesar
TVJ
: R-2 cm H2O
Thoraks
Bentuk
: Normal, Simetris Fusiform
Retraksi suprasternal
: (-)
Retraksi Intercostal
: (-)
Jantung
Inspeksi
: iktus cordis tidak terlihat
Palpasi
: iktus cordis tidak teraba
Perkusi batas jantung bagian atas
: ICS II Linea parasternalis dextra
batas jantung kanan
: ICS IV line parasternalis dextra
batas jantung bawah
: ICS V linea parasternalis sinistra
auskultasi
: S1 dan S2 reguler, murmur(-), gallop (-).
Paru
Inspeksi
: bentuk dan pergerakan hemithoraks kiri sama dengan kanan
Palpasi
: Fremitus taktil dan vokal hemithoraks kanan dan kiri sama
Perkusi
: Sonor kedua lapangan paru
Auskultasi
: Suara nafas vesikuler
Abdomen
Inspeksi
: simetris, asites (-), sikatrik (-)
Palpasi
: soepel, nyeri tekan (-), H/L/R tidak teraba.
Perkusi
: Timpani
Auskultasi
: Bising Usus (+) N
Genitalia Ekterna
Kelamin : TDP
Ekstremitas
Superior : Edema (-), Sianosis (-) Inferior
: Edema (+/-) di dorsum pedis, Sianosis (-)
Keadaan Gizi
BB : 55 kg RBW =
TB : 165 cm 55
X 100 % = 84,61%
Kesan : Normal
165-100
Laboratorium (Darah Rutin, RFT, LFT, Elektrolit, dan Glukosa adrandom) Hasil
Unit
Nilai Normal
WBC
23,30
10 3 ul
4.0 – 11.0
RBC
1,41
10 6 ul
4.00 – 5.40
HGB
6,2
g/Dl
12-16
Hematokrit
38,8
%
36.0-48.0
PLT
258
10 3 ul
150-400
Kalium
5,00
mmol/L
3.50-5.50
Natrium
130,00
mmol/L
136.00-155.00
Clorida
130,00
mmol/L
95 – 103
SGOT
8,00
U/L
0.00 – 40.00
SGPT
14,00
U/L
0.00 – 40.00
Alkalinpospatase
102,00
U/L
30.00 – 142.00
Total Bilirubin
0,30
Mg/dl
0.00 – 1.20
Direct Bilirubin
0,10
Mg/dl
0.05 – 0.3
Ureum
173,00
Mg/dl
10.0 – 50.0
Creatinin
11,54
Mg/dl
0.60 – 1.20
Uric acid
14,00
Mg/dl
3.50 – 7.00
Glukosa adr
112,00
Mg/dl
<140
Laboratorium (Urinalisa) Hasil
Unit
Nilai Normal
Warna
Kuning
-
Kuning
Reduksi
Negatif
-
Negatif
Protein
(+++)
-
Negatif
Bilirubin
Negatif
-
Negatif
Sedimen Eritrosit
20-30
/lpb
<3 /lpb
Sedimen Leukosit
3-5
/lpb
<5 /lpb
Sedimen Epitel
Negatif
/lpb
Negatif
Silinder
Negatif
/lpb
Negatif
Urobilinogen
Positif
-
Positif
Resume Keluhan Utama: Disuria Telaah
: Hal ini di alami os sejak ± 1 hari yang lalu, febris (+), nausea (+), seja k 1 bulan
lalu, Vomitus (-), mudah lelah dan anemi (+) sejak 1 bulan lalu. Riwayat pemasangan Kateter selama 12 jam di RS lain. Riwayat hematuria 2 tahun yang lalu. Riwayat BAK keluar batu (-). Riwayat BAK berpasir (-). Riwayat hipertensi (-). Riwayat diabetes melitus (-). Pasien pernah dianjurkan hemodialisa tetapi menolak. BAB normal.
Diagnosa Sementara
1. CKD stg V ec PGOI dd GNC dd PNC 2. Anemia ec Penyakit Kroniss 3. ISK komplikata 4. Hematuria ec susp BSK Anjuran
1. USG Ginjal dan Saluran Kemih, USG Prostat
Rencana Penatalaksanaan 1. Non Medikamentosa
1. Tirah baring 2. Diet Ginjal 2.
Medikamentosa
Tanggal
S
26/7/16
Nyeri
BAK,
demam,
BAK
Hari I
sedikit
O
A
Sens : Cm
CKD stg V ec Tirah
Td : 110 / 70
PGOI dd GNC dd
Diet M II Rg
Hr : 80
PNC
1900 Kkal + 32
Rr : 20
Anemia
T : 38,2
Penyakit Kroniss
IVFD
NaCl
Kepala :
ISK komplikata
0,9%
10
Mata
:
Conjungtiva
Hematuria
P Baring,
ec Gr Protein
ec gtt/menit mikro
Anemis (+/+), Sklera susp BSK
Ciprofloxacin
Ikterik (-/-)
Drip 400 gr/24
Telinga/Hidung/Mulut:
jam
Dalam Batas Normal
Inj. Cefotaxime
Leher : Tvj R-2 Cm H2O
400 gr/24 jam IV
Thoraks :
Paracetamol
Paru-Paru
tab 3x500 mg
Inspeksi
:
Simetris,
Spider Nervi (-) Palpasi : Sf Kanan=Kiri Perkusi : Sonor Auskultasi
:
Sp
:
Vesikular, St : (-/-)
Abdomen Inspeksi
:
Simetris
Membran Palpasi : Soepel Perkusi : Timpani
Auskultasi : Peristaltik (+) Ekstremitas : Oedem (+/-), Akral Hangat
27/07/16 Nyeri Hari II
BAK,
BAK sedikit
Sens : Cm
CKD stg V ec Tirah Baring
Td : 120 / 80
PGOI dd GNC dd
Diet M II Rg
Hr : 84
PNC
1900 Kkal + 32
Rr : 21
Anemia
T : 37,2
Penyakit Kroniss
IVFD
NaCl
Kepala :
ISK komplikata
0,9%
10
Mata
:
Conjungtiva
Hematuria
ec Gr Protein
ec gtt/menit mikro
Anemis (+/+), Sklera susp BSK
Ciprofloxacin
Ikterik (-/-)
Drip 400 gr/24
Telinga/Hidung/Mulut:
jam
Dalam Batas Normal
Inj. Cefotaxime
Leher : Tvj R-2 Cm H2O
400 gr/24 jam IV
Thoraks :
Inj Ketorolac 1
Paru-Paru
amp/ 8 jam IV
Inspeksi : Simetris
Paracetamol
Palpasi : Sf Kanan=Kiri
tab 3x500 mg
Perkusi : Sonor
(k/p)
Auskultasi
:
Sp
:
Vesikular, St : (-/-)
Abdomen Inspeksi
:
Simetris
Membran, Palpasi : Soepel Perkusi : Timpani Auskultasi : Peristaltik (+)
Ekstremitas : Oedem (+/-), Akral Hangat 28/07/16 Nyeri Hari III
BAK,
BAK sedikit
Sens : Cm
CKD stg V ec Tirah Baring
Td : 110 / 80
PGOI dd GNC dd
Diet M II Rg
Hr : 83
PNC
1900 Kkal + 32
Rr : 20
Anemia
T : 37,2
Penyakit Kroniss
IVFD
NaCl
Kepala :
ISK komplikata
0,9%
10
Mata
:
Conjungtiva
Hematuria
ec Gr Protein
ec gtt/menit mikro
Anemis (+/+), Sklera susp BSK
Ciprofloxacin
Ikterik (-/-)
Drip 400 gr/24
Telinga/Hidung/Mulut:
jam
Dalam Batas Normal
Inj. Cefotaxime
Leher : Tvj R-2 Cm H2O
400 gr/24 jam IV
Thoraks :
Inj Ketorolac 1
Paru-Paru
amp/ 8 jam IV
Inspeksi
:
Simetris,
Paracetamol
Spider Nervi (-)
tab 3x500 mg
Palpasi : Sf Kanan=Kiri
(k/p)
Perkusi : Sonor Auskultasi
:
Sp
:
Vesikular, St : (-/-)
Abdomen Inspeksi
:
Simetris
Membran Palpasi : Soepel Perkusi : Timpani Auskultasi : Peristaltik (+) Ekstremitas : Oedem (+/-), Akral Hangat
29/07/16 Nyeri Bak, Bak Sens : Cm
CKD stg V ec Tirah Baring
Hari IV
Td : 120 / 80
PGOI dd GNC dd
Diet M II Rg
Hr : 83
PNC
1900 Kkal + 32
Rr : 24
Anemia
T : 37,0
Penyakit Kroniss
IVFD
NaCl
Kepala :
ISK komplikata
0,9%
10
Sedikit
Mata
:
Conjungtiva
Hematuria
ec Gr Protein
ec gtt/menit mikro
Anemis (+/+), Sklera susp BSK
Ciprofloxacin
Ikterik (-/-)
Drip 400 gr/24
Telinga/Hidung/Mulut:
jam
Dalam Batas Normal
Inj. Cefotaxime
Leher : Tvj R-2 Cm H 2o
400 gr/24 jam IV
Thoraks :
Inj Ketorolac 1
Paru-Paru
amp/ 8 jam IV
Inspeksi : Simetris
Paracetamol
Palpasi : Sf Kanan=Kiri
tab 3x500 mg
Perkusi : Sonor
(k/p)
Auskultasi
:
Sp
:
Vesikular, St : (-/-)
Abdomen Inspeksi
:
Simetris
Membran,
Vena
Kolateral (-) Palpasi : Soepel Perkusi : Timpani Auskultasi : Peristaltik (+) Ekstremitas : Oedem Minimal Hangat
(+/-), Akral
30/07/16 Nyeri Bak, Bak Sens : Cm
CKD stg V ec Tirah Baring
Hari ke Sedikit
Td : 120 / 80
PGOI dd GNC dd
Diet M II Rg
V
Hr : 83
PNC
1900 Kkal + 32
Rr : 24
Anemia
T : 37,0
Penyakit Kroniss
IVFD
NaCl
Kepala :
ISK komplikata
0,9%
10
Mata
:
Conjungtiva
Hematuria
ec Gr Protein
ec gtt/menit mikro
Anemis (+/+), Sklera susp BSK
Ciprofloxacin
Ikterik (-/-)
Drip 400 gr/24
Telinga/Hidung/Mulut:
jam
Dalam Batas Normal
Inj. Cefotaxime
Leher : Tvj R-2 Cm H 2o
400 gr/24 jam IV
Thoraks :
Inj Ketorolac 1
Paru-Paru
amp/ 8 jam IV
Inspeksi : Simetris
Paracetamol
Palpasi : Sf Kanan=Kiri
tab 3x500 mg
Perkusi : Sonor
(k/p)
Auskultasi
:
Sp
:
Vesikular, St : (-/-)
Abdomen Inspeksi
:
Simetris
Membran,
Vena
Kolateral (-) Palpasi : Soepel Perkusi : Timpani Auskultasi : Peristaltik (+) Ekstremitas : Oedem Minimal Hangat
(+/-), Akral
BAB VII KESIMPULAN
Anemia merupakan salah satu dari gejala klinik pada penyakit ginjal kronis. Anemia padapenyakit ginjal kronik muncul ketika klirens kreatinin turun kira-kira 40 ml/mnt/1,73m2 danhal ini menjadi lebih parah dengan semakian memburuknya fungsi ekskresi ginjal. Anemiapada gagal ginjal merupakan tipe normositik normokrom apabila tidak ada faktor lain yangmemperberat seperti defisiensi besi yang terjadi pada gagal ginjal. Terdapat 3 mekanismeutama yang terlibat pada patogenesis anemia pada gagal ginjal, yaitu : hemolisis, produksieritropoetin yang tidak adekuat, dan penghambatan respon dari sel prekursor eritrosit terhadaperitropoetin.
Proses
sekunder
yang
memperberat
dapat
terjadi
seperti
intoksikasialuminium. Untuk menegakkan diagnosis dapat dilakukan dengan anamnesis ditanyakantentang riwayat penyakit terdahulu , pemeriksaan fisik, evaluasi pemeriksaan darah lengkapdan pemeriksaan apus darah perifer. Pada era penggunaan rekombinant human eritropoetin(rHuEPO) , penilaian terhadap simpanan besi melalui perhitungan feritin serum, transferin, danbesi sangat diperlukan. Feritin
serum
merupakan
indikator
yang
tepat
dari
simpanan
besi
tubuhPenatalaksanaan anemia ditujukan untuk pencapaian kadar Hb > 10 g/dL dan Ht > 30%, baikdengan pengelolaan konservatif maupun dengan EPO. Terapi anemia pada gagal ginjalbervariasi dari pengobatan simptomatik melalui transfusi sel darah merah sampai kepenyembuhan dengan transplantasi ginjal. Peran dari transfusi sebagai pengobatan anemiaprimer pada pasien gagal ginjal terminal telah berubah saat dialisis dan penelitian serologictelah berkembang. Transplantasi ginjal pada banyak kasus, harus menunggu dalam waktu yangtidak tertentu dan tidak setiap pasien dialisis memenuhi syarat.