BAB 1 PENDAHULUAN
Krisis hiperglikemia merupakan komplikasi akut yang dapat terjadi pada diabetes melitus (DM), baik tipe 1 maupun tipe 2. Keadaan tersebut merupakan komplikasi serius yang mungkin terjadi sekalipun pada DM yang terkontrol baik. Status hiperosmolar hiperglikemik (SHH) merupakan gangguan metabolik akut yang dapat terjadi pada pasien diabetes melitus, yang ditandai dengan hiperglikemia, hiperosmolaritas, dan dehidrasi tanpa adanya ketoasidosis. Krisis hiperglikemia pada diabetes tipe 2 biasanya terjadi karena ada keadaan yang mencetuskannya. Faktor pencetus krisis hiperglikemia ini antara lain infeksi, penyakit vaskular akut, trauma, t rauma, luka bakar, kelainan gastrointestinal (pankreatitis akut, kholesistitis akut), obat-obatan.Patofisiologi SHH ditandai dengan defisiensi konsentrasi insulin yang relatif, namun cukup adekuat untuk menghambat terjadinya lipolisis dan ketogenesis. Diagnosis ditegakkan dari hasil anamnesis poliuria, polidipsi dan penurunan berat badan berlangsung beberapa hari hingga beberapa minggu. Pemeriksaan fisik biasanya pasien pas ien dengan status mental stupor atau koma disertai dengan dehidrasi sangat berat dan pada pemeriksaan penunjang dijumpai glukosa plasma lebih dari 600 mg/dL, pH arteri lebih dai 7,3, keton urine ringan dengan osmolalitas serum melebihi 320 mOsm/kg. Tujuan dari terapi SHH adalah untuk memastikan volume sirkulasi dan sirkulasi jaringan, penurunan secara bertahap kadar glukosa serum dan osmolalitas plasma, koreksi ketidakseimbangan
elektrolit,
mengatasi
faktor
pencetus
dan
melakukan
monitoring serta intervensi terhadap gangguan fungsi kardiovaskular, paru, ginjal dan susunan saraf pusat. Komplikasi pada krisis hiperglikemik akibat SHH oleh karena efek samping proses pengobatan adalah hipoglikemia dalam kaitanya dengan pemberian insulin yang berlebihan, hipokalemia dalam kaitan dengan pemberian insulin. Edema serebral ser ebral adalah komplikasi SHH yang ditandai dengan penurunan tingkat kesadaran, nampak nampak lemah dan sakit kepala.1,2
Krisis hiperglikemia dapat terjadi dalam bentuk ketoasidosis diabetikum (KAD), status hiperosmolar hiperglikemik (SHH) atau kondisi yang mempunyai elemen kedua keadaan diatas. Ketoasidosis diabetikum adalah keadaan yang ditandai dengan asidosis metabolik akibat pembentukan keton yang berlebihan, sedangkan SHH ditandai dengan hiperosmolalitas berat dengan kadar glukosa serum yang biasanya lebih tinggi dari KAD murni. 1,2 Salah satu kendala dalam laporan mengenai insidensi, epidemiologi dan angka kematian KAD adalah belum ditemukannya kesepakatan tentang definisi KAD. Sindroma ini mengandung trias yang terdiri dari hiperglikemia, ketosis dan asidemia. Konsensus diantara para ahli dibidang ini mengenai kriteria diagnostik untuk KAD adalah pH arterial kurang dari 7,3, kadar bikarbonat kurang dari 15 mEq/L, dan kadar glukosa darah lebih dari 250 mg/dL disertai ketonemia dan ketonuria sedang. 3 Status hiperglikemik hiperosmolar pertama kali dilaporkan oleh Sament dan Schwartz pada tahun 1957. Status hiperosmolar hiperglikemik didefinisikan sebagai hiperglikemia ekstrim, osmolalitas serum yang tinggi dan dihidrasi berat tanpa ketosis dan asidosis yang signifikan. Pada umumnya keton serum negatif dengan pemeriksaan metoda nitroprusid pada dilusi 1 berbanding 2, bikarbonat serum lebih dari 20 mEq/L, dan pH arterial lebih dari 7,3. Hiperglikemia pada SHH biasanya biasan ya lebih berat dari d ari pada KAD, kadar glukosa darah lebih dari 600 mg/dL biasanya dipakai sebagai kriteria diagnostik. Status hiperosmolar hiperglikemik lebih sering terjadi pada usia tua atau pada mereka yang baru didiagnosis sebagai diabetes dengan onset lambat. 2,3 Data di Amerika menunjukkan bahwa insidens HONK sebesar 17,5 per 100.000 penduduk. Insidens ini sedikit lebih tinggi dibanding insiden KAD. HHNK lebih sering ditemukan pada perempuan dibandingkan laki-laki. 3
BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA
2.1 DEFINISI
Status hipersomolar hiperglikemik merupakan gangguan metabolik akut yang dapat terjadi pada pasien diabetes melitus, yang ditandai dengan hiperglikemia, hiperosmolaritas, dan dehidrasi tanpa adanya ketoasidosis. Istilah SHH merupakan istilah yang sekarang digunakan untuk menggantikan KHH (Koma Hiperosmolar Hiperglikemik) dan HHNK (Hiperglikemik Hiperosmolar Non Ketotik) karena koma dapat terjadi lebih dari 50% kasus, dan ketosis ringan juga dapat ditemukan pada pasien dengan SHH. 1,4
2.2 ETIOLOGI
Krisis hiperglikemia pada diabetes tipe 2 biasanya terjadi karena ada keadaan yang mencetuskannya. Faktor pencetus krisis hiperglikemia ini antara lain infeksi (pneumonia, infeksi saluran kencing, sepsis), penyakit vaskular akut (penyakit serebrovaskular, infark miokard akut, emboli paru), trauma, luka bakar, hematom subdural, kelainan gastrointestinal (pankreatitis akut, kholesistitis akut, obstruksi intestinal), obatobatan (diuretika, steroid, agen antipsikotik atipikal, glukagon, interferon, agen simpatomimetik seperti albuterol, dopamin, dobutamin, dan terbutalin).5 Hiperosmolar hipergligemik non ketotik (HHNK) adalah komplikasi metabolik akut lain dari diabetes yang sering terjadi pada penderita diabetes tipe 2 yang lebih tua. Bukan karena defisiensi insulin absolut, namun relatif, hiperglikemia muncul tanpa ketosis. Hiperglikemia berat dengan kadar glukosa serum lebih besar dari 600 mg/dl. Hiperglikemia menyebabkan hiperosmolalitas, diuresis osmotik, dan dehidrasi berat. Pasien dapat menjadi tidak sadar dan meninggal bila keadaan ini tidak segera ditangani. HHNK biasanya terjadi pada
orang tua dengan DM, yang mempunyai penyakit penyerta yang mengakibatkan menurunnya asupan makanan. Faktor pencetus dapat dibagi menjadi enam kategori:
infeksi,
pengobatan,
noncompliance,
DM
tidak
terdiagnosis,
penyalahgunaan obat, dan penyakit penyerta (Tabel 2). Infeksi merupakan penyebab tersering (57,1%). Compliance yang buruk terhadap pengobatan DM juga sering menyebabkan HHNK (21%).4,5
2.3 EPIDEMIOLOGI
Data di Amerika menunjukkan bahwa insidens HONK sebesar 17,5 per 100.000 penduduk. Insidens ini sedikit lebih tinggi dibanding insiden KAD. HHNK lebih sering ditemukan pada perempuan dibandingkan laki-laki. HHNK lebih sering ditemukan pada orang lanjut usia, dengan rata-rata usia onset pada dekade ketujuh. Angka mortalitas pada kasus HHNK cukup tinggi, sekitar 1020%.3,4
2.3 PATOFISIOLOGI
Status hiperosmolar hiperglikemik ditandai dengan defisiensi konsentrasi insulin yang relatif, namun cukup adekuat untuk menghambat terjadinya lipolisis dan ketogenesis. Beberapa studi mengenai perbedaan respon hormon kontra regulator pada KAD dan SHH memperlihatkan hasil bahwa pada SHH pasien memiliki kadar insulin yang cukup tinggi, dan konsentrasi asam lemak bebas, kortisol, hormon pertumbuhan, dan glukagon yang lebih rendah dibandingkan dengan pasien KAD.5 Walaupun patogenesis terjadinya KAD dan SHH serupa, namun keduanya memiliki perbedaan. Pada SHH akan terjadi keadaan dehidrasi yang lebih berat, kadar insulin yang cukup untuk mencegah lipolisis besar -besaran dan kadar hormon kontra regulator yang bervariasi. 6 Faktor yang memulai timbulnya HHNK adalah diuresis glukosuria. Glukosuria
mengakibatkan
kegagalan
pada
kemampuan
ginjal
dalam
mengkonsentrasikan urin, yang akan semakin memperberat derajat kehilangan air. Pada keadaan normal, ginjal berfungsi mengeliminasi glukosa diatas ambang batas tertentu. Namun demikian, penurunan volume intravaskular atau penyakit ginjal yang telah ada sebelumnya akan menurunkan laju filtrasi glomerulus, menyebabkan konsentrasi glukosa meningkat. Hilangnya air yang lebih banyak dibanding natrium menyebabkan keadaan hiperosmolar. Insulin yang ada tidak cukup untuk menurunkan konsentrasi glukosa darah, terutama jika terdapat resistensi insulin.3 Tidak seperti pasien dengan KAD, pasien HHNK tidak mengalami ketoasidosis, namun tidak diketehui dengan jelas alasannya. Faktor yang diduga ikut berpengaruh adalah keterbatasan ketogenesis karena keadaan hiperosmolar, konsentrasi asam lemak bebas yang rendah untuk ketogenesis, ketersediaan insulin yang cukup untuk mencegah heperglikemi , dan resistensi hati terhadap glukagon. Tidak tercukupinya kebutuhan insulin menyebabkan timbulnya hiperklikemia. Penurunan pemakaian glukosa oleh jaringan perifer termasuk oleh sel otot dan sellemak, ketidakmampuan menyimpan glukosa sebagai glikogen pada otot dan hati, dan stimulasi glukagon pada sel hati untuk glukoneogenesis mengakibatkan semakin naiknya kosentrasi glukosa darah. Pada keadaan dimana insulin tidak
mencukupi, maka besarnya keanaikan konsentrasi glukosa darah juga tergantung dari status hidrasi dan masukan karbohidrat oral. Hiperglikemia
mengakibatkan
timbulnya
diuresis
osmotik,
dan
mengakibatkan menurunnya cairan tubuh total. Dalam ruang vaskular, dimana glukoneogenesis dan masukan makanan terus menambah glukosa, kehilangan cairan akan samakin mengakibatkan hiperglikemia dan hilangnya volume sirkulasi. Hiperglikemia dan peningkatan konsentrasi protein plasma yang mengikuti hilangnya cairan intravaskular menyebabkan keadaan hiperosmolar. Keadaan hiperosmolar ini memicu sekresi hormone anti diuretik. Keadaan hiperosmolar ini juga akan memicu timbulnya rasa haus. Adanya keadaan hiperglikemia dan hiperosmolar ini jika kehilangan cairan tidak dikompensasi dengan masukan cairan oral maka akan timbul dehidrasi dan kemudain hipovolemia. Hipovolemia akan mengakibatkan hipotensi dan nantinya akan menyebabkan gangguan pada perfusi jaringan. Keadaan koma merupakan suatu stadium terakhir dari proses hiperglikemik ini, dimana telah timbul gangguan elektrolit berat dalam kaitannya dengan hipotensi. 3,4 2.4 DIAGNOSIS KLINIS
Diagnosis secara klinis untuk membedakan antara KAD dan SHH tidaklah mudah. Gejala yang dialami oleh pasien dapat serupa. Anamnesis manifestasi klinis dari KAD biasanya berlangsung dalam waktu singkat, dalam kurun waktu kurang dari 24 jam. Poliuria, polidipsia dan penurunan berat badan dapat berlangsung selama beberapa hari, sebelum terjadinya ketoasidosis, muntah dan nyeri perut. Nyeri perut yang menyerupai gejala akut abdomen, dilaporkan terjadi pada 40-75% kasus KAD. Dalam suatu penelitian, didapatkan hasil bahwa kemunculan nyeri perut dapat dikaitkan dengan kondisi asidosis metabolik, namun bukan karena hiperglikemia atau dehidrasi. Untuk SHH, manifestasi klinis dapat terjadi dalam beberapa hari hingga beberapa minggu. Pasien dapat mengalami poliuria, polidipsia, dan penurunan kesadaran yang progresif akibat osmolalitas darah yang sangat tinggi. Nyeri perut juga jarang dialami oleh pasien
SHH. Dari pemeriksaan fisik didapatkan dehidrasi sangat berat, bau nafas keton tidak ada, status mental sampai koma. 6 Pasien dengan HHNK, umumnya berusia lanjut, belum diketahui mempunyai DM, dan pasien DM tipe:2 yang mendapat pengaturan diet dan atau obat hipoglikemik oral. Seringkali dijumpai penggunaan obat yang semakin memperberat masalah, misalnya diuretik. Keluhan pasien HHNK ialah: rasa lemah, gangguan penglihatan, atau kaki kejang. Dapat pula ditemukan keluhan mual dan muntah, namun lebih jarang jika dibandingkan dengan KAD. Kadang, pasien datang dengan disertai keluhan saraf seperti letargi, disorientasi, hemiparesis, kejang atau koma. Pada pemeriksaan fisik ditemukan tanda-tanda dehidrasi berat seperti turgor yang buruk, mukosa pipi yang kering, mata cekung, perabaan ekstremitas yang dingin dan denyut nadi yang cepat dan lemah. Dapat pula ditemukan peningkatan suhu tubuh yang tak terlalu tinggi. Akibat gastroparesis dapat pula dijumpai distensi abdomen, yang membaik setelah rehidrasi adekuat. Perubahan pada status mental dapat berkisar dari disorientasi sampai koma. Derajat gangguan neurologis yang timbul berhubungan secara langsung dengan osmolaritas efektif serum. Koma terjadi saat osmolaritas serum mencapai lebih dari 350 mOsm per kg (350 mmol per kg). Kejang ditemukan pada 25 persen pasien, dan dapat berupa kejang umum, lokal, maupun mioklonik. Dapat juga terjadi hemiparesis yang bersifat reversibel dengan koreksi defisit cairan. Secara klinis HHNK akan sulit dibedakan dengan KAD terutama bila hasil laboratorium seperti kadar glukosa darah, keton dan analisis gas darah belum ada hasilnya. Berikut di bawah ini adalah beberapa gejala dan tanda sebagai pegangan :
Sering ditemukan pada usia lanjut yaitu usia lebih dari 60 tahun, semakin muda semakin berkurang, dan pada anak belum pernah ditemukan.
Hampir separuh pasien tidak mempunyai riwayat DM atau DM tanpa insulin.
Mempunyai penyakit dasar lain, ditemukan 85% pasien mengidap penyakit
ginjal
atau
kardiovaskular,
pernah
ditemukan
penyakit
akromegali, tirotoksikosis, dan penyakit Cushing
Sering disebabkan oleh obat-obatan, antara lain tiazid, furosemid, manitol, digitalis, reserpin, steroid, klorpromazin, hidralazin, dilantin, simetidin dan haloperidol (neuroleptik).
Mempunyai faktor pencetus misalnya infeksi, penyakit kardiovaskular, aritmia, pendarahan, gangguan keseimbangan cairan, pankreatitis, koma hepatik dan operasi.10
2.5 PEMERIKSAAN LABORATORIUM
Walaupun diagnosis KAD dan SHH dapat ditegakkan dari klinis, namun konfirmasi dengan pemeriksaan laboratorium harus dilakukan. Hasil laboratorium yang dapat ditemukan adalah glukosa plasma lebih dari 600 mg/dL, pH arteri lebih dari 7,3, bikarbonat serum lebih dari 15 mEq/L, keton urin derajat ringan, keton serum derajat ringan, osmolalitas serum lebih dari 320 mOsm/kg. 6,9
2.6 DIAGNOSA BANDING
Ada pun yang menjadi diagnosa banding dari HHNK adalah KAD. Dibawah ini merupakan perbedaan antara HHNK dan KAD.
2.6 TATALAKSANA
Tujuan dari terapi KAD dan SHH adalah penggantian volume sirkulasi dan perfusi jaringan, penurunan secara bertahap kadar glukosa serum dan osmolalitas plasma, koreksi ketidakseimbangan elektrolit, perbaikan keadaan ketoasidosis
pada KAD, mengatasi faktor pencetus, melakukan monitoring dan melakukan intervensi terhadap gangguan fungsi kardiovaskular, paru, ginjal dan susunan saraf pusat.8 Terapi cairan Pasien dengan SHH memerlukan rehidrasi dengan estimasi cairan yang diperlukan 100 ml/kgBB. Terapi cairan awal bertujuan mencukupi volume intravaskular dan restorasi perfusi ginjal. Terapi cairan saja dapat menurunkan kadar glukosa darah. Salin normal (NaCl 0,9%) dimasukkan secara intravena dengan kecepatan 500 sampai dengan 1000 ml/jam selama dua jam pertama. Perubahan osmolalitas serum tidak boleh lebih dari 3 mOsm/jam. Namun jika pasien mengalami syok hipovolemik, maka cairan isotonik ketiga atau keempat dapat digunakan untuk memberikan tekanan darah yang stabil dan perfusi jaringan yang baik .8-10
a. Terapi insulin Pemberian insulin dengan dosis yang kecil dapat mengurangi risiko terjadinya hipoglikemia dan hipokalemia. Fungsi insulin adalah untuk meningkatkan penggunaan glukosa oleh jaringan perifer, menurunkan produksi glukosa oleh hati sehingga dapat menurunkan konsentrasi glukosa darah . Selain
itu, insulin juga berguna untuk menghambat keluaran asam lemak bebas dari jaringan adiposa dan mengurangi ketogenesis .8,9 Pada pasien dengan
klinis yang sangat berat, insulin reguler diberikan secara kontinyu intravena. Bolus insulin reguler intravena diberikan dengan dosis 0,15 U/kgBB, diikuti dengan infus insulen regular dengan dosis 0,1 U/kg BB/jam (5-10 U/jam). Hal ini dapat menurunkan kadar glukosa darah dengan kecepatan 65-125 mg/jam. Jika glukosa darah telah mencapai 250 mg/dL pada KAD atau 300 mg/dL pada SHH, kecepatan pemberian insulin dikurangi menjadi 0,05 U/kg BB/jam (3-5 U/jam) dan ditambahkan dengan pemberian dextrosa 5- 10% secara intravena. Pemberian insulin tetap diberikan untuk mempertahankan glukosa darah pada nilai tersebut sampai keadaan ketoasidosis dan hiperosmolalitas teratasi.8-
10
Ketika protokol KAD atau SHH berjalan, evaluasi terhadap glukosa darah kapiler dijalankan setiap 1-2 jam dan darah diambil untuk evaluasi elektrolit serum, glukosa, BUN, kreatinin, magnesium, fosfos, dan pH darah setiap 2-4 jam.8-10
b. Terapi kalium Secara umum, tubuh dapat mengalami defisit kalium sebesar 3-5 mEq/kg BB. Namun kadar kalium juga bisa terdapat pada kisaran yang normal atau bahkan meningkat. Peningkatan kadar kalium ini bisa dikarenakan kondisi asidosis, defisiensi insulin dan hipertonisitas. Dengan terapi insulin dan koreksi keadaan asidosis, kadar kalium yang meningkat ini dapat terkoreksi karena kalium akan masuk ke intraseluler. Untuk mencegah terjadinya hipokalemia, pemberian kalium secara intravena dapat diberikan. Pemberian kalium intravena (2/3 dalam KCl dan 1/3 dalam KPO4) bisa diberikan jika kadar kalium darah kurang dari 5 mEq/L. 7,10 Pada pasien hiperglikemia dengan defisit kalium yang berat, pemberian insulin dapat memicu terjadinya hipokalemia dan memicu terjadinya aritmia atau kelemahan otot pernafasan. Oleh karena itu, jika kadar kalium kurang dari 3,3 mEq/L, maka pemberian kalium intravena harus segera diberikan dan terapi insulin ditunda sampai kadarnya lebih atau sama dengan 3,3 mEq/L. 7,10 c. Terapi bikarbonat Pemberian bikarbonat pada pasien SHH tidak diperlukan, penggunaan larutan bikarbonat pada KAD masih merupakan kontroversi. Pada pH lebih dari 7,0, aktifitas insulin memblok lipolisis dan ketoasidosis dapat hilang tanpa penambahan bikarbonat. Beberapa penelitian prospektif gagal membuktikan adanya keuntungan atau perbaikan pada angka morbiditas dan mortalitas dengan pemberian bikarbonat pada penderita KAD dengan pH antara 6,9 dan 7,1. Pemberian bikarbonat dapat diberikan secara bolus atau intravena dalam cairan isotonik dengan dosis 1-2 mEq/kg BB.3,4 d. Terapi fosfat Pada KAD serum fosfat biasanya normal atau meningkat. Konsentrasi fosfat berkurang dengan pemberian terapi insulin. Beberapa penelitian prospektif gagal membuktikan adanya keuntungan dengan penggantian fosfat pada KAD, dan pemberian fosfat yang berlebihan dapat menyebabkan hipokalsemia yang berat tanpa adanya gejala tetani. Bagaimanapun, untuk menghindari kelainan
jantung dan kelemahan otot dan depresi pernapasan oleh karena hipofosfatemia, penggantian fosfat kadang kadang diindikasikan pada pasien dengan kelainan jantung, anemia, atau depresi pernapasan dan pada mereka dengan konsentrasi fosfat serum kurang dari 1,0 mg/dL. Bila diperlukan, 20-30 mEq/L kalium fosfat dapat ditambahkan ke larutan pengganti. Tidak ada studi mengenai penggunaan fosfat dalam HHS.3,4
2.7 KOMPLIKASI
Komplikasi pada krisis hiperglikemik dapat terjadi akibat KAD dan SHH adalah komplikasi akibat pengobatan. Penyulit KAD dan SHH yang paling sering adalah hipoglikemia dalam kaitan dengan pemberian insulin yang berlebihan, hipokalemia dalam kaitan dengan pemberian insulin dan terapi asidosis dengan bikarbonat, dan hiperglikemia sekunder akibat penghentian insulin intravena setelah perbaikan tanpa pemenuhan yang cukup dengan insulin subkutan. Edema serebral adalah suatu kejadian yang jarang tetapi merupakan komplikasi KAD yang fatal, dan terjadi 0,7-1,0% pada anak-anak dengan KAD. Umumnya terjadi pada anakanak dengan DM yang baru didiagnosis, tetapi juga dilaporkan pada anak-anak yang telah diketahui DM dan pada orang-orang umur dua puluhan. Kasus yang fatal dari edema serebral ini telah pula dilaporkan pada SHH. Secara klinis, edema serebral ditandai oleh perubahan tingkat kesadaran, dengan letargi, dan sakit kepala. Gangguan neurologi mungkin terjadi secara cepat, dengan kejang, inkontinensia, perubahan pupil, bradikardia, dan gagal nafas. Gejala ini makin menghebat jika terjadi herniasi batang otak. Perburukan ini terjadi sangat cepat walaupun papil edema tidak ditemukan. Bila terjadi gejala klinis selain dari kelesuan dan perubahan tingkah laku, angka kematian lebih dari 70% dengan hanya 7-14% pasien yang sembuh tanpa kelainan yang permanen. Walaupun mekanisme dari edema cerebral tidak diketahui diduga diakibatkan oleh perubahan osmolaritas dari air pada sistem saraf pusat dimana terjadi penurunan osmolaritas dengan cepat pada terapi KAD atau SHH. Pencegahan yang mungkin dapat mengurangi resiko edema serebral pada pasien dengan resiko tinggi adalah dengan penggantian defisit air dan natrium berangsur-angsur dengan perlahan
pada pasien yang hiperosmolar.5,6,10 Pada SHH kadar glukosa darah harus dipertahankan antara 250-300 mg/dL sampai keadaan hiperosmolrr dan status mental mengalami perbaikan, dan pasien menjadi stabil. Hipoksemia dan edema paru yang nonkardiogenik dapat terjadi saat terapi KAD. Hipoksemia disebabkan oleh suatu pengurangan dalam tekanan osmotik koloid yang mengakibatkan penambahan cairan dalam paru-paru dan penurunan komplain paruparu. Pasien dengan KAD yang mempunyai suatu gradien oksigen alveoloarteriolar yang lebar pada saat pengukuran analisa gas darah awal atau ditemukannya ronkhi saat pemeriksaan fisik berisiko lebih tinggi untuk terjadinya edema paru.5,6
2.7 PROGNOSIS
Biasanya buruk, tetapi sebenarnya kematian pasien bukan disebabkan oleh sindrom hiperosmolar sendiri tetapi oleh penyakit yang mendasari atau menyertainya. Angka kematian berkisar antara 30-50%. Di negara maju dapat dikatakan penyebab utama kematian adalah infeksi, usia lanjut dan osmolaritas darah yang sangat tinggi. Di negara maju, angka kematian dapat ditekan menjadi sekitar 12 persen.7
BAB 3 STATUS PASIEN
3.1.
3.2.
Identitas Pasien
Nama
: RH
Umur
: 63 tahun 2 bulan 27 hari
Suku
: Batak
Jenis Kelamin
: Perempuan
Pekerjaan
: Ibu Rumah tangga
Alamat
: Padang Sidempuan
Tanggal Masuk
: 16 Juli 2017 (Pukul 10.00)
Berat Badan
: 60 kg
Tinggi Badan
: 167 cm
Anamnesis
Keluhan Utama : Penurunan kesadaran Telaah
: Hal ini dialami pasien sejak 1 hari ini. Riwayat DM tipe 2 dijumpai sejak tahun 2012 dan OS tidak rutin mengkonsumsi
obat
anti
diabetes
(OAD).
Luka
dijumpai pada kaki kiri dan bokong. Demam dijumpai sejak 1 hari ini. Mual dan muntah tidak dijumpai. BAK dan BAB dalam batas normal. Riwayat hipertensi tidak dijumpai. RPO
: Tidak jelas
RPT
: Diabetes Mellitus
3.3.
Time Sequences
Tanggal 16 Juli 2017 Tanggal 16 Juli 2017 Pukul 10.05 WIB Pasien masuk ke line merah IGD RSUP HAM dan merupakan pasien interna
3.4.
Pukul 11.50 WIB Pasien di konsulkan ke anastesi untuk perawatan bersama di icu/hcu, pasien dipindahkan ke hcu pada pukul 13.00
Tanggal 17 Juli 2017
Tanggal 18 Juli 2017
Pukul 13.00
Pukul 14.30 WIB
pasien dipindahkan ke ruangan ra1
Pasien meninggal
Primary Survey di IGD RSUP HAM (29 Juni 2017) A ( Airway )
Clear
Snoring (-) / Gargling (-) / Crowing (-)
C-Spine stabil
B (Breathing )
Inspeksi Nafas spontan, pergerakan thoraks kiri dan kanan simetris, tidak terlihat ketinggalan bernafas, retraksi (-)
Palpasi Stem fremitus kanan = kiri
Perkusi Sonor pada lapangan paru
Auskultasi SP: vesikuler pada kedua lapangan paru; ST: -
RR: 40 x/menit SaO2: 99% C (Circulation)
TD: 85/25 mmHg
HR: 108 x/menit, reguler, t/v: cukup/kuat
Akral Hangat/Merah/Kering, CRT < 2 detik
Perdarahan: tidak ada
D (Disability )
Kesadaran: Somnolen
AVPU: Pain
Pupil:isokor, Ø: 3 mm / 3 mm, RC (+/+)
E (E xposure)
3.5.
Temperatur: 39ºC
Fraktur (-)
Edema (-)
Deformitas pada kaki kiri (+)
Secondary Survey di IGD RSUP HAM (15 Juni 2017) B1 ( Breath)
: Airway clear ; RR: 40 x/menit; SP: vesikuler/vesikuler; ST: -/-; S/G/C: -/-/-; SaO2: 99%
B2 ( Blood )
: Akral: hangat, merah, kering; TD: 85/25 mmHg; HR: 108x/menit, reguler, t/v: cukup/kuat; CRT < 2 detik; Temperatur: 39,3°C
B3 ( Brain)
: Sensorium: somnolen; pupil: isokor; Ø: ± 3 mm / 3 mm; RC +/+
B4 ( Bladder ) : UOP (+); kateter urin tidak terpasang, pampers (+) B5 ( Bowel )
: Abdomen: simetris (+); soepel; timpani; peristaltik (+) normal
B6 ( Bone)
3.6.
: Fraktur (-); edema (-) deformitas (+) pada kaki kiri
Riwayat Allergies
: Tidak ada
3.8.
Medication
: Tidak jelas
Past Illness
: DM Tipe 2
Last Meal
: 07.00 WIB (16 Juli 2017)
Edema
: Tidak ada
Penatalaksanaan di IGD RSUP HAM
Bed rest
Beri oksigen 2-4 L/i via nasal canul
Pasang monitor untuk memantau hemodinamik pasien
Memasang IV line ukuran 16 G dan threeway serta pastikan lancar
Loading IVFD NaCl 0,9% 2 flash (rehidrasi)
Inj. Ranitidine 1 amp/12 jam /iv
Inj. Ceftriaxone 2 gr/ 12 jam/ iv
Drip Ciprofloxacine 400 mg/ 12 jam /iv
Inj. Metronidazole 500 mg/8 jam/iv
Paracetamol drips 1 flash
Clindamicin 4 x 300 mg tab
Drip 50 unit insulin dalam 50 cc NaCl 0,9% via syringe pump (dengan penyesuaian dosis) -> KGD = 604 -> insulin 5 cc/ jam
3.9.
Pemeriksaan Penunjang
3.9.1. Pemeriksaan Laboratorium IGD RSUP HAM (16 Juli 2017) Jenis Pemeriksaan
Hasil
Rujukan
10 g/dL
13 – 16 g/dL
3,5 jt/ µL
4,10-510 jt/ µL
22.700 /µL
4,0 – 11,0 x 103/µL
28%
39 – 54 %
340.000/µL
150 – 450 x 103/µL
HEMATOLOGI
Hemoglobin (HGB) Eritrosit Leukosit (WBC) Hematokrit Trombosit (PLT)
HITUNG JENIS
Neutrofil
90,80%
50 – 70%
Limfosit
4,40%
20 – 40%
Monosit
4,70%
2 – 8%
Eosinofil
0,0%
1 – 3%
Basofil
0,10%
0 – 1%
Natrium (Na)
118 mEq/L
135 – 155 mEq/L
Kalium (K)
5,5 mEq/L
3,6 – 5,5 mEq/L
Klorida (Cl)
90 mEq/L
96 – 106 mEq/L
ELEKTROLIT
METABOLISME KARBOHIDRAT (16 Juli 2017)
Glukosa Darah Sewaktu
604 mg/dL
< 200 mg/dL
519 mg/dL
< 200 mg/dL
381 mg/dL
< 200 mg/dL
331 mg/dL
< 200 mg/dL
240 mg/dL
< 200 mg/dL
213 mg/dL
< 200 mg/dL
148 mg/dL
< 200 mg/dL
140 mg/dL
< 200 mg/dL
143 mg/dL
< 200 mg/dL
7,35 mmHg
7,35 – 7,45 mmHg
(11:00) Glukosa Darah Sewaktu (12:45) Glukosa Darah Sewaktu (17:00) Glukosa Darah Sewaktu (18:10) Glukosa Darah Sewaktu (19:20) Glukosa Darah Sewaktu (24:00) Glukosa Darah Sewaktu (17-7-2017 Jam 03:00)
Glukosa Darah Sewaktu (06:00) Glukosa Darah Sewaktu (08:50) ANALISA GAS DARAH
WAKTU PROTOMBIN
pH
14,0 mmHg
38 – 42 mmHg
pO2
193 U/L
85 – 100 U/L
HCO3
7,7 U/L
22 – 26 U/L
Total CO2
8,1 U/L
19 – 25 U/L
BE
-15,2 U/L
-2 - +2 U/L
Saturasi O2
100 %
95 – 100 %
85 mg/dL
8 – 26mg/dL
pCO2
GINJAL
BUN
Ureum
182 mg/ dL
18 – 56mg/dL
Kreatinin
5.41 mg/dL
0,7 – 1,3mg/dL
PCT (16-7-2017)
25,83 ng/mL
DIPSTIK URINE
Keton: 3.9.2. Foto Thorax
3.10.
3.11.
Diagnosis
Penurunan Kesadaran ec HHNK dd KAD
Sepsis ec ulkus diabetikum grade IV + DM Tipe 2
Tindakan
: Resusitasi
Rencana
Penstabilan hemodinamik pasien di IGD
BAB 4 DISKUSI
Teori
Kasus
Epidemiologi :
Data di Amerika menunjukkan
Pasien
RH,
merupakan
seorang
bahwa insidens HHNK sebesar
perempuan berusia 63 tahun, penderita
17,5 per 100.000 penduduk.
DM tipe 2.
Insiden ini sedikit lebih tinggi dibanding insiden KAD.
HHNK lebih sering ditemukan pada perempuan dibandingkan dengan laki-laki.
HHNK lebih sering ditemukan pada orang lanjut usia, dengan rata-rata usia onset pada dekade ketujuh. Angka mortalitas pada kasus HHNK cukup tinggi, sekitar 10-20%.
Etiologi dan Faktor Pencetus :
HHNK biasanya terjadi pada
Pada pasien ini faktor pencetus HHNK diduga
dari
orang tua dengan DM, yang
ulkusdiabetikumsertapngobatan
mempunyai penyakit penyerta yang
diabetes mellitus yang tidakterkontrol.
mengakibatkan menurunnya asupan makanan. Faktor pencetus dapat dibagi menjadi enam kategori: infeksi, pengobatan, noncompliance, DM tidak terdiagnosis, penyalahgunaan obat, dan penyakit penyerta. Infeksi merupakan
penyebab tersering(57,1%). Compliance yang buruk terhadap pengobatan DM juga sering menyebabkan HHNK (21%).
Gejala Klinis :
Gejala klinis pada pasien berupa :
Keluhan pasien HHNK ialah: rasa
PenurunanKesadaran
lemah, gangguan penglihatan, atau
Dehidrasi
kaki kejang. Kadang, pasien datang
Takikardi
dengan disertai keluhan saraf seperti
Hipotensi
letargi, disorientasi, hemiparesis, kejang atau koma.
Pada pemeriksaan fisik ditemukan tanda-tanda dehidrasi berat seperti turgor yang buruk, mukosa pipi yang kering, mata cekung, perabaan ekstremitas yang dingin dan denyut nadi yang cepat dan lemah. Dapat pula ditemukan peningkatan suhu tubuh yang tak terlalu tinggi. Akibat gastroparesis dapat pula dijumpai distensi abdomen, yang membaik setelah rehidrasi adekuat.
Perubahan pada status mental dapat berkisar dari disorientasi sampai koma. Derajat gangguan neurologis yang timbul berhubungan secara langsung dengan osmolaritas efektif serum. Koma terjadi saat osmolaritas serum
mencapai lebih dari 350 mOsm per kg (350 mmol per kg). Kejang ditemukan pada 25 persen pasien, dan dapat berupa kejang umum, lokal, maupun mioklonik. Dapat juga terjadi hemiparesis yang bersifat reversibel dengan koreksi defisit cairan.
Secara klinis HHNK akan sulit dibedakan dengan KAD terutama bila hasil laboratorium seperti kadar glukosa darah, keton dan analisis gas darah belum ada hasilnya.
Berikut di bawah ini adalah beberapa gejala dan tanda sebagai pegangan :
Sering ditemukan pada usia lanjut yaitu usia lebih dari 60 tahun, semakin muda semakin berkurang, dan pada anak belum pernah ditemukan.
Hampir separuh pasientidak mempunyai riwayat DM atau DM tanpa insulin.
Mempunyai penyakit dasar lain, ditemukan 85% pasien mengidap penyakit ginjal atau kardiovaskular, pernah ditemukan penyakit akromegali, tirotoksikosis, dan
penyakit Cushing
Sering disebabkan oleh obatobatan, antara lain tiazid, furosemid, manitol, digitalis, reserpin, steroid, klorpromazin, hidralazin, dilantin, simetidindan haloperidol (neuroleptik).
Mempunyai faktor pencetus misalnya infeksi, penyakitkardiovaskular, aritmia, pendarahan, gangguan keseimbangan cairan, pankreatitis, koma hepatik dan operasi.
Diagnosis :
Penegakan melalui
diagnosis
anamnesa,
dilakukan
pemeriksaan
Pada anamnesa, didapatkan bahwa pasien
mengalami
penurunan
fisik dan pemeriksaan penunjang
kesadaran sejak ± 1 hari yang lalu.
yang baik dan sistematis.
Pasien merupakan penderita DM 2
Temuan laboratorium awal pada
dengan pengobatan tidak teratur.
pasien dengan HHNK adalah kadar
Pada pemeriksaan fisik, dijumpai
glukosa darah yang sangat tinggi
penurunan
(lebih dari 600 mg per dL) dan
takikardi, hipotensi.
osmolaritas
serum
yang
tinggi
Pada
kesadaran,dehidrasi,
pemeriksaan
laboratorium,
( lebih dari 320 mOsm per kg air
dijumpai trias biokimia :
[normal: 290 kurang lebih 5]),
Hiperglikemia : 604 mg/dL
dengan pH lebih besar dari 7,30 dan
pH : 7.35
disertai
Bikarbonat : 7.7 U/L
tidak.
ketonemia
ringan
atau
Keton : -
Ureum : 182 Separuh pasien akan menunjukkan
Kreatinin : 5,41
asidosis metabolik dengan onion gap yang ringan ( 10 - l2). Jika anion gapnya berat (lebih dari 12), harus
dipikirkan
diferensial
asidosis
penyebab
lain.
diagnosis laktat
atau
Muntah
dan
penggunaan diuretik tiazid dapat menyebabkan alkalosis metabolik yang
dapat
menutupi
keparahan
tingkat asidosis.
Kadar kalium dapat meningkat atau normal. Kadar keatinin, blood urea nitrogen (BUN), dan hematokrit hampir selalu meningkat. HHNK menyebabkan kehilangan
tubuh
banyak
berbagai
macam
elektrolit: Kadar natrium harus dikoreksi jika kadar glukosa darah pasien sangat meningkat. Tatalaksana : Tujuan dari terapi KAD dan SHH
Pada saat pasien sampai ke
adalah penggantian volume sirkulasi
RSUP
dan perfusi jaringan, penurunan secara
dilakukan primary
bertahap kadar glukosa serum dan
dengan
osmolalitas
koreksi
serta dilakukan pemantauan
elektrolit,
dengan monitor, pemasangan
plasma,
ketidakseimbangan
perbaikan keadaan ketoasidosis pada
HAM,
protokol
kembali survey ABCDE,
KAD,
mengatasi
faktor
pencetus,
melakukan monitoring dan melakukan
kateter urin.
Resusitasi dilakukan dengan
intervensi terhadap gangguan fungsi
pemberian
kardiovaskular,
dan
2000cc dalam 1 jam. Setelah
susunan saraf pusat.8 Terapi cairan
itu dilanjutkan NaCl 0,9% cc
Pasien
30 gtt/I makro.
paru,
dengan
SHH
ginjal
memerlukan
rehidrasi dengan estimasi cairan yang
diperlukan 100 ml/kgBB. Terapi cairan
awal bertujuan mencukupi volume intravaskular ginjal.
dan
Terapi
menurunkan
restorasi
cairan
kadar
perfusi
saja
dapat
glukosa
darah.
NaCl
0,9%
Bed rest Beri oksigen 2-4 L/i via nasal canul
Pasang
monitor
untuk
memantau hemodinamik pasien
Memasang IV line ukuran 16 G
Salin normal (NaCl 0,9%) dimasukkan
dan threeway serta pastikan
secara intravena dengan kecepatan 500
lancar
sampai dengan 1000 ml/jam selama dua
jam
pertama.
Perubahan
osmolalitas serum tidak boleh lebih
flash (rehidrasi)
dari 3 mOsm/jam. Namun jika pasien mengalami syok hipovolemik, maka cairan isotonik ketiga atau keempat
Inj. Ceftriaxone 2 gr/ 12 jam/ iv
Drip Ciprofloxacine 400 mg/ 12 jam /iv
tekanan darah yang stabil dan perfusi
jaringan yang baik.8-10
Inj. Metronidazole 500 mg/8 jam/iv
Selain itu, diberikan juga :
Inj. Ranitidine 1 amp/12 jam /iv
dapat digunakan untuk memberikan
Loading IVFD NaCl 0,9% 2
Paracetamol drips 1 flash
Clindamicin 4 x 300 mg tab
Drip 50 unit insulin dalam 50
Terapi Insulin Terapi Elektrolit
cc NaCl 0,9% via syringe pump (dengan penyesuaian dosis) -> KGD = 531 -> insulin 5 cc/ jam
BAB 5 KESIMPULAN
Diabetes melitus yang juga dikenal sebagai penyakit kencing manis adalah golongan penyakit kronis yang ditandai dengan peningkatan kadar glukosa dalam darah sebagai akibat adanya gangguan sistem metabolisme dalam tubuh, dimana organ pankreas tidak mampu memproduksi hormon insulin sesuai kebutuhan tubuh. Diabetes melitus dapat menyerang semua organ tubuh dan menimbulkan berbagai keluhan. Penyakit ini timbul secara perlahan-lahan, sehingga seseorang tidak menyadari adanya berbagai perubahan dalam dirinya. Karena itu, jelas bahwa DM bisa menjadi penyebab terjadinya komplikasi baik yang akut maupun kronis. Status hiperosmolar hiperglikemik terjadi sebagai akibat dari kombinasi penurunan fungsi insulin dan peningkatan kontra regulatori hormon, seperti glukagon, katekolamin, kortisol, dan hormon pertumbuhan yang ditandai dengan sindrom SHH yaitu dehidrasi, hiperglikemia, hiperosmolar tanpa disertai adanya ketosis. Hal ini menyebabkan peningkatan glukoneogenesis dihati dan produksi insulin di ginjal serta gangguan penggunaan insulin pada jaringan perifer, yang pada akhirnya dapat menyebabkan hiperglikemi dan hiperosmolar pada ruang ekstraseluler tanpa ketosis karena pada SHH insulin plasma tidak adekuat untuk memfasilitasi penggunaan glukosa oleh jaringan akan tetapi sangat adekuat untuk mencegah lipolisis dan ketogenesis lewat mekanisme yang belum diketahui. Status hiperosmolar hiperglikemik biasanya terjadi pada orang tua dengan DM, penyakit penyerta, infeksi, efek pengobatan dan penyalahgunaan obat.1-10 Daftar pustaka
DAFTAR PUSTAKA
1.
Hyperglycemic crises in patients with diabetes mellitus. American Diabetes Association. Diabetes Carevol 27 supplement; 2006.
2. Umpierrez GE, Murphy MB, Kitabchi AE. Diabetic ketoacidosis and hyperglycemic hyperosmolar syndrome. [serial online] 2006 [diakses 20 Mei 2009]. Diunduh dari: URL: http://spectrum.diabet esjournals.org/cgi/con tent/full/ 15/1/28 3. Sergot PB. Hyperosmolar hyperglycemic states. Emedicine. [serial online] 2008 [diakses 20 Mei 2009]. Diunduh dari: URL: http://emedicine.meds cape.com/ article/766804- overview 4. Kitabchi AE, Fisher JN. Hyperglycemic crises diabetic ketoacidosis (DKA) and hyperglycemic
hyperosmolar
state
(HHS).
Dalam:
Berghe
GV.
ed.
Contemporary Endocrinology: Acute Cause to Consequence. Edisi ke-23. New York 2013: Humana Press 2013. h. 119-47. 5. Syahputra MHD. Diabetik ketoasidosis. [serial online] 2006. [diakses 23 Maret 2014]. Diunduh dari: URL: http://library.usu.ac.id /download/fk/biokimi asyahputra2.pdf 6. Dixon T. Potassium balance. [serial online] 2007. [diakses 23 Maret 2014]. Diunduh
dari:
URL:
http//www.uhmc.suny
sb.edu/internalmed/ne
phro/webpages /Part_D.htm 7. Rucker DW. Diabetic Ketoacidosis. Emedicine. [serial online] 2008. [diakses 20 Mei 2009]. Diunduh dari: URL:http://emedicine .medscape.com/articl e/ 766275-overview 8. Gaglia JL, Wyckoff J, Abrahamson MJ. Acute hyperglycemic crisis elderly. Med CliNAm. Edisi ke-88. Philadelphia 2005. h. 1063-84. 9. Kitabchi AE, Fisher JN, Murphy MB, Rumbak MJ. Diabetic ketoacidosis and the hyperglycemic hyperosmolar nonketotic state. In Joslin’s Diabetes Mellitus; 2010 10. Kahn CR, Weir GC, Eds. Diabetic ketoacidosis and the hyperglicemic hyperosmolar. Philadelphia: Lea & Febiger.1998. h.738- 70
11. PAPDI. 2014. Ilmu Penyakit Dalam. Hiperosmolar Hiperglikemia Non Ketoasidosis. hal. 2382-2385 . Jakarta : EGC