1. PENDAHULUAN
Didasarkan pada pandangan bahwa undang-undang Pajak Penghasilan menganut pemajakan yang berbasis neto. Basis tersebut berarti pengenaan pajak didasarkan pada penghasilan bruto dikurangi dengan pengeluaran-pengeluaran dan p engurangan lainnya yang diperkenankan oleh undang-undang. Secara komersial sebagaimana diatur dalam SAK bahwa dalam laporan laba rugi biaya diakui apabila terjadi penurunan manfaat ekonomis pada masa mendatang sehubungan dengan penurunan aset atau peningkatan kewajiban yang dapat diukur dengan modal. Sehubungan dengan terdapat beberapa perbedaan perlakuan yang sering menimbulkan koreksi biaya. Pada bab ini akan disampaikan bagaimana praktik akuntansi komersial ini membahas masalah biaya yang sekaligus dikaitkan dengan akuntansi pajaknya serta teknik mengompensasi kerugian menurut undang-undang pepajakan yang memang diperkenankan.
2. BIAYA MENURUT UNDANG-UNDANG PERPAJAKAN
Saat pengukuran biaya digunakan cara pencatatan yang dipakai dalam pembukuan perusahaan, apakah metode kas (cash (cash method ) atau metode akrual (accrual (accrual method ). ). Jika menggunakan metode kas maka biaya diakui pada saat pembayaran. Sedangkan bagi perusahaan yang menggunakan metode akrual, maka biaya diakui pada saat terutangnya tanpa memperhatikan pembayaran. Dalam hal pembebanan biaya ini dilakukan pengaitan (matching ) dengan penghasilan yang menggunakan 3 (tiga) pendekatan, yaitu: 1)
Sebab Akibat (kausalitas) Pendekatan ini mengaitkan biaya tersebut secara langsung dengan penghasilan. Pengakuan biaya sebagai beban dalam periode diakuinya penghasilan. Contoh Kongkret yaitu persediaan sebagai penyebab dari hasil penjualan. (penghasilan pada masa mendatang, diakuinya sebagai biaya alokasi harga pokok pada saat persediaan tersebut dijual).
2)
Alokasi Sistematis dan Rasional Pendekatan ini tidak Mengaitkan secara langsung biaya dengan penghasilan, tetapi biaya dialokasikan secara sistematis dan rasional dengan penghasilan atas dasar masa manfaat. Contoh Kongkret terletak pada aset tetap, alokasi biayanya segera pada tahun tersebut sebagai pengurang terhadap penghasilan atau dilakukan penundaan atau 1
dikurangkan dengan penghasilan di masa mendatang melalui alokasi penyusutan dan amortisasi. 3)
Pengakuan Segera Biaya yang dapat dikaitkan dengan penghasilan melalui pendekatan kesatu atau pendekatan kedua akan dibebankan segera terhadap penghasilan pada tahun pengeluaran. Contoh Kongkret: biaya pendirian, biaya emisi, dan lain sebagainya. Untuk tujuan perpajakan, yaitu atas dasar pertimbangan penerimaan dan pengaruh sosial
ekonomi, tidak seluruh biaya dapat dikurangkan terhadap penghasilan sehingga apabila dibandingkan, komponen biaya menurut akuntansi komersial dapat dikoreksi yang mengaruhi penghasilan. Beban-beban yang dapat dikurangkan dari penghasilan bruto bagi Wajib Pajak dalam negeri dan Bentuk Usaha Tetap dibagi dalam dua golongan: 1)
Beban yang mempunyai masa manfaat tidak lebih dari 1 (satu) tahun merupakan biaya pada tahun yang bersangkutan, misalnya gaji, biaya administrasi, bunga, biaya pengolahan limbah dan sebagainya.
2)
Pengeluaran yang mempunyai masa manfaat lebih dari 1 (satu) tahun, pembebanannya dilakukan melalui penyusutan atau melalui amortisasi.
Pengeluaran – pengeluaran yang dilakukan oleh Wajib Pajak dapat pula dibedakan menjadi: 1)
Pengeluaran yang dapat dibebankan sebagai biaya (deductible expenses) Pengeluaran yang mempunyai hubungan langsung dengan usaha atau kegiatan untuk mendapatkan, menagih dan memelihara penghasilan yang merupakan objek pajak yang pembebanannya dapat dilakukan dalam tahun pengeluaran atau selama masa manfaat dari pengeluaran tersebut.
2)
Pengeluaran yang tidak dapat dibebankan sebagai biaya (nondeductible expenses) Pengeluaran untuk mendapatkan, menagih dan memelihara penghasilan yang bukan merupakan objek pajak atau pengeluaran dilakukan tidak dalam batas-batas yang wajar sesuai dengan adat kebiasaan pedagang yang baik. Pasal 6 Undang-undang Pajak Penghasilan menyatakan bahwa untuk menghitung
besarnya Penghasilan Kena Pajak bagi Wajib Pajak dalam negeri dan bentuk usaha tetap, ditentukan berdasarkan penghasilan bruto dikurangi:
2
1)
Biaya untuk mendapatkan, menagih dan memelihara penghasilan, termasuk biaya pembelian bahan, biaya yang berkenaan dengan pekerjaan atau jasa termasuk upah gaji, honorarium, bonus, gratifkasi, dan tunjangan yang diberikan dalam bentuk uang, bunga, sewa, royalti, biaya perjalanan, biaya pengolahan limbah, premi asuransi, biaya promosi, dan penjualan yang diatur dengan berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan, biaya administrasi, dan pajak kecuali Pajak Penghasilan. Biaya yang dimaksud adalah biaya-biaya yang lazimnya disebut dengan biaya seharihari yang dibebankan pada tahun pengeluaran yang diperlukan persyaratan hubungan langsung dengan usaha atau kegiatan untuk mendapatkan, menagih dan memelihara penghasilan yang merupakan objek pajak. Contoh: bunga atas pinjaman.
2)
Penyusutan atas pengeluaran untuk memperoleh aset berwujud dan amortisasi atas pengeluaran untuk memperoleh hak dan atas biaya lain yang mempunyai masa manfaat lebih dari 1 (satu) tahun.
3)
Iuran kepada dana pensiun telah tegas dibatasi yaitu “yang pendiriannya telah disahkan oleh Menteri Keuangan”. Apabila pembayarannya kepada dana pensiun tidak atau belum disahkan oleh Menteri Keuangan tidak diperkenankan untuk dibebankan sebagai Biaya.
4)
Kerugian karena penjualan atau pengalihan aset yang dimiliki untuk mendapatkan, menagih, memelihara penghasilan.
5)
Kerugian selisih kurs mata uang asing Diakibatkan adanya fluktuasi kurs sehari-hari, terutama dalam kondisi krisis moneter. Pembebanan selisih kurs dilakukan berdasarkan sistem pembukuan perusahaan yang dianut dengan syarat taat asas (konsisten) sesuai standar Akuntansi Keuangan yang berlaku di Indonesia.
6)
Biaya penelitian dan pengembangan perusahaan yang dilakukan di Indonesia Dengan diperkenankan untuk dibebankan sebagai biaya inilah diharapkan lebih meningkatkan masalah penelitian dan pengembangan IPTEK agar proses alih teknologi dapat dipercepat.
7)
Biaya beasiswa, Magang, dan Pelatihan Lebih ditekankan pada peningkatan kualitas sumber daya manusia. Maka dari itu biaya beasiswa diberikan kepada pelajar, mahasiswa dan pihak lain magang dan pelatihan 3
diperkenankan untuk dibebankan sebagai biaya dengan tetap memperhatikan kewajaran dan kepentingan perusahaan. 8)
Piutang yang nyata-nyata tidak dapat ditagih, dengan syarat: a. Telah dibebankan sebagai biaya dalam laporan laba rugi komersial; b. Wajib Pajak harus menyerahkan daftar piutang yang telah dapat ditagih kepada Direktorat Jendral Pajak; dan c. Telah diserahkan perkara penagihannya kepada Pengadilan Negeri atau instansi pemerintah yang menangani piutang negara atau adanya perjanjian tertulis mengenai penghapusan piutang/pembebasan Utang antara kreditor dan debitur yang bersangkutan; d. Syarat sebagaimana dimaksud pada huruf C “tidak berlaku untuk penghapusan piutang tak tertagih debitur kecil sebagaimana dimaksud dalam pasal 4 ayat (1) huruf “K” Undang-undang Pajak Penghasilan yang pelaksanaannya diatur lebih lanjut dengan atau berdasarkan peraturan Menteri Keuangan.
9)
Sumbangan dalam rangka penanggulangan bencana nasional yang ditetapkan dengan Peraturan Pemerintah.
10) Sumbangan dalam rangka penelitian dan pengembangan yang dilakukan di Indonesia yang ketentuannya diatur dengan Peraturan Pemerintah. 11) Biaya pembangunan infrastruktur sosial yang ketentuannya diatur dengan Peraturan Pemerintah. 12) Sumbangan fasilitas pendidikan yang ketentuannya diatur dengan Peraturan Pemerintah. 13) Sumbangan dalam rangka pembinaan olahraga yang ketentuannya diatur dalam Peraturan Pemerintah.
3. BIAYA YANG TIDAK BOLEH DIBEBANKAN
Tidak setiap pengeluaran itu boleh dibebankan sebagai biaya sesuai ketentuan perundangundangan perpajakan. Pasal 9 ayat (1) UU pajak penghasilan mengatur yaitu untuk menentukan besarnya penghasilan kena pajak bagi Wajib Pajak dalam negeri dan Bentuk Usaha Tetap tidak boleh dikurangkan, yaitu sebgai berikut:
4
1)
Pembagian laba dengan nama dalam bentuk apapun seperti dividen, termasuk dividen yang dibayarkan oleh perusahaan asuransi kepada pemegang polis, dan pembagian sisa hasil usaha koperasi.
2)
Biaya yang dibebankan atau dikeluarkan untuk kepentingan pribadi pemegang saham, sekutu atau anggota.
3)
Pembentukan atau pemupukan dana cadangan, kecuali cadangan piutang tidak tertagih untuk usaha bank dan sewa dengan hak opsi, cadangan untuk usaha asuransi, dan cadangan biaya reklamasi untuk usaha pertambangan, yang ketentuan dan syaratsyaratnya ditetapkan dengan Keputusan Menteri Keuangan.
4)
Premi asuransi kesehatan, asuransi kecelakaan, asuransi jiwa, asuransi dwiguna, dan asuransi beasiswa, yang dibayar oleh Wajib Pajak orang pribadi, kecuali jika dibayar oleh pemberi kerja dan premi tersebut dihitung sebagai penghasilan bagi Wajib Pajak yang bersangkutan.
5)
Penggantian atau Imbalan sehubungan dengan pekerjaan atau jasa yang diberikan dalam bentuk natura dan kenikmatan, kecuali penyediaan makanan dan minuman bagi seluruh pegawai yang ditetapkan Keputusan Menteri Keuangan. Pasal 4 ayat (3) huruf “d” memberikan penjelasan bahwa penggantian atau imbalan dalam bentuk natura dan kenikmatan tidak diaggap sebagai objek pajak, dengan sendirinya tidak dibebankan sebagai biaya bagi si pemberi kerja.
6)
Jumlah yang melebihi kewajaran yang dibayarkan kepada pemegang saham atau kepada pihak yang mempunyai hubungan istimewa sebagai imbalan sehubungan dengan pekerjaan yang dilakukan.
7)
Harta yang dihibahkan kepada keluarga sedarah dalam garis keturunan lurus satu derajat dan kepada badan keagamaan atau badan pendidikan atau badan sosial atau pengusaha kecil (termasuk koperasi yang ditetapkan oleh Menteri Keuangan) serta bantuan atau sumbangan termasuk zakat yang diterima oleh badan amil zakat.
8)
Pajak penghasilan yang terutang oleh Wajib Pajak yang bersangkutan. Pajak diterapkan atas penghasilan pajak itu sendiri.
9)
Biaya yang dibebankan atau dikeluarkan untuk kepentingan pribadi Wajib Pajak atau orang yang menjadi tanggungannya.
5
10) Gaji yang dibayarkan kepada anggota persekutuan, firma, atau perseroan komanditer yang modalnya tidak terbagi atas saham. 11) Sanksi administrasi berupa bunga, denda dan kenaikan, serta sanksi pidana.
4. KLASIFIKASI BIAYA SESUAI ATURAN PELAKSANAAN UNDANG-UNDANG PERPAJAKAN
Klasifikasi atau penetapan biaya yang diperkenankan untuk dibebankan (deductible expenses) dan biaya yang tidak diperkenankan untuk dibebankan (nondeductible expenses) sebagaimana telah diatur dalam pasal 6 dan 9 Undang-undang Pajak penghasilan seperti yang telah dijelaskan, umumnya diikuti pula dengan aturan pelaksanaannya dengan bentuk peraturan pemerintah, Peraturan Menteri Keuangan, atau Peraturan Direktur Jenderal Pajak. Beberapa aturan pelaksanaan dimaksud yang aplikasinya dalam bentuk latihan soal: 1)
Biaya dalam program jamsostek Dalam program ini berkaitan dengan pembayaran premi atau iuran: a. Jaminan Kecelakaan Kerja (JKK) dan Jaminan Kematian (JKM). PPh pasal 21: santunan b. Jaminan Hari Tua Bebannya dapat dibebankan sebagai biaya/pengurang penghasilan bruto dan bagi karyawan bukan merupakan objek PPh pasal 21.
2)
Biaya Pengobatan Perlu memperhatikan cara pembayarannya: a. Biaya Pengobatan Karyawan yang dibayar peusahaan langsung ke rumah sakit atau dokter dan apotek, pembayaran tersebut sebagai pemberian kenikmatan sehingga tidak boleh dibiayakan dan bukan objek PPh pasal 21 bagi penerimanya. b. Biaya
Penggantian
Pengobatan,
pemberian
tunjangan
pengobatan,
uang
pengobatan, sebagai biaya yang dapat dikurangkan terhadap penghasilan bruto (deductible expeses) dan objek PPh pasal 21. 3)
Biaya Rekreasi dan Olahraga Biaya ini dianggap sebagai kenikmatan karyawan.
4)
Biaya Perumahan
6
Biaya perumahan/sewa rumah tidak diperkenankan untuk dibebankan kecuali karyawan diberi tunjangan sewa. 5)
Biaya Kendaraan Dinas Kendaraan yang tidak dibawa pulang, namun segalanya dibebankan terhadap perusahaan.
6)
Telepon Seluler Karyawan Mengikuti Kep.220/PJ./2002 yang diberlakukan mulai 18 april 2002, terhadap telepon seluler yang dimiliki dan digunakan perusahaan untuk pegawai tertentu karena jabatan atau pekerjaannya dibebankan 50% dengan kelompok 1.
7)
Sesuai Pasal 3 PP No. 138 Tahun 2000, yaitu pajak masuk yang tidak dapat dikreditkan berdasarkan pasal 9 ayat (8) Undang-undang PPN dan PPnBM dapat dikurangkan dari penghasilan bruto, kecuali: a. Pajak masukan sesuai pasal 9 ayat (8) huruf f dan huruf g undang-undang PPN dan PPnBM b. Pajak masukan berkenaan dengan pengeluaran yang tidak dikurangkan dalam menentukan besarnya penghasilan kena pajak sesuai pasal 9 ayat (1) UU pajak penghasilan.
8)
Pajak Masukan (PP No. 138 tahun 2000)
9)
Pasal 44 PP No. 138 2000 yaitu pengeluaran dan biaya yang tidak boleh dikurangkan dalam menghitung besarnya penghasilan Kena Pajak Wajib Pajak dalam negeri dan Bentuk Usaha Tetap termasuk: a. Biaya untuk mendapatkan, menagih, dan memelihara penghasilan yang bukan merupakan objek pajak. b. Yang pengenaannya bersifat final. c. Yang dikenakan berdasarkan Norma Perhitungan Penghasilan Neto seperti dalam pasal 14 dan 15. d. Pajak penghasilan yang ditanggung oleh pemberi penghasilan, kecuali pajak atas penghasilan sebagaimana dimaksud dalam pasal 26 ayat (1) UU PP. e. Kerugian dari harta atau utang yang tidak dimiliki dan tidak digunakan dalam usaha atau kegiatan untuk mendapatkan, menagih, memelihara penghasilan yang merupakan objek pajak. 7
10) Pemberian natura atau kenikmatan yang berkaitan dengan pelaksanaan pekerjaan dapat dibebankan (deductible) dan bukan merupakan objek PPh 21. Sesuai Keputusan Meteri Keuangan No. 446/KMK.04/2000 dan Keputusan Direktur Jendral Pajak No. Kep. 213/PJ/2001 perlu diperhatikan: Daerah terpencil harus mendapatkan persetujuan dari Direktur Jendral Pajak, dengan kondisi: a.
Tempat tinggal termasuk perumahan bagi pegawai dan keluarganya, sepanjang dilokasi kerja tidak ada tempat tinggal yang dapat disewa.
b.
Pelayanan kesehatan, sepanjang dilokasi tidak ada sarana kesehatan.
c.
Pendidikan bagi pegawai dan keluarganya, dilokasi tidak ada sarana pendidikan yang setara.
d.
Pengangkutan bagi pegawai dilokasi kerja, sedangkan semuanya terbatas.
e.
Olahraga bagi pegawai keluarganya tidak termasuk boling, golf, atau pacuan kuda sepanjang tidak tersedia sarana dimaksud.
11) Biaya entertainment , representasi, jamuan tamu, sejenisnya sesuai SE-27/PJ.22/1986 tidak diperkenankan untuk dibebankan, tetapi apabila disyaratkan adanya daftar nominatif (bukti) yang dilampirkan dalam SPT Tahunan PPh. 12) Pajak Daerah dan Retribusi Daerah dapat dibebankan sebagai biaya dalam menghitung Penghasilan Kena Pajak sepanjang memenuhi syarat Ketentuan UU No. 34 Tahun 2000 tentang pajak daerah dan retribusi daerah.
5. KOMPENSASI KERUGIAN
Dalam dunia usaha, keuntungan dan kerugian adalah dua hal yang biasa terjadi. Ada kalanya sebuah usaha mengalami keuntungan dan ada kalanya juga sebuah usaha mengalami kerugian. Dalam konteks Pajak Penghasilan, keuntungan yang diperoleh adalah objek Pajak Penghasilan, sebaliknya kalau terjadi kerugian, maka Wajib Pajak tidak akan terkena Pajak Penghasilan. Bahkan kerugian yang didapatkan dalam satu tahun pajak dapat digunakan untuk menutupi keuntungan pada tahun-tahun berikutnya sehingga pada tahun-tahun tersebut Pajak Penghasilan nya menjadi lebih kecil atau tidak terutang sama sekali. Nah, proses membawa kerugian dalam satu tahun pajak ke tahun-tahun pajak berikutnya ini dinamakan sebagai Kompensasi Kerugian (Carrying Loss). 8
Terdapat 2 (dua) macam kompensasi kerugian, yaitu:
a. Kompensasi Horizontal Diterapkan apabila Wajib Pajak dalam tahun pajak yang bersamaan memperhitungkan kompensasinya antara penghasilan suatu bidang usaha dengan kerugian dan bidang usaha lainnya. b. Kompensasi Vertikal Dalam
kompensasi
vertikal
ini
dilakukan
yaitu
dengan
jalan
Wajib
Pajak
mengompensasikan penghasilan suatu tahun pajak dengan kerugian tahun sebulumnya. Undang-undang Pajak Penghasilan Menganut Kompensasi Vertikal. Kompensasi kerugian dalam Pajak Penghasilan diatur dalam Pasal 6 ayat (2) Undangundang Pajak Penghasilan. Adapun beberapa point penting yang perlu diperhatikan dalam hal kompensasi kerugian ini adalah sebagai berikut : 1) Istilah kerugian merujuk kepada kerugian fiskal bukan kerugian komersial. Kerugian atau keuntungan fiskal adalah selisih antara penghasilan dan biaya-biaya yang telah memperhitungkan ketentuan Pajak Penghasilan. 2) Kompensasi kerugian hanya diperkenankan selama lima tahun ke depan secara berturutturut. Apabila pada akhir tahun kelima ternyata masih ada kerugian yang tersisa maka sisa kerugian tersebut tidak dapat lagi dikompensasikan. 3) Kompensai kerugian hanya untuk Wajib Pajak, baik badan maupun orang pribadi, yang melakukan kegiatan usaha yang penghasilannya tidak dikenakan PPh Final dan perhitungan Pajak Penghasilannnya tidak menggunakan norma pen ghitungan. 4) Kerugian usaha di luar negeri tidak bisa dikompensasikan dengan penghasilan dari dalam negeri.
Sebagai contoh, misalnya wajib pajak PT A mengalami kerugian fiskal tahun pajak 2009, maka kerugian tersebut dapat dikompensasikan dengan penghasilan neto atau laba fiskal tahun 2010, 2011, 2012, 2013, dan 2014. Jika setelah kerugian tersebut dikompensasikan sampai dengan tahun 2014 masih tersisa kerugian yang belum dikompensasikan, maka sisa kerugian tersebut tidak dapat lagi dikompensasikan dengan penghasilan neto atau laba fiskal tahun 2015 atau sesudahnya. Sebagai ilustrasi misalkan PT A dalam tahun 2009 mengalami
9
kerugian fiskal Rp1.200.000.000,00. Dalam lima tahun berikutnya rugi laba fiskal PT A sebagai berikut : 2010
:
laba fiskal Rp200.000.000,00
2011
:
rugi fiskal Rp300.000.000,00
2012
:
laba fiskal NIHIL
2013
:
laba fiskal Rp100.000.000,00
2014
:
laba fiskal Rp800.000.000,00
Kompensasi kerugian dilakukan sebagai berikut :
Rugi fiskal tahun 2009
(1,200,000,000.00)
Laba fiskal tahun 2010
200,000,000.00
Sisa rugi fiskal tahun 2009 Rugi fiskal tahun 2011
(1,000,000,000.00) (300,000,000.00)
Sisa rugi fiskal tahun 2009 Laba fiskal tahun 2012
(1,000,000,000.00) NIHIL
Sisa rugi fiskal tahun 2009 Laba fiskal tahun 2013
(1,000,000,000.00) 100,000,000.00
Sisa rugi fiskal tahun 2009 Laba fiskal tahun 2014
(900,000,000.00) 800,000,000.00
Sisa rugi fiskal tahun 2009
(100,000,000.00)
Tahun 2010 : Kompensasi
kerugian
Rp200.000.000,00
sehingga
sisa
rugi
tahun
2009
tinggal
Rp1.000.000.000,00. Penghasilan Kena Pajak menjadi nihil dan PPh terutang juga nihil. Tahun 2011 : Tak ada kompensasi kerugian dari tahun 2009 karena tahun 2011 juga mengalami kerugian. Penghasilan Kena Pajak menjadi nihil dan PPh terutang juga nihil. Tahun 2012 : Tak ada kompensasi kerugian dari tahun 2009 karena tahun 2012 laba fiskal nihil. Penghasilan Kena Pajak menjadi nihil dan PPh terutang juga nihil. 10
Tahun 2013 : Kompensasi
kerugian
Rp,100.000.000,00
sehingga
sisa
rugi
tahun
2009
tinggal
Rp.900.000.000,00. Penghasilan Kena Pajak menjadi nihil dan PPh terutang juga nihil. Tahun 2014 : Kompensasi
kerugian
Rp.800.000.000,00
sehingga
sisa
rugi
tahun
2009
tinggal Rp.100.000.000,00. Penghasilan Kena Pajak menjadi nihil dan PPh terutang juga nihil. Sisa kerugian Rp.100.000.000,00 ini tidak dapat lagi dikompensasikan ke tahun 2015 atau setelahnya.
6. AKUNTANSI PAJAK
Rugi fiskal tahun 2009 sebesar Rp.100.000.000,00 (seratus juta rupiah) yang masih tersisa pada akhir tahun 2014, tidak boleh dikompensasikan lagi dengan laba fiskal tahun 2011. Sedangkan rugi fiskal 2011 sebesar Rp.300.000.000,00 hanya boleh dikompensasikan dengan laba fiskal tahun 2015 dan 2016, karena jangka waktu 5 tahun yang dimulai sejak tahun 2012 berakhir tahun 2016. Kompensasi kerugian ini berlaku apabila Wajib Pajak menyelenggarakan pembukuan. Dalam praktik akuntansi komersial, kompensasi kerugian vertical ini dilakukan secara otomatis, yaitu dalam akun “saldo laba” karena hasil operasi akhir tahun (penghasilan setelah pajak) selalu dibukukan kea kun “saldo laba”. Sementara dalam akuntansi pajak, perlu diperhatikan bahwa penghitungan laba fiskal berada di jalur ekstra komtable (di luar jalur pembukuan). Bagi perusahaan yang mempunyai cabang-cabang di luar negeri, sesuai dengan penjelasan Pasal 4 Undang-undang Pajak Penghasilan, tidak dapat mengkonsolidasikan kerugian yang diderita cabang, karena laba cabang luar negeri ini selalu dikenakan pajak tanpa memperhitungkan kerugian.
11