Pendahuluan
Adanya sektor informal di Negara kita tidak terlepas dari proses pembangunan yang sedang dilaksanakan. Karena itu sektor informal telah menjadi pusat perhatian perencanaan pembangunan, terutama di Negara sedang berkembang, dan dipandang sebagai salah satu alternatif penting dalam memecahkan masalah ketenagakerjaan. Pertumbuhan penduduk yang besar secara langsung maupun tidak langsung menimbulkan permasalahan yang besar. Sebagian besar orang belum tentu bisa langsung mendapatkan pekerjaan. Salah satu solusinya adalah dengan berusaha sendiri di sektor informal.
Istilah "sektor informal" biasanya digunakan untuk menunjukkan sejumlah kegiatan ekonomi yang berskala kecil. Tetapi akan menyesatkan bila disebut dengan "perusahaan" berskala kecil karena beberapa alasan berikut ini. Sektor informal dalam tulisan ini terutama dianggap sebagai suatu manifestasi dari situasi pertumbuhan kesempatan kerja di negara sedang berkembang; karena itu mereka yang memasuki kegiatan berskala kecil ini di kota, terutama bertujuan untuk mencari kesempatan kerja dan pendapatan daripada memperoleh keuntungan. Karena mereka yang terlibat dalam sektor ini pada umumnya miskin, berpendidikan sangat rendah, tidak trampil, dan kebanyakan para migran, jelaslah bahwa mereka bukanlah kapitalis yang mencari investasi yang menguntungkan dan juga bukan pengusaha seperti yang dikenal pada umumnya. Cakrawala mereka nampaknya terbatas pada pengadaan kesempatan kerja dan menghasilkan pendapatan yang langsung bagi dirinya sendiri. Bagaimanapun juga, harus diakui bahwa banyak diantara mereka berusaha dan bahkan berhasil mengatasi hambatan-hambatan yang ada dan secara perlahan-lahan masuk ke dalam perusahaan berskala kecil dengan jumlah modal dan ketrampilan yang memadai, dan semestinya dengan orientasi yang lebih besar kepada keuntungan.
Masalah utama yang dihadapi kebanyakan Negara Sedang Berkembang (NSB) termasuk Indonesia hingga saat ini adalah bagaimana memanfaatkan faktor manusia yang melimpah dan kebanyakan tidak terlatih (unskilled) bagi pembangunannya, sehingga penduduk yang besar bukan merupakan beban pembangunan, justru menjadi modal pembangunan. Dengan demikian peranan sektor informal menjadi penting, terutama karena kemampuannya dalam menyerap banyak tenaga kerja dan tidak menuntut tingkat keterampilan yang tinggi. Bahkan sektor informal ini bisa menjadi wadah pengembangan sumberdaya manusia, dimana tenaga kerja yang tidak terlatih (unskilled) tersebut dapat meningkatkan keterampilannya dengan memasuki sektor informal terlebih dahulu sebelum masuk ke sektor formal.
sektor informal adalah sektor yang tidak terorganisasi (unorganized), tidak teratur (unregulated), dan kebanyakan legal tetapi tidak terdaftar (unregistered). Di Negara Sedang Berkembang, sekitar 30-70 persen populasi tenaga kerja di perkotaan bekerja di sektor informal. Sektor informal memiliki karakteristik seperti jumlah unit usaha yang banyak dalam skala kecil; kepemilikan oleh individu atau keluarga, teknologi yang sederhana dan padat tenaga kerja, tingkat pendidikan dan ketrampilan yang rendah, akses ke lembaga keuangan daerah, produktivitas tenaga kerja yang rendah dan tingkat upah yang juga relatif lebih rendah dibandingkan sektor formal. Kebanyakan pekerja di sektor informal perkotaan merupakan migran dari desa atau daerah lain. Motivasi pekerja adalah memperoleh pendapatan yang cukup untuk sekedar mempertahankan hidup (survival). Mereka tinggal di pemukiman kumuh, dimana pelayanan publik seperti listrik, air bersih, transportasi, kesehatan, dan pendidikan yang sangat minim.
Permasalahan Sektor Informal
Konseptualisasi sektor informal tersebut di atas, walaupun bermanfaat, namun belum dapat memecahkan masalah definisi. Masih dibutuhkan beberapa definisi untuk menentukan batas sektor ini baik dari sudut pandangan operasional maupun penelitian. Barangkali skala operasi adalah karakteristik terpenting yang muncul dari kerangka di atas dan dapat dipakai sebagai suatu alat untuk memisahkan kegiatan ekonomi sektor informal dari semua kegiatan ekonomi sektor-sektor lainnya. Meskipun skala operasi dapat diukur dengan berbagai macam cara, antara lain meliputi besarnya modal, omzet, dan lain-lain, tetapi karena ciri-ciri ini biasanya sangat erat hubungannya satu sama lain, maka alat ukur yang paling tepat untuk mengukur skala operasi adalah jumlah orang yang terlibat dalam kegiatan tersebut. Melihat ekonomi kota sebagai suatu kesatuan yang tak dapat dipisahkan dari unit-unit produksi dan distribusi, maka untuk kepentingan tulisan ini, unit-unit yang memiliki 10 orang ke bawah diklasifikasikan ke dalam sektor informal dalam segala bidang (meskipun ada kekecualian).
Tulisan Keith Hart, seorang antropol inggris untuk pertama kalinya melontarkan gagasannya mengenai sektor informal. Sejak munculnya konsep ini banyak penelitian dan kebijakan mulai menyoroti masalah kesempatan kerja kelompok miskin di kota secara khusus. Menurut Hart, kesempatan kerja di kota terbagi menjadi tiga kelompok, yaitu formal, informal sah, dan informal yang tidak sah. Selain itu, pembedaan sektor formal dan informal dilihat dari ketentuan cara kerja, hubungan dengan perusahaan, curahan waktu, serta status hukum kegiatan yang dilakukan.
Permasalahan sektor informal seakan tiada pernah henti meski secara teoretis sektor ini bukanlah fenomena yang baru. Sektor informal sudah ada di sekeliling kita sejak manusia ada di muka bumi. Karena sejak manusia ada di muka bumi, mereka melakukan kegiatan untuk memenuhi kebutuhan hidupnya dengan cara menciptakan kerja sendiri atau self employed. Akan tetapi, sektor informal selalu saja mendapatkan stigma sebagai "penghambat" pembangunan.
Kendala klasik tersebut selalu saja menuai permasalahan yang kian hari kian sempit ruang geraknya. Akibatnya, sektor informal semakin sulit untuk dapat mengembangkan usahanya demi memenuhi kebutuhan keluarganya. Sehingga pertumbuhan penduduk yang semakin pesat menyebabkan berkurangnya lapangan pekerjaan formal. Karena, pertumbuhan penduduk tersebut tidak diimbangi dengan penciptaan lapangan kerja dengan membangun sumber daya yang berkualitas. Sehingga, sumber daya manusia yang dihasilkan tidak mampu mengikuti kompetisi di era industrialisasi yang semakin ketat. Hal ini ternyata menyebabkan sumber daya manusia yang minim modal dan keterampilan. Dalam hal ini menyebabkan kegiatan sektor ekonomi informal untuk dijadikan sebagai lahan mata pencaharian bagi pemasukan ekonomi bagi keluarga. Dan, inilah permasalahan paling mendasar yang dialami sebagian besar warga perkotaan, yakni merebaknya kemiskinan.
Penciptaan lapangan kerja dan pengentasan kemiskinan di perkotaan merupakan dua dari berbagai masalah besar yang harus di cari jalan pemecahannya dalam pembangunan nasional. Beberapa ahli mengatakan dan pengamat ekonomi menganjurkan perlunya perhatian pada pengembangan kegiatan ekonomi sektor informal di perkotaan. Namun, ada juga yang cenderung lebih menekankan kepada kegiatan ekonomi sektor moderen. Misalanya, melalui perluasan investasi dan industrialisasi di perkotaan.
Sektor informal selain penuh dengan kontroversi juga memiliki manfaat yang notabene membantu khususnya dalam perekonomian. Kadir dan Bintoro (2000) mengatakan sektor informal memiliki dua manfaat, yakni:
Dalam berbagai keterbatasannya serta dalam situasi persaingan ekonomi kapitalis yang ketat, sektor informal telah menunjukan kemampuannya untuk bertahan, meskipun dalam kekurangan dan ketidak layakannya.
Sektor informal telah menciptakan lapangan kerja bagi mereka yang tidak memiliki kesempatan bekerja dalam sektor formal.
Permasalahan usaha di sektor informal menunjukkan bahwa kondisi ini diduga bersumber dari dua hal pokok, yaitu (1) faktor internal dari pelaku usaha sektor informal itu sendiri; dan (2) faktor eksternal, yakni kebijakan pemerintah dalam pembinaan usaha kecil (termasuk usaha sektor informal). Masalah yang berkaitan dengan faktor internal, di antaranya adalah rendahnya tingkat pendidikan formal dan keterampilan dalam berusaha; perilaku konsumtif (konsumerisme). Kebanyakan dari mereka belum mempunyai modal sendiri (sumber modal sebagian dari rentenir, dan sebagian dari barang-barang yang dijajakan adalah barang-barang komisi). Sedangkan faktor ekternal berkaitan dengan kebijakan pemerintah dalam pembinaan usaha kecil, khususnya usaha sektor informal yang hingga saat ini sebagian besar belum tersentuh dalam memperoleh pembinaan dari pihak-pihak terkait.
Pelaku usaha sektor informal, secara nyata mampu memberikan pelayanan terhadap kebutuhan masyarakat yang berpenghasilan rendah, sehingga dengan demikian tercipta suatu kondisi pemerataan hasil-hasil pembangunan. Selain itu, kelompok pedagang sektor informal mempunyai potensi yang cukup besar untuk memberikan kontribusi terhadap penerimaan Pendapatan Asli Daerah (PAD) di sektor penerimaan retribusi daerah seiring dengan kebutuhan daerah dalam rangka penyelenggaraan otonomi daerah.
Pada sisi lain lokasi tempat usaha merupakan salah satu faktor yang dapat menentukan tingkat perkembangan usaha. Semakin strategis tempat (dekat dengan konsumen) semakin besar perkembangan usaha tersebut ditinjau dari penjualan. Tidak mengherankan usaha sektor informal yang berkembang cepat adanya di pusat-pusat kota. Keberadaan usaha sektor informal disatu sisi dapat memberikan sumbangan/kontribusi dalam PAD tapi disisi lain menjadi bumerang bagi pemerintah sebagai pengambil kebijakan terutama dalam hal pengaturan tempat, tidak jarang kita lihat di kota-kota besar keberadaan usaha ini justru membuat kemacetan, penataan kota menjadi semrawut, sampah tersebar disana-sini, dan lain-lainnya.
Dari informasi responden umumnya mereka menginginkan ada tempat khusus disediakan oleh pemerintah. Untuk menjaga keteraturan dalam penataan kota, sektor informal idealnya memang harus ada wadah/tempat khusus atau lebih spesifik lagi ada tempat khusus diikuti dengan hari-hari khusus dan jam-jam khusus mereka berjualan ditempat itu, mengingat usaha ini tergolong usaha kecil dan mudah untuk diangkat atau dipindah-pindahkan.
Kemudian permasalahan lain yang sering di hadapi oleh para pengusaha sektor informal adalah kurangnya modal untuk mengembangkan usaha sektor informal dan sulitnya akses ke lembaga permodalan. Kedua permasalahan ini merupakan masalah yang berhubungan langsung (modal dan lembaga permodalan) dan menjadi masalah bagi semua pelaku usaha di sektor informal. Responden sangat besar keinginannya untuk mengembangkan usaha tapi mereka semua terkendala dengan masalah permodalan, sehingga peran pemerintah setempat dituntut dapat proaktif dalam memfasilitasi mereka tentang bagaimana cara dan metode dalam memperoleh modal.
Kesimpulan
Dari pebjelasan diatas dapat disimpulkan bahwa ada beberapa masalah yang dihadapi dalam usaha sektor informal:
Pelaku sektor informal juga belum memiliki menejemen usaha yang bisa membuat mereka bekerja efisien dan memiliki daya tawar yang kuat
Faktor keterbatasan modal dan akses terhadap pasar merupakan kendala utama yang bersifat akut dan belum bisa tertanggulangi secara sempurana.
Sektor informal belum bisa mengorganisasikan diri dengan dunia luar (bahkan diantara mereka sendiri) akibat adanya hambatan dari pemerintah yang tidak memperbolehkan mereka untuk berkelompok secara kuat dan intensif.
Saran
Penyediaan Sarana/Tempat Khusus
Diperoleh informasi mengenai harapan mereka tentang peran pemerinta didalam menyediakan sarana/lapak tempat penjualan khusus. Harapan bagi usaha sektor informal mengenai peran pemerintah dalam menyediakan tempat khusus mempunyai harapan yang beragam.
Pengelolaan Manajemen Usaha
Pemberdayaan yang dimaksudkan dalam penelitian ini adalah pemberdayaan kelompok usaha sektor informal sebaga bagian dari masyarakat yang membutuhkan penanganan/pengelolaan manajemen usaha tersendiri dari pihak pemerintah yang berkaitan dengan upaya peningkatan kualitas sumberdaya yang mereka miliki, pada gilirannya akan mendorong peningkatan pendapatan/profit usaha.
Perlindungan usaha
Ketidakteraturannya pengelolaan usaha sektor informal menimbulkan keresahan disana-sini, seperti adanya kemacetan di jalan-jalan poros, sempitnya lahan parkir ditempat-tempat umum dan sebagainya. Tidak mengherankan jika hampir setiap hari ditayangkan dimedia masa dan elektronik mengenai adanya penggusuran pedagang sektor informal.
DAFTAR PUSTAKA
Setyawan A. (2008), Wacana Suara Merdeka, from http://m.suaramerdeka.com/index.php/read/cetak/2008/11/24/40534, 29 Maret 2014
Dr. Ir. Dedi M. Masykur Riyadi, Kedeputian Evaluasi Kinerja Pembangu nan Badan Perencanaan Pembangunan Nasional 2009 dalam Kajian Evaluasi Pembangunan Sektoral "Peran Sektor Informal Sebagai Katup Pengaman Masalah Ketenagakerjaan".
Muzakir dalam jurnal Kajian Persepsi Harapan Sektor Informal Terhadap Kebijakan Pemberdayaan Usaha Pemerintah Daerah Kabupaten Tojo Unauna.