DAMPAK SERTIFIKASI TERHADAP PENINGKATAN KUALITAS GURU Suwardi Sekolah Tinggi Agama Islam Negeri (STAIN) Salatiga
Abstract Teacher certification belongs to one of the government efforts to better the teacher professionalism. There are several problems in the conduct of the certification, however. Among the problems are the conduct is still unclear and perplexing, the salary of the certified teachers is often late, there is still discrimination, the criteria for the certification applicants are not clear, the portfolio document is sometimes duplicated, the qualification of teacher education is still low, the assessment of the portfolio is subjective, the fee for the certification is expensive, and the teacher to bees from non-education study program lower the quality of the teachers. In addition, the certification brings about positive and negative effects. The positive effect of it is for instance: the betterment of teacher quality, the protection of teacher profession, the betterment of teacher welfare, the increase of people interest to be teachers, the improvement of education administration, and the teacher motivation to conduct job professionally. The negative effect of the certification is for example: the duplication in compiling portfolio, eliciting hindrance in teaching learning process, and the appearance of the gap and jealousy between the certified and non-certified teachers.
Keywords:
teacher certification, certification problems, certification effects, the improvement of certification
Pendahuluan Kualitas sumber daya manusia memiliki peran strategis untuk mencapai kemajuan suatu negara. Hal ini bisa kita buktikan dengan mengkomparasikan kemajuan Negara Jepang dengan Negara Indonesia. Kemajuan Negara Jepang lebih disebabkan kualitas sumber daya manusianya ketimbang kekayaan alam yang dimiliki. Sementara Negara Indonesia yang kaya sumber daya alam, tetapi kualitas sumber daya manusianya rendah belum dapat mencapai kemajuan. Oleh sebab itu, untuk mencapai kemajuan Negara Indonesia salah satu caranya dengan meningkatkan kualitas sumber daya manusianya. Pendidikan memiliki peran penting dalam meningkatkan kualitas sumber daya manusia. Banyak pandangan yang menyatakan bahwa pendidikan merupakan faktor utama dalam meningkatkan kualitas sumber daya manusia. Dengan melaksanakan pendidikan yang bermutu akan meningkatkan kualitas sumber daya manusianya. Sayangnya, upaya perbaikan sistem pendidikan di Indonesia belum mampu meningkatkan kualitas sumber daya manusianya. Data Human Development Index (HDI) sebagaimana yang dilaporkan oleh United Nations Development Programme (UNDP) menunjukkan kualitas sumber daya manusia Indonesia berada pada rangking yang rendah, bahkan cenderung menurun. Dari 174 negara yang diteliti UNDP, HDI Indonesia pada tahun 1998 berada pada ranking 108, kemudian pada tahun 1999 berada pada rangking 109, (Mulyasa,2007:3). Peringkat HDI Indonesia pada tahun 2005 berada pada rangking 110 dari 177 negara yang teliti. Peringkat HDI Indonesia di bawah Vietnam, Philipina, Thiland, Malaysia, Brunei, dan Singapura. Secara
berturut-turut, HDI Vietnam berada pada rangking 108, Philipina pada ranking 84, Thailand pada rangking 73, Malaysia berada pada rangking 61, Brunei berada pada rangking 33, dan terkhir Singapura berada pada rangking 25, (Samba, 2007: 6-7). Rendahnya HDI Indonesia boleh jadi disebabkan rendahnya mutu pendidikan di Indonesia. Berdasarkan hasil survei yang dilaksanakan oleh Political and Economic Risk Consultant (PERC) sebagaimana dikutip Samba (2007:8) menunjukkan bahwa kualitas pendidikan di Indonesia berada pada posisi terendah dari 12 negara di Asia. Rendahnya kualitas pendidikan di Indonesia sesuai dengan data yang dikeluarkan Balitbang Depdiknas pada tahun 2003. dari 146.052 SD ternyata hanya 8 SD yang mendapat pengakuan dunia dalam kategori The Primary Years Program (PYP), sedangkan pada tingkat SMP hanya 8 sekolah dari 20.918 SMP yang mendapat pengakuan dunia dalam kategori The Middle Years Program (MYP). Kemudian dari 8.036 SMA hanya 7 sekolah yang mendapat pengakuan dunia dalam kategori The Diploma Program (DP). Rendahnya mutu guru seringkali dipandang sebagai penyebab rendahnya mutu sekolah. Pandangan ini dinilai tidak adil, karena banyak faktor yang mempengaruhi mutu sekolah, sedangkan guru hanyalah salah satu faktor saja. Meskipun pandangan ini kurang adil, kiranya pandangan ini cukup untuk dijadikan bahan refleksi semua pihak akan pentingnya peningkatan mutu guru. Peningkatan mutu guru diharapkan dapat berimbas pada peningkatan mutu sekolah. Peningkatan mutu sekolah melalui peningkatan mutu guru merupakan salah satu upaya tepat. Karena guru sebagai pelaksana pendidikan merupakan ujung tombak tercapainya tujuan pendidikan. Guru yang berkualitas akan memungkinkan tercapainya tujuan pendidikan secara efektif dan efesien. Sebaliknya rendahnya kualitas guru akan menghambat tercapainya tujuan pendidikan. Hal ini menunjukkan bahwa untuk mencapai tujuan pendidikan diperlukan guru yang berkualitas. Guru yang berkualitas adalah guru yang memiliki sejumlah persyaratan profesional. Dalam diri guru profesional terdapat sejumlah kemampuan, pengetahuan, dan komitmen yang dibutuhkan oleh sistem pembelajaran. Dengan guru profesional akan memungkinkan terjadinya perbaikan pelaksanaan pembelajaran, baik desainnya, implementasinya, maupun sistem evaluasinya. Hal ini menunjukkan bahwa guru profesional memiliki peran penting dalam peningkatan mutu pembelajaran yang pada akhirnya akan mendukung pencapaian tujuan pendidikan secara efektif dan efesien. Untuk mewujudkan guru profesional bukan pekerjaan yang sederhana. Upaya mewujudkan guru profesional merupakan pekerjaan yang rumit dan kompleks. Mewujudkan guru profesional tidak hanya sekedar perbaikan gaji guru, akan tetapi banyak faktor yang perlu dipertimbangkan. Upaya mewujudkan guru profesional ini membutuhkan perhatian dan komitmen bersama, baik pemerintah, masyarakat, guru sendiri, maupun pihak-pihak yang terlibat
dalam pengelolaan pendidikan. Dengan upaya sungguh-sungguh yang dilakukan secara bersamasama diharapkan guru profesioanal lebih cepat dapat diwujudkan.
Pembahasan Kompetensi dan Sertifikasi Guru Dalam Undang-undang Nomor 14 Tahun 2005, tentang Guru dan Dosen disebutkan bahwa, “Guru adalah pendidik profesional dengan tugas utama mendidik, mengajar, mengarahkan, melatih, menilai, dan mengevaluasi peserta didik pada pendikan anak usia dini jalur pendidikan formal, pendidikan dasar, dan pendidikan menengah”. Undang-undang tersebut secara jelas menyatakan bahwa guru adalah pendidik profesional. Maksudnya, guru merupakan pekerjaan yang membutuhkan berbagai persyaratan profesional yang ditetapkan. Persyaratan professional yang dimaksudkan adalah guru perlu memiliki sejumlah kompetensi. Berdasarkan Undang-undang Nomor 14/2005, pasal 10, dinyatakan bahwa kompetensi guru itu meliputi kompetensi pedagogik, kompetensi kepribadian, kompetensi sosial, dan kompetensi profesional yang diperoleh melalui pendidikan profesi. Dalam penjelasan undangundang tersebut dinyatakan bahwa yang dimaksud dengan kompetensi pedagogik adalah kemampuan mengelola pembelajaran peserta didik. Kompetensi kepribadian adalah kemampuan kepribadian yang mantap, berakhlak mulia, arif, dan berwibawa serta menjadi teladan peserta didik. Kompetensi profesional adalah kemampuan penguasaan materi pelajaran luas dan mendalam. Kompetensi sosial adalah kemampuan guru untuk berkomunikasi dan beinteraksi secara efektif dan efisien dengan peserta didik, sesama guru, orang tua/wali peserta didik, dan masyarakat sekitar. Selain memiliki kompetensi sebagaimana yang diamanatkan undang-undang di atas, guru sebagai tenaga pendidik profesional perlu memiliki berbagai persayaratan profesional. Beberapa pakar pendidikan telah mengemukakan beberapa persyaratan guru professional. Dirto Hadisusanto (1978:144) menyatakan bahwa syarat pokok bagi seseorang yang disebut pendidik adalah: 1. Merasa terpanggil sebagai tugas suci. 2. Mencintai, mengasihi, dan menyayangi peserta didik 3. Mempunyai rasa tanggung jawab yang penuh akan tugasnya. Kemudian menurut Noeng Muhadjir (1997:95), syarat pokok yang dimiliki pendidik adalah : 1. Memiliki pengetahuan lebih
2. Mengimplisitkan nilai dan pengetahuaannya 3. Bersedia menularkan pengetahuan dan kemampuannya kepada orang lain. Sejalan dengan perkembangan masyarakat, menurut Dwi Siswoyo (Dirto Hadikusumo (1995) pendidik seyogyanya memiliki persyaratan sebagai berikut: 1. Bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa. 2. Mempunyai kesadaran akan tugasnya disertai tanggung jawab 3. Rasa wajib melaksanakan tugasnya disertai rasa tanggung jawab 4. Memiliki rasa tanggung jawab kepada peserta didik. 5. Senantiasa meningkatkan pengetahuan, nilai-nilai dan ketrampilan yang dimilikinya. 6. Membina hubungan baik dengan masyarakat dan mengikuti perkembangan masyarakat. 7. Membina nilai-nilai yang dijunjung tinggi oleh masyarakat, bangsa dan negara. Dalam rangka meningkatkan kompetensi guru, pemerintah telah mengambil kebijakan sertifikasi guru. Menurut Wibowo dalam E. Mulyasa, (2007:35-36), sertifikasi guru memiliki beberapa tujuan dan manfaat. Tujuan dari sertifikasi guru adalah: 1. Untuk memberi perlindungan kepada profesi pendidik dan tenaga kependidikan. 2. Untuk melindungi masyarakat dari praktik-praktik yang tidak kompeten sehingga merusak citra pendidik dan tenaga kependidikan. 3. Untuk membantu dan melindungi lembaga penyelenggara pendidikan dalam mengembangkan rambu-rambu dan instrument untuk melakukan seleksi calon pendidik dan tenaga kependidikan. 4. Untuk membangun citra masyarakat terhadap profesi pendidik dan tenaga kependidikan. 5. Untuk memberikan solusi dalam rangka meningkatkan mutu pendidikan dan tenaga kependidikan. Sedangkan manfaat sertifikasi guru adalah: 1. Memberi kemudahan dalam memberikan pengawasan terhadap mutu pendidik dan tenaga kependidikan. 2. Mempermudah dalam penjaminan mutu pendidik dan tenaga kependidikan. Permasalahan Pelaksanaan Sertifikasi Guru Pelaksanaan sertifikasi guru tidak terlepas dari permasalahan. Untuk optimalisasi pelaksanaan sertifikasi guru, maka semua pihak perlu memperhatikan permasalahan-permasalahan tersebut. Tujuannya, permasalahan tersebut segera dapat diatasi, paling tidak masalah tersebut dapat diminimalisir, sehingga permasalahan yang muncul tidak mengganggu pelaksanaan sertifikasi guru.
Permasalahan-permasalahan yang muncul dalam pelaksanaan sertifikasi guru adalah: 1. Belum adanya kesamaan dan kejelasan dalam melaksanakan sertifikasi guru Rochmat wahab, Rektor Universitas Negeri Yogyakarta mengakui bahwa Lembaga Pendidikan Tenaga Kependidikan dalam melaksanakan sertifikasi guru belum ada kesamaan dan kejelasan. Ia menjelaskan bahwa forum Rektor LPTK menyepakati selama belum ada kesamaan dan kejelasan dalam pelaksanaan sertifikasi maka sertifikasi guru untuk tahun 2010 untuk tidak dilaksanakan. Untuk mengatasi masalah tersebut, Rochmat wahab mengusulkan agar pelasanaan sertifikasi guru dievaluasi dan Ditjen PMPTK perlu mengeluarkan menerbitkan Prosedur Operasional Standar (SOP), (Joglo Semar, 2009:15). 2. Keterlambatan dalam pembayaran tunjangan profesi. Seringkali waktu pembayaran tunjangan profesi guru mengalami keterlambatan. Pembayaran tunjangan profesi guru yang direncanakan dapat direalisasikan setiap tiga bulan sulit diwujudkan. Bahkan ada guru yang menerima tunjangan profesi guru setelah yang bersangkutan memasuki masa pensiun. Untuk mengatasi masalah tersebut Mendiknas berjanji tunjangan profesi guru akan dibagikan bersamaan dengan gaji pokok bulanan. (Derap Guru, No 112 Th. IX, Mei 2009, hal 30) 3. Adanya diskriminasi Pelaksanaan sertifikasi guru masih menemukan adanya diskriminasi. Perlakuan diskriminasi dialami oleh guru agama yang ber-NIP 13. Pada saat audensi dengan pengurus PGRI Propinsi Jawa Tengah, para guru agama meminta agar pelaksanaan sertifikasi guru agama dikembalikan ke dinas pendidikan (Derap Guru, No 116 Th. IX, September 2009, hal 37). 4. Ketidakjelasan kriteria penentuan peserta sertifikasi Penentuan guru yang akan disertifikasi tidak ada kriteria yang jelas. Dalam menentukan guru yang akan sertifikasi antara Kabupaten/Kota yang satu dengan Kabupaten/Kota lainnya tidak sama. Guru di Kabupaten/kota “X” yang sudah mengabdi dua puluh tahun belum tersertifikasi, sementara di Kabupaten/Kota “Y” yang baru mengabdi lima tahun sudah tersertifikasi. Ketidakjelasan kriteria ini menimbulkan ketidakadilan, (Soleh Amin, dalam Derap Guru, No 108 Th. IX, Januari 2009, hal 30). 5. Pemalsuan dokumen fortofolio Pelaksanaan sertifikasi guru melalui fortofolio masih diwarnai kecurangan. Menurut Unifah Rosyidi, Ketua Pengurus Basar PGRI, guru masih melakukan kecurangan dengan memalsukan sertifikat dalam kegiatan ilmiah, (Agus Wira Sukarta, dalam Rindang, No 12. Th. XXXIV, Juli 2009, hal 26). 6. Kualifikasi pendidikan guru masih rendah Gino Vanolie, Sekretaris Jendral Forum Martabat Guru Indonesia menyebutkan bahwa guru yang belum berpendidikan S-1 atau D4 secara nasional mencapai 60 %, (Agus Wira Sukarta,
dalam Rindang, No 12. Th. XXXIV, Juli 2009, hal 25). Berdasarkan data ini tentu saja pendidikan guru akan menghambat pelaksanaan sertifikasi guru. . 7. Subjektivitas dalam penilaian dokumen fortofolio Menurut Soleh Amin, dalam Majalah Derap Guru, No 108 Th. IX, Januari 2009, masih muncul subjektivitas dalam penilaian dokumen fortofolio. Dalam proses penilaian dokumen fortofolio masih ada celah terjadinya subjektivitas yang dilakukan oleh tim penilai. Antara penilai yang satu dengan penilai lainnya tentu sangat mungkin adanya perbedaan persepsi dalam melakukan penilaian dokumen fortofolio. Selain itu, subjektivitas penilaian juga mungkin terjadi sewaktu penilaian kinerja guru dalam pembelajaran oleh Kepala Sekolah dan Pengawas. 8. Proses sertifikasi masih membutuhkan biaya besar Pelaksanaan sertifikasi guru memerlukan biaya besar. Pos anggaran itu minimal diperuntukkan untuk biaya seleksi melalui jalur fortofolio, biaya pendidikan dan latihan bagi yang tidak lulus melalui jalur fortofolio, dan biaya pendidikan profesi. Untuk pos anggaran tersebut tentu membutuhkan anggaran yang tidak sedikit. 9. Calon guru dari lulusan non kependidikan dapat menurunkan kualiatas guru. Guru yang disertifikasi dapat berasal dari lulusan S-1/D.4 kependidikan maupun non kependidikan. Perbedaanya, bagi lulusan kependidikan langsung dapat mengikuti uji kompetensi guru, sedangkan lulusan non kependidikan diwajibkan mengikuti Pembentukan Kompetensi Mengajar (PKM). Diijinkannya lulusan non kependidikan menjadi guru dapat menimbulkan penurunan kualitas guru, meskipun mereka harus menempuh PKM. Pasalnya, untuk menjadi guru tidak hanya cukup menguasai materi dan kompetensi mengajar saja. Untuk menjadi guru, selain menguasai materi dan kompetensi mengajar juga harus memiliki kepribadian dan kecintaan terhadap profesi. Oleh sebab itu, untuk membentuk kepribadian dan kecintaan profesi guru membutuhkan waktu yang relatif lama, sehingga tidak cukup hanya menempuh PKM. Dengan diijinkan lulusan non kependidikan untuk memasuki profesi guru dapat berakibat pada penurunan kualitas guru. Dampak Sertifikasi Guru Sertifikasi guru pada hakaekatnya untuk meningkatkan kualitas guru, sehingga membawa perbaikian mutu pendidikan nasional. Hingga saat ini masih sulit dilihat keterkaitan sertifikasi dengan peningkatan mutu guru. Bahkan sebuah penelitian yang dilakukan oleh Prof. Baedhowi menunjukkan bahwa guru yang telah mengikuti sertifikasi melalui penilaian fortofolio tidak mengalami peningkatan kompetensi. Lebih lanjut, hasil penelitian yang dimuat koran JogloSemar pada tanggal 13 November 2009, halaman 14 tersebut menyebutkan bahwa 50 % dari 3670 responden menyatakan bahwa guru yang telah sertifikasi melalui penilaian fortofolio tidak mengalami peningkatan kompetensi paedagogik, kompetensi kepribadian, kompetensi
professional, maupun kompetensi sosialnya. Lebih lanjut disebutkan bahwa hampir semua guru menyatakan bahwa motivasi utama mengikuti sertifikasi adalah terkait masalah finansial. Sangatlah sulit untuk melihat dampak sertifikasi guru dengan peningkatan mutu pendidikan. Asumsinya, sertifikasi guru akan berdampak pada peningkatan mutu pendidikan, apabila para guru menggunakan tunjangan profesi untuk pengembangan profesi. Namun, apabila para guru menggunakan tunjangan profesi untuk kebutuhan konsumtif tentu tidak akan membawa dampak pada perbaikan mutu pendidikan. Tidaklah adil jika kita hanya melihat sisi negatif dari sertifikasi guru. Setiap kebijakan tentu membawa dampak positif dan dampak negatif, demikian juga kebijakan sertifikasi guru ini. Di bawah ini penulis akan mengidentifikasi dampak positif dan dampak negatif dari kebijakan sertifikasi guru. 1. Dampak positif sertifikasi guru. Meskipun dampak sertifikasi guru dalam peningkatan mutu pendidikan belum nampak jelas, akan tetapi pelaksanaan sertifikasi guru tentunya memiliki dampak positif. Penulis melihat adanya dampak positif dari sertifikasi guru tersebut. Dampak positif dari sertifikasi guru, antara lian; a. Perbaikan kualitas guru Meskipun hasil penelitian menunjukkan bahwa sertifikasi guru melalui penilaian fortofolio tidak meningkatkan kompetensi guru bukan berarti sertifikasi guru tidak membawa perbaikan mutu guru. Kalau dicermati, sertifikasi guru melalui penilaian fortofolio memang tidak ada perlakuan terhadap guru tersebut, sehingga wajar apabila setelah disertifikasi kompetensi guru tersebut tidak berubah. Oleh sebab itu, tidaklah tepat jika seseorang tidak diberi perlakuan apa-apa dituntut untuk meningkat kompetensinya. Untuk melihat dampak peningkatan sertifikasi terhadap peningkatan kompetensi guru lebih baik jika melihat sertifikasi guru melalui jalur pendidikan dan latihan atau jalur pendidikan profesi. Dalam jalur sertifikasi ini, guru memperoleh perlakukan pendidikan dan latihan. Dengan pendidikan dan latihan ini mestinya kompetensi guru akan lebih baik. Uraian di atas memperlihatkan bahwa untuk melihat dampak sertifikasi guru terhadap peningkatan mutu guru tidak boleh melihat sebagian, tetapi perlu dilihat secara komprehensif. Artinya dalam melihat dampak sertifikasi terhadap peningkatan kompetensi guru tidak boleh hanya didasarkan pada guru yang memperoleh sertifikasi melalui jalur penilaian fortofolio saja, akan tetapi juga dilihat guru yang memperoleh sertifikasi melalui jalur pendidikan dan latihan atau jalur pendidikan profesi. b. Adanya perlindungan profesi guru Dalam Undang-undang Nomor 14 Tahun 2005, tentang Guru dan Dosen disebutkan bahwa, “Guru adalah pendidik profesional dengan tugas utama mendidik, mengajar,
mengarahkan, melatih, menilai, dan mengevaluasi peserta didik pada pendikan anak usia dini jalur pendidikan formal, pendidikan dasar, dan pendidikan menengah”. Undang-undang ini secara jelas dan tegas menyebutkan guru adalah pendidik profesional. Kata profesional menunjukkan bahwa untuk menjadi guru perlu memiliki kriteria tertentu. Untuk memperjelas pengertian profesional, perlu didefinisikan istilah profesi, profesionalitas, dan profesional. Menurut Muhtar (2003:79), ketiga istilah tersebut memiliki pengertian yang beda. Profesi diartikan sebagai pekerjaan untuk memperoleh nafkah, mulai dari pekerjaan yang tidak membutuhkan keahlian sampai pada pekerjaan pekerjaan yang membutuhkan keahlian. Kemudian profesionalitas berarti kepemilikan seperangkat keahlian atau kepakaran di bidang tertentu yang dilegalkan dengan sertifikat oleh sebuah lembaga. Sedangkan profesional adalah seseorang yang memiliki seperangkat pengetahuan atau keahlian yang khas dari profesinya. Beradasarkan ketiga pengertian tersebut dapat disimpulkan bahwa istilah profesional itu merupakan profesi yang membutuhkan profesionalitas. Setelah merunut pengertian profesional di atas, maka seseorang ditetapkan menjadi guru profesional setelah yang bersangkutan memiliki kualifikasi keahlian yang dipersyaratkan. Seseorang dipandang telah memenuhi keahlian sebagai guru setelah yang bersangkutan memperoleh sertifikat pendidik melalui program sertifikasi guru. Sebelum adanya sertifikasi guru hampir setiap orang yang dapat menjadi guru. Dengan adanya sertifikasi guru ini berarti program sertifikasi guru telah memberikan perlindungan bagi profesi guru. c. Perbaikan kesejahteraan guru Selain untuk meningkatkan mutu pendidikan, program sertifikasi guru juga bertujuan untuk meningkatkan kesejahteraan guru. Selama ini, perhatian pemerintah terhadap pemberian gaji guru masih rendah. Dengan sertifikasi guru, pemerintah telah berusaha memperbaiki kesejahteraan guru. Bagi guru yang telah disertifikasi maka guru tersebut selain memperoleh tunjangan fungsional juga memperoleh tunjangan profesi guru yang besarnya satu kali gaji. Perbaikan kesejahteraan guru melalui program sertifikasi tentunya akan berdampak positif bagi peningkatan kinerja guru. Untuk mencukupi kebutuhannya, selama ini guru seringkali disibukkan dengan pekerjaan lain yang tidak terkait dengan profesi keguruan. Bahkan rendahnya gaji guru, terutama guru swasta terpaksa melakukan pekerjaan lain seperti ngojek untuk menambah penghasilan mereka. Dengan sertifikasi guru ini diharapkan para guru benar-benar bekerja secara baik dalam pekerjaaanya. d. Meningkatkan minat masyarakat untuk menjadi guru Rendahnya gaji guru selama ini telah mengakibatkan rendahnya minat masyarakat untuk menjadi guru. Profesi guru merupakan profesi yang tidak menarik bagi para lulusan
SLTA karena profesi guru tidak dapat dibanggakan. Akibatnya lulusan SLTA yang memiliki prestasi tinggi enggan untuk memasuki profesi guru. Pada umumnya lulusan SLTA yang memiliki prestasi tinggi lebih tertarik memilih jurusan di perguruan tinggi yang menjadikan dirinya dapat bekerja pada bidang yang memperoleh gaji tinggi. Peningkatan gaji guru melalui program sertifikasi guru akan berdampak pada peningkatan minat masyarakat untuk memasuki profesi guru. Dengan gaji guru yang tinggi akan menjadikan profesi guru sebagai profesi yang dapat dibanggakan. Para lulusan SLTA yang memiliki prestasi tinggi tentu akan tidak akan malu untuk memasuki profesi guru, karena profesi guru secara finansial dapat dibanggakan. e. Meningkatkan administrasi pendidikan Sertifikasi guru melalui penilaian fortofolio dapat meningkatkan kinerja guru dalam melaksanakan administrasi pendidikan. Dalam menyusun fortofolio, guru diwajibkan menyertakan dokumen-dokumen administrasi pendidikan seperti Rencana Pelaksanaan Pembelajaran (RPP) dan administrasi pendidikan lainnya. Sebelum ada sertifikasi guru, sebagian besar guru enggan melaksanakan administrasi pendidikan. Alasannya, mereka tidak merasakan memperoleh manfaat dari pelaksanaan administrasi pendidikan tersebut. f. Meningkatkan motivasi guru dalam melaksanakan kerja ilmiah Untuk lulus sertifikasi, para guru dituntut aktif mengikuti kegiatan ilmiah dan menulis karya ilmiah. Kegiatan ilmiah seperti seminar, workshop, dan pelatihan memiliki bobot yang diperhitungkan dalam penilaian sertifikasi guru. Selain kegiatan ilmiah, para guru juga dituntut aktif untuk memiliki karya ilmiah seperti melaksanakan penelitian tindakan kelas dan menulis karya ilmiah untuk dimuat dalam surat kabar, majalah, dan jurnal ilmiah. Dengan adanya sertifikasi guru ini secara otomatis akan meningkatkan motivasi guru dalam kegiatan kerja ilmiah. Keaktifan guru dalam kerja ilmiah seperti ini diharapkan dapat meningkatkan pengembangan diri guru. 2. Dampak negatif sertifikasi guru. Selain memiliki dampak positif, pelaksanaan sertifikasi juga memiliki dampak negatif. Penulis akan mengidentifikasi dampak negatif dari pelaksanaan sertifikasi sebagaimana uraian di bawah ini. a. Adanya kecurangan yang dilakukan guru dalam menyusun fortofolio Dalam menyusun dokumen fortofolio sebagai persyaratan untuk lulus sertifikasi, maka beberapa guru masih melakukan kecurangan. Bentuk kecurangan yang dilakukan guru di antaranya dengan memalsukan sertifikat guru dalam mengikuti forum ilmiah seperti seminar dan workshop. Selain pemalsuan dokumen sertifikat dalam forum ilmiah, seringkali guru juga memalsukan pembuatan dokumen administrasi pendidikan seperti penyusunan RPP.
Sebelum ada sertifikasi guru, para guru enggan menyusun RPP, tetapi setelah ada sertifikasi para guru terpaksa menyusun RPP. Padahal RPP yang disusun tersebut seharusnya sudah disusun pada saat akan mengajar sebelum dilaksanakan sertifikasi. b. Kadangkala sertifikasi guru dapat mengganggu proses pembelajaran. Salah satu dampak negatif pelaksanaan sertifikasi mementingkan pemenuhan persyaratan sertifikasi dari Misalnya, guru seringkali mengosongkan kegiatan mengikuti kegiatan seminar atau workshop. Kondisi ini pembelajaran di kelas.
guru adalah para guru lebih pada kepentingan pembelajaran. pembelajaran di kelas karena tentu akan mengganggu kegiatan
Selain mengikuti kegiatan ilmiah, pelaksanaan sertifikasi guru melalui jalur pendidikan dan latihan atau jalur pendidikan profesi telah mengakibatkan para guru meninggalkan tugas mengajar dalam kurun waktu tertentu. Dalam kondisi yang demikian ini sudah barang tentu akan mengganggu kegiatan pembelajaran di kelas. c. Menimbulkan kesenjangan dan kecemburuan bagi guru lain. Pemberian tunjangan profesi dapat mengakibatkan kesenjangan penghasilan di antara guru lainnya. Kesenjangan ini semakin lebar pada guru tidak tetap yang belum disertikasi. Jarak penghasilan di antara guru tersebut terlalu lebar, sedangkan beban kerja mereka relatif sama. Kondisi ini menimbulkan perasaan ketidakadilan. Pemberian tunjangan profesi melalui sertifikasi guru sering kali juga menimbulkan kecemburuan bagi guru lain yang belum disertifikasi. Kecemburuan di antara guru semakin meningkat tat kala guru yang disertifikasi tersebut masa kerjanya lebih rendah. Seringkali muncul tuduhan adanya “main mata” yang dilakukan guru yang telah disertifikasi dengan pimpinan agar dapat disertifikasi lebih awal. Munculnya kesenjangan dan kecemburuan dalam sertifikasi ini dapat mengakibatkan suasana kerja yang kurang kondusif. Apabila ada pekerjaan sekolah, seringkali muncul ungkapan “Biar dikerjakan guru yang sudah disertifikasi. Mereka kan yang memperoleh gaji banyak”. Para guru tidak menyadari bahwa pekerjaan sekolah merupakan tanggung jawab bersama. Perbaikan Pelaksanaan Sertifikasi Guru Menyadari pelaksanaan sertifikasi guru masih menghadapi berbagai masalah dan memiliki dampak negatif, maka perlu ada upaya untuk memperbaikinya. Tidaklah bijaksana jika mengusulkan sertifikasi guru dihapuskan lantaran dalam pelaksanaannya masih menghadapi berbagai permasalahan dan memiliki dampak negatif. Munculnya berbagai permasalahan dan dampak negatif dari pelaksanaan sertifikasi guru hendaknya dipandang sebagai tantangan yang harus dicarikan alternatif pemecahannya.
Berdasarkan adanya berbagai permasalahan dan dampak negatif pelaksanaan sertifikasi sebagaimana diuraikan di atas, maka penulis menawarkan beberapa pemikiran untuk memperbaiki pelaksanaan sertifikasi guru. Beberapa pemikiran penulis untuk perbaikan tersebut adalah: 1. Meniadakan penilaian fortofolio. Sebagaimana uraian sebelumnya, pelaksanaan sertifikasi guru melalui penilaian fortofolio telah mengakibatkan munculnya permasalahan dan kecurangan yang dilakukan guru. Permasalahan yang muncul dari penilaian fortofolio adalah tidak dapat meningkatkan kompetensi guru dan pemborosan anggaran. Sedangkan kecurangan yang dilakukan guru meliputi pemalsuan sertifikat dalam kegiatan ilmiah dan pemalsuan dokumen administrasi pendidikan. Oleh sebab itu, untuk mengatasi masalah tersebut satu-satunya cara hanyalah meniadakan sertifikasi jalur penilaian fortofolio. 2. Guru yang disertifikasi hanyalah lulusan S-1/D4 kependidikan. Calon guru yang berasal dari lulusan non kependidikan dikhawatirkan akan menurunkan kualitas guru, meskipun mereka diwajibkan menempuh pembentukan kompetensi mengajar. Alasannya, untuk menjadi guru tidak cukup hanya menguasai materi dan kompetensi mengajar, akan tetapi juga diperlukan kepribadian dan kecintaan terhadap profesi guru. Oleh sebab itu, sebaiknya sertifikasi guru hanya diperuntukkan bagi lulusan S-1/D4 kependidikan. 3. Sertifikasi guru hanya melalui pendidikan profesi. Saat ini pemberian sertifikat pendidik (guru) dapat ditempuh melalui jalur penilaian fortofolio, jalur pendidikan dan latihan, dan jalur pendidikan profesi. Jalur penilaian fortofolio dan jalur pendidikan dan latihan dinilai belum mampu meningkatkan kompetensi dan menimbulkan kecurangan. Oleh sebab itu, khususnya sertifikasi guru di luar jabatan, sebaiknya pemberian sertifikat guru hanya diberikan kepada calon guru yang telah menempuh pendidikan profesi yang diselenggarakan oleh LPTK. Pemberian sertifikat profesi melalui pendidikan profesi telah dilakukan oleh profesi lain, seperti profesi dokter, profesi pengacara, profesi akuntan, dan lain sebagainya. Pemberian sertifikasi melalui pendidikan profesi ini akan dapat meningkatkan kompetensi guru, sehingga berdampak pada peningkatan mutu pendidikan. Pemberian sertifikat guru melalui pendidikan profesi ini tentu akan berdampak pada kurikulum pendidikan yang dilaksanakan oleh LPTK. Kurikulum pendidikan S-1/D4 kependidikan lebih diarahkan pada penguasaan kompetensi profesi dan pembentukan kepribadian dan kecintaan terhadap profesi kependidikan. Sedangkan kurikulum pendidikan profesi sudah difokuskan pada kompetensi pedagogiknya. Salah satu alasan mengapa pembentukan kepribadian dan kecintaan profesi tidak dimasukkan dalam kurikulum pendidikan profesi dikarenakan dalam membentuk kepribadian dan kecintaan profesi
membutuhkan waktu lama, sehingga sangat sulit melalui pendidikan profesi yang waktunya relatif pendek. 4. Adanya kriteria objektif dalam penentuan peserta sertifikasi. Penentuan peserta sertifikasi masih dipandang diskriminatif dan terkesan pilih kasih. Salah satu penyebabnya karena tidak adanya kriteria objektif dalam penentuannya. Untuk mengatasi masalah ini diusulkan agar ada kriteria yang objektif sehingga dapat diterima oleh semua pihak. Kriteria objektif yang dimaksudkan penulis adalah usia, daftar urutan kepangkatan, dan masa kerja guru yang akan disertifikasi. Kriteria tersebut dinilai sangat jelas dan objektif dalam menentukan peserta sertifikasi, sehingga tidak menimbulkan kecurigaan dan diskriminatif dalam menentukan peserta sertifikasi guru. 5. Guru yang disertifikasi perlu menyusun laporan kinerja. Hingga saat ini pelaksanaan sertifikasi belum kelihatan membawa dampak dalam peningkatan kinerja guru. Padahal pelaksanaan sertifikasi guru ini diharapkan dapat meningkatkan kinerja guru. Dalam rangka peningkatan kinerja guru melalui sertifikasi guru perlu dilakukan dengan mewajibkan guru yang telah disertifikasi menyusun laporan kinerja guru. Laporan kinerja guru dapat disusun secara periodik, misalnya per semester atau per tahun. Isi laporan kinerja guru yang penulis tawarkan memuat laporan administrasi pendidikan, pelaksanaan tugas guru, dan penggunaan tunjangan profesi. Dengan laporan kinerja guru tersebut tentunya akan berdampak pada peningkatan kinerja guru, meningkatkan pelaksanaan administrasi pendidikan, dan terpenuhinya akuntabilitas dalam penggunaan tunjangan profesi guru. Kesimpulan Sertifikasi guru pada hakekatnya untuk meningkatkan kualitas guru, sehingga membawa perbaikan pada mutu pendidikan. Pelaksanaan sertifikasi guru masih menghadapi berbagai masalah dan memiliki dampak negatif, namun demikian pelaksanaan sertifikasi juga menjanjikan adanya dampak positif. Dalam rangka mengatasi berbagai masalah dan dampak negatif dari pelaksanaan sertifikasi guru, maka diperlukan berbagai upaya perbaikan, antara laian; 1) Meniadakan penilaian fortofolio; 2) Guru yang disertifikasi hanyalah lulusan S-1/D4 kependidikan; 3) Sertifikasi guru hanya melalui pendidikan profesi; 4) Adanya kriteria objektif dalam penentuan peserta sertifikasi; 5) Guru yang disertifikasi perlu menyusun laporan kinerja.
Daftar Pustaka Agus Wira Sukarta. Mampukah Sertifikasi Meningkatkan Mutu Guru? Dimuat dalam Majalah Rindang, No 12. Th. XXXIV, Juli 2009, hal 26). Dirto Hadisusanto, dkk. 1995. Pengantar Ilmu Pendidikan. Yogyakarta: FIP IKIP Yogyakarta Noeng Muhadjir. 1997. Ilmu Pendidikan dan Perubahan Sosial: Suatu Teori Pendidikan. Yogyakarta: Rake Sarasin. Muhtar. 2003. Desain Pembelajaran Pendidikan Agama Islam. Jakarta: CV. Misaka Galiza. Cet II Mulyasa, E. 2007. Standar Kompetensi dan sertifikasi Guru. Bandung: PT. Rosdakarya. Samba. S. 2007. Lebih Baik Tidak Sekolah. Yogyakarta: LKiS Soleh Amin, Sertifikasi Guru: Upaya Penyejahteraan yang Perlu pembenahan dimuat dalam Majalah Derap Guru, No 108 Th. IX, Januari 2009, hal 30). Koran JogloSemar, tanggal 13 November 2009. Sertifikasi Guru Perlu Dievaluasi. halaman 14 Koran JogloSemar, tanggal 16 November 2009. Sertifikasi Guru Perlu Dievaluasi. halaman 15 Majalah Derap Guru, Nomor 116, Tahun IX, September 2009, halaman 37. Majalah Derap Guru, Nomor 116, Tahun IX, Mei 2009, halaman 30.