Dampak Bandara Terhadap Lingkungan
TANGGAL 17 Desember 2013, tepat 110 tahun kegiatan penerbangan bermesin di dunia, sejak dimulai oleh Wright bersaudara pada 17 Desember 1903. Dengan kian berkembangnya dunia penerbangan, keberadaan bandar udara (bandara) sebagai terminal ter bang dan mendaratnya pesawat menja di sangat strategis.
TIDAK heran jika di berbagai negara, termasuk Indonesia, pembangunan bandara terus digiatkan. Bahkan, di Jawa Barat direncanakan dibangun dua bandara internasional, di Kabupaten Majalengka dan Karawang. Meski pembangunannya masih tersendat oleh beberapa hal, yang pasti keberadaan bandara sudah menjadi kebutuhan masyarakat.
Namun, selain manfaatnya yang banyak, keberadaan bandara juga kian dirasakan menjadi masalah bahkan inengganggu terhadap sebagian masyarakat, terutama yang tinggal di sekitar bandara.
Pada masa awal dunia penerbangan (awal abad ke-20), pengaruh buruk aktivitas bandara terhadap lingkungan dan fasilitas umum lainnya tidak banyak mendapat perhatian. Keluhan terhadap isu lingkungan sangat jarang terjadi. Perubahan dramatis terhadap dampak lingkungan akibat pembangunan bandara dan pengoperasiannya baru terjadi pada akhir I960-an. Sebagian dipicu oleh kesadaran masyarakat yang makin tinggi terhadap masalah lingkungan pada umumnya, juga didorong oleh kenyataan semakin buruknya kondisi lingkungan suatu bandara. Terlebih adanya kenaikan tajam aktivitas penerbangan dan adanya pesawat-pesawat terbang besar bermesin jet.
Polusi udara
Saalah satu dampak yang biasa terjadi pada suatu bandara dan mungkin dampak yang paling sulit dikendalikan adalah kebisingan. Sejak mulainya era pesawat terbang komersial bermesin jet pada 1959, terjadi perubahan yang dramatis pada masalah kebisingan bandara dalam bentuk dan besarannya.
Kebisingan didefinisikan sebagai bunyi yang berlebihan atau yang tidak diinginkan. Kebisingan tidak diinginkan karena menjengkelkan manusia, mengganggu percakapan, mengganggu tidur, dan dalam kondisi ekstrem berbahaya bagi kesehatan. Dampak negatif kebisingan terhadap kesehatan manusia dapat terjadi dalam jangka panjang (kronis) dan dampak yang terjadi biasanya sulit bahkan mungkin tidak dapat dipulihkan kembali.
Bunyi atau suara baik berupa kebisingan maupun tidak, ditimbulkan oleh getaran yang merambat melalui suatu medium, seperti udara, air atau logam. Bila suatu objek bergetar, akan menimbulkan gangguan berupa variasi pada tekanan atmosfer yang normal dalam skala kecil yang cepat. Kebisingan dikarakteristikkan oleh tingkat bunyinya (sound level), spektrum frekuensinya, dan variasinya terhadap waktu.
Jumlah operasi penerbangan setiap hari dan waktu terjadinya dapat sangat memengaruhi tingkat gangguan yang dialami penduduk di sekitar bandara. Suatu penelitian yang dilakukan di sekitar Bandara Heathrow, London, Inggris menunjukkan, kebisingan akibat paparan sejumlah pesawat terbang merupakan satu faktor paling penting yang memengaruhi tingkat gangguan pada masyarakat.
Keseriusan masalah kebisingan ini melahirkan peraturan oleh Federal Aviation Administration (FAA), Amerika Serikat, yaitu Federal Aviation Regulation Part 36 pada tahun 1969 tentang standar kebisingan untuk sertifikasi perancangan baru pesawat terbang bermesin turbojet. Masalah kebisingan pesawat terbang ini tentunya terjadi juga di seluruh dunia yang oleh karenanya International Civil Aviation Organization (ICAO) juga mengeluarkan peraturan yang serupa (ICAO Annex 16 Environmental Protection) untuk seluruh anggotanya, termasuk Indonesia.
Polusi udara
Polusi udara dan air merupakan dampak h'ngkungan yang paling serius dan paling kompleks dalam pengembangan dan pengoperasian suatu bandara.
Polutan yang terkandung dalam gas buang mesin pesawat terbang terutama terdiri atas carbon monoxide (CO), carbon dioxid (CO2), hydrocarbons, nitrogen oxides (NOX), soof (jelaga), dan partikel lainnya. Gas buang ini juga mengandung asam organik yang berbahaya serta polutan yang terbuang ke atmosfer merupakan fungsi dari jenis pesawat terbang dan mesinnya, fasa operasi pesawat terbang dan berapa Jama mesin pesawat terbang tersebut beroperasi pada setiap fasa.
Fasa operasi penerbangan yang memerlukan perhatian khusus karena menimbulkan polusi di bandara adalah taxi (pergerakan pesawat terbang antara apron/tempat paHr pesawat terbang dan landas pacu) atau dalam keadaan idle, take off (lepas landas), climb Out (terbang menanjak dari lepas landas sampai ketinggian 3.000 kaki/1.000 m), approach (ancangan untuk mendarat dari ketinggian 3.000 kaki sampai pesawat terbang menyentuh landasan), dan landing (mendarat).
Untuk kebanyakan pesawat terbang bermesin jet, laju emisi polutan carbon monoxide dan hydrocarbons paling besai terjadi ketika pesawat terbang sedang taxi atau idle dan laju emisi nitrogen oxides paling besar terjadi ketika pesawat terbang lepas landas. Penguapan bahan bakar dari tumpahan yang terjadi ketika pengisian dan dari tangki bahan bakar dapat menimbulkan penambahan jumlah polusi udara yang signifikan di bandara.
Sebanyak 25% polutan lainnya dihasilkan dari kendaraan para penumpang, pekerja, dan tamu bandara. Polusi lainnya disebabkan oleh pemakaian bahan bakar minyak yang digunakan oleh ground service equipments.
Polusi air
Polusi air umumnya berupa limbah, dapat terjadi secara langsung, dari pembangunan dan pengoperasian bandara dan secara tidak langsung, dari pengembangan lahan yang terimbas dengan kehadiran bandara.
Limbah ini berasal dari aktivitas Persia pan pembuatan makanan, pencucian, dai penggunaan toilet yang hams dikelola. Pengolahan air limbah dimaksudkan sebagai suatu usaha untuk mengurangi konsentrasi masingmasing polutan dalam air buangan sehingga aman dibuang ke badan air penerima. Jadi, pengolahan tidak memurnikan, tetapi memperbaiki kualitas.
Polusi air yang lebih berbahaya dapat disebabkah aktivitas overhaul pesawat terbang. Polutan ini terutama berupa zat kimiaberacun dari pengelupasan cat dan mengecat chrome bagian bagian mesin.
Selain sampah dalam bentuk limbah cair, limbah padat merupakan sisa operasional bandar udara yang harus dibuang atau diolah menjadi bentuk lain yang lebih ramah lingkungan.
Air larian dapat saja terpolusi oleh zat kimia pengendalian serangga dan pembuangan salju dan es, tetesan bahan bakar dan oli di landas pacu, taxiways dan apron, serta busa dari pemadam kebakaran.
Limbah yang berkaitan dengan pengisian bahan bakar, operasi pener-bangan, dan pencucian pesawat terbang, kemungkinan dapat mengotori sungai atau danau melalui sistem drainase. Tetesan bahan bakar, oli dan minyak pelumas, serta deterjen pembersih pesawat terbang dapat menjadi sumber polusi air yang serius.
Tata guna lahan
Dampak suatu bandar udara terhadap tata guna lahan, pada dasarnya karena bandar udara sering memerlukan lahan yang luas. Dampak ini dapat berupa atau berkaitan dengan faktor ekonomi,pembangunan, atau visual.
Bandara merupakan infrastruktur yang memerlukan lahan luas. Semakin tinggi kelas suatu bandara, akan semakin luas pula lahan yang diperlukan. Bandara juga tempat yang mengonsumsi energi besar. Denver International Airport (DIA) di Colorado, Amerika Serikat, misalnya, mempunyai 5 landas pacu masingmasing sepanjang 3.700 m, membentang seluas 13.800 ha atau lebih 80 % luas Kota Bandung yang luasnya sekitar 16.700 ha.
Kecuali kalau bandara tersebut direncanakan dan dirancang dengan hatihati, bandara dapat menimbulkan akibat negatif terhadap komunitas sekitarnya.
Di luar batas bandara, dapat terjadi pembangunan hotel atau penginapan yang tidak terkendali, kompleks perumahan, penyewaan kendaraan, dan berbagai kegiatan komersial yang berkaitan dengan bandara yang dapat menimbulkan kesan kumuh pengguna bandara, para pekerja atau penduduk di sekitar bandara.
Hidrologi dan ekologi
Dampak daur hidup tumbuhan dan hewan serta perubahan yang dapat terjadi terhadap sirkulasi alami dan distribusi air sebagai akibat pembangunan dan pengoperasian bandara mungkin memang tidak seserius akibat yang dibahas sebelumnya. Akan tetapi,mungkin juga dapat merupakan faktor yang tersembunyi dan membahayakan.
Tiga masalah hidrologi utama yang berkaitan dengan pembangunan bandara adalah banjir, terganggunya aliran air, dan gangguan kadar garam. Ekologi didefinisikan sebagai ilmu pengetahuan tentang hubungan antara kehidupan tumbuhan dan hewan dengan lingkungannya. Dampak bandara terhadap ekologitertentu terhadap tumbuhan dan hewan hampir kentara dan baru akan terlihat setelah 10,20,bahkan 30 tahunkemudian.
Dampak ekologi dapat terjadi selama pembangunan bandara, akibat operasi penerbangan setiap hari atau pembangunan yang terjadi di sekitar bandara yang terpicu adanya kehadiran bandara.
Menciptakan Eco Airport
Berbagai usaha telah dan terus dilakukan untuk mengurangi dan meminimalkan dampak negatif keberadaan suatu bandara yang dilakukan oleh berbagai komunitas penerbangan termasuk pihak regulator.
Dari sisi teknologi penerbangan, misalnya rancangan pesawat terbang masa kini yang semaMn streamline akan mengurangi kebisingan (aerodynamic noise), mesin pesawat terbang juga lebih efisien dalam pemakaian bahan bakar yang berarti mengurangi kadar emisi berbahaya juga kebisingan yang lebih rendah. Penggunaan biofuel beberapa tahun belakangan ini meski dengan kadar yang masih rendah juga mengurangi tingkat emisi gas buang.
Beberapa perubahan pada operasional penerbangan juga dilakukan untuk mengurangi dampak buruk ini. Kecanggihan pesawat terbang masa kini yang mempunyai tenaga mesin dan kecepatan lebih tinggi dimanfaatkan untuk terbang menanjak lebih cepat selepas take off untuk mengurangi efek kebisingan di sekitar bandara. Ancangancang pendaratan dilakukan dengan teknik continous descent approach juga untuk mengurangi efek kebisingan. Dampak buruk emisi gas buang ketika taxi disiasati dengan hanya menggunakan satu mesin (untuk pesawat terbang dengan dua mesin) dengan putaran mesin yang lebih tinggi untuk mengurangi kadar CO2 dan hydrocarbons. Saat ini dikembangkan pemakaian motor listrik untuk menggerakkan roda pesawat terbang untuk taxi dan bukan memakai tenaga mesin pesawat (electric green taxiing system). Kendaraan ground
service equipments yang memakai bahan bakar minyak juga banyak yang dganti dengan tenaga motor listrik.
Peraturan perundangundangan juga berusaha mengatur pembangunan dan pengoperasian bandar udara yang lebih ramah lingkungan. Di Indonesia, hal ini diatur di dalam Undang-Undang Republik Indonesia Nomor i Tahun 2009 tentang Penerbangan dan lebih spesifik lagi pada Peraturan Direktur Jenderal Perhubungan Udara Nomor SKEP 124/VI/2OO9 tentang Pedoman Pelaksanaan Bandar Udara Ramah Lingkungan (EcoAirport), 2009.
Dampak Kebisingan Terhadap Kesehatan
Bising merupakan suara atau bunyi yang mengganggu. Bising dapat menyebabkan berbagai gangguan seperti gangguan fisiologis, gangguan psikologis, gangguan komunikasi dan ketulian. Ada yang menggolongkan gangguannya berupa gangguan Auditory, misalnya gangguan terhadap pendengaran dan gangguan non Auditory seperti gangguan komunikasi, ancaman bahaya keselamatan, menurunya performan kerja, stres dan kelelahan. Lebih rinci dampak kebisingan terhadap kesehatan pekerja dijelaskan sebagai berikut:
1. Gangguan Fisiologis
Pada umumnya, bising bernada tinggi sangat mengganggu, apalagi bila terputus-putus atau yang datangnya tiba-tiba. Gangguan dapat berupa peningkatan tekanan darah (± 10 mmHg), peningkatan nadi, konstriksi pembuluh darah perifer terutama pada tangan dan kaki, serta dapat menyebabkan pucat dan gangguan sensoris.
Bising dengan intensitas tinggi dapat menyebabkan pusing/sakit kepala. Hal ini disebabkan bising dapat merangsang situasi reseptor vestibular dalam telinga dalam yang akan menimbulkan evek pusing/vertigo. Perasaan mual,susah tidur dan sesak nafas disbabkan oleh rangsangan bising terhadap sistem saraf, keseimbangan organ, kelenjar endokrin, tekanan darah, sistem pencernaan dan keseimbangan elektrolit.
2. Gangguan Psikologis
Gangguan psikologis dapat berupa rasa tidak nyaman, kurang konsentrasi, susah tidur, dan cepat marah. Bila kebisingan diterima dalam waktu lama dapat menyebabkan penyakit psikosomatik berupa gastritis, jantung, stres, kelelahan dan lain-lain.
3. Gangguan Komunikasi
Gangguan komunikasi biasanya disebabkan masking effect (bunyi yang menutupi pendengaran yang kurang jelas) atau gangguan kejelasan suara. Komunikasi pembicaraan harus dilakukan dengan cara berteriak. Gangguan ini menyebabkan terganggunya pekerjaan, sampai pada kemungkinan terjadinya kesalahan karena tidak mendengar isyarat atau tanda bahaya. Gangguan komunikasi ini secara tidak langsung membahayakan keselamatan seseorang.
4. Gangguan Keseimbangan
Bising yang sangat tinggi dapat menyebabkan kesan berjalan di ruang angkasa atau melayang, yang dapat menimbulkan gangguan fisiologis berupa kepala pusing (vertigo) atau mual-mual.
5. Efek pada pendengaran
Pengaruh utama dari bising pada kesehatan adalah kerusakan pada indera pendengaran, yang menyebabkan tuli progresif dan efek ini telah diketahui dan diterima secara umum dari zaman dulu. Mula-mula efek bising pada pendengaran adalah sementara dan pemuliahan terjadi secara cepat sesudah pekerjaan di area bising dihentikan. Akan tetapi apabila bekerja terus-menerus di area bising maka akan terjadi tuli menetap dan tidak dapat normal kembali, biasanya dimulai pada frekuensi 4000 Hz dan kemudian makin meluas kefrekuensi sekitarnya dan akhirnya mengenai frekuensi yang biasanya digunakan untuk percakapan.
Macam-macam gangguan pendengaran (ketulian), dapat dibagi atas :
1. Tuli sementara (Temporaryt Treshold Shift =TTS)
Diakibatkan pemaparan terhadap bising dengan intensitas tinggi. Seseorang akan mengalami penurunan daya dengar yang sifatnya sementara dan biasanya waktu pemaparan terlalu singkat. Apabila tenaga kerja diberikan waktu istirahat secara cukup, daya dengarnya akan pulih kembali.
2. Tuli Menetap (Permanent Treshold Shift =PTS)
Diakibatkan waktu paparan yang lama (kronis), besarnya PTS di pengaruhi faktor-faktor sebagai berikut :
Tingginya level suara
Lama paparan
Spektrum suara
Temporal pattern, bila kebisingan yang kontinyu maka kemungkinan terjadi TTS akan lebih besar
Kepekaan individu
Pengaruh obat-obatan, beberapa obat-obatan dapat memperberat (pengaruh synergistik) ketulian apabila diberikan bersamaan dengan kontak suara, misalnya quinine, aspirin, dan beberapa obat lainnya
Keadaan Kesehatan
3. Trauma Akustik
Trauma akustik adalah setiap perlukaan yamg merusak sebagian atau seluruh alat pendengaran yang disebabkan oleh pengaruh pajanan tunggal atau beberapa pajanan dari bising dengan intensitas yang sangat tinggi, ledakan-ledakan atau suara yang sangat keras, seperti suara ledakan meriam yang dapat memecahkan gendang telinga, merusakkan tulang pendengaran atau saraf sensoris pendengaran.
4. Prebycusis
Penurunan daya dengar sebagai akibat pertambahan usia merupakan gejala yang dialami hampir semua orang dan dikenal dengan prebycusis (menurunnya daya dengar pada nada tinggi). Gejala ini harus diperhitungkan jika menilai penurunan daya dengar akibat pajanan bising ditempat kerja.
5. Tinitus
Tinitus merupakan suatu tanda gejala awal terjadinya gangguan pendengaran . Gejala yang ditimbulkan yaitu telinga berdenging. Orang yang dapat merasakan tinitus dapat merasakan gejala tersebut pada saat keadaan hening seperti saat tidur malam hari atau saat berada diruang pemeriksaan audiometri (ILO, 1998).
Menurut Phillip L.Rice, Penulis buku Stress and Health, seseorang dikategorikan stres kerja jika : ( Rini, 2002)
Urusan stres yang dialami melibatkan juga pihak organisasi atau perusahaan tempat individu bekerja. Namun penyebabnya tidak hanya di dalam perusahaan, karena masalah rumah tangga yang terbawa ke pekerjaan dan masalah yang terbawa ke rumah juga dapat menjadi penyebab stres kerja.
Mengakibatkan dampak negatif bagi perusahaan dan juga individu. Oleh karenanya diperlukan kerjasama antara kedua pihak untuk menyelesaikan persoalan stres tersebut.
"Work stress is an individual's response to work related environtmental stressors. Stress as the reaction of organism, which can be physiological, psychological, or behavioral reaction" Berdasarkan definisi di atas, stres kerja dapat diartikan sebagai sumber atau stressor kerja yang menyebabkan reaksi individu berupa reaksi fisiologis, psikologis, dan perilaku. Seperti yang telah diungkapkan di atas, lingkungan pekerjaan berpotensi sebagai stressor kerja. Stressor kerja merupakan segala kondisi pekerjaan yang di persepsikan karyawan sebagai suatu tuntutan dan dapat menimbulkan stres kerja ( Widyasari, 2007).
Luthans mendefinisikan stres sebagai suatu tanggapan dalam menyesuaikan diri yang dipengaruhi oleh perbedaan individu dan proses psikologis, sebagai konsekuensi dari tindakan lingkungan, situasi atau peristiwa yang terlalu banyak mengadakan tuntutan psikologis dan fisik seseorang, Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa stres kerja timbul karena tuntutan lingkungan dan tanggapan setiap individu dalam menghadapinya dapat berbeda. Masalah Stres kerja di dalam organisasi perusahaan menjadi gejala yang penting diamati sejak mulai timbulnya tuntutan untuk efisien di dalam pekerjaan. Akibat adanya stres kerja tersebut yaitu orang menjadi nervous, merasakan kecemasan yang kronis, peningkatan ketegangan pada emosi, proses berpikir dan kondisi fisik individu. Selain itu, sebagai hasil dari adanya stres kerja karyawan mengalami beberapa gejala stres yang dapat mengancam dan mengganggu pelaksanaan kerja mereka, seperti : mudah marah dan agresi, tidak dapat relaks, emosi yang tidak stabil, sikap tidak mau bekerja sama, perasaan tidak mampu terlibat, dan kesulitan dalam masalah tidur (Agung, 2008).
Dari uraian diatas dapat disimpulkan bahwa terjadinya stres kerja adalah dikarenakan adanya ketidakseimbangan antara karakteristik kepribadian karyawan dengan karakteristik aspek-aspek pekerjaannya dan dapat terjadi pada semua kondisi pekerjaan. Adanya beberapa atribut tertentu dapat rnempengaruhi daya tahan stres seorang karyawan ( Agung, 2008).
Seperti yang telah diartikan, stres merupakan masalah yang serius dalam lingkungan kerja zaman modern ini. Stres berhubungan dengan biaya kesehatan yang akan dikeluarkan oleh perusahaan dan biaya jumlah absen dari pekerja yang nilainya lebih dari 150 miliar rupiah. Hampir 15 % dari keseluruhan penyakit akibat kerja berhubungan dengan stres yang dialami pekerja (David L Goetsch, 2000).
Penyebab Stres di Tempat Kerja
Penyebab stres di tempat kerja berhubungan dengan kondisi psikologi pekerjaan, pekerjaan yang melebihi kemampuan, batasan pekerjaan yang tidak jelas, ketidakpuasan akan besarnya gaji, kepribadian, masalah pribadi dan keluarga pekerja. Penyebab lain terjadinya stres di tempat kerja yaitu : (David L.Goestch,2000).
1. Kompleksitas pekerjaan sehubungan dengan perbedaan tuntutan atas masing-masing pekerja. Pemikiran kompleksnya pekerjaan menimbulkan rasa ketidakmampuan pekerja dan akhirnya memicu stres. Pekerjaan yang berulang dan monoton menyebabkan pekerja menjadi cepat bosan dan merasa tidak puas dengan pekerjaan yang dilakukan serta memungkinkan terjadinya stres sebagai akibat kebosanan tersebut.
2. Pengawasan yang terlalu ketat pada tanggungjawab pekerjaan juga dapat memicu terjadinya stres. Stres yang dialami pekerja akan berkurang dengan adanya partisipasi dari pekerja untuk mengatasi masalah rutinitas, dengan membuat jadwal kerja dan memilih pekerjaan yang sesuai dengan kemampuan pekerja.
3. Rasa bertanggungjawab terhadap kesejahteraan atau kesehatan anggota keluarga dapat menyebabkan stres kerja. Rasa tanggung jawab ini mendorong pekerja untuk mengabaikan resiko kerja yang ada. Pekerja merasa adanya pemikiran bahwa mereka "terperangkap dalam pekerjaan yang mereka lakukan."
4. Persaingan dalam pekerjaan menimbulkan resiko menjadi pengangguran. Pekerja yang bekerja dengan tingkat pemecatan yang tinggi akan memicu terjadinya stres. Tersedianya jaminan untuk memperoleh pekerjaan di tempat lain dan memiliki salah satu keahlian yang dibutuhkan akan mengurangi stres karena isu pemecatan.
5. Tuntutan beban kerja dapat memicu terjadinya stres apabila beban tersebut sudah melebihi kemampuan pekerja. Tuntutan ini juga dapat memaksa pekerja untuk menggunakan waktu dan perhatian seefisien mungkin seperti dalam hal mengambil keputusan dan melaksanakan perintah. Pada akhirnya beban kerja yang melebihi kemampuan pekerja dapat memicu terjadinya stres kerja.
6. Dorongan semangat dari manager dan assisten manager akan memberikan perasaan nyaman dan dihargai sehingga dapat menurunkan resiko stres. Kurangnya perhatian dari pihak managemen akan meningkatkan beban kerja yang dirasakan oleh pekerja sehingga dapat memicu terjadinya stres.
7. Kurangnya pengawasan terhadap keselamatan pekerja di tempat kerja dapat menjadi salah satu pemicu stres. Pekerja yang merasa tidak aman dalam bekerja dapat mengalami stres. Pekerja harus merasa aman dalam bekerja terutama dari bahaya di tempat kerja seperti suhu yang terlalu panas, getaran, sengatan listrik, kebakaran, ledakan, bahan beracun, radiasi, kebisingan dan mesin yang beresiko menyebabkan kecelakaan kerja. Untuk mengurangi stres sehubungan dengan bahaya di lingkungan kerja, pihak managemen harus mempunyai komitmen dalam menjamin keselamatan pekerja dan perusahaan tersebut memiliki program keselamatan kerja.
Sumber stres yang menyebabkan seseorang tidak berfungsi optimal atau yang menyebabkan seseorang jatuh sakit, tidak saja datang dari satu macam pembangkit tetapi dari beberapa pembangkit stres. Sebagian besar dari waktu manusia bekerja. Karena itu lingkungan pekerjaan mempunyai pengaruh yang besar terhadap kesehatan seseorang yang bekerja. Pembangkit stres di pekerjaan merupakan pembangkit stres yang besar perannya terhadap kurang berfungsinya atau jatuh sakitnya seseorang tenaga kerja yang bekerja. Faktor-faktor di pekerjaan yang berdasarkan penelitian dapat menimbulkan stres dapat dikelompokkan ke dalam lima kategori besar yaitu faktor-faktor intrinsik dalam pekerjaan, peran dalam organisasi, pengembangan karir, hubungan dalam pekerjaan, serta struktur dan iklim organisasi Hurrel : ( Agung, 2008)
1. Faktor-faktor intrinsik dalam pekerjaan termasuk dalam kategori ini ialah tuntutan fisik dan tuntutan tugas. Tuntutan fisik misalnya faktor kebisingan. Sedangkan faktor-faktor tugas mencakup: kerja malam, beban kerja, dan penghayatan dari resiko dan bahaya.
2. Peran Individu dalam Organisasi. Setiap tenaga kerja bekerja sesuai dengan perannya dalam organisasi, artinya setiap tenaga kerja mempunyai kelompok tugasnya yang harus dilakukan sesuai dengan aturan-aturan yang ada dan sesuai dengan yang diharapkan oleh atasannya. Namun demikian tenaga kerja tidak selalu berhasil untuk memainkan perannya tanpa menimbulkan masaiah. Kurang baik berfungsinya peran, yang merupakan pembangkit stres yaitu meliputi: konflik peran dan ketaksaan peran (role ambiguity).
3. Pengembangan Karir. Unsur-unsur penting pengembangan karir meliputi:
Peluang untuk menggunakan keterampilan jabatan sepenuhnya
Peluang mengembangkan ketrampilan yang baru
Penyuluhan karir untuk memudahkan keputusan-keputusan yang menyangkut karir. Pengembangan karir merupakan pembangkit stres potensial yang mencakup ketidakpastian pekerjaan, promosi berlebih, dan promosi yang kurang.
4. Hubungan dalam Pekerjaan. Hubungan kerja yang tidak baik terungkap dalam gejala-gejala adanya kepercayaan yang rendah, dan minat yang rendah dalam pemecahan masalah dalam organisasi. Ketidakpercayaan secara positif berhubungan dengan ketaksaan peran yang tinggi, yang mengarah ke komunikasi antar pribadi yang tidak sesuai antara pekerja dan ketegangan psikologikal dalam bentuk kepuasan pekerjaan yang rendah, penurunan dari kodisi kesehatan, dan rasa diancam oleh atasan dan rekan-rekan kerjanya
5. Struktur dan iklim Organisasi. Faktor stres yang dikenali dalam kategorf ini adalah terpusat pada sejauh mana tenaga kerja dapat tcrlihat atau berperan serta pada support sosial. Kurangnya peran serta atau partisipasi dalam pengambilan keputusan berhubungan dengan suasana hati dan perilaku negalif. Peningkatan peluang untuk berperan serta menghasilkan peningkatan produktivitas, dan peningkatan taraf dari kesehatan mental dan fisik.
6. Tuntutan dari Luar Organisasi/Pekerjaan. Kategori pembangkit stres potensial ini mencakup segala unsur kehidupan seseorang yang dapat berinteraksi dengan peristiwa-peristiwa kehidupan dan kerja di dalam satu organisasi, dan dapat memberi tekanan pada individu. Isu-isu tentang keluarga, krisis kehidupan, kesulitan keuangan, keyakinan-keyakinan pribadi dan organisasi yang bertentangan, konflik antara tuntutan keluarga dan tuntutan perusahaan, semuanya dapat merupakan tekanan pada individu dalam pekerjaannya, sebagaimana halnya stres dalam pekerjaan mempunyai dampak yang negatif pada kehidupan keluarga dan pribadi.
7. Ciri-ciri Individu. Menurut pandangan interaktif dari stres, stres ditentukan pula oleh individunya sendiri, sejauh mana ia melihat situasinya sebagai penuh stres. Reaksi-reaksi sejauh mana ia melihat situasinya sebagai penuh stres. Reaksi-reaksi psikologis, fisiologis, dan dalam bentuk perilaku terhadap stres adalah hasil dari interaksi situasi dengan individunya, mencakup ciri-ciri kepribadian yang khusus dan pola-pola perilaku yang didasarkan pada sikap, kebutuhan, nilai-nilai, pengalaman masa lalu, keadaan kehidupan dan kecakapan (antara lain inteligensi, pendidikan, pelatihan, pembelajaran). Dengan demikian, faktor-faktor dalam diri individu berfungsi sebagai faktor pengaruh antara rangsang dari lingkungan yang merupakan pembangkit stres potensial dengan individu. Faktor pengubah ini yang menentukan bagaimana, dalam kenyataannya, individu bereaksi terhadap pembangkit stres potensial.
Gejala-Gejala Stres akibat Kerja
Menurut Terry Beehr dan John Newman mengkaji ulang beberapa kasus stres pekerjaan dan menyimpulkan tiga gejala dari stres pada individu, yaitu: ( Widyasari, 2007)
1. Gejala psikologis
Berikut ini adalah gejala-gejala psikologis yang sering ditemui pada hasil penelitian mengenai stres pekerjaan :
Kecemasan, ketegangan, kebingungan dan mudah tersinggung
Perasaan frustrasi, rasa marah, dan dendam (kebencian)
Sensitif dan hyperreactivity
Memendam perasaan, penarikan diri, dan depresi
Komunikasi yang tidak efektif
Perasaan terkucil dan terasing
Kebosanan dan ketidakpuasan kerja
Kelelahan mental, penurunan fungsi intelektual, dan kehilangan konsentrasi
Kehilangan spontanitas dan kreativitas
Menurunnya rasa percaya diri
Universitas Sumatera Utara
2. Gejala fisiologis
Gejala-gejala fisiologis yang utama dari stres kerja adalah:
Meningkatnya denyut jantung, tekanan darah, dan kecenderungan mengalami penyakit kardiovaskular
Meningkatnya sekresi dari hormon stres (contoh: adrenalin dan noradrenalin)
Gangguan gastrointestinal (misalnya gangguan lambung)
Meningkatnya frekuensi dari luka fisik dan kecelakaan
Kelelahan secara fisik dan kemungkinan mengalami sindrom kelelahan yang kronis (chronic fatigue syndrome)
Gangguan pernapasan, termasuk gangguan dari kondisi yang ada
Gangguan pada kulit
Sakit kepala, sakit pada punggung bagian bawah, ketegangan otot
Gangguan tidur
Rusaknya fungsi imun tubuh, termasuk risiko tinggi kemungkinan terkena kanker
Universitas Sumatera Utara
3. Gejala perilaku
Gejala-gejala perilaku yang utama dari stres kerja adalah:
Menunda, menghindari pekerjaan, dan absen dari pekerjaan
Menurunnya prestasi (performance) dan produktivitas
Meningkatnya penggunaan minuman keras dan obat-obatan
Perilaku sabotase dalam pekerjaan
Perilaku makan yang tidak normal (kebanyakan) sebagai pelampiasan, mengarah ke obesitas
Perilaku makan yang tidak normal (kekurangan) sebagai bentuk penarikan diri dan kehilangan berat badan secara tiba-tiba, kemungkinan berkombinasi dengan tanda-tanda depresi
Meningkatnya kecenderungan berperilaku beresiko tinggi, seperti menyetir dengan tidak hati-hati dan berjudi
Meningkatnya agresivitas, vandalisme, dan kriminalitas
Menurunnya kualitas hubungan interpersonal dengan keluarga dan teman
Kecenderungan untuk melakukan bunuh diri.
Dampak Stres Kerja
Pada umumnya stres kerja lebih banyak merugikan diri karyawan maupun perusahaan. Pada diri karyawan, konsekuensi tersebut dapat berupa menurunnya gairah kerja, kecemasan yang tinggi, frustrasi dan sebagainya. Konsekuensi pada karyawan ini tidak hanya berhubungan dengan aktivitas kerja saja, tetapi dapat meluas ke aktivitas lain di luar pekerjaan. Seperti tidak dapat tidur dengan tenang, selera makan berkurang, kurang mampu berkonsentrasi, dan sebagainya ( Widyasari, 2007).
Penelitian yang dilakukan Halim (1986) di Jakarta dengan menggunakan 76 sampel manager dan mandor di perusahaan swasta menunjukkan bahwa efek stres yang mereka rasakan ada dua. Dua hal tersebut adalah:
a) Efek pada fisiologis mereka, seperti: jantung berdegup kencang, denyut jantung meningkat, bibir kering, berkeringat, mual.
b) Efek pada psikologis mereka, dimana mereka merasa tegang, cemas, tidak bisa berkonsentrasi, ingin pergi ke kamar mandi, ingin meninggalkan situasi stres.
Bagi perusahaan, konsekuensi yang timbul dan bersifat tidak langsung adalah meningkatnya tingkat absensi, menurunnya tingkat produktivitas, dan secara psikologis dapat menurunkan komitmen organisasi, memicu perasaan teralienasi, hingga turnover ( Widyasari, 2007).