Jurnal Penelitian Pengaruh Sampel Sitologi pada Uji Mutasi EGFR terhadap Adenokarsinoma Paru Stadium III-IV Rhian Siân Davies, 1 Christian Smith , 1 Gwenllian Edwards, 1 Rachel Butler, 2 Diane Parry, 3 dan Jason Francis Lester1 1
Velindre Cancer Centre, Cardiff, UK Institute of Medical Medical Genetics, Genetics, University University Hospital of Wales, Wales, Cardiff, Cardiff, UK
2
3
University Rumah Sakit Llandough, Cardiff, UK
Koresponden ditujukan kepada Rhian Siân Davies;
[email protected] Diterima 9 November 2016; Revisi 16 Februari 2017; Diterima 20 Februari 2017; Diterbitkan 7 Maret 2017 Editor Akademik: Giovanni Luca Ceresoli Copyright © 2017 Rhian Siân Davies et al. Ini adalah sebuah akses artikel terbuka yang didistribusikan di bawah lisensi Creative Commons Attribution, Attribution , yang memungkinkan penggunaan tak terbatas, distribusi dan reproduksi dalam media apapun, dengan syarat karya asli benar dikutip.
Tujuan:: Telah ada kemajuan dalam identifikasi dan pemahaman subset molekul Tujuan kanker paru, yang dijelaskan dengan adanya penyimpangan onkogenik tertentu. Sejumlah perubahan genetik telah diidentifikasi, seperti mutasi Epidermal mutasi Epidermal Growth Factor Receptor (EGFR). Kami bertujuan untuk menetapkan alasan mengapa pasien tidak menjalani pengujian mutasi EGFR pada pada saat diagnosis histologis. Metode: Catatan 70 pasien dengan adenokarsinoma paru stadium lanjut yang Metode: dikelola melalui tim multidisiplin tunggal pada satu lembaga. Data dikumpulkan dari kumpulan pengambilan sampel tumor, yang selanjutnya dikirim untuk pengujian EGFR dan dan hasilnya. Hasil:: Tujuh puluh pasien yang teridentifikasi. Pada 21/25 (84%) kasus dengan Hasil sampel sitologi mencukupi untuk analisis mutasi EGFR, dibandingkan dengan 40/45 (89%) kasus dengan sampel histologis. Uji mutasi EGFR tidak dilakukan pada 22/70 (31,4%) pasien. Ada sampel tumor yang tidak mencukupi untuk uji EGFR pada 9/22 (40,9%) pasien. Alasan lain untuk tidak dilakukan pengujian termasuk kemampuan biaya pasien dan adanya masalah di jalur diagnostik. Kesimpulan:: pada penelitian kali ini, sampel sitologi tumor bukan alasan utama Kesimpulan mengapa kanker tidak dilakukan uji mutasi EGFR.
1
1.Pendahuluan Kanker paru merupakan masalah kesehatan yang signifikan. Di Eropa pada tahun 2012, diperkirakan 410.000 kasus baru didiagnosis dan kebanyakan pasien datang dengan stadium lanjut, penyakit yang tidak dapat disembuhkan [1]. Dalam beberapa tahun terakhir, telah ada kemajuan dalam identifikasi dan pemahaman tentang subset molekul kanker paru, yang dijelaskan dengan adanya penyimpangan onkogenik tertentu
[2]
. Adanya sejumlah perubahan genetik
lanjutan yang telah diidentifikasi. Inhibitor tirosin kinase (TKI) oral telah ditunjukkan untuk memperpanjang kelangsungan hidup pasien dengan NSCLC stadium lanjut dengan mutasi EGFR positif dibandingkan dengan kemoterapi kombinasi pada sejumlah uji klinis
[3- 5]
.
Selain itu, analisis terbaru dari data dari percobaan LUX-PARU 3 dan LUXPARU 6 telah menunjukkan bahwa pada pasien dengan delesi ekson 19 (mutasi EGFR paling sering), afatinib secara signifikan memperpanjang kelangsungan hidup sebagai lini pertama pada NSCLC stadium IIIB - IV NSCLC bila dibandingkan dengan kemoterapi kombinasi
[3, 4]
. Translokasi protein EML4-ALK
ditemukan pada sekitar 3-7% dari adenokarsinoma dan 2-5% dari seluruh NSCLC [2]
. Crizotinib adalah molekul kecil TKI oral yang secara khusus menargetkan
ALK, MET, dan ROS1. Percobaan PROFILE 1007 menunjukkan secara signifikan bahwa pada NSCLC stadium lanjut dengan ALK positif, Crizotnib lebih dapat memperpanjang kelangsungan hidup dibandingkan dengan pemberian kemoterapi lini kedua
[6]
. Selain itu, terdapat beberapa perubahan genetik lainnya
yang telah diidentifikasi termasuk ROS1, AKT, BRAF, FGFR, MET, MEK1, PTEN RET, PIK3CA, KRAS, dan HER2
[2]
. Terapi yang menargetkan perubahan
ini sedang menjalani uji klinis dan mungkin memiliki aplikasi terapeutik dalam waktu dekat. Oleh karena itu, sangat penting bahwa sampel memiliki profil molekul memadai untuk memastikan bahwa pasien menerima terapi yang optimal dan untuk memfasilitasi pasien masuk dalam uji klinis. Dalam beberapa tahun terakhir ini telah ada alat yang digunakan secara minimal invasif untuk
mendapatkan sampel tumor yang cukup dalam
mendiagnosis pasien NSCLC stadium lanjut. The National Institute for Health
2
and Clincal Excellence (NICE) merekomendasi memilih metode penelusuran diagnostik yang memberikan banyak informasi dan resiko minimal pad a pasien
[7]
.
Untuk itu, teknik seperti biopsi yang dipandu dengan Endoscopic Bronchial Ultrasound (EBUS), bronkoskopi dengan aspirasi jarum halus (FNA) dan biopsi nodul supraklavikula yang dipandu dengan USG secara umum telah digunakan. Teknik ini memberikan sampel sitologi untuk pengujian. Kami berhipotesis bahwa pegeseran dalam pendekatan diagnostik mungkin telah menyebabkan proporsi kasus dimana tidak mungkin dilakukan analisis molekuler karena DNA kanker tidak cukup dalam sampel tumor yang disediakan. Untuk menguji hipotesis ini, serta menyelidiki alasan lain mengapa sampel tumor pasien tidak diuji, kita melihat catatan dari 70 pasien berturut-turut dengan adenokarsinoma paru stadium lanjut yang dikelola melalui tim multidiciplinary team tunggal (MDT) di SE Wales.
2. Bahan dan Metode Semua pasien yang didiagnosis dan diobati di satu lembagan kanker MDT (di lembaga tunggal) antara 1 Januari 2012 dan 1 Januari 2014, yang diidentifikasi dengan menggunakan Cansic, catatan database pasien elektronik dari semua pasien kanker di Wales . Pasien NSCLC dengan stadium III atau IV dan yang didiagnosis adenokarsinoma secara histologis atau sitologi dimasukkan dalam analisis. Kasus karsinoma sel skuamosa dikeluarkan; pada saat penelitian tidak ada subset molekul yang sensitif terhadap terapi target berlisensi, sehingga sampel tidak diuji secara rutin. Data dikumpulkan berdasarkan jenis kelamin pasien, tanggal lahir, usia saat diagnosis, stadium pada saat diagnosis, metode pengumpulan sampel tumor, apakah sampel dikirim untuk pengujian mutasi EGFR, dan hasil pengujiannya. Analisis mutasi EGFR dilakukan di semua Laboratorium Genetika Wales, Rumah Sakit Universitas Wales. Pada pasien yang tidak diuji mutasi EGFR, alasan untuk ini tercatat. Tidak ada pasien yang diuji translokasi ALK pada penelitian ini , karena tidak ada pendanaan secara rutin untuk terapi yang menargetkan ALK.
3
3. Hasil Secara total, 70 pasien yang memenuhi kriteria inklusi, semuanya dimasukkan dalam analisis. Ada 42 perempuan dan 28 laki-laki. Usia rata-rata adalah 67 tahun (kisaran 42-84 tahun). Secara total, 12/70 (17%) pasien dengan penyakit stadium IIIA, 5/70 (7%) dengan stadium IIIB, dan 53/70 (76%) dengan penyakit stadium IV. Teknik pengambilan sampel histologis yang digunakan dalam 45/70 (64%) pasien, dan teknik sampling sitologi yang digunakan dalam 25/70 (36%) pasien. Secara total, 48/70 (68,6%) pasien dalam penelitian ini didiagnosis dengan adenokarsinoma paru stadium III / IV dengan uji mutasi EGFR. Tidak dilakukan uji mutasi EGFR di 22/70 (31,4%) pasien (Tabel 1). Pada 13/22 (59,1%) kasus dengan sampel yang cukup untuk analisis mutasi EGFR, tetapi pengujian tidak dilakukan. Pada 10/22 (45,5%) pasien tidak ada sampel yang dikirim dan tidak ada alasan yang tercatat, 2/22 ( 9,1%) pasien tidak memenuhi kriteria untuk terapi dan 1/22 (4,5%) pasien menolak terapi. Dalam 9/22 (41%) pasien yang tersisa, sampel tidak cukup untuk uji mutasi EGFR. Oleh karena itu, secara total, sampel tumor yang memenuhi kriteria untuk analisis mutasi EGFR di 61/70 (87%) pasien. Pada 21/25 (84%) kasus, sampel yang memnuhi untuk analisis mutasi EGFR setelah teknik sampling sitologi, dibandingkan dengan 40/45 (89%) dengan teknik sampling histologis. Sampel yang tida mencukupi untuk analisis pada 9/70 (13%) pasien. Dari jumlah tersebut, 3 pasien memiliki sampel yang diperoleh dari biopsi yang dipandu denga CT Scan, 2 dari biopsi bronchoscopic, 1 FNA nodul dengan Ebus, 1 bilasan bronkus, 1 biopsi metastasis ke tulang dan 1 sampel cairan pleural. Hasil diagnostis menurut metode sampling ditunjukkan pada Tabel 2. Jenis EGFR tipe wild diidentifikasi pada 41/48 (85,4%) dari pasien yang diuji. Pada 7/48 (14,6%) pasien yang diuji memiliki kepekaan EGFR mutasi.
4
4. Diskusi Penelitian ini merupakan studi retrospektif dengan melihat proporsi pasien yang baru didiagnosis adenokarsinoma paru stadium III / IV dengan pemeriksaan analisa mutasi EGFR positif. Keputusan terapi sekarang bukan lagi hanya berdasarkan subtipe histologis namun juga sampai
pada profil molekul, yang
paling penting status mutasi EGFR. Percobaan LUX-Paru 3 dan 6 telah menunjukkan manfaat kelangsungan hidup yang signifikan pada pengobatan dengan EGFR TKI afatinib sebagai lini pertama pada pasien dengan EGFR delesi ekson 19. Menggaris bawahi tentang pentingnya sampel tumor yang memadai untuk memungkinkan analisis genetik yang akan dilakukan
[ 3, 4]
.
Pada penelitian ini, 22/70 (31,4%) pasien tidak menjalani uji mutasi EGFR. Hipotesis kami adalah bahwa ini mungkin karena pengambilan sampel sitologi menghasilkan DNA tumor yang kurang untuk pengujian. Bahkan, hasil penelitian menunjukkann bahwa persentase kesuksesan tes EGFR sama baik pada kelompok sampel sitologi (21/25, 84%) maupun histologis (40/45, 88,9%). Kesamaan dalam analisis mutasi antara kedua kelompok secara efektif menyangkal hipotesis bahwa alasan utama lebih rendahnya hasil dari harapan pada analisis mutasi adalah karena ketidakcukupan sampel yang diambil dari teknik diagnostik sitologi. Pengamatan ini didasari dari penelitian lain
yang
melihat metode untuk memperoleh sampel pada pasien dengan kanker paru
[8]
.
Sebuah studi oleh José et al. Secara retrospektif menilai metode yang digunakan untuk mendapatkan sampel diagnostik dalam 328 pasien berturut-turut didiagnosis dengan kanker paru antara 2007 dan 2011. Mereka menemukan bahwa telah terjadi pengurangan jumlah bronkoskopi standar dan mediastinoskopi yang dilakukan
dan
peningkatan
transbronkial (TBNA)
[9]
yang
signifikan
pada
EBUS-aspirasi
jarum
. Jurado et al. melaporkan pada 56 pasien dengan
adenokarsinoma, yang menjalani EBUS FNA menunjukkan kefektifan untuk uji molekuler, dengan memberikan sampel yang cukup untuk pengujian di 82% dari pasien dalam penelitian
[10]
. Hal ini sebanding menurut tingkatan yang terlihat
dalam rangkaian kami yang menggunakan teknik diagnostik sitologi. Sebuah tinjauan sistematis terbaru oleh Ellison et al. Ada 33 penelitian melaporkan penggunaan sitologi untuk uji mutasi EGFR, termasuk sampel FNA yang
5
diperoleh dengan panduan CT-Scan, endoskopi ultrasound (EUS) dan EBUS, yang menyimpulkan bahwa sampel ini dapat berhasil untuk uji mutasi EGFR menggunakan berbagai teknik seperti pengurutan langsung ( direct squencing ), real-time PCR dan COLD-PCR
[11]
. Albanna et al. Membandingkan hasil pada
702 prosedur diagnostik untuk klasifikasi patologis, senyak 269 sampel juga dikirim untuk analisis mutasi EGFR. Mereka menyimpulkan bahwa metode TBNA yang dipandu secara radiologis memberikan hasil tinggi untuk analisis molekuler, tapi TBNA tanpa dipandu adalah metode yang lemah, itu menunjukkan pentingnya menggunakan panduan radiologi ketika melakukan TBNA [12]. Hal ini jelas bahwa pasien pada penelitian kohort kami ditemukan alasan yang paling signifikan yang menyebabkan sampel tidak diuji untuk mutasi EGFR adalah kegagalan dalam proses permintaan uji EGFR. Salah satu cara untuk meminimalkan keterlambatan dan menyederhanakan proses dengan memastikan semua sampel yang relevan untuk diuji adalah dengan memperkenalkan protokol ke arah uji EGFR. Dengan kata lain semua sampel dikirim untuk uji mutasi EGFR dengan hasil histopatologis terlepas dari subtipe histologis, stadium penyakit, tujuan terapi atau berpotensi partisipasi uji klinis. Dalam studi ini, pasien yang dipilih untuk uji mutasi EGFR dengan dasar histologi adenokarsinoma dan penyakit stadium lanjut. Dalam praktek klinis, kriteria pilihan untuk uji mutasi EGFR sangat mirip; semua pasien dengan NSCLC bukan sel skuamosa dan penyakit stadium lanjut yang tidak dapat disembuhkan semua diuji. Kami tidak menguji secara rutin pasien dengan karsinoma sel skuamosa karena dilaporkan nilai rata-rata terjadinya mutasi sangat rendah. Selain itu, kami tidak menguji pasien dengan penyakit lokal stadium lanjut yang sedang menjalani terapi kuratif karena status mutasinya sangat tidak mungkin untuk mengubah terapi awal. Uji klinis sering membutuhkan ulasan patologi atau sampel tambahan untuk tes tidak standar. Sering minimnya sampel diagnostik dan keputusan harus dibuat untuk menggunakan spesimen dalam pengujian imunohistokimia, uji mutasi EGFR atau review pusat di laboratorium uji klinis. Untuk alasan ini, keputusan apakah akan tes mutasi EGFR atau tidak ditentukan di MDT untuk proporsi pasien yang signifikan.
6
Pada sepuluh pasien, sampel biopsi tidak dikirim untuk analisis mutasi EGFR. Ini merupakan proporsi yang signifikan pada studi kohort kami. Pada saat penelitian, tidak ada metode pelacakan sampel melalui proses uji mutasi EGFR. Selain itu, hasil mutasi EGFR tidak secara otomatis dimasukkan ke dalam laporan biopsi patologi. Dalam kasus ini, tidak mungkin untuk menentukan di mana tepatnya jalur telah rusak, dan karena itu kita tidak dapat mengansumsi mengapa pengujian EGFR tidak dilakukan. Menurut pendapat kami, penjelasan yang mungkin adalah bahwa ada proporsi kasus di mana telah diasumsikan bahwa sampel yang diambil tidak cukup untuk pengujian. Tidak ada standar yang ditetapkan persyaratan sampel minimal untuk analisis mutasi EGFR. Pedoman dari The College of American Pathologists bahwa setiap laboratorium harus menetapkan proporsi minimum dan jumlah sel-sel kanker yang diperlukan untuk deteksi mutasi selama validasi dan ahli patologi harus menentukan kecukupan spesimen dengan menilai konten kanker sel, kuantitas DNA dan kualitas
[13]
.
Akibatnya, keputusan ini pasti subjektif dan akan bervariasi antara dokter dan laboratorium. Hal ini diketahui bahwa analisis mutasi EGFR dapat dilakukan pada sampel yang sangat kecil. Sebuah penelitian baru menunjukkan bahwa keberhasilan analisis mutasi bisa dilakukan pada sampel sekecil 0,12 mm yang mengandung < 200 sel. Praktek kami sekarang adalah mengirimkan sampel bahkan yang sangat kecil untuk uji analisis mutasi. Pada dua kasus, analisa mutasi EGFR tidak dilakukan karena performa status yang rendah, dengan score performa status menurut World Health Organisation ( WHO PS ) yaitu 3, dan pasien kontraindikasi untuk dilakukan terapi. Ada bukti pasien dengan PS yang sangat lemah dilakukan analisa mutasi EGFR dengan mendapatkan manfaat dari EGFR TKI bahkan ketika mereka tidsak cukup kuat untuk kemoterapi. Untuk sekarang ini sebagai standar praktek pada pasien dengan performa status yang rendah untuk dilakukan tes mutasi EGFR sebagai efek lazarus pada pasien dengan mutasi positif yang diterapi dengan EGFR TKI.
7
Sebagai pemahaman kami tentang mekanisme molekuler yang mendasari patogenesis tumor meningkat, terapi target akan lebih tersedia untuk kelompok pasien ini. Meskipun teknologi molekuler akan berkembang melalui analisis panel gen, persyaratan kecukupan sampel untuk meningkatkan analisis molekuler kompleks akan sangat penting untuk keputusan terapi yang efektif. Dalam waktu dekat ini, penggunaan circulating tumour DNA (ctDNA) sebagai metode sampel diagnostik dapat meningkatkan beberpa masalah praktik. ctDNA dikeluarkan dari tumor ke pembuluh darah perifer selama masa apoptosis, menyediakan akses yang mudah
meskipun
sampel
DNA
tumor
minimal.
Penggunaan
ctDNA
memungkinkan pada pemeriksaan diagnostik analisis biomarker target molekuler seperti EGFR tanpa persyaratan untuk sampel. Oleh karena itu, ini akses yang memungkinkan untuk pemeriksaan pada pasien kanker paru yang tidak memiliki sampel yang cukup atau sampel yang belum pernah diperiksa sama sekali. Namun, teknologi ini bergantung pada penangangan sampel yang hati-hati, karna ctDNA sangat mudah terdegradasi. Hasil dari ctDNA untuk analisis diagnostik terbatas dan mencukupi untuk EGFR tapi dapat
membuktikan keraguan dari
persyaratan untuk uji panel gen. Pengenalan metodologi digital sekarang secara signifikan meningkatkan sensitivitas analisis, seperti negatif palsu sudah tidak lagi menjadi perhatian. Keuntungan ctDNA termasuk menggunakan sampel invasive yang sedikit, dengan pilihan sampel mudah diulang, dan dapat diperpanjang untuk pengambilan sampel untuk mendeteksi mutasi yang resistan seperti EGFR p. T790M. ctDNA juga menghindari masalah heterogenitas sampel yang terkait dengan biopsi kecil.
5. Kesimpulan Penelitian ini dilakukan karena perhatian terhadap rendahnya tingkat uji mutasi EGFR pada pasien dengan NSCLC stadium lanjut yang berpotensi dapat diberi terapi target. Kecukupan sampel bukan alasan yang paling signifikan untuk tingkat rendahnya uji ini; sampel sitologi hampir sama efektifnya dengan metode histologis dalam memperoleh sampel yang memadai untuk analisis. Masalah yang lebih besar adalah jalur untuk meminta analisis mutasi EGFR, yang berarti bahwa pasien yang tepat tidak diuji mutasi EGFR meskipun sampel memadai dan ditolak
8
kesempatan untuk mendapat terapi efektif. Kami merekomendasikan bahwa semua MDTs kanker paru meninjau praktek uji mutasi EGFR lokal mereka untuk memastikan sistem yang kuat dan pasien diberikan setiap kesempatan untuk menerima terapi yang optimal.
Konflik Kepentingan Para penulis telah menyatakan konflik kepentingan. Dr. Jason Francis Lester telah menerima honorarium dari Boehringer Ingelheim, Pfizer, Roche, dan Astra Zeneca. Dr. Rhian Siân Davies telah menerima hibah pendidikan dari Boehringer Ingelheim dan honorarium dari Roche. Mr. Chris- tian Smith telah menerima honorarium dari Pfizer dan hibah pendidikan dari Novartis untuk mengumpulkan data penelitian ini. Dr Diane Parry telah menerima honorarium dari Roche dan Astra Zeneca.
9
Referensi [1] J. Ferlay, E. Steliarova-Foucher, J. Lortet-Tieulent et al., “Cancer incidence and mortality patterns in Europe: estimates for 40 countries in 2012,” European Journal of Cancer , vol. 49, no. 6, pp. 1374 – 1403, 2013. [2] D. E. Gerber, L. Gandhi, and D. B. Costa, “Management and future directions in nonsmall cell lung cancer with known activating mutations,” American Society of Clinical Oncology Educational Book , pp. e353 – e365, 2014. [3] L. V. Sequist, J. C.-H. Yang, N. Yamamoto et al., “Phase III study of afatinib or cisplatin plus pemetrexed in patients with metastatic lung adenocarcinoma with EGFR mutations,” Journal of Clinical Oncology, vol. 31, no. 27, pp. 3327 – 3334, 2013. [4] Y.-L. Wu, C. Zhou, C.-P. Hu et al., “Afatinib versus cisplatin plus gemcitabine for first-line treatment of Asian patients with advanced non-small-cell lung cancer harbouring EGFRmutations (LUX-Lung 6): an open-label, randomised phase 3 trial,” The Lancet Oncology, vol. 15, no. 2, pp. 213 – 222, 2014. [5] T. S. Mok, Y. Wu, S. Thongprasert et al., “Gefitinib or carboplatin – paclitaxel in pulmonary adenocarcinoma,” The New England Journal of Medicine, vol. 361, no. 10, pp. 947 – 957, 2009. [6] A. T. Shaw, D.-W. Kim, K. Nakagawa et al., “Crizotinib versus chemotherapy in advanced ALK- positive lung cancer,” The New England Journal of Medicine, vol. 368, no. 25, pp. 2385 – 2394,2013. [7] NICE, NICE ClinicalGuideline 121:TheDiagnosis and Treatment of Lung Cancer , NICE, 2011. [8] G. Da Cunha Santos and M. A. Saieg, “Preanalytic parameters in epidermal growth factor receptor mutation testing for nonsmall cell lung carcinoma: a review of cytologic series,” Cancer Cytopathology, vol. 123, no. 11, pp. 633 – 643, 2015. [9] R. J. Jos´e, P. Shaw, M. Taylor et al., “Impact of EBUS-TBNA on modalities for tissue acquisition in patients with lung cancer,” QJM , vol. 107, no. 3, pp. 201 – 206, 2014. [10] J. Jurado, A. Saqi, R. Maxfield et al., “The efficacy of EBUSguided transbronchial needle aspiration for molecular testing in lung adenocarcinoma,” Annals of Thoracic Surgery, vol. 96, no. 4, pp. 1196 – 1202, 2013. [11] G. Ellison, G. Zhu, A. Moulis, S. Dearden, G. Speake, and R. McCormack, “EGFR mutation testing in lung cancer: a review of available methods and their use for analysis of tumour tissue and cytology samples,” Journal of Clinical Pathology, vol. 66, no. 2, pp. 79 – 89, 2013.
10
[12] A. S. Albanna, G. Kasymjanova, C. Robitaille et al., “Comparison of the yield of different diagnostic procedures for cellular differentiation and genetic profiling of nonsmall-cell lung cancer,” Journal ofThoracicOncology, vol. 9, no. 8,pp. 1120 – 1125, 2014. [13] N. I. Lindeman, P. T. Cagle, M. B. Beasley et al., “Molecular testing guideline for selection of lung cancer patients for EGFR and ALK tyrosine kinase inhibitors: guideline from the College of American Pathologists, International Association for the Study of Lung Cancer, and Association for Molecular Pathology,” Journal of Thoracic Oncology, vol. 8, no. 7, pp. 823 – 859, 2013. [14] S. Scarpino, F. Pulcini, A. Di Napoli, M. Giubettini, and L. Ruco, “EGFR mutation testing in pulmonary adenocarcinoma: evaluation of tumor cell number and tumor percent in paraffin sections of 120 small biopsies,” Lung Cancer , vol. 87, no. 1, pp. 8 – 13, 2015. [15] A. Inoue, K. Kobayashi, K. Usui et al., “First-line gefitinib for patients with advanced non-small-cell lung cancer harboring epidermal growth factor receptor mutations without indication for chemotherapy,” Journal of Clinical Oncology, vol. 27, no. 9, pp. 1394 – 1400, 2009. [16] C. J. Langer, “The „Lazarus Response‟ in treatment -na¨ıve, poor performance status patients with non-small-cell lung cancer and epidermal growth factor receptor mutation,” Journal of Clinical Oncology, vol. 27, no. 9, pp. 1350 – 1354, 2009.
11