BAB I PENDAHULUAN
Anemia aplastik merupakan kegagalan hemopoeisis yang relatif jarang ditemukan namun berpotensi mengancam jiwa. Pada keadaan ini jumlah sel-sel darah yang diproduksi tidak memadai. Penyakit ini ditandai dengan pansitopenia dan aplasia sumsum tulang. Pansitopenia adalah suatu keadaan dimana terjadi defisiensi pada semua elemen sel darah (eritrosit, leukosit dan trombosit). Terjadinya pansitopenia dikarenakan oleh menurunnya produksi sumsum tulang atau dikarenakan meningkatnya destruksi perifer. Konsep mengenai anemia aplastik pertama kali diperkenalkan pada tahun 1988 oleh Paul Ehrlich pada seorang wanita muda yang meninggal tidak lama setelah menderita penyakit dengan gejala anemia berat, perdarahan dan hiperpireksia. Pemeriksaan postmortem terhadap pasien tersebut menunjukkan sumsum tulang yang hiposeluler (tidak aktif). Pada tahun 1904 Chauffard pertama kali menggunakan istilah anemia aplastik. Pada tahun 1959, Wintrobe membatasi pemakaian nama anemia aplastik pada kasus pansitopenia, hipoplasia berat, atau aplasia sumsusum tulang, tanpa ada suatu penyakit primer yang menginfiltrasi, mengganti atau menekan jaringan hematopoiesis sumsum tulang. Insiden anemia aplastik didapat bervariasi di seluruh dunia dan berkisar antara 2 sampai 6 kasus per 1 juta penduduk per tahun dengan variasi geografis.1,3 Penyakit ini termasuk penyakit yang jarang dijumpai di Negara barat dengan insiden 1 – 3 kasus per 1 juta penduduk/tahun. Namun di Negara timur
seperti Thailand, Indonesia, Taiwan dan Cina, insidennya jauh lebih tinggi. Perbedaan insiden ini diperkirakan oleh karena adanya faktor lingkungan seperti pemakaian obat – obat yang tidak pada tempatnya, pemakaian pestisida, serta insiden hepatitis virus yang lebih tinggi. Ketersediaan obat-obat yang dapat diperjualbelikan dengan bebas merupakan salah satu faktor resiko peningkatan insiden. Obat-obat seperti kloramfenikol terbukti dapat mensupresi sumsum tulang dan mengakibatkan aplasia sumsum tulang sehingga diperkirakan menjadi penyebab tingginya insiden. Penyebab anemia aplastik sebagian besar (50-70%) tidak diketahui atau bersifat idiopatik. Kesulitan dalam mencari penyebab penyakit ini disebabkan oleh proses penyakit yang berlangsung perlahan-lahan. Di samping itu juga disebabkan oleh belum tersedianya model binatang percobaan yang tepat. Sebagian besar penelusuran etiologi dilakukan melalui penelitian epidemiologik. Diagnosis anemia aplastik dapat ditegakkan berdasarkan gejala subjektif, gejala objektif, pemeriksaan darah serta pemeriksaan sumsum tulang. Gejala subjektif dan objektif merupakan manifestasi pansitopenia yang terjadi. Namun, gejala dapat bervariasi dan tergantung dari sel mana yang mengalami depresi paling berat. Diagnosa pasti anemia aplastik adalah berdasarkan pemeriksaan darah dan pemeriksaan sumsum tulang. Penegakkan diagnosa secara dini sangatlah penting sebab semakin dini penyakit ini didiagnosis kemungkinan sembuh secara spontan atau parsial semakin besar. Hampir semua kasus anemia aplastik berkembang ke kematian bila tidak dilakukan pengobatan. Angka kelangsungan hidup tergantung seberapa berat
penyakit saat didiagnosis, dan bagaimana respon tubuh terhadap pengobatan. Semakin berat hipoplasia yang terjadi maka prognosis akan semakin jelek. Dengan transplantasi tulang kelangsungan hidup 15 tahun dapat mencapai 69% sedangkan dengan pengobatan imunosupresif mencapai 38%. Mengingat kasus anemia aplastik ini kasus yang relatif jarang ditemukan tetapi memiliki morbiditas dan mortalitas yang tinggi maka deteksi dini dan diagnosa penyebab dari suatu anemia aplastik serta penanganan yang tepat dan tepat sangat diperlukan. Pada tinjauan pustaka ini akan dibahas semua hal tentang anemia aplastik dari etiologi, epidemiologi, patofisiologi dan khususnya mengenai pendekatan diagnostik serta penatalaksanaan pada penderita dengan anemia aplastik. Diharapkan tinjauan pustaka ini dapat menjadi salah satu sumber referensi dalam menangani pasien dengan anemia aplastik agar dapat mempunyai harapan hidup yang lebih baik dan layak..
BAB II TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Definisi Anemia aplastik didefinisikan sebagai pansitopenia dengan sumsum tulang hiposeluler tanpa adanya infiltrasi abnormal dan tanpa peningkatan reticulin. Pansitopenia tersebut terjadi akibat kegagalan hemopoiesis dimana produksi selsel darah pada sumsum tulang menjadi menurun (1,2). Sel-sel darah yang mengalami penurunan adalah eritrosit, leukosit dan trombosit. Berdasarkan The International Agranulocytosis and Aplastic Anemia Study (IAAS) disebut anemia aplastik bila kadar hemoglobin ≤ 10 g/dL atau hematokrit ≤ 30 %; hitung trombosit ≤ 50.000/mm3 ; hitung lekosit ≤ 3.500/mm3 atau granulosit ≤ 1,5 x 109/L (3).
2.2 Epidemiologi Insiden tahunan dari anemia aplastik adalah sekitar 2 kasus per juta penduduk (4). Insidensi dari anemia aplastik didapatkan lebih tinggi sekitar 2-3 kali lipat di Asia dibandingkan Amerika dan Eropa (5). Sebuah studi besar di Thailand yang dilakukan dengan tim dan metodologi yang sama dilakukan oleh IAAS, menemukan sekitar 4 kasus per 1 juta penduduk pusat kota Bangkok dan 5 kasus per 1 juta penduduk di daerah utara timur Khonkaen (6). Di Cina survey prospektif dari Epidemiology Study Group of Leukemia dan Anemia aplastic
mendapatkan 7 kasus per 1 juta penduduk dan didapatkan 5 kasus per 1 juta penduduk di provinsi Sabah Malaysia (7,8). Berdasarkan usia, anemia aplastik sering ditemukan pada usia antara 15 dan 25 tahun, namun insidensi kecil anemia aplastik setelah usia 60 tahun dapat ditemukan di Amerika Serikat (9). Sebuah studi pada rumah sakit pendidikan Aga Khan di Karachi menyimpulkan bahwa anemia aplastik lebih banyak didapat pada laki-laki muda dengan tipe yang paling sering adalah idiopatik anemia aplastik berat (10). Menurut jenis kelamin, dihampir semua studi modern tentang anemia aplastik mempunyai rasio jenis kelamin 1:1 yang dimana hal ini tidak biasa terjadi pada penyakit yang didasari oleh imun (11). Perbedaan semua insidensi ini diperkirakan oleh karena adanya faktor lingkungan seperti pemakaian obat – obat yang tidak pada tempatnya, pemakaian pestisida, serta insiden virus hepatitis yang lebih tinggi (12). 2.3 Klasifikasi Berdasarkan kausanya anemia aplastik diklasifikasikan menjadi sebagai berikut: 1.
Idiopatik
: bila kausanya tidak diketahui; ditemukan pada kira-kira 50% kasus.
2.
Sekunder
: bila kausanya diketahui.
3.
Konstitusional : adanya kelainan DNA yang dapat diturunkan, misalnya anemia Fanconi Berdasarkan derajat pansitopenia darah tepi, anemia aplastik didapat
diklasifikasikan menjadi tidak berat, berat atau sangat berat. Risiko morbiditas
dan mortalitas lebih berkorelasi dengan derajat keparahan sitopenia daripada selularitas sumsum tulang. Angka kematian setelah dua tahun dengan perawatan suportif saja untuk pasien anemia aplastik berat atau sangat berat mencapai 80% dengan infeksi jamur dan sepsis bakterial merupakan penyebab kematian utama. Anemia aplastik tidak berat jarang mengancam jiwa dan sebagian besar tidak membutuhkan terapi.
2.4 Etiologi