RESPONSI KASUS HEMATOLOGI ANEMIA APLASTIK
Oleh: Ade Yahya Nasution
(0910713002)
Arif Ismail
(0910710039)
Putri Priela Misnasari
(0910711030)
Tanisha Biaspal
(0910714016)
Pembimbing: dr.Shinta Oktya W., Sp.PD
LABORATORIUM / SMF ILMU PENYAKIT DALAM FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS BRAWIJAYA RUMAH SAKIT UMUM DAERAH DR. SAIFUL ANWAR MALANG 2013
BAB I
1.1 Latar Belakang
Anemia aplastik definisikan definisikan sebagai kegagalan kegagalan sumsum tulang untuk memproduksi komponen sel-sel darah (Alkhouri, 2009). Anemia aplastik adalah Anemia yang disertai oleh pansitopenia pada darah tepi yang disebabkan kelainan primer pada sumsum tulang dalam bentuk aplasia atau hipoplasia tanpa adanya infiltrasi, supresi atau pendesakan sumsum tulang. Pansitopenia sendiri adalah suatu keadaan yang ditandai oleh adanya anemia, leukopenia, dan trombositopenia dengan segala manifestasinya (Bakta, 2006). Gejala-gejala yang timbul akan sesuai dengan jenis sel-sel darah yang mengalami penurunan. Jika eritrosit yang menurun maka akan menimbulkan gejala anemia dari ringan sampai berat, antara lain lemah, letih, lesu, pucat, pusing, sesak nafas, penurunan nafsu makan dan palpitasi. Bila terjadi leukositopenia maka terjadi peningkatan resiko infeksi, penampakan klinis yang paling sering nampak adalah demam dan nyeri. Dan bila terjadi trombositopenia
maka
akan
mudah
mengalami
pendarahan
seperti
perdarahan gusi, epistaksis, petekia, ekimosa dan lain-lain (Sembiring, 2011). Anemia aplastik merupakan penyakit yang berat dan kasusnya kasusnya jarang dijumpai. The International Aplastic Anemia and Agranulocytosis Study menemukan insiden terjadinya anemia aplastik di Eropa sekitar 2 dari 1.000.000 pertahun. Insiden di Asia 2 sampai 3 kali lebih tinggi dibandingkan di Eropa. Di China insiden diperkirakan 7 kasus per 1.000.000 orang dan di Thailand diperkirakan 4 kasus per 1.000.000 orang. Frekwensi tertinggi terjadi pada usia 15 dan 25 tahun, puncak tertinggi kedua pada usia 65 dan 69 tahun (Alkhouri, 2009).
2.1 Tujuan
Tujuan penulisan responsi ini adalah sebagai berikut. 1. Memahami definisi, klasifikasi, epidemiologi, etiologi, pathogenesis
dan gambaran klinis dari anemia aplastik. 2. Meningkatkan kemampuan diagnosis, dan penatalaksanaan dari
anemia aplastik.
2.1 Manfaat
Manfaat yang dapat diambil dari pembuatan laporan kasus ini antara lain sebagai berikut. 1. Dapat memberikan tambahan khasanah ilmu pengetahuan tentang anemia aplastik. 2. Dapat menjadi referensi dan rujukan untuk mendiagnosis serta melakukan penatalaksanaan anemia aplastik kesehatan.
bagi para tenaga
BAB II LAPORAN KASUS
2.1 Identitas Pasien Nama
: Tn. AA
Jenis Kelamin
: Laki-laki
Alamat
: Jl. Ahmad Yani no. 25,Kepanjen
Umur
: 16 tahun
Bangsa
: Indonesia
Suku
: Jawa
Agama
: Islam
Status
: Belum menikah
MRS
: 07 November 2013
No. Register
: 11144xxx
2.2 Anamnesa
Keluhan Utama: Perdarahan di gusi Satu hari sebelum masuk rumah sakit pasien mengeluhkan gusi berdarah, tidak mengucur, sekitar 5 sendok makan, kemudian ada bercak lendirnya. Selain itu pasien mengeluh muncul bintik-bintik merah di kulit kepala, tangan dan kai. Badan terasa lelah, sesak kumat-kumatan. Pasien juga merasa kepala terasa pusing seperti ditusuk-tusuk. Pasien sebelumnya baru masuk rumah sakit swasta 1 minggu dengan keluhan perdarahan di gusi. Sebelumnya tidak ada perdarahan di hidung, BAB juga tidak terdapat darah. Kaki dan lutut kanan dirasakan pasien terasa sakit, bengkak kurang lebih 2 hari yang lalu. Tetapi pasien masih bisa berjalan. Pasien juga mengeluhkan rahang kanan bengkak, sakit sudah 1 hari bersamaan gusi berdarah juga merasa panas dan nyeri jika ditekan.
Riwayat penyakit sebelumnya pasien didiagnosa kelainan darah sejak 3 bulan yang lalu. Mula-mula, keluhan awal mimisan setelah itu pasien juga sering gusi berdarah dan nyeri di punggung. Family history :Keluarga tidak ada yang mengalami penyakit serupa Social history : Pasien seorang pelajar, sekolah di SMA Kepanjen. Pasien belum menikah. 2.3 Pemeriksaan Fisik BP = 120/100 mmHg
PR = 100x/menit
RR = 20x/menit
Keadaan Umum : Tampak sakit berat
GCS 456
Kepala
Anemis (+/+)
Icteris (-/-)
Leher
JVP R +2 cmH 2O 30
Thorax Cor:
Ictus invisible, teraba pada ICS 5, MCL S
Tax : 37.6°C
LHM ≈ ictus RHM: SL D S1, S2 tunggal, murmur -, gallop Simetris, SF D=S, sIs vIv rh - I - wh - I -
Pulmo:
Abdomen
vlv
-|-
-|-
vlv
- |-
-|-
Soefl, soufflé, liver span 8 cm, bowel sound (+) normal, traube’s space dullness, shifting dullness (-), epigastric tenderness (-)
Extremities
Akral Hangat, Edema (-), ptekie (-), pucat (-), pulsasi dorsalis pedis (+)
2.4 Pemeriksaan Laboratorium Laboratory
Result
Normal Value
Unit
Hb
6,90
11,4-15,1
g/dL
Eritrocyte
3,32
4,0-5,5
/µL
Leucocyte
5010
4.700-11.300
/µL
Hematocrit
21,00
38-42
%
Thrombocyte
2.000
142.000-420.000
/µL
MCV
75,20
80-93
fL
MCH
20,8
27-31
Pg
Differential count
0,3/0,0/16,9/79,9/2,6
0-4/0-1/51-67/2533/2-5
%
SGOT
21,0
0-32
U/L
SGPT
44,0
0-32
U/L
Albumin
4,94
3,5-5,5
g/dL
Ureum
30,30
16,6-48,5
mg/dL
Creatinine
0,56
<1,2
mg/dL
Bilirubin T/D/I
0,81/0,32/0,49
Uric Acid
9,85
4,2
PPT
11,0
11,4
Second
APTT
20,8
24,9
Second
INR
0,98
Eo/ba/neu/lim/mono
2.5 Problem Oriented Medical Record CUE AND CLUE
Laki-laki/16 th Perdarahan gusi Riwayat sakit kelainandara h TD : 120/100 N : 100x/m RR : 20 Tax : 37.6C K/L : an+/+ ,gusi bengkak Trombosit: 2000
Laki-laki 16 tahun Gusi berdarah Lemah,sesa k, kepala pusing Pernah didiagnosa kelainan darah 3 bulan yll Kaki bengkak TD : 120/100 N : 100x/m RR : 20x/m Tax : 37.6C
PL
IDx
PDx
PTx
PMo
1. Gum Bleeding
1.1 Chronic disease
DL,FH, SE
1.2 Gingiviti s
Blood smear
IVFD NS 0,9% 20tpm
Tanda perdar ahan,v ital sign
Vit B6 B12 3x1 tab As Folat 1x3 tab
2. Severe trombosi topenia+ neutrope nia+ane mia Hipokro m mikrosite r
2.1 Anemia aplastik 2.2 Anemia pada sindrom myelodis plastik
DL,FH, SE,Ur/ Cr,As Urat,LD H Retikulo sit count
IVFD NS 0,9% 20tpm Tranfusi TC 4 kalf/hari Tranfusi PRC 2 labu/hari s.d Hb>= 8
Vital sign,re aksi tranfus i
K/L : an +/+ , gum bleeding, oedema mandibula S Ext : kaki lutut kanan bengkak
Hb: 6,9 Eri: 3,32 Leukosit: 5010 Trombo: 2000 MCV: 75,0 MCH: 20,0 Diff. count: 0,3/0,0/16,9/ 79,2/2,6 Laki-laki 16th Kaki lutut D bengkak dan nyeri Ext: kaki lutut kanan bengkak Lab finding: Uric acid: 9,85
3.
Atralgia genu dextra
3.1 Hiperuricemi a dt high purine diet
Photo Rontge n genu dekstra
Paraseta mol 3x500mg
Vital sign
BAB III PEMBAHASAN
3.1 Definisi
Anemia aplastik adalah suatu sindroma kegagalan sumsum tulang yang ditandai dengan pansitopenia perifer dan hipoplasia sumsum tulang (Young, 2000). penurunan
produksi
menyebabkan
sel
Pada anemia aplastik terjadi
darah
dari
retikulositopenia,
sumsum anemia,
tulang
sehingga
granulositopenia,
monositopenia dan trombositopenia (Shadduck, 2007). Istilah anemia aplastik sering juga digunakan untuk menjelaskan anemia refrakter atau bahkan pansitopenia oleh sebab apapun. Sinonim lain yang sering digunakan antara lain hipositemia progressif, anemia aregeneratif, aleukia hemoragika, panmyeloptisis, anemia hipoplastik dan anemia paralitik toksik (William, 1993). Pada pasien ini didapatkan hasil laboratorium penurunan jumlah eritrosit, granulocytopenia, dan trombositopenia.
3.2 Epidemiologi
Anemia aplastik jarang ditemukan. Insidensi bervariasi di seluruh dunia, berkisar antara 2 sampai 6 kasus persejuta penduduk pertahun (Salonder,
2001).
Analisis
retrospektif
di
Amerika
Serikat
memperkirakan insiden anemia aplastik berkisar antara 2 sampai 5 kasus
persejuta
penduduk
pertahun
(Shadduck,
2007).
The
Internasional Aplastic Anemia and Agranulocytosis Study dan French Study memperkirakan ada 2 kasus persejuta orang pertahun (Salonder,
2001) (Shadduck, 2007). Frekuensi tertinggi anemia aplastik terjadi pada orang berusia 15 sampai 25 tahun; peringkat kedua terjadi pada usia 65 sampai 69 tahun. Anemia aplastik lebih sering terjadi
di
Timur
Jauh,
dimana
insiden
kira-kira
7
kasus
persejuta
penduduk di Cina, 4 kasus persejuta penduduk di Thailand dan 5 kasus persejuta penduduk di Malaysia. Penjelasan kenapa insiden di Asia Timur lebih besar daripada di negara Barat belum jelas. Peningkatan insiden ini diperkirakan berhubungan dengan faktor lingkungan seperti peningkatan paparan dengan bahan kimia toksik, dibandingkan dengan faktor genetik. Hal ini terbukti dengan tidak ditemukan peningkatan insiden pada orang Asia yang tinggal di Amerika (Shadduck, 2007). Pasien berusia 16 tahun dan tergolong dalam kategori usia dengan frekuensi tertinggi terjadi anemia aplastik. 3.3 Klasifikasi Anemia Aplastik
Anemia aplastik umumnya diklasifikasikan sebagai berikut : A. Klasifikasi menurut kausa (Salonder, 2001) : 1. Idiopatik : bila kausanya tidak diketahui; ditemukan pada kira-kira 50% kasus. 2. Sekunder : bila kausanya diketahui. 3. Konstitusional : adanya kelainan DNA yang dapat diturunkan, misalnya anemia Fanconi B. Klasifikasi berdasarkan tingkat keparahan atau prognosis Klasifikasi anemia aplastik berdasarkan tingkat keparahan (Shadduck, 2007) : 1. Anemia aplastik berat 2. Anemia aplastik sangat berat 3. Anemia aplastik bukan berat Kausa anemia aplastik
pada pasien ini belum diketahui,
kemungkinan adalah idiopatik. Sedangkan dari derajat keparahannya amaka terglong anemia aplastik berat.
2.4 Etiologi Anemia Aplastik
Anemia aplastik sering diakibatkan oleh radiasi dan paparan bahan kimia. Akan tetapi, kebanyakan pasien penyebabnya adalah idiopatik, yang berarti penyebabnya tidak diketahui (Young, 2000) (Paquette and Munker, 2007). Anemia aplastik dapat juga terkait dengan infeksi virus dan dengan penyakit lain (Tabel 1). Tabel 1. Klasifikasi Etiologi Anemia aplastik (Young, 2007). Anemia Aplastik yang Didapat (Acquired Aplastic Anemia) Anemia aplastik sekunder Radiasi Bahan-bahan kimia dan obat-obatan Efek regular Bahan-bahan sitotoksik Benzene Reaksi Idiosinkratik Kloramfenikol NSAID Anti epileptik Emas Bahan-bahan kimia dan obat-obat lainya Virus Virus Epstein-Barr (mononukleosis infeksiosa) Virus Hepatitis (hepatitis non-A, n on-B, non-C, non-G) Parvovirus (krisis aplastik sementara, pure red cell aplasia) Human immunodeficiency virus (sindroma immunodefisiensi yang didapat) Penyakit-penyakit Imun Eosinofilik fasciitis Hipoimunoglob ulinemia Timoma dan carcinoma timus Penyakit graft-versus-host pada imunodefisiensi
Paroksismal nokturnal hemoglobinuria Kehamilan Idiopathic aplastic anemia Anemia Aplatik yang diturunkan (Inherited Aplastic Anemia) Anemia Fanconi Diskeratosis kongenita
Sindrom Shwachman-Diamond Disgenesis reticular Amegakariositik trombositopenia Anemia aplastik familial Preleukemia (monosomi 7, dan lain-lain.) Sindroma nonhematologi (Down, Dubowitz, Seckel)
3.4.1 Radiasi
Aplasia sumsum tulang merupakan akibat akut yang utama dari radiasi dimana stem sel dan progenitor sel rusak. Radiasi dapat merusak DNA dimana jaringan-jaringan dengan mitosis yang aktif seperti jaringan hematopoiesis
sangat sensitive (Young, 2007).
Bila stem sel hematopoiesis yang terkena maka terjadi anemia aplastik. Radiasi dapat berpengaruh pula pada stroma sumsum tulang dan menyebabkan fibrosis (Salonder, 2001). Efek radiasi terhadap sumsum tulang tergantung dari jenis radiasi, dosis dan luasnya paparan sumsum tulang terhadap radiasi. Radiasi berenergi tinggi dapat digunakan sebagai terapi dengan dosis tinggi tanpa tanda-tanda kerusakan sumsum tulang asalkan lapangan penyinaran tidak mengenai sebagian besar sumsum tulang. Pada pasien yang menerima radiasi seluruh tubuh efek radiasi tergantung dari dosis yang diterima. Efek pada sumsum tulang akan sedikit pada dosis kurang dari 1 Sv (ekuivalen dengan 1 Gy atau 100 rads untuk sinar X). Jumlah sel darah dapat berkurang secara reversibel pada dosis radiasi antara 1 dan 2,5 Sv (100 dan 250 rads). Kehilangan stem sel yang ireversibel terjadi pada dosis radiasi yang lebih tinggi. Bahkan pasien dapat meninggal disebabkan kerusakan sumsum tulang pada dosis radiasi 5 sampai 10 Sv kecuali pasien menerima transplantasi sumsum tulang. Paparan jangka panjang dosis rendah radiasi eksterna juga dapat menyebabkan anemia aplastik (Hillman, et. al., 2005).
3.4.2 Bahan Kimia
Bahan
kimia
seperti
benzene
dan
derivat
benzene
berhubungan dengan anemia aplastik dan akut myelositik leukemia (AML). Beberapa bahan kimia yang lain seperti insektisida dan logam berat juga berhubungan dengan anemia yang berhubungan dengan kerusakan sumsum tulang dan pansitopenia (Hillman, et. al., 2005). 2.4.3 Obat-obatan
Anemia aplastik dapat terjadi atas dasar hipersensitivitas atau dosis obat berlebihan. Praktis semua obat dapat menyebabkan anemia aplastik pada seseorang dengan predisposisi genetik. Yang sering menyebabkan anemia aplastik adalah kloramfenikol. Obat-obatan lain yang juga sering dilaporkan adalah fenilbutazon, senyawa sulfur, emas, dan antikonvulsan, obat-obatan sitotoksik misalnya mieleran atau nitrosourea (Salonder, 2001). Obat
dengan
dosis
tinggi
dapat
menyebabkan
aplasia
sumsum tulang disebut resiko tinggi. Obat dengan 30 kasus dilaporkan menyebabkan anemia aplastik merupakan resiko menengah dan selainnya yang lebih jarang merupakan resiko rendah. Tabel 2. Obat-obatan yang menyebabkan Anemia Aplastik (Shadduck, 2007)
Kategori
Resiko Tinggi
Resiko Menengah
Resiko Rendah
Analgesik
Fenasetin, aspirin, salisilamide
Anti aritmia
Kuinidin, tokainid
Anti artritis
Garam Emas
Kolkisin
Anti konvulsan
Karbamazepin, hidantoin, felbamat
Etosuksimid, Fenasemid, primidon, trimethadion, sodium valproate
Anti histamin
Klorfeniramin, pirilamin, tripelennamin
Anti hipertensi
Captopril, methyldopa
Anti inflamasi
Penisillamin, fenilbutazon, oksifenbutazon
Diklofenak, indometasin, sulindac
ibuprofen, naproxen,
Kloramfenikol
Dapsone, metisillin, penisilin, streptomisin, β -lactam antibiotik
Anti mikroba Anti bakteri
Anti fungal
Amfoterisin, flusitosin
Anti protozoa
Kuinakrine
Klorokuin, mepakrin, pirimetamin
Obat Anti neoplasma Alkylating agen
Anti metabolit
Antibiotik Sitotoksik
Busulfan, cyclophosphamide, melphalan, nitrogen mustard Fluorourasil, mercaptopurine, methotrexate Daunorubisin, doxorubisin, mitoxantrone
Anti platelet
Tiklopidin
Anti tiroid
Karbimazol, metimazol, metiltiourasil, potassium perklorat, propiltiourasil,
sodium thiosianat
3.4.4 Infeksi Anemia aplastik dapat disebabkan oleh infeksi virus seperti virus hepatitis, virus Epstein-Barr, HIV dan rubella. Virus hepatitis merupakan penyebab yang paling sering. Pansitopenia berat dapat timbul satu sampai dua bulan setelah terinfeksi hepatitis. Walaupun anemia aplastik jarang diakibatkan hepatitis akan tetapi terdapat hubungan antara hepatitis seronegatif fulminan dengan anemia aplastik.
Parvovirus
B19
dapat
menyebabkan
krisis
aplasia
sementara pada penderita anemia hemolitik kongenital (sickle cell anemia, sferositosis herediter, dan lain-lain). Pada pasien yang imunokompromise dimana gagal memproduksi neutralizing antibodi terhadap Parvovirus suatu bentuk kronis red cell aplasia dapat terjadi (Young, 2007) (Hillman, et. al., 2005). Infeksi virus biasanya berhubungan dengan supresi minimal pada sumsum tulang, biasanya terlihat neutropenia dan sedikit jarang trombositopenia. Virus dapat menyebabkan kerusakan sumsum tulang secara langsung yaitu dengan infeksi dan sitolisis sel hematopoiesis atau secara tidak langsung melalui induksi imun sekunder,
inisiasi
proses
autoimun
yang
menyebabkan
pengurangan stem sel dan progenitor sel atau destruksi jaringan stroma penunjang (Young, 2000). 3.4.5 Faktor Genetik Kelompok
ini
sering
dinamakan
anemia
aplastik
konstitusional dan sebagian dari padanya diturukan menurut hukum mendell, contohnya anemia Fanconi. Anemia Fanconi merupakan kelainan
autosomal
resesif
yang
ditandai
oleh
hipoplasia
sumsung tulang disertai pigmentasi coklat dikulit, hipoplasia ibu jari atau radius, mikrosefali, retardasi mental dan seksual, kelainan ginjal dan limpa (Hillman, et. al., 2005).
3.4.6Anemia Aplastik pada Keadaan/Penyakit Lain 1. Pada leukemia limfoblastik akut kadang-kdang ditemukan pansitopenia dengan hipoplasia sumsum tulang (Salonder, 2001). 2. Paroxysmal Nocturnal Hemoglobinuria (PNH). Penyakit ini dapat bermanifestasi berupa anemia aplastik. Hemolisis disertai pansitopenia mengkin termasuk kelainan PNH (Salonder, 2001). 3. Kehamilan Kasus
kehamilan
dilaporkan,
dengan
anemia
aplastik
telah
pernah
tetapi hubungan antara dua kondisi ini tidak jelas.
Pada beberapa pasien, kehamilan mengeksaserbasi anemia aplastik yang telah ada dimana kondisi tersebut akan membaik lagi setelah melahirkan. Pada kasus yang lain, aplasia terjadi selama kehamilan
dengan
kejadian
yang
berulang
pada
kehamilan-kehamilan berikutnya (Shadduck, 2007). Penyebab anemia aplastik pada pasien ini masih belum diketahui. Namun kemungkinan besar adalah akibat didapat, bukan falcony syndrome.
3.5 Patogenesis Setidaknya ada tiga mekanisme terjadinya anemia aplastik. Anemia aplastik yang diturunkan (inherited aplastic anemia), terutama anemia Fanconi disebabkan oleh ketidakstabilan DNA. Beberapa bentuk anemia
aplastik
yang
didapatkan
(acquired
aplastic
anemia)
disebabkan kerusakan langsung stem sel oleh agen toksik, misalnya radiasi.
Patogenesis
dari
kebanyakan
anemia
aplastik
yang
didapatkan melibatkan reaksi autoimun terhadap stem sel (Paquette and Munker, 2007). Anemia Fanconi barangkali merupakan bentuk inherited anemia aplastik yang paling sering karena bentuk inherited yang lain merupakan
penyakit yang langka. Kromosom pada penderita anemia Fanconi sensitif (mudah sekali) mengalami perubahan DNA akibat obat-obat tertentu. Sebagai akibatnya, pasien dengan anemia Fanconi memiliki resiko tinggi terjadi aplasia, myelodysplastic sindrom (MDS) dan akut myelogenous leukemia (AML). Kerusakan DNA juga mengaktifkan suatu kompleks yang terdiri dari protein Fanconi A, C, G dan F. Hal ini menyebabkan perubahan pada protein FANCD2. Protein ini dapat berinteraksi, contohnya dengan gen BRCA1 (gen yang terkait dengan kanker payudara). Mekanisme bagaimana berkembangnya anemia Fanconi menjadi anemia aplastik dari sensitifitas mutagen dan kerusakan DNA masih belum diketahui dengan pasti (Paquette and Munker, 2007). Kerusakan oleh agen toksik secara langsung terhadap stem sel dapat disebabkan oleh paparan radiasi, kemoterapi sitotoksik atau benzene. Agen-agen ini dapat menyebabkan rantai DNA putus sehingga menyebabkan inhibisi sintesis DNA dan RNA (Paquette and Munker, 2007). Kehancuran hematopoiesis stem sel yang dimediasi sistem imun mungkin merupakan mekanisme utama patofisiologi anemia aplastik. Walaupun mekanismenya belum diketahui benar, tampaknya T limfosit sitotoksik
berperan dalam menghambat proliferasi stem sel dan
mencetuskan kematian stem sel. “Pembunuhan” langsung terhadap stem sel telah dihipotesa terjadi melalui interaksi antara Fas ligand yang terekspresi pada sel T dan Fas (CD95) yang ada pada stem sel, yang kemudian terjadi perangsangan kematian sel terprogram (apoptosis) (Paquette and Munker, 2007). Patofisiologi dari anemia aplastik pada pasien ini kemungkinan adalah autoimun melihat dari jumlah limfosit yang tinggi pada pasien ini.
3.6 Manifestasi klinis Gejala awal yang paling sering ditemui dari anemia aplastik disebabkan oleh kondisi anemia dan trombositopenia: lemas yang semakin memberat, kelelahan, sakit kepala, sesak saat beraktifitas,
ptekia, ekimosis, epistaksis, metrorrhagia, dan gusi berdarah. Ketika terjadi neutropenia berat sekalipun, infeksi sebagai gejala awal sangat jarang ditemui. Dari pemeriksaan fisik paling sering didapatkan pucat pada kulit dan konjungtiva serta perdarahan (ptekia, ekimosis, dan perdarahan gusi). Jika anemia berat, maka pada pasien mungkin ditemukan takikardia dan terdapat murmur jantung yang berhubungan dengan tekanan yang tinggi. Hepatosplenomegali dan limfadenopati biasanya jarang ditemukan (Malaspina and Reilly, 2007). Manifestasi pada pasien ini adalah perdarahan pada gusi. 3.7 Evaluasi diagnostik Diagnosis anemia aplastik harus dipikirkan jika pasien pansitopeni dengan
normokromik,
aregeneratif anemia;
normositik
(atau
sedikit
makrositik),
dan
trombositopenia dengan platelet ukuran normal,
neutropenia, dan tidak ada sel abnormal pada differensial leukosit. Konfirmasi diagnosis memerlukan evaluasi morfologi dan sitogenik dari sumsum
tulang.Sumsum
tulang
umumnya
menunjukkan
sejumlah
spicules dengan empty fatty spaces dan sedikit sel-sel hematopoetik. Gambaran
hiposeluler
dikarenakan
penurunan
jumlah
sel-sel
megakariosit, granulosit dan eritrosit. Limfosit, sel-sel plasma, dan sel mast relatif meningkat, dan pada kasus yang berat, mencapai lebih dari 65% dari seluruh sel.
Meskipun sel eritrosit dapat menghambat
perubahan megaloblastik, morfologi dari sumsum tulang umumnya normal(Malaspina and Reilly, 2007). Pada pasien ini tidak dilakukan bone marrow puncture, diagnostic ditegakkan berdasarkan hasil evaluasi darah lengkap. 3.8 Differensial diagnosis Pasien
dengan
hypocellular
myelodysplastic
syndromejuga
memiliki gambaran pansitopenia dan hiposelulaer sumsum tulang. Bagaimanapun, gambar hapusan darah dapat menunjukkan keberadaan
granulosit immatur atau sel darah merah yang berinti. Beberapa elemen myeloid pada sumsum tulang memiliki perubahan displastik, dan karyotype sumsum tulang dapat menunjukkan abnormalitas klonal. Differential diagnosis sulit ditegakkan jika perubahan displastik tidak mudah ditemukan dan tidak terdapat abnormalitas pada kromosom. Hypocellular acute leukimia dapat didiagnosis sebagai anemia aplastik ketika sedikit sel-sel mononuklear yang tampak di sumsum tulang yang tidak teridentifikasi sebagai blasts. Meskipun hairy cell leukemia biasanya terdapat manifestasi pembesaan spleen dan hiperseluler dari sumsum tulang, jarang terjadi tanpa adanya gambaran tersebut; diagnosis ditegakkan dengan mengenali hairy cells yang sedikit melalui tipikal morfologinya, sebagaimana karakter fenotif dan cytochemical(Malaspina and Reilly, 2007). 3.9 Derajat keparahan Anemia aplastik dapat dikategorikan: sedang, berat dan sangat berat bergantung pada derajat pansitopenia. Anemia aplastik berat jika dua atau lebih dari kriteria berikut: neutrofil < 500/mL, platelet < 20.000/mL, dan retikulosit < 20.000/mL; pasien dengan keadaan berikut memiliki resiko kematian sebesar 80% untuk kematian 2 tahun setelah diagnosis ditegakkan jika diobati dengan pengobatan suportif sendiri (Malaspina and Reilly, 2007). Pada anemia aplastik derajat sangat berat ditemukan kriteria seperti yang telah disebutkan ditambah jumlah neutrofil < 200/mL; dimana keadaan ini memiliki prognosis terburuk, dengan respone rate yang rendah dan survival rate yang lebih buruk setelah terapi immunosupresif. Pasien dengan cytopenia rendah (neutrofil > 500/ml, platelet > 20.000/ml dan retikulosit > 20.000/mL) diklasifikasikan sebagai anemia aplastik derajat sedang (Malaspina and Reilly, 2007). Pasien ini tergolong derajat sedang atau tidak parah.
3.10 Pengobatan Pengobatan yang tepat dan agresif diindikasikan pada kebanyakan pasien. Jika terdapat penyebab spesifik yang dicurigai, maka menarik agen etiologik merupakan pendekatan terhadap pengobatan yang langsung (Malaspina and Reilly, 2007). Begitu diagnosis anemia aplastik tegak, HLA typing keluarga harus segera dilakukan, terutama pada pasien usia muda (<50 tahun) karena pada
individual-individual
tersebut
mendapatkan
keuntungan
dari
transplantsi stemcell dari histocompatible sibling(Malaspina and Reilly, 2007). Immunosupresan merupakan terapi yang paling banyak digunakan untuk anemia aplastik karena hanya 25-30% dari pasien yang memiliki histocompatible siblings(Malaspina and Reilly, 2007). Terapi immunosupresif: ATG (40 mg/kg/hari selama 4 hari) dosis tunggal atau dengan kombinasi dengan cyclosporine (10 mg/kg/hari dibagi menjadi 2 dosis, dengan pengaturan dosis sesuai kebutuhan untuk
mempertahankan levels 200 to 400 μg/mL selama 3 sampai 6 bulan dan lalu diturunkan selama periode 3 bulan) merupakan pengobatan untuk pasien anemia aplastik yang tidak memiliki histocompatible siblings atau usia lebih dari 40 tahun. Prospective trialstelah menunjukkan bahwa ATG dikombinasikan dengan cyclosporine memicu response rate yang lebih tinggi (60-80% vs. 40- 60%) dan respons yang lebih cepat (median 60 hari vs 80 hari) dibandingkan ATG tunggal, tetapi resiko relaps,perkembangan secondary clonal disease, dan daya tahan sama.Kombinasi ATG plus cyclosporine direkomendasikan untuk pasien dengan anemia aplastik berat dan sangat berat, dimana ATG tunggal sering digunakan untuk pasien dengan anemia aplastik sedang(Malaspina and Reilly, 2007). Pada pasien ini tidak diberikan terapi imunosupresif maupun bone marrow transplantation.
DAFTAR PUSTAKA Alkhouri, Nabiel and Solveig G Ericson. Aplastic Anemia : Review of Etiology and Treatment. Hospital Physician ; 2009. P;46-52. Bakta, I Made Prof,dr. Hematologi Klinis Ringkas. Jakarta : EGC ; 2006 : 97-107. Hillman RS, Ault KA, Rinder HM. Hematology in Clinical Practice 4th ed. NewYork: Lange McGraw Hill, 2005. Malaspina, H.C., Reilly, R.J. 2007. Aplastic Anemia and Related Disorders. Goldman: Cecil Medicine, 23rd ed Paquette R, Munker R. Aplastic Anemias. In: Munker R, Hiller E, et al (eds). Modern Hematology Biology and Clinical Management 2nd ed. New Jersey: Humana Press, 2007 ;207-16. Salonder H. Anemia aplastik. In: Suyono S, Waspadji S, et al (eds). Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Jilid II Edisi Ketiga. Jakarta. Balai Penerbit FKUI, 2001;501-8. Sembiring, Samuel PK. Anemia Aplastik. Available at http:/www.morphostlab.com (Downloaded on 11th of January 2011) Shadduck RK. Aplastic anemia. In: Lichtman MA, Beutler E, et al (eds). William Hematology 7th ed. New York : McGraw Hill Medical; 2007. William DM. Pancytopenia, aplastic anemia, and pure red cell aplasia. In: Lee GR, Foerster J, et al (eds). Wintrobe’s Cl inical Hematology 9 ed. Philadelpia London: Lee & Febiger,1993;911-43. th
Young NS, Maciejewski J. Aplastic anemia. In: Hoffman. Hematology : Basic Principles and Practice 3rd ed. Churcil Livingstone, 2000;153-68. Young NS. Aplastic anemia, myelodysplasia, and related bone marrow failure syndromes. In: Kasper DL, Fauci AS, et al (eds). Harrison’s Principle of Internal Medicine. 16th ed. New York: McGraw Hill, 2007:617-25.