REFERAT ILMU THT ABSES PERITONSILAR
Disusun oleh: Edo Aditya D. Susanto (1305002158) (1305002158)
Pembimbing: dr. Michael Lekatompessy, SpTHT-KL
KEPANITERAAN KLINIK ILMU KESEHATAN TELINGA, HIDUNG, TENGGOROK, KEPALA & LEHER SILOAM HOSPITAL LIPPO VILLAGE – RUMAH RUMAH SAKIT UMUM SILOAM FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS PELITA HARAPAN PERIODE MEI – JUNI JUNI 2017 TANGERANG
DAFTAR ISI
DAFTAR ISI ............................................................................................................................. i BAB 1: PENDAHULUAN ...................................................................................................... 1 BAB 2: TINJAUAN PUSTAKA ............................................................................................. 2 2.1. Definisi ................................................................................................................ 2 2.2. Anatomi ............................................................................................................... 2 2.3. Epidemiologi ....................................................................................................... 3 2.4. Patogenesis & Etiologi ........................................................................................ 3 2.5. Gejala Klinis........................................................................................................ 3 2.6. Diagnosis ............................................................................................................. 4 2.6.1.
Pemeriksaan Penunjang ................................................................... 4
2.7. Diagnosis Banding .............................................................................................. 6 2.8. Komplikasi .......................................................................................................... 6 2.9. Tatalaksana .......................................................................................................... 6 2.8.1.
Tatalaksana Umum .......................................................................... 6
2.8.2.
Tatalaksana Medikamentosa ........................................................... 7
2.8.3.
Tatalaksana Invasif .......................................................................... 7
BAB 3: KESIMPULAN ......................................................................................................... 11 DAFTAR PUSTAKA............................................................................................................. 12
i
BAB 1: PENDAHULUAN
Abses peritonsil termasuk salah satu abses leher bagian dalam yang paling sering ditemui. Nyeri tenggorok dan demam yang disertai dengan terbatasnya gerakan membuka mulut dan leher harus dicurigai kemungkinan adanya abses leher dalam. Abses peritonsil merupakan salah satu kegawatdaruratan di bagian otorinolaringologi dan mudah untuk terjadi kekambuhan. Abses leher dalam merupakan suatu kondisi yang mengancam jiwa akibat komplikasikomplikasinya yang serius seperti obstruksi jalan napas, kelumpuhan saraf kranial, mediastinitis dan kompresi hingga ruptur arteri karotis interna. Oleh karena itu, pengenalan penyakit harus dapat dilakukan oleh dokter umum, sehingga diagnosis dapat ditegakkan sedini mungkin. Hal ini menjadi tantangan bagi para dokter untuk memahami gambaran klinis penyakit ini yang dapat memicu terjadinya komplikasi yang mengancam jiwa. Pengetahuan anatomi fasia dan ruang ruang potensial leher secara baik, serta penyebab abses leher mutlak diperlukan untuk dapat memperkirakan perjalanan penyebaran infeksi dan penatalaksanaan yang adekuat.
1
BAB 2: TINJAUAN PUSTAKA 2.1.
Definisi
Abses peritonsil adalah pengumpulan pus pada rongga peritonsil yang berada di antara kapsul dari tonsil dan otot konstriktor faring superior. Umumnya, abses tersebut terbentuk akibat infeksi tonsil yang supuratif. Abses peritonsil ini termasuk dalam infeksi lokal leher bagian dalam. Kondisi yang darurat dapat terjadi pada abses peritonsil, yang disebabkan oleh komplikasi dan potensi abses untuk mengobstruksi jalan napas. 1,2 2.2.
Anatomi
Tonsil palatina adalah suatu massa jaringan limfoid yang terletak di dalam fosa tonsil pada kedua sudut lateral orofaring, dan dibatasi oleh pilar anterior (otot palatoglosus) dan pilar posterior (otot palatofaringeus). Tonsil berbentuk oval dengan panjang 2-5 cm, masing-masing tonsil mempunyai 10-30 kriptus yang meluas ke dalam jaringan tonsil. Kripta pada tonsil berisi kompleks saluran dan dikelilingi oleh pembuluh darah, pembuluh limfatik dan jaringan-jaringan limfonoduli. Kedua tonsil diselubungi oleh kapsul yang memisahkan tonsil dengan otot konstriktor medial dan
Gambar 2: Anatomi orofaring
superior.3 Diantara kapsul tonsil palatina dan muskulus konstriktor faring superior terdapat ruang potensial yang disebut rongga peritonsil ( peritonsillar space). Rongga ini dibatasi oleh kapsul tonsil palatina pada sisi medial, muskulus konstriktor faring superior pada sisi lateral, pilar anterior pada sisi anterior, pilar posterior pada sisi posterior, torus tubarius pada sisi superior, dan sinus piriformis pada sisi inferior.4 Rongga tersebut hanya terdiri dari
Gambar 1: Anatomi rongga peritonsilar 13
2
jaringan ikat longgar, suatu infeksi yang berat dapat mengakibatkan pembentukan pus. Proses inflamasi yang progresif dan proses supurasi dapat menyebar secara langsung yang melibatkan palatum, dinding lateral dari faring, dan basis lidah.4 2.3.
Epidemiologi
Di Amerika, insiden abses peritonsilar diperkirakan mencapai 30 kasus per 100,000 orang per tahun, sehingga terdapat 45,000 kasus per tahun. Secara internasional angka ini meningkat akibat banyaknya rekurensi dan resistensi antibiotik. 5 Menurut suatu penelitian, abses peritonsilar dapat terjadi pada semua individu berusia 10-60 tahun, walaupun abses peritonsilar umumnya ditemukan pada pasien berumur 20-40 tahun. Anak-anak muda yang menderita abses peritonsilar umumnya memiliki supresi sis tem pertahanan tubuh.6 2.4.
Patogenesis & Etiologi
Abses peritonsil sebelumnya dianggap titik akhir dari perjalanan penyakit yang bermula dari tonsilitis akut supuratif yang berkembang menjadi selulitis peritonsil, hingga akhirnya membentuk abses. Penelitian yang baru menemukan bahwa kelenjar Weber juga berperan dalam terjadinya abses peritonsilar.7 Kelenjar tersebut terdiri dari kelenjar saliva yang terletak di bagian atas dari tonsil pada palatum mole dan terhubung dengan tonsil melalui duktus. 8 Fungsi dari kelenjar tersebut adalah membersihkan tonsil dari sisa-sisa makanan dan kotoran pada kripta. Jika kelenjar tersebut terinfeksi, maka akan terjadi selulitis dan ketika infeksi berkembang akan terbentuk jaringan nekrosis dan pembentukan pus sehingga ter bentuk abses peritonsil.9 Bakteri penyebab abses peritonsil biasanya adalah polimikrobial , baik bakteri aerob maupun anaerob, tetapi bakteri aerob yang paling sering ditemukan, yaitu Streptococcus sp., Staphylococcus sp. dan Haemophilus influenza; dan untuk bakteri anaerob yaitu Fusobacterium, Peptostreptococcus, dan Prevotella.7 Abses peritonsil dapat menjadi gambaran klinis dari infeksi mononukleosis (akibat virus Epstein-Barr Virus (EBV)) yang ditransmisikan dari cairan tubuh, terutama eksudat orofaring, pada penderita infeksi EBV. Infeksi mononukleosis juga disebut sebagai kissing disease.18 2.5.
Gejala Klinis
Gejala pada pasien abses peritonsil dapat dibagi menjadi gejala sistemik dan gejala lokal. Gejala sistemik muncul akibat proses infeksi sistemik yang berlangsung. Gejala tersebut adalah demam, menggigil, malais, nyeri di seluruh tubuh, sakit kepala, dan mual. Sedangkan 3
gejala lokal yang dapat ditemukan adalah sakit pada leher, odinofagia, hot potato voice, bau mulut (halitosis), otalgia, dan trismus. Odinofagia menyebabkan pasien tidak mau menelan air liurnya sehingga tampak hipersalivasi. Hal ini juga menyebabkan pasien tidak mendapat asupan oral termasuk cairan yang cukup sehingga mungkin tampak tanda-tanda dehidrasi. Bau mulut biasanya disebabkan oleh kebersihan mulut yang tidak baik. Otalgia disebabkan oleh nyeri referal dari persyarafan kranial IX. Trismus terjadi akibat iritas i muskulus pterygoid yang terletak dekat dengan rongga peritonsil. 7,10 Pada pemeriksaan fisik kadang-kadang sukar memeriksa seluruh faring, karena trismus. Palatum molle tampak membengkak dan menonjol kedepan, dapat teraba fluktuasi. Uvula bengkak dan terdorong kesisi kontralateral. Tonsil bengkak, hiperemis, mungkin banyak detritus dan terdorong ke arah kontralateral dari abses. Limfadenopati servikal biasanya dapat ditemukan. 7,10 Pada infeksi mononukleosis, keluhan utama yang paling sering berupa rasa tidak enak badan atau malaise, dan lemas; diikuti dengan gejala sistemik virus lainnya seperti demam, mual, dan nyeri otot mata. Pada pemeriksaan fisik kepala dan leher dapat ditemukan faringitis, pembesaran tonsil, limfadenopati, petekie palatum, dan ruam (terutama ketika diberi amoksisilin). Pada abdomen dapat ditemukan pembesaran hepar dan limpa. Jaundis dapat ditemukan pada stadium lanjut infeksi mononukleosis. 18 2.6.
Diagnosis
Penegakkan diagnosis abses peritonsil adalah dengan berdasarkan anamnesis dan pemeriksaan fisik. Adanya riwayat pasien mengalami tonsilitis disertai dengan tanda dan gejala yang mengarah pada abses peritonsil sudah cukup untuk menegakkan diagnosis. Jika diagnosis abses peritonsil masih diragukan, maka dapat dilakukan pemeriksaan penunjang untuk membantu mendapatkan informasi lain.7 2.6.1. Pemeriksaan Penunjang Pemeriksaan “gold standard” adalah dengan melakukan aspirasi jarum (needle aspiration). Tempat aspirasi dianestesi dan jarum suntik besar digunakan untuk mengaspirasi pus. Aspirasi material yang bernanah (purulent) merupakan tanda khas dari abses. Aspirasi pus dapat dilakukan biakan untuk mengetahui patogen dan memilih antibiotik yang tepat. 11 Pemeriksaan penunjang lainnya yang dapat dilakukan adalah: 4
4
Hitung darah lengkap (complete blood count ), pengukuran kadar elektrolit (electrolyte level measurement ), dan kultur darah (blood cultures).
Pada pasien yang curiga terinfeksi EBV dapat dilakukan monospot test dan serologi EBV (IgG dan IgM). 18
Xray: Foto lateral dapat dilakukan untuk menyingkirkan abses retrofaring.
CT scan kontras: biasanya tampak kumpulan cairan hypodense di apex tonsil yang terinfeksi, dengan peripheral rim enhancement . Pencitraan ini juga dapat digunakan untuk merencanakan tindakan operasi dan melihat luas penyebaran infeksi. 4,12
Gambar 3: CT scan dengan kontras pada abses peritonsil (panah putih). 10
Intraoral ultrasound (IUS) merupakan modalitas utama untuk pencitraan karena murah, mudah dan non-invasif. IUS sering dipakai untuk menguatkan diagnosis dan mengarahkan tindakan drainase. Sensitivitas IUS berkisar 89-95% dan spesifitasnya berkisar 79-100%.4,12
Gambar 4: Gambaran tonsil (T) dan abses peritonsil (panah putih) pada IUS. 10
5
2.7.
Diagnosis Banding
Abses peritonsil dapat di diagnosis banding dengan penyakit-penyakit abses leher bagian dalam lainnya seperti, abses retrofaring, abses parafaring, abses submandibula, dan angina ludovici ( Ludwig’s angina). Hal ini disebabkan kemiripan gejala utama pada abses leher bagian dalam seperti, nyeri tenggorok, demam, serta terbatasnya gerakan membuka mulut. Untuk membedakan abses peritonsil dengan penyakit leher dalam lainnya, diperlukan anamnesis dan pemeriksaan fisik yang jeli. Selain itu diagnosis banding infeksi mononukleosis juga dapat memiliki gambaran abses peritonsil.5 2.8.
Komplikasi
Komplikasi-komplikasi
dapat
terjadi apabila diagnosis abses peritonsilar terlewatkan atau tertunda. Keberatan dari komplikasi tergantung dari kecepatannya progresi dari penyakit, dan karakteristik dari
ruang
fascia
yang
terpengaruh.
Tatalaksana dan intervensi dini sangat Gambar 5: Komplikasi abses peritonsil. 7
penting.
Komplikasi yang dapat terjadi akibat abses peritonsil adalah: 7
Obstruksi jalan napas akibat pembesaran abses
Pneumonia aspirasi atau piemia akibat ruptur abses spontan
Penjalaran infeksi dan abses ke daerah parafaring, sehingga terjadi abses parafaring.
Kemudian dapat terjadi penjalaran ke mediastinum menimbulkan mediastinitis.
Sekuele post streptokokus seperti glomerulonefritis dan demam rheumatik apabila bakteri penyebab infeksi adalah Streptococcus Group A.
Kematian walaupun jarang dapat terjadi akibat perdarahan atau nekrosis septik ke selubung karotis (carotid sheath).
2.9.
Tatalaksana
2.8.1. Tatalaksana Umum Drainase abses, antibiotik, terapi suportif untuk menjaga status hidrasi dan terapi simtomatik adalah modalitas utama dari pengobatan abses peritonsil. 7 Analgesik adalah terapi penting pada manajemen abses peritonsil untuk menurunkan rasa sakit sehingga membantu 6
pasien untuk mengonsumsi diet oral.10,12 Resusitasi cairan intravena juga diperlukan pada pasien yang tidak mendapatkan asupan oral yang adekuat atau dengan tanda dan gejala dehidrasi.10,12 2.8.2. Tatalaksana Medikamentosa Pada penyakit stadium awal yaitu selulitis
peritonsilar,
dimana
belum
terbentuk abses, maka biasa dilakukan tatalaksana yang sama tetapi tanpa tindakan
drainase.
Antibiotik
juga
diberikan untuk mengatasi infeksi paska drainase abses.7 Antibiotik sistemik yang mencakup
group
A
β -hemolytic
Gambar 6: Dosis antibiotik abses peritonsil. 7
streptococci seperti penisilin, klindamisin, atau golongan sefalosporin dengan atau tanpa metronidazol.4,12,13 Amoksisilin biasanya dihindari kecuali jika kemungkinan infeksi mononukleosis sudah disingkirkan, karena dapat terjadi makulopapular.12 Beberapa penelitian menemukan pemberian steroid, seperti deksametason atau metilprednisolon IV dosis tunggal, dapat membantu proses pemulihan. Pemberian steroid dilaporkan dapat mengurangi lama rawat inap, gejala nyeri tenggorokan, demam, dan trismus. Tetapi penelitian lebih lanjut perlu dilakukan untuk memastikan efek tersebut. 4,12 2.8.3. Tatalaksana Invasif 2.8.3.1. Aspirasi jarum Beberapa penelitian mengatakan aspirasi jarum adalah tatalaksana umum yang sering dilakukan.14 Aspirasi dapat dilakukan pada pasien mulai dari usia 7 tahun, terutama bila digunakan sedasi. Aspirasi dapat digunakan sebagai tindakan diagnostik dan terapeutik karena dapat menunjukkan adanya abses (akumulasi pus) secara langsung sekaligus drainase abses. Aspirasi pus dapat dikultur untuk mendapatkan etiologi patogen dan menentukan terapi antibiotik yang tepat. 4 Aspirasi dilakukan terutama bila masih diragukan adanya abses yang terbentuk. Aspirasi abses dilakukan menggunakan jarum suntik dengan menusukkan dan mengaspirasi pus sampai habis dari lokasi yang diduga terdapat abses.15 Setelah aspirasi abses, dilanjutkan dengan pemberian antibiotik parenteral untuk mengatasi infeksi yang masih berlangsung. Pada beberapa kasus, rekoleksi pus tidak terjadi sehingga tidak perlu diikuti
7
dengan tindakan insisi dan drainase. 4 Namun 10% dari pasien mengalami rekoleksi pus dalam 1-2 hari.12
Gambar 7: Aspirasi jarum pada abses peritonsil. 10
2.8.3.2. Insisi & drainase Insisi dan drainase (I&D) adalah teknik yang umumnya dilakukan untuk tatalaksana akut dari abses peritonsil yang besar. Tindakan ini dapat mengurangi rasa sakit yang efektif dan cepat
7,12
Teknik insisi dan drainase membutuhkan anestesi lokal dengan menyemprotkan
anestesi topikal. Insisi drainase intraoral dilakukan degan melakukan insisi mukosa diatas abses, biasanya di lipatan supratonsilar (kutub atas). Forsep sinus dimasukkan melalui insisi untuk merentangkan insisi. Pengisapan tonsil sebaiknya segera disediakan untuk mengumpulkan pus yang dikeluarkan. 10,15
Gambar 8: Insisi dan drainase 10
2.8.3.3. Tonsilektomi quinsy Tonsilektomi quinsy atau hot tonsilectomy, bisa disebut juga dengan tonsilektomi segera adalah tindakan pengangkatan jaringan tonsil dengan pembersihan abses yang sesegera mungkin dilakukan. 4 Indikasi untuk tonsilektomi segera pada abses peritonsil adalah adanya 8
obstruksi jalan napas atas, sepsis dengan adenitis servikalis, abses leher bagian dalam, riwayat abses peritonsil yang berulang.15 Beberapa penelitian mengatakan tindakan ini cukup sering dilakukan karena dianggap prosedur yang aman dan dapat melakukan drainase sempurna dari abses.7,4,12 Tonsilektomi juga dapat dilakukan setelah beberapa waktu pasca drainase yang disebut tonsilektomi interval. Namun pada prosedur tersebut sering terjadi fibrosis sehingga menyulitkan tonsilektomi.15 2.8.3.4. Tonsilektomi Interval Tonsilektomi interval adalah tonsilektomi yang dilakukan beberapa waktu pasca drainase. Prosedur ini diindikasikan pada pasien yang memiliki indikasi tonsilektomi tetapi tidak dilakukan tonsilektomi quinsy.12 Menurut literatur, terdapat beberapa istilah berdasarkan lama selang waktu pasca drainase hingga dilakukan tonsilektomi. Tonsilektomi yang dilakukan 3-4 hari sesudah drainase abses disebut “tonsilectomy a’ tiede”; sedangkan tonsilektomi yang dilakukan 4-6 minggu sesudah drainase abses disebut “tonsilectomy a’ froid ”. Pada umumnya tonsilektomi dilakukan sesudah infeksi tenang, yaitu 2-3 minggu sesudah drainase abses. 16 Mazur E, et al . menganjurkan melakukan tonsilektomi interval setelah 6-8 minggu. 17
Gambar 9: Skematik tonsilektomi. 10
9
Gambar 10: Algoritma tatalaksana abses peritonsil 12
10
BAB 3: KESIMPULAN
Abses peritonsil adalah akumulasi pus yang terlokalisasi pada ruang peritonsil yang merupakan perkembangan dari tonsillitis supuratif. Biasanya bakteri penyebab yang dapat ditemukan adalah bakteri aerob, anaerob atau campuran. Bakteri aerob yang paling dominan adalah Streptococcus sp. dan Haemophilus influenzae sedangkan bakteri anaerob paling banyak adalah Provetella dan Fusobacterium. Selain itu klinisi juga harus menyengkirkan diagnosis banding infeksi mononukleosis karena memiliki managemen medikamentosa yang berbeda. Diagnosis abses peritonsil dapat ditegakkan secara klinis melalui anamnesis dan pemeriksaan fisik. Pasien mengeluhkan gejala tonsillitis seperti sakit tenggorokan hingga disfagia, terdapat demam tinggi dan nafas berbau. Gejala lainnya yang juga dapat muncul adalah regurgitasi, hipersalivasi, suara gumam dan trismus. Pada pemeriksaan fisik faring dapat terlihat permukaan mukosa faring hiperemis, arkus faring dan uvula terdorong ke arah kontralateral, pembesaran tonsil dengan eksudat fluktuatif. Abses peritonsil dapat mengakibatkan keadaan darurat seperti obstruksi jalan napas dan aspirasi pneumonia; sehingga diagnosis perlu ditegakkan sedini mungkin untuk memberikan terapi awal yang tepat. Modalitas tatalaksana awal adalah drainase abses dan pemberian antibiotik yang tepat.
11
DAFTAR PUSTAKA
1. Stedman J. Stedman’s Medical Dictionary. Philadelphia, USA: Lippincott Williams & Wilkins, 2006. 2. Rahn R. Quinsy (peritonsillar abscess). Can J Rural Med 2009; 14: 25 – 6. 3. Wanri A.
Tonsilektomi.
Palembang: Departemen Telinga, Hidung Dan Tenggorok,
Fakultas Kedokteran Universitas Sriwijaya; 2007. 4. Gosselin BJ, et al. Peritonsillar Abscess. Medscape [Internet]. 2016 [diakses 30 Mei 2017]. Tersedia di http://emedicine.medscape.com/article/194863-overview. 5. Johnson RF, Stewart MG. The contemporary approach to diagnosis and management of peritonsillar abscess. Curr Opin Otolaryngol Head Neck Surg. 2005 Jun. 13(3):157-60. 6. Lepelletier D, Pinaud V, Le Conte P, et al. Is there an association between prior antiinflammatory drug exposure and occurrence of peritonsillar abscess (PTA)? A national multicenter prospective observational case-control study. Eur J Clin Microbiol Infect Dis. 2017 Jan. 36 (1):57-63. 7. Galioto NJ. Peritonsillar Abscess. Am Fam Physician. 2008;77(2):199-202, 209. 8. Passy V. Pathogenesis of peritonsillar abscess. Laryngoscope. 1994; 104(2):185-190. 9. Brook I. Microbiology and management of peritonsillar, retropharyngeal, and parapharyngeal abscesses. J Oral Maxillofac Surg. 2004; 62(12):1545-1550. 10. Dhingra PL, Dhingra S. Diseases of Ear, Nose and Throat & Head and Neck Surgery 6th Ed. New Delhi: Elsevier; 2014. 11. Farmer S, Khatwa M, Zeitoun H. Peritonsillar abscess after tonsillectomy: a review of the literature. Annals of The Royal College of Surgeons of England. 2011;93(5):353-355. 12. Powell J, An evidence-based review of peritonsillar abscess. Clin Otolaryngol 2012; 37: 136 – 145. 13. Edinger JT, Hilal EY, Dastur KJ. Bilateral peritonsillar abscesses: a chall enging diagnosis. Ear, Nose, and Throat J 2007; 86(3):162 – 163. 14. Mehanna HM, Al-Bahnasawi L, White A. National audit of the management of peritonsillar abscess. Postgraduate Med J 2002; 78(923): 545 – 548. 15. Adams GL, Boies LR, Highler PA. Boies Fundamentals of Otolaryngology 6 th Edition. Philadelphia: W.B Saunders Company: 1989. 16. Soepardi EA, Iskandar N, Bashiruddin J. Buku Ajar Ilmu Kesehatan Telinga Hidung Tenggorok Kepala & Leher, 7th Edition. Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia; 2012. 12
17. Mazur E, Czerwinska E, Korona-Glowniak I, Grochowalska A, Koziol-Montewka M. Epidemiology, clinical history and microbiology of peritonsillar abscess. European Journal of Clinical Microbiology & Infectious Diseases. 2015;34(3):549-554. 18. Cunha BA. Infectious Mononucleosis. Medscape [Internet]. 2016 [diakses 30 Mei 2017]. Tersedia di http://emedicine.medscape.com/article/222040-overview.
13