REFERAT ABSES PERITONSIL
Disusun Oleh Stella Nadia Sura 112016339
Dokter Pembimbing dr. M. Roikhan Harowi, Sp.THT-KL, M.Kes
KEPANITERAAN KLINIK ILMU KESEHATAN TELINGA HIDUNG TENGGOROK RS PUSAT TNI AU dr. dr. ESNAW ESNAWAN ANTARIKSA
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS KRISTEN KRIDA WACANA PERIODE 28 AGUSTUS 2017 – 30 30 SEPTEMBER 2017
BAB I
PENDAHULUAN A. Landasan Teori
Abses peritonsil dapat terjadi pada umur 10-60 tahun, namun paling sering terjadi pada umur 20-40 tahun. Pada anak-anak jarang terjadi kecuali pada mereka yang menurun system imunnya, tapi infeksi bisa menyebabkan obstruksi jalan napas yang signifikan pada anak-anak. Bukti menunjukkan bahwa tonsillitis kronik atau percobaan multiple penggunaan antibiotik oral untuk tonsillitis akut merupakan predisposisi pada orang untuk b erkembangnya abses peritonsil. Di Amerika Amerika insiden tersebut kadang-kadang berkisar 30 kasus per 100.000 orang per tahun, dipertimbangkan hamper 45.000 kasus setiap tahun.1 Abses peritonsiler adalah penyakit infeksi yang paling sering terjadi pada bagian kepala dan leher. Gabungan dari bakteri aerobic dan anaerobic di daerah peritonsilar. Tempat yang bisa berpotensi terjadinya abses adalah adalah didaerah pilar tonsil anteroposterior, anteroposterior, fossa piriform inferior, dan palatum superior. Abses peritonsil terbentuk oleh karena penyebaran organisme bakteri penginfeksi tenggorokan kesalahsatu ruangan aereolar yang longgar disekitar faring menyebabkan pembentukan abses, dimana infeksi telah menembus kapsul tonsil tetapi tetap dalam batas otot konstriktor faring. Peritonsillar abscess (PTA) merupakan kumpulan/timbunan (accumulation) pus (nanah) yang terlokalisir/terbatas (localized) pada jaringan peritonsillar yang terbentuk sebagai hasil dari suppurative tonsillitis. Nyeri tenggorok dan demam yang disertai dengan terbatasnya gerakan membuka mulut dan leher harus dicurigai kemungkinan disebabkan oleh abses leher dalam. Abses leher dalam terbentuk di dalam ruang potensial di antara fasia leher dalam sebagai akibat penjalaran infeksi dari berbagai sumber, seperti sepe rti gigi, mulut, tenggorok, sinus paranasal, telinga tengah dan leher. Gejala dan tanda klinik biasanya berupa nyeri dan pembengkakan di ruang leher dalam yang terlibat. Kebanyakan kuman penyebab adalah golongan Streptococcus, Staphylococcus, kuman anaerob Bacteroides atau kuman campuran.1
BAB II PEMBAHASAN A. Anatomi Tonsil
Tonsilla lingualis, tonsilla palatina, tonsilla faringeal dan tonsilla tubaria membentuk cincin jaringan limfe pada pintu masuk saluran nafas dan saluran pencernaan. Cincin ini dikenal dengan nama cincin Waldeyer. Kumpulan jaringan ini melindungi anak terhadap infeksi melalui udara dan makanan. Jaringan limfe pada cincin Waldeyer menjadi hipertrofi fisiologis pada masa kanak-kanak, adenoid pada umur 3 tahun dan tonsil pada usia 5 tahun, dan kemudian menjadi atrofi
pada
pubertas.2
masa
Gambar 1. Anatomi Tonsil
Gambar 2 : Cincin Waldeyer
Tonsil palatina dan adenoid (tonsil faringeal) merupakan bagian terpenting dari cincin waldeyer. Jaringan limfoid lainnya yaitu tonsil lingual, pita lateral faring dan kelenjar-kelenjar limfoid. Kelenjar ini tersebar dalam fossa Rossenmuler, dibawah mukosa dinding faring posterior faring dan dekat orificium tuba eustachius (tonsil Gerlach’s). 2 Tonsilla palatina adalah dua massa jaringan limfoid berbentuk ovoid yang terletak pada dinding lateral orofaring dalam fossa tonsillaris. Tiap tonsilla ditutupi membran mukosa dan permukaan medialnya yang bebas menonjol kedalam faring. Permukaannya tampak berlubanglubang kecil yang berjalan ke dalam “Cryptae Tonsillares” yang berjumlah 6-20 kripta. Pada bagian atas permukaan medial tonsilla terdapat sebuah celah intratonsil dalam. Permukaan lateral tonsilla ditutupi selapis jaringan fibrosa yang disebut Capsula tonsilla palatina, terletak berdekatan dengan tonsilla lingualis. 2
Gambar 3. Tonsil Palatina Adapun struktur yang terdapat disekitar tonsilla palatina adalah : 1.
Anterior : arcus palatoglossus
2.
Posterior : arcus palatopharyngeus
3.
Superior : palatum mole
4.
Inferior : 1/3 posterior lidah
5.
Medial : ruang orofaring
6.
Lateral : kapsul dipisahkan oleh m. constrictor pharyngis superior.
A. carotis interna terletak 2,5 cm dibelakang dan lateral tonsilla.
Gambar 4. Anatomi normal Tonsil Palatina Adenoid atau tonsila faringeal adalah jaringan limfoepitelial berbentuk triangular yang terletak pada aspek posterior. Adenoid berbatasan dengan kavum nasi dan sinus paranasalis pada bagian anterior, kompleks tuba eustachius- telinga tengah- kavum mastoid pada bagian lateral. 3 Terbentuk sejak bulan ketiga hingga ketujuh embriogenesis. Adenoid akan terus bertumbuh hingga usia kurang lebih 6 tahun, setelah itu akan mengalami regresi. Adenoid telah menjadi tempat kolonisasi kuman sejak lahir. Ukuran adenoid beragam antara anak yang satu dengan yang lain. Umumnya ukuran maximum adenoid tercapai pada usia antara 3-7 tahun. Pembesaran yang terjadi selama usia kanak-kanak muncul sebagai respon multi antigen seperti virus, bakteri, alergen, makanan dan iritasi lingkungan. 3
Gambar 5. Adenoid Fossa tonsil atau sinus tonsil dibatasi oleh otot-otot orofaring, yaitu batas anterior adalah otot palatoglosus, batas lateral atau dinding luarnya adalah otot konstriktor faring superior. Pada bagian atas fossa tonsil terdapat ruangan yang disebut fossa supratonsil. Ruangan ini terjadi karena tonsil tidak mengisi penuh fossa tonsil.3
Pada bagian permukaan lateral dari tonsil tertutup oleh suatu membran jaringan ikat, yang disebut kapsul. Kapsul tonsil terbentuk dari fasia faringobasilar yang kemudian membentuk septa. 3 Plika anterior dan plika posterior bersatu di atas pada palatum mole. Ke arah bawah berpisah dan masuk ke jaringan di pangkal lidah dan dinding lateral faring. Plika triangularis atau plika retrotonsilaris atau plika transversalis terletak diantara pangkal lidah dengan bagian anterior kutub bawah tonsil dan merupakan serabut yang berasal dari otot palatofaringeus. Serabut ini dapat menjadi penyebab kesukaran saat pengangkatan tonsil dengan jerat. Komplikasi yang sering terjadi adalah terdapatnya sisa tonsil atau terpotongnya pangkal lidah.2 Vaskularisasi tonsil berasal dari cabang-cabang A. karotis eksterna yaitu A. maksilaris eksterna (A. fasialis) yang mempunyai cabang yaitu A. tonsilaris dan A. palatina asenden, A. maksilaris interna dengan cabang A. palatina desenden, serta A. lingualis dengan cabang A. lingualis dorsal, dan A. faringeal asenden. Arteri tonsilaris berjalan ke atas pada bagian luar m. konstriktor superior dan memberikan cabang untuk tonsil dan palatum mole. Arteri palatina asenden, mengirimkan cabang-cabangnya melalui m. konstriktor posterior menuju tonsil. Arteri faringeal asenden juga memberikan cabangnya ke tonsil melalui bagian luar m. konstriktor superior. Arteri lingualis dorsal naik ke pangkal lidah dan mengirim cabangnya ke tonsil, plika anterior dan plika posterior. Arteri palatina desenden atau a. palatina posterior atau "lesser palatine artery" memberi vaskularisasi tonsil dan palatum mole dari atas dan membentuk anastomosis dengan a. palatina asenden. Vena-vena dari tonsil membentuk pleksus yang bergabung dengan pleksus dari faring. 3
Gambar 6. Pendarahan Tonsil Infeksi dapat menuju ke semua bagian tubuh melalui perjalanan aliran getah bening. Aliran limfa dari daerah tonsil akan mengalir ke rangkaian getah bening servikal profunda atau disebut juga deep jugular node. Aliran getah bening selanjutnya menuju ke kelenjar toraks dan pada akhirnya ke duktus torasikus.
Innervasi tonsil bagian atas mendapat persarafan dari serabut saraf V melalui ganglion sphenopalatina dan bagian bawah tonsil berasal dari saraf glossofaringeus (N. IX). 3
Gambar 7. Sistem Limfatik kepala dan leher Lokasi tonsil sangat memungkinkan mendapat paparan benda asing dan patogen, selanjutnya membawa mentranspor ke sel limfoid. Aktivitas imunologi terbesar dari tonsil ditemukan pada usia 3 – 10 tahun. Pada usia lebih dari 60 tahun Ig-positif sel B dan sel T berkurang banyak sekali pada semua kompartemen tonsil. Secara sistematik proses imunologis di tonsil terbagi menjadi 3 kejadian yaitu respon imun tahap I, respon imun tahap II, dan migrasi limfosit. Pada respon imun tahap I terjadi ketika antigen memasuki orofaring mengenai epitel kripte yang merupakan kompartemen tonsil pertama sebagai barier imunologis. Sel M tidak hanya berperan mentranspor antigen melalui barier epitel tapi juga membentuk komparten mikro intraepitel spesifik yang membawa bersamaan dalam konsentrasi tinggi material asing, limfosit dan APC seperti makrofag dan sel dendritik.3 Respon imun tonsila palatina tahap kedua terjadi setelah antigen melalui epitel kripte dan mencapai daerah ekstrafolikular atau folikel limfoid. Adapun respon imun berikutnya berupa migrasi limfosit. Perjalanan limfosit dari penelitian didapat bahwa migrasi limfosit berlangsung terus menerus dari darah ke tonsil melalui HEV( high endothelial venules) dan kembali ke sirkulasi melalui limfe.
B. Imunologi Tonsil
Tonsil merupakan jaringan limfoid yang mengandung sel limfosit. Limfosit B membentuk kira-kira 50-60% dari limfosit tonsilar. Sedangkan limfosit T pada tonsil adalah
40% dan 3% lagi adalah sel plasma yang matang . Limfosit B berproliferasi di pusat germinal. Immunoglobulin (IgG, IgA, IgM, IgD), komponen komplemen, interferon, lisozim dan sitokin berakumulasi di jaringan tonsilar Sel limfoid yang immunoreaktif pada tonsil dijumpai pada 4 area yaitu epitel sel ret ikular, area ekstrafolikular, mantle zone pada folikel limfoid dan pusat germinal pada folikel limfoid.4 Tonsil merupakan organ limfatik sekunder yang diperlukan untuk diferensiasi dan proliferasi limfosit yang sudah disensitisasi. Tonsil mempunyai 2 fungsi utama yaitu: 1) menangkap dan mengumpulkan bahan asing dengan efektif 2) sebagai organ utama produksi antibodi dan sensit isasi sel limfosit T dengan antigen spesifik.
C. Definisi
Abses peritonsil adalah akumulasi pus lokal di jaringan peritonsil yang terbentuk sebagai akibat dari tonsilitis supuratif. Abses terbentuk pada kelompok kelenjar ludah di fosa supratonsilar, yang dikenal sebagai kelenjar Weber. Sarang akumulasi pus terletak antara kapsul tonsil palatina dan otot-otot konstriktor faring. Pilar anterior dan posterior, torus tubarius superior, dan sinus piriformis inferior membentuk ruang potensial peritonsil. Karena terdiri dari jaringan ikat longgar, infeksi parah pada daerah ini dapat mengakibatkan pembentukan materi purulen. Peradangan progresif dan pus dapat secara langsung mengenai palatum, dinding faring lateral, dan, dasar lidah.5 Abses peritonsil dapat terjadi pada umur 10-60 tahun, namun paling sering terjadi pada umur 20-40 tahun. Pada anak-anak jarang terjadi kecuali pada mereka yang menurun system immunnya, tapi infeksi bisa menyebabkan obstruksi jalan napas yang signifikan pada anak-anak. Infeksi ini memiliki proporsi yang sama antara laki-laki dan perempuan. Angka kejadian abses peritonsil juga tidak dipengaruhi oleh ras. Abses peritonsil biasanya merupakan komplikasi dari tonsilitis akut. Edema akibat inflamasi dapat mengakibatkan kesulitan menelan. Dehidrasi sekunder sering terjadi akibat pasien menghindari menelan makanan dan cairan. Perluasan abses dapat menyebabkan peradangan ke dalam kompartemen fasia yang berdekatan dengan kepala dan leher, sehingga
berpotensi menyebabkan obstruksi jalan napas.5
Gambar 8 . Abses peritonsil D. Etiologi
Abses peritonsil terjadi sebagai akibat komplikasi tonsilitis akut atau infeksi yang bersumber dari kelenjar mucus Weber di kutub atas tonsil. Biasanya kuman penyebabnya sama dengan kuman penyebab tonsilitis. Biasanya unilateral dan lebih sering pada anak-anak yang lebih tua dan dewasa muda. Abses peritonsiler disebabkan oleh organisme yang bersifat aerob maupun yang bersifat anaerob. Organisme aerob yang paling sering menyebabkan abses peritonsiler adalah Streptococcus pyogenes (Group A Beta-hemolitik streptoccus), Staphylococcus aureus, dan Haemophilus influenzae. Sedangkan organisme anaerob yang berperan adalah Fusobacterium. Prevotella, Porphyromonas, Fusobacterium, dan Peptostreptococcus spp. Untuk kebanyakan abses peritonsiler diduga disebabkan karena kombinasi antara o rganisme aerobik dan anaerobik.5
E. Epidemiologi
Abses peritonsiler dapat terjadi pada umur 10-60 tahun, namun paling sering terjadi pada umur 20-40 tahun. Pada anak-anak jarang terjadi kecuali pada mereka yang menurun sistem immunnya, tapi infeksi bisa menyebabkan obstruksi jalan napas yang signifikan pada anak-anak. Infeksi ini memiliki proporsi yang sama antara laki-laki dan perempuan. Bukti menunjukkan bahwa tonsilitis kronik atau percobaan multipel penggunaan antibiotik oral untuk tonsilitis akut merupakan predisposisi pada orang untuk berkembangnya abses peritonsiler. Di Amerika insiden
tersebut kadang-kadang berkisar 30 kasus per 100.000 orang per tahun, dipertimbangkan hampir 45.000 kasus setiap tahun. Abses leher dalam terbentuk dalam ruang potensial diantara fasia leher dalam sebagai akibat dari penjalaran infeksi dari berbagai sumber, seperti gigi, mulut, tenggorok, sinus paranasal, telinga tengah dan leher tergantung ruang mana yang terlibat. Gejala dan tanda klinik dapat berupa nyeri dan pembengkakan. Abses peritonsiler (Quinsy) merupakan salah satu dari Abses leher dalam dimana selain itu abses leher dalam dapat juga abses retrofaring, abses parafaring, abses submanidibula dan angina ludovici (Ludwig Angina).5 F. Patofisiologi
Abses peritonsil atau Quinsy adalah suatu infeksi akut dan berat di daerah orofaring. Abses peritonsil merupakan kumpulan pus yang terlokalisir pada jaringan peritonsil yang umumnya merupakan komplikasi dari tonsilitis akut berulang atau bentuk abses dari kelenjar Weber pada kutub atas tonsil. Infeksi yang terjadi akan menembus kapsul tonsil (umumnya pada kutub atas tonsil) dan meluas ke dalam ruang jaringan ikat di antara kapsul dan dinding posterior fosa tonsil. Perluasan infeksi dan abses ke daerah parafaring, sehingga terjadi abses parafaring. Lokasi infeksi abses peritonsil terjadi di jaringan peritonsil dan dapat menembus kapsul tonsil. Hal ini kemudian akan menyebabkan penumpukan pus atau pus meluas ke arah otot konstriktor faring superior menuju ruang parafaring dan retrofaring terdekat. Pada fosa tonsil ditemukan suatu kelompok kelenjar di ruang supra tonsil yang disebut kelenjar Weber . Fungsi kelenjarkelenjar ini adalah mengeluarkan cairan ludah ke dalam kripta-kripta tonsil, membantu untuk menghancurkan sisa-sisa makanan dan debris yang terperangkap di dalamnya lalu dievakuasi dan dicerna. Jika terjadi infeksi berulang, dapat terjadi gangguan pada proses tersebut lalu timbul sumbatan terhadap sekresi kelenjar Weber yang mengakibatkan terjadinya pembesaran kelenjar. Jika tidak diobati secara maksimal, akan terjadi infeksi berulang selulitis peritonsil atau infeksi kronis pada kelenjar Weber dan sistem saluran kelenjar tersebut akan membentuk pus sehingga menyebabkan terjadinya abses.6 Daerah superior dan lateral fosa tonsilaris merupakan jaringan ikat longgar, oleh karena itu infiltrasi supurasi ke ruang potensial peritonsil tersering menempati daerah ini, sehingga tampak palatum mole membengkak. Walaupun sangat jarang, abses peritonsil dapat terbentuk di bagian inferior. Pada stadium permulaan (Stadium infiltrat), selain pembengkakan tampak permukaannya hiperemis. Bila proses berlanjut, terjadi supurasi sehingga daerah tersebut lebih
lunak. Pembengkakan peritonsil akan mendorong tonsil dan uvula ke arah kontralateral. Bila proses berlangsung terus, peradangan jaringan di sekitarnya akan menyebabkan iritasi pada M. Pterigoid interna, sehingga timbul trismus. Abses dapat pecah spontan, mungkin dapat terjadi aspirasi ke paru.7
G. Gejala klinis
Pasien abses peritonsil biasanya datang ke klinik dengan keluhan utama nyeri menelan (odinofagia). Selain itu pasien juga mengeluhkan demam, lemah, lesu serta nyeri kepala. Pada kasus yang agak berat, terdapat sulit menelan (disfagia), nyeri alih ke telinga pada sisi terbentuknya abses peritonsil, saliva yang meningkat, serta trismus. Pembengkakan peritonsil mengganggu artikulasi sehingga pasien sulit berbicara dan mengakibatkan suara gumam (hot potato voice). Inspeksi
terperinci
pada
daerah
yang
membengkak
mungkin
sulit
karena
ketidakmampuan pasien membuka mulut. Pemeriksaan mulut dengan menggunakan spatula lidah menyebabkan pasien merasa tidak nyaman dan ada rasa ingin muntah. Diagnosis sering hampir pasti dapat ditegakkan bila pemeriksa melihat pembengkakan peritonsil yang luas, mendorong uvula melewati garis tengah, dengan edema dari palatum molle. Tonsil sendiri dapat terlihat bengkak, hiperemis, dan mungkin banyak detritus. Tonsil juga dapat terdorong ke arah medial, depan, ataupun bawah.8
H. Diagnosis
Diagnosis ditegakkan dari anamnesis, pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan penunjang. a. Anamnesis Informasi dari pasien sangat diperlukan untuk menegakkan d iagnosis abses peritonsil. Adanya riwayat pasien mengalami nyeri pada tenggorokan adalah salah satu yang mengdukung terjadinya abses peritonsil. Riwayat adanya faringitis akut dan tonsillitis dan rasa kurang nyaman pada pharyngeal unilateral. b. Pemeriksaan fisik Pada pemeriksaan fisik ditemukan tonsillitis akut dengan asimetri faring. Inspeksi terperinci daerah yang membengkak mungkin sulit karena ketidakmampuan pasien membuka mulut. Didapatkan pembesaran dan nteri tekan pada kelenjar regional. Pada
pemeriksaan kavum oral didapatkan hiperemis. Tonsil hiperemis, eksudasi, dan banyak detritus dan terdorong kearah tengah, depan, dan bawah. Uvula bengkak dan terdorong ke sisi kontralateral. Abses peritonsil biasanya unilateral dan terletak di pole superior dari tonsil yang terkena di fossa supratonsiler. Mukosa dilipatan supratonsiler tamoak pucat dan bahkan seperti berbintil-bintil kecil. Diagnosis jarang diragukan jika pemeriksa melihat pembengkakan peritonsilaris yang luas, mendorong uvula melewati garis tengah, dengan edema dari palatum mole dan penonjolan jaringan dari garis tengah.9 asimetri palatum mole, tampak membengkak dan menonjol kedepan, serta pada palpasi palatum mole teraba fluktuasi. c. Pemeriksaan penunjang Nasofaringoskopi dan laringoskopi fleksibel direkomendasikan untuk penderita yang mengalami gangguan pernafasan. Gold standart pemeriksaan yaitu dengan melakukan aspirasi jarum (needle aspration). Tempat yang akan dilakukan aspirasi di anestesi dengan menggunakan lidokain atau epinefrin dengan menggunakan jarum berukuran 16-18 yang biasa menempel pada syringe berukuran 10 cc. Aspirasi material yang purulen merupakan tanda khas, dan material dapat dikirim untuk dibuat biakannya sehingga dapat diketahui organisme penyebab infeksi demi kepentingan terapi antibiotika. Pada penderita abses peritonsil perlu dilakukan pemeriksaan:
Hitung darah lengkap (complete blood count ), pengukuran kadar elektrolit (electrolyte level measurement ), dan kultur darah (blood cultures).
Tes Monospot (antibodi heterophile) perlu dilakukan pada pasien dengan tonsillitis dan bilateral cervical lymphadenopathy. Jika hasilnya positif, penderita memerlukan evaluasi/penilaian hepatosplenomegaly. Liver function tests perlu dilakukan pada penderita dengan hepatomegaly.
Throat culture atau throat swab and culture diperlukan untuk identifikasi organisme yang infeksius. Hasilnya dapat digunakan untuk pemilihan antibiotik yang tepat dan efektif, untuk mencegah timbulnya resistensi antibiotik.
Plain radiographs adalah foto pandangan jaringan lunak lateral ( Lateral soft tissue views) dari nasopharyng dan oropharyng dapat membantu dokter dalam menyingkirkan diagnosis abses retropharyngeal.
Gambar 9. Foto lateral soft tissue dengan gambaran abses peritonsil 10
Computerized tomography (CT scan) biasanya tampak kumpulan cairan hypodense di apex tonsil yang terinfeksi menandakan adanya cairan pada tonsil yang terkena disamping itu juga dapat dilihat pembesaran yang asimetris pada tonsil. Pemeriksaan ini dapat membantu untuk rencana operasi.
Gambar 10. CT Scan dari Abses peritonsil dextra 10
Peripheral Rim Enhancement Ultrasound , contohnya: intraoral ultrasonography. Intraoral ultrasonografi mempunyai sensifitas 95,2 % dan spesifitas 78,5 %. Transcutaneous ultrasonografi mempunyai sensifitas 80% dan spesifisitas 92,8 %. merupakan teknik yang simple dan noninvasif dan dapat membantu dalam membedakan antara selulitis dan awal dari abses. Pemeriksaan ini juga bias menentukan pilihan yang lebih terarah sebelum melakukan operasi dan drainase secara pasti.
Gambar 11. Ultrasonografi dari abses peritonsil 10 I. Diagnosis banding
1. Abses retrofaring 2. Abses parafaring 3. Abses submandibula 4. Angina ludovici Abses perintonsil dapat didiagnosis banding dengan penyakit-penyakit abses leher dalam lainnya yang disebutkan diatas. Hal ini karena pada semua penyakit abses leher dalam , nyeri tenggorokan, demam, serta terbatasnya gerakan membuka mulut merupakan keluhan yang diperlukan anamnesis dan pemeriksaan fisik yang
cermat.11
J. Terapi
Meskipun fakta menunjukkan bahwa abses peritonsil merupakan komplikasi tersering dari tonsillitis akut, penatalaksanaan dari abses peritonsil masih controversial. Penatalaksanaan yang umum dikenal untuk abses peritonsil adalah insisi, drainase dan terapi antibiotika, diikuti oleh tonsilektomi beberapa minggu kemudian. Dikutip dari Badran, Herzon menyatakan bahwa aspirasi jarum saja dapat digunakan sebagai drainase prosedur pembedahan awal karena tingkat resolusi dengan teknik ini adalah 9496%. Pada 54% kasus abses peritonsil, penanganannya menggunakan teknik insisi dan drainase, 32% digunakan jarum aspirasi, dan 14% dilakukan tonsilektomi. Sebelum jaman antibiotika dikenal pada akhir 1930-an dan awal 1940-an, beberapa tipe pembedahan telah digunakan pada sebagian besar infeksi abses peritonsil.12 a. Terapi antibiotika
Salah satu faktor yang masih merupakan kontroversi dalam penanganan abses peritonsil adalah pemilihan terapi antibiotika sebelum dan sesudah pembedahan. Antibiotika pada gejala awal diberikan dalam dosis tinggi disertai obat simptomatik, kumur-kumur dengan cairan hangat dan kompres hangat pada leher (mengendurkan tegangan otot). Dengan mengutamakan pemeriksaan kultur dan sensitifitas, pemberian terapi antibiotika ditunjukkan pada jenis bakteri mana yang lebih banyak muncul. Penisilin dan sefalosporin (generasi pertama, kedua, atau ketiga) biasanya merupakan obat pilihan. Penisilin dalam dosis tinggi sebagai obat pilihan diberikan dengan mempertimbangkan kontra indikasi seperti alergi atau timbulnya kemungkinan adanya reaksi koagulasi organisme. Penisilin dapat digunakan pada penderita abses peritonsil yang diperkirakan disebabkan oleh kuman Staphylococcus. Metronidazol merupakan antimikroba yang sangat baik untuk infeksi anaerob. Tetrasiklin merupakan antibiotika alternatif yang sangat baik bagi orang dewasa, meskipun klindamisin saat ini dipertimbangkan sebagai
antibiotik pilihan untuk menangani bakteri yang memproduksi beta laktamase. Penting untuk dicatat bahwa memberikan antibiotika intravena pada penderita abses peritonsil yang dirawat inap belakangan ini sudah kurang umum digunakan.12 b. Insisi dan drainase
Abses peritonsil merupakan suatu indikasi tindakan yang juga disebut intraoral drainase. Tujuan utama tindakan ini adalah mendapatkan drainase abses yang adekuat dan terlokalisir secara cepat. Lokasi insisi biasanya dapat diidentifikasi pada pembengkakan di daerah pilar-pilar tonsil atau dipalpasi pada daerah paling berfluktuasi. Teknik insisi , pada penderita yang memerlukan anastesi umum, posisi penderita
saat
tindakan
adalah
kepala
lebih
rendah
(trendelenberg )
menggunakan
ETT
( Endotrakeal tube). Anestesi topical dapat berupa xylocaine spray atau menggunakan lidokain 4-5% atau tetrakain 2% untuk mencegah keterlibatan jaringan tonsil yang lain. Lokasi insisi biasanya dapat diidentifikasi pada pembengkakan di daerah pilar-pilar tonsil atau dipalpasi pada daerah yang paling fluktuatif, pada titik yang terletak dua pertiga dari garis khayal yang dibuat antara dasar uvula dengan molar terakhir, pada pertengahan garis horizontal antara pertengahan basis uvula dan M3 atas, pada pertemuan garis vertikal melalui titik potong pinggir medial pilar anterior dengan lidah dengan garis horizontal melalui basis uvula, pada pertemuan garis vertikal melalui pinggir medial M3 bawah dengan garis horizontal melalui basis uvula. Insisi diperdalam dengan klem dan pus yang keluar langsung dihisap dengan menggunakan alat penghisap. Tindakan ini (menghisap pus) penting dilakukan untuk mencegah aspirasi yang dapat mengakibatkan timbulnya pneumonitis. Biasanya bila insisi yang dibuat tidak cukup dalam, harus lebih dibuka lagi dan diperbesar. Setelah cukup banyak pus yang keluar dan lubang insisi yang cukup besar, penderita kemudian disuruh berkumur dengan antiseptic dan diberi terapi an tibiotika.12
Gambar 12. Teknik insisi Drainase dengan aspirasi jarum , model terapi abses peritonsil yang digunakan
sampai saat ini, pertama insisi dan drainase serta yang kedua tonsilektomi. Saat ini ada beberapa penelitian yang mendiskusikan tentang aspirasi menggunakan jarum sebagai salah satu terapi bedah pada abses peritonsil. Beberapa keuntungan dari evaluasi penatalaksanaan aspirasi jarum dibanding insisi dan drainase adalah:
Mudah untuk dilakukan, sederhana, aman, dan murah
Dapat digunakan untuk konfirmasi diagnosis dengan trauma minimal (yang biasanya dapat dilakukan sebelum insisi dan drainase)
Dapat ditoleransi (ditahan) oleh penderita/ tidak menakutkan
Tidak/ kurang mencederai struktur jaringan sekitar
Lebih memudahkan untuk mengumpulkan spesimen/ pus guna pemeriksaan mikroskopis dan tes kultur/ sensitifitas
Memberikan penyembuhan segera, mengurangi kesakitan
Mencegah prosedur bedah dan anestesi umum
Merupakan prosedur yang dapat dipercaya untuk abses peritonsil
Kerugian terapi dengan drainase dengan aspirasi jarum adalah:
Bila pus terkumpul kembali dapat menyebabkan infeksi yang berulang
Tidak dapat melakukan pembersihan kantung pus secara maksimal
Pus yang tersisa tidak maksimal keluar sehingga dapat menyebabkan proses
penyembuhan lama.12
Gambar 13. Tindakan aspirasi abses peritonsil
c. Tonsilektomi
Tindakan pembedahan pada abses peritonsil merupakan topik yang kontroversial sejak beberapa abad. Filosofi dari tindakan tonsilektomi pada abses peritonsil adalah karena berdasarkan pemikiran bahwa kekambuhan pada penderita abses peritonsil terjadi cukup banyak sehingga tindakan pengangkatan kedua tonsil ini dilakukan untuk memastikan tidak terjadinya kekambuhan. Waktu pelaksanaan tonsilektomi sebagai terapi abses peritonsil, bervariasi:
Tonsilektomi a chaud : dilakukan segera/ bersamaan dengan drainase abses
Tonsilektomi a tiede: dilakukan 3-4 hari setelah insisi dan drainase
Tonsilektomi a froid : dilakukan 4-6 minggu setelah drainase
Tonsilektomi merupakan penanganan yang terbaik untuk mencegah rekurensi abses peritonsil. Pada masa lalu, orang berpendapat operasi harus dilakukan 2-3 minggu setelah infeksi akut berkurang. Tetapi setalah 2-3 minggu, menimbulkan bekas luka yang terdapat pada kapsul tonsil, sehingga tindakan operasi sulit dan menimbulkan perdarahan serta sisa tonsil.
Saat ini tampaknya dibenarkan bahwa tonsilektomi pada abses peritonsil dilakukan dalam anestesi umum, melalui tonsilektomi secara diseksi dan dalam perlindungan terapi antibiotika adalah suatu operasi yang memberikan resiko yang sama dengan tonsilektomi abses pada fase tenang (cold tonsillectomy). Beberapa keuntungan dari tonsilektomi segera pada abses peritonsil adalah:
Penanganan penderita dilakukan dalam satu tahap pada saat sakit
Memberikan drainase pus yang lengkap
Mengurangi kesulitan tonsilektomi selang waktu yang kadang-kadang timbul
Mengurangi waktu perawatan (bila penderita dirawat inap di rumah sakit)
Mengurangi rasa sakit dengan segera dan menghilangkan perasaan tidak enak mengalami prosedur yang lain (insisi dan drainase)
Beberapa kerugian tindakan tonsilektomi segera pada abses peritonsi adalah:
Dapat terjadinya perdarahan pada saat tindakan tonsilektomi
Dapat terjadi thrombosis, sinus kavernosus, aspirasi paru, dan meningitis
Indikasi tonsilektomi segera, yaitu:
Abses peritonsil yang tidak dapat diinsisi dan drainase karena trismus atau abses yang berlokasi di kutub bawah
Abses peritonsil yang meluas dari hipofaring ke daerah parafaring, dengan resiko meluas ke daerah leher dalam
Penderita dengan DM yang memerlukan toleransi terhadap terapi berbagai antibiotika
Penderita diatas 50 tahun dengan tonsil-tonsil yang melekat karena abses akan sangat mudah meluas ke daerah leher dalam.12
Gambar 14. Tonsilektomi
2.9 Komplikasi Komplikasi yang mungkin terjadi ialah : 1. Abses pecah spontan, dapat mengakibatkan perdarahan, aspirasi paru atau piemia. 2. Penjalaran infeksi dan abses ke daerah parafaring, sehingga terjadi abses parafaring. Pada penjalaran selanjutnya, masuk ke mediastinum sehingga terjadi mediastinitis. 3. Bila terjadi penjalaran ke daerah intrakranial, dapat mengakibatkan trombus sinus kavernosus, meningitis, dan abses otak. 4. Kematian walaupun jarang dapat terjadi akibat perdarahan atau nekrosis septik ke selubung karotis atau carotid sheat. 5. Peritonsilitis kronis dengan aliran pus yang berjeda. 6. Akibat tindakan insisi pada abses, terjadi perdarahan pada arteri supratonsilar. Sejumlah komplikasi klinis lainnya dapat terjadi jika d iagnosis abses peritonsil diabaikan. Beratnya komplikasi tergantung dari kecepatan progresi penyakit. Untuk itulah diperlukan penanganan dan intervensi sejak dini.
K. Prognosis
Abses peritonsil merupakan penyakit yang jarang menyebabkan kematian kecuali jika terjadi komplikasi berupa abses pecah spontan dan menyebabkan aspirasi ke paru. Selain itu komplikasi ke intracranial juga dapat membahayakan nyawa pasien. Abses peritonsil hampir selalu berulang bila tidak diikuti dengan tonsilektomi, maka perlu dilakukan tonsilektomi pada pasien abses peritonsil. Tonsilektomi sebaiknya dilakukan pada saat peradangan telah mereda, biasanya terdapat jaringan fibrosa dan granulasi pada saat operasi.13
BAB III KESIMPULAN
Abses peritonsil merupakan kumpulan atau timbunan nanah (pus) yang terlokalisir/ terbatas pada jaringan peritonsilar yang terbentuk seba gai hasil dari supuratif tonsilitis. Gejala klinis meliputi odinofagia (nyeri menelan) yang hebat, biasanya pada sisi yang sama juga dan nyeri telinga (otalgia), muntah (regurgitasi), mulut berbau, banyak ludah (hipersalivasi), suara sengau, dan kadang-kadang sukar membuka mulut (trismus), Abses peritonsil hampir selalu berulang bila tidak diikuti dengan tonsilektomi. Pada pemeriksaan fisik, didapatkan tonsilitis akut dengan asimetri faring sampai dehidrasi dan sepsis. Didapatkan pembesaran dan nyeri tekan pada kelenjar regional. Pada pemeriksaan kavum oral terdapat eritema, asimetri palatum mole, eksudasi tonsil, dan pergeseran uvula kontralateral. Beberapa macam terapi yang selama ini dikenal adalah pemberian antibiotika dosis tinggi dan obat simptomatik, pungsi dan aspirasi disertai antibiotik parenteral, insisi, dan tonsilektomi.
DAFTAR PUSTAKA
1. Adrianto, Petrus. Penyakit Telinga, Hidung dan Tenggorokan. Dalam: Adrianto, Petrus. Buku ajar penyakit telinga, hidung, dan tenggorok. Edisi ke-2. Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC;2003.h.296-302. 2. Efiaty, Soepardi. Anantomi Tonsil. Buku Ajar Ilmu Kesehatan Telinga Hidung Tenggorok Kepala Leher, Edisi 5, FKUI, Jakarta.2001. 3. Ballenger JJ.Anatomi Telinga, Hidung,Tenggorok, Kepala, dan Leher. Buku Ajar Ilmu Kesehatan Telinga Hidung Tenggorok Kepala Leher, Edisi 5, FKUI,Jakarta.2001. 4. Mansjoer, Arif.. Anantomi Tonsil. Kapita Selekta Kedokteran Edisi 3. FKUI. Jakarta.2008. 5. Adrianto, Petrus. Penyakit telinga, hidung dan tenggorokan. Jakarta: EGC; 2003 6. Adams GL. Penyakit-penyakit nasofaring dan orofaring. Dalam: Adams GL, Boeis LR, Hilger PA, ed. Buku ajar penyakit telinga hidung tenggorok. Edisi ke-3. Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC;2003.h.333-40. 7. Fachruddin D. Abses leher dalam. Dalam: Soepardi EA, Iskandar N, Bashirudin J, Restuti RD, ed. Buku ajar ilmu kesehatan telinga, hidung, tenggorok, kepala dan leher. Edisi ke6. Jakarta: Badan Penerbit FKUI;2011.h.226-30. 8. Soepardi EA, Iskandar N, Bashiruddin J, Restuti RD. Buku ajar ilmu kesehatan telinga, hidung, tenggorok, dan kepala. Jakarta: FKUI; 2007. 9. Budapest Student. The Waldeyer’s Ring. Available at: http://www.tulip.ccny.cuny.edu . Accessed on September 11th, 2017. 10. Staff. Palatine Tonsil . Available at: http://www.webmd.com . Accessed on September 11th, 2017. 11. Efiaty AS, Nurbaiti I, Jenny B, Ratna DR . Buku Ajar Ilmu Kesehatan: Telinga, Hidung, Tenggorok, Kepala, dan Leher. Edisi IV. Jakarta: Balai Penerbit FKUI. 2007. 12. Braude DA, Shalit M. A novel approach to enchance visualization during drainage of peritonsillar abscess. The Journal of Emergency Medicine; 2007 13. Soepardi EA, Iskandar N, Bashiruddin J, Restuti RD. Buku ajar ilmu kesehatan telinga, hidung, tenggorok, dan kepala. Jakarta: FKUI; 2007