Anatomi Fisiologi Paru Paru-paru merupakan alat pernapasan utama. Paru-paru terletak sedemikian rupa sehingga setiap paru-paru berada di samping mediastinum. Oleh karenanya, masing-masing paru-paru dipisahkan satu sama lain oleh jantung dan pembuluhpembuluh besar serta struktur-struktur lain dalam mediastinum. Masing-masing paruparu berbentuk konus dan diliputi oleh pleura viseralis. Paru-paru terbenam bebas dalam rongga pleuranya sendiri, dan hanya dilekatkan ke mediastinum oleh radiks pulmonalis. Masing-masing paru-paru mempunyai apeks yang tumpul, menjorok ke atas dan masuk ke leher sekitar 2,5 cm di atas klavikula. Di pertengahan permukaan medial, terdapat hilus pulmonalis, suatu lekukan tempat masuknya bronkus, pembuluh darah dan saraf ke paru-paru untuk membentuk radiks pulmonalis. Paru-paru kanan sedikit lebih besar dari paru-paru kiri dan dibagi oleh fisura oblikua dan fisura horisontalis menjadi 3 lobus, yaitu lobus superior, medius dan inferior. Sedangkan paru-paru kiri dibagi oleh fisura oblikua menjadi 2 lobus, yaitu lobus superior dan inferior. Paru – Paru –paru paru berasal dari titik tumbuh yang muncul dari pharynx , yang bercabang dan kemudian bercabang kembali membentuk struktur percabangan bronkus. Proses ini terus berlanjut terus berlanjut setelah kelahiran hingga sekitar usia 8 tahun sampai jumlah bronkiolus dan alveolus alveolus akan sepenuhnya sepenuhnya berkembang, berkembang, walaupun janin memperlihatkan adanya bukti gerakan nafas sepanjang trimester kedua dan ketiga. Ketidak matangan paru – paru –paru paru akan mengurangi peluang kelangsungan hidup bayi baru lahir sebelum usia24 minggu yang disebabkan oleh keterbatasan permukaan alveolus, ketidakmatangan ketidakmatangan sistem kapiler paru –paru –paru dan tidak mencukupinya jumlah surfaktan. Upaya pernapasan pertama seorang bayi berfungsi untuk: 1.
Mengeluarkan cairan dalam paru.
2.
Mengembangkan jaringan alveolus paru –paru –paru untuk pertama kali.
Agar alveolus daoat berfungsi, harus terdapat surfaktan yang cukup dan aliran darah ke paru- paru. Produksi surfaktan dimulai pada 20 minggu kehamilan dan jumlahnya akan meningkat sampai paru- paru matang sekitar 30 -34 minggu kehamilan. Surfaktan ini mengurangi tekanan permukaan paru dan membantu untuk menstabilkan dinding
alveolus sehingga tidak kolaps pada akhir pernapasan. Tanpa surfaktan alveoli akan kolaps setiap saat setelah akhir setiap pernapasan, yang menyebabkan sulit bernapas. Peningkatan kebutuhan energi ini memerlukan penggunaan lebih banyak oksigen dan glukosa. Berbagai peningkatan ini menyebabkan steress pada bayi yang sebelumnya sudah terganggu t erganggu.. Pada bayi cukup bulan, mempunyai cairan di dalam paru –parunya. –parunya. Pada saat bayi melalui jalan lahir selama persalinan, sekitar sepertiga cairan ini diperas keluar dari paru –paru. –paru. Pada bayi yang dilahirkan melalui seksio sesaria kehilangan keuntungan dari kompresi rongga dada dapat menderita paru- paru basah dalam jangka waktu lebih lebih lama. Dengan sisa sisa cairan di dalam dalam paru – paru –paru paru dikeluarkan dari paru dan diserap oleh pembulu limfe dan darah. Semua alveolus paru –paru –paru akan berkembang terisi udara sesuai dengan perjalanan waktu.
1. Definisi Respiratory Distress Syndrome ( RDS ) adalah perkembangan yang imatur pada system pernafasan atau tidak kuatnya jumlah surfaktan dalam paru. RDS dikatakan sebagai hyaline membrane disease (HMD). Sindrom ini paling banyak ditemukan pada BBLR terutama yang lahir pada masa gestasi < 28 minggu. Penyebab terbanyak RDS adalah penyakit membran hialin (PMH) yang terjadi akibat kekurangan surfaktan. Kelainan paru ini membawa akibat pada sistem kardiovaskular seperti terjadinya pengisian ventrikel kiri yang menurun, penurunan isi sekuncup, curah jantung yang menurun, bahkan dapat terjadi hipotensi sampai syok. Resistensi pembuluh darah paru yang meningkat dapat menimbulkan hipertensi pulmonal persisten. Pada bayi yang sembuh dari PMH dapat terjadi duktus arteriosus persisten (DAP). Respiratory distress syndrome (RDS) atau Sindroma Gawat Nafas (SGN) tipe 1, yaitu gawat napas yang umumnya terjadi pada bayi kurang bulan yang terjadi segera atau beberapa saat setelah lahir, ditandai adanya kesukaran bernafas, (pernafasan cuping hidung, grunting, tipe pernapasan dispnea / takipnea, retraksi dada, dan sianosis) yang menetap atau menjadi progresif dalam 48 – 48 – 96 96 jam pertama kehidupan. Penyebabnya adalah kurangnya surfaktan. Gagal nafas dapat didiagnosa dengan analisis gas darah. Edema sering didapatkan pada hari ke-2, disebabkan oleh retensi cairan dan kebocoran kapiler.
2. Etiologi Pembentukan paru dan surfaktan Pembentukan paru dimulai pada kehamilan 3 - 4 minggu dengan terbentuknya trakea dari esofagus. Pada 24 minggu terbentuk rongga udara yang terminal termasuk epitel dan kapiler, serta diferensiasi pneumosit tipe I dan II. Sejak saat ini pertukaran gas dapat terjadi namun jarak antara kapiler dan rongga udara masih 2 -3 kali lebih lebar dibanding pada dewasa. Setelah 30 minggu terjadi pembentukan bronkiolus terminal, dengan pembentukan alveoli sejak 32 – 34 minggu. 2 Surfaktan muncul pada paru-paru janin mulai usia kehamilan 20 minggu tapi belum mencapai permukaan paru. Muncul pada cairan amnion antara 28-32 minggu. Level yang matur baru muncul setelah 35 minggu kehamilan. Surfaktan mengurangi tegangan permukaan pada rongga alveoli, memfasilitasi ekspansi
paru dan mencegah kolapsnya alveoli selama ekspirasi. Selain itu dapat pula mencegah edema paru serta berperan pada sistem pertahanan terhadap infeksi. Komponen utama surfaktan adalah Dipalmitylphosphatidylcholine (lecithin) – 80 %, phosphatidylglycerol – 7 %, phosphatidylethanolamine – 3 %, apoprotein (surfactant protein A, B, C, D) dan cholesterol . Dengan bertambahnya usia kehamilan, bertambah pula produksi fosfolipid dan penyimpanannya pada sel alveolar tipe II. Protein merupakan 10 % dari surfaktan., fungsinya adalah memfasilitasi pembentukan film fosfolipid pada perbatasan udara-cairan di alveolus, dan ikut serta dalam proses perombakan surfaktan. 2
Gambar 1. Metabolisme surfaktan Sumber : www.ttuhsc.edu Surfaktan disintesa dari prekursor di retikulum endoplasma dan dikirim ke aparatus Golgi melalui badan multivesikular. Komponen-komponennya tersusun dalam badan lamelar, yaitu penyimpanan intrasel berbentuk granul sebelum surfaktan disekresikan. Setelah disekresikan (eksositosis) ke perbatasan cairan alveolus, fosfolipid-fosfolipid surfaktan disusun menjadi struktur kompleks yang disebut mielin tubular. Mielin tubular menciptakan fosfolipid yang menghasilkan materi yang melapisi perbatasan cairan dan udara di alveolus, yang menurunkan tegangan permukaan. Kemudian surfaktan dipecah, dan fosfolipid serta protein dibawa kembali ke sel tipe II, dalam bentuk vesikel-vesikel kecil , melalui jalur spesifik yang melibatkan endosom dan ditransportasikan untuk disimpan sebagai badan lamelar untuk didaur ulang. Beberapa surfaktan juga dibawa oleh makrofag alveolar . Satu kali transit dari fosfolipid melalui lumen alveoli biasanya membutuhkan beberapa jam. Fosfolipid dalam lumen dibawa kembali ke sel tipe II
dan digunakan kembali 10 kali sebelum didegradasi. Protein surfaktan disintesa sebagai poliribosom dan dimodifikasi secara ekstensif di retikulum endoplasma, aparatus Golgi dan badan multivesikular. Protein surfaktan dideteksi dalam badan lamelar sebelum surfaktan disekresikan ke alveolus. 2 Kegagalan
mengembangkan functional
residual
capacity (FRC)
dan
kecenderungan dari paru yang terkena untuk mengalami atelektasis berhubungan dengan tingginya tegangan permukaan dan absennya phosphatydilglycerol, phosphatydilinositol,
phosphatydilserin,
phosphatydilethanolamine
dan
sphingomyelin. Pembentukan surfaktan dipengaruhi pH normal, suhu dan perfusi. Asfiksia, hipoksemia, dan iskemia pulmonal; yang terjadi akibat hipovolemia, hipotensi dan stress dingin; menghambat pembentukan surfaktan. Epitel yang melapisi paruparu juga dapat rusak akibat konsentrasi oksigen yang tinggi dan efek pengaturan respirasi, mengakibatkan semakin berkurangnya surfaktan. 2,3 3. Patofisiologi (terlampir) 4. Manifestasi Klinis Tanda dari RDS biasanya muncul beberapa menit sesudah lahir, namun biasanya baru diketahui beberapa jam kemudian di mana pernafasan menjadi cepat dan dangkal (60x /menit).Bila didapatkan onset takipnea yang terlambat harus dipikirkan penyakit lain. Beberapa pasien membutuhkan resusitasi saat lahir akibat asfiksia intrapartum atau distres pernafasan awal yang berat (bila berat badan lahir sangat rendah). 2,3 Biasanya ditemukan takipnea, grunting, retraksi interkostal dan subkostal, dan pernafasan cuping hidung. Sianosis meningkat, yang biasanya tidak responsif terhadap oksigen. Suara nafas dapat normal atau hilang dengan kualitas tubular yang kasar, dan pada inspirasi dalam dapat terdengan ronkhi basah halus, terutama pada basis paru posterior. Terjadi perburukan yang progresif dari sianosis dan dyspnea. 2,3 Bila tidak diterapi dengan baik, tekanan darah dan suhu tubuh akan turun, terjadi peningkatan sianosis, lemah dan pucat, grunting berkurang atau hilang seiring memburuknya penyakit.apnea dan pernafasan iregular muncul saat bayi lelah, dan merupakan tanda perlunya intervensi segera. 2,3 Dapat juga ditemukan gabungan dengan asidosis metabolik, edema, ileus, dan oliguria. Tanda asfiksia sekunder dari apnea atau kegagalan respirasi muncul
bila ada progresi yang cepat dari penyakit. Kondisi ini jarang menyebakan kematian pada bayi dengan kasus berat. Tapi pada kasus ringan, tanda dan gejala mencapai puncak dalam 3 hari. Setelah periode inisial tersebut, bila tidak timbul komplikasi, keadaan respirasi mulai membaik. Bayi yang lahir pada 32 – 33 minggu
kehamilan,
fungsi
paru
akan
kembali
normal
dalam
1
minggu
kehidupan. Pada bayi lebih kecil (usia kehamilan 26 – 28 minggu) biasanya memerlukan ventilasi mekanik. 2 Perbaikan ditandai dengan diuresis spontan, dan kemampuan oksigenasi pada kadar oksigen lebih rendah. Kematian jarang terjadi pada 1 hari pertama, biasanya terjadi pada hari kedua sampai ketujuh, sehubungan dengan adanya kebocoran udara alveoli (emfisema interstitial, pneumothorax) perdarahan paru atau intraventrikular. 2 Kematian dapat terjadi setelah beberapa minggu atau bulan bila terjadi bronchopulmonary displasia (BPD) pada penderita dengan ventilasi mekanik (RDS berat).2
GEJALA KLINIS Bayi kurang bulan (Dubowitz atau New Ballard Score) disertai adanya takipneu (>60x/menit), retraksi kostal, sianosis yang menetap atau progresif setelah 48-72 jam pertama kehidupan, hipotensi, hipotermia, edema perifer, edema paru, ronki halus inspiratoir. Manifestasi klinis berupa distress pernafasan dapat dinilai dengan Silverman Score.
Gambar 2. Silverman score Sumber : Silverman W, Anderson D. Pediatrics 17:1, 1956. American Academy of Pediatrics. Score 10 = Severe respiratory distress Score ≥ 7 = Impending respiratory failure Score 0
= No respiratory distress
Tabel 1. Evaluasi Gawat Napas dengan skor Downes
Pemeriksaan Frekuensi nafas Retraksi Sianosis
0 < 60 kali/menit Tidak ada Tidak ada
Air entry
Udara masuk, suara nafas dikedua paru : baik
Merintih
Tidak merintih
Skor 1 60-80 ali/menit Retraksi ringan Sianosis hilang dengan O2 Penurunan ringan udara masuk, suara nafas dikedua paru : menurun Dapat didengar dengan stetoskop
2 >80 kali/menit Retraksi berat Sianosis menetap walaupun diberi O 2 Tidak ada udara masuk, tidak ada suara nafas dikedua paru Dapat di dengar tanpa alat bantu
Sumber : Mathai S, Raju C, Kanitkar C. Management of respiratory distress in the newborn. MJAFI. 2007;63(269-72).
Keterangan : 1-3 Sesak nafas ringan Headbox (oxyhood) 4-5 Sesak nafas sedang C-PAP ≥ 6 Sesak nafas berat ventilator
5. Pemeriksaan Diagnostik Analisa gas darah Analisis gas darah merupakan indikator definitif dari pertukaran gas untuk menilai gagal nafas akut. Meskipun manifestasi klinis yang ada memerlukan tindakan intubasi segera dan penggunaan ventilasi mekanis, pengambilan sampel darah arterial diperlukan untuk menganalisis tekanan gas darah (PaO2, PaCO2, dan pH) sambil melakukan monitoring dengan pulse oxymetri . Hipoksemia berat ditandai dengan PaO2 < 50-60 mmHg dengan FiO2 60% atau PaO2 < 60 mmHg dengan FiO2 > 40% pada bayi < 1250 g, Hiperkapnik berat dengan PaCO2 > 55-60 mmHg dengan pH <7,2-7,25. 10-12,16 Tabel 2. Nilai Analisis gas Darah Nilai 0
1
2
3
Pa O2 (mmHg)
>60
50-60
<50
<50
pH
>7,3
7,2-7,29
7,1-7,19
<7,1
PaCO2 (mmHg)
<50
50-60
61-70
>70
Skor >3 : memerlukan ventilator Sumber : Mathai S, Raju C, Kanitkar C. Management of respiratory distress in the newborn. MJAFI. 2007;63(269-72).
Pemeriksaan penunjang lain yang diperlukan sebagai pemeriksaan awal pada pasien yang mengalami distress pernafasan antara lain: rontgen toraks (dapat dilakukan setelah pemasangan ETT), pemeriksaan darah untuk skrining sepsis, termasuk pemeriksaan darah rutin, hitung jenis, apus darah tepi, Creactive protein, kultur darah, glukosa darah, dan elektrolit.16-18 Tabel 3. Pemeriksaan Penunjang pada Neonatus yang mengalami Distress Pernafasan Pemeriksaan Kegunaan Kultur darah Menunjukkan keadaan bakteriemia Analisa gas darah Menilai derajat hipoksemia dan Glukosa darah
Rontgen toraks Darah rutin dan hitung jenis
Pulse oximetry
keseimbangan asam basa Menilai keadaan hipoglikemia, karena hipoglikemia dapat menyebabkan atau memperberat takipnea Mengetahui etiologi distress nafas Leukositosis menunjukkan adanya infeksi Neutropenia menunjukkan infeksi bakteri Trombositopenia menunjukkan adanya sepsis Menilai hipoksia dan kebutuhan tambahan oksigen
Sumber : Hermansen C, Lorah K. Respiratory distress in the newborn. Am Fam Physician. 2007;76:987-94.
Selain menilai beratnya distress nafas yang terjadi, diperlukan juga penilaian
untuk
memperkirakan
penyebab
dasar
gangguan
nafas
untuk
penatalaksanaan selanjutnya. Pada bayi yang baru lahir dan mengalami distress nafas, penilaian keadaan antepartum dan peripartum penting untuk dilakukan. Beberapa pertanyaan yang dapat membantu memperkirakan penyebab distress nafas antara lain: apakah terdapat faktor resiko antepartum atau tanda-tanda distress pada janin sebelum kelahiran, adanya riwayat ketuban pecah dini, adanya mekoneum dalam cairan ketuban, dan lain-lain. 16 Pada pemeriksaan fisik, beberapa hasil pemeriksaan yang ditemukan juga dapat membantu memperkirakan etiologi distress nafas. Bayi prematur dengan berat badan lahir < 1500 gram dan mengalami retraksi kemungkinan menderita HMD, bayi aterm yang lahir dengan mekoneum dalam caian ketuban dan diameter antero-posterior rongga dada yang membesar beresiko mengalami MAS, bayi yang letargis dan keadaan sirkulasinya buruk kemungkinan menderita sepsis dengan atau tanpa pneumonia, bayi yang hampir aterm tanpa faktor resiko tetapi mengalami distress nafas ringan kemungkinan mengalami transient tachypnea of the newborn (TTN), dan hasil pemeriksaan fisik lainnya yang dapat membantu memperikirakan etiologi distress nafas. 16
Gambaran Rontgen Berdasarkan gambaran rontgen, paru-paru dapat memberikan gambaran yang karakteristik, tapi bukan patognomonik, meliputi gambaran retikulogranular halus dari parenkim dan gambaran air bronchogram tampak lebih jelas di lobus kiri bawah karena superimposisi dengan bayangan jantung. Awalnya gambaran rontgen normal, gambaran yang tipikal muncul dalam 6-12 hari. 2,4 Gambaran rontgen RDS dapat dibagi menjadi 4 tingkat : 4 Stage I
: bercak retikulogranuler dengan air bronchogram
Stage II
: bercak retikulogranuler menyeluruh dengan air brochogram
Stage III : opasitas lebih jelas, dengan air bronchogram lebih jelas meluas ke cabang di perifer; gambaran jantung menjadi kabur Stage IV
: seluruh lapangan paru terlihat putih (opak), tidak tampak air bronchogram, jantung tidak terlihat, disebut juga “white lung”
Gambar 2. Rontgen RDS Sumber : http://www.kinderradiologie-online 6. Penatalaksanaan Medis Terapi terutama ditujukan pada pertukaran O2 dan CO2 yang tidak adekuat di paru-paru, asidosis metabolik dan kegagalan sirkulasi adalah manifestasi sekunder. Beratnya RDS akan berkurang bila dilakukan penanganan dini pada bayi
BBLR,
terutama
terapi
asidosis,
hipoksia,
hipotensi
dan
hipotermia. Kebanyakan kasus RDS bersifat self-limiting , jadi tujuan terapi adalah untuk
meminimalkan
kelainan
fisiologis
dan
masalah
iatrogenik
yang
memperberat. Penanganan sebaiknya dilakukan di NICU. 2,5
Resusitasi di tempat melahirkan Resusitasi adekuat di kamar bersalin untuk semua kelahiran prematur. Mencegah perinatal asfiksia yang dapat mengganggu produksi surfaktan. Mencegah terjadinya hipotermia dengan menjaga suhu bayi sekitar 36,5-37,5 derajat Celcius di mana kebutuhan oksigen berada pada batas minimum. 2,6 Pemberian obat selama resusitasi : 2,6
Adrenalin 10 microgram /kg (0,1 ml/kg larutan 1 : 10.000) bila bradikardi persisten setelah ventilasi dan kompresi yang adekuat. Dosis pertama dapat diberikan intratrachea atau intravena, 1 dosis lagi diberikan intravena bila bayi tetap bradikardi, dosis ketiga dapat diberikan sebesar 100 microgram/kg bila situasi sangat buruk.
Pemberian bicarbonat 4 mmol/kg merupakan setengah koreksi untuk defisit basa 20 mmol (larutan bicarbonat 8,4% mengandung 1 mmol/ml), atau 2 mEq/kg dari konsentrasi 0,5 mEq/ml. Pemberian dilakukan secara intravena dengan hati-hati.
Volume expander 10 ml/kg
Bolus glukosa 10 % 1 ml/kg BB.
Surfaktan Eksogen Instilasi surfaktan eksogen multidosis ke endotrakhea pada bayi BBLR yang membutuhkan oksigen dan ventilasi mekanik untuk terapi penyelamatan RDS sudah memperbaiki angka bertahan hidup dan menurunkan insidensi kebocoran
udara
dari
paru
sebesar
40
%,
tapi
tidak
menurunkan
insidensi bronchopulmonary dysplasia (BPD) secara konsisten. Efek yang segera muncul meliputi perbaikan oksigenasi dan perbedaan oksigen alveoli – arteri dalam 48 –72 jam pertama kehidupan, menurunkan tidal volume ventilator, meningkatkan compliance paru, Pemberian
surfaktan
eksogen
dan
memperbaiki
menurunkan
gambaran
insidensi
BPD,
rontgen
dada.
namun
tidak
berpengaruh terhadap insidensi PDA, perdarahan intrakranial, dan necrotizing enterocolitis
(NEC).
Terdapat
peningkatan
insiden
perdarahan
paru
pada
pemberian surfaktan sintetik sebesar 5 %. 6 Surfaktan dapat diberikan segera setelah bayi lahir (terapi profilaksis) atau beberapa jam kemudian setelah diagnosa RDS ditegakkan (terapi penyelamatan). Terapi profilaksis lebih efektif dibandingkan bila diberi beberapa jam kemudian. Bayi yang mendapat surfaktan eksogen sebagai terapi profilaksis membutuhkan oksigen dan ventilasi mekanik lebih sedikit disertai angka bertahan hidup yang lebih baik. Bayi yang lahir kurang dari 32 minggu kehamilan harus diberi surfaktan saat lahir bila ia memerlukan intubasi. Terapi biasa dimulai 24 jam pertama kehidupan, melalui ETT tiap 12 jam untuk total 4 dosis. Pemberian 2 dosis atau lebih memberikan hasil lebih baik dibanding dosis tunggal. Pantau radiologi, BGA, dan pulse oxymetri. 6 Ada 4 surfaktan yang memiliki lisensi di UK untuk terapi. Yang berasal dari binatang adalah Curosurf, diekstrak dari paru-paru babi, diberikan 1,25-2,5 ml/kg, dan Survanta, ekstrak dari paru-paru sapi dengan penambahan 3 jenis lipid (phosphatidylcholine, asam palmitat, dan trigliserid), diberikan 4 ml/kg. Kedua surfaktan ini mengandung apoprotein SP-B dan SP-C dengan proporsi yang
berbeda dengan yang dimiliki manusia. Apoprotein SP-A dan SP-D tidak ditemukan. Surfaktan sintetik tidak mengandung protein. Exosurf merupakan gabungan phospholipid dipalmitoylphosphatidylcholine (DPPC), hexadecanol dan tyloxapol, diberikan 5 ml/kg. Hexadecanol, dan tyloxapol memperbaiki penyebaran surfaktan di antara alveolus. ALEC (artificial lung expanding compound ) merupakan gabungan DPPC and phosphatidylglycerol dengan perbandingan 7:3, diberikan 1,2 ml berapapun beratnya. Yang sedang diteliti adalah Infasurf (alami). 6 Tabel 4. Macam-macam surfaktan Tipe Survanta
Asal
Surfactant TA
Bovine lung mince
Alveofact
Bovine lung lavage
bLES (bovine lipid extract surfaktan)
Bovine lung lavage
Komposisi DPPC, tripalmitin SP (B<0.5%,> 99% PL, 1% SP-B and SPC 75% PC and 1% SP-B and SP-C DPPC, tripalmitin, SP (B290 g/mL, C360 g/mL)
Infasurf
Calf lung lavage
Calf lung surfactant extract (CLSE)
Sama seperti Infasurf
Minced pig lung
Curosurf
Exosurf
Surfaxan (KL4)
ALEC
DPPC, SP-B and SPC (?amount)
Dosis 4 mL (100 mg)/kg, 1-4 doses q6h 45 mg/mL
Keterangan refrigerate Federal Republic of Germany Canadian
3 mL (105 mg)/kg, 1-4 doses, q612h
2.5 mL (200 mg)/kg 1.25 mL (100 mg)/kg 5 mL (67.5 mg)/kg, 1-4 doses, q12h
85% DPPC, 9% Synthetic hexadecanol, 6% tyloxapol DPPC, Synthetic synthetic peptide 70% DPPC, 30% Synthetic unsaturated PG Sumber : http://www.nlm.nih.gov/medlineplus
6 mL vials, refrigerate
1.5 and 3 mL
Lyophilized; dissolve in 8 Ml
Possibly discontinued
Studi yang membandingkan antara surfaktan natural dan sintetik menunjukan bahwa oksigenasi arteri lebih cepat pulih (onset of action surfaktan natural lebih cepat dari surfaktan sintetik) dan komplikasi kebocoran udara lebih jarang terjadi pada bayi yang diterapi dengan surfaktan natural. 5
Komplikasi pemberian surfaktan antara lain hipoksia transien dan hipotensi, blok ETT, dan perdarahan paru. Perdarahan paru terjadi akibat menurunnya resistensi pambuluh darah paru setelah pemberian surfaktan, yang menimbulkan pirau kiri ke kanan melalui duktus arteriosus. 5
Oksigenasi dan monitoring analisa gas darah Oksigen lembab hangat diberikan untuk menjaga agar kadar O2 arteri antara 55 – 70 mmHg dengan tanda vital yang stabil untuk mempertahankan oksigenasi jaringan yang normal, sementara meminimalkan resiko intoksikasi oksigen. Bila oksigen arteri tak dapat dipertahankan di atas 50 mmHg saat inspirasi
oksigen
dengan
konsentrasi
70%,
merupakan
indikasi
menggunakan continuous positive airway pressure (CPAP).2 Monitor frekuensi jantung dan nafas, PO 2, PCO2, pH arteri, bikarbonat, elektrolit, gula darah, hematokrit, tekanan darah dan suhu tubuh, kadang diperlukan
kateterisasi
arteri
umbilikalis. Transcutaneus
oxygen
electrodes dan pulse oxymetry diperlukan untuk memantau oksigenasi arteri. Namun yang terbaik tetaplah analisa gas darah karena dapat memberi informasi berkelanjutan serta tidak invasif, memungkinkan deteksi dini komplikasi seperti pneumotoraks, juga merefleksikan respon bayi terhadap berbagai prosedur seperti intubasi endotrakhea, suction, dan pemberian surfaktan. PaO2 harus dijaga antara 50 – 80 mmHg, dan Sa O2 antara 90 – 94 %. Hiperoksia berkepanjangan harus dihindarkan karena merupakan faktor resiko retinopathy of prematurity (ROP). 2 Kateter radioopak harus selalu digunakan dan posisinya diperiksa melalui foto rontgen setelah pemasangan. Ujung dari kateter arteri umbilikalis harus berada di atas bifurkasio aorta atau di atas aksis celiaca (T6 – T10). Penempatan harus dilakukan oleh orang yang ahli. Kateter harus diangkat segera setelah tidak ada indikasi untuk penggunaan lebih lanjut, yaitu saat PaO2 stabil dan Fraction of Inspiratory O2 (FIO2) kurang dari 40 %. 2,5 Pengawasan periodik dari tekanan oksigen dan karbondioksida arteri serta pH adalah bagian yang penting dari penanganan, bila diberikan ventilasi buatan maka hal – hal tersebut harus dilakukan. Darah diambil dari arteri umbilikal atau perifer. Arteri temporalis merupakan kontra indikasi karena menimbulkan emboli cerebral retrograd. PO2 jaringan harus selalu dipantau dari elektroda yang ditempatka di kulit atau pulse oximetry (saturasi oksigen). Darah kapiler tidak
berguna untuk menentukan PO2 tapi dapat digunakan untuk memantau PCO2 dan pH.2,5
Fluid and Nutrition Kalori dan cairan diberikan secara intravena. Dalam 24 jam pertama berikan infus glukosa 10% dan cairan melalui vena perifer sebanyak 65-75 ml/kg/24 jam. Kemudian tambahkan elektrolit, volume cairan ditingkatkan bertahap sampai 120-150 ml/kg/24 jam. Cairan yang berlebihan akan menyebabkan terjadinya Patent Ductus Arteriosus(PDA). Pemberian nutrisi oral dapat dimulai segera setelah bayi secara klinis stabil dan distres nafas mereda. ASI adalah pilihan terbaik untuk nutrisi enteral yang minimal, serta dapat menurunkan insidensi NEC.2
Ventilasi Continuous Positive Airway Pressure (CPAP) CPAP memperbaiki oksigenasi dengan meningkatkan functional residual capacity (FRC) melalui perbaikan alveoli yang kolaps, menstabilkan rongga udara, mencegahnya kolaps selama ekspirasi. CPAP diindikasikan untuk bayi dengan RDS PaO2 < 50%. Pemakaian secara nasopharyngeal atau endotracheal saja tidak cukup untuk bayi kecil, harus diberikan ventilasi mekanik bila oksigenasi tidak dapat dipertahankan. Pada bayi dengan berat lahir di atas 2000 gr atau usia kehamilan 32 minggu, CPAP nasopharyngeal selama beberapa waktu dapat menghindari
pemakaian
ventilator.
Meski
demikian
observasi
harus
tetap
dilakukan dan CPAP hanya bisa diteruskan bila bayi menunjukan usaha bernafas yang adekuat, disertai analisa gas darah yang memuaskan. 5 CPAP diberikan pada tekanan 6-10 cm H2O melalui nasal prongs. Hal ini menyebabkan
tekanan
oksigen
arteri
meningkat
dengan
cepat.
Meski
penyebabnya belum hilang, jumlah tekanan yang dibutuhkan biasanya berkurang sekitar usia 72 jam, dan penggunaan CPAP pada bayi dapat dikurangi secara bertahap segera sesudahnya. Bila dengan CPAP tekanan oksigen arteri tak dapat dipertahankan di atas 50 mmHg (sudah menghirup oksigen 100 %), diperlukan ventilasi buatan. 5
Ventilasi Mekanik Bayi dengan RDS berat atau disertai komplikasi, yang berakibat timbulnya apnea persisten membutuhkan ventilasi mekanik buatan. Indikasi penggunaannya antara lain : 5 a. Analisa gas darah menunjukan hasil buruk pH darah arteri < 7,25 pCO2 arteri > 60 mmHg pO2 arteri < 50 mmHg pada konsentrasi oksigen 70 – 100 % b. Kolaps cardiorespirasi c. apnea persisten dan bradikardi
Memilih ventilator mekanik Ventilasi tekanan positif pada bayi baru lahir dapat diberikan berupa ventilator konvensional atau ventilator berfrekuensi tinggi (150 x / menit). 5 Ventilator konvensional dapat berupa tipe “volume” atau “tekanan”, dan dapat diklasifikasikan lebih lanjut dengan dasar cycling mode – biasanya siklus inspirasi diterminasi. Pada modus pressure limited time cycled ventilation, tekanan puncak inspirasi diatur dan selama inspirasi udara dihantarkan untuk mencapai tekanan yang ditargetkan. Setelah target tercapai, volume gas yang tersisa dilepaskan ke atmosfer.Hasilnya, penghantaran volume tidal setiap kali nafas bervariabel meski tekanan puncak yang dicatat konstan. Pada modus volume limited , pre-set volume dihantarkan oleh setiap nafas tanpa memperhatikan tekanan yang dibutuhkan. Beberapa ventilator menggunakan aliran udara sebagai dasar dari cycling mode di mana inspirasi berakhir bila aliran telah mencapai level pre-set atau sangat rendah (flow ventilators). Ada juga ventilator yang mampu menggunakan baik volume atau pressure controlled ventilationbergantung pada keinginan operator. 5 Ventilasi dengan fekuensi tinggi biasanya diberikan dengan high frequency oscillatory
ventilators (HFOV).
Terdapat piston
pump atau vibrating
diaphragmyang beroperasi pada frekuensi sekitar that 10 Hz (1 Hz = 1 cycle per second , 60cycles per minute). Selama HFOV, baik inspirasi maupun ekspirasi sama-sama aktif. Tekanan oscillator pada jalan udara memproduksi volume tidal sekitar 2-3 ml dengan tekanan rata-rata jalan udara dipertahankan konstan, mempertahankan volume paru ekivalen untuk menggunakan CPAP dengan level
sangat tinggi. Volume gas yang dipindahkan pada volume tidal ditentukan oleh ampiltudo tekanan jalan udara oscillator (P).
Ventilator konvensional Hipoksemia
pada
RDS
biasanya
terjadi
karena
ketidakseimbangan
ventilasi dan perfusi (V/Q) atau pirau dari kanan ke kiri, abnormalitas difusi dan hipoventilasi merupakan factor tambahan. Oksigenasi terkait langsung pada FiO2 dan tekanan rata-rata jalan udara ( mean airway pressure - MAP). MAP dapat ditingkatkan dengan perubahan tekanan puncak inspirasi ( peak inspiratory pressure - PIP), positive end expiratory pressure (PEEP) atau dengan mengubah rasio inspirasi : ekspirasi (I:E) dengan memperpanjang waktu inspirasi sementara kecepatannya tetap konstan. MAP yang sangat tinggi dapat menyebabkan distensi berlebihan, meski oksigenasi adekuat, transport oksigen berkurang karena penurunan curah jantung. Pembuangan CO2 berbanding lurus dengan minute ventilation, ditentukan oleh produk volume tidal (dikurangi ventilasi ruang mati) dan kecepatan
pernafasan.
Untuk
minute
ventilation
yang
sama,
perubahan
penghantaran volume tidal lebih efektif untuk merubah eliminasi CO2 dibanding perubahan kecepatan pernafasan karena ventilasi ruang mati tetap konstan. 5 a. Peak Inspiratory Pressure (PIP) Perubahan pada PIP mempengaruhi oksigenasi (dengan mengubah MAP) dan CO2 dengan efek pada volume tidal dan ventilasi alveolar. Peningkatan PIP menurunkan PaCO2 dan memperbaiki oksigenasi (PaO2 meningkat). Pemakainan PIP ditentukan oleh compliance system pernafasan dan bukan oleh ukuran atau berat bayi. Gunakan PIP terendah yang menghasilkan ventilasi adekuat berdasarkan pemeriksaan klinik (gerakan dada dan suara nafas) dan analisa gas darah. PIP berlebih dapat menyebabkan paru mengalami distensi berlebihan dan meningkatkan resiko baro/volutrauma dan menimbulkan kebocoran udara. 5 b.
Positive End Expiratory Pressure (PEEP) PEEP
yang
mempertahankan
adekuat volume
mencegah
paru
saat
kolaps akhir
alveoli respirasi,
dan
dengan
memperbaiki
keseimbangan V/Q. Peningkatan PEEP memperbesar MAP dan memperbaiki oksigenasi. Sebaliknya, PEEP berlebih (> 8 cm H2O) menginduksi hiperkarbia dan
memperburuk compliance paru
tidal karena alveoli terisi berlebihan
dan
mengurangi
hantaran
volume
P = PIP - PEEP). PEEP berlebih juga
dapat menimbulkan efek sampping pada hemodinamik karena paru mengalami distensi berlebih, menyebabkan penurunan venous return, yang kemudian menurunkan curah jantung. Tekanan 3 – 6 cm H2O memperbaiki oksigenasi pada bayi baru lahir dengan RDS tanpa mengganggu mekanisme paru-paru, eliminasi CO2 atau stabilitas hemodinamik. 5 c.
Frekuensi Terdapat 2 metode dasar, frekuensi rendah dan frekuensi tinggi Frekuensi rendah dimulai pada kecepatan 30 - 40 nafas / menit (bpm). Metode cepat sekitar 60 bpm dan dapat ditingkatkan hingga 120 bpm bila bayi bernafas lebih cepat dari ventilator. Waktu ekspirasi harus lebih panjang dari inspirasi untuk mencegah alveoli mengalami distensi berlebihan, waktu inspirasi harus dibatasi maksimum 0,5 detik selama ventilasi mekanik kecuali dalam keadaan khusus. Pada frekuensi tinggi terjadi penurunan insidensi pneumotoraks , mungkin karena frekuensi ini sesuai dengan usaha nafas bayi. Waktu inspirasi memanjang akan meningkatkan MAP dan memperbaiki oksigenasi, dan merupakan alternative dari peningkatan PIP. Namun hal ini merupakan
predisposisi
dari
distensi
berlebihan
pada
paru
serta air
trapping karena waktu ekspirasi berkurang. 5 d. Kecepatan Aliran Aliran minimum setidaknya 2 kali minute ventilation bayi (normal : 0.2 – 1 L / menit) cukup adekuat, tapi dalam prakteknya digunakan 4 – 10 L / menit. Bila digunakan frekuensi nafas lebih tinggi dengan waktu inspirasi lebih pendek, kecepatan aliran di atas kisaran harus diberikan untuk menjamin penghantaran volume tidal. Kecepatan aliran yang tinggi memperbaiki oksigenasi karena efeknya pada MAP. Beberapa ventilator memiliki kecepatan aliran yang tetap, yaitu sebesar 5 L / menit. 5
Kegagalan surfaktan Bila oksigenasi arteri tetap rendah setelah pemberian 2 dosis surfaktan, bayi dikatakan tidak berespon terhadap surfaktan. Penyebabnya antara lain sepsis, hipertensi pulmonal, pneumotoraks, atau pulmonary interstitial emphysema (PIE). Segera naikan FiO2 hingga 90%, kemudian naikan PIP and PEEP sambil mengobservasi pergerakan dada. Lakukan roentgen thoraks. Usahakan menjaga waktu inspirasi agar terjadi sinkronisasi. Bila tetap asinkron setelah pemberian sedasi dan analgesi lakukan paralysis (pankuronium bromide IV 0,04 – 0,1
mg/kg). Waktu inspirasi dapat diperpanjang >0,5 detik, dengan frekuensi ventilator diturunkan hingga 30-60 nafas / menit. Beberapa bayi berespon terhadap HFOV. 5
Aktivitas pernafasan bayi Bernafas tidak selaras dengan ventilator merupakan factor resiko dari beberapa
komplikasi
seperti
trapping , pneumothorax ,
dan
pertukaran perdarahan
udara
yang
tidak
efektif, air
intraventricular. Sedasi
dapat
mengurangi aktivitas pernafasan bayi atau dapat digunakan penghambat muscular non-depolarising (tidak menaikan
kecepatan
disarankan). Pilihan
ventilator
atau
lain
adalah
menggunakan patient
dengan triggered
ventilation (PTV).5
Keseimbangan asam basa Asidosis respiratoar mungkin membutuhkan ventilasi buatan jangka pendek atau jangka panjang. Pada asidosis respiratoar yang berat dengan disertai hipoksia, terapi dengan sodium karbonat dapat menimbulkan hiperkarbia. Asidosis metabolik
harus
dicegah
karena
dapat
menggangu
produksi
surfaktan,
meningkatkan resistensi pembuluh darah paru, dan memberi pengaruh buruk pada sistem cardiovaskular. Meski demikian infus cepat sodium bikarbonat harus dihindari karena meningkatkan insidensi perdarahan intraventrikular. 2 Asidosis metabolik pada RDS bisa merupakan hasil asfiksia perinatal, sepsis, perdarahan intraventrikular dan hipotensi (kegagalan sirkulasi), dan biasanya muncul saat bayi telah membutuhkan resusitasi. Sodium bicarbonat 1 – 2 mEq/kg dapat diberikan untuk terapi selama 10 – 15 menit melalui vena perifer, dengan pengulangan kadar asam – basa dalam 30 menit atau dapat pula diberikan selama beberapa jam. Sodium bikarbonat lebih sering diberikan pada kegawatan melalui kateter vena umbilikalis. Terapi alkali dapat menimbulkan kerusakan kulit akibat terjadinya infiltrasi, peningkatan osmolaritas serum, hipernatremia, hipokalsemia, hipokalemia, dan kerusakan hepar bila larutan berkonsentrasi tinggi diberikan secara cepat melalui vena umbilikalis. 2
Tekanan darah dan Cairan Monitor tekanan darah aorta melalui kateter vena umbilikalis atau oscillometric dapat berguna dalam menangani keadaan yang menyerupai syok
yang dapat muncul selama 1 jam atau lebih setelah kelahiran prematur dari bayi yang telah mengalami asfiksia atau mengalami distres nafas. 2 Monitor tekanan darah arteri diperlukan. Hipotensi arterial memfasilitasi pirau kanan ke kiri melalui PDA lalu menimbulkan hipoksemia. Hipotensi umumnya ditimbulkan oleh asfiksia perinatal, sepsis dan hipotensi. Terapi lini I adalah dengan memberikan volume expander (10 – 20 ml/kg larutan saline atau koloid). Terapi lini II dengan memberi obat inotropik. Dopamin lebih efektif dibanding dobutamin. Dopamin meningkatkan tahanan sistemik, sementara dobutamin meningkatkan output ventrikel kiri. Dosis dopamine 10 micrograms / kg / menit. Dosis > 15 micrograms / kg / menit meningkatkan tahanan paru, menimbulkan hipertensi paru. Terapi lini III diberikan pada kasus yang resisten. Mula-mula dapat dicoba menambahkan dobutamin 10-20 micrograms / kg / menit pada dopamine. Dapat pula dicoba memberikan hydrocortisone, adrenaline dan isoprenaline. Edema paru merupakan bagian dari patofisiologi RDS, bayi yang mengalaminya cenderung menghasilkan sedikit urin output selama 48 jam pertama, diikuti fase diuretik dengan penurunan berat badan. Pemberian cairan berlebih harus dihindari, masukan cairan biasa dimulai dengan 60 – 80 ml/kg/hari kemudian ditingkatkan secara bertahap. Asupan cairan lebih tinggi diperlukan untuk bayi dengan berat lahir sangat rendah dengan insensible water loss tinggi. Asupan cairan harus selalu dikoreksi bila terdapat perubahan pada berat badan, output urin, dan kadar elektrolir serum. Penggunaan fototerapi, kelembaban rendah, dan penghangat radiant meningkatkan kebutuhan cairan. Pemberian cairan berlebih pada hari pertama dapat menimbulkan PDA dan BPD. 2
Antibiotik Karena sulit untuk menyingkirkan kemungkinan infeksi streptokokus grup B atau infeksi lain dari RDS, diindikasikan untuk memberikan antibakteri sampai hasil kultur darah selesai. Penisilin atau ampisilin dengan kanamisin atau gentamisin dapat diberikan, tergantung pola sensitivitas bakteri di rumah sakit tempat perawatan. Hal –hal yang diasosiasikan dengan peningkatan insidensi infeksi pada bayi prematur antara lain ketuban pecah untuk waktu yang lama, ibu demam selama persalinan, fetus mengalami takikardi, leukositosis / leukopeni, hipotensi dan asidosis.5
7. Komplikasi Berdasarkan waktu terjadinya, komplikasi dapat dibagi menjadi akut dan kronis. Yang tergolong akut adalah kebocoran udara, infeksi, perdarahan intrakranial, dan PDA. Sedangkan yang tergolong kronis adalah penyakit paru kronis, retinopathy of prematurity (ROP), serta kelainan neurologis.2,5 Komplikasi akibat pemasangan ETT Komplikasi yang paling serius dari intubasi trachea adalah asfiksia akibat obstruksi yang ditimbulkan pipa, henti jantung selama intubasi atau suctioning , dan kadang dapat terjadi stenosis subglottis. Komplikasi lain meliputi perdarahan dari trauma selama intubasi, pseudodivertikel pada posterior faring, extubasi yang sulit sehingga memerlukan tracheostomi, ulserasi nasal akibat tekanan pipa, penyempitan permanen rongga hidung akibat kerusakan jaringan dan scar dari iritasi atau infeksi sekitar pipa, erosi palatum, avulsi pita suara, ulkus laring, papiloma pita suara, dan edema laring, stridor atau suara serak yang persisten. Komplikasi ETT (memasukkan, ekstubasi, granuloma subglotis dan stenosis)
dan
ventilasi
mekanik
(pneumotoraks,
emfisema
interstitial,
penurunan cardiac output ) dapat diminimalkan dengan intervensi dari tenaga ahli.
Komplikasi akibat kateterisasi Resiko dari kateterisasi arteri umbilikalis meliputi emboli vaskular, trombosis, spasme, dan perforasi, nekrosis viscera abdominal baik akibat iskemia atau zat kimia. Infeksi, perdarahan, dan gangguan sirkulasi ke kaki yang dapat menimbulkan gangren. Meski saat necropsy insiden komplikasi trombosis berkisar 1 – 23 %, aortografi menunjukkan clot ditemukan di atau sekitar ujung kateter yang dimasukan ke arteri umbilikalis (95%). USG aorta dapat digunakan untuk mendeteksi adanya trombosis. Resiko terjadinya komplikasi yang serius dari kateterisasi umbilikal antara 2 – 5 %. Kateterisasi vena umbilikalis memeliki resiko yang sama dengan arteri, ditambah kemungkinan terjadinya hipertensi portal dari trombosis vena porta.
Komplikasi akut Patent Ductus Arteriosus Konstriksi dan penutupan duktus biasanya terjadi dalam 48 jam setelah lahir pada bayi term dan preterm tanpa distress nafas. PDA terjadi sebanyak 36% pada bayi prematur dengan ventilasi buatan. PDA memberikan gejala bila diameter duktus > 1,5 mm. Pemberian steroid antenatal atau indometasin profilaksis mencegah terjadinya PDA. Insidensi PDA pada bayi prematur dengan RDS sekitar 90%. Dengan meningkatnya angka bertahan hidup bayi sangat kecil disertai penggunaan surfaktan eksogen, PDA sebagai komplikasi RDS merupakan masalah dari penanganan RDS pada awal kehidupan.
Hemorrhagic Pulmonary Edema Perdarahan paru seringkali terjadi sekunder akibat edema paru berat yang merupakan komplikasi dari RDS dan PDA. Insidensinya pada bayi prematur sekitar 1 % namun pada otopsi ditemukan sekitar 55 %. Cairan hemoragis di rongga udara merupakan filtrat kapiler yang berasal dari rongga interstitial atau perdarahan alveoli. Bentuk interstitial ditandai dengan perdarahan pleura, septum interlobularis, peribronkial, perivaskular, dan dinding aleolar. Bila perdarahan masuk ke alveoli, eritrosit memenuhi rongga udara dan meluas hingga ke bronkiolus dan bronkus. Penanganan segera meliputi ventilasi buatan yang adekuat. Meningkatkan tekanan jalan udara dengan menggunakan PEEP dapat mencegah perdarahan lebih lanjut. Transfusi PRC dan FFP mungkin diperlukan untuk mengganti volume yang hilang, namun restriksi cairan diindikasikan bila perdarahan terjadi akibat kegagalan ventrikel kiri. Bila penyebabnya PDA, maka PDA harus diterapi.
Pulmonary Interstitial Emphysema (PIE) Bila terjadi ruptur alveolus atau saluran napas terminal, udara akan masuk ke
ruang
interstitial
paru
menyebabkan
PIE.
Kemudian
udara
masuk
bronchovascular sheat menyebar ke perifer. PIE dapat terjadi simetris, asimetris atau terlokalisasi pada satu bagian paru. PIE yang terletak di perifer dapat menimbulkan bleb subpleura yang bila pecah akan menimbulkan pneumotoraks. Bisa juga menyebabkan terjadinya pneumomediastinum atau pneomopericardium. Bila alveoli ruptur, udara dapat terlokalisasi dan bersatu di parenkim membentuk pseudokista. Rupturnya alveoli dapat menyebabkan udara masuk ke vena
pulmonalis, menimbulkan emboli udara. Merupakan komplikasi RDS setelah terapi ventilasi buatan. Gambaran linear berbatas tegas serta kumpulan udara berbentuk kistik dan radiolusen di paru kanan.
Infeksi Infeksi
dapat
bermanifestasi
sebagai
kegagalan
untuk
membaik,
perburukan mendadak, perubahan jumlah leukosit, trombositopenia. Terdapat peningkatan insidensi septicemia sekunder terhadap staphylococcal epidermidis dan/atau Candida. Bila curiga akan adanya septicemia, lakukan kultur darah dari 2 tempat berbeda dan berikan antibiotik
Perdarahan intracranial dan leukomalasia periventrikuler Perdarahan intrakranial didapatkan pada 20-40% bayi prematur dengan frekuensi lebih tinggi pada bayi RDS yang membutuhkan ventilasi mekanik. Ultrasound
kepala
dilakukan
dalam
minggu
pertama.
Terapi
indometasin
profilaksis dan pemberian steroid antenatal menurunkan insidensinya. Hipokarbia dan chorioamnionitis dikaitkan dengan peningkatan periventricular leukomalacia.
Persistent Pulmonary Hipertension (PPHN) / Persistent Fetal Circulation PPHN dapat terjadi pada bayi term dan posterm. Faktor predisposisinya antara lain asfiksia saat lahir, pneumonia akibat aspirasi mekonium, sepsis onset dini, RDS, hipoglikemi, polisitemia, ibu yang menggunakan AINS dengan konstriksi in utero dari Duktus Arteriosus, dan adanya hipoplasia pulmo sebagai hasil dari hernia diafragmatika, kebocoran cairan amnion, oligohidramnion atau efusi pleura. PPHN sering kali bersifat idiopatik.
Komplikasi Kronik Bronchopulmonary Dysplasia (BPD) Bronchopulmonary Dysplasia (BPD) pada awalnya didefinisikan sebagai penyakit paru kronik pada bayi prematur dengan distres pernapasan yang mendapat terapi oksigen dengan ventilator mekanik sekurang-kurangnya 1 minggu. Definisi lain menyebutkan adanya kebutuhan oksigen dalam 28 hari kehidupan untuk mempertahankan tekanan oksigen arteri > 50 mmHg. Kelainan ini dapat disebabkan penyakit paru lain seperti sindrom aspirasi mekonium dan pneumonia. Sebagian besar BPD disebabkan pemberian oksigen tekanan positif
(akibat baro trauma atau toksisitas oksigen). Angka kejadian BPD 12% pada neonatus usia gestasi <33 minggu. Oksigen bersifat toksik bagi paru-paru, terutama bila diberikan dengan respirator tekanan positif, menyebabkan terjadinya BPD. Beberapa bayi yang mendapat bentuan nafas berupa intermittent positive – pressure secara
berkepanjangan
dengan
konsentrasi
oksigen
yang
ditingkatkan, menunjukkan perburukan paru pada gambaran rontgen. Distres nafas menetap ditandai hipoksia, hiperkarbia, ketergantungan pada oksigen, dan terjadinya gagal jantung kanan. Gambaran rontgen berubah, sebelumnya menunjukan gambaran opak hampir menyeluruh disertai air bronchogram dan emfisema interstitial, menjadi area lusen bulat kecil berselang – seling dengan area dengan densitas yang iregular, seperti gambaran spons. 4
Retinopathy of prematurity (ROP) Bayi dengan RDS dan PaO 2 > 100 mmHg memiliki resiko terkena ROP, maka monitor PaO2 harus dilakukan secara ketat dan dipertahankan antara 50-70 mmHg. Pulse oximetry tidak membantu mencegah ROP pada bayi sangat kecil karena kurva disosiasi oksigen-hemoglobin hampir rata. Bila ROP berlanjut, terapi laser atau cryotherapy dilakukan untuk mencegah terlepasnya retina dan kebutaan.
Gangguan neurologis Terjadi pada + 10-70 % bayi, dan dikaitkan dengan usia kehamilan, tipe patologi
intracranial,
adanya
hipoksia,
serta
adanya
infeksi. Gangguan
pendengaran dan penglihatan dapat mengganggu perkembangan bayi di kemudian hari. Dapat terjadi gangguan belajar dan perilaku.
8. Asuhan Keperawatan Pengkajian Pemeriksaan fisik Pada pemeriksaan fisik akan ditemukan takhipneu (> 60 kali/menit), pernafasan mendengkur, retraksi subkostal/interkostal, pernafasan cuping hidung, sianosis dan pucat, hipotonus, apneu, gerakan tubuh berirama, sulit bernafas dan sentakan dagu. Pada awalnya suara nafas mungkin normal kemudian dengan menurunnya pertukaran udara, nafas menjadi parau dan pernapasan dalam.
Pengkajian fisik pada bayi dan anak dengan kegawatan pernafasan dapat dilihat dari penilaian fungsi respirasi dan penilaian fungsi kardiovaskuler. Penilaian fungsi respirasi meliputi:
a.
Frekuensi nafas Takhipneu adalah manifestasi awal distress pernafasan pada bayi. Takhipneu tanpa tanda lain berupa distress pernafasan merupakan usaha kompensasi terhadap terjadinya asidosis metabolik seperti pada syok, diare, dehidrasi, ketoasidosis, diabetikum, keracunan salisilat, dan insufisiensi ginjal kronik. Frekuensi nafas yang sangat lambat dan ireguler sering terjadi pada hipotermi, kelelahan dan depresi SSP yang merupakan tanda memburuknya keadaan klinik.
b.
Mekanika usaha pernafasan Meningkatnya usaha nafas ditandai dengan respirasi cuping hidung, retraksi dinding dada, yang sering dijumpai pada obtruksi jalan nafas dan penyakit alveolar. Anggukan kepala ke atas, merintih, stridor dan ekspansi memanjang menandakan terjadi gangguan mekanik usaha pernafasan.
c.
Warna kulit/membran mukosa Pada
keadaan
perfusi
dan
hipoksemia,
warna
kulit
tubuh
terlihat
berbercak (mottled), tangan dan kaki terlihat kelabu, pucat dan teraba dingin. Penilaian fungsi kardiovaskuler meliputi: a.
Frekuensi jantung dan tekanan darah Adanya sinus tachikardi merupakan respon umum adanya stress, ansietas, nyeri, demam, hiperkapnia, dan atau kelainan fungsi jantung.
b.
Kualitas nadi Pemeriksaan kualitas nadi sangat penting untuk mengetahui volume dan aliran sirkulasi perifer nadi yang tidak adekwat dan tidak teraba pada satu sisi menandakan berkurangnya aliran darah atau tersumbatnya aliran darah pada daerah tersebut. Perfusi kulit kulit yang memburuk dapat dilihat dengan adanya bercak, pucat dan sianosis. Pemeriksaan pada pengisian kapiler dapat dilakukan dengan cara:
Nail Bed Pressure ( tekan pada kuku)
Blancing Skin Test, caranya yaitu dengan meninggikan sedikit ekstremitas dibandingkan jantung kemudian tekan telapak tangan atau kaki tersebut
selama 5 detik, biasanya tampak kepucatan. Selanjutnya tekanan dilepaskan pucat akan menghilang 2-3 detik.
Perfusi pada otak dan respirasi Gangguan fungsi serebral awalnya adalah gaduh gelisah diselingi agitasi dan letargi. Pada iskemia otak mendadak selain terjadi penurunan kesadaran juga terjadi kelemahan otot, kejang dan dilatasi pupil.
Diagnosa Keperawatan
1. Gangguan pertukaran gas yang berhubungan dengan imatur paru dan dinding dada atau berkurangnya jumlah cairan surfaktan.
2. Tidak efektifnya bersihan jalan nafas yang berhubungan dengan adanya sekret pada jalan nafas dan obstruksi atau pemasangan intubasi trachea yang kurang tepat.
3. Tidak efektifnya pola nafas yang berhubungan dengan ketidaksamaan nafas bayi dan ventilator, tidak berfungsinya ventilator dan posisi bantuan ventilator yang kurang tepat. 4. Perubahan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan dengan ketidakmampuan menelan, motilitas gastrik menurun, dan penyerapan Intervensi Keperawatan 1. Gangguan pertukaran gas b.d dengan imatur paru dan dinding dada atau berkurangnya jumlah cairan surfaktan. Tujuan
:
Setelah
dilakukan
tindakan
keperawatan
selama
...x24
jam
diharapkan pola nafas efektif. Kriteria Hasil :
Jalan nafas bersih
Frekuensi jantung 100-140 x/menit
Pernapasan 40-60 x/menit
Takipneu atau apneu tidak ada
Sianosis tidak ada
Intervensi: a. Posisikan untuk pertukaran udara yang optimal; tempatkan pada posisi telentang dengan leher sedikit ekstensi dan hidung menghadap keatap dalam posisi ’mengendus’ Rasional: untuk mencegah adanya penyempitan jalan nafas. b. Hindari hiperekstensi leher
Rasional: karena akan mengurangi diameter trakea. c. Observasi adanya penyimpangan dari fungsi yang diinginkan , kenali tandatanda distres misalnya: mengorok, pernafasan cuping hidung, apnea. Rasional: memastikan posisi sesuai dengan yang diinginkan dan mencegah terjadinya distres pernafasan d. Lakukan penghisapan Rasional: menghilangkan mukus yang terakumulasi dari nasofaring, trakea, dan selang endotrakeal. e. Penghisapan selang endotrakeal sebelum pemberian surfaktan Rasional: memastikan bahwa jalan napas bersih f.
Hindari penghisapan sedikitnya 1 jam setelah pemberian surfaktan Rasional: meningkatkan absorpsi ke dalam alvelolar
g. Observasi peningkatan pengembangan dada setelah pemberian surfaktan. Rasional: menilai fungsi pemberian surfaktan. h. Turunkan pengaturan, ventilator, khususnya tekanan inspirasi puncak dan oksigen Rasional: mencegah hipoksemia dan distensi paru yang berlebihan.
2. Tidak efektifnya bersihan jalan nafas yang berhubungan dengan adanya sekret pada jalan nafas dan obstruksi atau pemasangan intubasi trachea yang kurang tepat. Tujuan :
Pasien dapat mempertahankan jalan nafas dengan bunyi nafas yang jernih dan ronchi (-)
Pasien bebas dari dispneu
Mengeluarkan sekret tanpa kesulitan
Memperlihatkan tingkah laku mempertahankan jalan nafas
Kriteria hasil:
Pasien bebas dari dispneu
Mengeluarkan sekret tanpa kesulitan
Memperlihatkan tingkah laku dan mempertahankan jalan nafas.
Intervensi : a. Catat perubahan dalam bernafas dan pola nafasnya
Rasional
:
Penggunaan
otot-otot
interkostal/abdominal/leher
dapat
meningkatkan usaha dalam bernafas b. Observasi dari penurunan pengembangan dada dan peningkatan fremitus Rasional : Pengembangan dada dapat menjadi batas dari akumulasi cairan dan adanya cairan dapat meningkatkan fremitus c. Catat karakteristik dari suara nafas Rasional : Suara nafas terjadi karena adanya aliran udara melewati batang tracheo branchial dan juga karena adanya cairan, mukus atau sumbatan lain dari saluran nafas. d. Catat karakteristik dari batuk Rasional : Karakteristik batuk dapat merubah ketergantungan pada penyebab dan etiologi dari jalan nafas. Adanya sputum dapat dalam jumlah yang banyak, tebal dan purulent e.
Pertahankan
posisi
tubuh/posisi
kepala
dan
gunakan
jalan
nafas
tambahan bila perlu Rasional : Pemeliharaan jalan nafas bagian nafas dengan paten f.
Peningkatan oral intake jika memungkinkan Rasional : Peningkatan cairan per oral dapat mengencerkan sputum
K olaboratif g. Berikan oksigen, cairan IV ; tempatkan di kamar humidifier sesuai indikasi Rasional : Mengeluarkan sekret dan meningkatkan transport oksigen h. Berikan therapi aerosol, ultrasonik nabulasasi Rasional : Dapat berfungsi sebagai bronchodilatasi dan mengeluarkan sekret i.
Berikan
fisiotherapi
dada
misalnya
:
postural
drainase,
perkusi
dada/vibrasi jika ada indikasi Rasional : Meningkatkan drainase sekret paru, peningkatan efisiensi penggunaan otot-otot pernafasan j.
Berikan bronchodilator misalnya : aminofilin, albuteal dan mukolitik Rasional : Diberikan untuk mengurangi bronchospasme, menurunkan viskositas sekret dan meningkatkan ventilas
3. Tidak efektifnya pola nafas yang berhubungan dengan ketidaksamaan nafas bayi dan ventilator, tidak berfungsinya ventilator dan posisi bantuan ventilator yang kurang tepat. Tujuan: Pola nafas efektif
Kriteria Hasil:
Mempertahankan pola pernafasan efektif.
Irama nafas, kedalaman nafas normal.
Oksigenasi adekuat.
Intervensi : a. Kaji status pernafasan, catat peningkatan respirasi atau perubahan pola nafas Rasional : Takipneu adalah mekanisme kompensasi untuk hipoksemia dan peningkatan usaha nafas b. Catat ada tidaknya suara nafas dan adanya bunyi nafas tambahan seperti crakles, dan wheezing Rasional : Suara nafas mungkin tidak sama atau tidak ada ditemukan. Crakles terjadi karena peningkatan cairan di permukaan jaringan yang disebabkan oleh peningkatan permeabilitas membran alveoli – kapiler. Wheezing terjadi karena bronchokontriksi atau adanya mukus pada jalan nafas c. Kaji adanya cyanosis Rasional : Selalu berarti bila diberikan oksigen (desaturasi 5 gr dari Hb) sebelum cyanosis muncul. Tanda cyanosis dapat dinilai pada mulut, bibir yang indikasi adanya hipoksemia sistemik, cyanosis perifer seperti pada kuku dan ekstremitas adalah vasokontriksi. d. Observasi adanya somnolen, confusion, apatis, dan ketidakmampuan beristirahat Rasional : Hipoksemia dapat menyebabkan iritabilitas dari miokardium e. Berikan istirahat yang cukup dan nyaman Rasional : Menyimpan tenaga pasien, mengurangi penggunaan oksigen Kolaboratif f.
Berikan humidifier oksigen dengan masker CPAP jika ada indikasi Rasional :Memaksimalkan pertukaran oksigen secara terus menerus dengan tekanan yang sesuai
g. Review X-ray dada Rasional :Memperlihatkan kongesti paru yang progresif h. Berikan
obat-obat
jika
ada
indikasi
seperti
steroids,
antibiotik,
bronchodilator dan ekspektorant Rasional :Untuk mencegah ARDS 4. Perubahan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan dengan ketidakmampuan menelan, motilitas gerak menurun dan penyarapan. Tujuan: Kebutuhan nutrisi adekuat. Kriteria hasil:
Mencapai status nutrisi normal dengan berat hadan yang sesuai.
Mencapai kadar gula darah normal.
Mencapai keseimbangan intake dan output.
Bebas dari adanya komplikasi Gl.
Lingkar perut stabil.
Pola eliminasi nonnal
Intervensi: a. Timbang helat badan tiap hari Rasional: Mendeteksi adanya penurunan atau peningkatan berat badan. b. Berikan glukosa 5-10% banyaknya sesuai umur dan berat badan. Rasional: Diperlukan keseimbangan cairan dan kehutuhan kalori secara parsiasif. c. Monitor adanya hipoglikemi. Rasional: Masukkan nutrisi inadekuat menyebabkan penurunan glukosa dalam darah. d. Monitor adanya komplikasi GI: Disstres
Konstipasi / diare.
Frekwensi muntah
Rasional: Mempertahankan nutrisi cukup energi dan keseimbangan intake dan output.