I PENDAHULUAN
1.1.
Latar Belakang
Demi terciptanya peternakan yang zero waste waste harus dapat memikirkan serta mengaplikasikan bagaimana cara agar tujuan peternakan zero peternakan zero waste tercapai. waste tercapai. Peternakan zero waste waste adalah suatu peternakan yang selain memproduksi hasil, memanfaatkan pula limbah menjadi sesuatu yang berguna seperti pengolahan kembali maupun daur ulang. Limbah peternakan merupakan mer upakan suatu zat sisa yang dapat diolah menjadi berbagai produk sehingga dapat digunakan kembali dengan cara yang sederhana. Pengolahan limbah yang dimaksud merupakan pengolahan limbah terpadu. Pengolahan limbah peternakan secara terpadu maksudnya adalah dengan memperhatikan hubungan timbal balik secara terpadu antara limbah peternakan dan organisme pengurai, sehingga pengolahan limbah tersebut dilakukan secara tepat (efektif), murah (efisien), produk yang dihasilkan banyak (produktif), dan ramah lingkungan yang berarti pengolahan tersebut tidak lagi menimbulkan limbah.
Dengan cara yang benar dan tepat waktu pengolahan
limbah peternakan secara terpadu sekaligus dapat menghasilkan produk pupuk organik, biogas, pakan imbuhan, bahkan menjadi bahan pakan, pangan dan suplemen kesehatan (Sudiarto dan Zamzam, 2010 dikutip oleh Rohaeni, 2014). Feses sapi perah dan sapi potong sangat cocok digunakan untuk pengolahan dengan jerami padi karena memiliki rasio C/N yang cukup serta diimbangi oleh jerami padi yang memiliki nilai unsur haranya besar dan dapat mengimbanginya, serta unsur hara yang dimiliki jerami padi yaitu 5,6% Si, 0,4% N, 0,02% P dan 1,4% K. Feses sapi perah mengandung beberapa zat organik yang dapat menghasilkan Pupuk Organik Cair, Feed Additive, Biogas, serta Pupuk Organik Padat. Unsur hara tersebut adalah 30% bahan organik, 4,38 % N, 0,3 %
P2O5 dan 0,65 % K 2O (Simanjuntak dan Waluyo, 1982 dikutip oleh Marlina dkk., 2006).
1.2.
Tujuan
1.
Bagaimana pembuatan dekomposisi awal
2.
Bagaimana pembuatan Pupuk Orgnanik Cair.
3.
Bagaimana pembuatan Biogas.
4.
Bagaimana pembuatan Pupuk Organik Padat.
1.3.
Waktu dan Tempat
Waktu
: Praktikum dilaksanakan 4 – 22 November
Tempat
: Laboratorium Pengolahan Limbah Fakultas Peternakan Universitas Padjadjaran.
II KAJIAN KEPUSTAKAAN
2.1. Dekomposisi awal
Kompos adalah hasil penguraian parsial/tidak lengkap dari campuran bahan-bahan organik yang dapat dipercepat secara artifisial oleh populasi berbagai macam mikroba dalam kondisi lingkungan yang hangat, lembab, dan aerobik atau anaerobik (J.H. Crawford, 2003). Menurut Sutedjo (2002), kompos merupakan zat akhir suatu proses fermentasi, tumpukan sampah/ seresah tanaman dan ada kalanya pula termasuk bingkai binatang. Sesuai dengan humifikasi fermentas suatu pemupukan, dirincikan oleh hasil bagi C/N yang menurun. Perkembangan mikrobia memerlukan waktu agar tercapai suatu keadaan fermentasi yang optimal. Pada kegiatan mempercepat proses dipakai aktifator, baik dalam jumlah sedikit ataupun banyak, yaitu bahan dengan perkembangan mikrobia dengan fermentasi maksimum. Aktifator misalnya: kotoran hewan. Akhir fermentasi untuk C/N kompos 15 – 17. Karakteristik umum yang dimiliki kompos antara lain : mengandung unsur hara dalam jenis dan jumlah yang bervariasi tergantung bahan asal, menyediakan unsur secara lambat (slow release) dan dalam jumlah terbatas dan mempunyai fungsi utama memperbaiki kesuburan dan kesehatan tanah. Kehadiran kompos pada tanah menjadi daya tarik bagi mikroorganisme untuk melakukan aktivitas pada tanah dan, meningkatkan meningkatkan kapasitas tukar kation. Hal yang
terpenting adalah kompos justru memperbaiki sifat tanah dan lingkungan, (Dipoyuwono, 2007). 2.2 Pupuk Organik Cair
Nisbah C/N merupakan indikator kualitas dan tingkat kematangan dari bahan kompos. Proses pendegradasian yang terjadi dalam pengomposan membutuhkan karbon organik (C) untuk pemenuhan energi dan pertumbuhan, dan nitrogen (N) untuk pemenuhan protein sebagai zat pembangun sel metabolisme. Rasio C/N yang efektif untuk proses pengomposan berkisar antara 30-40. Mikroorganisme memecah senyawa C sebagai sumber energi dan menggunakan N untuk sintesis protein. Pada nilai C/N di antara 30-40 mikroba mendapatkan cukup C untuk energi dan N untuk sintesis protein. Apabila nilai C/N terlalu tinggi, mikroba akan kekurangan N untuk sintesis protein sehingga dekomposisi berjalan lambat (Isroi, 2008). Proses pengomposan sangat dipengaruhi oleh beberapa faktor diantaranya adalah nilai perbandingan (nisbah) C/N saat awal pengomposan dan tingkat aerasi. Nilai C/N kompos (produk) yang semakin besar menunjukkan bahwa bahan organik belum terdekomposisi sempurna. Sebaliknya nilai C/N kompos yang semakin rendah menunjukkan bahwa bahan organik sudah terdekomposisi dan hampir menjadi kompos. Dalzell et al. (1987) menyatakan bahwa dalam proses pengomposan diperlukan udara yang cukup ke semua bagian tumpukan untuk memasok oksigen untuk mikroorganisme dan mengeluarkan karbon dioksida. Suhu merupakan faktor utama yang mempengaruhi aktivitas mikroorganisme dalam proses pengomposan (Epstein, 1997). Cahaya dan Nugraha (2008) menambahkan kompos yang telah matang berbau seperti tanah, karena materi yang dikandungnya sudah menyerupai materi tanah dan berwarna coklat kehitam-hitaman yang terbentuk akibat pengaruh bahan organik yang sudah stabil. Bentuk akhir sudah tidak menyerupai bentuk aslinya karena sudah
hancur akibat penguraian alami oleh mikroorganisme yang hidup di dalam kompos. Kecepatan dekomposisi bahan organik yang kandungan nitrogennya rendah dapat ditingkatkan dengan penambahan sumber nitrogen baru, selain itu bahan yang semakin heterogen akan lebih cepat terdekomposisi dibandingkan dengan bahan yang homogen (Russel, 19173). Bahan organik dengan dekomposisi
lambat
dapat
dipercepat
proses
dekomposisinya
dengan
menambahkan bahan yang mudah terdekomposisi. Pupuk Organik Cair adalah larutan dari hasil pembusukan bahan-bahan organik yang berasal dari sisa tanaman, kotoran hewan, dan manusia yang kandungan unsur haranya lebih dari satu unsur (Hadisuwito, 2007). Pupuk Organik Cair adalah jenis pupuk yang berbentuk cair tidak padat yang mudah sekali larut pada tanah dan membawa unsur-unsur penting guna kesuburan tanah. Pupuk organik cair adalah pupuk yang dapat memberikan hara yang sesuai dengan kebutuhan tanaman pada tanah, karena bentuknya yang cair, maka jika terjadi kelebihan kapasitas pupuk pada tanah maka dengan sendirinya tanaman akan mudah mengatur penyerapan komposisi pupuk yang dibutuhkan. Pupuk cair organik dalam pemupukan jelas lebih merata,
tidak akan terjadi
penumpukan konsentrasi pupuk di satu tempat (Slamet dkk, 2005).
2.3.
Biogas
Biogas (gas bio) merupakan gas yang timbul jika bahan-bahan orgnaik, seperti kotoran hewan, kotoran manusia, atau sampah, direndam di dalam air dan disimpan di dalam tempat tertutup atau anaerob (tanpa oksigen dari udara). Biogas ini sebenarnya dapat pula terjadi pada kondisi alami. Namun, untuk mempercepat dan menampung gas ini, diperlukan alat yang memenuhi syarat terjadinya gas tersebut (Setiawan, 2007).
Biogas merupakan sumber renewal energy yang mampu menyumbangkan andil dalam usaha memenuhi kebutuhan bahan bakar. Bahan baku sumber energi ini merupakan bahan nonfossil, umumnya adalah limbah atau kotoran ternak yang produksinya tergantung atas ketersediaan rumput dan rumput akan selalu tersedia, karena dapat tumbuh kembali setiap saat selama dipelihara dengan baik (Haryanti, 2006). Proses pencernaan anaerobik, yang merupakan dasar dari reaktor biogas yaitu proses pemecahan bahan organik oleh aktivitas bakteri metanogenik dan bakteri asidogenik pada kondisi tanpa udara. Bakteri ini secara alami terdapat dalam limbah yang mengandung bahan organik, seperti kotoran binatang, manusia, dan sampah organik rumah tangga. Proses anaerobik dapat berlangsung di bawah kondisi lingkungan yang luas meskipun proses yang optimal hanya terjadi pada kondisi yang terbatas (Tabel 1).
Tabel 1. Kondisi pengoperasian pada proses pencernaan Kandungan metana Parameter Temperatur 1. Mesofilik 2. Termofilik pH Alkalinitas Waktu retensi Laju terjenuhkan Hasil biogas Kandungan metana Sumber: Engler et al. (2000).
Nilai
35oC 54oC 7 – 8 2500 mg/L minimum 10 – 30 hari 0,15 – 0,35 kg VS/m3/hari 4,5 – 11 m3/kg VS 60 – 70%
Pembentukan biogas meliputi tiga tahap proses yaitu: (a) Hidrolisis, pada tahap ini terjadi penguraian bahan-bahan organik mudah larut dan pencernaan bahan organik yang komplek menjadi sederhana, perubahan struktur bentuk polimer menjadi bentuk monomer; (b) Pengasaman, pada tahap pengasaman komponen monomer (gula sederhana) yang terbentuk pada tahap hidrolisis akan menjadi bahan makanan bagi bakteri pembentuk asam. Produk akhir dari
perombakan gula-gula sederhana ini yaitu asam asetat, propionat, format, laktat, alkohol, dan sedikit butirat, gas karbondioksida, hidrogen dan amonia; serta (c) Metanogenik, pada tahap metanogenik terjadi proses pembentukan gas metan. Bakteri pereduksi sulfat juga terdapat dalam proses ini, yaitu mereduksi sulfat dan komponen sulfur lainnya menjadi hidrogen sulfida .
2.4. Pupuk Organik Padat (POP)
Sudiarto (1998) menyatakan bahwa cacing tanah mampu mengolah bahan organik berupa sampah rumah tangga ataupun limbah sayuran melalui proses metabolisme yang sangat efisien dalam tubuh cacing tanah dan dari proses tersebut akan menghasilkan bahan dalam bentuk kotoran cacing (kascing). Makrofauna tanah seperti cacing tanah, rayap dan semut diketahui mempunyai pengaruh yang nyata terhadap perubahan struktur fisik tanah dan dinamika unsur hara
dalam
suatu
ekosistem
(Lavelle
et
al.,
1994).
Rukmana
(1999)
menyampaikan bahwa 4 spesies cacing tanah yang telah dibudidayakan dan diproduksi secara komersial adalah Lumbricus rubellus, Eisenia .foetida, Pheritrirna asiatica, dan Eudrilus euginea. Pengomposan dengan menggunakan aktivitas cacing tanah merupakan metode yang tepat untuk mendaur ulang sampah organik menjadi kompos yang kaya unsur hara, tidak berbau dan dapat digunakan sebagai pemantap tanah (Elcock dan Martens, 1995). Wahyuningsih (1996) menyajikan data yang menunjukkan bahwa kascing mempunyai kandungan unsur hara makro tinggi; unsur hara N, K, Ca dan Mg dalam kascing lebih tinggi dibandingkan dengan yang terdapat dalam kompos. Aktivitas cacing tanah diduga akan mampu meningkatkan kandungan unsur hara makro dan menurunkan nisbah C/N. Vermikompos atau disebut juga kascing merupakan sisa media hidup cacing tanah yang terdiri dari berbagai campuran, antara lain kotoran cacing dan sisa-sisa media dalam berbagai tingkat dekomposisi. Vermikompos sendiri dapat
digunakan untuk pupuk organik karena mengandung hara makro dan mikro yang lengkap dan dalam jumlah yang sesuai bagi tanaman. Jumlah ketersediaan nsur N, P, K, Ca, Mg, S, Fe, Mn, Al, Na, Cu, Zn, BO dan Mo yang dikandungnya tergantung dari bahan yang digunakan. Vermikompos mengandung hara N, P dan K yang tinggi yang sangat dibutuhkan oleh tanaman untuk dimanfaatkan bagi pertumbuhan dan perkembangannya serta proses-proses dalam tanaman (Mashur, 2001). Menurut Hakim et al. (1986) penambahan BO kedalam tanah akan meningkatkan ketersediaan P dalam tanah. Vermikompos mengandung mikroba dan hormon perangsang pertumbuhan tanaman. Jumlah mikroba yang banyak dan aktivitasnya yang tinggi bisa mempercepat pelepasan unsur-unsur hara dari kotoran cacing menjadi bentuk yang tersedia bagi tanaman.Vermikompos yang berkualitas baik ditandai dengan warna hitam kecoklatan hingga hitam, tidak berbau, bertekstur remah dan matang (C/N < 20) (Mashur, 2001).
III ALAT, BAHAN, DAN PROSEDUR
3.1.
Alat
3.1.1. Dekomposisi Awal
1.
Wadah/ bak penampung
2. Timbangan 3. Terpal 4. Tongkat kayu 5. Jarum 6. Karung 7. Tali rapia 8. Karton bula
3.1.2. Pembuatan Pupuk Organik Cair
1. Talenan 2. Golok 3. Baki/wadah 4. Terpal 5. Timbangan 6. Karung 7. Bambu 8. Sarung tangan 9. Masker
3.1.3. Pembuatan Biogas
1. Digester 2. Timbangan
3. Gelas Ukur 4. Baki 5. Sealer
3.1.4. Pembuatan Pupuk Organik Padat
1. Wadah Kecil 2. Timbangan 3. Wadah sebagai media penyimpanan 4. Papan penutup
3.2 Bahan
3.2.1. Dekomposisi awal
1. Feses sapi perah 15 kg 2. Jerami padi 7,5 Kg
3.2.2. Pupuk organic cair
1. Substrat kering 2,5 kg 2. Air Panas 13 liter
3.2.3. Pembuatan Biogas
1. Substrat 2. Air
3.2.4. Pembuatan Pupuk Organik Padat
1. Substrat POC 2. Cacing 3.3.
Prosedur
3.3.1. Pembuatan Dekomposisi awal
1. Menghitung perbandingan bahan dengan perhitungan nisbah cair C/N (30) 2. Menghitung air dari masing-masing campuran. Bila kurang dari 5055% hitung berapa jumlah air yang harus ditambahkan. 3. Menimbang masing-masing bahan sesuai dengan hasil perhitungan. Masukkan ke dalam bak plastic. 4. Mencampurkan kedua bahan (feses sap perah dan jerami) sampai hommogen/meraata. 5. Menambahkan air jika kadar air campuran <50-55% 6. Menyusun ke dalam karung plastic yang telah disiapkan (karung telah diisi bagian bawahnya dengan potongan jerami kering ±2cm). fungsi jerami kering adalah untuk menyerap kelebihan air pada bahan campuran. 7. Memadatkaan dengan tongkat kayu. 8. Memompa oksigen ke dalam susunan bahan campuran dengan tongkat kayu sampai terisi penuh. 9. Setelah penuh , bagian atas dilapisi kembali dengan jerami kering. 10. Menutup karung dengan karton bulat diameter karung untuk mencegah penguapan dan menahan panas tidak keluar dari tumpukan atas.
13
11. Menutup bagiaan atas dengan sisa karung yang tersedia lalu simpan gdi tempat yang tidak terkena matahari dan hujan. 12. Ukur suhu setiap hari selama 1 minggu.
3.3.2. Pembuatan pupuk organic cair
1. Menimbang bahan sebanyak 2,5 kg 2. Menambahkan air panas kedalam bahan sedikit demi sedikit. 3. Menekan bahan substrattersebut sampai air meraata dan meresap kedalam bahan. 4. Merendaam subtract yang telah dimasukan air selama 1 jam 5. Menyaring bahan substrat menggunakan saringan dengan dua tahap, Tahap 1 : tanpa jerami padi Tahap 2 : dengan jerami padi 6. Mengukur hasil filtrasi atau saringan 7. Apabila hasil filtrasi tidakmencapai 10 liter maka tambahkan air dingin.
3.3.3. Pembuatan Biogas a) Pemasangan instalasi Biogas
1. Menyiapkan instalasi biogas yang terdiri dari digester dan penampungan gas. 2. Rangkaian instalasi biogas yang terdiri dari digester (tong plastic dengan volume 30 L) yang dilengkapi dengan kran gas dib agian penutupnya.\ 3. Kemudian penampung gas terbuat dari ban karet bagian dalam yang telah dilepaskan pentilnya.
14
4. Untuk menghubungkan kran dari digester ke lubang angina pada ban menggunakan selang plastic dengan diameter sama dengan lubang kran dan lubang angina pada ban. b) Pemasukan subtrat ke dalam instalasi
1. Menentukan kadar air substrat (KA = 75%) 2. Menganalisis kandungan air substrat biogas 3. Menghitung penambahan air pada substrat sampai mencapai kadar air substrat 75% 4. Menimbang substrat dan aair yang harus ditambahkan sesuai dengan perhitungan. 5. Menaambahkan air daalam substrat dan campuran hingga rata. 6. Memasukkan campuran substrat tersebut ke dalam digester sampai mencapai volume ¾ dari volume tong. 7. Menyisipkan sealer yang terbuat dari karet pada antara t ong dan penutupnya. 8. Mengunci tong dan penutup dengan menggunakan klem. 9. Melakukan proses inkubasi. 10. Setelah di inkubasi, lakukan uji nyala biogas.
3.3.4. Pembuatan Pupuk Organik Padat ( vermincomposting )
1. Mengangin-anginkan substrat hasil ekstraksi POC selama 1 minggu, untuk membebaskan substrat dari senyawa-senyawa yang dapat mengganggu proses vermicomposting seperti gas. 2. Substrat yang sudah dikondisikan berfungsi sebagai media sekaligus pakan bagi cacing tanah. 3. Menimbang substrat ± 10 liter, masukkan pada wadah plastik. 4. Masukkan cacing tanah sebanyak 250 g ke media. Tutup dengan karton tebal yang telah dilubangi, sampai menutupi permukaan wadah.
15
Tempatkan wadah yang sudah berisi cacing tanah di tempat yang terlindungi.Setelah seminggu cacing tanah di panen IV HASIL PENGAMATAN DAN PEMBAHASAN
4.1. Hasil Pengamatan 4.1.1.Dekomposisi awal
Perhitungan Nisbah C/N dan K adar Air Substrat
1.
Bahan Organik
%C
%N
Feses Sapi Perah Jerami Padi
23 34
1,4 0,8
Kadar Air (%) 50 20
Menghitung Nisbah C/N C/N = 30 Untuk
memperoleh nisbah C/N 30, maka diperlukan imbangan
feses sapi perah dan jerami padi sebagai berikut : C N
=
30 =
( % ∑ ) + ( % ∑ ) ( % ∑ ) + ( % ∑ ) ( 23 % x ∑ FS ) + ( 34 % x ∑ JP ) ( 1,4 % x ∑ FS ) + ( 0,8 % x ∑ JP )
30 (1,4 FS + 0,8 JP) = (23 FS + 34 JP) 42 FS + 24 JP
= 23 FS + 34 JP
42 FS – 23 FS
= 34 JP – 24 JP
19 FS
= 10 JP
Jumlah feses sapi perah = 1 kg 19 FS = 10 JP 19 ∙ 1 = 10 JP JP =
19 10
JP = 1,9 kg
16
Dari hasil perhitungan maka, untuk mendapatkan nisbah C/N 30, feses sapi perah sebanyak 1 kg dicampur dengan 1,9 kg jerami padi.
2.
Menghitung Kadar Air Campuran Kadar Air
= = =
( KA FS x ∑ FS ) + ( KA JP x ∑ JP ) ∑ FS + ∑ JP 50 ∙ 1 + 20 ∙ 1,9 1+1,9 50 + 38 2,9
= 30,34 %
3.
Menghitung jumlah penambahan air sehingga kadar air campuran 90% KAC
=
90 %
=
( KA FS x ∑ FS ) + ( KA JP x ∑ JP ) + (100% ∙ ) ∑ Campuran + (50 ∙ 1) + (20 ∙ 1,9) + (100% ∙ ) 2,9 +
90% (2,9 + x)
= 50% + 38% + 100% x
174% + 60% x
= 88 % + 100% x
174% - 88 %
= 100% x - 90% x
86 %
= 40 % x 86
x
=
x
= 2,15 kg
40
Dari hasil perhitungan maka, kadar air yang perlu ditambahkan sebesar 2,15 kg untuk mencapai kadar air campuran 60%.
Dekomposisi Awal Total Feses
:
15 kg
Total Jerami Padi
:
7,5 kg (untuk dicampur) 1,5 kg (untuk alas) 1,5 kg (untuk bagian atas)
17
Pengukuran Suhu pada Dekomposisi Awal Suhu (oC) Bawah : 62 Tengah : 62 Atas : 62 Bawah : 61 Tengah : 62 Atas : 61 Bawah : 62 Tengah : 60 Atas : 57 Bawah : 56 Tengah : 54 Atas : 42 Bawah : 40 Tengah : 40 Atas : 37 Bawah : 38 Tengah : 38 Atas : 35 Bawah : 40 Tengah : 38 Atas : 32
Hari Tanggal Rabu, 5 Oktober 2016
kamis, 6 Oktober 2016
Jumat , 7 Oktober 2016
Sabtu, 8 Oktober 2016
Minggu, 9 Oktober 2016
Senin, 10 Oktober 2016
Selasa, 11 Oktober 2016
F iltrasi dan E kstraksi Setiap 1 kg hasil dekomposisi menghasilkan 4 L Pupuk Organik Cair (POC). Perlakuan Fitrasi Awal Air Dingin HASIL FILTRASI POC
Jumlah 4,7 L POC 5,3 L 10 L
4.1.3. Pembuatan Biogas Hasil Pengamatan
Hari Ke
Pengamatan
1-4
Belum terbentuk gas Metan
18
5
Mulai terbentuk gas metan, ban mulai menggembung
6
Ban menggembung namun kempes lagi.
4.1.4. Pembuatan Pupuk Organik Padat Hasil Pengamatan Jerami terurai dengan baik. Cacing tersebar merata pada media. Cacing tumbuh pada media. Cacing berkembang pada Pengamatan Kualitatif media. Terdapat kokon. Terjadinya interaksi serta reproduksi pada cacing dalam media tersebut. Cacing bertambah banyak. 4.2.
Pembahasan
4.2.1. Dekomposisi awal
Dari datayang di dapat diatas, dapat dilihat bawa suhu yang di dapat pada bagian atas, tengah, dan bawah mengalami penurunan dari hari pertama sampai hari ke 7. Hal tersebut terjadi karenan proses dekomposisi yang terjadi pada bahan
organic
unsur-unsur
haranya
yang
terkandung
diuraiakan
oleh
mikroorganisme seperti jamur, bakteri, sehingga menjadi lebih sederhana. Proses dekomposisi dipengaruhi oleh beberapa faktor yaitu nisbah C/N (rasio C/N yang baik sekitar 20-40), ukuran partikel, ruang diantara partikel-partikel dalam kompos, kandungan air (55%). Dalam proses dekomposisi awal ada 2 fase yaitu fase aktif dan fase pengomposan. Fase aktif yaitu saat suhu naik sampai 64 oC. hal ini disebabkan oleh aktifitas mikroorganisme dalam mengura senyawa kompleks menjadi
19
sederhana. Sedangkan fase pengomposan ketika suhu menurun, mikroorganisme mesofilik digantikan oleh bakteri
Dekomposisi awal merupakan proses penguraian senyawa kompleks menjadi sederhana. Pada perhitugan nisbah C/N diperoleh kebutuhan feses sapi sebanyak 1 kg dan jerami padi sebanyak 1,9 kg. Jerami padi digunakan karena merupakan sumber karbon yang sangat diperlukan untuk mengidealkan nisbah C/N. Sesuai dengan pernyataan Russel (1973), kecepatan dekomposisi bahan organik yang kandungan nitrogennya rendah dapat ditingkatkan dengan penambahan sumber nitrogen baru, selain itu bahan yang semakin heterogen akan lebih cepat terdekomposisi dibandingkan dengan bahan yang homogen. Bahan organik dengan dekomposisi lambat dapat dipercepat proses dekomposisinya dengan menambahkan bahan yang mudah terdekomposisi. Pupuk organik yang berbentuk cair dapat mempermudah dalam proses penyerapan unsur-unsur hara yang terkandung di dalamnya. 4.2.2. Pembuatan Pupuk organic caiar ( POC )
Pupuk organic cair dihasilkan dari ekstraksi padatan hasil dekomposisi dengan menggunakan penyaringan. Dalam praktikum kelompok 2 mendapatkan hasil 5,5 liter dan ditambah air 4,5 liter sehingga menjadi 10 liter. Hal tersebut dilakukan karena masih adanya zat yang mengendap pada kompos dan juga terjadi penguapan. PErlakuan yang dipakai pada saat pembuatan POC adalah aerob, dan untuk mempercepat proses pengomposan dilakukan proses aerasi
4.2.3. Pembuatan Biogas
Dalam pembuatan biogas, substrat yang telah dihomogenkan degan molasses tidak perlu ditekan padat, hal tersebut dilakukan agar terdapat rongga untuk gas. Molasses yang digunakan yaitu sebagai sumber C yang akan membantu penguraian N, dalam proses ini terdapat Lactobacillus sp. yang berperan sebagai mikroorganisme aktif sebagai pengurai.
20
Jika bahan yang digunakan adalah feses segar, maka akan dihasilkan gas ammonia yang lebih banyak. Faktor yang mempengaruhi pembentukan CH 4 pada proses ini adalah CO2. Gas yang tertampung di dalam penampung gas tidak seluruhnya CH4, namun dapat pula tertampung gas lain yang merugikan yaitu ammonia dengan ciri gas yang tertampung dalam penampung ban terasa penuh, padat, dan keras. Proses persiapan pembuatan biogas berlasung dengan baik. Namun pada hasilnya, biogas tidak dihasilkan karena beberapa faktor. Kegagalan proses pencernaan anaerobik dalam digester biogas bisa dikarenakan tidak seimbangnya populasi bakteri metanogenik terhadap bakteri asam yang menyebabkan lingkungan menjadi sangat asam (pH < 7) yang selanjutnya menghambat kelangsungan hidup bakteri metanogenik. Kondisi keasaman yang optimal pada pencernaan anaerobik yaitu sekitar pH 6,8 sampai 8, laju pencernaan akan menurun pada kondisi pH yang lebih tinggi atau rendah. Bakteri yang terlibat dalam proses anaerobik membutuhkan beberapa elemen sesuai dengan kebutuhan organisme hidup seperti sumber makanan dan kondisi lingkungan yang optimum. Bakteri anaerob mengkonsumsi karbon sekitar 30 kali lebih cepat dibanding nitrogen. Hubungan antara jumlah karbon dan nitrogen dinyatakan dengan rasio karbon/nitrogen (C/N), rasio optimum untuk digester anaerobik berkisar 20 - 30. Jika C/N terlalu tinggi, nitrogen akan dikonsumsi dengan cepat oleh bakteri metanogen untuk memenuhi kebutuhan pertumbuhannya dan hanya sedikit yang bereaksi dengan karbon akibatnya gas yang dihasilnya menjadi rendah. Selain itu, menurut Haryati (2006), terdapat pula hal-hal yang perlu diperhatikan agar proses pengoperasian digester, yaitu: 1. Pengadukan 2. Kontrol temperatur 3. Koleksi/penampungan gas 4. Posisi digester 5. Waktu retensi
21
praktikum pembuatan biogas dilakukan penyusunan substrat dan air serta molasses kedalam digester dan menutupnya menggunakan klep karet yang diberi vaselin. Pada hari 1-4 sedang berjalannya proses pembentukan gas metan. Pada hari ke 5 karet ban mulai terisi namun pada hari ke 6 mulai mengempis kembali hal ini disebabkan bocornya klep penutup digester dan bocornya ban karet Menurut Widodo (2006) kandungan nutrient utama untuk bahan pengisi biogas adalah nitrogen fosfor dan kalium. Kandungan nitrogen dalam bahan sebaiknya sebesar 1,45%, sedangkan fosfor dan kalium masing – masing sebesar 1,1%. Nutrien utama tersebut dapat diperoleh dari substrat kotoran ternak dan sampah daun yag dapat meningkatkan rasio C/N dalam biogasDalam . 4.2.4. Pembuatan Pupuk Organik Padat
Selama 7 hari cacing yang disimpan dalam medianya tumbuh dan berkembang. Hal tersebut menandakan bahwa media yang dibuat sudah sesuai dengan daya adaptasi cacing. Pada media tersebut telah diamati terdapat pula kokon yang menandakan bahwa cacing tersebut mengalami proses reproduksi selama hidup dalam media yang disediakan. Terdapat cacing yang telah menjadi induk dan cacing-cacing baru yang dihasilkan dari induknya.Cacing yang terdapat dalam media tersebar secara merata, hal tersebut menandakan bahwa kadar oksigen pada media tersebar secara merata. Serta, kascing yang terdapat dalam media sangatlah banyak, hal tersebut menandakan bahwa nutrisi yang terkandung dalam media terserap dengan baik oleh cacing. Beberapa hal tersebut sesuai dengan pernyataan Sudiarto (1998), cacing tanah mampu mengolah bahan organik berupa sampah rumah tangga ataupun limbah sayuran melalui proses metabolisme yang sangat efisien dalam tubuh cacing tanah dan dari proses tersebut akan menghasilkan bahan dalam bentuk kotoran cacing (kascing ). Pembuatan POP dilakukan menggunakan prinsip vermicomposting. Vermicomposting adalah proses pengomposan yang dilakukan oleh cacoing tanah. Cacing tanah dapat mempercepat proses dekomposisi dan menyediakan
22
produk akhir tang kaya nutrisi yang dinamakan vermicompost . Cacing tanha yang biasa digunakan untuk pembuatan vermicomposting Lumbricus rubelllus. Pada Praktikum
setelah
menggemburkan.
diamati
seminggu
cacing
menjadi
lebih
besar
dan
23
V KESIMPULAN
Dekomposisi awal merupakan proses penguraian senyawa kompleks menjadi sederhana, proses dekomposisi awal ada 2 fase yaitu fase aktif dan fase pengomposan
Nisbah C/N mempengaruhi kualitas pupuk organik cair, dengan nisbah C/N 30 diperlukan feses sapi perah sebanyak 1 kg yang dicampur dengan 1,9 kg jerami padi..
Keberhasilan pembuatan biogas tergantung pada kesesuain nisbah C/N yang terdapat dalam bahan pembuatan biogas yaitu substrat yang dicampur dengan molasses.
Media buatan yang dibuat untung pupuk organik padat dalam proses vermikomposting cukup kondusif bagi pertumbuhan dan perkembangan hidup cacing.
24
DAFTAR PUSTAKA
Adams, C. A. 2000. Enzim Komponen Penting dalam Pakan Bebas Antibiotik. http://siauwlielie.tripod.com/art_012-07.htm (25 November 2015). Cahaya AT dan Nugraha DA. 2008. Pembuatan Kompos dengan Menggunakan Limbah Padat Organik (Sampah Sayuran dan Ampas Tebu). Jurusan Teknik Kimia, Fakultas Teknik. Universitas Diponegoro, Semarang. Crawford, J. S., 1979. Probiotics in Animal Nutrition. Arkansas Nutr. Conf.: 45−55. Cruywagen, C. W., I. Jordan and L. Venter. 1996. Effect of Lactobacillus acidophillus Supplementation of Milk Replacer on Preweaning of Calves . J. Dairy Science. 79 : 483-486. Dalzell HW, Bidlestone AJ, Gray KR, Thurairajan K. 1980. Soil Management: Compost Production and Use in Tropical and Subtropical Environment . Soil Bulletin 56. Food and Agricultural Organization of The United Nation. Elcock, G dan Martens, J. 1995. Composting with Red Wiggler Worns. Published by City Farmer, Canada’s Office of Urban Agriculture. Engler, C .R ., M.J. Mcfarland And R.D. Lacewell. 2000. Economic and Environmental Impact of Biogas Production and Use. Http//:Dallas .Edu/Biogas/Eaei . Html. (25 November 2015). Epstein E. 1997. The Science of Composting . Publishing Inc. Technomic Pennsylvania Lancaster. Fuller, R. 1992. The Importance of Lactobacillus in Maintaining Normal Microbial Balance in The Crop. British Poultry Sci. 18:85. Hadisuwito, S. 2007. Membuat Pupuk Kompos Cair . PT. Agromedia Pustaka. Jakarta. Hakim, N., M. Y. Nyakpa, A. M Lubis, G. N. Sutopo, M. A Diha, G. B. Hong dan H.H Bailey. 1986. Dasar-dasar Ilmu Tanah. Universitas Lampung Press. Lampung. Hardiwinoto, S., Rahayu, N., Agus, C., Nurjanto, H., H., Widiyatno, dan Supriyo, H. Peranan Bahan Organik Ber-Nisbah C/N Rendah dan Cacing Tanah Untuk Mendekomposisi Limbah Kulit Kayu Gmelina arborea . 2005. Pusat Studi Lingkungan Hidup. Universitas Gadjah Mada. Yogyakarta.
25
Haryanti, T. 2006. Biogas: Limbah Peternakan yang Menjadi Sumber Energi Alternatif. Balai Penelitian Ternak. Bogor. Ismayana, A., Indrasti, N., S., Suprihatin., Maddu, A., dan Fredy, A. 2012. Faktor Rasio C/N Awal dan Laju Aerasi Pada Proses Co-Composting Bagasse dan Blotong . Jurnal Teknologi Industri Pertanian. 22 (3): 173-179 Isroi. 2008. Kompos. Balai Penelitian Bioteknologi Perkebunan Indonesia. Bogor. Lavelle, P., M. Dangerfield, C. Fragoso, V. Esclrenbrenner, D. Lopez-Hernandes, B. Pashanasi, L. Brussaard. 1994. The Relntionship Between Soil Microfauna and Tropical Soil Fertility. Dalam Woomer dan Swift (Eds), The Biological Management of Tropical Soil Fertility. John Willey&Sons. UK. pp. 137- 170. Lesson, S and J. D. Summers. 2000 . Broiler Breeder Production. University Books. Guelph, Ontario. Canada. Marlina, E.T., Ellin Harlia, dan Yuli Astuti Hidayati. 2006. Reduksi Bakteri Koliform Melalui Proses Biogas (Skala Laboratorium) Campuran Feses Sapi Potong Dengan Serbuk Gergaji . Faculty of Husbandry Padjadjaran University. Bandung. Mashur. 2001. Vermikompos, Pupuk Organik Berkualitas dan Ramah Lingkungan. http://202.158.7.180/agritech/ntbr0102.pdf (diakses 25 November 2015) McDonald, P.,A.R.Edwards, J.F.D. Greenhalgh and C. A. Morgan. 2002. Animal Nutrition. 6th Ed . Ashford Colour Press Ltd., Gosport. British. Rohaeni, Mimi. 2014. Pengolahan Limbah Terpadu. http://disnak.jabarprov.go.id/index.php/subblog/read/2014/2925/PENGOLA HAN-LIMBAH-TERPADU/artikel (25 November 2015). Rukmana, R. 1999. Budidaya Cacing Tanah. Penerbit Kanisius. Yogyakarta. Russel, EW. 1973. Soil Conditions and Plant Growth. 10th Ed. Longman. London. Setiawan I., A. 2007. Memanfaatkan Kotoran Ternak. Penebar Swadaya. Jakarta. Slamet, R. ,Arbianti, dan Daryanto. 2005. Pengolahan Limbah Organik (Fenol) dan Logam Berat (Cr6+ atau Pt4+) Secara Simultan dengan Fotokatalis TiO2, ZnO-TiO2, dan CdS-TiO2 . Jurnal Makara Teknologi Vol. 9 (2) Hal: 1-3. Sudiarto, B. 1988. Petunjuk Praktis Budidaya Cacing Tanah dan Manfaatnya. Pusat Penelitian Sumber Daya Alam dan Lingkungan UNPAD. Bandung.
26
Wahyuningsih, R. 1996. Pengaruh Mikoriza Vesikular Arbuskular dan Pupuk Kascing Terhadap Serapan P dan Hasil Tanaman Tomat pada Humic Hapludults. Jurusan Ilmu Tanah. Faperta UNPAD. Bandung.
27
LAMPIRAN
Gambar 1. Dekomposisi Awal
Gambar 2. Proses Ekstraksi dan Filtrasi
Gambar 3. Hasil Filtrasi
Gambar 4. Proses Filtrasi
28
Gambar 5. Pupuk Organik Cair
Gambar 6. Cacing untuk Vermicomposting
29
Gambar 7. Vermicomposting
Gambar 8. Biogas