Abstrak
Dilaporkan seorang wanita, umur 28 tahun konsulan dari bagian obgin dengan P2A0, post partum spontan dengan vakum ekstraksi, krisis tiroid dan decomp decompens ensasi asi cordis cordis grad grade e IV. IV.
Pasien Pasien menge mengeluh luh sesa sesak k
yang yang semak semakin in
memberat memberat selama kehamilan, kehamilan, dada sering sering berdebar-d berdebar-debar, ebar, tangan sering sering kesemutan, adanya benjolan di leher yang ikut bergerak bila menelan ludah, bola mata menonjol keluar disertai pembengkakan di kedua kaki. ± 3 tahun yang lalu pasien didiagnosa memiliki penyakit gondokan dan diberi obat tetapi karena keluhan semakim memberat pasien tidak kontrol lagi. Di UGD RS Sarjit Sarjito o pasien pasien tampak tampak sesak, sesak, kesadar kesadaran an kompos komposmen mentis tis,, tensi 190/110mmHg, HR. 152-200 x/mnt, RR.26 – 36x/mnt, suhu. 37,6 oC. RBK +/+, wheezing wheezing -/-, Vesikuler Vesikuler +/+. Gambaran Gambaran EKG : STC 160 x/menit, x/menit, AFRVR. berdasarkan Sistem skoring Burch dan Wartofsky (Migneco, 2005), didapatkan adanya takikardi ≥ 140 (25), adanya udem pulmo (15), adanya atrial atrial fibri fibrilasi lasi(10 (10), ), adanya adanya kelain kelainan an system system syaraf syaraf yang yang dimula dimulaii dengan dengan adanya adanya agitasi agitasi hingga hingga kejang kejang (30) (30) serta serta adanya adanya faktor faktor pencet pencetus us berupa berupa keha kehami mila lan n
dan dan
pers persal alin inan an perv pervag agin inam am deng dengan an ekst ekstra raks ksii
vaku vakum m (10) (10)
sehingga jumlah skor adalah 90. Dimana bila skor ≥ 45 maka krisis tiroid dapat ditegakkan. Pasien dilakukan pemasangan Non Rebreathing Rebreathing Mask dengan oksigen 10 liter/menit liter/menit dan ditransport ke ICU. Di ICU pasien diberikan diberikan terapi suportif berupa berupa ventilas ventilasii mekan mekanik, ik, pemasang pemasangan an monitor monitor invasive invasive dan
invasi invasive ve
beru berupa pa CVC CVC dan dan nutr nutris isi. i. Tera Terapi pi kausa kausati tiff dibe diberi rikan kan beru berupa pa pemb pember eria ian n antibioti antibiotik k ,lugol, ,lugol, PTU, kortikoster kortikosteroid oid dan furosemid furosemid.. Disini Disini tidak tidak dilakukan dilakukan pemberian propanolol dikarenakan adanya udem paru pada pasien. Selama perawatan ICU kondisi pasien semakin memburuk dikarenakan tidak tidak adanya adanya respon respon terhad terhadap ap obat-oba obat-obatan tan inotro inotropik pik dan vasopr vasopreso esorr dan terapi lain yang diberikan sampai akhirnya pasien dinyatakan meninggal.
PENDAHULUAN
Krisis tiroid merupakan keadaan klinis yang mengancam jiwa, suatu keadaan klinis yang berat dari hipertiroid, merupakan hasil dari kegagalan tubuh tubuh untuk untuk melaku melakukan kan kompen kompensasi sasi hiper hipertir tiroid oid yang yang berat. berat. Lebih Lebih sering sering terjadi pada wanita dibanding pria, dengan angka kematian sekitar 10 – 20%. 20 %. Onset Onset biasan biasanya ya mendad mendadak ak dan faktor faktor pencet pencetus us dapat dapat diiden diidentif tifika ikasi si pada sekitar 50% kasus. (Oh, 2009) Hiper Hipertir tiroid oid ditemu ditemukan kan sekit sekitar ar 0,2% 0,2% dari dari seluru seluruh h kehami kehamilan lan.. Tanda Tanda klinis dari hipertiroid pada kehamilan seperti takikardi, berkeringat dan sesak nafas kelihatan normal pada kondisi hamil. Gagal jantung kongestif, badai tirod dan resiko preeklampsi preeklampsi secara secara signifikan dapat meningkat pada wanita wanita dengan hipertiroid yang tidak terkontrol (Lazarus, 2005). Krisis Krisis tiroid tiroid harus harus dikena dikenali li dan ditanga ditangani ni berdasa berdasarka rkan n manife manifesta stasi si klinis karena konfirmasi laboratoris seringkali tidak dapat dilakukan dalam rentang waktu yang cukup cepat. Pasien biasanya memperlihatkan keadaan hipermetab hipermetabolik olik yang ditandai oleh demam tinggi, tinggi, takikardi, takikardi, mual, muntah, agitasi, agitasi, dan psikosis. psikosis. Insidensi krisis krisis tiroid tiroid adalah sekitar sekitar 1-2% dari pasien pasien hipertiroidisme. Namun, krisis tiroid yang tidak dikenali dan tidak ditangani dapat dapat beraki berakibat bat sangat sangat fatal. fatal. Angka Angka kemati kematian an orang orang dewasa dewasa pada pada krisis krisis tiroid mencapai 10-20%. Bahkan beberapa laporan penelitian menyebutkan hing hingga ga seti seting nggi gi 75 75% % dari dari popu popula lasi si pasi pasien en yang yang dira dirawa watt inap inap.. Deng Dengan an tiro tiroto toksi ksikos kosis is yang yang terk terken endal dalii dan dan pena penang ngan anan an dini dini kris krisis is tiro tiroid id,, angk angka a kematian dapat diturunkan hingga kurang dari 20%. (Misra, 2010 ; Schraga, 2009).
PATOFISIOLOGI Patofisiologi badai tiroid atau krisis tirotoksik belum dapat dimengerti.
Kejadian kelenjar tiroid adalah aktivitas yang berlebihan (total bebas T4 dan T3). Gejala dan tanda hipertiroid adalah aktivitas simpatis yang berlebihan yang melepaskan epinefrin dan norepinefrin, meningkatnya sensitivitas katekolamin dan meningkatnya cAMP merupakan dasar meningkatnya aktivitas
adrenergik.
cardiostimulator, Termogenesis
Hormon
dengan meningkat
tiroid
takikardi dengan
secara dan
langsung
meningkatkan
vasodilatasi
memiliki
efek
kontraktilitas.
merupakan
respon
kompensasi untuk meningkatkan temperatur tubuh (Bongard, 2002).
FAKTOR PENCETUS Kebanyakan pasien yang datang dengan keadaan krisis memiliki penyakit dasar Grave’s disease yang tidak dikenali atau tidak terkontrol. Dimana faktor yang dapat memperberat seperti infeksi, trauma, prosedur operatif, diabetes yang tidak terkontrol, kehamilan, eklampsia. Krisis justru merupakan keadaan yang jarang terjadi pada tindakan bedah tiroid, tetapi dilaporkan terjadi pada keadaan palpasi atau tekanan yang berlebih pada kelenjar tiroid, preparasi yang tidak lengkap, dan dosis yang tidak adekuat dari antagonis β adrenergik selama perioperatif (Oh,2009).
GEJALA KLINIS
Badai tiroid merupakan tanda tirotoksikosis berat dengan demam dan gangguan status mental. Perubahan status mental meliputi bingung, agitasi, psikosis, atau kasus berat sampai koma. Hiperpireksia, takikardi dengan atrial fibrilasi, delirium, agitasi atau koma, muntah, diare, dan kelemahan otot merupakan keadaan klinis yang utama. Diagnosa banding yang sering adalah sepsis, tetapi manifestasi klinis dapat rancu dengan keadaan hipertermi yang lain, opioid withdrawal, overdosis adrenergik atau kolinergik. Manifestasi klinis dapat sangat kompleks dengan adanya faktor presipitasi dan penyakit dasar yang menyertai. Manifestasi kardiovaskuler meliputi
takikardi, aritmia (sinus atau supraventrikel takikardi, atrial fibrilasi) dan kegagalan jantung. Pasien dengan kegagalan jantung biasanya pada usia tua dan memiliki riwayat gangguan jantung. Hipotensi dan syok merupakan manifestasi lanjut. Gastrointestinal meliputi mual, muntah, diare, dan nyeri perut. Kehilangan berat badan dan kakeksia bisa terjadi. (Oh, 2009)
Tabel 1. Sistem skoring Burch dan Wartofsky (Migneco, 2005).
Bila skor ≥ 45
à
krisis tiroid, skor 25 -44
à
impending krisis tiroid, skor ≤ 24
bukan krisis tiroid.
LABORATORIUM Pada penderita hipertiroid dapat terjadi gangguan fungsi liver, antara lain
seperti
meningkatnya
aminotransferase,
hiperbilirubinemia
dan
hepatomegali umumnya terjadi. Meningkatnya T4 bebas, T3 bebas, dan menurunnya TSH. (Oh, 2009)
TERAPI DAN MANAJEMEN
Manajemen temasuk penegakan diagnosis dan terapi spesifik, suportif, untuk mengurangi sintesis, pelepasan, konversi perifer dan efek perifer dari hormon tiroid. Diagnosis dari krisis tiroid adalah klinis dan tatalaksana harus agresif. Beberapa terapi obat yang berbeda mekanisme untuk memblok sintesa, sekresi, aktivasi atau aksi hormon tiroid dapat digunakan secara bersama-sama untuk mengontrol secara cepat hipertiroid. (Bongard, et al., 2002)
Tabel 2. Terapi krisis Tiroid (Henneman, 2003)
Antagonis
β
adrenergik melawan efek
dari hormon tiroid dan
hipersensitivitas karena efek katekolamin. Propanolol merupakan obat pilihan, juga menghambat konversi T4 menjadi T3. Takikardi, demam, hiperkinesia, dan tremor berespon cukup cepat. Pemberian dosis awal 0,5 –
11 mg I.V diberikan secara perlahan setiap 5 – 10 menit sampai 10mg. diikuti dengan 40 – 60 mg oral setiap 6 jam. Kortikosteroid pada umumnya diberikan
selama
krisis,
karena
defisiensi
relatif
dapat
terjadi,
dan
glukokortikoid menghambat konversi perifer T4 menjadi T3. PTU mempunyai onset yang cepat, dan efeknya dengan memblok iodinasi tirosin dan hambatan parsial terhadap konversi T4 ke T3. Dosis awal 100 mg dapat diberikan, dilanjutkan dengan 100 mg per 2 jam. Sodium iodide 1 gr i.v, dapat diberikan per 12 jam sebagai infus continuous atau bolus dalam beberapa menit. Iodine kerjanya menghambat dilepaskannya hormon tiroid dari kelenjar. Iodine juga menghambat sintesa hormon tiroid. Intravena sodium iodine diberikan dosis 1g perhari. Digoxin diindikasikan menyertai koreksi hipokalemia jika terdapat atrial fibrilasi atau gagal jantung (Oh, 2009)
EDEMA PARU Hormon tiroid memberi efek terhadap hemodinamik kardiovaskular. Aksi dari hormone tiroid dalam meningkatkan konsumsi oksigen perifer dapat secara langsung kontraktilitas jantung. Triiodothyronine menurunkan resistensi pembuluh darah perifer dengan mendilatasi arteriola yang resisten pada sirkulasi perifer sehingga volume pengisian arteri menurun dan terjadi peningkatan pelepasan renin. Dengan meningkatnya reabsorbsi natrium renal dapat meningkatkan volume plasma. Hal ini dapat meningkatkan volume darah dan preload yang akhirnya dapat meningkatkan cardiac output (Klein, 2001).
Gambar 1. Efek hormon tiroid terhadap hemodinamik kardiovaskuler (Klein, 2001).
Komplikasi yang paling sering pada ibu hamil dengan hipertiroid kronis yang tidak terkontrol adalah gagal jantung dan krisis tiroid. Pada pasien dengan
hipertiroid
yang
berat
dan
kronis
dapat
terjadi
penurunan
kontraktilitas jantung sehingga dapat terjadi penurunan cardiac output dan terjadi gagal jantung dan kongesti paru. Hal ini umumnya ditemukan bila munculnya sinus takikardi persisten atau atrial fibrilasi yang berkaitan dengan gagal jantung (Yang, 2005 ; Klein, 2001). Edema
paru-paru
merupakan
penimbunan
cairan
serosa
atau
serosanguinosa secara berlebihan di dalam ruang interstisial dan alveolus paru-paru. Jika edema timbul akut dan luas, sering disusul kematian dalam waktu singkat. Edema paru-paru mudah timbul jika terjadi peningkatan tekanan hidrostatik dalam kapiler paru-paru, penurunan tekanan osmotik koloid seperti pada nefritis, atau kerusakan dinding kapiler. Dinding kapiler yang rusak dapat diakibatkan inhalasi gas-gas yang berbahaya, peradangan seperti pada pneumonia, atau karena gangguan lokal proses oksigenasi. Penyebab yang tersering dari edema paru adalah kegagalan ventrikel kiri akibat penyakit jantung arteriosklerotik atau stenosis mitralis. Edema paruparu yang disebabkan kelainan pada jantung ini disebut juga edema paru
kardiogenik, sedangkan edema paru yang disebabkan selain kelainan jantung disebut edema paru non kardiogenik (Wilson, 2006 ; Stoelting, 2002). Edema paru dibagi menjadi 4 stadium, yaitu: (Morgan, 2006) •
Stadium I
Berupa edema paru interstitial. Pasien takipneu akibat dari compliance paru menurun. Foto thorak menunjukkan corakan vaskuler paru sampai diperifer dan peribronchial cuffing. •
Stadium II
Cairan mengisi interstitial dan mulai mengisi alveoli, mula-mula mengisi sudut disekitar septa. Pertukaran gas relatif masih baik. •
Stadium III
Alveoli dipenuhi dengan cairan, banyak alveoli yang tidak terisi udara. Cairan paling banyak terutama di area yang paling bawah (dependent area) dari paru. Aliran darah melewati kapiler dengan alveoli yang berisi cairan sehingga terjadi shunting. Hipoksemia dan hipokapnia merupakan gejala yang menonjol. •
Stadium IV
Alveoli
dipenuhi
dengan
cairan
sampai
mengalir
ke
jalan
nafas.
Pertukaran gas sudah sangat terganggu akibat shunting dan obstruksi jalan nafas, sehingga terjadi hiperkapnia dan hipoksemia yang berat . Ada
3
gambaran
radiologis
utama
yang
dapat
digunakan
untuk
membedakan kardiogenik dan non kardiogenik edema paru secara radiologis yaitu distribusi aliran darah paru, distribusi edema paru dan lebar pedikel pembuluh darah. Distribusi aliran darah, pada pasien dengan edema paru hirostatis terjadi redistribusi aliran darah, sedangkan pada pasien dengan edema paru kardiak tidak terjadi redistribusi. Distribusi edema adalah simetris pada edema paru kardiak atau over hidrasi sedangkan pada edema
paru permeabilitas patchy dan periferal. Ukuran jantung serta ada atau tidaknya septal lines juga dapat digunakan sebagai salah satu kriteria untuk membedakan edema paru kardiak dan non kardiak dengan akurasi 83%. Jadi jika jantung membesar dan terdapat septal lines, kemungkinan besar edema paru kardiak. .
Pedicle pembuluh darah dapat dilihat dengan mengukur
lebar mediastinum tepat dibawah arkus aorta, dengan lebar yang normal berkisar antara 43 mm sampai 53 mm dengan posisi pasien berdiri. Pedicle pembuluh darah melebar pada 60% pasien dengan gagal jantung serta 85% pada pasien dengan gagal ginjal atau over hidrasi. Hal yang berlawanan pada pasien dengan edema permeabilitas, dimana pedicle pembuluh darah masih dalam batas normal pada 70% kasus (Bongard, 2002). Edema paru kardiogenik ditandai dengan transudasi kelebihan cairan kedalam paru sekunder akibat peningkatan tekanan di atrium kiri dan vena pulmonalis serta kapiler pulmonal. Hal ini tanpa ada perubahan dalam permeabilitas atau integritas dari lapisan endotel dan epitel pada kapiler pulmonal. Hasil akhirnya adalah filtrasi dari cairan dengan kandungan protein yang rendah melewati endotel pulmonal ke interstitial pulmonum serta ruang alveoli, sehingga terjadi penurunan kapasitas difusi, hipoksia dan sesak nafas. Ada 2 mekanisme peningkatan tekanan hidrostatis kapiler yaitu hipertensi vena pulmonalis dan peningkatan aliran darah paru. Penyebab hipertensi vena pulmonalis antara lain gagal ventrikel kiri, stenosis mitralis atau obstruksi atrium kiri. Peningkatan aliran darah paru dapat terjadi akibat kelainan jantung dengan shunting kiri ke kanan atau shunting perifer, hipervolemia (overhidrasi), anemia berat (Morgan, 2006). Manajemen awal pasien dengan udem paru kardiak harus membahas ABC resusitasi, yaitu, jalan napas, pernapasan, dan sirkulasi. Oksigen harus diberikan kepada semua pasien untuk menjaga saturasi oksigen> 90%. Tujuan utama dari penatalaksanaan udem paru kardiogenik adalah (1) penurunan kembali vena paru (pengurangan preload), (2) penurunan resistensi vaskuler sistemik (reduksi afterload), dan (3) dukungan inotropic
dalam beberapa kasus. Preload pengurangan penurunan tekanan hidrostatik kapiler paru dan mengurangi transudation cairan ke paru-paru dan alveoli intersititium.
Penurunan
afterload
meningkatkan
output
jantung
dan
memperbaiki perfusi ginjal, yang memungkinkan untuk diuresis pada pasien dengan overload cairan. Pasien dengan disfungsi LV parah atau gangguan katup akut bisa hadir dengan hipotensi. Pasien ini tidak dapat mentolerir obat untuk mengurangi preload dan afterload. Oleh karena itu, tujuan ketiga dalam subset dari pasien adalah untuk memberikan dukungan inotropic untuk menjaga tekanan darah yang memadai. Jiga dengan pemberian farmakologi berupa morfin,diuretic, vasodilator dan inotropik (Sovari, 2008 ; Morgan, 2006).
LAPORAN KASUS Identitas pasien Nama
: Ny. L
Umur
: 28 tahun
No. CM
: 01 44 38 50
Masuk RS
: 26 Oktober 2009
Masuk ICU : 26 Oktober 2009
Anamnesis Riwayat Penyakit Sekarang : Pasien kiriman dari RSUD Sleman dengan diagnosa Kala II awal disertai udem pulmo dan decompensasi cordis grade IV. Pasien merasa hamil 8 bulan, perut terasa kencang-kencang teratur, keluar lendir darah dan keluar air ketuban. Pasien juga mengeluh sesak nafas yang semakin berat sejak masa kehamilan. Pasien tidak pernah berobat selama masa kehamilan. Pasien juga mengeluh dada sering berdebar-debar, tangan sering gemetar disertai adanya pembengkakan di
kedua kaki. Pasien dirujuk ke RS Sarjito dan dilakukan partus spontan dengan vakum ekstraksi setelah itu pasien dikonsulkan untuk perawatan ICU.
Riwayat Penyakit Dahulu : ± 3 tahun yang lalu pasien pernah berobat di dokter swasta di daerah Rengat dan didiagnosa memiliki penyakit gondokan dan diberi obat. Tetapi karena setelah minum obat pasien merasa mata dan kaki menjadi bengkak disertai tangan menjadi gemetar pasien menghentikan konsumsi obatobatan tersebut dan tidak pernah berobat ke dokter atau puskesmas terdekat untuk kontrol hingga kehamilan 8 bulan. Dari hasil pemeriksaan di UGD RS sarjito didapatkan data bahwa pasien
tampak
sesak.
Kesadaran
composmentis.
Dengan
tensi
190/110mmHg, HR. 152-200 x/mnt, RR.26 – 36x/mnt, suhu. 37,6 oC. RBK +/+, wheezing -/-,
Vesikuler +/+. Kemudian dilakukan pemasangan Non
Rebreathing Mask dengan oksigen 10 liter/menit. Dari hasil pemeriksaan laboratorium didapatkan : Hb. 12,8 Hct. 38
AL. 16
Creat. 1,3 Na. 133
AT. 511
AE. 4,56
BUN. 15
GDS 155
K. 4,2
Cl. 107
Ca 1,46
Mg 0,91
FreeT4
2,74 h-TSH 0,04 T4 14,53
T3 1,0
AGD : FiO2 : 0,3
PH : 7,131 PCO2 : 32,4
PO2
: 75,1
HCO3: 10,6 BE
: -17,3
AaDO2
: 523,9
SO2 : 87
EKG : HR 160 x/menit, AFRVR
PEMERIKSAAN FISIK:
Pasien masuk ICU pada tanggal 26 Oktober 2009 jam 21.30, dari UGD diantar oleh residen anestesi dan residen Obgin dengan KU lemah, compos mentis, tampak sesak, terpasang NRM 10L/mnt, terpasang IV line di tangan kiri dengan infus RL
Pada pemeriksaan: K/L
: pupil isokor 3mm/3mm, RC +/+, anemis -/-, exopthalmus, JVP
meningkat, Massa thyroid (+), terpasang NRM 10L/mnt Thorak
: Cor : T.140/106mmHg, MAP : 117 , HR. 119 x/mnt, regular,
bising (-) Pulmo : RR 30-34 x/mnt, RBK +/+, wheezing -/-, Vesikuler +/+ Abd
: Teraba uterus setinggi umbilicus , H/L tidak teraba, turgor dbn,
peristaltic (+) normal Ekst : edema ekstremitas bawah +/+, akral hangat
Perawatan di ICU Hari 0
Pemeriksaan Fisik KU : CM, Lemah GCS : E4V5M6 TD : 120-160/50-107 HR : 120-150x/mnt RR : 12-50 Temp: 37,2 - 37,8°C Kepala/leher :Pupil Ø 3 mm, RC +/+ , CA -/Jantung : S1-S2 tgl, reg murmur (-) Paru : ves +/+. Rbk +/+, wh-/-, Sat. 94-99%% Abdomen : soufle, H/L ttb, peristaltik + Extremitas :
Pmx penunjang Hb. 12,8 Hct. 38 AL. 16
Assesment/masalah Krisis tiroid Edema Pulmo Akut CHF grade IV
AT. 511 AE. 4,56 BUN. 15 Creat. 1,3 GDS 155 Na. 133 K. 4,2 Cl. 107
Pada jam 01.00 WIB pasien mengalami kejang, kesadaran menurun kemudian dilakukan intubasi endotrakheal
Tindakan Ventilasi : NRM 10 l/mnt Terapi medikamentosa : Ceftriaxone 3x1 gram Lasix 1x20 mg PTU 4x100 mg Lugol 4x 10 tetes Digoxin 1x0,5 mg Intake parenteral: RL 500 cc
Ca 1,46 Mg 0,91
AGD :
Balans cairan CM : 432 ml
edema tungkai bawah +/+
FiO2
: 0,9
PH
Hari 1
Pemeriksaan Fisik KU : Sopor GCS : E1VTM1 TD : 70-160/40-107 HR : 120-150x/mnt RR : 14-24 Temp: 37,2 - 39,5°C Kepala/leher :Pupil Ø 4 mm, RC +/+ menurun, CA -/Jantung : S1-S2 tgl, reg murmur (-) Paru : ves +/+. Rbk +/+, wh-/-, Sat. 94-99%% Abdomen : soufle, H/L ttb, peristaltik + Extremitas : edema tungkai bawah +/+
CK : 50 ml IWL : 147 ml BC : + 235 ml UO : 0,16 cc/kgBB/jam
: 7,36
PCO2
: 23,8
PO2
: 85,3
HCO3
: 13,3
BE
: -10,6
AaDO2
: 523,1
SO2
: 95,6
Pmx penunjang CKMB 72 CK 406 Troponin 0,61 freeT4 2,49 h-TSH 0,045 GDS 63 Na. 136 K. 5,87 Cl. 113 Ca 1,46 Mg 0,91 AGD : FiO2
: 0,45
PH
: 7,34
PCO2
: 28,5
PO2
: 117
HCO3
: 15,6
BE
: -8,3
AaDO2
: 167,2
SO2
: 98,4
Assesment/masalah Krisis tiroid Edema Pulmo Akut CHF grade IV
Tindakan Ventilasi : On ventilator mode P-SIMV RR12, PS 15 Peep 8, FiO2 45%
Hiperkalemia, Peningkatan CKMB,CK,Troponin, freeT4
Pemasangan CVC
Mulai pukul 16.00 WIB terjadi periode hipotensi sehingga NTG di stop dan diberi terapi dobutamin titrasi dan vascon titrasi. Kemudian mulai pukul 22.00 nadi sekitar 180-195 x/menit sehingga diberi amiodaron bolus intravena dan dilanjutkan titrasi.
Ro thorax :
edema pulmo
Pemeriksaan Fisik KU : Coma GCS : E1VTM1 TD : 80-130/50-70 HR : 130-150x/mnt RR : 16-30 Temp: 37,2 - 39,2°C Kepala/leher :Pupil Ø 4 mm, RC +/+ menurun , CA -/-
Pmx penunjang Hb. 11,2 Hct. 35,1 AL. 30,78 AT. 236 AE. 4,56
Terapi medikamentosa : Ceftriaxone 3x1 gram Lasix 1x20 mg NTG titrasi MO titrasi Dexamethasone 3x 5 mg PTU 4x100 mg Lugol 4x10 tetes Paracetamol 3x500 mg Digoxin 1x0,5 mg Intake parenteral: RL 500 cc Intake enteral 150 cc/2jam
Balans cairan CM : 2546 ml CK : 1400 ml IWL : 700 ml BC : + 446 ml UO : 1,1 cc/kgBB/jam
Cardiomegali dan
Hari 2
Koreksi hiperkalemia
Assesment/masalah Krisis tiroid Edema Pulmo Akut CHF grade IV
Tindakan Ventilasi : On ventilator mode P-SIMV RR12, PS 15 Peep 6, FiO2 45%
Hiperkalemia, Hipoalbumin
Koreksi hiperkalemia Koreksi hipoalbumin
GDS 156 Na. 134
Kultur darah
Jantung : S1-S2 tgl, reg murmur (-) Paru : ves +/+. Rbk +/+, wh-/-, Sat. 94-99%% Abdomen : soufle, H/L ttb, peristaltik + Extremitas : edema tungkai bawah +/+
K. 5,19
Kultur sputum
Cl. 109
Terapi medikamentosa : Ceftriaxone 3x1 gram Lasix 1x20 mg Dobutamin titrasi Vascon titrasi MO titrasi Dexamethasone 3x 5 mg PTU 1x400 mg Digoxin 1x 0,5 mg
BUN 59 Creat 3,1 Albumin 1,5 AGD : FiO2 PH
: 0,5 : 7,25
PCO2
: 36,9
PO2
: 149,5
HCO3
: 16,5
BE
: -9,2
AaDO2
: 156,9
SO2
: 98,9
Intake parenteral: RL 500 cc Intake cc/2jam
enteral
150
Balans cairan CM : 1952,3 ml CK : 1150 ml IWL : 700 ml BC : + 102,3 ml UO : 0,9 cc/kgBB/jam
Hari 3
Pemeriksaan Fisik KU : Coma GCS : E1VTM1 TD : 100-140/70-90 HR : 150-180x/mnt RR : 15-28 Temp: 37,2 - 38,8°C Kepala/leher :Pupil Ø 4 mm, RC +/+ menurun , CA -/Jantung : S1-S2 tgl, reg murmur (-) Paru : ves +/+. Rbk +/+, wh-/-, Sat. 94-99%% Abdomen : soufle, H/L ttb, peristaltik + Extremitas : edema tungkai bawah +/+
Pmx penunjang Hb. 9,8 Hct. 31,7 AL. 32,2 AT. 159 AE. 3,93
Assesment/masalah Krisis tiroid Edema Pulmo Akut CHF grade IV
Tindakan Ventilasi : On ventilator mode P-SIMV RR12, PS 15 Peep 6, FiO2 45%
Hiperkalemia, Hipoalbumin
Koreksi hiperkalemia Koreksi hipoalbumin
GDS 99 Na. 136
NGT dialirkan
K. 6,3 Cl. 112 Albumin 1,9
Terapi medikamentosa : Ceftriaxone 3x1 gram Lasix 2x20 mg Dexamethasone 3x 5 mg PTU 1x400 mg Digoxin 1x 0,5 mg
AGD : FiO2 PH
: 0,5 : 7,314
PCO2
: 31,3
PO2
: 108,3
HCO3
: 16,1
BE
: -8,5
Intake parenteral: RD12 500 cc RL 500 cc
Balans cairan CM : 2025 ml
Hari 4
Pemeriksaan Fisik KU : Coma GCS : E1VTM1 TD : 90-130/50-70 HR : 160-180x/mnt RR : 12-50 Temp: 38,2 - 39,8°C Kepala/leher :Pupil Ø 4 mm, RC +/+ menurun , CA -/Jantung : S1-S2 tgl, reg murmur (-) Paru : ves +/+. Rbk +/+, wh-/-, Sat. 94-99%% Abdomen : soufle, H/L ttb, peristaltik + Extremitas : edema tungkai bawah +/+
AaDO2
: 116,9
SO2
: 97,7
Pmx penunjang GDS 197 Na. 152 K. 5,13 Cl. 114 Albumin 1,39
CK : 4125 ml IWL : 700 ml BC : - 2520 ml UO : 3,04 cc/kgBB/jam
Assesment/masalah Krisis tiroid Edema Pulmo Akut CHF grade IV
Tindakan Ventilasi : On ventilator mode P-SIMV RR12, PS 15 Peep 6, FiO2 45%
Hiperkalemia, Hipoalbumin Hipernatremia
Koreksi hiperkalemia Koreksi hipoalbumin Koreksi hipernatremia
NGT dialirkan
Terapi medikamentosa : Ceftriaxone 3x1 gram Gentamycin 1x240 mg Lasix 2x20 mg Dexamethasone 3x 5 mg PTU 1x400 mg Digoxin 1x 0,5 mg
AGD : FiO2 PH
: 0,5 : 7,314
PCO2
: 31,3
PO2
: 108,3
HCO3
: 16,1
BE
: -8,5
AaDO2
: 116,9
SO2
: 97,7
Problem : terjadi penurunan TD yg tdk respon dg inotropik dan vasopresor. OS dinyatakan meninggal pk.16.40 WIB
Intake parenteral: RD 12 500 cc RL 500 cc
PEMBAHASAN Krisis tiroid adalah merupakan keadaan klinis yang mengancam jiwa, suatu keadaan klinis yang berat dari hipertiroid, merupakan hasil dari kegagalan tubuh untuk melakukan kompensasi hipertiroid yang berat. Terjadinya hipertiroidisme biasanya perlahan-lahan dalam beberapa bulan sampai beberapa tahun, namun dapat juga timbul secara dramatis. Hampir semua sistem dalam tubuh mengalami gangguan akibat kelebihan hormone tiroid ini sehingga pasien memberikan keluhan banyak macam. Dalam batas fisiologis, hormon tiroid merangsang pertumbuhan dan perkembangan tubuh serta meningkatkan sintesa banyak enzim. Manifestasi klinis yang paling
sering dalah penurunan berat badan, kelelahan, tremor, gugup, berkeringat banyak, tidak tahan panas, palpitasi dan pembesaran tiroid. Penurunan berat badan meskipun nafsu makan bertambah dan tidak tahan panas adalah sangat spesifik, sehingga perlu dipikirkan adanya hipertiroidisme. Dari hasil anamnesa pada pasien ini didapatkan riwayat bahwa pasien pernah didiagnosa sebagai penderita struma yang kemudian pasien tidak pernah lagi kontrol dikarenakan keluhan yang semakin memberat. Sedangkan
dari
pemeriksaan
fisik
pasien
juga
didapatkan
adanya
pembesaran kelenjar tiroid dan exophtalmus serta adanya peningkatan freeT4, dan penurunan TSH. Kemudian berdasarkan Sistem skoring Burch dan Wartofsky (Migneco, 2005), didapatkan adanya takikardi ≥ 140 (25), adanya udem pulmo (15), adanya atrial fibrilasi(10), adanya kelainan system syaraf yang dimulai dengan adanya agitasi hingga kejang (30) serta adanya faktor pencetus berupa kehamilan dan persalinan pervaginam dengan ekstraksi vakum (10) sehingga jumlah skor adalah 90. Dimana bila skor ≥ 45 maka krisis tiroid dapat ditegakkan. Selain itu pasien juga didiagnosa dengan gagal jantung kongestif. Diagnosa ini ditegakkan berdasarkan dari hasil anamnesa berupa sesak yang semakin berat dengan beraktifitas. Sedangkan dari pemeriksaan fisik didapatkan adanya peningkatan JVP, adanya ronkhi basah kasar diseluruh lapang paru dan adanya udem di kaki. Kemudian ditunjang dengan hasil rontgen dada yang menunjukkan adanya cardiomegali dan udem pulmo. Akan tetapi seharusnya pasien dilakukan pemeriksaan Ekokardiografi untuk lebih jelas mengetahui fungsi-fungsi dinding jantung dimana pada pasien ini tidak dilakukan dikarenakan peralatan yang rusak pada saat itu. Selama perawatan
ICU
pasien diberikan
terapi suportif berupa
pengamanan jalan nafas dengan intubasi, pernafasan dengan ventilasi mekanik dan pemasangan monitor invasive berupa CVC. Pengamanan jalan nafas dpada pasien ini seharusnya dilakukan pada saat pasien masih di UGD karena pada saat pemeriksaan fisik di UGD pasien telah mengalami gagal nafas. Selain itu pasien juga diberikan terapi kausatif berupa pemberian
antibiotik ,lugol, PTU, kortikosteroid dan furosemid. Disini tidak dilakukan pemberian propanolol dikarenakan adanya udem paru pada pasien. Antagonis β adrenergik diberikan untuk melawan efek dari hormon tiroid dan hipersensitivitas karena efek katekolamin. Propanolol merupakan obat pilihan, juga menghambat konversi T4 menjadi T3. β 1 selektif antagonis tidak dapat menghambat konversi T4 ke T3 seefektif propanolol. Pada pasien ini tidak diberikan propanolol dikarenakan adanya gagal jantung kongestif
sehingga
bila
diberikan
β
blockers
dapat
memicu
syok
kardiogenik. Reserphine dan
guanethidine.
Meskipun telah
digantikan dalam
penggunaannya oleh β -adrenergik blocker, dapat dignakan sebagai lifesaving, dan dapat dipertimbangkan pada hipertiroid yang resisten terhadap propanolol atau pada keadaan kontraindikasi propanolol. Onset lambat, efek samping termasuk depresi saraf pusat dan diare. Sediaan parenteral dari reserphin tidak lagi diproduksi. Diltiazem menurunkan denyut jantung sama efektif dengan propanolol dan dapat dipertimbangkan sebagai alternatif terahadap β blocker pada krisis tiroid. Walaupun pada pasien ini tidak diberikan
akan
tetapi
pemberian
reserpin
dan
guanethidine
dapat
dipertimbangkan. Pemberian
obat-obatan
untuk
hipertiroidisme
adalah
bertujuan
membatasi produksi hormone tiroid yang berlebihan dengan cara menekan produksi (obat anti tiroid/OAT seperti Prophyltiourasil dan lugol) atau merusak
jaringan
tiroid
(yodium
radioaktif,
tiroidektomi
subtotal).
Penggunaan obat anti tiroid seperti diatas umumnya dengan dosis besar pada permulaan sampai tercapai eutiroidisme, kemudian diberikan dosis rendah untuk mempertahankan keadaan eutiroidisme. Pada pasien ini telah diberikan PTU 200 mg di UGD, karena pertimbangan berat ringannya keadaan dimana pasien masih dalam keadaan hipertiroid maka diberikan lagi dosis ulangan 200mg di ICU. Obat ini mempunyai kerja imunosupresif seperti pada penyakit Graves, dapat menurunkan konsentrasi thyroid stimulating antibody (TSAb) yang bekerja pada sel tiroid, disamping itu dapat
unutk menghambat sintesa hormone tiroid serta mencegah konversi perifer T4 menjadi T3. Selain
itu
pasien
juga
mendapatkan
terapi
kortikosteroid.
Kortikosteroid pada umumnya diberikan selama krisis, karena defisiensi relatif dapat terjadi, dan glukokortikoid menghambat konversi perifer T4 menjadi T3. Hidrokortisone 100mg i.v per 6 jam atau deksamethason 5mg i.v per 12 jam bersama dengan iodida, dapat menyebabkan penurunan bermakna derajat tirotoksikosis. Pada hari pertama hingga hari kedua rawat di ICU pasien diberi nutrisi enteral berupa diet cair tinggi kalori tinggi protein. Akan tetapi pada hari ketiga terdapat residu yang banyak setiap pemberian nutrisi sehingga diputuskan NGT dialirkan. Dikarenakan nutrisi parenteral tidak dapat diberikan maka diganti dengan pemberian nutrisi parenteral berupa RD12%. Selama perawatan di ICU terjadi penurunan keadaan umum, terjadinya syok merupakan suatu tanda prognosis yang buruk. Yang menyebabkan kematian pada pasien ini kemungkinan karena syok kardiogenik dimana pasien telah memiliki gagal jantung sebelumnya walaupun pasien telah diberi
obat-obatan
inotropik
dan
vasopresor.
Hal
ini
kemungkinan
disebabkan karena hiperaktivitas yang berlebihan dimana sampai pada batas tertentu jantung tidak mampu lagi mengkompensasi kebutuhan cardiac output, dimana disebutkan pula pada beberapa literatur bahwa terjadinya hipotensi dan syok dapat merupakan suatu prognosis yang buruk. Kemungkinan lain pada pasien ini juga dapat menyebabkan kematian oleh karena syok septik.
RINGKASAN Telah dilakukan perawatan terhadap pasien wanita, usia 28 tahun dengan diagnosa krisis tiroid disertai udem paru di ICU. Pasien dilakukan perawatan untuk stabilisasi kardiorepirasi akibat hipermetabolisme serta tatalaksana
krisis tiroid untuk mengurangi produksi hormone tiroid dan mencegah konversi perifer T4 ke T3 disertai adanya penyakit penyerta yaitu
gagal
jantung kongestif. Selama perawatan kondisi pasien tidak stabil, cenderung terjadi penurunan keadaan umum serta perburukan hemodinamik, sampai akhirnya pasien dinyatakan meninggal setelah perawatan kurang lebih empat hari di ICU yang kemungkinan disebabkan syok kardiogenik.
DAFTAR PUSTAKA
Bongard, F.S., Sue, D.Y; 2002, Endocrine Problem in The Critically Ill Patient , Current Critical Care Diagnosis & Treatment, 2 nd edition, Mac Graw Hill Henneman G, 2003, Grave’s Disease : Complications, www.thyroidmanager.org (17-4-2010) Klein Irwin, 2001, Thyroid hormone and cardiovascular hemodynamic, www.nejm.org(7-4-2010)
Lazarus, 2005, Screening for thyroid disease in pregnancy, www. jcp.bmjjournals.com(7-4-2010) Migneco, 2005 Management of Thyrotoxyc Crisis, www.european view.org(53-2010) Misra M, 2010 Singhal A, Campbell D. Thyroid storm, www.emedicine.medscape.com(17-4-2010) Morgan,G.E,Mikhail,M.S, 2006, Critical Care, in Clinical anesthesiology, Fourth edition, A lange Medical Book Oh, T.E., 2009, Intensive Care Manual, 6th ed, Butterworth Heinemann, Elsevier Science, China Schraga ED, 2009, Hyperthyroidism , thyroid storm , and Graves disease. www. emedicine.medscape.com (17-4-2010) Sovari, A., 2008, Cardiogenic Pulmonary Edema, www.emedicine.medscap.com (27-04-2010) Stoelting, RK., 2002, Restrictive Lung Disease in Anesthesia and Co-Existing disease, Fourt edition, Churchill livingstone Wilson LM, 2006, Penyakit Kardiovaskuler dan Paru-Paru. Dalam: Price SA, Wilson LM. Patofisiologi (Konsep Klinis Proses-Proses Penyakit). Edisi Bahasa Indonesia: Alih Bahasa: Anugerah P. Edisi VI. Buku I. EGC. Jakarta Yang MJ., 2005, Pregnancy Complicated with Pulmonary Edema Due to Hyperthyroidism www. Homepage,vghtpe.gov.tw (7-4-2010)
LAPORAN KASUS
PENATALAKSANAAN KRISIS TIROID POST PARTUM YANG DISERTAI UDEM PARU DI
INTENSIVE CARE UNIT
Oleh :
Susi Handayani Peserta MS-PPDS I Anestesiologi & Reanimasi Fakultas Kedokteran UGM Yogyakarta
Pembimbing
Moderator
Dr. Calcarina FRW, SpAn.KIC
Dr. Bambang
Suryono, SpAn,KIC,KNA, MKes
LABORATORIUM ANESTESI DAN REANIMASI FAKULTAS KEDOKTERAN UGM / RSUP DR. SARDJITO YOGYAKARTA