BAB I STATUS PASIEN
A. IDENTITAS PASIEN :
Nama
: Ny.H
TTL
: 02-01-1969
Usia
: 45 tahun
Jenis Kelamin
: Perempuan
Alamat
: Jl.Cakung barat RT 017/04 kec. Cakung Jaktim
Tgl & Jam Masuk
: 08-11-2014, 07:45 wib
RMK
: 197878
Dokter Yg Merawat : dr. Iwan, SpPD
B. ANAMNESIS Keluhan utama
: Pasien pingsan 45 menit SMRS
Keluhan tambaha : sebelumnya pasien mengeluh lemas dan tidak nafsu makan Riwayat penyakit sekarang: Pasien datang ke IGD RSIJ suka pura karena pingsan 45 menit SMRS. Sebelumnya pasien diketahui merasa lemas dan tidak nafsu makan sejak beberapa hari terakhir. Keluarga pasien mengatakan bahwa pasien memiliki sakit gula sejak 2 tahun terakhir dan jarang control ke dokter atau puskesmas, selama beberapa hari terakhir tidak mengonsumsi obat sakit gulanya. Pasien juga sempat mengeluh pusing dan lemas sebelum pingsan. BAB dan BAK normal. Dari penuturan keluarganya beberapa hari terakhir pasien hanya makan sedikit Karena pasien takut gula darahnya naik lagi. Beberapa hari sebelumnya (2/11-14) pasien dirawat di RSIJ suka pura karena keluhan lemas yang berkepanjangan, dan didiagnosa mengalami hiperglikemia dengan GDS 653mg/dl. Pasien memiliki riwayat jatuh sekitar 1 tahun yang lalu, sehingga sikut kanannya bengkak dan pasien mengurut sikut kanannya tsb. Hingga beberapa minggu setelahnya di daerah memar tersebut muncul luka yang hingga sekarang tidak sembuh. Pada saat itu (2/11-14) pasien juga menngeluhkan demam yang naik-turun, nyeri uluhati, dan keluhan batuk yang dialami sejak 1 bulan sebelumnya. Kaki pasien juga terlihat bengkak, pasien mengaku memiliki sakit darah tinggi dan jarang minum obat. Pada 1
perawatan sebelumnya pasien didiagnosa menderita TB paru. Pasien juga mengeluh pengelihatannya kabur. Pada saat kunjungan terakhir ke IGD GDS pasien 36mg/dl serta terlihat luka di sikut kanan pasien belum sembuh dan terlihat kelemahan otot di tangan kanan. Riwayat penyakit dahulu : Pasien memiliki Riwayat darah tinggi dan sakit gula yang tidap dikontrol. Pasien pernah mengalami keluhan seperti ini sebelumnya (2/11-14) dan dirawat di RSIJ sukapura. Pasien juga didiagnosis menderita TB paru 1 minggu yang lalu. Riwayat pengobatan
:
Pada keluhannya sekarang pasien belum berobat. Setleah rawatan sebelumnya pasien diberi obat obat diabetes oral namun sejak 3 hari terakhir pasien tidak mengonsumsinya. Riwayat pennyakit keluarga : Keluarga pasien tidak ada yang memiliki keluhan serupa pasien, namun paman adik pasien menderita darah tinggi dan ibu pasien menderita sakit gula. Riwayat sakit jantung dan asma disangkal. Riwayat alergi: Riwayat alergi makanan, obat-obatan, debu, cuaca disangkal. Riwayat psikososial
:
Pasien merupakan seorang ibu rumah tangga dengan aktifitas fisik (olah raga) yang tergolong sangat kurang. Keluarga pasien mengatakan bahwa pasien makan dengan teratur 2-3 kali sehari namun tidak membatasi porsi dan jenis makanan yang ia makan. Namun sekita 3 hari SMRS (8/11-14) pasien makan sangat sedikit karena ia takut gula darahnya naik. Pasien tidak merokok, mengonsumsi alkohol atau pun mengonsumsi obat-obat herbal.
C. PEMERIKSAAN FISIS Keadaan umum
: Tampak sakit berat
Kesadaran
: Disorientasi
GCS
: M=5 (dengan rangsang nyeri), V=3 (bicara tak sesuai), E=3 (rangsang suara)
2
perawatan sebelumnya pasien didiagnosa menderita TB paru. Pasien juga mengeluh pengelihatannya kabur. Pada saat kunjungan terakhir ke IGD GDS pasien 36mg/dl serta terlihat luka di sikut kanan pasien belum sembuh dan terlihat kelemahan otot di tangan kanan. Riwayat penyakit dahulu : Pasien memiliki Riwayat darah tinggi dan sakit gula yang tidap dikontrol. Pasien pernah mengalami keluhan seperti ini sebelumnya (2/11-14) dan dirawat di RSIJ sukapura. Pasien juga didiagnosis menderita TB paru 1 minggu yang lalu. Riwayat pengobatan
:
Pada keluhannya sekarang pasien belum berobat. Setleah rawatan sebelumnya pasien diberi obat obat diabetes oral namun sejak 3 hari terakhir pasien tidak mengonsumsinya. Riwayat pennyakit keluarga : Keluarga pasien tidak ada yang memiliki keluhan serupa pasien, namun paman adik pasien menderita darah tinggi dan ibu pasien menderita sakit gula. Riwayat sakit jantung dan asma disangkal. Riwayat alergi: Riwayat alergi makanan, obat-obatan, debu, cuaca disangkal. Riwayat psikososial
:
Pasien merupakan seorang ibu rumah tangga dengan aktifitas fisik (olah raga) yang tergolong sangat kurang. Keluarga pasien mengatakan bahwa pasien makan dengan teratur 2-3 kali sehari namun tidak membatasi porsi dan jenis makanan yang ia makan. Namun sekita 3 hari SMRS (8/11-14) pasien makan sangat sedikit karena ia takut gula darahnya naik. Pasien tidak merokok, mengonsumsi alkohol atau pun mengonsumsi obat-obat herbal.
C. PEMERIKSAAN FISIS Keadaan umum
: Tampak sakit berat
Kesadaran
: Disorientasi
GCS
: M=5 (dengan rangsang nyeri), V=3 (bicara tak sesuai), E=3 (rangsang suara)
2
Tanda vital:
Tekanan darah : 150/90 mmHg Nadi
: 130x/menit
Respirasi
: 20 x/menit
Suhu
: 38,5 oC
Antropometri
BB
: 59 kg
TB
: 155 cm
IMT
: 24,6
Kesimpulan
: Berat badan lebih
Status generalis:
Kepala
: Normocephal,
Mata
: Refleks cahaya (+/+), pupil isokor Konjungtiva anemis (-/-), Sklera ikterik (-/-)
Hidung
: Mukosa hipertrofi (-/-), hiperemis (-/-), sekret (-/-), Konka Konka inferior eutrofi
Telinga : MAE edema (-/-), sekret (-/-), hiperemis (-/-), MT intak/intak Leher
: Perbesaran KGB (-), pembesaran thyroid (-), JVP normal
Thorax
:
Pulmo
: Inspeksi
: Dada
simetris
(+/+),
retraksi
(-/-),scar
(-/-),pernapasan
torakoabdominal
3
Palpasi
: Bag.dada tertinggal (-/-),vokal fremitus simetris
Perkusi
: sonor pada kedua lapang paru,batas paru-hepar ICS 6
Auskultasi
: vesikuler (+/+), ronki (-/-), wheezing (-/-)
Jantung : Inspeksi
: ictus cordis tidak terlihat
Palpasi
: ictus cordis tidak teraba
Perkusi
: Batas jantung kanan; ICS IV linea parasternalis dekstra Batas kiri; ICS IV linea midclavikularis sinistra
Auskultasi : Bunyi jantung I & II murni, regular, murmur (-), gallop (-) Abdomen: Inspeksi: Datar.Distensi (-) Palpasi : nyeri tekan epigastrium (+), tidak teraba teraba adanya benjolan, hepar dan lien tidak teraba. Perkusi : timpani Ascites : Shifting dullnes (-) Auskultasi : Bising usus (+) 7x/menit Ekstremitas : Ekstr. Atas
: Akral hangat, han gat, RCT< 2 detik, edema (-/-), ikterik (-)
Ekstr. Bawah : Akral hangat, RCT< 2 detik, edema (+/+), ikterik (-)
4
D. PEMERIKSAAN PENUNJANG Pemeriksaan Penunjang masa rawatan 2-4 november 2014 1.) Tangal 1 November 2014 Pemeriksaan darah lengkap - SGOT 19 u/l (0-37) - SGPT 16 u/l (0-40) - Ureum 96 mg/dl (20-40) 1,8 mg/dl (0,6-1,2) - Creatinin - LED 100 mm/1jam (0-15) - Hb 14 g/dl (13,8-17) - Leukosit 8300/ul (4,5-10,8) - Basofil 0% (0-0,3) - Eosinofil 0% () - Batang 1% () - N. segmen 82% - Limfosit 10% - Monosit 7% - Ht 43,4% - Trombosit 487.000/ul 2.) Tanggal 2 November 2014 Pemeriksaan radiologi, rongent thorax Cor-sinuses dan diafragma normal Skeletal dan jaringan lunak normal Pulmo : Tampak infiltrate dikedua lapang paru kesan : TB paru dupleks Kontrol Gula Darah Tanggal 1/112014 2/112014
3/112014
Jam 23.45
GDS (mg/dl) 653
06.00
213
12.00 18.00 24.00 06.00
282 434 193 469
12.00
392
Pemberian Insulin 20 ui
10ui 20ui 20ui
5
4/112014
18.00 24.00 06.00
323 232 183
15ui
3.) Pemeriksaan penunjang rawatan 8-13 November 2014 PEMERIKSAAN 8/11-14
9/11-14
11/11-14
SATUAN
NILAI RUJUKAN
Hemoglobin
11,6
10,7
9,60
g/dL
11,3 - 15,5
Leukosit
9.000
8.700
5.800
/L
4.300 – 10.400
Trombosit
159.000
141.000
120.000
/mm³
132-440
HT
34,4
32,2
28,9
%
36,0 – 46,0
GDS
36
Mg/dl
70 - 200
PEMERIKSAAN 12/11-14
13/11-14
SATUAN
NILAI RUJUKAN
Hemoglobin
9,8
10,2
g/dL
11,3 - 15,5
Leukosit
7.600
6.600
/L
4.300 – 10.400
Trombosit
137.000
129.000
/mm³
132-440
HT
30,1
30,7
%
36,0 – 46,0
6
Pemeriksaan lain : 12 November 2014
Waktu
Imunologi Anti TB IgG o Analisa gas darah o Measured o pH o pCO2 o pO2 HCO3act o HCO3std o BE(ecf) o BE(B) o O2 Sat. o 8/11-14
Positif (+) 28,5°C 7,261 (7,350-7,450) 15,9 mmHg (32,0-45,0) 94,0 mmHg (75,0-100,0) 6,8 mmol/L 12,1 mmol/L (21-25) -19,9 mmol/L -2.5 s.d. +2.5
-16,9 mmol/L 95,7% (85-96)
Waktu
09/1114 (mg/dl)
Waktu
10/1114 (mg/dl)
Waktu
11/11-14 (mg/dl)
(mg/dl)
07.00
36
04.00
191
06.00
449
06.00
420 (10ui)
09.00
260
08.00
254
12.00
331
12.00
397 (5ui)
12.00
99
14.00
491
18.00
556 (15ui)
18.00
395 (5ui)
16.00
55
20.00
550
24.00
253
24.00
569 (15ui)
18.00
100
02.00
463
20.00
198
04.00
463
24.00
255
7
Waktu
12/11-14
Waktu
13/11-14 (mg/dl)
(mg/dl)
06.00
686 (10ui)
06.00
513
12.00
635 (5ui)
12.00
587
18.00
643 (5ui)
18.00
548
24.00
749 (5ui)
24.00
E. RESUME Pasien wanita 45 tahun datang dengan pingsan sejak 45 menit SMRS, pasien merupakan penderita DM tiipe II dan hipertensi yang tidak terkontrol. Sebelum pingsan pasien mengeluh lemas dan diketahui tidak nafsu makan selama 3 hari sebelumnnya. Pasien juga menderita tb paru duplex serta terdapat ulkus diabetikum di lengan kanannya. Demam (-), riwayat polifagi (+), riwayat poliuri(+), mual (-), muntah (-), BAB dan BAK (t.a.k.). Satu minggu sebelumnya pasien dirawat di RSIJ karena hiperglikemia serta demam yang hilang timbul dan batuk yang tidak sembuh sejak 1 bulan sebelumnya. Pada pemeriksaan fisis didapatkan kesadaran pasien yang menurun disertai dengan disorientasi. Nyeri tekan epigastrium (+), edema tungkai (+), dan ditemukan adanya ulkus di tangan (sukut) kanan. Tekanan darah : 150/90 mmHg Nadi
: 130x/menit
Respirasi
: 20 x/menit
Suhu
: 38,5 oC
8
IMT
: 24,6
Pemeriksaan penunjang : GDS : 36 mg/dl
F. FOLLOW UP Tanggal 08-112013
S Kesadaran menurun, Nafsumakan menurun, lemas, batuk (+)
O TD: 150/90 mmhg S : 38,5 C RR : 22 x/mnt N : 98 x/mnt GDS: 36 mg/dl
A DM Tipe2 dg Riw.Hipoglike mia TB Paru duplex Hipertensi
09-112013
Kesadaran menurn namun lebih baik disbanding kemarin, bicara ngelantur, kondisi sama dengan hari sebelumnya, terlihat bingun, nafsumakan menurun Kesadaran menurun , bicara ngelantur, terlihat bingun, nafsumakan menurun Batuk berkurang
TD:110/70 mmhg S : 37,2C RR : 20 x/mnt N : 82 x/mnt
DM Tipe2 dg Riw.Hipoglike mia TB Paru duplex Hipertensi
TD : 110/80 mmhg S : 36,9 C RR : 19 x/mnt N : 86 x/mnt
DM Tipe2 dg Riw.Hipoglike mia TB Paru duplex Hipertensi
10-112013
P Oral Ambroksol 3x1 OMZ 3x1 Domperidone 3x1 Metformin 500 3x1 Acarbose 50 3x1 Rifampicin 1x600mg INH 1x300mg Pirazinamide 1x1500 Etambutol 1x1500mg Injeksi o Ceftriaxone 1x2gr o Ranitidine 1x2 o Citicolin 500 3x1 o Humulin 3x5ui o Streptomycin 1x1 Terapi lanjutkan
Terapi lanjutkan
9
11-112013
12-112013
13-112013
Kesadaran menurun kondisi sama dengan kemarin, bicara ngelantur, terlihat bingun, nafsumakan menurun, pasien terlihat mengantuk Kesadaran menurun kondisi sama dengan kemarin, bicara ngelantur, terlihat bingun, nafsumakan menurun Kesadaran menurun kondisi sama dengan kemarin, bicara ngelantur, terlihat bingun, nafsumakan menurun
TD : 130/80 mmhg S : 36,6 C RR : 19 x/mnt N : 84 x/mnt
DM Tipe2 dg Riw.Hipoglike mia TB Paru duplex Hipertensi
Terapi lanjutkan
TD : 120/90 mmhg S : 36,6 C RR : 19 x/mnt N : 84 x/mnt
DM Tipe2 dg Riw.Hipoglike mia TB Paru duplex Hipertensi
Terapi lanjutkan
TD : 130/90 mmhg S : 36,6 C RR : 19 x/mnt N : 84 x/mnt
DM Tipe2 dg Riw.Hipoglike mia TB Paru duplex Hipertensi
Terapi lanjutkan
Pada tanggal 13 November 2014 mulai pukul 14.20 kondisi pasien memburuk : o o o o o
Tekanan darah : 100/70 mmHg Suhu : 38,3 C Nadi : 120 x/menit Pernapasan : 31 x/menit Kesadaran : Somnolen
Tanggal 13 November 2014 pukul 19.05 pasien apneu, dilakukan RJP dan dimasukkan 1 ampul adrenalin. Respon (-), reflex pupil (-). Pada pukul 19.10 pasien dinyatakan meninggal dunia oleh dokter jaga ruangan (dr. mirad). G. DAFTAR MASALAH 1. Hipoglikemia, Diabetes mellitus tipe II 2. TB paru Duplex 3. Hipertensi 4. Susp. CHF 5. 10
H. ASSESMENT 1. Hipoglikemia, Diabetes mellitus tipe II Hipoglikemia DM tipe II pada pasien ini ditegakkan berdasarkan data yang didapatkan dari anamnesis yaitu pasien memiliki riwayat sakit gula yang ia ketahui ketika berobat ke dokter 2 tahun lalu. Pasien juga mengatakan kalau dirinya mudah lapar dan cendrung makan dalam porsi besar. Pasien juga bercerita kalau ibu pasien memiliki pennyaki gula darah. Pada rawatan sebelumnnya pasien didiagnosa Hiperglikemia dengan GDS 653mg/dl. Pada keluhannya sekarang pasien mengeluh lemas, karena 3 hari terakhir makan hanya dengan porsi sedikit karena takut gula darahnya naik seperti sebelumnya. Pada pemeriksaan fisis didapatkan kesdaran yang menurun, dan ketika dilakukan pengecekan gula darah, didapatkan GDS 36 mg/dl. Ditemukan pula adanya luka yang tidak sembuh sejak 1 tahun lalu di sikut kanan dan pasien tidak merasakan sakit pada lukanya. Pasien juga mengeluhkan pandangannya kabur. Rencana perawatan : -
Ruang perawatan biasa
-
Oksigenasi kanul 2 liter/menit
-
Hidrasi dengan RL 1kolf/6jam bila protocol hipo glikemia sudah selesai
-
Lakukan protocol penanganan hipoglikemia
- Nutrisi diberikan pola diet DM BB=59kg, TB=155cm, IMT=24,6 (Beratbadan lebih) Kebutuhan kalori basal = BB ideal x 25kal= (155 — 100)-((155-100)x10%)x25kal = 1237,5 kal. Kebutuhan kalori tambahan = 20% x 1237,5 = 247,5kal. Koreksi karena BB lebih = 20% x 1237,5 = 247,5kal. Jadi, total kebutuhan kalori perhhari untuk pasien ini adala 1237,5 kalori. Karbohidrat 60% = 1237,5 x 60% = 742,5 kal = 185,625 gr Protein 20% = 1237,5 x 20% = 247,5 kal = 61,875 gr Lemak 20% = 1237,5 x 20% = 247,5 kal = 27,5 gr -
Pemeriksaan penunjang darah lengkap, urin lengkap, fungsi ginjal, & EKG.
-
Bila sudah tercapai kadar gula darah yang di inginkan, maka terapi di ganti dengan OHO atau kombinasikan insulin dengan OHO (metformin dan acarbose). 11
-
Edukasi : berikan penjelasan pada pasien dan keluarganya bahwa sakit gula (Diabetes mellitus) tidak dapat disembhkan dan untuk memperbaiki kondisinya harus dilakukan dengan disiplin dalam mengontrol kondisinya ke dokter, dan harus di dukung dengan modifikasi gaya hidup menjadi gaya hidupp yang lebih sehat.
2. TB paru Duplex Pada anamnesis pasien mengeluhkan batuk yang tak kunjung sembuh sejak lebih dari 1 bulan sebelumnnya. Pasien juga bercerita kalau ia telah didiagnosa mengidap TB paru duplex pada rawatan sebelumnya (1 minggu sebelumnya) oleh dr. Rosa Sp.P dan sekarang dalam terapi OAT. Pada pemeriksaan imunologi didapatkan anti Tb IgG + (positif). Rencana perawatan : -
Rawat di ruang isolasi
-
Hidrasi RL 1kolf/6jam
-
Oksigenasi 2 liter/mnt
- Nutrisi berikan sesuai dengan kondisi DM tipe II pasien -
Pemeriksaan Rongent dan BTA ulang
-
Pemberian :
-
o
Rifampicin 1x600mg
o
INH 1x300mg
o
Pirazinamide 1x1500
o
Etambutol 1x1500mg
o
Streptomycin inj. 1x1
Edukasi : pasien hharus di berikan informasi kalau kondisinya ini sangat berbahaya bbagi dirinya maupun orang lain, dikarenakan infeksi kuman Tb yang ada dalam tubuhnya berkemungkinan untuk menginfeksi organ lain diluar paru-parunya. Serta dapat pula menginfeksi orang-orang di sekitarnya. Ajari pula pasien untuk tidak membuang dahaknya sembarangan dan ajarkan pasien untuk menutup mulutnya dengan kain, masker, atau saputangan bila batuk.
3. Hipertensi Pada anamnesis pasien mengaku sering pusing dan kaku di kepala bagian belakang, dan pasien sudah pernah dinyatakan mennderita Hipertensi oleh dokter, 2 tahun yang lalu. 12
Pada pemeriksaan tekanan darah didapatkan tekanan 150/90 mmHg. Rencana perawatan -
Rawat di ruang biasa, namun dalam hal ini ruang rawatan mengikuti dengan kebutuhan rawatan penyakit lain yang di idap pasien
- Nutrisi : hindari makanan yang memiliki kadar garam tinggi -
Hidrasi berika RL 1 kolf/6jam : dan panntau jumlah cairan masuk dan keluar.
-
Pemeriksaan penunjang : Rongent thorax, pemeriksaan darah lengkap, EKG, pemeriksaan fungsi ginjal.
-
Penanganan : Captipril 12,5 mg 1x1
-
Edukasi : ajarkan pasien untuk menghindarai makanan-makanan yang mengandung tinggi garam dan anjjurkan pasien untuk melakukan aktifitas fisik (olahraga) rutin minimal 3 kali seminggu dengan pola latihan tidak boleh sampai ngos-ngosan (aerobik).
4. Susp. CHF Pada anamnesis pasien mengaku kakinya terlihat membesar 2 bulan terakhir, bengkak berkurang bila pasien memposisikan kakinya agak tinggi (tidak diwabah atau pun menggantung). Pada pemeriksaan fisis didapatkan adanya piting edem di ekstremitas bawah (kedua tungkai pasien). Pemeriksaan JVP tidak dilakukan karena pasien tidak koopratif. Pada auskultasi jantung bunyi jantung I & II regular, murmur (-), gallop (-). Rencana perawatan -
Rawat di ruang biasa, namun dalam hal ini ruang rawatan mengikuti dengan kebutuhan rawatan penyakit lain yang di idap pasien Nutrisi : hindari makanan yang memiliki kadar garam tinggi Hidrasi berika RL 1 kolf/6jam : dan panntau jumlah cairan masuk dan keluar. Pemeriksaan penunjang : Rongent thorax, pemeriksaan darah lengkap, EKG, pemeriksaan fungsi ginjal. Penanganan : Captopril 12,5 mg 1x1, furosemide 2x1 tab. Edukasi : ajarkan pasien untuk menghindarai makanan-makanan yang mengandung tinggi garam dan anjjurkan pasien untuk melakukan aktifitas fisik (olahraga) rutin minimal 3 kali seminggu dengan pola latihan tidak boleh sampai ngos-ngosan (aerobik). 13
BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. DIABETES MELITUS
1. Defnisi Diabetes mellitus, DM (bahasa Yunani: diabaínein, tembus atau pancuran air) (bahasa Latin: mellitus, rasa manis) yang juga dikenal di Indonesia dengan istilah penyakit kencing gula adalah kelainan metabolis yang disebabkan oleh banyak faktor, dengan simtoma berupa hiperglisemia kronis dan gangguan metabolisme karbohidrat, lemak dan protein. Diabetes melitus merupakan suatu sindrom dengan terganggunya metabolisme karbohidrat, lemak, dan protein yg disebabkan oleh berkurangnya sekresi insulin Tu penurunan sensitivitas jaringan tehadap insulin. Menurut American Diabetes Association (ADA) 2010, Diabetes melitus merupakan suatu kelompok penyakit metabolik dengan karakteristik hiperglikemia yang terjadi karena kelainan sekresi insulin, kerja insulin atau kedua-duanya. (ADA. 2010) Sedangkan menurut WHO 1980 dikatakan bahwa diabetes melitus merupakan sesuatu yang tidak dapat dituangkan dalam satu jawaban yang jelas dan singkat tapi secara umum dapat dikatakan sebagai suatu kumpulan problema anatomik dan kimiawi yang merupakan akibat dari sejumlah faktor di mana didapat defisiensi insulin absolut atau relatif dan gangguan fungsi insulin. Klasifikasi DM ( Konsensus Pengelolaan dan Pencegahan DM tipe 2 di Indonesia 2011)
14
Fisiologi Kedokteran Guyton and Hall, Diabetes Melitus terbagi menjadi : •
DM tipe I (IDDM) diabetes melitus yg tergantung insulin Sering terjadi pada usia sebelum 30 tahun. Biasanya juga disebut Juvenille Diabetes, yang gangguan ini ditandai dengan adanya hiperglikemia (meningkatnya kadar gula darah). Faktor genetik dan lingkungan merupakan faktor pencetus IDDM. Oleh karena itu insiden lebih tinggi atau adanya infeksi virus (dari lingkungan) misalnya coxsackievirus B dan streptococcus sehingga pengaruh lingkungan dipercaya mempunyai peranan dalam terjadinya DM. Virus atau mikroorganisme akan menyerang pulau – pulau langerhans pankreas, yang membuat kehilangan produksi insulin. Dapat pula akibat respon autoimmune, dimana antibody sendiri akan menyerang sel bata pankreas. Faktor herediter, juga dipercaya memainkan peran munculnya penyakit ini
•
DM tipe II (NIDDM) diabetes melitus tidak tergantung insulin. Virus dan kuman leukosit antigen tidak nampak memainkan peran terjadinya NIDDM. Faktor herediter memainkan peran yang sangat besar. Riset melaporkan bahwa obesitas salah satu faktor determinan terjadinya NIDDM sekitar 80% klien NIDDM adalah kegemukan. Overweight membutuhkan banyak insulin untuk metabolisme. Terjadinya hiperglikemia disaat pankreas tidak cukup menghasilkan insulin sesuai kebutuhan tubuh atau saat jumlah reseptor insulin menurun atau mengalami gangguan. Faktor resiko dapat dijumpai pada klien dengan riwayat keluarga menderita DM adalah resiko yang besar. Pencegahan utama NIDDM adalah mempertahankan berat badan ideal. Pencegahan sekunder berupa program penurunan berat badan, olah raga dan diet. Oleh karena DM tidak selalu dapat dicegah maka sebaiknya sudah dideteksi pada tahap awal tandatanda/gejala yang ditemukan adalah kegemukan, perasaan haus yang berlebihan, lapar, diuresis dan kehilangan berat badan, bayi lahir lebih dari berat badan normal, memiliki riwayat keluarga DM, usia diatas 40 tahun, bila ditemukan peningkatan gula darah.
2. Epidemiologi Tingkat prevalensi dari DM adalah tinggi, diduga terdapat sekitar 10 juta kasus diabetes di USA dan setiap tahunnya didiagnosis 600.000 kasus baru serta 75 % penderita DM akhirnya meninggal karena penyakit vaskuler. Penyakit ini cenderung tinggi pada negara 15
maju dari pada negara sedang berkembang, karena perbedaan kebiasaan hidup. Dampak ekonomi jelas terlihat akibat adanya biaya pengobatan dan hilangnya pendapatan. Disamping konsekuensi finansial karena banyaknya komplikasi seperti kebutaan dan penyakit vaskuler. Perbandingan antara wanita dan pria yaitu 3 : 2, hal ini kemungkinan karena faktor obesitas dan kehamilan. Menurut WHO prevalensi DM diperkirakan akan meningkat dari 8,4 juta tahun 2000 menjadi 21,2 juta lebih pada tahun 2030 3. Patofisiologi a. DM Tipe I Pada Diabetes tipe I terdapat ketidak mampuan pankreas menghasilkan insulin karena hancurnya sel-sel beta pulau langerhans. Dalam hal ini menimbulkan hiperglikemia puasa dan hiperglikemia post prandial. Dengan tingginya konsentrasi glukosa dalam darah, maka akan muncul glukosuria (glukosa dalam darah) dan ekskresi ini akan disertai pengeluaran cairan dan elektrolit yang berlebihan (diuresis osmotic) sehingga pasien akan mengalami peningkatan dalam berkemih (poliurra) dan rasa haus (polidipsia). Defesiensi insulin juga mengganggu metabolisme protein dan lemak sehingga terjadi penurunan berat badan akan muncul gejala peningkatan selera makan (polifagia). Akibat yang lain yaitu terjadinya proses glikogenolisis (pemecahan glukosa yang disimpan) dan glukogeonesis tanpa hambatan sehingga efeknya berupa pemecahan lemak dan terjadi peningkatan keton yangdapat mengganggu keseimbangan asam basa dan mangarah terjadinya ketoasidosis. b. DM Tipe II Terdapat dua masalah utama pada DM Tipe II yaitu resistensi insulin dan gangguan sekresi insulin. Normalnya insulin akan berkaitan pada reseptor kurang dan meskipun kadar insulin tinggi dalam darah tetap saja glukosa tidak dapat masuk kedalam sel sehingga sel akan kekurangan glukosa. Mekanisme inilah yang dikatakan sebagai resistensi insulin. Untuk mengatasi resistensi insulin dan mencegah terbentuknya 16
glukosa dalam darah yang berlebihan maka harus terdapat peningkatan jumlah insulin yang disekresikan. Namun demikian jika sel-sel beta tidak mampu mengimbanginya maka kadar glukosa akan meningkat dan terjadilah DM tipe II. 4. Manifestasi Klinik a. Poliuria Kekurangan insulin untuk mengangkut glukosa melalui membrane dalam sel menyebabkan hiperglikemia sehingga serum plasma meningkat atau hiperosmolariti menyebabkan cairan intrasel berdifusi kedalam sirkulasi atau cairan intravaskuler, aliran darah ke ginjal meningkat sebagai akibat dari hiperosmolariti dan akibatnya akan terjadi diuresis osmotic (poliuria). b. Polidipsia Akibat meningkatnya difusi cairan dari intrasel kedalam vaskuler menyebabkan penurunan volume intrasel sehingga efeknya adalah dehidrasi sel. Akibat dari dehidrasi sel mulut menjadi kering dan sensor haus teraktivasi menyebabkan seseorang haus terus dan ingin selalu minum (polidipsia). c. Poliphagia Karena glukosa tidak dapat masuk ke sel akibat dari menurunnya kadar insulin maka produksi energi menurun, penurunan energi akan menstimulasi rasa lapar. Maka reaksi yang terjadi adalah seseorang akan lebih banyak makan (poliphagia). d. Penurunan berat badan Karena glukosa tidak dapat di transport kedalam sel maka sel kekurangan cairan dan tidak mampu mengadakan metabolisme, akibat dari itu maka sel akan menciut, sehingga seluruh jaringan terutama otot mengalami atrofidan penurunan secara otomatis.
17
5. Diagnostik Langkah-Langkah Diagnostik DM (Konsensus Pengelolaan dan Pencegahan DM tipe 2 di Indonesia 2011)
Diagnosis DM ditegakkan atas dasar pemeriksaan kadar glukosa darah. Diagnosis tidak dapat ditegakkan atas dasar adanya glukosuria. Guna penentuan diagnosis DM, pemeriksaan glukosa darah yang dianjurkan adalah pemeriksaan glukosa secara enzimatik dengan bahan darah plasma vena. Penggunaan bahan darah utuh (whole blood), vena ataupun kapiler tetap dapat dipergunakan dengan memperhatikan angkaangka kriteria diagnostik yang berbeda sesuai pembakuan oleh WHO. Sedangkan untuk tujuan pemantauan hasil pengobatan dapat dilakukan dengan menggunakan pemeriksaan glukosa darah kapiler. Diagnosis diabetes mellitus
Berbagai keluhan dapat ditemukan pada penyandang diabetes. Kecurigaan adanya DM perlu dipikirkan apabila terdapat keluhan klasik DM seperti tersebut di bawah ini. a. Keluhan klasik DM berupa : poliuria, polidipsia, polifagia, dan penurunan berat badan yang tidak dapat dijelaskan sebabnya. b. Keluhan lain dapat berupa : lemah badan, kesemutan, gatal, mata kabur dan disfungsi ereksi pada pria, serta pruritus vulvae pada wanita. Diagnosis DM dapat ditegakkan melalui tiga cara. Pertama, jika keluhan klasik ditemukan, maka pemeriksaan glukosa plasma sewaktu >200 mg/dL sudah cukup untuk menegakkan diagnosis DM. Kedua, dengan pemeriksaan glukosa plasma puasa yang lebih mudah dilakukan, mudah diterima oleh pasien serta murah, sehingga pemeriksaan ini dianjurkan untuk diagnosis DM. Ketiga dengan TTGO. Meskipun TTGO dengan beban 75 g glukosa lebih sensitif dan spesifik dibanding dengan pemeriksaan glukosa plasma puasa, namun memiliki keterbatasan tersendiri. TTGO sulit untuk dilakukan berulang-ulang dan dalam praktek sangat jarang dilakukan. (Konsensus Pengelolaan dan Pencegahan DM tipe 2 di Indonesia 2011)
18
(IPD FKUI.2009 dan Konsensus Pengelolaan dan Pencegahan DM tipe 2 di Indonesia 2011) Apabila hasil pemeriksaan tidak memenuhi kriteria normal atau DM, maka dapat digolongkan ke dalam kelompok TGT atau GDPT tergantung dari hasil yang diperoleh. a. TGT : Diagnosis TGT ditegakkan bila setelah pemeriksaan TTGO didapatkan glukosa plasma 2 jam setelah beban antara 140 – 199 mg/dL (7.8-11.0 mmol/L). b. GDPT : Diagnosis GDPT ditegakkan bila setelah pemeriksaan glukosa plasma puasa didapatkan antara 100 – 125 mg/dL (5.6 – 6.9 mmol/L).
19
Cara pelaksanaan TTGO (WHO, 1994):
a. 3 (tiga) hari sebelum pemeriksaan tetap makan seperti kebiasaan sehari-hari (dengan karbohidrat yang cukup) dan tetap melakukan kegiatan jasmani seperti biasa b. berpuasa paling sedikit 8 jam (mulai malam hari) sebelum pemeriksaan, minum air putih tanpa gula tetap diperbolehkan c. diperiksa kadar glukosa darah puasa d. diberikan glukosa 75 gram (orang dewasa), atau 1,75 gram/kgBB (anak-anak), dilarutkan dalam air 250 mL dan diminum dalam waktu 5 menit e. berpuasa kembali sampai pengambilan sampel darah untuk pemeriksaan 2 jam setelah minum larutan glukosa selesai f. diperiksa kadar glukosa darah 2 (dua) jam sesudah beban glukosa g. selama proses pemeriksaan subyek yang diperiksa tetap istirahat dan tidak merokok 3 (Konsensus Pengelolaan dan Pencegahan DM tipe 2 di Indonesia 2011)
20
6. Penatalaksanaan Diabetes Melitus (Konsensus Pengelolaan dan Pencegahan DM tipe 2 di Indonesia 2011) Pengelolaan DM dimulai dengan pengaturan makan dan latihan jasmani selama beberapa waktu (2-4 minggu). Apabila kadar glukosa darah belum mencapai sasaran, dilakukan intervensi farmakologis dengan obat hipoglikemik oral (OHO) dan atau suntikan insulin. Pada keadaan tertentu, OHO dapat segera diberikan secara tunggal atau langsung kombinasi, sesuai indikasi. Dalam keadaan dekompensasi metabolik berat, misalnya ketoasidosis, stres berat, berat badan yang menurun dengan cepat, adanya ketonuria, insulin dapat segera diberikan. Pengetahuan tentang pemantauan mandiri, tanda dan gejala hipoglikemia dan cara mengatasinya harus diberikan kepada pasien, sedangkan pemantauan kadar glukosa darah dapat dilakukan secara mandiri, setelah mendapat pelatihan khusus. Pilar Penatalaksanaan DM : a. Edukasi b. Terapi Gizi medis c. Latihan Jasmani d. Intervensi Farmakologi Edukasi
Diabetes tipe 2 umumnya terjadi pada saat pola gaya hidup dan perilaku telah terbentuk dengan mapan. Pemberdayaan penyandang diabetes memerlukan partisipasi aktif pasien, keluarga dan masyarakat. Tim kesehatan mendampingi pasien dalam menuju perubahan perilaku. Untuk mencapai keberhasilan perubahan perilaku, dibutuhkan edukasi yang komprehensif dan upaya peningkatan motivasi Terapi Gizi Medis
Terapi Gizi Medis (TGM) merupakan bagian dari penatalaksanaan diabetes secara total. Kunci keberhasilan TGM adalah keterlibatan secara menyeluruh dari anggota tim (dokter, ahli gizi, petugas kesehatan yang lain dan pasien itu sendiri). a. Setiap penyandang diabetes sebaiknya mendapat TGM sesuai dengan kebutuhannya guna mencapai sasaran terapi. 21
b. Prinsip pengaturan makan pada penyandang diabetes hampir sama dengan anjuran makan untuk masyarakat umum yaitu makanan yang seimbang dan sesuai dengan kebutuhan kalori dan zat gizi masing-masing individu. Pada penyandang diabetes perlu ditekankan pentingnya keteraturan makan dalam hal jadwal makan, jenis dan jumlah makanan, terutama pada mereka yang menggunakan obat penurun glukosa darah atau insulin. Komposisi makanan yang dianjurkan terdiri dari: Karbohidrat
a. Karbohidrat yang dianjurkan sebesar 45-65% total asupan energi. b. Pembatasan karbohidrat total <130 g/hari tidak dianjurkan c. Makanan harus mengandung karbohidrat terutama yang berserat tinggi. d. Gula dalam bumbu diperbolehkan sehingga penyandang diabetes dapat makan sama dengan makanan keluarga yang lain e. Sukrosa tidak boleh lebih dari 5% total asupan energi. f. Pemanis alternatif dapat digunakan sebagai pengganti gula, asal tidak melebihi batas aman konsumsi harian (Accepted Daily Intake) g. Makan tiga kali sehari untuk mendistribusikan asupan karbohidrat dalam sehari. Kalau diperlukan dapat diberikan makanan selingan buah atau makanan lain sebagai bagian dari kebutuhan kalori sehari. Lemak
a. Asupan lemak dianjurkan sekitar 20-25% kebutuhan kalori. Tidak diperkenankan melebihi 30% total asupan energi. b. Lemak jenuh < 7 % kebutuhan kalori c. Lemak tidak jenuh ganda < 10 %, selebihnya dari lemak tidak jenuh tunggal. d. Bahan makanan yang perlu dibatasi adalah yang banyak mengandung lemak jenuh dan lemak trans antara lain : daging berlemak dan susu penuh (whole milk). e. Anjuran konsumsi kolesterol < 300 mg/hari. Protein
a. Dibutuhkan sebesar 10 – 20% total asupan energi. b. Sumber protein yang baik adalah seafood (ikan, udang, cumi, dll), daging tanpa lemak, ayam tanpa kulit, produk susu rendah lemak, kacang-kacangan, tahu, tempe. 22
c. Pada pasien dengan nefropati perlu penurunan asupan protein menjadi 0,8 g/kg BB perhari atau 10% dari kebutuhan energi dan 65% hendaknya bernilai biologik tinggi. Natrium
a. Anjuran asupan natrium untuk penyandang diabetes sama dengan anjuran untuk masyarakat umum yaitu tidak lebih dari 3000 mg atau sama dengan 6-7 g (1 sendok teh) garam dapur. b. Mereka yang hipertensi, pembatasan natrium sampai 2400 mg garam dapur. c. Sumber natrium antara lain adalah garam dapur, vetsin, soda, dan bahan pengawet seperti natrium benzoat dan natrium nitrit. Serat
a. Seperti halnya masyarakat umum penyandang diabetes dianjurkan mengonsumsi cukup serat dari kacang-kacangan, buah dan sayuran serta sumber karbohidrat yang tinggi serat, karena mengandung vitamin, mineral, serat dan bahan lain yang baik untuk kesehatan. b. Anjuran konsumsi serat adalah ± 25 g/1000 kkal/hari. Pemanis alternatif
a. Pemanis dikelompokkan menjadi pemanis bergizi dan pemanis tak bergizi. Termasuk pemanis bergizi adalah gula alkohol dan fruktosa. Gula alkohol antara lain isomalt, lactitol, maltitol, mannitol, sorbitol dan xylitol. b. Dalam penggunaannya, pemanis bergizi perlu diperhitungkan kandungan kalorinya sebagai bagian dari kebutuhan kalori sehari. c. Fruktosa tidak dianjurkan digunakan pada penyandang diabetes karena efek samping pada lemak darah. d. Pemanis tak bergizi termasuk: aspartam, sakarin, acesulfame potassium, sukralose, neotame. e. Pemanis aman digunakan sepanjang tidak melebihi batas aman (Accepted Daily Intake / ADI ) Kebutuhan kalori
Ada beberapa cara untuk menentukan jumlah kalori yang dibutuhkan penyandang diabetes. Di antaranya adalah dengan memperhitungkan kebutuhan kalori basal yang besarnya 25-30 kalori / kg BB ideal, ditambah atau dikurangi bergantung pada beberapa 23
faktor yai tu jenis kelamin, umur, aktivitas, berat badan, dll. Perhitungan berat badan Ideal (BBI) dengan rumus Brocca yang dimodifikasi adalah sbb: a. Berat badan ideal = 90% x (TB dalam cm - 100) x 1 kg. b. Bagi pria dengan tinggi badan di bawah 160 cm dan wanita di bawah 150 cm, rumus dimodifikasi menjadi : Berat badan ideal (BBI) = (TB dalam cm - 100) x 1 kg. BB Normal : BB ideal ± 10 % Kurus : < BBI - 10 % Gemuk : > BBI + 10 % Perhitungan berat badan ideal menurut Indeks Massa Tubuh. Indeks massa tubuh dapat dihitung dengan rumus: IMT = BB(kg)/ TB(m2) Klasifikasi IMT (WHO WPR/IASO/IOTF dalam The Asia-Pacific Perspective: RedefiningObesity and its Treatment): BB Kurang <18,5 BB Normal 18,5-22,9 BB Lebih >23,0 Dengan risiko 23,0-24,9 Obes I 25,0-29,9 Obes II >30 Faktor-faktor yang menentukan kebutuhan kalori antara lain : a. Jenis Kelamin Kebutuhan kalori pada wanita lebih kecil daripada pria. Kebutuhan kalori wanita sebesar 25 kal/kg BB dan untuk pria sebesar 30 kal/kg BB. b. Umur Untuk pasien usia di atas 40 tahun, kebutuhan kalori dikurangi 5% untuk dekade antara 40 dan 59 tahun, dikurangi 10% untuk usia 60 s/d 69 tahun dan dikurangi 20%, di atas 70 tahun. c. Aktivitas Fisik atau Pekerjaan kebutuhan kalori dapat ditambah sesuai dengan intensitas aktivitas fisik. 24
penambahan sejumlah 10% dari kebutuhan basal diberikan pada kedaaan istirahat, 20% pada pasien dengan aktivitas ringan, 30% dengan aktivitas sedang, dan 50% dengan aktivitas sangat berat. d. Berat Badan Bila kegemukan dikurangi sekitar 20-30% ber-gantung kepada tingkat kegemukan Bila kurus ditambah sekitar 20-30% sesuai dengan kebutuhan untuk meningkatkan BB. Untuk tujuan penurunan berat badan jumlah kalori yang diberikan paling sedikit 1000 - 1200 kkal perhari untuk wanita dan 1200 - 1600 kkal perhari untuk pria. Makanan sejumlah kalori terhitung dengan komposisi tersebut di atas dibagi dalam 3 porsi besar untuk makan pagi (20%), siang (30%) dan sore (25%) serta 2-3 porsi makanan ringan (10-15%) di antaranya. Untuk meningkatkan kepatuhan pasien, sejauh mungkin perubahan dilakukan sesuai dengan kebiasaan. Untuk penyandang diabetes yang mengidap penyakit lain, pola pengaturan makan disesuaikan dengan penyakit penyertanya.
Latihan Jasmani
Kegiatan jasmani sehari-hari dan latihan jasmani secara teratur (3-4 kali seminggu selama kurang lebih 30 menit), merupakan salah satu pilar dalam pengelolaan DM tipe 2. Kegiatan sehari-hari seperti berjalan kaki ke pasar, menggunakan tangga, berkebun harus tetap dilakukan Latihan jasmani selain untuk menjaga kebugaran juga dapat menurunkan berat badan dan memperbaiki sensitivitas insulin, sehingga akan memperbaiki kendali glukosa darah. Latihan jasmani yang dianjurkan berupa latihan jasmani yang bersifat aerobik seperti: jalan kaki, bersepeda santai, jogging, dan berenang. Latihan jasmani sebaiknya disesuaikan dengan umur dan status kesegaran jasmani. Untuk mereka yang relatif sehat, intensitas latihan jasmani bisa ditingkatkan, sementara yang sudah mendapat komplikasi DM dapat dikurangi. Hindarkan kebiasaan hidup yang kurang gerak atau bermalasmalasan.
25
Intervensi Farmakologi
Intervensi farmakologis ditambahkan jika sasaran glukosa darah belum tercapai dengan pengaturan makan dan latihan jasmani. 1. Obat hipoglikemik oral (OHO)
Berdasarkan cara kerjanya, OHO dibagi menjadi 4 golongan: a. pemicu sekresi insulin (insulin secretagogue): sulfonilurea dan glinid b. penambah sensitivitas terhadap insulin: metformin, tiazolidindion c. penghambat glukoneogenesis (metformin) d. penghambat absorpsi glukosa: penghambat glukosidase alfa. A. Pemicu Sekresi Insulin
1. Sulfonilurea Obat golongan ini mempunyai efek utama meningkatkan sekresi insulin oleh sel beta pankreas. Untuk menghindari hipoglikemia berkepanjangan pada berbagai keadaaan seperti orang tua, gangguan faal ginjal dan hati, kurang nutrisi serta penyakit kardiovaskular, tidak dianjurkan penggunaan sulfonilurea kerja panjang. 2. Glinid
26
Glinid merupakan obat yang cara kerjanya sama dengan sulfonilurea, dengan penekanan pada meningkatkan sekresi insulin fase pertama. Golongan ini terdiri dari 2 macam obat yaitu: Repaglinid (derivat asam benzoat) dan Nateglinid (derivat fenilalanin). Obat ini diabsorpsi dengan cepat setelah pemberian secara oral dan diekskresi secara cepat melalui hati. B. Penambah sensitivitas terhadap insulin
Tiazolidindion Tiazolidindion (rosiglitazon dan pioglitazon) berikatan pada Peroxisome Proliferator Activated Receptor Gamma (PPAR-γ), suatu reseptor inti di sel otot dan sel lemak. Golongan ini mempunyai efek menurunkan resistensi insulin dengan meningkatkan jumlah protein pengangkut glukosa, sehingga meningkatkan ambilan glukosa di perifer. Tiazolidindion dikontraindikasikan pada pasien dengan gagal jantung klas I-IV karena dapat memperberat edema/retensi cairan dan juga pada gangguan faal hati. Pada pasien yang menggunakan tiazolidindion perlu dilakukan pemantauan faal hati secara berkala. C. Penghambat glukoneogenesis
Metformin Obat ini mempunyai efek utama mengurangi produksi glukosa hati (glukoneogenesis), di samping juga memperbaiki ambilan glukosa perifer. Terutama dipakai pada penyandang diabetes gemuk. Metformin dikontraindikasikan pada pasien dengan gangguan fungsi ginjal (serum kreatinin > 1,5 mg/dL) dan hati, serta pasien-pasien dengan kecenderungan hipoksemia (misalnya penyakit serebro- vaskular, sepsis, renjatan, gagal jantung). Metformin dapat memberikan efek samping mual. Untuk mengurangi keluhan tersebut dapat diberikan pada saat atau sesudah makan. D. Penghambat Glukosidase Alfa (Acarbose)
Obat ini bekerja dengan mengurangi absorpsi glukosa di usus halus, sehingga mempunyai efek menurunkan kadar glukosa darah sesudah makan. Acarbose tidak menimbulkan efek samping hipoglikemia. Efek samping yang paling sering ditemukan ialah kembung dan flatulens.
27
1
Cara Pemberian OHO, terdiri dari :
a. OHO dimulai dengan dosis kecil dan ditingkatkan secara bertahap sesuai respons kadar glukosa darah, dapat diberikan sampai dosis hampir maksimal b. Sulfonilurea generasi I & II : 15 – 30 menit sebelum makan c. Glimepirid : sebelum/sesaat sebelum makan d. Repaglinid, Nateglinid : sesaat/ sebelum makan e. Metformin : sebelum /pada saat / sesudah makan f. Penghambat glukosidase α (Acarbose) : bersama makan suapan pertama g. Tiazolidindion : tidak bergantung pada jadwal makan. No.
Golongan
Mekanisme kerja
Dosis dan sediaan
ES-KI
1.
Sulfonil urea-
Insulin secretagous
S:2,5-5mg/tab
ES:hipoglikemi
Glibenclamid
: ATP-sensitive K
DH:2,5-15mg
KI:pasien
channel
LK:12-24jam
hepar&
ginjal
F:1-2x/hari a.c 2.
Meglitinid-
Insulin secretagous
Repaglinid
S:1mg/tab
ES: ggn GI
DH:1,5-6mg
KI:pasien
LK:-
hepar&
ginjal
F:3x/hari a.c 3.
Biguanid-
↓
Metformin
hepar dan ↑ sens.
Prod
glukosa
Jar otot& adiposa thdp insulin
S:500-850mg
ES: gjala GI
DH:250-3000
KI: pasien dgn gangg
LK:6-8jam
hepar, ginjal
F:1-3x/hari p.c/bersama mkn
28
No.
Golongan
Mekanisme kerja
Dosis dan sediaan
ES-KI
4.
Tiazolidinedion
Mengaktifkan
S:15-30mg/tab
ES: ↑BB, edema
- pioglitazone
PPAR-g, terbentuk
DH:15-45mg
KI:ggal jtg 3-4
GLUT baru
LK:24 jam F:1x sehari 5.
Penghambat α-
Mengurangi
glikosidase
absorbsi glukosa di
(acarbose)
usus halus
S:50-100mg
ES: kembung, flatulens
DH:100-300mg LK:F:3x
bersama
suapan I (Farmakologi FKUI.2009) 2. Insulin
Insulin diperlukan pada keadaan: a. Penurunan berat badan yang cepat b. Hiperglikemia berat yang disertai ketosis c. Ketoasidosis diabetik d. Hiperglikemia hiperosmolar non ketotik e. Hiperglikemia dengan asidosis laktat f. Gagal dengan kombinasi OHO dosis hampir maksimal g. Stres berat (infeksi sistemik, operasi besar, IMA, stroke) h. Kehamilan dengan DM/diabetes melitus gestasional yang tidak terkendali dengan perencanaan makan i. Gangguan fungsi ginjal atau hati yang berat j. Kontraindikasi dan atau alergi terhadap OHO
29
Efek samping terapi insulin
a. Efek samping utama terapi insulin adalah terjadinya hipoglikemia. b. Penatalaksanaan hipoglikemia dapat dilihat dalam bab komplikasi akut DM. c. Efek samping yang lain berupa reaksi imunologi terhadap insulin yang dapat menimbulkan alergi insulin atau resistensi insulin. Tipe - Jenis Insulin
Insulin dapat dibedakan atas dasar: 1. Waktu kerja insulin (onset), yaitu waktu mulai timbulnya efek insulin sejak disuntikan. 2. Puncak kerja insulin, yaitu waktu tercapainya puncak kerja insulin. 3. Lama kerja insulin (durasi), yaitu waktu dari timbulnya efek insulin sampai hilangnya efek insulin. Terdapat 4 buah insulin eksogen yang diproduksi dan dikategorikan berdasarkan puncak dan jangka waktu efeknya. Berikut keterangan jenis insulin eksogen : 1. Insulin Eksogen kerja cepat . Bentuknya berupa larutan jernih, mempunyai onset cepat dan durasi pendek. Yang termasuk di sini adalah insulin regular (Crystal Zinc Insulin / CZI ). Saat ini dikenal 2 macam insulin CZI, yaitu dalam bentuk asam dan netral. Preparat yang ada antara lain : Actrapid, Velosulin, Semilente. Insulin jenis ini diberikan 30 menit sebelum makan, mencapai puncak setelah 1 – 3 macam dan efeknya dapat bertahan samapai 8 jam.
30
2. Insulin Eksogen kerja sedang. Bentuknya terlihat keruh karena berbentuk hablur-hablur kecil, dibuat dengan menambahkan bahan yang dapat memperlama kerja obat dengan cara memperlambat penyerapan insulin kedalam darah. Yang dipakai saat ini adalah Netral Protamine Hegedorn ( NPH ),MonotardÒ, InsulatardÒ. Jenis ini awal kerjanya adalah 1.5 – 2.5 jam. Puncaknya tercapai dalam 4 – 15 jam dan efeknya dapat bertahan sampai dengan 24 jam.
3. Insulin Eksogen campur antara kerja cepat & kerja sedang (Insulin premix) Yaitu insulin yang mengandung insulin kerja cepat dan insulin kerja sedang. Insulin ini mempunyai onset cepat dan durasi sedang (24 jam). Preparatnya: Mixtard 30 / 40
4. Insulin Eksogen kerja panjang (lebih dari 24 jam). Merupakan campuran dari insulin dan protamine, diabsorsi dengan lambat dari tempat penyuntikan sehingga efek yang dirasakan cukup lam, yaitu sekitar 24 – 36 jam. Preparat: Protamine Zinc Insulin ( PZI ), Ultratard 31
Cara pemberian insulin
Insulin kerja singkat :
IV, IM, SC
Infus ( Glukosa / elektrolit )
Jangan bersama darah ( mengandung enzim merusak insulin )
Insulin kerja menengah / panjang :
Jangan IV karena bahaya emboli.
Pemberian insulin secara sliding scale dimaksudkan agar pemberiannya lebih efisien dan tepat karena didasarkan pada kadar gula darah pasien pada waktu itu. Gula darah diperiksa setiap 6 jam sekali. Dosis pemberian insulin tergantung pada kadar gula darah, yaitu :
Gula darah < 60 mg %
= 0 unit
< 200 mg %
= 5 – 8 unit
200 – 250 mg%
= 10 – 12 unit
250 - 300 mg%
= 15 – 16 unit
300 – 350 mg%
= 20 unit
> 350 mg%
= 20 – 24 unit
Dosis : a. Pasien DM muda 0,75-1,5 U/kgbb kerja sedang 2x/hr
32
b. DM dewasa kurus 8-10 U kerja sedang 20-30 m sblm mkan pagidan 4-5 U sblm makan malam c. DM dewasa gemuk 20 U pagi hari dan 10 U sblm makan malam6 Efek samping penggunaan insulin
Hipoglikemia
Lipoatrofi
Lipohipertrofi
Alergi sistemik atau lokal
Resistensi insulin
Edema insulin
Sepsis
Kriteria Pengendalian DM
Untuk dapat mencegah terjadinya komplikasi kronik, diperlukan pengendalian DM yang baik yang merupakan sasaran terapi. Diabetes terkendali baik, apabila kadar glukosa darah mencapai kadar yang diharapkan serta kadar lipid dan A1C juga mencapai kadar yang diharapkan. Demikian pula status gizi dan tekanan darah
33
Untuk pasien berumur lebih dari 60 tahun dengan komplikasi, sasaran kendali kadar glukosa darah dapat lebih tinggi dari biasa (puasa 100-125 mg/dL, dan sesudah makan 145-180 mg/dL). Demikian pula kadar lipid, tekanan darah, dan lain-lain, mengacu pada batasan kriteria pengendalian sedang. Hal ini dilakukan mengingat sifat-sifat khusus pasien usia lanjut dan juga untuk mencegah kemungkinan timbulnya efek samping hipoglikemia dan interaksi obat. 3 (Konsensus Pengelolaan dan Pencegahan DM tipe 2 di Indonesia 2011)
Penyulit Diabetes Melitus
Dalam perjalanan penyakit DM, dapat terjadi penyulit akut dan menahun Penyulit akut
1. Ketoasidosis diabetik 2. Hipoglikemia Hipoglikemia dan cara mengatasinya a. Hipoglikemia ditandai dengan menurunnya kadar glukosa darah <60 mg/dL b. Bila terdapat penurunan kesadaran pada penyandang diabetes harus selalu dipikirkan kemungkinan terjadinya hipoglikemia. Hipoglikemiapaling sering disebabkan oleh penggunaan sulfonilurea dan insulin. Hipoglikemia akibat sulfonilurea dapat berlangsung lama, sehingga harus diawasi sampai seluruh obat diekskresi dan waktu kerja obat telah habis. Terkadang diperlukan waktu yang cukup lama untuk pengawasannya (24-72 jam atau lebih, terutama pada pasien dengan gagal ginjal kronik). Hipoglikemia pada usia lanjut merupakan suatu hal yang harus dihindari, mengingat dampaknya yang fatal atau terjadinya kemunduran mental bermakna pada pasien. Perbaikan kesadaran pada DM usia lanjut sering lebih lamban dan memerlukan pengawasan yang lebih lama. Gejala hipoglikemia terdiri dari gejala adrenergik (berdebar, banyak keringat, gemetar, rasa lapar) dan gejala neuro-glikopenik (pusing, gelisah, kesadaran menurun sampai koma). Hipoglikemia harus segera mendapatkan pengelolaan yang memadai. Diberikan makanan yang mengandung karbohidrat atau minuman yang mengandung gula berkalori atau glukosa 15-20 g melalui intra vena. Perlu dilakukan pemeriksaan ulang glukosa darah 15
34
menit setelah pemberian glukosa. Glukagon diberikan pada pasien dengan hipoglikemia berat Untuk penyandang diabetes yang tidak sadar, sementara dapat diberikan glukosa 40% intravena terlebih dahulu sebagai tindakan darurat, sebelum dapat dipastikan penyebab menurunnya kesadaran. Penyulit Kronik
1. Makroangiopati : -
Pembuluh darah jantung
-
Pembuluh darah tepi
-
Penyakit arteri perifer sering terjadi pada penyandang diabetes. Terkadang ulkus iskemik kaki merupakan kelainan yang pertama muncul.
-
Pembuluh darah otak
2. Mikroangiopati: -
Retinopati diabetik Kendali glukosa dan tekanan darah yang baik akan mengurangi risiko dan memberatnya retinopati. Terapi aspirin tidak mencegah timbulnya retinopati
- Nefropati diabetik. Kendali glukosa dan tekanan darah yang baik akan mengurangi risiko nefropati. Pembatasan asupan protein dalam diet (0,8 g/kg BB) juga akan mengurangi risiko terjadinya nefropati - Neuropati Yang tersering dan paling penting adalah neuropati perifer, berupa hilangnya sensasi distal. Berisiko tinggi untuk terjadinya ulkus kaki dan amputasi. Gejala yang sering dirasakan kaki terasa terbakar dan bergetar sendiri, dan lebih terasa sakit di malam hari. Setelah diagnosis DM ditegakkan, pada setiap pasien perlu dilakukan skrining untuk mendeteksi adanya polineuropatidistal dengan pemeriksaan neurologi sederhana, dengan monofilamen 10 gram. Dilakukan sedikitnya setiap tahun. Apabila diketemukan adanya polineuropati distal, perawatan kaki yang memadai akan menurunkan risiko amputasi. Untuk mengurangi rasa sakit dapat diberikan duloxetine, antidepresan trisiklik atau gabapentin. Semua penyandang diabetes yang disertai neuropati perifer harus diberikan edukasi perawatan kaki untuk mengurangi risiko ulkus kaki. 6 35
Pencegahan Diabetes Melitus
Beberapa cara pencegahan penyakit DM, yaitu: 1.
Pencegahan Primer Pencegahan ini merupakan suatu upaya yang ditujukan pada kelompok risiko tinggi. Mereka yang belum menderita DM, tetapi berpotensi untuk menderita penyakit ini, yaitu mereka yang tergolong kelompok usia dewasa (di atas 45 tahun), kegemukan, tekanan darah tinggi (lebih dari 140/90 mmHg), riwayat keluarga DM, dll. Upaya yang perlu dilakukan pada tahap ini adalah upaya untuk menghilangkan faktor-faktor tersebut.
2.
Pencegahan Sekunder Pencegahan ini berupa upaya mencegah atau menghambat timbulnya penyulit dengan tindakan deteksi dini dan dilakukan sejak awal penyakit. Tindakan ini bearti mengelola DM dengan baik agar tidak timbul penyulit lanjut. Penyuluhan mengenai DM dan pengelolaannya memegang peran yang penting untuk meningkatkan kepatuhan berobat.
3.
Pencegahan Tersier Kalau penyulit menahun DM ternyata terjadi juga maka pengelola harus berusaha mencegah terjadinya kecacatan lebih lanjut dan merehabilitasi pasien sedini mungkin sebelum kecacatan tersebut menetap. Contohnya aspirin dosis rendah (80--325 mg) dapat dianjurkan diberikan secara rutin bagi pasien DM yang sudah mempunyai penyulit makroangiopati. Pelayanan kesehatan yang holistik dan terintegrasi antar disiplin ilmu terkait sangat diperlukan.
36
HIPGLIKEMIA
Adalah keadaan dimana kadar glukosa darah < 60 mg/dl, atau kadar glukosa darah < 80 mg/dl dengan gejala klinis hipoglikemia pada DM terjadi karena : -
Kelebihan obat/dosis obat : terutama insulin, atau obat hipoglikemik oral
-
Kebutuhan tubuh akibat insulin yang relatif menurun : gagal ginjal kronik, pasca persalinan
-
Asupan makan tidak adekuat : jumlah kalori atau waktu makan tidak tepat
-
Kegiatan jasmani berlebihan
Diagnosis Gejala dan tanda klinis : -
Stadium parasimpatik : lapar, mual, tekanan darah turun
-
Stadium gangguan otak ringan : lemah, lesu, sulit bicara, kesulitan menghitung sementara
-
Stadium simpatik : keringat dingin pada muka, bibir atau tangan gemetar
-
Stadium gangguan otak berat : tidak sadar, dengan atau tanpa kejang
Anamnesis -
Penggunaan preparat insulin atau OHO : dosis terakhir, waktu pemakaian terakhir, perubahan dosis
-
Waktu makan terakhir, jumlah asupan gizi
-
Riwayat jenis pengobatan dan dosis sebelumnya
-
Lama menderita DM, komplikasi DM
-
Penyakit penyerta : ginjal, hati, dll
-
Penggunaan obat sistemik lainyya : penghambat adrenergik ß, dll.
Pemeriksaan fisik -
Pucat, diaphoresis, tekanan darah, frekuensi denyut jantung, penurunan kesadaran, defisit neurologik fokal transien
37
Terapi Stadium permulaan (sadar) -
Berikan gula murni 30 gram (2 sendok makan) atau sirop/permen gula murni (bukan pemanis pengganti gula atau gule diet/gula diabetes) dan makanan yang mengandung karbohidrat
-
Hentikan obat hipoglikemik sementara
-
Pantau glukosa darah sewaktu tiap 1-2 jam
-
Pertahankan GD sekitar 200 mg/dl (bila sebelumnya tidak sadar)
-
Cari penyebab
Stadium lanjut (koma hipoglikemia atau tidak sadar dan curiga hipoglikemia) : 1. Diberikan larutan Dekstrosa 40% sebanyak 2 flakon (=50 ml) bolus intravena 2. Diberikan cairan Dekstrosa 10% per infus, 6 jam per kolf 3. Periksa GD sewaktu (GDs), kalau memungkinkan dengan glukometer : -
Bila GDs <50 mg/dl maka +bolus Dekstrosa 40% 50 mL IV
-
Bila GDs <100 mg/dl maka +bolus Dekstrosa 40% 25 mL IV
4. Periksa GDs setiap 1 jam setelah pemberian Dekstrosa 40% : -
Bila GDs <50 mg/dL maka + bolus Dekstrosa 40% 50 mL IV
-
Bila GDs <100 mg/dL maka + bolus Dekstrosa 40% 25 mL IV
-
Bila GDs 100 – 200 mg/dL maka tanpa bolus Dekstrosa 40%
-
Bila GDs > 200 mg/dL maka pertimbangkan menurunkan kecepatan drip Dekstrosa 10%
5. Bila GDs >100 mg/dL sebanyak 3 kali berturut-turut, pemantauan GDs setiap 2 jam, dengan protokol sesuai diatas. Bila GDs >200 mg/dL maka pertimbangkan mengganti infus dengan dekstrosa 5 % atau NaCl 0.9% 6. Bila GDs >100 mg/dL sebanyak 3 kali berturut-turut, pemantauan GDs setiap 4 jam, dengan protokol sesuai diatas. Bila GDs >200 mg/dL maka pertimbangkan mengganti infus dengan dekstrosa 5 % atau NaCl 0.9%
38
7. Bila GDs >100 mg/dl sebanyak 3 kali berturut turut, sliding scale setiap 6 jam : GD
RI
(mg/dl)
(unit, subkutan)
<200
0
200-500
5
250-300
10
300-350
15
>350
20
8. bila hipoglikemia belum teratasi, dipertimbangkan pemberian antagonis insulin, seperti : adrenalin,kortison dosis tinggi, atau glukagon 0,5-1 mg IV / IM (bila penyebabnya insulin) 9. bila pasien belum sadar, GDs sekitar 200 mg/dl : hidrokortison 100 mg per 4 jam selama 12 jam atau deksametason 10 mg IV bolus dilanjutkan 2 mg setiap 6 jam dan dimonitor 1,5 – 2 g/kgBB IV setiap 6-8 jam. Cari penyebab penurunan kesadaran menurun. Keto-Asidosis Diabetikum
Adalah kondisi dekompensasi metabolik akibat defisinesi insulin absolut atau relatif dan merupakan komplikasi akut DM yang serius. Gambaran klinisnya hiperglikemia, ketosis dan asidosis metabolik. Diagnosis -
Keluhan poliuri, polidipsi
-
Riwayat berhenti menyuntik insulin
-
Demam/infeksi
-
Muntah
-
Nyeri perut
-
Kesadaran : CM, delirium, koma
-
Pernapasan Kussmaul
-
Dehidrasi
-
Syok hipovolemik
Kriteria diagnosis -
Kadar Glc
: >250 mg/dl
39
pH
: <7,35
-
HCO3-
: rendah
-
Anion gap
: tinggi
-
Keton serum
: positif dan atau ketonuria
-
Pemantauan : -
Gula darah
: tiap jam
Na+, K+, Cl- : tiap 6 jam selama 24 jam, selanjutnya sesuai keadaan AGD
: bila pH < 7 saat masuk maka diperiksa setiap 6 jam s.d.pH >7,1.
Selanjutnya setiap hari sampai pasien stabil. -
Pemeriksaan lain sesuai indikasi : kultur darah, kultur urin, kultur pus.
Terapi Akses iv 2 jalur, salah satunya dicabang dengan 3 way I. -
Cairan : NaCl 0,9% diberikan kurang lebih 1-2 L pada 1 jam pertama, lalu kurang lebih 1 L pada jam kedua, lalu ± 0,5 L pada jam ketiga dan keempat, dan ± 0,25 L pada jam kelima dan keenam, selanjutnya sesuai kebutuhan
-
Jumlah cairan yang diberikan dalam 15 jam sekitar 5 L
-
Jika Na + > 155 mEq/L maka ganti cairan dengan NaCl 0,45 %
-
Jika GD < 200 mg/dl maka ganti cairan dengan Dextrose 5 %
II.
Insulin (reguler insulin = Rl )
-
Diberikan setelah 2 jam rehidrasi cairan
-
Rl bolus 180 mU/KgBB IV dilanjutkan
-
Rl drip 90 mU/kgBB/jam dalam NaCL 0,9 %
-
Jika GD < 200 mg/dl : kecepatan dikurangi maka Rl drip 45 mU/kgBB/jam dalam NaCl 0,9 %
-
Jika GD stabil 200-300 mg/dl selama 12 jam maka Rl drip 1-2 U/jam IV, disertai sliding scale setiap 6 jam
-
GD
RI
(mg/dl)
(unit, subkutan)
<200
0
200-500
5 40
250-300
10
300-350
15
>350
20
-
Jika kadar GD ada yang <100 mg/dl : drip Rl dihentikan
-
Setelah sliding scale tiap 6 jam, dapat diperhitungkan kebutuhan insulin sehari maka dibagi 3 dosis sehari subkutan, sebelum makan (bila pasien sudah makan)
III.
Kalium Kalium (K Cl) drip dimulai bersamaan dengan drip Rl, dosisb50 mEq/6 jam. Syarat :
-
tidak ada gagal ginjal, tidak ditemukan gelombang T yang lancip dan tinggi pada EKG, dan jumlah urin cukup adekuat Bila kadar K+ pada pemeriksaan elektrolit kedua :
-
<3,5
: drip KCl 75 mEq/6 jam
3,0-4,5
: drip KCl 50 mEq/6 jam
4,5-6,0
: drip KCl 25 mEq/6 jam
>6,0
: drip dihentikan
Bila sudah sadar, diberikan K+ oral selama seminggu
-
IV.
Natrium Bikarbonat
Drip
100 mEq bila pH
<7,0, disertai KCl 26 mEq drip
50 mEq bila pH 7,0-7,1, disertai KCl 13 mEq drip Juga diberikan pada asidosis laktat dan hiperkalemi yang mengancam. V.
Tatalaksana Umum
-
Oksigen bila PO2 < 80 mmHg
-
Antibiotika adekuat
-
Heparin : bila ada KID atau hiperosmolar ( >380 mOsm/L) terapi disesuaikan dengan pemantauan klinis
-
Tekanan darah, frekuensi nadi, frekuensi pernapasan, temperatur setiap jam
-
Kesadaran setiap jam
-
Keadaan hidrasi (turgor, lidah) setiap jam
-
Produksi urin setiap jam, balans cairan
-
Cairan infus yang masuk setiap jam\ Dan pemantauan labpratorik (lihat pemeriksaan penunjang) 41
B. CONGESTIVE HEART FAILURE (CHF)
1. ETIOLOGI Mekanisme fisiologis yang menyebabkan timbulnya dekompensasi kordis adalah keadaankeadaan
yang
meningkatkan
beban
awal,
beban
akhir
atau
yang
menurunkan
kontraktilitasmiokardium. Keadaan yang meningkatkan beban awal seperti regurgitasi aorta, dan cacat septumventrikel. Beban akhir meningkat pada keadaan dimana terjadi stenosis aorta atau hipertensisistemik. Kontraktilitas miokardium dapat menurun pada infark miokard atau kardiomyopati.Faktor lain yang dapat menyebabkan jantung gagal sebagai pompa adalah gangguan pengisisanventrikel ( stenosis katup atrioventrikuler ), gangguan pada pengisian dan ejeksi ventrikel (perikarditis konstriktif dan temponade jantung). Dari seluruh penyebab tersebut diduga yang paling mungkin terjadi adalah pada setiap kondisi tersebut mengakibatkan pada gangguan penghantaran kalsium di dalam sarkomer, atau di dalam sistesis atau fungsi protein kontraktil( Price. Sylvia A, 1995). Penyebab kegagalan jantung dikategori kepada tiga penyebab : -
Stroke volume : isi sekuncup Kontraksi kardiak Preload dan afterload Meliputi : Kerusakan langsung pada jantung (berkurang kemampuan berkontraksi), infark myocarditis,myocarial fibrosis, aneurysma ventricular
-
Ventricular overload terlalu banyak pengisian dari ventricle Overload tekanan (kebanyakan pengisian akhir : stenosis aorta atau arteri pulmonal, hipertensi pulmonari Keterbatasan pengisian sistolik ventricular
-
Pericarditis
konstriktif
atau
cardomyopati,
atau
aritmi,
kecepatan
yang
tinggi,tamponade,mitra; stenosis Ventrucular overload (kebanyakan preload) regurgitasi dari aourta, defek seftum ventricalar . Decompensai cordis terbagi atas dua macam meliputi : 1. Decompensasi cordis kiri/gagal jantung kiri Dengan berkurangnya curah jantung pada gagal jantung mengakibatkan pada akhir sistolterdapat sisa darah yang lebih banyak dari keadaan keadaan normal sehingga pada masa diatol berikutnya akan bertambah lagi mengakibatkan tekanan distol semakin tinggi, makin lama terjadi bendungan didaerah natrium kiri berakibat tejadi peningkatan tekanan dari batas normal 42
padaatrium kiri (normal 10-12 mmHg) dan diikuti pula peninggian tekanan vena pembuluh pulmonalis dan pebuluh darah kapiler di paru, karena ventrikel kanan masih sehat memompadarah terus dalam atrium dalam jumlah yang sesuai dalam waktu cepat tekanan hodrostatik dalam kapiler paru-paru akan menjadi tinggi sehingga melampui 18 mmHg dan terjadi transudasicairan dari pembuluh kapiler paru-paru. Pada saat peningkatan tekanan arteri pulmonalis dan arteri bronkhialis, terjadi transudasi cairanintertisiel bronkus mengakibatkan edema aliran udara menjadi terganggu biasanya ditemukan adanya bunyi ekspirasi dan menjadi lebih panjang yang lebih dikenal asma kardial fase permulaan pada gagal jantung, bila tekanan di kapiler makin meninggi cairan transudasi makin bertambah akan keluar dari saluran limfatik karena ketidaka mampuan limfatik untuk,menampungnya (>25 mmHg) sehingga akan tertahan dijaringan intertissiel paru-paru yang makin lama akan menggangu alveoli sebagai tempat pertukaran udara mengakibatkan udema paru disertai sesak dan makin lama menjadi syok yang lebih dikenal dengan syak cardiogenik diatandai dengan tekanan diatol menjadi lemah dan rendah serta perfusi menjadi sangat kurang berakibat terdi asidosis otot-otot jantung yang berakibat kematian.Gagalnya kkhususnya pada ventrikel kiri untuk memompakan darah yang mengandung oksigentubuh yang berakibat dua hal: Tanda-tanda dan gejela penurunan cardiak output seperit dyspnoe de effort (sesak nafas padaakktivitas fisik, ortopnoe (sesak nafas pada saat berbaring dan dapat dikurangi pada saat duduk atau berdiri.kemudian dispnue noktural paroksimalis (sesak nafas pada malam hari atau sesak pada saat terbangun) Dan kongesti paru seperti menurunnya tonus simpatis, darah balik yang bertambah, penurunan pada pusat pernafasan, edema paru, takikardia, Disfungsi diatolik, dimana ketidakmampuan relaksasi distolik dini ( proses aktif yangtergantung pada energi) dan kekakuan dindiing ventrikel. 2. Decompensasi cordis kanan Kegagalan venrikel kanan akibat bilik ini tidak mampu memompa melawan tekanan yang naik pada sirkulasi pada paru-paru, berakibat membaliknya kembali kedalam sirkulasi sistemik, peningkatan volume vena dan tekanan mendorong cairan keintertisiel masuk kedalam (edema perier) (long, 1996). Kegagalan ini akibat jantung kanan tidak dapat khususnya ventrikel kanantidak bisa berkontraksi dengan optimal , terjadi bendungan diatrium kanan dan vena kapa superior
dan
inferior
dan
tampak
gejala
yang
ada
adalah
udema
perifer,
hepatomegali,splenomegali, dan tampak nyata penurunan tekanan darah yang cepat. hal ini akibaat vetrikel kanan pada saat sisitol tidak mampu memompa darah keluar sehingga saat 43
berikutnya tekanan akhir diatolik ventrikel kanan makin meningkat demikin pula mengakibatkan tekanan dalam atrium meninggi diikuti oleh bendungan darah vena kava supperior dan vena kava inferior serta selruhsistem vena tampak gejal klinis adalah terjadinya bendungan vena jugularis eksterna, vena hepatika (tejadi hepatomegali, vena lienalis (splenomegali) dan bendungan bedungan pada padaena-vena perifer. Dan apabila tekanan hidristik pada di pembuluh kapiler meningkat melampuitakanan osmotik plasma maka terjadinya edema perifer. 2. PATOFISIOLOGI Berdasarkan hubungan antara aktivitas tubuh dengan keluhan dekompensasi dapat dibagi berdasarkan klisifikasi sebagai berikut:I. Pasien dg P. Jantung tetapi tidak memiliki keluhan pd kegiatan sehari-hari II. Pasien dengan penyakit jantung yang menimbulkan hambtan aktivitas hanya sedikit, akantetapi jika ada kegaiatn berlebih akan menimbulkan capek, berdebar, sesak serta angina III. Pasien dengan penyakit jantung dimana aktivitas jasmani sangat terbatas dan hanya merasa sehat jika beristirahat.IV. Pasien dengan penyakit jantung yang sedikit saja bergerak langsung menimbulkan sesak nafas atau istirahat juga menimbulkan sesak nafas.Konsep terjadinya gagal jantung dan efeknya terhadap pemenuhan kebutuhan dasar dapat dilihat pada gambar berikut : Hipertensi,iskhemia,infak,mitral valve/ aorta valve defect Penurunan kontraktilitas miokardium Penurunan curah jantung ↓ volume darah arteri efektif ↑lepasnya muatan saraf simpatis
Meningkatkan pelepasan
\
renin angiotensin II Tekanan darah dipertahankan
Me↑kan tekanan vena
Menurunkan GFR nefron
vasokontriksi ginjal
me↑kan sekresi aldosteron
me↑kan reabsorbsi NA+ dan H²O di tubulus 44
Menurunkan eksresi Na+ dan H²O dalam urin Maningkatkan Na dan H²O total tubuh Edema 3. GEJALA KLINIS Secara hemodinamik, gejala klinis gagal jantung pada bayi dan anak dapat digolongkan dalam 3 golongan, yaitu : i. Gejala perubahan pada jantung/kerja jantung. a. Takikardia b. Kardiomegali c. Failure to thrive d. Keringat berlebihan e. Pulsasi arteri melemah dan tekanan nadi mengecil yang terjadi akibat menurunnya curah jantung. ii. Gejala kongesti. a. Takipnea b. Kesukaran minum c. Wheezing d. Kapasitas vital menurun iii. Gejala bendungan sistem vena a. Hepatomegali b. Peninggian tekanan vena jugularis c. Edema 4. DIAGNOSIS Diagnosis CHF ditegakkan berdasarkan
Keluhan penderita berdasarkan tanda dan gejala klinis
Pemeriksaan fisik EKG untuk melihat ada tidaknya infark myocardial akut, dan gu na mengkaji kompensaai sepperti hipertropi ventrikel
Echocardiografi dapat membantu evaluasi miokard yang iskemik atau nekr otik pada penyakit jantung kotoner 45
Rontgen thorak untuk melihat adanya kongesti pada paru dan pembesaran ja nt un g
echocardiogram, gated pool imaging, dan kateterisasi arteri polmonal.utuk menyajikandata tentang fungsi jantung
5. PENATALAKSANAAN
Dosis Permulaan
Dosis Maksimal
Nitroglycerin
20 µg/menit
40 – 400 µg/menit
Nitroprusside
10 µg/menit
30 – 350 µg/menit
Nesiritide
Bolus 2 µg/kg
0.01 – 0.03 µg/kg permenita
Dobutamine
1 – 2 µg/kg per menit
2 – 10 µg/kg per menit
Milrinone
Bolus 50 µg/kg
0.1 – 0.75 µg/kg per menit
Dopamine
1 – 2 µg/kg per menit
2 – 4 µg/kg per menit
Levosimendan
Bolus 12 µg/kg
0.1 – 0.2 µg/kg per menitc
Dopamine for hypotension
5 µg/kg per menit
5 – 15 µg/kg per menit
Epinephrine
0.5 µg/kg per menit
50 µg/kg per menit
Phenylephrine
0.3 µg/kg per menit
3 µg/kg per menit
Vasodilators
Inotropes
Vasoconstrictors
46
Vasopression
0.05 units/menit
0.1 – 0.4 units/ menit
Obat yang digunakan dalam penatalaksanaan Gagal Jantung (EF <40%)
Dosis Awal
Dosis Maksimal
Furosemide
20 – 40 mg qd or bid
400
mg/da
Torsemide
10 – 20 mg qd bid
200
mg/da
Bumetanide
0.5 – 1.0 mg qd or bid
10
mg/da
Hydrochlorthiazide
25 mg qd
100
mg/da
Metolazone
2.5 – 5.0 mg qd or bid
20
mg/da
Diuretics
Angiotensin-Converting Enzyme Inhibitors
Captopril
6.25 mg tid
50 mg tid
Enalapril
2.5 mg bid
10 mg bid
Lisinopril
2.5 – 5.0 mg qd
20 – 35 mg qd
Ramipril
1.25 – 2.5 mg bid
2.5 – 5 mg bid
Trandolapril
0.5 mg qd
4 mg qd
Angiotensin Receptor Blockers
Valsartan
40 mg bid
160 mg bid
Candesartan
4 mg qd
32 mg qd
47
Dosis Awal
Dosis Maksimal
Irbesartan
75 mg qd
300
Losartan
12.5 mg qd
50 mg qd
Carvedilol
3.125 mg bid
25 – 50 mg bid
Bisoprolol
1.25 mg qd
10 mg qd
mg
qd
β Receptor Blockers
Metoprolol
succinate 12.5 – 25 mg qd
Target dose 200 mg qd
CR Additional Therapies
Spironolactone
12.5 – 25 mg qd
25 – 50 mg qd
Eplerenone
25 mg qd
50 mg qd
Kombinasi
10 – 25 mg/10 mg tid
75 mg/40 mg tid
hydralazine/isosorbide dinitrate Dosis
tetap 37.5 mg/20 mg (one tablet) 75
hydralazine/isosorbide tid
mg/40
mg
(two
tablets) tid
dinitrate Digoxin
0.125 mg qd
<0.375 mg/d
Non medikamentosa
Dalam pengobatan non medikamentosa yang ditekankan adalah istirahat, dimana kerja jantung dalam keadaan dekompensasi harus dikurangi benar – benar dengan tirah baring ( bed rest ) mengingat konsumsi oksigen yang relatif meningkat.
Sering tampak gejala – gejala jantung jauh berkurang hanya dengan istirahat saja. Diet umumnya berupa makanan lunak dengan rendah garam. Jumlah kalori sesuai dengan kebutuhan.
48
Penderita dengan gizi kurang diberi makanan tinggi kalori dan tinggi protein. Cairan diberikan sebanyak 80 – 100 ml/kgbb/hari dengan maksimal 1500 ml/hari.
C. TUBERKULOSIS
1. Definisi TB Paru Tuberkulosis adalah penyakit menular langsung yang disebabkan oleh kuman TB (Mycobacterium Tuberculosis). Sebagian besar kuman TB menyerang paru, tetapi dapat juga mengenai organ tubuh lainnya. 2. Epidemiologi TB Paru WHO menyatakan bahwa dari sekitar 1,9 milyar manusia, sepertiga penduduk dunia ini telah terinfeksi oleh kuman tuberkulosis. Pada tahun 1993 WHO juga menyatakan bahwa TB sebagai reemerging disease. Angka penderita TB paru di negara berkembang cukup tinggi, di Asia jumlah penderita TB paru berkisar 110 orang penderita baru per 100.000 penduduk.9,11,15 Hasil survey prevalensi TB di Indonesia tahun 2004 menunjukkan bahwa angka prevalensi TB BTA positif secara nasional 110 per 100.000 penduduk. S2ecara regional prevalensi TB BTA positif di Indonesia dikelompokkan dalam 3 wilayah, yaitu: 1. wilayah Sumatera angka prevalensi TB adalah 160 per 100.000 penduduk, 2. Wilayah Jawa dan Bali angka prevalensi TB adalah 110 per 100.000 penduduk, 3. Wilayah Indonesia Timur angka prevalensi TB adalah 210 per 100.000 penduduk. Khusus untuk propinsi DIY dan Bali angka prevalensi TB adalah 68 per 100.000 penduduk. Berdasar pada hasil survey prevalensi tahun 2004, diperkirakan penurunan insiden TB BTA positif secara Nasional 3-4 % setiap tahunnya. 3. Diagnosis TB Paru TB paru sering menimbulkan gejala klinis yang dapat dibagi menjadi 2 yaitu gejala respiratorik dan gejala sistemik. Gejala respiratorik seperti batuk, batuk darah, sesak napas, nyeri dada. Sedangkan gejala sistemik seperti demam, keringat malam, anoreksia, penurunan berat badan, dan malaise. Gejala respiratorik ini sangat bervariasi, dari mulai tidak ada gejala sampai gejala yang cukup berat tergantung dari luasnya lesi. Kadang pasien terdiagnosis pada saat medical check up. 49
Bila bronkus belum terlibat pada proses penyakit, maka mungkin pasien tidak ada gejala batuk. Batuk yang pertama terjadi akibat adanya iritasi bronkus, dan selanjutnya batuk diperlukan untuk membuang dahak keluar. Pada awal perkembangan penyakit sangat sulit menemukan kelainan pada pemeriksaan fisik, kelainan yang dijumpai tergantung dari organ yang terlibat. Kelainan paru pada umumnya terletak di daerah lobus superior terutama di daerah apeks dan segmen posterior. Pada pemeriksaan fisik dapat dijumpai antara lain suara napas bronkial, amforik, suara napas melemah, ronki basah, tanda-tanda penarikan paru, diapragma, dan mediastinum. Untuk yang diduga menderita TB paru, diperiksa 3 spesimen dahak dalam waktu 2 hari yaitu sewaktu-pagi-sewaktu (SPS). Berdasarkan panduan program TB nasional, diagnosis TB paru pada orang dewasa ditegakkan dengan dijumpainya kuman TB (BTA). Sedangkan pemeriksaan lain seperti foto thoraks, biakan, dan uji kepekaan dapat digunakan sebagai penunjang diagnosis sesuai dengan indikasinya dan tidak dibenarkan dalam mendiagnosis TB jika diagnosis dibuat hanya berdasarkan foto thoraks. 4. Pemeriksaan Penunjang a. Pemeriksaan Bakteriologis
Pemeriksaan bakteriologis untuk menemukan kuman TB mempunyai arti yang sangat penting dalam menegakkan diagnosis. Bahan untuk pemeriksaan bakteriologis ini dapat berasal dari dahak, cairan pleura, bilasam bronkus, liquor cerebrospinal, bilasan lambung, kurasan bronkoalveolar, urin, faeces, dan jaringan biopsi. b. Pemeriksaan Radiologik
Pemeriksaan rutin adalah foto toraks PA. Pemeriksaan atas indikasi seperti foto apilordotik, oblik, CT scan. Tuberkulosis memberikan gambaran bermacam-macam pada foto toraks. Gambaran radiologis yang ditemukan dapat berupa: a. Bayangan lesi di lapangan atas paru atau segmen apikal lobus bawah b. Bayangan berawan atau berbercak c. Bayangan bercak milier d. Bayangan efusi pleura, umumnya unilateral e. Destroyed lobe sampai destroyed lung f.
Kalsifikasi 50
g.
Schwarte
Menurut Perhimpunan Dokter Paru Indonesia luasnya proses yang tampak pada foto toraks dapat dibagi sebgaai berikut: -
Lesi minimal ( Minimal Lesion) Bila proses tuberkulosis paru mengenai sebagian kecil dari satu atau dua paru dengan luas tidak lebih dengan volume paru yang terletak diatas chondro sternal junction dair iga kedua dan prosesus spinosus dari vertebra torakalis IV atau korpus vertebra torakalis V dan tidak dijumpai kavitas.
-
Lesi luas ( Far Advanced ) Kelainan lebih luas dari lesi minimal.
c. Pemeriksaan Khusus
Dalam perkembangan kini ada beberapa teknik baru yang dapat mendeteksi kuman TB seperti : a.BACTEC: dengan metode radiometrik , dimana CO2 yang dihasilkan dari metabolisme asam lemak M.tuberculosis dideteksi growth indexnya. b. Polymerase chain reaction (PCR) dengan cara mendeteksi DNA dari M.tuberculosis, hanya saja masalah teknik dalam pemeriksaan ini adalah kemungkinan kontaminasi. c.Pemeriksaan serologi : seperti ELISA, ICT dan Mycodot.
d. Pemeriksaan Penunjang Lain
Seperti analisa cairan pleura dan histopatologi jaringan, pemeriksaan darah dimana LED biasanya meningkat, tetapi tidak dapat digunakan sebagai indikator yang spesifik pada TB. Di Indonesia dengan prevalensi yang tinggi, uji tuberkulin sebagai alat bantu diagnosis penyakit kurang berarti pada orang dewasa. Uji ini mempunyai makna bila didapatkan konversi, bula atau kepositifan yang didapat besar sekali 5. Klasifikasi TB Paru Dalam Klasifikasi TB Paru ada beberapa pegangan yang prinsipnya hampir bersamaan. PDPI membuat klasifikasi berdasarkan gejala klinis, radiologis dan hasil pemeriksaan 51
bakteriologis dan riwayat pengobatan sebelumnya. Klasifikasi ini dipakai untuk menetapkan strategi pengobatan dan penanganan pemberantasan TB: 1. TB Paru BTA positif yaitu:
- Dengan atau tanpa gejala klinis - BTA positif mikroskopis + - Mikroskopis + biakan + - Mikroskopis + radiologis + - Gambaran radiologis sesuai dengan TB Paru 2. TB Paru (kasus baru) BTA negatif yaitu:
-Gejala klinis dan gambaran radiologis sesuai dengan TB Paru aktif -Bakteriologis (sputum BTA): negatif, jika belum ada hasil tulis belum diperiksa. -Mikroskopis -, biakan, klinis dan radiologis + 3. TB Paru kasus kambuh :
- Riwayat pengobatan OAT yang adekuat, gejala klinis dan gambaran radiologis sesuai dengan TB Paru aktif tetapi belum ada hasil uji resistensi. 4. TB Paru kasus gagal pengobatan :
- Gejala klinis dan gambaran radiologis sesuai dengan TB Paru aktif, pemeriksaan mikroskopis + walau sudah mendapat OAT, tetapi belum ada hasil uji resistensi. 5. TB Paru kasus putus berobat :
- Pada pasien paru yang lalai berobat 6. TB Paru kasus kronik, yaitu:
-Pemeriksaan mikroskopis + , dilakukan uji resistensi. 6. Penatalaksanaan Tuberkulosis Pengobatan tuberkulosis dilakukan dengan prinsip-prinsip sebagai berikut : -
OAT harus diberikan dalam bentuk kombinasi beberapa jenis obat, dalam jumlah cukup dan dosis tepat sesuai dengan kategori pengobatan. Jangan gunakan OAT tunggal (monoterapi). Pemakaian OAT-Kombinasi Dosis Tetap (OAT-KDT) lebih mengunqtungkan dan sangat dianjurkan. 52
-
Untuk menjamin kepatuhan pasien menelan obat, dilakukan pengawasan langsung (DOT = Directly Observed Treatment ) oleh seorang Pengawas Menelan Obat (PMO). Pengobatan
TB diberikan dalam 2 tahap, yaitu tahap intensif dan lanjutan.
Tahap awal (intensif)
o Pada tahap intensif (awal) pasien mendapat obat setiap hari dan perlu diawasi secara langsung untuk mencegah terjadinya resistensi obat. o Bila pengobatan tahap intensif tersebut diberikan secara tepat, biasanya pasien menjadi tidak menular dalam kurun waktu 2 minggu. o Sebagian besar pasien TB BTA positif menjadi BTA negatif (konversi) dalam 2 bulan.
Tahap Lanjutan
o Pada tahap lanjutan pasien mendapat jenis obat lebih sedikit, namun dalam jangka waktu yang lebih lama o Tahap lanjutan penting untuk membunuh kuman persister sehingga mencegah terjadinya kekambuhan Paduan OAT yang digunakan di Indonesia
Paduan OAT yang digunakan oleh Program Nasional Pengendalian Tuberkulosis di Indonesia: o Kategori 1 : 2(HRZE)/4(HR)3 o Kategori 2 : 2(HRZE)S/(HRZE)/5(HR)3E3 Disamping kedua kategori ini, disediakan paduan obat sisipan (HRZE) o Kategori Anak: 2HRZ/4HR o Obat yang digunakan dalam tatalaksana pasien TB resistan obat di Indonesia terdiri dari OAT lini ke-2 yaitu Kanamycin, Capreomisin, Levofloksasin, Ethionamide, sikloserin dan PAS, serta OAT lini-1, yaitu pirazinamid and etambutol. Paduan OAT kategori-1 dan kategori-2 disediakan dalam bentuk paket berupa obat kombinasi dosis tetap (OAT-KDT). Tablet OAT KDT ini terdiri dari kombinasi 2 atau 4 jenis obat dalam satu tablet. Dosisnya disesuaikan dengan berat badan pasien. Paduan ini dikemas dalam satu paket untuk satu pasien. Paket Kombipak.
53
Adalah paket obat lepas yang terdiri dari Isoniasid, Rifampisin, Pirazinamid dan Etambutol yang dikemas dalam bentuk blister. Paduan OAT ini disediakan program untuk digunakan dalam pengobatan pasien yang mengalami efek samping OAT KDT.
Panduan OAT lini pertama dan peruntukannya
a.
Kategori-1 (2HRZE/4H3R3) Panduan OAT ini diberikan untuk pasien baru : - Pasien baru TB paru BTA positif - Pasien TB paru BTA negatif foto thoraks positif - Pasien TB ekstra paru
b. Kategori-2 (2HRZES/HRZE/5HER3E3) Paduan OAT ini diberikan untuk pasien BTA positif yang telah diobati sebelumnya: - Pasien kambuh - Pasien gagal - Pasien dengan pengobatan setelah putus berobat (default )
54
Catatan:
Untuk pasien yang berumur 60 tahun ke atas dosis maksimal untuk streptomisin adalah 500mg tanpa memperhatikan berat badan.Untuk perempuan hamil lihat pengobatan TB dalam keadaan khusus. Cara melarutkan streptomisin vial 1 gram yaitu dengan menambahkan aquabidest sebanyak 3,7ml sehingga menjadi 4ml. (1ml = 250mg). c.
OAT sisipan (HRZE) Paket sisipan KDT adalah sama seperti paduan paket untuk tahap intensif kategori 1 yang diberikan selama sebulan (28 hari)
55
7. Efek Samping OAT dan Penatalaksanaannya
Tabel berikut menjelaskan efek samping ringan maupun berat dengan pendekatan gejala Efek Samping
Penyebab
Penatalaksanaan
Tidak ada nafsu makan, Rifampisin
Semua OAT diminum
mual, sakit perut
malam sebelum tidur
Nyeri sendi Kesemutan
Pirasinamid s/d
rasa INH
Beri Aspirin Beri
terbakar di kaki
vitamin
B6
(piridoxin) 100mg per hari
Warna kemerahan pada Rifampisin
Tidak perlu diberi apa-
air seni (urine)
apa, tapi perlu penjelasan kepada pasien
Efek Samping Gatal dan kemerahan kulit Tuli
Penyebab Semua jenis OAT
Gangguan keseimbangan
Streptomisin
Ikterus tanpa penyebab lain
Hampir semua OAT
Bingung dan muntahmuntah (permulaan ikterus karena obat) Gangguan penglihatan Purpura dan renjatan (syok)
Hampir semua OAT
Streptomisin
Etambutol Rifampisin
Penatalaksanaan Ikuti petunjuk penatalaksanaan Streptomisin dihentikan, ganti etambutol Streptomisin dihentikan, ganti etambutol Hentikan semua OAT sampai ikterus menghilang Hentikan semua OAT, segera lakukan tes fungsi hati Hentikan etambutol Hentikan Rifampisin
56
DAFTAR PUSTAKA
57
1. American thoracic society (ATS). 2001.Guidelines for management of adults with community-acquired pneumonia. Diagnosis, assessment of severity, antimicrobial therapy, and prevention. Am J Respir Crit. Care Med;163: 1730-54 2. Canadian acquired pneumonia working group. 2000. Canadian guidelines for the initial management of community acquired pneumonia and evidence based up date by the canadian thoracic society. Clin Infect Dis;31: 383-421 3. Fauci. 2009. Harrison’s manual of Medicine 17th ed:Pneumonia. North America: Mc Graw Hill 4. Gerberding JL, Sande MA. 2000. Infection Diseases of the lung:Textbook of respiratory medicine. Philadelphia:WB Saunders Co 5. Hadiarto M. 1995. Pneumonia atipik, masalah dan penatalaksanaannya. Jakarta:FKUI 6. Infectious Disease Society of America (IDSA). 2000. Practice guidelines for management community-acquired pneumonia in adults. Clin Infect Dis;31:347-82 7. RSUP Persahabatan. 2000. Laporan Tahunan bagian Pulmonologi. Jakarta 8. Nathwani D. 1998. Sequential switch therapy for lower respiratory tract infections. Chest;113:211s-218s 9. Survei Kesehatan Rumah Tangga (SKRT). 1995. Badan Litbang Depkes RI. Jakarta 10. Sabatine, Marc S. 2008. Pocket medicine 3rd ed:Pneumonia. Philadelphia: Lippincott & Wilkins 11. Sylvia A, Loraine M. patofisiologi : Konsep Klinis Proses- Proses Penyakit vol. 2 ed. 6. Jakarta : EGC, 2005 12. Zul, Dahlan. 2009. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Jilid II ed. IV:Pneumonia. Jakarta:FKUI 13. Perhimpunan Dokter Paru Indonesia (PDPI). 2003. Pneumonia Komuniti. Jakarta:FKUI 14. Pedoman Nasional Pengendalian Tuberkulosis. Kementerian Kesehatan Republik Indonesia Direktorat Jenderal Pengendalian Penyakit dan Penyehatan Lingkungan. 2011 15. Pedoman Diagnosis dan Penatalaksanaan Tuberkulosis di Indonesia 2007
58