LAPORAN STUDI KASUS
UPAYA PENDEKATAN KEDOKTERAN KELUARGA
PADA PASIEN DENGAN TUBERKULOSIS PARU
Oleh:
Dedy Murianto (207.121.0020)
Pembimbing:
dr. Farida Rusnianah, M.Kes. (MARS), Dipl.DK.
KEPANITERAAN KLINIK MADYA
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS ISLAM MALANG
LABORATORIUM ILMU
KESEHATAN MASYARAKAT 2016
KATA PENGANTAR
Puji syukur kehadirat Allah SWT yang telah memberikan rahmat, hidayah,
serta inayah-Nya kepada penyusun sehingga Laporan Studi Kasus Ilmu
Kesehatan Masyarakat yang berjudul "Upaya Pendekatan Kedokteran Keluarga
pada Pasien dengan Tuberkulosis Paru" ini dapat diselesaikan sesuai dengan
rencana yang diharapkan.
Tujuan penyusunan laporan ini adalah sebagai ujian kasus guna memenuhi
tugas kepaniteraan klinik madya serta melatih keterampilan klinis dan
komunikasi dalam menangani kasus kedokteran keluarga secara holistik dan
komprehensif.
Penyusun menyadari bahwa laporan makalah ini belumlah sempurna. Untuk
itu, saran dan kritik dari para dosen dan pembaca sangat diharapkan demi
perbaikan laporan ini. Atas saran dan kritik dosen dan pembaca, penyusun
ucapkan terima kasih.
Semoga Laporan Studi Kasus ini bermanfaat bagi dosen, penyusun, pembaca
serta rekan-rekan lain yang membutuhkan demi kemajuan ilmu pengetahuan
khususnya di bidang kedokteran.
Penyusun
Dedy Murianto, S.Ked.
DAFTAR ISI
Judul
Kata Pengantar 1
Daftar Isi 2
BAB I : Pendahuluan
Latar Belakang 3
Tujuan 4
Manfaat 4
BAB II : Laporan Kasus
Identitas Penderita 5
Anamnesa 5
Pemeriksaan Fisik 7
Pemeriksaan Penunjang 9
Resume 9
Diagnosis Holistik 9
Penatalaksanaan Holistik 10
Prognosis 11
Follow Up dan Flow Sheet 12
BAB III : Pembahasan Aspek Kedokteran Keluarga
Identifikasi Keluarga 12
Identifikasi Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Kesehatan 19
Daftar Masalah 21
BAB IV : Tinjauan Pustaka
Tuberkulosis Paru 22
BAB V : Pembahasan
Dasar Penegakan Diagnosa 27
Dasar Rencana Penatalaksanaan 33
BAB VI : Penutup
Kesimpulan Holistik 39
Daftar Pustaka 40
LAPORAN STUDI KASUS
LABORATORIUM ILMU KESEHATAN MASYARAKAT
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 LATAR BELAKANG
Tuberkulosis (TB), yang merupakan suatu penyakit infeksi kronik menular
oleh karena Mycobacterium tuberculosis (MTB) (Amin, 2006), masih menjadi
masalah utama kesehatan di Indonesia dan sebagian besar negara-negara di
dunia (GTNP TB, 2007). Pada tahun 1992 World Health Organization (WHO)
telah mencanangkan tuberkulosis sebagai Global Emergency. Laporan WHO tahun
2004 menyatakan bahwa terdapat 8,8 juta kasus baru tuberkulosis pada tahun
2002, dimana 3,9 juta adalah kasus BTA (Basil Tahan Asam) positif.
Sepertiga penduduk dunia telah terinfeksi kuman tuberkulosis dan menurut
regional WHO jumlah terbesar kasus TB terjadi di Asia tenggara yaitu 33 %
dari seluruh kasus TB di dunia, namun bila dilihat dari jumlah penduduk
terdapat 182 kasus per 100.000 penduduk. Di Afrika hampir 2 kali lebih
besar dari Asia tenggara yaitu 350 per 100.000 pendduduk. Diperkirakan
angka kematian akibat TB adalah 8000 setiap hari dan 2 - 3 juta setiap
tahun (Amin, 2006).
Laporan kasus TB di dunia oleh WHO tahun 2006, masih menempatkan
Indonesia sebagai penyumbang TB terbesar nomor 3 di dunia setelah India dan
Cina dengan jumlah kasus baru sekitar 539.000 dan jumlah kematian sekitar
101.000 pertahun. Survei Kesehatan Rumah Tangga (SKRT) tahun 1995,
menempatkan TB sebagai penyebab kematian ketiga terbesar setelah penyakit
kardiovaskuler dan penyakit saluran pernafasan, dan merupakan nomor satu
terbesar dalam kelompok penyakit infeksi (NN, 2009).
Penting bagi kita untuk memahami lebih lanjut karena tuberkulosis paru
termasuk dalam kasus dengan area kompetensi empat, dimana dokter umum atau
dokter pada tingkat layanan primer harus mampu membuat diagnosa klinik
berdasarkan pemeriksaan fisik dan pemeriksaan tambahan serta mampu
memutuskan dan menangani kasus tersebut secara mandiri hingga tuntas.
Berdasarkan latar belakang tersebut, maka penulis mengangkat kasus ini
sebagai pembelajaran dalam upaya pendekatan kedokteran keluarga yang
bersifat holistik, komprehensif, terpadu dan berkesinambungan terhadap
penanganan pasien dengan permasalahan penyakit tuberkulosis paru.
1.2 TUJUAN
Tujuan penyusunan laporan ini adalah untuk melatih keterampilan klinis
dan komunikasi dalam menangani kasus penyakit dalam terutama tuberkulosis
paru dengan upaya pendekatan kedokteran keluarga yang bersifat holistik,
komprehensif, terpadu dan berkesinambungan.
1.3 MANFAAT
Manfaat penyusunan laporan ini adalah sebagai media pembelajaran dan
evaluasi terhadap aspek kedokteran keluarga dalam penanganan serta
pencegahan kasus penyakit dalam khususnya tuberkulosis paru.
LAPORAN STUDI KASUS
LABORATORIUM ILMU KESEHATAN MASYARAKAT
BAB II
LAPORAN KASUS
2.1 IDENTITAS PENDERITA
Nama : Tn.S
Usia : 61 tahun
Status : Menikah
Pekerjaan : Swasta (Petani, Ternak)
Pendidikan : SMA
Agama : Islam
Suku : Jawa
Alamat : Jatingui RT 04 RW 05
Nama istri : Ny.W
Usia istri : 55 tahun
Pekerjaan istri : Ibu Rumah Tangga
Tanggal periksa :15-01-2016
Nomor RM : 2248
2.2 ANAMNESA (Heteroanamnesa)
1. Keluhan Utama : batuk berdahak lama, sejak 9 bulan yang
lalu.
Harapan : bisa sembuh dan penyakit tidak bertambah buruk.
Kekhawatiran : khawatir tidak jika penyakitnya semakin parah.
Riwayat Penyakit Sekarang :
Tn.G datang ke Puskesmas Sumberpucung diantar oleh istrinya untuk
periksa kesehatan rutin. Awalnya pasien mengeluh batuk berdahak yang
sudah lama dialami yaitu sejak 9 bulan yang lalu. Batuk tetap kambuh
walaupun sudah meminum obat-obatan batuk yang dibelinya di Apotek.
Beberapa bulan setelahnya, batuk juga disertai darah warna merah dengan
jumlah sedikit dan berupa bercak yang keluar bersama dengan dahak. Batuk
dirasakan sangat sering dan berat, terkadang terasa sesak jika batuk
semakin memberat. Pasien juga mengeluh sering keringat dingin malam hari,
badan terasa lemas dan pusing terutama jika melakukan pekerjaan sebagai
petani. Kadang badan panas dan meriang serta berat badan dan nasfu makan
menurun sejak 3 bulan setelah batuk dirasakan.
Setelah 5 bulan merasakan keluhan, pasien memeriksakan diri ke
Puskesmas Sumberpucung dan didiagnosis tuberkulosis paru dengan
pemeriksaan BTA (+). Saat ini, keluhan yang dirasakan hanya batuk
berdahak tetapi sudah jarang. Pasien juga merasakan ada perbaikan selama
proses pengobatan serta berat badan dan nafsu makan sudah mulai naik.
2. Riwayat Penyakit Dahulu
Pasien sering batuk sebelumnya sejak satu tahun yang lalu tetapi hilang
timbul, ringan, tidak berdahak dan sembuh sendiri dengan obat batuk yang
dibelinya di Apotek. Pasien menyangkal memiliki riwayat alergi.
3. Riwayat Penyakit Keluarga :
Pasien menyangkal adanya sakit serupa dan sakit yang lain pada anggota
keluarga lainnya serta tidak ada riwayat alergi makanan ataupun obat-
obatan.
4. Riwayat Kebiasaan:
Tn.S memiliki riwayat merokok tetapi sudah berhenti sejak mengeluh
batuk dan sesak yaitu sekitar 9 bulan yang lalu. Riwayat minum alkohol
disangkal. Tn.S dan keluarga jarang berolah raga, jarang berekreasi dan
berpergian.
5. Riwayat Pengobatan:
Sakit batuk yang dialami Tn.S sebelumnya tidak pernah diobatkan ke
pelayanan kesehatan, terkadang batuk diobati sendiri dengan obat-obatan
yang dibeli di Apotek.
6. Riwayat Sosial Ekonomi
Aspek ekonomi keluarga Tn.S tergolong menengah keatas. Saat ini Tn.S
hanya menanggung perekonomian istri, dan ibu. Pembiayaan kesehatan Tn.S
dan keluarga menggunakan BPJS sehingga dapat dijangkau. Akses pelayanan
kesehatan juga terjangkau. Aspek sosial Tn.S dan keluarga cukup baik,
sering berkumpul dengan tetangga dan temannya, hal ini mencerminkan
interaksi dengan tetangga tergolong baik.
7. Riwayat gizi
Tn.S dan keluarga makan sehari-hari biasanya 3 kali sehari dengan nasi,
sayur, dan lauk pauk beragam. Kadang mengkonsumsi buah-buahan. Kesan
status gizi saat ini cukup.
8. Keadaan lingkungan
Lingkungan sekitar rumah Tn.S tergolong rapi tetapi kurang bersih. Hal
ini terkait dengan kondisi rumah yang dekat dengan kandang sapi, kambing
dan ayam. Terkadang ayam dilepas hingga masuk ke dalam rumah. Tn.S yang
terbiasa mengurus hewan ternak sebelum sakit tidak pernah menggunakan
penutup hidung atau masker.
2.3 PEMERIKSAAN FISIK (Tanggal 15 januari 2016)
1. Keadaan umum : tampak baik, kesadaran compos mentis
(GCS E4V5M6)
2. Antropometri
BB : 65kg
TB : 160 cm
BMI : BB/TB2 = 65/(1,60)2 = 20,31 ( Normoweight
3. Tanda Vital
Tensi : 130/90 mmHg
Nadi : 80 x/menit, reguler, nadi kuat
RR : 24 x/menit, tipe thorakoabdominal
Suhu : 36,3 oC
4. Kulit : coklat, turgor baik, ikterik (-), sianosis (-), pucat (-)
5. Kepala : bentuk mesocephal, luka (-), nyeri (-), rambut
tidak mudah dicabut, papul (-), nodul (-), makula (-)
6. Mata : konjungtiva anemis (-/-), sclera ikterik (-/-), warna
kelopak coklat, radang (-/-), eksoftalmus (-), strabismus (-)
7. Hidung : nafas cuping hidung (-/-), rhinorrhea (-/-),
epistaksis (-/-), deformitas hidung (-/-), saddle nose(-/-)
8. Mulut : mukosa bibir pucat (-/-), sianosis (-/-), bibir
kering (-/-)
9. Telinga : otorrhea (-/-), pendengaran berkurang (-/-), nyeri
tekan mastoid (-/-), cuping teling dbn
10. Tenggorokan : tonsil membesar (-/-), pharing hiperemis (-),
sekret (-)
11. Leher : lesi kulit (-), pembesaran kelenjar tiroid (-),
pembesaran KGB (-)
12. Thorax : normochest, simetris, pernafasan thoracoabdominal
Cor: Inspeksi : ictus cordis tidak tampak
Palpasi : ictus cordis tidak kuat angkat
Perkusi : Batas kiri atas : ICS II Linea para sternalis
sinistra
Batas kanan atas : ICS II Linea para sternalis
dekstra
Batas kiri bawah : ICS V linea midclavicularis
sinistra
Batas kanan bawah : ICS IV linea para sternalis
dekstra
Auskultasi : bunyi jantung I-II intensitas normal, regular,
bunyi jantung tambahan (-).
Pulmo : Inspeksi : bentuk normal, pengembangan dada kanan = dada
kiri
Palpasi : fremitus raba kiri sama dengan kanan
Perkusi : sonor/sonor
Auskultasi : - -
+ +
suara dasar vesikuler + wheezing -
ronkhi -
+ + - - -
-
13. Abdomen :
Inspeksi : sejajar dinding dada, massa (-)
Auskultasi : bising usus normal
Palpasi : supel, nyeri tekan (-), hepar dan lien tidak teraba,
turgor baik
Perkusi : timpani seluruh lapangan perut
14. Sistem Collumna Vertebralis :
Inspeksi : deformitas (-), skoliosis (-), kifosis (-), lordosis (-)
Palpasi : nyeri tekan (-)
15. Ekstremitas :
Akral hangat Edema
"+ "+ "
"+ "+ "
"- "- "
"- "- "
L : deformitas (-), luka (-)
F : nyeri tekan (-), krepitasi (-)
M: normal
2.4 PEMERIKSAAN PENUNJANG
Laboratorium : BTA (+) (tanggal 21 September 2015)
Thorax Photo PA (disaran kan untuk malakukan foto)
5. RESUME
Tn.S datang untuk periksa kesehatan rutin. Awalnya mengeluh batuk
berdahak sejak 9 bulan lalu. Beberapa bulan setelahnya, batuk juga
disertai darah warna merah terang berupa bercak yang keluar bersama
dahak. Batuk dirasa sangat sering dan berat serta mulut semakin barbau
tidak enak. Kadang sesak jika batuk memberat. Mengeluh sering keringat
dingin malam hari, badan terasa lemas dan pusing terutama jika bekerja.
Kadang badan panas dan meriang serta berat badan dan nasfu makan menurun
sejak 3 bulan setelahnya. Saat ini, keluhan yang dirasakan hanya batuk
berdahak tetapi sudah jarang. Pada pemeriksaan fisik didapatkan bibir
tampak pucat, konjungtiva anemis dan terdapat sekret pada tenggorokan.
Pada pemeriksaan auskultasi paru suara dasar vesikuler menurun pada
lapang paru kanan dan kiri atas serta ronkhi. Pada pemeriksaan penunjang
tanggal 15 januari 2016 pemeriksaan laboratorium BTA (+) dan disarankan
untuk melakukan foto thorak ulang
2.6 DIAGNOSA HOLISTIK
1. Diagnosis dari segi biologis :
Tuberkulosis Paru Kategori I
2. Diagnosis dari segi psikologis :
Dari segi psikologis, Tn.S dan keluarga tidak terdapat masalah. Tn.S
dan keluarganya menyadari bahwa penyakit TB yang dialami meskipun
menular tetapi dapat disembuhkan. Tn.S dan keluarga juga sangat
koopertif dan mengikuti segala masukan dokter dalam proses terapi demi
kesehatan dan kesembuhannya.
3. Diagnosis dari segi sosial dan ekonomi :
Perekonomian keluarga Tn.S tergolong menengah keatas. Saat ini Tn.S
hanya menanggung istri, ibu, dan neneknya. Pembiayaan kesehatan Tn.S
dan keluarga menggunakan BPJS sehingga dapat dijangkau. Akses
pelayanan kesehatan juga terjangkau. Aspek sosial Tn.S dan keluarga
cukup baik, sering berkumpul dengan tetangga dan temannya. Tn.S dan
istri juga terbiasa berbagi masalah bersama. Selain sebagai petani,
Tn.S juga menjadi ketua RW, hal ini mencerminkan interaksi dengan
tetangga tergolong baik.
7. PENATALAKSANAAN HOLISTIK
1. Farmakoterapi
Obat Anti Tuberkulosis (OAT)
Fase Intensif : Rifampisin (R), INH (H), Pirazinamid (Z), Etambutol (E)
(dosis harian) selama 2 bulan ( BTA (-) (
Fase Lanjutan : Rifampisin (R), INH (H) (dosis 3 kali dalam seminggu)
selama 4 bulan
2. Non Farmakoterapi
KIE (Komunikasi, Informasi, Edukasi)
Membuka pintu dan jendela setiap pagi agar terjadi pertukaran udara.
Membuka gorden jendela kamar agar sinar matahari dapat masuk ke dalam
ruangan yang dapat membunuh bakteri TB. Tindakan pasien untuk memilih
kamar tersendiri yang memiliki sirkulasi udara dan cahaya masuk yang
cukup sangat tepat terutama selama proses penyembuhan.
Memakai masker saat bekerja atau saat berinteraksi untuk mencegah
penularan dan semakin buruknya kondisi.
Motivasi agar kontrol dan minum OAT (obat anti TB) secara teratur
KIE kepada pasien dan keluarga tentang penyakit dan kondisi pasien.
Pentingnya pencegahan dan pengobatan serta bahaya komplikasi jika
pasien dan keluarga tidak patuh terhadap anjuran dokter.
Istirahat serta asupan makanan yang cukup dan bergizi
8. PROGNOSIS
Prognosis kondisi Tn.S tergantung dari banyak aspek diantaranya tingkat
kepatuhan serta upaya pencegahan dan pengobatan penyakit, tetapi karena
dalam proses pengobatan Tn.S dan keluarga tergolong pasien yang patuh
maka secara umum prognosisnya adalah:
Ad vitam : Dubia ad bonam
Ad functionam : Dubia ad bonam
Ad sanationam : Dubia ad bonam
LAPORAN STUDI KASUS
LABORATORIUM ILMU KESEHATAN MASYARAKAT
BAB III
PEMBAHASAN ASPEK KEDOKTERAN KELUARGA
3.1 IDENTIFIKASI KELUARGA
3.1.1 Profil Keluarga
A. Karakteristik Demografi Keluarga
Tanggal kunjungan pertama : 25 januari 2016
Nama kepala keluarga : Tn.S (pasien)
Alamat : RT.01 RW.08, Kec. Pagak, Kab. Malang
Bentuk Keluarga : extended family
Struktur Komposisi Keluarga :
Tabel 3.1. Daftar anggota keluarga
"No "Nama "Kedudukan "
"Cara mencapai "Jalan kaki "Tn.S ke Puskesmas "
"pusat pelayanan "Angkot "dengan menggunakan "
"kesehatan "Kendaraan "kendaraan pribadi. "
" "pribadi " "
"Tarif pelayanan "Sangat mahal "Tarif pelayanan "
"kesehatan "Mahal "kesehatan "
" "Terjangkau "terjangkau karena "
" "Murah "menggunakan "
" "Gratis "fasilitas jaminan "
" " "kesehatan nasional "
" " "dan tergolong "
" " "masyarakat ekonomi "
" " "menengah ke atas "
" " "serta akses "
" " "pelayanan kesehatan"
" " "jaraknya dekat. "
"Kualitas pelayanan "Sangat Memuaskan "
"kesehatan "Memuaskan "
" "Cukup Memuaskan "
" "Tidak memuaskan "
Pola Konsumsi Makanan Keluarga
Kebiasaan makan dan penerapan pola gizi seimbang :
Tn.S dan keluarga makan sehari-hari biasanya 3 kali sehari dengan
nasi, sayur, dan lauk pauk beragam. Kadang mengkonsumsi buah-buahan.
Penerapan pola gizi Tn.S dan keluarga cukup baik dan seimbang.
Pola Dukungan Keluarga
a. Faktor pendukung terselesaikannya masalah dalam keluarga:
Dalam menyelesaikan masalah, Tn.S dan istri terbiasa berbagi bersama.
Tingkat pendidikan dan pengetahuan Tn.S dan keluarga yang tergolong
baik juga sangat berpengaruh dalam pemecahan masalah khususnya
mengenai kesehatan dan penyakit yang dialami. Sehingga Tn.S sangat
koopertif dan mengikuti segala masukan dokter dalam proses terapi
demi kesehatan dan kesembuhannya. Hal ini juga didukung dengan
tingkat ekonominya yang tergolong cukup dan akses kesehaan yang
terjangkau.
b. Faktor penghambat terselesaikannya masalah dalam keluarga:
Tidak ada faktor penghambat dalam pemecahan masalah di keluarga Tn.S
yang terlalu besar. Hanya saja jarak dan kondisi anak-anak Tn.S yang
berjauhan dan sudah berkeluarga membuat komunikasi sedikit terbatas.
Tetapi hal ini dapat diminimalkan dengan komunikasi melalui media
elekronik.
3.1.2 Identifikasi Fungsi-Fungsi dalam Keluarga
A. Fungsi Holistik
1. Fungsi biologis
Keluarga Tn.S terdapat satu orang yang sakit yaitu Tn.S usia 61 tahun
dengan diagnosa TB Paru Kategori I. Sedangkan istri dan ibu pasien yang
sudah lanjut usia, mengaku tidak pernah menderita sakit yang berat dan
tidak pernah periksa kesehatan.
2. Fungsi Psikologis
Fungsi psikologis Tn.S dan keluarga tidak terdapat masalah. Tn.S dan
keluarganya menyadari bahwa penyakit TB yang dialami meskipun menular
tetapi dapat disembuhkan. Tn.S dan keluarga juga sangat koopertif dan
mengikuti segala masukan dokter dalam proses terapi demi kesehatan dan
kesembuhannya.
3. Fungsi Sosial dan Ekonomi
Aspek ekonomi keluarga Tn.S tergolong menengah keatas. Saat ini Tn.S
hanya menanggung perekonomian istri, ibu. Pembiayaan kesehatan Tn.S dan
keluarga menggunakan BPJS sehingga dapat dijangkau. Akses pelayanan
kesehatan juga terjangkau. Aspek sosial Tn.S dan keluarga cukup baik,
sering berkumpul dengan tetangga dan temannya. Tn.S dan istri juga
terbiasa berbagi masalah bersama.
Fungsi Fisiologis dengan APGAR Score
Adaptation : kemampuan anggota keluarga beradaptasi dengan anggota
keluarga yang lain, serta penerimaan, dukungan, dan saran dari anggota
keluarga yang lain.
Partnership : menggambarkan komunikasi, saling membagi, saling mengisi
antara anggota keluarga dalam segala masalah yang dialami oleh keluarga
tersebut
Growth : menggambarkan dukungan keluarga terhadap hal-hal baru yang
dilakukan anggota keluarga lain
Affection : menggambarkan hubungan kasih sayang dan interaksi antar
anggota
Resolve : menggambarkan kepuasan anggota keluarga tentang kebersamaan
dan waktu yang dihabiskan bersama anggota keluarga yang lain.
Penilaian :
o Hampir selalu : 2 poin
o Kadang – kadang : 1 poin
o Hampir tak pernah : 0 poin
Penyimpulan :
o Nilai rata-rata < 5 : kurang
o Nilai rata-rata 6-7 : cukup/sedang
o Nilai rata-rata 8-10 : baik
Tabel 3.3. APGAR score Tn.S (61 tahun)
" "APGAR Tn.G terhadap keluarga "2 "1 "0 "
"A "Saya puas bahwa saya dapat kembali ke keluarga bila " " " "
" "menghadapi masalah " " " "
"P "Saya puas dengan cara keluarga saya membahas dan membagi " " " "
" "masalah dengan saya " " " "
"G "Saya puas dengan cara keluarga saya menerima dan mendukung " " " "
" "keinginan saya untuk melakukan kegiatan baru atau arah hidup" " " "
" "yang baru " " " "
"A "Saya puas dengan cara keluarga saya mengekspresikan kasih " " " "
" "sayangnya dan merespon emosi saya seperti kemarahan, " " " "
" "perhatian dll " " " "
"R "Saya puas dengan cara keluarga saya dan saya membagi waktu " " " "
" "bersama-sama " " " "
Untuk Tn.G APGAR score dapat dijelaskan sebagai berikut:
1. Adaptation : Tn.S puas terhadap dukungan dan saran yang
diberikan keluarganya jika menghadapi masalah. Meskipun ada
beberapa anggota keluarga yang berjauhan tetapi masih tetap
saling mendukung dan memberikan saran melalui media sosial.
2. Partnership : komunikasi Tn.S dengan keluarganya berjalan
baik. Sanak saudara Tn.S juga sesekali menjenguk, berkumpul
dan berkomunikasi melalui telvon.
3. Growth : keluarga Tn.S, tidak terlalu memberi batasan
terhadap segala aktifitas Tn.S baik pekerjaan atau kegiatan-
kegiatan, dan saling bekerjasama dalam menjalani usaha.
4. Affection : Tn.S puas dengan kasih sayang dan perhatian
yang diberikan keluarganya, terutama dari istri pasien.
5. Resolve : Tn.S merasa puas dengan waktu luang yang diberikan
anggota keluarganya, tetapi untuk waktu luang bersama anaknya
terdapat hambatan karena terkait lokasi yang berjauhan dan
pekerjaan.
Total APGAR score Tn.S = 9
Tabel 3.4. APGAR score Ny.W (55 tahun)
" "APGAR Ny. W terhadap keluarga "2 "1 "0 "
"A "Saya puas bahwa saya dapat kembali ke keluarga bila " " " "
" "menghadapi masalah " " " "
"P "Saya puas dengan cara keluarga saya membahas dan membagi " " " "
" "masalah dengan saya " " " "
"G "Saya puas dengan cara keluarga saya menerima dan mendukung " " " "
" "keinginan saya untuk melakukan kegiatan baru atau arah hidup" " " "
" "yang baru " " " "
"A "Saya puas dengan cara keluarga saya mengekspresikan kasih " " " "
" "sayangnya dan merespon emosi saya seperti kemarahan, " " " "
" "perhatian dll " " " "
"R "Saya puas dengan cara keluarga saya dan saya membagi waktu " " " "
" "bersama-sama " " " "
Untuk Ny.S APGAR score dapat dijelaskan sebagai berikut:
1. Adaptation : Ny.W puas terhadap dukungan dan saran yang
diberikan keluarganya jika menghadapi masalah. Meskipun ada
beberapa anggota keluarga yang berjauhan tetapi masih tetap
saling mendukung dan memberikan saran melalui media sosial.
2. Partnership : komunikasi Ny.W dengan keluarganya berjalan
baik. Sanak saudara Ny.W juga sesekali menjenguk, berkumpul
dan berkomunikasi melalui telvon.
3. Growth : keluarga Ny.W, tidak terlalu memberi batasan
terhadap segala aktifitas Ny.W atau kegiatan-kegiatan,
terutama suami.
4. Affection : Ny.W puas dengan kasih sayang dan perhatian
yang diberikan keluarganya, terutama dari suami.
5. Resolve : Ny.W merasa puas dengan waktu luang yang diberikan
anggota keluarganya, tetapi untuk waktu luang bersama anaknya
terdapat hambatan karena terkait lokasi yang berjauhan dan
pekerjaan.
Total APGAR score Ny.W = 9
Tabel 3.5. APGAR score Ny.T (92 tahun)
" "APGAR Ny. T terhadap keluarga "2 "1 "0 "
"A "Saya puas bahwa saya dapat kembali ke keluarga bila " " " "
" "menghadapi masalah " " " "
"P "Saya puas dengan cara keluarga saya membahas dan membagi " " " "
" "masalah dengan saya " " " "
"G "Saya puas dengan cara keluarga saya menerima dan mendukung " " " "
" "keinginan saya untuk melakukan kegiatan baru atau arah hidup" " " "
" "yang baru " " " "
"A "Saya puas dengan cara keluarga saya mengekspresikan kasih " " " "
" "sayangnya dan merespon emosi saya seperti kemarahan, " " " "
" "perhatian dll " " " "
"R "Saya puas dengan cara keluarga saya dan saya membagi waktu " " " "
" "bersama-sama " " " "
Untuk Ny.T APGAR score dapat dijelaskan sebagai berikut:
1. Adaptation : Ny.T puas terhadap dukungan dan saran yang
diberikan keluarganya jika menghadapi masalah.
2. Partnership : komunikasi Ny.T dengan keluarganya berjalan
baik. Sanak saudara Ny.T juga sesekali menjenguk, berkumpul
dan berkomunikasi melalui telvon.
3. Growth : keluarga Ny.T, terkadang memberi batasan terhadap
aktifitas Ny.T karena terkait usia dan kesehatan Ny.T. Tetapi
Ny.T menyadari keadaan tersebut.
4. Affection : Ny.T puas dengan kasih sayang dan perhatian
yang diberikan keluarganya, terutama anak-anaknya. Ny.T
merasa sangat puas dan bersyukur dengan apa yang dimilki dan
dengan kondisi keluarganya yang tergolong sukses.
5. Resolve : Ny.T merasa puas dengan waktu luang yang diberikan
anggota keluarganya.
Total APGAR score Ny.T = 9
Total APGAR score keluarga Tn.S = 9
Kesimpulan : Fungsi fisiologis keluarga Tn.S baik
B. Fungsi Patologis dengan Alat SCREEM Score
Fungsi patologis keluarga Tn.S dinilai menggunakan alat S.C.R.E.E.M
sebagai berikut:
Tabel 3.4. SCREEM keluarga Tn.S
" "Sumber "Patolog"
" " "is "
"Social "Tn.S dan keluarga sering berkumpul dengan "- "
" "tetangga dan temannya. Tn.S dan istri juga " "
" "terbiasa berbagi masalah bersama. ini " "
" "mencerminkan interaksi dengan tetangga tergolong" "
" "baik. " "
"Culture "Menggunakan adat Jawa dan bahasa Jawa secara "- "
" "sopan dengan anggota keluarga dan orang lain " "
" "dalam kehidupan sehari-hari. " "
"Religious"Fungsi agama Tn.S dan keluarganya bagus dan "- "
" "sering mengikuti pengajian serta istri yang juga" "
" "meluangkan waktu untuk mengajar mengaji " "
" "anak-anak penduduk dan tetangganya. " "
"Economic "Kondisi ekonomi keluarga Tn.S tergolong menengah"- "
" "keatas. Tn.S juga saat ini hanya menanggung " "
" "perekonomian istri, ibu, dan neneknya. " "
"Education"Tingkat pendidikan dan pengetahuan Tn.S dan "- "
"al "keluarga tergolong baik, khususnya mengenai " "
" "kesehatan dan penyakit yang dialaminya. Sehingga" "
" "Tn.S sangat koopertif dan mengikuti segala " "
" "masukan dokter dalam proses terapi demi " "
" "kesehatan dan kesembuhannya. " "
"Medical "Dalam pembiayaan kesehatan Tn.S dan keluarga "- "
" "menggunakan BPJS sehingga dapat dijangkau. Akses" "
" "pelayanan kesehatan juga terjangkau. " "
Kesimpulan : Tidak ada fungsi patologis keluarga Tn.S yang menjadi
hambatan.
C. Genogram dalam Keluarga
Keterangan:
= laki-laki = tinggal dalam satu rumah
= perempuan = dengan Tuberkulosis
D. Informasi Pola Interaksi Keluarga
Keterangan:
: hubungan baik : laki-laki : pasien
: hubungan kurang baik : perempuan
Kesimpulan : Hubungan interaksi seluruh keluarga Tn.S berjalan baik.
2. IDENTIFIKASI FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI KESEHATAN
1. Identifikasi Faktor Perilaku dan Non Perilaku Keluarga
1. Faktor Perilaku Keluarga
a. Pengetahuan
Tingkat pendidikan dan pengetahuan Tn.S dan keluarga tergolong baik,
khususnya mengenai kesehatan dan penyakit yang dialaminya. Sehingga Tn.S
sangat koopertif dan mengikuti segala masukan dokter dalam proses terapi
demi kesehatan dan kesembuhannya. Pasien dan keluarga juga memahami
bagaimana potensi penularan serta pencegahan penyakit TB.
b. Sikap
Sikap keluarga terhadap kondisi Tn.S cukup baik, terutama istrinya.
Keluarga memahami keadaan kesehatan Tn.S, saling memberikan perhatian,
dukungan dan semangat serta saling mengingatkan dalam menjaga
kesehatannya.
c. Tindakan
Tindakan keluarga terhadap kondisi Tn.S cukup baik, terutama istri
dan ibunya. Selama proses penyembuhan, Tn.S tidur di kamar terpisah
dengan istrinya dan Tn.S juga sering menggunakan masker jika berkumpul
dan bekomunikasi dengan keluarga terutama saat sering mengeluh batuk.
2. Faktor Non Perilaku
a. Lingkungan
Lingkungan sekitar rumah Tn.S tergolong rapi tetapi kurang bersih. Hal
ini terkait dengan kondisi rumah yang dekat dengan kandang sapi, kambing
dan ayam. Terkadang ayam dilepas hingga masuk ke dalam rumah. Tn.S yang
terbiasa mengurus hewan ternak sebelum sakit tidak pernah menggunakan
penutup hidung atau masker.
b. Pelayanan kesehatan
Tarif pelayanan kesehatan terjangkau karena menggunakan fasilitas
jaminan kesehatan nasional dan tergolong masyarakat ekonomi menengah ke
atas serta akses pelayanan kesehatan jaraknya dekat.
c. Usia, Keturunan dan Jenis Kelamin
Pada penyakit TB yang dialami Tn.S tidak terkait dengan faktor usia,
keturunan dan jenis kelamin. Tetapi, karakteristik kesehatan dan usia
dalam keluarga Tn.S tergolong baik.
3. Diagram Faktor Perilaku dan Non Perilaku
3. DAFTAR MASALAH
1. Masalah Medis
Tuberkulosis Paru Kategori I
2. Masalah Non Medis
Lingkungan sekitar rumah Tn.S tergolong rapi tetapi kurang
bersih. Hal ini terkait dengan kondisi rumah yang dekat dengan kandang
sapi, kambing dan ayam. Terkadang ayam dilepas hingga masuk ke dalam
rumah. Tn.S yang terbiasa mengurus hewan ternak sebelum sakit tidak
pernah menggunakan penutup hidung atau masker. Hal ini menjadi
permasalahan lingkungan dan kebersihan yang secara tidak langsung
kemungkinan memiliki keterkaitan dengan penyakit yang dialami Tn.S.
Terdapat hambatan minimnya waktu luang bersama anaknya karena
terkait lokasi yang berjauhan, pekerjaan dan sudah berumah tangga
sendiri.
3. Diagram Permasalahan Keluarga
A. LAPORAN STUDI KASUS
LABORATORIUM ILMU KESEHATAN MASYARAKAT
BAB IV
TINJAUAN PUSTAKA
1. TUBERKULOSIS
1. Definisi
Tuberkulosis (TB) merupakan penyakit infeksi menular yang disebabkan oleh
bakteri jenis mycobacterium tuberculosis. Infeksi dapat bersifat lokal dan
sistemik, namun sebagian besar kasus infeksi bermanifestasi sebagai
tuberkulosis pada organ paru (NN, 2010) dan biasanya merupakan lokasi
infeksi primer (Amin, 2006; GTNP TB, 2009; PDPI, 2006).
2. Etiologi
Penyebab TB adalah Mycobacterium tuberculosis yang merupakan bakteri
berbentuk batang lurus atau sedikit melengkung, tidak berspora dan tidak
berkapsul. Bakteri berukuran lebar 0,3 – 0,6 mm dan panjang 1 – 4/ um.
Dinding M. tuberculosis sangat kompleks, terdiri dari lapisan lemak (60%).
Penyusun utama dinding sel M. tuberculosis ialah asam mikolat, lilin
kompleks (complex-waxes), trehalosa dimikolat yang disebut cord factor, dan
mycobacterial sulfolipids yang berperan dalam virulensi (PDPI, 2006).
Unsur lain yang terdapat pada dinding sel bakteri tersebut adalah
polisakarida seperti arabinogalaktan dan arabinomanan. Struktur dinding sel
yang kompleks tersebut menyebabkan bakteri M. tuberculosis bersifat tahan
asam, yaitu apabila sekali diwarnai akan tetap tahan terhadap upaya
penghilangan zat warna tersebut dengan larutan asam – alkohol. Komponen
antigen ditemukan di dinding sel dan sitoplasma yaitu komponen lipid,
polisakarida dan protein (PDPI, 2006).
Sifat lain kuman M. tuberculosis adalah aerob. Dengan sifat tersebut
tergambar bahwa kuman lebih menyukai tempat yang banyak oksigennya. Didalam
organ paru, daerah yang banyak kandungan atau tinggi tekanan oksigennya
adalah bagian apikal dari paru-paru, sehingga pada tempat tersebut menjadi
tempat predileksi dari kuman TB (Chandra, 2010).
3. Cara Penularan
Cara penularan kuman TB sebagian besar melalui inhalasi basil yang
mengandung droplet nuclei yang khususnya didapat dari penderita paru yang
batuk berdahak atau batuk berdarah, bersin, berbicara dengan memproduksi
percikan yang sangat kecil pada BTA positif, sehingga kepadatan penduduk
dalam suatu wilayah sangat mempengaruhi penularan dan mempermudah
terjadinya penyebaran kuman secara cepat. Cara penularan ini (inhalasi)
mengakibatkan sebagian besar manifestasi klinis infeksi TB terdapat pada
organ paru, sedangkan Penularan TB kulit dan jaringan lunak dapat terjadi
melalui inokulasi langsung. Faktor utama dalam perjalanan infeksi adalah
kedekatan dan durasi kontak serta derajat infeksius penderita dimana
semakin dekat seseorang berada dengan penderita, makin banyak kuman TB yang
mungkin akan dihirupnya (Kabo, 2010).
4. Patogenesis
Tuberkulosis Primer
Kuman tuberkulosis yang masuk melalui saluran napas akan bersarang di
jaringan paru sehingga akan membentuk suatu sarang pneumonik, yang disebut
sarang primer atau afek primer. Sarang primer ini mungkin timbul di bagian
mana saja dalam paru, berbeda dengan sarang reaktivasi. Dari sarang primer
akan terlihat peradangan saluran getah bening menuju hilus (limfangitis
lokal). Peradangan tersebut diikuti oleh pembesaran kelenjar getah bening
di hilus (limfadenitis regional). Afek primer bersama dengan limfangitis
regional dikenal sebagai kompleks primer. Kompleks primer akan mengalami
salah satu keadaan yaitu:
1. Sembuh dengan tidak meninggalkan cacat sama sekali (restitution ad
integrum)
2. Sembuh dengan meninggalkan sedikit bekas (antara lain sarang Ghon, garis
fibrotik, sarang perkapuran di hilus)
3. Menyebar dengan cara :
a. Perkontinuitatum, menyebar ke sekitarnya (biasanya bronkus lobus medius
sehingga menyebabkan epituberkulosis)
b. Penyebaran secara bronkogen, baik di paru bersangkutan maupun ke paru
sebelahnya atau tertelan
c. Penyebaran secara hematogen dan limfogen. Penyebaran ini berkaitan
dengan daya tahan tubuh, jumlah dan virulensi kuman. Sarang yang
ditimbulkan dapat sembuh secara spontan, akan tetetapi bila tidak
terdapat imunitas yang adekuat, penyebaran ini akan menimbulkan keadaan
cukup gawat seperti tuberkulosis milier, meningitis tuberkulosa,
Typhobacillosis Landouzy. Penyebaran ini juga dapat menimbulkan
tuberkulosis pada alat tubuh lainnya, misalnya tulang, ginjal, anak
ginjal, genitalia dan sebagainya. Komplikasi dan penyebaran ini mungkin
berakhir dengan :
Sembuh dengan meninggalkan sekuele (misalnya pertumbuhan terbelakang
pada anak setelah mendapat ensefalomeningitis, tuberkuloma ) atau
Meninggal (Amin, 2006).
Tuberkulosis Post-Primer
Dari tuberkulosis primer ini akan muncul bertahun-tahun kemudian
tuberkulosis post-primer, biasanya pada usia 15-40 tahun. Tuberkulosis post
primer mempunyai nama yang bermacam macam yaitu tuberkulosis bentuk dewasa,
localized tuberculosis, tuberkulosis menahun, dan sebagainya. Bentuk
tuberkulosis inilah yang terutama menjadi problem kesehatan masyarakat,
karena dapat menjadi sumber penularan. Tuberkulosis post-primer dimulai
dengan sarang dini, yang umumnya terletak di segmen apikal dari lobus
superior maupun lobus inferior. Sarang dini ini awalnya berbentuk suatu
sarang pneumonik kecil. Selanjutnya sarang pneumonik ini akan mengikuti
salah satu jalan sebagai berikut :
1. Diresopsi kembali, dan sembuh kembali dengan tidak meninggalkan cacat.
2. Sarang tadi mula mula meluas, tetapi segera terjadi proses penyembuhan
dengan penyebukan jaringan fibrosis. Selanjutnya akan membungkus diri
menjadi lebih keras, terjadi perkapuran, dan akan sembuh dalam bentuk
perkapuran. Sebaliknya dapat juga sarang tersebut menjadi aktif kembali,
membentuk jaringan keju dan menimbulkan kavitas bila jaringan keju
dibatukkan keluar.
3. Sarang pneumonik meluas, membentuk jaringan keju (jaringan kaseosa).
Kavitas akan muncul dengan dibatukkannya jaringan keju keluar. Kavitas
awalnya berdinding tipis, kemudian dindingnya akan menjadi tebal (kavitas
sklerotik). Nasib kaviti ini :
a. Mungkin meluas kembali dan menimbulkan sarang pneumonik baru. Sarang
pneumonik ini akan mengikuti pola perjalanan seperti yang disebutkan
diatas.
b. Dapat pula memadat dan membungkus diri (encapsulated), dan disebut
tuberkuloma. Tuberkuloma dapat mengapur dan menyembuh, tetapi mungkin
pula aktif kembali, mencair lagi dan menjadi kavitas lagi.
c. Kavitas bisa pula menjadi bersih dan menyembuh yang disebut open healed
cavity atau kavitas menyembuh dengan cara mem-bungkus diri, akhirnya
mengecil. Kemungkinan berakhir sebagai kavitas yang terbungkus, dan
menciut sehingga kelihatan seperti bintang (stellate shaped) (Amin,
2006).
5. Klasifikasi Tuberkulosis
A. Tuberkulosis Paru
TB paru adalah tuberkulosis yang menyerang jaringan paru, tidak termasuk
pleura.
Berdasar hasil pemeriksaan dahak (BTA), TB paru dibagi atas:
Tuberkulosis paru BTA (+) adalah:
Sekurang-kurangnya 2 dari 3 spesimen dahak menunjukkan hasil BTA positif
Hasil pemeriksaan satu spesimen dahak menunjukkan BTA positif dan
kelainan radiologik menunjukkan gambaran tuberkulosis aktif
Hasil pemeriksaan satu spesimen dahak menunjukkan BTA positif dan biakan
positif
Tuberkulosis paru BTA (-) adalah:
Hasil pemeriksaan dahak 3 kali menunjukkan BTA negatif, gambaran klinik
dan kelainan radiologik menunjukkan tuberkulosis aktif
Hasil pemeriksaan dahak 3 kali menunjukkan BTA negatif dan biakan M.
tuberculosis (+)
Berdasarkan tipe pasien, ditentukan berdasarkan riwayat pengobatan
sebelumnya. Ada beberapa tipe pasien yaitu :
a. Kasus baru: pasien yang belum pernah mendapat pengobatan dengan OAT atau
sudah pernah menelan OAT kurang dari satu bulan.
b. Kasus kambuh (relaps): pasien tuberkulosis yang sebelumnya pernah
mendapat pengobatan tuberkulosis dan telah dinyatakan sembuh atau
pengobatan lengkap, kemudian kembali lagi berobat dengan hasil
pemeriksaan dahak BTA positif atau biakan positif.
Bila BTA negatif atau biakan negatif tetapi gambaran radiologik
dicurigai lesi aktif / perburukan dan terdapat gejala klinis maka harus
dipikirkan beberapa kemungkinan :
Infeksi non TB (pneumonia, bronkiektasis dll). Dalam hal ini berikan
dahulu antibiotik selama 2 minggu, kemudian dievaluasi.
Infeksi jamur
TB paru kambuh
c. Kasus defaulted atau drop out : pasien yang tidak mengambil obat 2 bulan
berturut-turut atau lebih sebelum masa pengobatannya selesai.
d. Kasus gagal : pasien BTA positif yang tetap positif atau kembali positif
pada akhir bulan ke-5 (satu bulan sebelum akhir pengobatan) atau pasien
dengan hasil BTA negatif gambaran radiologik positif menjadi BTA positif
pada akhir bulan ke-2 pengobatan.
e. Kasus kronik / persisten : pasien dengan hasil pemeriksaan BTA masih
positif setelah selesai pengobatan ulang kategori 2 dengan pengawasan
yang baik.
B. Tuberkulosis Ekstra Paru
Tuberkulosis ekstra paru adalah tuberkulosis yang menyerang organ tubuh
lain selain paru, misalnya pleura, kelenjar getah bening, selaput otak,
perikard, tulang, persendian, kulit, usus, ginjal, saluran kencing, alat
kelamin dan lain-lain. Diagnosis sebaiknya didasarkan atas kultur positif
atau patologi anatomi. Untuk kasus-kasus yang tidak dapat dilakukan
pengambilan spesimen maka diperlukan bukti klinis yang kuat dan konsisten
dengan TB ekstra paru aktif.
6. Progresifitas dan Komplikasi (Rasad, 2005)
Perburukan ( perluasan ) penyakit
1. Pleuritis : terjadi karena meluasnya infiltrat primer langsung ke pleura
atau melalui penyebaran hematogen. Pada keadaan normal rongga pleura
berisi cairan 10-15 ml. Efusi pleura bisa terdeteksi dengan foto toraks
PA dengan tanda meniscus sign/ellis line, apabila jumlahnya 175 ml. Pada
foto lateral dekubitus efusi pleura sudah bisa dilihat bila ada
penambahan 5 ml dari jumlah normal. Penebalan pleura di apikal relatif
biasa pada TB paru atau bekas TB paru. Pleuritis TB bisa terlokalisir dan
membentuk empiema. CT Toraks berguna dalam memperlihatkan aktifitas dari
pleuritis TB dan empiema.
2. Penyebaran miliar : akibat penyebaran hematogen tampak sarang-sarang
sebesar l-2mm atau sebesar kepala jarum (milium), tersebar secara merata
di kedua belah paru. Pada foto toraks, tuberkulosis miliaris ini
menyerupai gambaran 'badai kabut' (Snow storm apperance). Penyebaran
seperti ini juga dapat terjadi pada Ginjal, Tulang, Sendi, Selaput otak
atau meningen, dsb.
3. Stenosis bronkus : stenosis bronkus dengan akibat atelektasis lobus atau
segmen paru yang bersangkutan sering menempati lobus kanan (sindroma
lobus medius)
4. Kavitas (lubang) : timbulnya lubang ini akibat melunaknya sarang keju.
Dinding lubang sering tipis berbatas licin atau tebal berbatas tidak
licin. Di dalamnya mungkin terlihat cairan, yang biasanya sedikit. Lubang
kecil dikelilingi oleh jaringan fibrotik dan bersifat tidak berubah-ubah
pada pemeriksaan berkala (follow up) dinamakan lubang sisa (residual
cavity) dan berarti suatu proses lama yang sudah tenang.
Komplikasi yang dapat terjadi sebelum, selama, atau setelah selesai
pengobatan adalah : batuk darah (profus), keadaan umum buruk, pneumotoraks,
empiema, efusi pleura masif atau bilateral, dan gagal nafas. Sedangkan
pembagian komplikasi berdasarkan waktunya adalah :
o Komplikasi dini: pleuritis , efusi pleura, empiema, laryngitis
o Komplikasi lanjut: TB usus, Obstruksi jalan nafas , Fibrosis paru, kor
pulmonal, amiloidosis, karsinoma paru, sindrom gagal nafas dewasa,
meningitis TB.
o LAPORAN STUDI KASUS
LABORATORIUM ILMU KESEHATAN MASYARAKAT
BAB V
PEMBAHASAN
1. DASAR PENEGAKAN DIAGNOSA TUBERKULOSIS (NN, 2010)
Diagnosis tuberkulosis dapat ditegakkan berdasarkan gejala klinik,
pemeriksaan fisik, pemeriksaan bakteriologik, radiologik dan pemeriksaan
penunjang lainnya.
1. Gejala klinik
Gejala klinik tuberkulosis dapat dibagi menjadi 2 golongan, yaitu gejala
lokal dan gejala sistemik, bila organ yang terkena adalah paru maka gejala
lokal ialah gejala respiratorik (gejala lokal sesuai organ yang terlibat).
1. Gejala respiratorik
a. Batuk kering > 3 minggu
b. Batuk dengan dahak atau darah
c. Sesak napas
d. Nyeri dada
Gejala respiratorik ini sangat bervariasi, dari mulai tidak ada gejala
sampai gejala yang cukup berat tergantung dari luas lesi. Kadang pasien
terdiagnosis pada saat medical check up. Bila bronkus belum terlibat
dalam proses penyakit, maka pasien mungkin tidak ada gejala batuk. Batuk
yang pertama terjadi karena iritasi bronkus, dan selanjutnya batuk
diperlukan untuk membuang dahak ke luar.
2. Gejala sistemik
a. Demam
b. Gejala sistemik lain : malaise, keringat malam, anoreksia, berat badan
menurun
3. Gejala tuberkulosis ekstra paru : gejala tergantung dari organ yang
terlibat, misalnya pada limfadenitis tuberkulosa akan terjadi pembesaran
yang lambat dan tidak nyeri dari kelenjar getah bening, pada meningitis
tuberkulosa akan terlihat gejala meningitis, sementara pada pleuritis
tuberkulosa terdapat gejala sesak napas & kadang nyeri dada pada sisi
yang rongga pleuranya terdapat cairan.
2. Pemeriksaan Fisik
Pemeriksaan pertama terhadap keadaan umum pasien mungkin ditemukan
konjungtivitis, anemis, kulit pucat karena anemia, demam subfebril, badan
kurus atau berat badan menurun. Pada pemeriksaan fisik kelainan yang akan
dijumpai tergantung dari organ yang terlibat. Pada tuberkulosis paru,
kelainan yang didapat tergantung luas kelainan struktur paru. Pada
permulaan (awal) perkembangan penyakit umumnya tidak (atau sulit sekali)
menemukan kelainan. Kelainan paru pada umumnya terletak di daerah lobus
superior terutama daerah apeks dan segmen posterior (S1 & S2), serta daerah
apeks lobus inferior (S6).
Pada pemeriksaan fisik dapat ditemukan antara lain suara napas bronkial,
amforik, suara napas melemah, ronki basah, tanda-tanda penarikan paru,
diafragma & mediastinum. Pada pleuritis tuberkulosa (efusi pleura),
kelainan pemeriksaan fisik tergantung dari banyaknya cairan di rongga
pleura. Pada perkusi ditemukan pekak, pada auskultasi suara napas yang
melemah sampai tidak terdengar pada sisi yang terdapat cairan. Pada
limfadenitis tuberkulosa, terlihat pembesaran kelenjar getah bening,
tersering di daerah leher (pikirkan kemungkinan metastasis tumor), kadang-
kadang di daerah ketiak. Pembesaran kelenjar tersebut dapat menjadi "cold
abscess"
3. Pemeriksaan Bakteriologik
a. Bahan pemeriksaan : Pemeriksaan bakteriologik untuk menemukan kuman
tuberkulosis mempunyai arti yang sangat penting dalam menegakkan
diagnosis. Bahan untuk pemeriksaan bakteriologik ini dapat berasal dari
dahak, cairan pleura, liquor cerebrospinal, bilasan bronkus, bilasan
lambung, kurasan bronkoalveolar (bronchoalveolar lavage/BAL), urin,
faeces dan jaringan biopsi (termasuk biopsi jarum halus / BJH)
b. Cara pengumpulan dan pengiriman bahan
Cara pengambilan dahak 3 kali (SPS):
Sewaktu / spot (dahak sewaktu saat kunjungan)
Pagi ( keesokan harinya )
Sewaktu / spot ( pada saat mengantarkan dahak pagi) atau setiap
pagi 3 hari berturut-turut.
Bahan pemeriksaan / spesimen yang berbentuk cairan dikumpulkan /
ditampung dalam pot yang bermulut lebar, berpenampang 6 cm atau lebih
dengan tutup berulir, tidak mudah pecah dan tidak bocor. Apabila ada
fasilitas, spesimen tersebut dapat dibuat sediaan apus pada gelas objek
(difiksasi) sebelum dikirim ke laboratorium.
Bahan pemeriksaan hasil BJH, dapat dibuat sediaan apus kering di gelas
objek, atau untuk kepentingan biakan dan uji resistensi dapat ditambahkan
NaCl 0,9% 3-5 ml sebelum dikirim ke laboratorium. Spesimen dahak yang ada
dalam pot (jika pada gelas objek dimasukkan ke dalam kotak sediaan) yang
akan dikirim ke laboratorium, harus dipastikan telah tertulis identitas
pasien yang sesuai dengan formulir permohonan pemeriksaan laboratorium.
Bila lokasi fasilitas laboratorium berada jauh dari klinik/tempat
pelayanan pasien, spesimen dahak dapat dikirim dengan kertas saring
melalui jasa pos.
Cara pembuatan dan pengiriman dahak dengan kertas saring:
Kertas saring ukuran 10 x 10 cm, dilipat empat agar terlihat bagian
tengahnya
Dahak yang representatif diambil dengan lidi, diletakkan di bagian
tengah dari kertas saring sebanyak + 1 ml
Kertas saring dilipat kembali dan digantung dengan melubangi pada
satu ujung yang tidak mengandung bahan dahak
Dibiarkan tergantung selama 24 jam dalam suhu kamar di tempat aman
(dalam dus)
Bahan dahak dalam kertas saring kering dimasukkan dalam kantong
plastik kecil
Kantong plastik kemudian ditutup rapat (kedap udara) dengan
melidahapikan sisi kantong yang terbuka dengan menggunakan lidi
Di atas kantong plastik dituliskan nama pasien dan tanggal
pengambilan dahak
Dimasukkan ke dalam amplop dan dikirim melalui jasa pos ke alamat
laboratorium.
Cara pemeriksaan dahak dan bahan lain.
Pemeriksaan bakteriologik dari spesimen dahak dan bahan lain (cairan
pleura, liquor cerebrospinal, bilasan bronkus, bilasan lambung, kurasan
bronkoalveolar / BAL, urin, faeces dan jaringan biopsi, termasuk BJH) dapat
dilakukan dengan cara mikroskopik dan biakan.
Pemeriksaan Mikroskopik :
- Mikroskopik biasa : pewarnaan Ziehl-Nielsen
- Mikroskopik fluoresens : pewarnaan auramin-rhodamin (khususnya untuk
screening)
lnterpretasi hasil pemeriksaan dahak dari 3 kali pemeriksaan ialah bila
:
3 kali positif atau 2 kali positif, 1 kali negatif ( BTA positif
1 kali positif, 2 kali negatif (ulang BTA 3 kali kecuali bila ada
fasiliti foto toraks, kemudian bila 1 kali positif, 2 kali negatif
(BTA positif
bila 3 kali negatif ( BTA negatif.
Interpretasi pemeriksaan mikroskopik dibaca dengan skala IUATLD
(rekomendasi WHO). Skala IUATLD (International Union Against
Tuberculosis and Lung Disease) :
Tidak ditemukan BTA dalam 100 lapang pandang, disebut negatif
Ditemukan 1-9 BTA dalam 100 lapang pandang, ditulis jumlah kuman
ditemukan
Ditemukan 10-99 BTA dalam 100 lapang pandang disebut + (1+)
Ditemukan 1-10 BTA dalam 1 lapang pandang, disebut ++ (2+)
Ditemukan >10 BTA dalam 1 lapang pandang, disebut +++ (3+)
Interpretasi hasil dapat juga dengan cara Bronkhorst, Skala Bronkhorst
(BR) :
BR I : ditemukan 3-40 batang selama 15 menit pemeriksaan
BR II : ditemukan sampai 20 batang per 10 lapang pandang
BR III : ditemukan 20-60 batang per 10 lapang pandang
BR IV : ditemukan 60-120 batang per 10 lapang pandang
BR V : ditemukan > 120 batang per 10 lapang pandang
Pemeriksaan biakan kuman :
Pemeriksaan biakan M.tuberculosis dengan metode konvensional ialah
dengan cara :
Egg base media : Lowenstein-Jensen (dianjurkan), Ogawa, Kudoh
Agar base media : Middle brook
Melakukan biakan dimaksudkan untuk mendapatkan diagnosis pasti, dan
dapat mendeteksi Mycobacterium tuberculosis dan juga Mycobacterium
other than tuberculosis (MOTT). Untuk mendeteksi MOTT dapat digunakan
beberapa cara, baik dengan melihat cepatnya pertumbuhan, menggunakan
uji nikotinamid, uji niasin maupun pencampuran dengan cyanogen bromide
serta melihat pigmen yang timbul.
4. Pemeriksaan Radiologik
Pemeriksaan standar ialah foto toraks PA. Namun dapat juga dilakukan
fotolateral, top-lordotik, oblik atau dengan menggunakan CT-Scan, hal ini
dikarenakan foto toraks tuberkulosis dapat memberikan gambaran yang mirip
dengan pneumonia, karsinoma bronkus atau mungkin abses paru sehingga
dikatakan tuberculosis is the greatest imitator.
Gambaran radiologik yang dicurigai sebagai lesi TB aktif :
Bayangan berawan / nodular di segmen apikal dan posterior lobus atas paru
dan segmen superior lobus bawah
Kavitas, terutama lebih dari satu, dikelilingi oleh bayangan opak berawan
atau nodular
Bayangan bercak milier
Efusi pleura unilateral (umumnya) atau bilateral (jarang)
Gambaran radiologik yang dicurigai lesi TB inaktif :
Fibrotik
Kalsifikasi
Schwarte atau penebalan pleura
Luluh paru (Destroyed Lung) :
Gambaran radiologik yang menunjukkan kerusakan jaringan paru yang berat,
biasanya secara klinis disebut luluh paru. Gambaran radiologik luluh paru
terdiri dari atelektasis, ektasis / multikavitas dan fibrosis parenkim
paru. Sulit untuk menilai aktivitas lesi atau penyakit hanya berdasarkan
gambaran radiologik tersebut.
Perlu dilakukan pemeriksaan bakteriologik untuk memastikan aktivitas
proses penyakit
Luas lesi yang tampak pada foto toraks untuk kepentingan pengobatan dapat
dinyatakan sebagai berikut (terutama pada kasus BTA negatif) :
Lesi minimal : Bila proses mengenai sebagian dari satu atau dua paru
dengan luas tidak lebih dari sela iga 2 depan (volume paru yang terletak
di atas chondrostemal junction dari iga kedua depan dan prosesus spinosus
dari vertebra torakalis 4 atau korpus vertebra torakalis 5), serta tidak
dijumpai kavitas
Lesi luas : Bila proses lebih luas dari lesi minimal.
Gambar 5.2. Rontgen paru pada pasien TB
5. Pemeriksaan Lain
1. Analisis Cairan Pleura : Pemeriksaan analisis cairan pleura & uji
Rivalta cairan pleura perlu dilakukan pada pasien efusi pleura untuk
membantu menegakkan diagnosis. Interpretasi hasil analisis yang mendukung
diagnosis tuberkulosis adalah uji Rivalta positif dan kesan cairan
eksudat, serta pada analisis cairan pleura terdapat sel limfosit dominan
dan glukosa rendah.
2. Pemeriksaan histopatologi jaringan : Pemeriksaan histopatologi dilakukan
untuk membantu menegakkan diagnosis TB. Pemeriksaan yang dilakukan ialah
pemeriksaan histologi. Bahan jaringan dapat diperoleh melalui biopsi atau
otopsi, yaitu :
a. Biopsi aspirasi dengan jarum halus (BJH) kelenjar getah bening (KGB)
b. Biopsi pleura (melalui torakoskopi atau dengan jarum abram, Cope dan
Veen Silverman)
c. Biopsi jaringan paru (trans bronchial lung biopsy / TBLB) dengan
bronkoskopi, trans thoracal biopsy / TTB, biopsi paru terbuka.
d. Otopsi : Pada pemeriksaan biopsi sebaiknya diambil 2 sediaan, satu
sediaan dimasukkan ke dalam larutan salin dan dikirim ke laboratorium
mikrobiologi untuk dikultur serta sediaan yang kedua difiksasi untuk
pemeriksaan histologi.
3. Pemeriksaan darah : Hasil pemeriksaan darah rutin kurang menunjukkan
indikator yang spesifik untuk tuberkulosis. Laju endap darah (LED) jam
pertama dan kedua dapat digunakan sebagai indikator penyembuhan pasien.
LED sering meningkat pada proses aktif, tetapi laju endap darah yang
normal tidak menyingkirkan tuberkulosis. Limfosit juga kurang spesifik
untuk menilai perjalanan infeksi TB.
4. Uji Tuberkulin : Uji tuberkulin yang positif menunjukkan adanya infeksi
tuberkulosis. Di Indonesia dengan prevalensi tuberkulosis yang tinggi,
uji tuberkulin sebagai alat bantu diagnostik penyakit kurang berarti pada
orang dewasa. Uji ini akan mempunyai makna bila didapatkan konversi, bula
atau apabila kepositifan dari uji yang didapat besar sekali. Pada
malnutrisi dan infeksi HIV uji tuberkulin dapat memberikan hasil negatif.
6. Alur Diagnosis
Gambar 5.3. Alur Diagnosis TB Paru (NN, 2010)
2. DASAR RENCANA PENATALAKSANAAN
Pengobatan tuberkulosis terbagi menjadi 2 fase yaitu fase intensif (2-3
bulan) dan fase lanjutan 4 atau 7 bulan. Paduan obat yang digunakan terdiri
dari paduan obat utama dan tambahan.
1. Obat Anti Tuberkulosis (OAT)
Obat yang dipakai:
1. Jenis obat utama (lini 1) yang digunakan adalah:
Rifampisin (R)
INH (H)
Pirazinamid (Z)
Streptomisin (S)
Etambutol (E)
2. Jenis obat tambahan lainnya (lini 2)
Kanamisin
Amikasin
Kuinolon
Obat lain masih dalam penelitian ; makrolid, amoksilin + asam
klavulanat
Beberapa obat berikut ini belum tersedia di Indonesia antara lain :
Kapreomisin
Sikloserino PAS (dulu tersedia)
Derivat rifampisin dan INH
Thioamides (ethionamide dan prothionamide)
Tabel 5.1 Jenis dan Dosis Obat Anti Tuberculosis (OAT)
Tabel 5.2 Dosis OAT Kombinasi Tetap
Paduan terapi
" "Kasus "Paduan obat yang dianjurkan "
"Kategor" " "
"i " " "
" " "Fase awal "Fase lanjutan "
"I "TB Paru BTA +, "2 RHZS (RHZE) "6 HE "
" "TB extraparu (berat), "2 RHZS (RHZE) "4 HR "
" "BTA negatif lesi luas. "2 RHZS (RHZE) "4H3R3 "
"II "Kambuh "2 RHZES /1 RHZE "5 HRE "
" "Gagal pengobatan "2 RHZES /1 RHZE "5 H3R3E3 "
"III "TB paru BTA (-), lesi "2 RHZ atau 2 "6 HE atau 2 HR/ "
" "minimal "R3H3Z "4 H "
"IV "Kasus Kronik (BTA masih"Pertimbangkan untuk menggunakan "
" "(+) setelah pengobatan "OAT lini kedua, sesuai hasil uji"
" "ulang yang disupervisi)"resistensi kuman (minimal 3 obat"
" " "sensitif dengan H tetap "
" " "diberikan), H dapat diberikan "
" " "seumur hidup (WHO). "
Keterangan :
Kategori I : Apabila BTA tetap (+) selama 2 bulan, maka fase awal
diperpanjang menjadi 4 minggu lagi.
Kategori II : apabila sputum BTA masih (+) pada minggu ke-12 minggu,
maka 4 jenis obat dilanjutkan 1 bulan lagi, bila pada akhir
bulan ke – 4 BTA masih positif, maka semua obat dihentikan 2 –
3 hari dan dilakukan uji resistensi obat.
Kategori III : Pasien TBP dengan BTA (-) dan lesi paru yang tidak luas
(lesi minimal)
Kategori IV : TBC kronik. Pada pasien mungkin dijumpai resistensi
ganda, sputumnya harus diuji resistensi obat. Untuk seumur
hidup diberikan INH saja atau sesuai rekomendasi WHO untuk
pengobatan multi drug resistance (MDR)
2. Efek Samping OAT
Sebagian besar pasien TB dapat menyelesaikan pengobatan tanpa efek
samping. Namun sebagian kecil dapat mengalami efek samping, oleh karena itu
pemantauan kemungkinan terjadinya efek samping sangat penting dilakukan
selama pengobatan. Efek samping yang terjadi dapat ringan atau berat bila
efek samping ringan dan dapat diatasi dengan obat simtomatik maka pemberian
OAT dapat dilanjutkan.
"Efek samping "Kemungkinan OAT "Tatalaksana "
" "penyebab " "
"Minor / ringan "OAT diteruskan "
"Tidak nafsu makan, "Rifampisin "Obat diminum malam sebelum "
"mual, sakit perut " "tidur. "
"Nyeri sendi "Pyrazinamid "Beri aspirin /allopurinol. "
"Kesemutan s/d rasa "INH "Beri vitamin B6 (piridoksin)"
"terbakar di kaki " "1 x 100 mg/perhari. "
"Warna kemerahan pada "Rifampisin "Beri penjelasan, tidak perlu"
"air seni " "diberi apa-apa. "
"Mayor / berat "Hentikan obat penyebab "
"Gatal dan kemerahan "Semua jenis OAT "Beri antihistamin & "
"pada kulit " "dievaluasi ketat "
"Tuli "Streptomisin " "
"Gangguan keseimbangan "Streptomisin "Streptomisin dihentikan "
"(vertigo dan nistagmus)" "ganti etambutol "
"Ikterik / Hepatitis "Sebagian besar "Streptomisin dihentikan "
"Imbas Obat (penyebab "OAT "ganti etambutol "
"lain disingkirkan) " " "
"Muntah dan confusion "Sebagian besar "Hentikan semua OAT sampai "
"(suspected drug-induced"OAT "ikterik hilang & boleh "
"pre-icteric hepatitis) " "diberikan hepatoprotektor "
"Gangguan penglihatan " "Hentikan semua OAT & lakukan"
"Kelainan sistemik, "Ethambutol "uji fungsi hati "
"termasuk syok dan "Rifampisin " "
"purpura " "Hentikan ethambutol "
" " "Hentikan rifampisin "
Efek samping yang ringan seperti gangguan lambung dapat diatasi secara
simptomatik
Pasien dengan reaksi hipersensitif seperti timbulnya rash pada kulit,
umumnya disebabkan oleh INH dan rifampisin. Dalam hal ini dapat dilakukan
pemberian dosis rendah dan desensitsasi dengan pemberian dosis yang
ditingkatkan perlahan-lahan dengan pengawasan yang ketat. Desensitisasi
ini tidak bisa dilakukan terhadap obat lainnya
Kelainan yang harus dihentikan pengobatannya adalah trombositopenia, syok
atau gagal ginjal karena rifampisin, gangguan penglihatan karena
etambutol, gangguan nervus VIll karena streptomisin dan dermatitis
exfoliative dan agranulositosis karena thiacetazon
Bila suatu obat harus diganti, maka paduan obat harus diubah hingga
jangka waktu pengobatan perlu dipertimbangkan kembali dengan baik.
3. Pengobatan Suportif / Simptomatik
Pada pengobatan pasien TB perlu diperhatikan keadaan klinisnya. Bila
keadaan klinis baik dan tidak ada indikasi rawat inap, pasien dapat
dibeikan rawat jalan. Selain OAT kadang perlu pengobatan tambahan atau
suportif / simtomatik untuk meningkatkan daya tahan tubuh atau mengatasi
gejala/keluhan.
Pasien rawat jalan :
a. Makan makanan yang bergizi, bila dianggap perlu dapat diberikan vitamin
tambahan (pada prinsipnya tidak ada larangan makanan untuk pasien
tuberkulosis, kecuali untuk penyakit komorbidnya)
b. Bila demam dapat diberikan obat penurun panas/demam
c. Dapat diberikan obat untuk mengatasi gejala batuk, sesak napas atau
keluhan lain.
Pasien rawat inap :
Indikasi rawat inap :
TB paru disertai keadaan/komplikasi sbb :
- Batuk darah (profus)
- Keadaan umum buruk
- Pneumotoraks
- Empiema
- Efusi pleura masif / bilateral
- Sesak napas berat (bukan karena efusi pleura)
TB di luar paru yang mengancam jiwa :
- TB paru milier
- Meningitis TB
5.2.4 Terapi Bedah
lndikasi operasi
1. Indikasi mutlak
a. Semua pasien yang telah mendapat OAT adekuat tetetapi dahak tetap
positif
b. Pasien batuk darah yang masif tidak dapat diatasi dengan cara
konservatif
c. Pasien dengan fistula bronkopleura dan empiema yang tidak dapat
diatasi secara konservatif
2. lndikasi relatif
a. Pasien dengan dahak negatif dengan batuk darah berulang
b. Kerusakan satu paru atau lobus dengan keluhan
c. Sisa kavitas yang menetap.
5.2.5 Tindakan Invasif (Selain Pembedahan)
Bronkoskopi
Punksi pleura
Pemasangan WSD (Water Sealed Drainage)
5.2.6 Kriteria Sembuh
BTA mikroskopik negatif dua kali (pada akhir fase intensif dan akhir
pengobatan) dan telah mendapatkan pengobatan yang adekuat.
Pada foto toraks, gambaran radiologik serial tetap sama/ perbaikan.
Bila ada fasilitas biakan, maka kriteria ditambah biakan negatif.
5.2.7 Evaluasi Pengobatan
Evaluasi pasien meliputi evaluasi klinik, bakteriologik, radiologik, dan
efek samping obat, serta evaluasi keteraturan berobat (PDPI, 2006;
NN,2010;Chandra,2010).
Evaluasi klinik
Pasien dievaluasi tiap 2 minggu pada 1 bulan pertama pengobatan
selanjutnya tiap 1 bulan
Evaluasi : respons pengobatan dan ada tidaknya efek samping obat serta
ada tidaknya komplikasi penyakit
Evaluasi klinik meliputi keluhan , berat badan, pemeriksaan fisik.
Evaluasi bakteriologik (0 - 2 - 6 /9 bulan pengobatan)
Tujuan untuk mendeteksi ada tidaknya konversi dahak
Pemeriksaan & evaluasi pemeriksaan mikroskopik
Sebelum pengobatan dimulai
Setelah 2 bulan pengobatan (setelah fase intensif)
Pada akhir pengobatan
Bila ada fasiliti biakan : dilakukan pemeriksaan biakan dan uji
resistensi
Evaluasi radiologik (0 - 2 – 6/9 bulan pengobatan)
Pemeriksaan dan evaluasi foto toraks dilakukan pada:
Sebelum pengobatan
Setelah 2 bulan pengobatan (kecuali pada kasus yang juga dipikirkan
kemungkinan keganasan dapat dilakukan 1 bulan pengobatan)
Pada akhir pengobatan
Evaluasi efek samping secara klinik
Bila mungkin sebaiknya dari awal diperiksa fungsi hati, fungsi ginjal dan
darah lengkap
Fungsi hati; SGOT,SGPT, bilirubin, fungsi ginjal : ureum, kreatinin, dan
gula darah , serta asam urat untuk data dasar penyakit penyerta atau efek
samping pengobatan
Asam urat diperiksa bila menggunakan pirazinamid
Pemeriksaan visus dan uji buta warna bila menggunakan etambutol (bila ada
keluhan)
Pasien yang mendapat streptomisin harus diperiksa uji keseimbangan dan
audiometri (bila ada keluhan)
Pada anak dan dewasa muda umumnya tidak diperlukan pemeriksaan awal
tersebut. Yang paling penting adalah evaluasi klinik kemungkinan terjadi
efek samping obat. Bila pada evaluasi klinik dicurigai terdapat efek
samping, maka dilakukan pemeriksaan laboratorium untuk memastikannya dan
penanganan efek samping obat sesuai pedoman.
Evalusi keteraturan berobat (PDPI,2006)
Evaluasi keteraturan berobat dan diminum / tidaknya obat tersebut. Dalam
hal ini maka sangat penting penyuluhan atau pendidikan mengenai penyakit
dan keteraturan berobat. Penyuluhan atau pendidikan dapat diberikan
kepada pasien, keluarga dan lingkungannya.
Ketidakteraturan berobat akan menyebabkan timbulnya masalah resistensi.
Evaluasi pasien yang telah sembuh (Djohan, 2009)
Pasien TB yang telah dinyatakan sembuh tetap dievaluasi minimal dalam 2
tahun pertama setelah sembuh, hal ini dimaksudkan untuk mengetahui
kekambuhan. Hal yang dievaluasi adalah mikroskopik BTA dahak dan foto
toraks. Mikroskopik BTA dahak 3,6,12 dan 24 bulan (sesuai indikasi/bila ada
gejala) setelah dinyatakan sembuh. Evaluasi foto toraks 6, 12, 24 bulan
setelah dinyatakan sembuh.
5.2.8 Pencegahan (Mansjoer, 2005)
1. Pencegahan Primer
a. Meningkatkan daya tahan tubuh dengan cara:
b. Kebersihan Lingkungan
2. Pencegahan Sekunder
a. Case finding
b. Perawatan khusus penderita dan mengobati penderita.
3. Pencegahan Tertier
a. Membuat stategi menyembuhkan penderita TB Paru yaitu pemberian paduan
obat efektif dengan konsep Directly Observed Treatment Short-course
(DOTS).
b. Penderita dengan initial drug resitance yang tinggi terhadap INH diberi
obat etambutol karena jarang initial resitance terhadap INH.
Streptomisin dapat dipakai pada populasi tertentu untuk meningkatkan
complance pengobatan.
c. Memberi pengobatan secara teratur dan supervisi yang ketat dalam jangka
waktu 9-12 bulan pada acquired resistance (penderita kambuh setelah
pengobatan).
LAPORAN STUDI KASUS
LABORATORIUM ILMU KESEHATAN MASYARAKAT
BAB VI
PENUTUP
KESIMPULAN HOLISTIK
Diagnosis dari segi biologis :
Tuberkulosis Paru Kategori I
Diagnosis dari segi psikologis :
Dari segi psikologis, Tn.G dan keluarga tidak terdapat masalah. Tn.G dan
keluarganya menyadari bahwa penyakit TB yang dialami meskipun menular
tetapi dapat disembuhkan. Tn.G dan keluarga juga sangat koopertif dan
mengikuti segala masukan dokter dalam proses terapi demi kesehatan dan
kesembuhannya.
Diagnosis dari segi sosial dan ekonomi :
Perekonomian keluarga Tn.G tergolong menengah keatas. Saat ini Tn.G hanya
menanggung istri, ibu, dan neneknya. Pembiayaan kesehatan Tn.G dan
keluarga menggunakan BPJS sehingga dapat dijangkau. Akses pelayanan
kesehatan juga terjangkau. Aspek sosial Tn.G dan keluarga cukup baik,
sering berkumpul dengan tetangga dan temannya. Tn.G dan istri juga
terbiasa berbagi masalah bersama. Selain sebagai petani, Tn.G juga
menjadi ketua RW, hal ini mencerminkan interaksi dengan tetangga
tergolong baik.
- DAFTAR PUSTAKA
Amin Z, Bahar S. 2006. Tuberkulosis paru. Dalam: Sudoyo AW, Setiyohadi B,
Alwi I, Simadibrata KM, Setiati S. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Jilid
II, Edisi IV. Jakarta : Pusat Penerbitan Departemen Ilmu Penyakit Dalam
FKUI. 998-1005, 1045-9.
Anonym. 2003. Prevalence and Incidence of Tuberculosis, (Cureresearch),
Available: http://www.Cureresearch.com/Tuberculosis/Prevalence.htm
Chandra P, Evelyn P. 2010. Tuberculosis. Available from:
http://www.en.wikipedia.org/wiki/Tuberculosis
Djohan PA. 2009. Epidemiologi TBC di Indonesia. 22 Juli 2009. Available
from http://www.tbcindonesia_or_Id.html.
Gerakan Terpadu Nasional Penanganan TB (GTNP TB). 2007. Buku Pedoman
Nasional Penanggulangan TB. edisi 2. cetakan pertama. Jakarta:
Departemen Kesehatan Republik Indonesia.
Joshua Burrill, FRCR, Christopher J. Williams, FRCR, Gillian Bain, FRCR, et
all . 2007. Tuberculosis ; Radiological Review. Radiographics Vol 27
No.5 Pg.1255-1265.
Kabo P. 2010. Pengobatan TBC. Available from
http://www.medicastore.com/med/index.php
Mansjoer.A, dkk. 2005. Tuberkulosis Paru. Dalam : Kapita selekta
kedokteran, cetakan ke-7, Jakarta : Media Aesculapius: 427-476.
NN. 2009. Pedoman Nasional Penanggulangan Tuberkulosis. Diunduh dari:
http://www.tbindonesia.or.id/pdf/BPN_2007.pdf.
Perhimpunan Dokter Paru Indonesia. 2006. Tuberkulosis, Pedoman Diagnosis
dan Penatalaksanaan di Indonesia, Citra Grafika, Jakarta.
Price. A,Wilson. L. M. 2004. Tuberkulosis Paru. Dalam: Patofisiologi Konsep
Klinis Proses-Proses Penyakit, bab 4, Edisi VI. Jakarta: EGC : 852-64.
Rasad, Sjahriar. 2005. Radiologi Diagnostik. Edisi 2. Balai Penerbit FKUI.
Jakarta..
-----------------------
H a l a m a n D e p a n
Teras Depan
Kamar 1 (kamar tidur + tepat setrika)
Halaman
Tempat Sholat
Halaman samping
Ruang Tamu
Tempat Sholat
Kamar Ibu (Nenek )
samping
Kamar 3 (kamar Tn.S & Ny.W)
Dapur Kompor & Tempat Makan
Ruang TV
Kamar Mandi
Kandang sapi dan Ayam
Keterangan:
= Pintu
= Jendela
Ibu Tn.S, Ny.T usia 92 tahun memiliki 3 saudara yang seluruhnya masih hidup
Ny.T
Pasien, Tn.S dengan Tuberkulosis Paru Kategori I
Tn. S
Ny.W
Ny.W
Tn.S
Tn.Y
Ny.P
Faktor NonPerilaku
Faktor Perilaku
Lingkungan: lingkungan sekitar rumah Tn.S tergolong rapi tetapi kurang
bersih. Hal ini terkait kondisi rumah yang dekat dengan kandang sapi,
kambing dan ayam. Terkadang ayam dilepas hingga masuk ke dalam rumah. Tn.S
yang terbiasa mengurus hewan ternak sebelum sakit tidak pernah menggunakan
penutup hidung atau masker.
Pengetahuan: Tingkat pendidikan dan pengetahuan Tn.S_`acdes? …ŒŽ dan
keluarga tergolong baik, khususnya mengenai kesehatan dan penyakit yang
dialaminya. Sehingga Tn.S sangat koopertif dan mengikuti segala masukan
dokter dalam proses terapi demi kesehatan dan kesembuhannya. Pasien dan
keluarga juga memahami bagaimana potensi penularan serta pencegahan
penyakit TB.
Tn.S dan Keluarga
Pelayanan kesehatan: tarif pelayanan kesehatan terjangkau karena
menggunakan fasilitas jaminan kesehatan nasional dan tergolong masyarakat
ekonomi menengah ke atas serta akses pelayanan kesehatan jaraknya dekat.
Sikap: Sikap keluarga terhadap kondisi Tn.S cukup baik, terutama istrinya.
Keluarga memahami keadaan kesehatan Tn.S, saling memberikan perhatian,
dukungan dan semangat serta saling mengingatkan dalam menjaga kesehatannya.
Usia, Keturunan, Jenis kelamin: penyakit TB yang dialami Tn.S tidak terkait
faktor usia, keturunan dan jenis kelamin. Tetapi, karakteristik kesehatan
dan usia dalam keluarga Tn.S tergolong baik..
Tindakan: Tindakan keluarga terhadap kondisi Tn.S cukup baik, terutama
istri dan ibunya. Selama proses penyembuhan, Tn.S tidur di kamar terpisah
dengan istrinya dan Tn.S juga sering menggunakan masker jika berkumpul dan
bekomunikasi dengan keluarga terutama saat sering mengeluh batuk.
- Lingkungan sekitar rumah Tn.S tergolong rapi tetapi kurang bersih. Hal
ini terkait dengan kondisi rumah yang dekat dengan kandang sapi, kambing
dan ayam. Terkadang ayam dilepas hingga masuk ke dalam rumah. Tn.S yang
terbiasa mengurus hewan ternak sebelum sakit tidak pernah menggunakan
penutup hidung atau masker. Hal ini menjadi permasalahan lingkungan dan
kebersihan yang secara tidak langsung kemungkinan memiliki keterkaitan
dengan penyakit yang dialami Tn.S.
- Terdapat hambatan minimnya waktu luang bersama anaknya karena terkait
lokasi yang berjauhan, pekerjaan dan sudah berumah tangga sendiri.
Tn.S (61 tahun) dengan Tuberkulosis Paru Kategori I
Gambar 4.1 Perkembangan sarang tuberkulosis post primer dan perjalanan
penyembuhannya (Amin, 2006)
Gambar 5.1 Letak TB pada paru : apeks lobus superior dan apeks lobus
inferior