Bagian Ilmu Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran Universitas Mulawarman
LAPORAN KASUS
TB Paru BTA Positif Dengan Komplikasi Pneumothorax Sinistra
oleh: Niken Kurniasari
NIM. 04.45398.00188.09 04.45398.00188.09
Pembimbing: dr. Donni Irfandi Alfian, Sp.P
Dibawakan Dalam Rangka Tugas Kepaniteraan Klinik Pada Bagian Ilmu Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran Universitas Mulawarman 2010
LEMBAR PENGESAHAN
LAPORAN KASUS LEMBAR PENGESAHAN
LAPORAN KASUS
TB Paru BTA Positif Dengan Komplikasi Pneumothorax Sinistra ACUTE CORONARY SYNDROME (UNSTABLE ANGINA PECTORIS) Dipresentasikan Dipresentasikan pada tanggal
Dipresentasikan pada tanggal 28 Desember 2009
Disusun oleh: Niken Kurniasari NIM. 04.45398.00188.09 Disusun oleh: Mulia Noviarti NIM. 04.45408.00198.09 04.45408.00198.09 Pembimbing:
Pembimbing:drd dr. Donni Irfandi Alfian, Sp.P
2
LEMBAR PENGESAHAN
LAPORAN KASUS LEMBAR PENGESAHAN
LAPORAN KASUS
TB Paru BTA Positif Dengan Komplikasi Pneumothorax Sinistra ACUTE CORONARY SYNDROME (UNSTABLE ANGINA PECTORIS) Dipresentasikan Dipresentasikan pada tanggal
Dipresentasikan pada tanggal 28 Desember 2009
Disusun oleh: Niken Kurniasari NIM. 04.45398.00188.09 Disusun oleh: Mulia Noviarti NIM. 04.45408.00198.09 04.45408.00198.09 Pembimbing:
Pembimbing:drd dr. Donni Irfandi Alfian, Sp.P
2
BAB I PENDAHULUAN
Mycobacterium tuberkulosis menyebabkan tuberkulosis menyebabkan penyakit tuberkulosis (TB) dan merupakan pathogen yang sangat penting bagi manusia. TB menjadi masalah kesehatan masyarakat terbesar, khususnya di negara berkembang. Dari data WHO (World Health Organization) Organization ) pada tahun 2002, terdapat 22 negara di dunia yang memiliki jumlah penderita TB terbesar di dunia.
1
Tuberkulosis bisa menyerang siapa saja, namun sebagian besar penderita tuberkulosis adalah kelompok usia produktif (15-50 tahun). Secara regional ditemukan fakta bahwa empat puluh persen (40%) dari kasus tuberkulosis dunia ditemukan di wilayah Asia Tenggara dan hampir satu juta kematian terjadi setiap tahunnya yang sembilan lima puluh persen nya diakibatkan dari kasus-kasus tuberkulosis yang dilaporkan terjadi di Banglades, India, Indonesia, Myanmar, dan Thailand.2 Di Indonesia, TB juga menjadi masalah kesehatan, baik dari sisi angka kematian (mortalitas (mortalitas), ), angka kejadian penyakit (morbiditas (morbiditas), ), maupun diagnosis dan terapinya. Dengan penduduk lebih dari 200 juta orang, Indonesia menempati urutan ketiga setelah India dan China dalam hal jumlah penderita di antara 22 negara dengan masalah TBC terbesar di dunia. Tahun 2004 tercatat 211.753 kasus baru tuberkulosis di Indonesia, dan diperkirakan sekitar 300 kematian terjadi setiap hari. Setiap tahunnya kasus baru tuberkulosis bertambah seperempat juta. 1, 2 WHO memperkirakan di Indonesia terjadi 183 ribu kasus TB paru dengan 282 ribu kasus dengan BTA positif setiap tahunnya. Prevalensi kasus BTA positif diperkirakan sebesar 715 ribu kasus dengan angka kematian sebesar 140 ribu atau secara kasar dari setiap 100 ribu penduduk Indonesia diperkirakan terdapat 130 penderita TB dengan BTA positif, dimana TB menyerang sebagian besar usia produktif, kelompok ekonomi ekonomi lemah dan pendidikan rendah. rendah. 1
3
BAB II LAPORAN KASUS
IDENTITAS PASIEN
Nama
: Tn. R
Umur
: 17 tahun
Alamat
: L1 Blok E Telok Dalam
Status
: Belum Menikah
Pekerjaan
: Buruh
Pendidikan terakhir
: SD
Suku
: Bugis
Agama
: Islam
Status Pernikahan
: Belum Menikah
Masuk Rumah Sakit : 9 Maret 2010
Keluhan utama
Sesak nafas
Riwayat penyakit sekarang
Sesak nafas dialami pasien sejak 3 hari sebelum MRS. Sesak dirasakan secara tiba-tiba dan terus-menerus, tidak dipengaruhi oleh cuaca dan aktivitas yang berlebihan. Sesak tersebut dirasakan semakin lama semakin bertambah berat. Disamping itu pasien juga memiliki riwayat batuk lama sejak ± 3 bulan yang lalu hingga sekarang. Batuk berdahak dengan dahak berwarna kuning sejak 2 bulan yang lalu. Kadang-kadang pada dahak terdapat bercak darah. Keluhan batuk tersebut disertai dengan demam yang timbul pada malam hari disertai keringat dingin, dimana demam tidak terlalu tinggi dan kadang mencapai suhu normal pada pagi hari. Pasien juga mengeluhkan nafsu makan yang menurun, sehingga berat badan pasien turun selama keluhan batuk-batuk tersebut muncul.
4
Pasien merasakan berbagai keluhan tersebut muncul setelah pasien menjalani pekerjaan sebagai buruh playwood di Tenggarong sekitar 5 bulan yang lalu sebelum MRS. Pasien bersama temannya tinggal di kos-kosan yang kondisinya kurang sehat untuk dihuni, seperti ventilasi dan jendela kamar yang tidak ada serta berada dipinggir sungai. Dan saat bekerja di tempat tersebut kondisi daya tahan tubuh pasien menurun karena pekerjaan yang melelahkan. Sejak itulah pasien merasa sakit-sakitan. Pasien mengaku bahwa tidak ada teman atau keluarga yang sakit seperti pasien. Frekuensi BAB normal, BAK normal dengan warna kuning jernih. Pasien merupakan
rujukan
dari
RS.
Parikesit
Tenggarong
dengan
diagnosa
Pneumothorax (S) e.c. TB Paru, yang telah dilakukan pemasangan WSD sebelum pasien dievakuasi ke RS.AWS Samarinda.
Riwayat penyakit dahulu
Sakit paru-paru dan asma tidak ada sebelumnya
Riwayat penyakit keluarga
Pasien tidak memiliki riwayat penyakit serupa pada keluarganya.
5
PEMERIKSAAN FISIK (pada tanggal 11 Maret 2010) 1. Keadaan Umum
Kesadaran
: Compos mentis, GCS E4V5M6
Keadaan sakit
: sakit sedang
Tanda Vital :
Frekuensi Nadi
: 80 x/menit, reguler, kuat angkat, isi cukup
Tekanan darah
: 120/70 mmHg
Pernafasan
: 26 x/menit,.
Suhu
: 37,80C, aksiler
Status Gizi
Berat Badan
: 43 Kg
Tinggi Badan
: 155 cm
2. Kepala dan Leher a. Umum
Ekspresi
: Gelisah
b. Mata
Kelopak
: edema (-)
Konjunktiva
: anemis (-/-)
Sclera
: ikterik (-/-)
Pupil
: bulat, isokor, refleks cahaya (+/+)
c. Telinga
Bentuk
: normal
Lubang telinga
: normal
Processus Mastoideus
: nyeri (-/-)
Pendengaran
: normal
d. Hidung
Penyumbatan
: (-/-)
Perdarahan
: (-/-)
Daya penciuman
: normal
Pernafasan cuping hidung: tidak ada
6
e. Mulut
Bibir
: pucat (+), sianosis (-)
Gusi
: berdarah (-)
Mukosa
: pigmentasi (-), hiperemia (-), pucat (-)
Lidah
: makroglosia (-), mikroglosia (-)
Faring
: hiperemia (-)
f. Leher
Umum
: simetris
Kelenjar limfe
: membesar (-)
Trachea
: di tengah
Tiroid
: membesar (-)
V. jugularis
: JVP normal
3. Thorax
Bentuk
: simetris
Axilla
: pembesaran kelenjar limfe (-/-)
Sternum
: nyeri tekan (-)
a. Paru
I
Pa
Bentuk
: simetris
Pergerakan
: simetris, retraksi ICS (+/+)
ICS melebar
: (+/+)
Fremitus raba : Asimetris (D≠S) Nyeri
: (-/-)
Suara ketok
: (sonor/ hipersonor)
Nyeri ketok
: (-/+)
Suara nafas
: vesikuler
Pe
A
Suara tambahan
: ronki (+/+), wheezing (-/-)
b. Jantung
I
Ictus cordis tidak tampak
Pa
Ictus cordis tidak teraba
Pe
Batas kanan
: parasternal line ICS III Dextra
7
Batas kiri A
: ICS V 2 jari lateral MCL Sinistra
S1 S2 tunggal, reguler, gallop (-), murmur (-).
4. Abdomen
I
Bentuk
: datar
Kulit
: normal
Hernia
: umbilicus (-), inguinal (-)
Pa Turgor
: normal
Tonus
: normal
Nyeri tekan
: tidak ada
Pembesaran
: hepar (-), ginjal (-), spleen (-)
Pe Timpani, Shifting dullness (-) A
Peristaltik usus : BU (+) normal
5. Inguinal
Pembesaran kel. Limfe
: (-/-)
6. Ekstremitas Atas
:
Sendi bengkak (-/-) Tremor (-/-) Akral dingin, pucat, edema (-/-) Refleks biceps normal, refleks triceps normal
Bawah
:
Sendi bengkak (-/-) Tremor (-/-) Akral dingin, pucat, edema (-/-) Refleks patella normal Refleks achilles normal
7. Tulang belakang
: Normal
8
PEMERIKSAAN PENUNJANG 1. Pemeriksaan Laboratorium Tanggal
9/3/2010
10/3/2010
11/3/2010
13/3/2010 15/3/2010
Darah lengkap
Hb
8,5
8,6
12,1
Hct
27,7 %
27,9 %
35,7 %
Leukosit
700
4.100
6.400
Trombosit
367.000
240.000
365.000
Kimia darah
GDS
134
81
SGOT
23
SGPT
17
Bilirubin total
0,5
Bil direk
0,3
Bil indirek
0,2
Protein total
7,0
Albumin
2,2
Globulin
4,8
Kolesterol
85
Asam urat
3,1
Ureum
26,2
26,1
Kreatinin
0,7
0,7
Elektrolit
Natrium
134
Kalium
4,1
Clorida
100
Ab HIV
(-) negatif
BTA I
+1
BTA II
+1
BTA III
+1
9
2. Foto Rontgen Thorax PA
a. 8 Maret 2010
b. 10 Maret 2010
c. 15 Maret 2010
10
d. 18 Maret 2010
3. EKG
DIAGNOSIS
TB Paru BTA Positif dengan Komplikasi Pneumothoraks Sinistra
11
PENATALAKSANAAN
Farmakologi: (BB= 43 kg) – IVFD RL : D5% 2:1 20 tpm – Neurobion drip 1 amp/hr – Ranitidin inj 2x1 amp – Salbutamol tab 3x2 mg – DMP syrup 3xC1 – Cefotaxim inj 3x1gr IV – Rimstar 1x3 tab – Methioson tab 3x1 Tindakan medis: – Pemasangan WSD – Suction WSD – Pleurodesis – Aff WSD
PROGNOSIS
– Functionam
: dubia ad bonam
– Vitam
: dubia ad bonam
FOLLOW UP Pera watan Hari I Tgl 9/3/10
S
O
Sesak nafas CM sejak 4 hari yg TD: 120/70 mmHg lalu. Nyeri N: 80x/’ pada dada kiri, RR: 28x/’ batuk T: 34,10C berdahak (+), Anemis +/+ Rh +/+ demam (+) Lab: Hb = 8,5 Ht = 27.7 % Leuko = 700 Trombo = 367.000
A
Pneumothorax (S) + post WSD hari I e.c susp TB paru
P
IVFD RL : D5% 2:1 20 tpm - Neurobion drip 1 amp/hr - Ranitidin inj 2x1 amp - Salbutamol tab 3x2 mg - DMP syrup 3xC1 - Cefotaxim inj 3x1gr IV - Rimstar 1x3 tab - Methioson tab 3x1 - Transfusi PRC 2 kolf/hr -
12
Hari II Tgl 10/3/10
Sesak (+) jika CM menarik nafas, TD: 100/60 mmHg nyeri pada N: 100x/’ tempat WSD, RR: 28x/’ batuk T: 39,00C berdahak (+) Anemis -/- Rh +/+
Pneumothorax (S) + post WSD hari II e.c TB paru
-
Hari III Tgl 11/3/10
Hari IV Tgl 12/3/10
Sesak (+) CM menurun,nyeri TD: 110/70 mmHg pada WSD N: 92x/’ berkurang, RR: 32x/’ batuk T: 38,10C berdahak (+), Hb = 8,6 demam turun, Ht = 27,9 % Leuko = 4.100 Trombo = 240.000 Ab HIV (-) negatif Sesak (+) CM menurun,nyeri TD: 90/60 mmHg pada WSD N: 80x/’ berkurang, RR: 32x/’ batuk T: 35,00C berdahak (+), demam (-)
Pneumothorax (S) + post WSD hari III e.c TB paru
-
Pneumothorax (S) + post WSD hari IV e.c TB paru
-
Hari V Tgl 13/3/10
Sesak (+) CM menurun,nyeri TD: 90/60 mmHg pada WSD N: 80x/’ berkurang, RR: 20x/’ batuk T: 36,30C berdahak (+), Sputum SPS demam (-) I =+1 II = + 1 III = + 1
Pneumothorax (S) + post WSD hari V e.c TB paru BTA positif
-
IVFD RL : D5% 2:1 20 tpm Neurobion drip 1 amp/hr Ranitidin inj 2x1 amp Salbutamol tab 3x2 mg DMP syrup 3xC1 Cefotaxim inj 3x1gr IV Rimstar 1x3 tab Methioson tab 3x1 Asam mefenamat tab 3x1 IVFD RL : D5% 2:1 20 tpm Neurobion drip 1 amp/hr Ranitidin inj 2x1 amp Salbutamol tab 3x2 mg DMP syrup 3xC1 Cefotaxim inj 3x1gr IV Rimstar 1x3 tab Methioson tab 3x1 Asam mefenamat tab 3x1 IVFD RL : D5% 2:1 20 tpm Neurobion drip 1 amp/hr Ranitidin inj 2x1 amp Salbutamol tab 3x2 mg DMP syrup 3xC1 Cefotaxim inj 3x1gr IV Rimstar 1x3 tab Methioson tab 3x1 Asam mefenamat tab 3x1 Aff DC Suction WSD 12 jam IVFD RL : D5% 2:1 20 tpm Neurobion drip 1 amp/hr Ranitidin inj 2x1 amp Salbutamol tab 3x2 mg DMP syrup 3xC1 Cefotaxim inj 3x1gr IV Rimstar 1x3 tab Methioson tab 3x1 Asam mefenamat tab 3x1 Transfusi PRC 1 kolf
13
Hari VI Tgl 14/3/10
Sesak (+) CM menurun, nyeri TD: 100/70 mmHg pada WSD N: 80x/’ berkurang, RR: 28x/’ batuk T: 36,10C berdahak (+)
Pneumothorax (S) + post WSD hari VI e.c TB paru BTA positif
-
Hari VII Sesak (+) Tgl menurun, 15/3/10 batuk berdahak (+), nyeri pada WSD (-)
Hari VIII Tgl 16/3/10
CM TD: 100/70 mmHg N: 80x/’ RR: 28x/’ T: 36,50C
Hb = 12,1 Ht = 36,7 % Leuko = 6.400 Trombo = 365.000 Sesak (+) CM menurun, TD: 100/70 mmHg batuk N: 88x/’ berdahak (+) < RR: 28x/’ , nyeri pada T: 36,50C WSD (-)
Pneumothorax (S) + post WSD hari VII e.c TB paru BTA positif
-
Pneumothorax (S) + post WSD hari VIII e.c TB paru BTA positif
-
Hari IX Tgl 17/3/10
Sesak (+), CM batuk TD: 100/70 mmHg berdahak (+) < N: 88x/’ , nyeri pada RR: 28x/’ WSD (-), nyeri T: 36,50C dada (+)
Pneumothorax (S) + post WSD hari IX e.c TB paru BTA positif
-
IVFD RL : D5% 2:1 20 tpm Neurobion drip 1 amp/hr Ranitidin inj 2x1 amp Salbutamol tab 3x2 mg DMP syrup 3xC1 Cefotaxim inj 3x1gr IV Rimstar 1x3 tab Methioson tab 3x1 Asam mefenamat tab 3x1 IVFD RL : D5% 2:1 20 tpm Neurobion drip 1 amp/hr Ranitidin inj 2x1 amp Salbutamol tab 3x2 mg DMP syrup 3xC1 Cefotaxim inj 3x1gr IV Rimstar 1x3 tab Methioson tab 3x1 Asam mefenamat tab 3x1 IVFD RL : D5% 2:1 20 tpm Neurobion drip 1 amp/hr Ranitidin inj 2x1 amp Salbutamol tab 3x2 mg DMP syrup 3xC1 Cefotaxim inj 3x1gr IV Rimstar 1x3 tab Methioson tab 3x1 Asam mefenamat tab 3x1 IVFD RL : D5% 2:1 20 tpm Neurobion drip 1 amp/hr Ranitidin inj 2x1 amp Salbutamol tab 3x2 mg DMP syrup 3xC1 Cefotaxim inj 3x1gr IV Rimstar 1x3 tab Methioson tab 3x1 Dilakukan Pleurodesis
14
Hari X Tgl 18/3/10
Sesak (+), CM batuk TD: 110/70 mmHg berdahak (+) N: 88x/’ berkurang, RR: 28x/’ nyeri pada T: 34,60C bekas WSD post pleurodesis (-), nyeri dada (+)
TB paru BTA positif + Pneumothorax (S) post Pleurodesis hr I
-
Hari XI Tgl 19/3/10
Sesak (+) CM berkurang, TD: 100/60 mmHg batuk N: 80x/’ berdahak (+), RR: 24x/’ nyeri pada T: 37,10C WSD (-), nyeri dada (+)
TB paru BTA positif + Pneumothorax (S) post Pleurodesis hr II
-
IVFD RL : D5% 2:1 20 tpm Neurobion drip 1 amp/hr Ranitidin inj 2x1 amp Salbutamol tab 3x2 mg DMP syrup 3xC1 Cefotaxim inj 3x1gr IV Methioson tab 3x1 INH 300 mg Rifampisin 450 mg Etambutol 750 mg Pirazinamid 1000 mg Vit. B6 10 mg Coamoxyclav tab 3x1 IVFD RL : D5% 2:1 20 tpm Neurobion drip 1 amp/hr Ranitidin inj 2x1 amp Salbutamol tab 3x2 mg DMP syrup 3xC1 Methioson tab 3x1 INH 300 mg Rifampisin 450 mg Etambutol 750 mg Pirazinamid 1000 mg Vit. B6 10 mg Coamoxyclav tab 3x1
15
BAB III TINJAUAN PUSTAKA
TUBERKULOSIS PARU A. Definisi
Tuberkulosis adalah suatu infeksi bakteri kronik yang disebabkan oleh Mycobacterium tuberkulosis, sejenis kuman berbentuk batang dengan ukuran panjang 1-4/Um dan tebal 0,3-0,6/Um. Dan ditandai adanya pembentukan granuloma pada jaringan yang terinfeksi akibat reaksi hipersensitifitas yang diperantai oleh sel.1 Umumnya Mycobacterium tuberculosis menyerang paru dan sebagian kecil organ tubuh lain. Kuman ini mempunyai sifat khusus, yakni tahan terhadap asam pada pewarnaan, hal ini dipakai untuk identifikasi dahak secara mikroskopis. Sehingga disebut sebagai Basil Tahan Asam (BTA). Mycobacterium tuberculosis cepat mati dengan matahari langsung, tetapi dapat bertahan hidup pada tempat yang gelap dan lembab. Dalam jaringan tubuh, kuman dapat dormant (tertidur sampai beberapa tahun). TB timbul berdasarkan kemampuannya untuk memperbanyak diri di dalam sel-sel fagosit.
1
B. Patogenesis
1. Tuberkulosis Primer Kuman tuberkulosis yang masuk melalui saluran napas akan bersarang di jaringan paru sehingga akan terbentuk suatu sarang pneumonik, yang disebut sarang primer atau afek primer. Sarang primer ini mungkin timbul di bagian mana saja dalam paru, berbeda dengan sarang reaktivasi. Dari sarang primer akan kelihatan peradangan saluran getah bening menuju hilus (limfangitis lokal). Peradangan tersebut diikuti oleh pembesaran kelenjar getah bening di hilus (limfadenitis regional). Afek primer bersama-sama dengan limfangitis regional dikenal sebagai kompleks primer. Kompleks primer ini akan mengalami salah satu nasib sebagai berikut :
16
a. Sembuh dengan tidak meninggalkan cacat sama sekali (restitution ad integrum) b. Sembuh dengan meninggalkan sedikit bekas (antara lain sarang Ghon, garis fibrotik, sarang perkapuran di hilus) c. Menyebar dengan cara : 1) Perkontinuitatum, menyebar ke sekitarnya. Salah satu contoh adalah epituberkulosis, yaitu suatu kejadian penekanan bronkus, biasanya bronkus lobus medius oleh kelenjar hilus yang membesar sehingga menimbulkan obstruksi pada saluran napas bersangkutan, dengan akibat atelektasis. Kuman tuberkulosis akan menjalar sepanjang bronkus yang tersumbat ini ke lobus yang atelektasis dan menimbulkan peradangan pada lobus yang atelektasis tersebut, yang dikenal sebagai epituberkulosis. 2) Penyebaran secara bronkogen, baik di paru bersangkutan maupun ke paru sebelahnya atau tertelan Penyebaran secara hematogen dan limfogen. Penyebaran ini berkaitan dengan daya tahan tubuh, jumlah dan virulensi kuman. Sarang yang ditimbulkan dapat sembuh secara spontan, akan tetetapi bila tidak terdapat imuniti yang adekuat, penyebaran ini akan menimbulkan keadaan cukup gawat
seperti
tuberkulosis
milier,
meningitis
tuberkulosa,
typhobacillosis Landouzy. Penyebaran ini juga dapat menimbulkan tuberkulosis pada alat tubuh lainnya, misalnya tulang, ginjal, anak ginjal, genitalia dan sebagainya. Komplikasi dan penyebaran ini mungkin berakhir dengan : – Sembuh dengan meninggalkan sekuele (misalnya pertumbuhan terbelakang pada anak setelah mendapat ensefalomeningitis, tuberkuloma ) atau – Meninggal.
Semua
kejadian
diatas
adalah
perjalanan
tuberkulosis primer.
17
Gambar 1. Lesi primer pada infeksi TB paru dan potensi penyebarannya.
2. Tuberkulosis Pasca-Primer Dari tuberkulosis primer ini akan muncul bertahun-tahun kemudian tuberkulosis post-primer, biasanya pada usia 15-40 tahun. Tuberkulosis post primer mempunyai nama yang bermacam macam yaitu tuberkulosis bentuk dewasa, localized tuberkulosis, tuberkulosis menahun, dan sebagainya. Bentuk tuberkulosis inilah yang terutama menjadi problem kesehatan rakyat, karena dapat menjadi sumber penularan. Tuberkulosis post-primer dimulai dengan sarang dini, yang umumnya terletak di segmen apikal dari lobus superior maupun lobus inferior. Sarang dini ini awalnya berbentuk suatu sarang pneumonik kecil. Nasib sarang pneumonik ini akan mengikuti salah satu jalan sebagai berikut: 1. Diresobsi kembali, dan sembuh kembali dengan tidak meninggalkan cacat. 2. Sarang tadi mula mula meluas, tetapi segera terjadi proses penyembuhan dengan penyebukan jaringan fibrosis. Selanjutnya akan membungkus diri menjadi lebih keras, terjadi perkapuran, dan akan sembuh dalam bentuk perkapuran. Sebaliknya dapat juga sarang tersebut menjadi aktif kembali, membentuk jaringan keju dan menimbulkan kaviti bila jaringan keju dibatukkan keluar. 3. Sarang pneumonik meluas, membentuk jaringan keju (jaringan kaseosa). Kaviti akan muncul dengan dibatukkannya jaringan keju keluar. Kaviti awalnya berdinding tipis, kemudian dindingnya akan menjadi tebal (kaviti sklerotik). 1, 3
18
Kaviti bisa kemungkinan meluas kembali dan menimbulkan sarang pneumonik baru. Sarang pneumonik ini akan mengikuti pola perjalanan seperti yang
disebutkan
diatas.
Dapat
pula
memadat
dan
membungkus
diri
(encapsulated ), dan disebut tuberkuloma. Tuberkuloma dapat mengapur dan menyembuh, tetapi mungkin pula aktif kembali, mencair lagi dan menjadi kaviti lagi. Kaviti bisa pula menjadi bersih dan menyembuh yang disebut open healed cavity, atau kaviti menyembuh dengan membungkus diri, akhirnya mengecil. Kemungkinan berakhir sebagai kaviti yang terbungkus, dan menciut sehingga kelihatan seperti bintang ( stellate shaped ).1, 3
Gambar 2. Skema perkembangan sarang tuberkulosis post primer dan perjalanan penyembuhannya.1 C. Klasifikasi
Sampai sekarang belum ada kesepakatan diantara para klinikus, ahli radiologi, ahli patologi, mikrobiologi, dan ahli kesehatan masyarakat tentang keseragaman klasifikasi tuberkulosis. Dari sistem lama diketahui beberapa klasifikasi seperti berikut:3 1. Tuberkulosis Paru
Tuberkulosis paru adalah tuberkulosis yang menyerang jaringan paru, tidak termasuk pleura.
19
a. Berdasarkan hasil pemeriksaan dahak (BTA)
1
TB paru dibagi atas: 1) Tuberkulosis paru BTA (+) adalah: -
Sekurang-kurangnya 2 dari 3 spesimen dahak menunjukkan hasil BTA positif
-
Hasil pemeriksaan satu spesimen dahak menunjukkan BTA positif dan kelainan radiologik menunjukkan gambaran tuberkulosis aktif
-
Hasil pemeriksaan satu spesimen dahak menunjukkan BTA positif dan biakan positif
2) Tuberkulosis paru BTA (-) -
Hasil pemeriksaan dahak 3 kali menunjukkan BTA negatif, gambaran klinik dan kelainan radiologic menunjukkan tuberkulosis aktif
-
Hasil pemeriksaan dahak 3 kali menunjukkan BTA negatif dan biakan M. tuberkulosis positif
b. Berdasarkan Tipe Pasien
1
Tipe pasien ditentukan berdasarkan riwayat pengobatan sebelumnya. Ada beberapa tipe pasien yaitu : 1) Kasus baru Adalah pasien yang belum pernah mendapat pengobatan dengan OAT atau sudah pernah menelan OAT kurang dari satu bulan. 2) Kasus kambuh (relaps) Adalah pasien tuberkulosis yang sebelumnya pernah mendapat pengobatan tuberkulosis dan telah dinyatakan sembuh atau pengobatan lengkap, kemudian kembali lagi berobat dengan hasil pemeriksaan dahak BTA positif atau biakan positif. Bila BTA negatif atau biakan negatif tetapi gambaran radiologik dicurigai lesi aktif / perburukan dan terdapat gejala klinis maka harus dipikirkan beberapa kemungkinan : -
Infeksi non TB (pneumonia, bronkiektasis dll) Dalam hal ini berikan dahulu antibiotik selama 2 minggu,kemudian dievaluasi.
-
Infeksi jamur
20
-
TB paru kambuh. Bila meragukan harap konsul ke ahlinya.
3) Kasus defaulted atau drop out Adalah pasien yang tidak mengambil obat 2 bulan berturut-turut atau lebih sebelum masa pengobatannya selesai. 4) Kasus gagal a. Adalah pasien BTA positif yang masih tetap positif atau kembali menjadi positif pada akhir bulan ke-5 (satu bulan sebelum akhir pengobatan) b. Adalah pasien dengan hasil BTA negatif gambaran radiologik positif menjadi BTA positif pada akhir bulan ke-2 pengobatan 5) Kasus kronik / persisten Adalah pasien dengan hasil pemeriksaan BTA masih positif setelah selesai pengobatan ulang kategori 2 dengan pengawasan yang baik 6) Kasus pindahan (transfer in) Adalah pasien yang sedang mendapatkan pengobatan di suatu kabupaten dan kemudian pindah berobat ke kabupaten lain. Pasien pindahan tersebut harus membawa surat rujukan / pindah. 7) Kasus Bekas TB -
Hasil pemeriksaan BTA negatif (biakan juga negatif bila ada ) dan gambaran radiologik paru menunjukkan lesi TB yang tidak aktif, atau foto serial menunjukkan gambaran yang menetap. Riwayat pengobatan OAT adekuatakan lebih mendukung
-
Pada kasus dengan gambaran radiologik meragukan dan telah mendapat pengobatan OAT 2 bulan serta pada foto toraks ulang tidak ada perubahan gambaran radiologi. 1
2. Tuberkulosis Ekstra Paru
Tuberkulosis ekstra paru adalah tuberkulosis yang menyerang organ tubuh lain selain paru, misalnya pleura, kelenjar getah bening, selaput otak, perikard, tulang, persendian, kulit, usus, ginjal, saluran kencing, alat kelamin dan lain-lain. Diagnosis sebaiknya didasarkan atas kultur positif atau patologi anatomi. Untuk
21
kasus-kasus yang tidak dapat dilakukan pengambilan spesimen maka diperlukan bukti klinis yang kuat dan konsisten dengan TB ekstra paru aktif. 1
Gambar 3. Penyebaran bakteri Mycobacterium tuberculosis dalam tubuh penderita.
D. Gejala Klinik
Gejala klinik tuberkulosis dapat dibagi menjadi 2 golongan, yaitu gejala lokal dan gejala sistemik, bila organ yang terkena adalah paru maka gejala lokal ialah gejala respiratorik (gejala lokal sesuai organ yang terlibat) 1. Gejala respiratorik -
batuk > 2 minggu
-
batuk darah
-
sesak napas
-
nyeri dada
Gejala respiratorik ini sangat bervariasi, dari mulai tidak ada gejala sampai gejala yang cukup berat tergantung dari luas lesi. Kadang pasien terdiagnosis pada saat medical check up. Bila bronkus belum terlibat dalam proses penyakit, maka pasien mungkin tidak ada gejala batuk. Batuk yang
22
pertama terjadi karena iritasi bronkus, dan selanjutnya batuk diperlukan untuk membuang dahak ke luar. 1, 3, 4 2. Gejala sistemik -
Demam
-
Gejala sistemik lain: malaise, keringat malam, anoreksia, berat badan menurun
3. Gejala tuberkulosis ekstra paru Gejala tuberkulosis ekstra paru tergantung dari organ yang terlibat, misalnya pada limfadenitis tuberkulosa akan terjadi pembesaran yang lambat dan tidak nyeri dari kelenjar getah bening, pada meningitis tuberkulosa akan terlihat gejala meningitis, sementara pada pleuritis tuberkulosa terdapat gejala sesak napas dan kadang nyeri dada pada sisi yang rongga pleuranya terdapat cairan. 1
E. Pemeriksaan Fisik
Pemeriksaan pertama terhadap keadaan umum pasien mungkin ditemukan konjungtiva mata atau kulit yang pucat kerena anemia, demam (sub febris), badan kurus, dan berat badan menurun.
3
Pada pemeriksaan fisik pasien sering tidak menunjukkan suatu kelainan pun terutama pada kasus-kasus dini atau yang sudah terinfiltrasi secara asimptomatik. Demikian juga bila sarang penyakit terletak di dalam, akan sulit menemukan kelainan pada pemeriksan fisik, karena hantaran getaran/suara yang lebih dari 4 cm ke dalam paru sulit dinilai secara palpasi, perkusi dan auskultasi. Secara anamsesis dan pemeriksaan fisik, TB paru sulit dibedakan dengan pneumonia biasa.3 Pada pemeriksaan fisik kelainan yang akan dijumpai tergantung dari organ yang terlibat. Pada tuberkulosis paru, kelainan yang didapat tergantung luas kelainan struktur paru. Pada permulaan (awal) perkembangan penyakit umumnya tidak (atau sulit sekali) menemukan kelainan. Kelainan paru pada umumnya terletak di daerah lobus superior terutama daerah apeks dan segmen posterior (S1 & S2), serta daerah apeks lobus inferior (S6). Bila dicurigai adanya infiltrat agak
23
luas mungkin ditemukan perkusi yang redup dan auskultasi suara bronkhial dan suara tambahan ronkhi basah kasar yang nyaring. Namun bila infiltrat diliputi penebalan pleura, suara tambahan menjadi vesikular melemah. Bila terdapat kavitas yang cukup besar, pada perkusi akan diperoleh hasil hipersonor atau timpani dan suara auskultasi amforik.1, 5 Pada pleuritis tuberkulosa, kelainan pemeriksaan fisik tergantung dari banyaknya cairan di rongga pleura. Pada perkusi ditemukan pekak, pada auskultasi suara napas yang melemah sampai tidak terdengar pada sisi yang terdapat cairan. Pada limfadenitis tuberkulosa, terlihat pembesaran kelenjar getah bening, tersering di daerah leher (pikirkan kemungkinan metastasis tumor), kadang-kadang di daerah ketiak. Pembesaran kelenjar tersebut dapat menjadi “cold abscess”.1
Gambar 4. Apeks lobus superior dan apeks lobus inferior.
1
F. Pemeriksaan Penunjang 1. Laboratorium
Pemeriksaan sputum adalah penting karena dengan ditemukaannya BTA, diagnosis sudah dapat ditegakkan. Disamping itu pemeriksaan sputum juga dapat memberikan evaluasi terhadap pengobatan yang sudah diberikan. Jika sputum susah didapatkan, terutama pasien yang tidak batuk atau batuk tidak produktif, maka dianjurkan satu hari sebelum pemeriksaan sputum, pasien dianjurkan
24
minum air sebanyak ± 2 liter dan diajarkan melakukan reflex batuk. Dapat juga dengan memberikan tambahan obat-obatan mukolitik ekspektoran atau dengan inhalasi larutan garam hipertonik selama 20-30 menit. Bila masih sulit, sputum dapat diperoleh dengan cara bronkoskopi diambil dengan brushing atau bronchial washing atau BAL (broncho alveolar lavage). BTA dari sputum bias juga didapat dengan cara bilasan lambung. Hal ini sering dikerjakan pada anak-anak karena mereka sulit mengeluarkan dahaknya.3 Cara pengambilan dahak 3 kali (SPS): -
Sewaktu / spot (dahak sewaktu saat kunjungan)
-
Pagi ( keesokan harinya )
-
Sewaktu / spot ( pada saat mengantarkan dahak pagi) atau setiap pagi 3
hari berturut-turut. 1, 4 Pemeriksaan mikroskopik: -
Mikroskopik biasa : pewarnaan Ziehl-Nielsen
-
Mikroskopik fluoresens: pewarnaan auramin-rhodamin (khususnya untuk screening ). 1
lnterpretasi hasil pemeriksaan dahak dari 3 kali pemeriksaan ialah bila : -
3 kali positif atau 2 kali positif, 1 kali negatif ® BTA positif
-
1 kali positif, 2 kali negatif ® ulang BTA 3 kali kecuali bila ada fasilitas foto toraks , kemudian
-
bila 1 kali positif, 2 kali negatif ® BTA positif
-
bila 3 kali negatif ® BTA negatif. 1
Interpretasi pemeriksaan mikroskopik dibaca dengan skala IUATLD (rekomendasi WHO). Skala IUATLD ( International Union Against Tuberkulosis and Lung Disease)1 : -
Tidak ditemukan BTA dalam 100 lapang pandang, disebut negatif
-
Ditemukan 1-9 BTA dalam 100 lapang pandang, ditulis jumlah kuman yang ditemukan
-
Ditemukan 10-99 BTA dalam 100 lapang pandang disebut + (1+)
-
Ditemukan 1-10 BTA dalam 1 lapang pandang, disebut ++ (2+)
-
Ditemukan >10 BTA dalam 1 lapang pandang, disebut +++ (3+)
25
Gambar 5. Alur diagnosa TB paru.
4
2. Radiologi
Pemeriksaan standar ialah foto toraks PA. Pemeriksaan lain atas indikasi: foto lateral, top-lordotik, oblik, CT-Scan. Pada pemeriksaan foto toraks, tuberkulosis dapat memberi gambaran bermacam-macam bentuk (multiform).1 Lokasi lesi tuberkulosis umumnya di daerah apeks paru (segmen apical lobus atas atau segmen apical lobus bawah (bagian inferior) atau di daerah hilus menyerupai tumor paru (misalnya pada tuberkulosis endobronkial). 3 Pada awal penyakit saat lesi masih merupakan sarang-sarang pneumoni, gambaran radiologis berupa bercak-bercak seperti awan dan dengan batas-batas
26
yang tidak tegas. Bila lesi sudah diliputi jaringan ikat, maka bayangan terlihat berupa bulatan dengan batas yang tegas. Lesi ini dikenal sebagai tuberkuloma. 3, 5 Pada kavitas bayangan berupa cincin yang mula-mula berdinding tipis. Lama-lama dinding menjadi sklerotik dan terlihat menebal. Bila terjadi fibrosis terlihat bayangan yang bergaris-garis. Pada kalsifikasi bayangannya tampak sebagai bercak-bercak padat dengan densitas tinggi. Gambaran tuberkulosis milier terlihat berupa bercak-bercak halus yang menyebar rata selur uh lapangan paru.3, 5 Gambaran radiologis lain yang sering menyertai tuberkulosis paru adalah penebalan pleura (pleuritis), massa cairan di bagian bawah paru (efusi pleura/empiema),
bayangan
hitam
radiolusen
di
pinggir
paru/pleura
(pneumotoraks). Gambaran radiologik yang dicurigai sebagai lesi TB aktif -
1, 6, 7
:
Bayangan berawan / nodular di segmen apikal dan posterior lobus atas paru dan segmen superior lobus bawah
-
Kaviti, terutama lebih dari satu, dikelilingi oleh bayangan opak berawan atau nodular
-
Bayangan bercak milier
-
Efusi pleura unilateral (umumnya) atau bilateral (jarang)
Gambaran radiologik yang dicurigai lesi TB inaktif. 1 -
Fibrotik
-
Kalsifikasi
-
Schwarte atau penebalan pleura
Luluh paru (destroyed Lung ) 1 : -
Gambaran radiologik yang menunjukkan kerusakan jaringan paru yang berat, biasanya secara klinis disebut luluh paru. Gambaran radiologik luluh paru terdiri dari atelektasis, ektasis/ multikaviti dan fibrosis parenkim paru. Sulit untuk menilai aktiviti lesi atau penyakit hanya berdasarkan gambaran radiologik tersebut.
-
Perlu dilakukan pemeriksaan bakteriologik untuk memastikan aktivitas proses penyakit
27
Luas lesi yang tampak pada foto toraks untuk kepentingan pengobatan dapat dinyatakan sbb (terutama pada kasus BTA negatif) -
1, 7
:
Lesi minimal , bila proses mengenai sebagian dari satu atau dua paru dengan luas tidak lebih dari sela iga 2 depan (volume paru yang terletak di atas chondrostemal junction dari iga kedua depan dan prosesus spinosus dari vertebra torakalis 4 atau korpus vertebra torakalis 5), serta tidak dijumpai kaviti
-
Lesi luas, Bila proses lebih luas dari lesi minimal.
3. Pemeriksaan Khusus
1
Salah satu masalah dalam mendiagnosis pasti tuberkulosis adalah lamanya waktu
yang
dibutuhkan
untuk
pembiakan
kuman
tuberkulosis
secara
konvensional. Dalam perkembangan kini ada beberapa teknik yang lebih baru yang dapat mengidentifikasi kuman tuberkulosis secara lebih cepat. a. Pemeriksaan BACTEC Dasar teknik pemeriksaan biakan dengan BACTEC ini adalah metode radiometrik. M tuberculosis memetabolisme asam lemak yang kemudian menghasilkan CO2 yang akan dideteksi growth indexnya oleh mesin ini. Sistem ini dapat menjadi salah satu alternatif pemeriksaan biakan secara cepat untuk membantu menegakkan diagnosis dan melakukan uji kepekaan.1 b. Polymerase chain reaction (PCR): Pemeriksaan PCR adalah teknologi canggih yang dapat mendeteksi DNA, termasuk DNA M.tuberculosis. Salah satu masalah dalam pelaksanaan teknik ini adalah kemungkinan kontaminasi. Cara pemeriksaan ini telah cukup banyak dipakai, kendati masih memerlukan ketelitian dalam pelaksanaannya.
Hasil
pemeriksaan
PCR
dapat
membantu
untuk
menegakkan diagnosis sepanjang pemeriksaan tersebut dikerjakan dengan cara yang benar dan sesuai standar internasional. Apabila hasil pemeriksaan PCR positif sedangkan data lain tidak ada yang menunjang kearah diagnosis TB, maka hasil tersebut tidak dapat dipakai sebagai
28
pegangan untuk diagnosis TB Pada pemeriksaan deteksi M.tb tersebut diatas, bahan / spesimen pemeriksaan dapat berasal dari paru maupun ekstra paru sesuai dengan organ yang terlibat. 1 c. Pemeriksaan serologi, dengan berbagai metoda a.l 1: 1) Enzym linked immunosorbent assay (ELISA) Teknik ini merupakan salah satu uji serologi yang dapat mendeteksi respon humoral berupa proses antigenantibodi yang terjadi. Beberapa masalah dalam teknik ini antara lain adalah kemungkinan antibodi menetap dalam waktu yang cukup lama. 2) ICT Uji Immunochromatographic tuberculosis (ICT tuberculosis) adalah uji serologik untuk mendeteksi antibodi M. tuberculosis dalam serum. Uji ICT merupakan uji diagnostik TB yang menggunakan 5 antigen spesifik yang berasal dari membran sitoplasma M.tuberculosis, diantaranya antigen M.tb 38 kDa. Ke 5 antigen tersebut diendapkan dalam bentuk 4 garis melintang pada membran immunokromatografik (2 antigen diantaranya digabung dalam 1 garis) disamping garis kontrol. Serum yang akan diperiksa sebanyak 30 ml diteteskan ke bantalan warna biru, kemudian serum akan berdifusi melewati garis antigen.
Apabila
serum
mengandung
antibody
IgG
terhadap
M.tuberculosis, maka antibodi akan berikatan dengan antigen dan membentuk garis warna merah muda. Uji dinyatakan positif bila setelah 15 menit terbentuk garis kontrol dan minimal satu dari empat garis antigen pada membran. 3) Mycodot Uji ini mendeteksi antibodi antimikobakterial di dalam tubuh manusia. Uji ini menggunakan antigen
lipoarabinomannan (LAM) yang
direkatkan pada suatu alat yang berbentuk sisir plastik. Sisir plastik ini kemudian dicelupkan ke dalam serum pasien, dan bila di dalam serum tersebut terdapat antibodi spesifik anti LAM dalam jumlah yang
29
memadai sesuai dengan aktiviti penyakit, maka akan timbul perubahan warna pada sisir dan dapat dideteksi dengan mudah 4) Uji peroksidase anti peroksidase (PAP) Uji ini merupakan salah satu jenis uji yang mendeteksi reaksi serologi yang terjadi dalam menginterpretasi hasil pemeriksaan serologi yang diperoleh, para klinisi harus hati hati karena banyak variabel yang mempengaruhi kadar antibodi yang terdeteksi.
4. Pemeriksaan lain
a. Analisis Cairan Pleura Pemeriksaan analisis cairan pleura & uji Rivalta cairan pleura perlu dilakukan pada pasien efusi pleura untuk membantu menegakkan diagnosis.
Interpretasi
hasil
analisis
yang
mendukung
diagnosis
tuberkulosis adalah uji Rivalta positif dan kesan cairan eksudat, serta pada analisis cairan pleura terdapat sel limfosit dominan dan glukosa rendah.1 b. Pemeriksaan histopatologi jaringan Pemeriksaan histopatologi dilakukan untuk membantu menegakkan diagnosis TB. Pemeriksaan yang dilakukan ialah pemeriksaan histologi. Bahan jaringan dapat diperoleh melalui biopsi atau otopsi, yaitu :
Biopsi aspirasi dengan jarum halus (BJH) kelenjar getah bening (KGB)
Biopsi pleura (melalui torakoskopi atau dengan jarum abram, Cope dan Veen Silverman)
Biopsi jaringan paru (trans bronchial lung biopsy/TBLB) dengan bronkoskopi, trans thoracal biopsy/TTB, biopsy paru terbuka).
Otopsi
Pada pemeriksaan biopsi sebaiknya diambil 2 sediaan, satu sediaan dimasukkan ke dalam larutan salin dan dikirim ke laboratorium mikrobiologi untuk dikultur serta sediaan yang kedua difiksasi untuk pemeriksaan histologi. 1, 7
30
c. Pemeriksaan darah Hasil pemeriksaan darah rutin kurang menunjukkan indikator yang spesifik untuk tuberkulosis. Laju endap darah (LED) jam pertama dan kedua dapat digunakan sebagai indikator penyembuhan pasien. LED sering meningkat pada proses aktif, tetapi laju endap darah yang normal tidak menyingkirkan tuberkulosis. Limfositpun kurang spesifik. 1, 3 d. Uji tuberculin1, 3, 6, 7 Uji tuberkulin yang positif menunjukkan adanya infeksi tuberkulosis. Di Indonesia dengan prevalensi tuberculosis yang tinggi, uji tuberkulin sebagai alat bantu diagnostik penyakit kurang berarti pada orang dewasa. Uji ini akan mempunyai makna bila didapatkan konversi, bula atau apabila kepositifan dari uji yang didapat besar sekali. Pada malnutrisi dan infeksi HIV uji tuberkulin dapat memberikan hasil negatif.
G. Penatalaksanaan
Sesuai dengan sifat kuman TB, untuk memperoleh efektifitas pengobatan, maka prinsip-prinsip yang dipakai adalah 6: -
Menghindari penggunaan monoterapi. Obat Anti Tuberkulosis (OAT) diberikan dalam bentuk kombinasi dari beberapa jenis obat, dalam jumlah cukup dan dosis tepat sesuai dengan kategori pengobatan. Hal ini untuk mencegah timbulnya kekebalan terhadap OAT.
-
Untuk menjamin kepatuhan penderita dalam menelan obat, pengobatan dilakukan dengan pengawasan langsung (DOT = Directly Observed Treatment ) oleh seorang Pengawas Menelan Obat (PMO).
-
Pengobatan TB diberikan dalam 2 tahap, yaitu tahap intensif dan lanjutan. 4, 6
Tahap Intensif
1. Pada tahap intensif (awal) penderita mendapat obat setiap hari dan perlu diawasi secara langsung untuk mencegah terjadinya kekebalan obat. 2. Bila pengobatan tahap intensif tersebut diberikan secara tepat, biasanya penderita menular menjadi tidak menular dalam kurun waktu 2 minggu.
31
3. Sebagian besar penderita TB BTA positif menjadi BTA negatif (konversi) dalam 2 bulan. Tahap Lanjutan
4, 6
1. Pada tahap lanjutan penderita mendapat jenis obat lebih sedikit, namun dalam jangka waktu yang lebih lama 2. Tahap lanjutan penting untuk membunuh kuman persister (dormant) sehingga mencegah terjadinya kekambuhan
Penggunaan Obat Anti TB yang dipakai dalam pengobatan TB adalah antibotik dan anti infeksi sintetis untuk membunuh kuman Mycobacterium. Aktifitas obat TB didasarkan atas tiga mekanisme, yaitu aktifitas membunuh bakteri, aktifitas sterilisasi, dan mencegah resistensi. Obat yang umum dipakai adalah Isoniazid, Etambutol, Rifampisin, Pirazinamid, dan Streptomisin. Kelompok obat ini disebut sebagai obat primer. Isoniazid adalah obat TB yang paling poten dalam hal membunuh bakteri dibandingkan dengan rifampisin dan streptomisin. Rifampisin dan pirazinamid paling poten dalam mekanisme sterilisasi. 6 Sedangkan obat lain yang juga pernah dipakai adalah Natrium Para Amino Salisilat, Kapreomisin, Sikloserin, Etionamid, Kanamisin, Rifapentin dan Rifabutin. Natrium Para Amino Salisilat, Kapreomisin, Sikloserin, Etionamid, dan Kanamisin umumnya mempunyai efek yang lebih toksik, kurang efektif, dan dipakai jika obat primer sudah resisten. Sedangkan Rifapentin dan Rifabutin digunakan sebagai alternatif untuk Rifamisin dalam pengobatan kombinasi anti TB.6 Rejimen pengobatan TB mempunyai kode standar yang menunjukkan tahap dan lama pengobatan, jenis OAT, cara pemberian (harian atau selang) dan kombinasi
OAT
dengan
dosis
tetap.
Contoh
:
2HRZE/4H3R3
atau
2HRZES/5HRE. Kode huruf tersebut adalah akronim dari nama obat yang dipakai, yakni 6: H = Isoniazid R = Rifampisin
32
Z = Pirazinamid E = Etambutol S = Streptomisin Sedangkan angka yang ada dalam kode menunjukkan waktu atau frekwensi. Angka 2 didepan seperti pada “2HRZE”, artinya digunakan selama 2 bulan, tiap 26 hari satu kombinasi tersebut, sedangkan untuk angka dibelakang huruf, seperti pada “4H3R3” artinya dipakai 3 kali seminggu ( selama 4 bulan). Kemasan obat dalam bentuk :
Obat tunggal, Obat
disajikan
secara
terpisah,
masing-masing
INH,
Rifampisin,
Pirazinamid dan Etambutol.
Obat kombinasi dosis tetap ( Fixed Dose Combination – FDC) Kombinasi dosis tetap ini terdiri dari 3 atau 4 obat dalam satu tablet
Tabel 1. Paduan pengobatan standar yang direkomendasikan oleh WHO dan IUATLD (International Union Against Tuberculosis and Lung Disease) 6: Kategori 1
• 2HRZE/4H3R3 • 2HRZE/4HR • 2HRZE/6HE
Kategori 2
• 2HRZES/HRZE/5H3R 3E3 • 2HRZES/HRZE/5HRE
Kategori 3
• 2HRZ/4H3R3 • 2HRZ/4HR • 2HRZ/6HE
1. Kategori-1 (2HRZE/4H3R3)
4, 6
Tahap intensif terdiri dari HRZE diberikan setiap hari selama 2 bulan. Kemudian diteruskan dengan tahap lanjutan yang terdiri dari HR diberikan tiga kali dalam seminggu selama 4 bulan. Obat ini diberikan untuk: •
Penderita baru TB Paru BTA Positif.
33
•
Penderita baru TB Paru BTA negatif Röntgen Positif yang “sakit berat”
•
Penderita TB Ekstra Paru berat
2. Kategori -2 (2HRZES/HRZE/5H3R3E3)
4, 6
Tahap intensif diberikan selama 3 bulan, yang terdiri dari 2 bulan dengan HRZES setiap hari. Dilanjutkan 1 bulan dengan HRZE setiap hari. Setelah itu diteruskan dengan tahap lanjutan selama 5 bulan dengan HRE yang diberikan tiga kali dalam seminggu. Obat ini diberikan untuk penderita TB paru BTA(+) yang sebelumnya pernah diobati, yaitu: •
Penderita kambuh (relaps)
•
Penderita gagal ( failure)
•
Penderita dengan pengobatan setelah lalai (after default ).
3. Kategori-3 (2HRZ/4H3R3) 4, 6 Tahap intensif terdiri dari HRZ diberikan setiap hari selama 2 bulan (2HRZ), diteruskan dengan tahap lanjutan terdiri dari HR selama 4 bulan diberikan 3 kali seminggu. Obat ini diberikan untuk:
•
Penderita baru BTA negatif dan röntgen positif sakit ringan,
•
Penderita TB ekstra paru ringan.
4. OAT Sisipan (HRZE) 4, 6 Bila pada akhir tahap intensif pengobatan penderita baru BTA positif dengan kategori 1 atau penderita BTA positif pengobatan ulang dengan kategori 2, hasil pemeriksaan dahak masih BTA positif, diberikan obat sisipan (HRZE) setiap hari selama 1 bulan. Paduan OAT Sisipan untuk penderita dengan berat badan antara 33 – 50 kg: 1 tablet Isoniazid 300 mg, 1 kaplet Rifampisin 450 mg, 3 tablet Pirazinamid 500 mg, 3 tablet Etambutol 250 mgSatu paket obat sisipan berisi 30 blister HRZE yang dikemas dalam 1 dos kecil.
34
Penatalaksanaan TB
Belum pernah dapat terapi > 1bulan
TB Pasti
Pernah dapat terapi > 1 bulan
TB Tersangka
TB Gagal TB Relaps
Terapi Katagori I
Terapi Katagori III
Terapi Katagori II
TB Tersangka
TB Kronik
Terapi Katagori II
Terapi INH seumur hidup
Gambar 6. Bagan penatalaksanaan TB paru. 7
Tabel 2. Jenis dan dosis OAT
Obat
Dosis (mg/Kg BB/hr)
R
1
Dosis yg dianjurkan
Harian (mg/Kg BB/hr)
Intermitten (mg/Kg BB/kali)
8-12
10
10
H
4-6
5
10
Z
20-30
25
E
15-20
S
15-18
Dosis Maks (mg)
Dosis mg/KgBB
<40
40-60
>60
600
300
450
600
300
150
300
450
35
750
1000
1500
15
35
750
1000
1500
15
15
Sesuai BB
750
1000
1000
Disamping Kombipak, saat ini tersedia juga obat TB yang disebut Fix Dose Combination (FDC). Obat ini pada dasarnya sama dengan obat kompipak, yaitu rejimen dalam bentuk kombinasi, namun didalam tablet yang ada sudah berisi 2, 3 atau 4 campuran OAT dalam satu kesatuan. WHO sangat menganjurkan
pemakaian
OAT-FDC
karena
beberapa
keunggulan
dan
keuntungannya dibandingkan dengan OAT dalam bentuk kombipak apalagi dalam bentuk lepas.
35
Keuntungan penggunaan OAT FDC: a. Mengurangi kesalahan peresepan karena jenis OAT sudah dalam satu kombinasi tetap dan dosis OAT mudah disesuaikan dengan berat badan penderita. b. Dengan jumlah tablet yang lebih sedikit maka akan lebih mudah pemberiannya dan meningkatkan penerimaan penderita sehingga dapat meningkatkan kepatuhan penderita. c. Dengan kombinasi yang tetap, walaupun tanpa diawasi, maka penderita tidak bisa memilih jenis obat tertentu yang akan ditelan. d. Dari
aspek
manajemen
logistik,
OAT-FDC
akan
lebih
mudah
pengelolaannya dan lebih murah pembiayaannya. 1
Tabel 3. Jenis OAT FDC 1 Fase Intensif BB
30-37 38-54 55-70 >71
Harian RHZE 150/75/400/275 2 3 4 5
2 bulan Harian RHZ 150/75/400 2 3 4 5
Fase Intensif
3x/minggu RHZ 150/150/500 2 3 4 5
4 bulan Harian 3x/minggu RH RH 150/75 150/150 2 2 3 3 4 4 5 5
Penentuan dosis terapi kombinasi dosis tetap 4 obat berdasarkan rentang dosis yang telah ditentukan oleh WHO merupakan dosis yang efektif atau masih termasuk dalam batas dosis terapi dan non toksik. Pada kasus yang mendapat obat kombinasi dosis tetap tersebut, bila mengalami efek samping serius harus dirujuk ke rumah sakit / dokter spesialis paru / fasilitas yang mampu menanganinya.1
Efek Samping OAT :
Sebagian besar pasien TB dapat menyelesaikan pengobatan tanpa efek samping. Namun sebagian kecil dapat mengalami efek samping, oleh karena itu
36
pemantauan kemungkinan terjadinya efek samping sangat penting dilakukan selama pengobatan. Efek samping yang terjadi dapat ringan atau berat (terlihat pada tabel 4 & 5), bila efek samping ringan dan dapat diatasi dengan obat simtomatik maka pemberian OAT dapat dilanjutkan. 1. Isoniazid (INH) 1, 6 Efek samping ringan dapat berupa tanda-tanda keracunan pada syaraf tepi, kesemutan, rasa terbakar di kaki dan nyeri otot. Efek ini dapat dikurangi dengan pemberian piridoksin dengan dosis 100 mg perhari atau dengan vitamin B kompleks. Pada keadaan tersebut pengobatan dapat diteruskan. Kelainan lain ialah menyerupai defisiensi piridoksin (syndrom pellagra). Efek samping berat dapat berupa hepatitis imbas obat yang dapat timbul pada kurang lebih 0,5% pasien. Bila terjadi hepatitis imbas obat atau ikterik, hentikan OAT dan pengobatan sesuai dengan pedoman TB pada keadaan khusus. 2. Rifampisin 1, 3, 6 Efek samping ringan yang dapat terjadi dan hanya memerlukan pengobatan simtomatik ialah : -
Sindrom flu berupa demam, menggigil dan nyeri t ulang
-
Sindrom perut berupa sakit perut, mual, tidak nafsu makan, muntah kadang kadang diare
-
Sindrom kulit seperti gatal-gatal kemerahan
Efek samping yang berat tetapi jarang terjadi ialah : -
Hepatitis imbas obat atau ikterik, bila terjadi hal tersebut OAT harus distop dulu dan penatalaksanaan sesuai pedoman TB pada keadaan khusus
-
Purpura, anemia hemolitik yang akut, syok dan gagal ginjal. Bila salah satu dari gejala ini terjadi, rifampisin harus segera dihentikan dan jangan diberikan lagi walaupun gejalanya telah menghilang
-
Sindrom respirasi yang ditandai dengan sesak napas
Rifampisin dapat menyebabkan warna merah pada air seni, keringat, air mata, air liur. Warna merah tersebut terjadi karena proses metabolisme obat dan
37
tidak berbahaya. Hal ini harus diberitahukan kepada pasien agar dimengerti dan tidak perlu khawatir. 3. Pirazinamid 1, 6 Efek samping utama ialah hepatitis imbas obat (penatalaksanaan sesuai pedoman TB pada keadaan khusus). Nyeri sendi juga dapat terjadi (beri aspirin) dan kadang-kadang dapat menyebabkan serangan arthritis Gout, hal ini kemungkinan disebabkan berkurangnya ekskresi dan penimbunan asam urat. Kadang-kadang terjadi reaksi demam, mual, kemerahan dan reaksi kulit yang lain. 4. Etambutol1, 3 Etambutol dapat menyebabkan gangguan penglihatan berupa berkurangnya ketajaman, buta warna untuk warna merah dan hijau. Meskipun demikian keracunan okuler tersebut tergantung pada dosis yang dipakai, jarang sekali terjadi bila dosisnya 15-25 mg/kg BB perhari atau 30 mg/kg BB yang diberikan 3 kali seminggu. Gangguan penglihatan akan kembali normal dalam beberapa minggu setelah obat dihentikan. 5. Streptomisin 1, 3 Efek samping utama adalah kerusakan syaraf kedelapan yang berkaitan dengan keseimbangan dan pendengaran. Risiko efek samping tersebut akan meningkat seiring dengan peningkatan dosis yang digunakan dan umur pasien. Risiko tersebut akan meningkat pada pasien dengan gangguan fungsi ekskresi ginjal. Gejala efek samping yang terlihat ialah telinga mendenging (tinitus), pusing dan kehilangan keseimbangan.
Tabel 5. Efek samping OAT dan penatalaksanaannya 1 Efek Samping
Kemungkinan Penyebab
Tatalaksana
Minor Tidak nafsu makan, mual, sakit perut
Rifampisin
OAT Teruskan Obat diminum sebelum tidur
Nyeri sendi Kesemutan s/d rasa
Pyrazinamid INH
Beri aspirin /allopurinol Beri vitamin B6 (piridoksin)
malam
38
terbakar di kaki Warna kemerahan pada air seni
Rifampisin
Mayor
Gatal dan kemerahan pada kulit Tuli
1 x 100 mg perhari Beri penjelasan, tidak perlu diberi apa-apa Hentikan Obat
Semua jenis OAT Streptomisin
Beri antihistamin & dievaluasi ketat Streptomisin dihentikan
Gangguan keseimbangan (vertigo dan nistagmus) Ikterik / Hepatitis Imbas Obat (penyebab lain disingkirkan)
Streptomisin
Streptomisin dihentikan
Sebagian besar OAT
Muntah dan confusion ( suspected drug-induced pre-icteric hepatitis) Gangguan penglihatan Kelainan sistemik, termasuk syok dan purpura
Sebagian besar OAT
Hentikan semua OAT Sampai ikterik menghilang dan boleh diberikan hepatoprotektor Hentikan semua OAT & lakukan uji fungsi hati
Ethambutol Rifampisin
Hentikan ethambutol Hentikan Rifampisin
39
PNEUMOTORAKS A. Definisi
Pneumotoraks adalah terdapatnya udara bebas di dalam rongga pleura, yaitu rongga di antara pleura parietalis dan viseralis. Dalam keadaan normal, rongga ini tidak terisi udara dan memiliki tekanan negatif sebesar - 11 sampai - 12 cm air pada waktu inspirasi dan - 4 sampai - 8 cm air pada saat ekspirasi. Pada penumotoraks, oleh karena terdapat udara bebas, maka tekanan di dalam rongga pleura meningkat menjadi lebih positif dan tekanan normal dan bahkan dapat melebihi tekanan atmosfir. Akibat peningkatan tekanan di dalam rongga pleura, jaringan paru akan mengempis yang derajatnya tergantung pada besar kenaikan tekanan, pengembangan jaringan paru sisi yang sehat terganggu, dan mediastinum dengan semua isinya terdorong ke arah sisi sehat dengan segala akibatnya. 8
Gambar 7. Ilustrasi pada pneumotoraks spontan. 12
B. Klasifikasi
Pneumotoraks dapat terjadi secara spontan atau traumatik dan klasifikasi pneumotoraks berdasarkan penyebabnya adalah sebagai berikut 9: 1. Pneumotoraks Spontan
Pneumotoraks Spontan adalah setiap pneumotoraks yang terjadi tiba-tiba tanpa adanya suatu penyebab (truma ataupun iatrogenik). Ada dua jenis, yaitu:
40
a. Pneumotoraks Spontan Primer (PSP) Adalah suatu pneumotoraks yang terjadi tanpa ada riwayat penyakit paru yang mendasari sebelumnya. Umumnya terjadi pada indvidu sehat, dewasa muda, tidak berhubungan dengan aktivitas fisik berat tapi justru terjadi saat istirahat dan hingga kini belum diketahui penyebabnya. b. Pneumotoraks Spontan Sekunder (PSS) Adalah suatu pneumotoraks yang terjadi karena penyakit paru yang mendasarinya
seperti
tuberkulosis
paru,
PPOK,
asma
bronchial,
pneumonia tumor paru dan sebagainya. 8, 9, 10, 11
2. Pneumotoraks Traumatik
Adalah pneumotoraks yang terjadi akibat suatu trauma, baik trauma penetrasi maupun bukan yang menyebabkan robenya pleura, dinding dada maupun paru. Pneumotoraks traumatik diperkirakan 40% dari semua kasus pneumotoraks. a. Pneumotoraks Traumatik Bukan Iatrogenik Adalah pneumotoraks yang terjadi karena jejas kecelakaan, misalnya pada dinding dada baik terbuka maupun tertutup, barotraumas. b. Pneumotoraks Traumatik Iatrogenik Adalah pneumonia yang terjadi akibat komplikasi dari tindakan medis. Ada dua jenis, yakni: -
Pneumotoraks traumatik iatrogenik aksidental, adalah pneumotoraks yang
terjadi
akibat
komplikasi
dari
tindakan
medis
karena
kesalahan/komplikasi tindakan tersebut, misalnya parasintesis dada, biopsy pleura, biopsy transbronkial, biopsy/aspirasiparu perkutaneus, kanulasi vena sentral, barotrauma. -
Pneumotoraks traumatik iatrogenik artificial, adalah pneumotoraks yang sengaja dilakukan dengan cara mengisi udara ke dalam rongga pleura melalui jarum dengan suatu alat Maxwell box.9, 10, 11
41
C. Etiologi dan Patogenesis
Pneumotoraks spontan terjadi oleh karena pecahnya bleb atau kista kecil yang diameternya tidak lebih dari 1-2 cm yang berada di bawah permukaan pleura viseralis, dan sering ditemukan di daerah apeks lobus superior dan inferior. Terbentuknya bleb ini oleh karena adanya perembesan udara dari alveoli yang dindingnya ruptur melalui jaringan intersisial ke lapisan jaringan ikat yang berada di bawah pleura viseralis. Sebab pecahnya dinding alveolus ini belum diketahui dengan pasti, tetapi diduga ada dua faktor sebagai penyebabnya. 9, 12 1. Faktor infeksi atau radang paru. Infeksi atau radang paru walaupun minimal akan membentuk jaringan parut pada dinding alveoli yang akan menjadi titik lemah. 2. Tekanan intra alveolar yang tinggi akibat batuk atau mengejan. Mekanisme ini tidak dapat menerangkan kenapa pneumotoraks spontan sering terjadi pada waktu penderita sedang istirahat. Dengan pecahnya bleb yang terdapat di bawah pleura viseralis, maka udara akan masuk ke dalam rongga pleura dan terbentuklah fistula bronkopleura. Fistula ini dapat terbuka terus, dapat tertutup, dan dapat berfungsi sebagai ventil.
Pneumotoraks Spontan Sekunder (PSS) terjadi karena bleb viseralis atau bulla
subpleura
mendasarinya.
dan
sering
Patogenesis
berhubungan
PSS
dengan
multifaktorial,
penyakit
umumnya
paru
terjadi
yang akibat
komplikasi penyakit PPOK, asma , fibrosis kistik, tuberkulosis paru, penyakit penyakit paru infiltratif lainnya (misalnya pneumonia
supuratif dan termasuk
pneumonia P.carinii). PSS umumnya lebih serius keadaannya daripada PSP, karena pada PSS terdapat penyakit paru yang mendasarinya. PSS terjadi karena adanya kelemahan pada struktur parenkim paru dan pleura. 9, 10, 12 Konsep dasar terjadinya pneumotoraks dibagi atas
12
:
a. Penyakit-penyakit yang menghasilkan kenaikan tekanan intrapulmoner b. Penyakit-penyakit yang menyebabkan menebal atau menipisnya dinding kista c. Penyakit-penyakit yang menyebabkan rusaknya parenkim paru
42
Tuberkulosis paru dapat menyebabkan pneumotoraks dengan mekanisme rupturnya lesi kavitasi atau nekrosis ke ruang pleura (Thurlbeck, dkk. 1995). Sedangkan menurut Sahn (2000) ketika tekanan alveolar melebihi tekanan interestial paru sebagai mana yang terjadi pada PPOK dan inflamasi saluran nafas setelah batuk, udara yang berasal dari ruptur alveolus bergerak ke interstitsial dan belakang paru sepanjang berkas bronkovaskuler ke arah hilus ipsilateral dari paru, menghasilkan pneumomediastinum; jika terjadi ruptur pada hilus dan udara bergerak melalui pleura mediastinalis ke kavum pleura dan menghasilkan pneumotoraks.12 Mekanisme lainnya yang bisa menyebabkan terjadinya pneumotoraks spontan sekunder adalah udara yang berasal dari alveolus secara langsung masuk ke dalam kavum pleura sebagai akibat dari nekrosis jaringan paru, disebabkan oleh P.carinii pneumonia.12
D. Gejala Klinis
Berdasarkan anamnesis, gejala-gejala yang sering muncul adalah: -
Sesak nafas, yang didapatkan pada 80-100% pasien Nyeri dada, yang didapatkan pada 75-90% pasien
-
Batuk-batuk, yang didapatkan pada 25-35% pasien
-
Tidak menunjukkan gejala (silent) yang terdapat sekitar 5010% dan biasanya pada PSP (Loddenkemper, 2003) 9 Sulit bernafas yang timbul mendadak dengan disertai nyeri dada yang
terkadang dirasakan menjalar ke bahu. Dapat disertai batuk dan terkadang terjadi hemoptisis. Perlu ditanyakan adanya penyakit paru atau pleura lain yang mendasari pneumotorak, dan menyingkirkan adanya penyakit jantung.
9, 10
Berat ringannya perasaan sesak nafas ini tergantung dari derajat penguncupan paru, dan apakah paru dalam keadaan sakit atau tidak. Pada penderita dengan COPD, pneumotoraks yang minimal sekali pun akan menimbulkan sesak nafas yang hebat. Sakit dada biasanya datang tiba-tiba seperti ditusuk-tusuk setempat pada sisi paru yang terkena, kadang-kadang menyebar ke arah bahu, hipokondrium dan skapula. Rasa sakit bertambah waktu bernafas dan
43
batuk. Sakit dada biasanya akan berangsur-angsur hilang dalam waktu satu sampai empat hari. Batuk-batuk biasanya merupakan keluhan yang jarang bila tidak disertai penyakit paru lain; biasanya tidak berlangsung lama dan tidak produktif.
9
Pemeriksaan fisik pneumotoraks yaitu, sesak nafas dan takikardi yang dapat disertai sianosis pada pneumotorak ventil atau ada penyakit dasar paru. Gerakan torak mungkin tampak tertinggal, deviasi trakhea, ruang interkostal melebar,
perkusi
hipersonor
dan
penurunan
suara
pernafasan.
Dapat
menghilangkan atau mengurangi pekakjantung atau hati. Pada tingkat yang berat terdapat gangguan respirasi/sianosis, gangguan vaskuler/syok. Komplikasi dapat berupa hemopneumotorak, pneumomediastinum dan emfisema kutis, fistel bronkopleural dan empiema. 10, 11 Diagnosis pasti ditegakkan dengan pemeriksaan Rontgen foto toraks. Pada rontgen foto toraks PA akan terlihat garis penguncupan paru yang halus seperti rambut. Gambaran paru yang kolaps ke arah hilus dengan radiolusen ke sebelah perifer. Singkirkan kemungkinan bulla yang besar, emfisema paru, kista paru, kaverne yang besar. Apabila pneumotoraks disertai dengan adanya cairan di dalam rongga pleura, akan tampak gambaran garis datar yang merupakan batas udara dan cairan. Sebaiknya rontgen foto toraks dibuat dalam keadaan ekspirasi maksimal.9, 10, 11
Gambar 8. Foto rontgen pada pneumotoraks dextra dan sinistra.
44
E. Penatalaksanaan
Setelah diagnosis pneumotoraks dapat ditegakkan, langkah selanjutnya yang terpenting adalah melakukan observasi yang cermat. Oleh
karena itu
penderita sebaiknya dirawat di rumah sakit, mengingat sifat fistula pneumotoraks dapat berubah sewaktu-waktu yaitu dari pneumotoraks terbuka menjadi tertutup ataupun ventil. Sehingga tidak jarang penderita yang tampaknya tidak apa-apa tiba-tiba menjadi gawat karena terjadi pneumotoraks ventil atau perdarahan yang hebat. 8, 9 Apabila penderita datang dengan sesak nafas, apalagi kalau sesak nafas makin lama makin bertambah kita harus segera mengambil tindakan. Tindakan yang lazim dikerjakan ialah pemasangan WSD (Water Seal Drainage). Apabila penderita sesak sekali sebelum WSD dapat dipasang, kita harus segera menusukkan jarum ke dalam rongga pleura. Tindakan sederhana ini akan dapat menolong dan menyelamatkan jiwa penderita. Bila alat-alat WSD tidak ada, dapat kita gunakan infus set, dimana jarumnya ditusukkan ke dalam rongga pleura di tempat yang paling sonor waktu diperkusi. Sedangkan ujung selang infus yang lainnya dimasukkan ke dalam botol yang berisi air.
8
Pneumotoraks tertutup yang tidak terlalu luas (kurang dari 20% paru yang kolaps) dapat dirawat secara konservatif, tetapi pada umumnya untuk mempercepat pengembangan paru lebih baik dipasang WSD. Pneumotoraks terbuka dapat dirawat secara konservatif dengan mengusahakan penutupan fistula dengan cara memasukkan darah atau glukosa hipertonis ke dalam rongga pleura sebagai pleurodesis. Ada juga para ahli yang mengobati pneumotoraks terbuka dengan memasang WSD disertai penghisap terus menerus
(Continuous
Suction).9,10 Secara ringkas, penatalaksanaan pneumotoraks dapat dibagi sebagai berikut: 1. Pneumotorak ringan non ventil, kurang dari 30%. Pasien di observasi dan disuruh meniup balon. Bila pneumotorak memburuk dapat dipasang water sealed drainage (WSD).
45
2. Pneumotorak besar atau tipe ventil Dipasang WSD. Pada keadaan gawat dapat dilakukan punksi dengan jarum infus sel atau jarum besar, yang kemudian dihubungkan dengan slang ke botol berisi air. Bila perlu sebelum dibuat foto toraks. Bila dalam 24 jam pemasangan kateter paru tidak mengembang, slang dapat disambungkan ke alat penghisap. Bila dalam 5 hari tidak berhasil dan keadaan pasien buruk pentu dipikirkan kemungkinan tindakan bedah untuk menutupi kebocoran. Bila paru sudah mengembang sempurna, WSD diklem selama 3 hari. Bila hasil observasi dan torak baik WSD dapat dicabut. 3. Pencegahan pneumotorak rekuren, dapat dilakukan dengan menggunakan:
pleurodesis kimia, dengan menggunakan larutan tetrasiklin, bedak talk atau iodopovidon.
pleurektomi parietal. Dilakukan pula ligasi atau reseksi bullae atau bleb.11
F. Teknik Pemasangan WSD
Gambar 8. Skema pemasangan WSD pada dengan sistem 1 dan dua botol. 10
Tempat pemasangan drain sebaiknya ialah 10: 1. Linea aksilaris media pada sela iga 6 atau sela iga ke 7.
46
2. Linea media klavikularis pada sela iga ke dua.
Setelah dilakukan desinfeksi pada kulit, maka dilakukan anestesi lokal dengan cara infiltrasi pada daerah kulit sampai pleura. Kemudian dibuat sayatan kulit sepanjang 2 cm sampai jaringan di bawah kulit. Pleura parietalis ditembus dengan jarum pungsi yang pakai trokar dan mandrin. Setelah tertembus, mandrin dicabut akan terasa keluar udara. Kemudian mandrin diganti dengan kateter yang terlebih dahulu telah diberi lobang secukupnya pada ujungnya. Setelah kateter masuk rongga pleura trokar dicabut dan pangkal kateter disambung dengan selang yang dihubungkan dengan botol yang berisi air, di mana ujungnya terbenam ± 2 cm. Kateter diikat dengan benang yang dijahitkan kepada kulit sambil menutup luka.10 WSD dicabut apabila paru telah mengembang sempurna. Untuk mengetahui paru sudah mengembang ialah dengan jalan penderita disuruh batuk batuk, apabila di selang WSD tidak tampak lagi fluktuasi permukaan cairan, kemungkinan besar paru telah mengembang dan juga disesuaikan dengan hasil pemeriksaan fisik. Untuk mengetahui secara pasti paru telah mengembang dilakukan Rontgen foto toraks. Setelah dipastikan bahwa paru telah mengembang sempurna, sebaiknya WSD jangan langsung dicabut tapi diklem dulu selama 3 hari. Setelah 3 hari klem dibuka. Apabila paru masih tetap mengembang dengan baik baru selang WSD dicabut. Selang WSD dicabut pada waktu penderita ekspirasi maksimal.8, 10
47
PLEURODESIS A. Definisi
Pleurodesis adalah penyatuan pleura viseralis dengan parietalis baik secara kimiawi, mineral ataupun mekanik, secara permanen untuk mencegah akumulasi cairan maupun udara dalam rongga pleura. Tindakan tersebut biasanya diindikasikan untuk efusi pleura maligna dan pneumotoraks spontan. Pemilihan teknik yang tepat, agen sklerosis, kriteria pemilihan pasien, serta evaluasi hasil tindakan merupakan hal yang sering diperdebatkan. Hal itu menyebabkan belum didapat konsensus yang disepakati para ahli di dunia tentang prosedur ini. Meskipun demikian, berdasarkan penelitian yang telah dilakukan, terdapat beberapa rekomendasi dan hal yang perlu dipertimbangkan sebelum melakukan pleurodesis. 13 Secara umum, tujuan dilakukannya pleurodesis adalah untuk mencegah berulangnya pneumotoraks berulang (terutama bila terjadi dengan cepat), menghindari torakosintesis berikutnya dan menghindari diperlukannya insersi chest tube berulang, serta menghindari morbiditas yang berkaitan dengan efusi pleura atau pneumotoraks berulang (trapped lung , atelektasis, pneumonia, insufisiensi respirasi, tension pneumothorax). pneumothorax ). 13 Pleurodesis
merupakan
terapi
simptomatis
jangka
panjang
serta
diharapkan dapat meningkatkan kualitas hidup dan aktivitas kehidupan seharihari, sehingga pleurodesis dapat dilakukan untuk terapi paliatif penderita efusi pleura maligna. Bila pleurodesis gagal, perlu dipertimbangkan untuk melakukan tindakan
alternatif
seperti
pleurotomi
operatif,
pemasangan
shunt
pleuroperitoneal, atau dengan drainase torakostomi menggunakan kateter dan kantung.9, 13
B. Pleurodesis pada Kasus Pneumotoraks Pneumotoraks
Pendekatan pada pasien dengan pneumotoraks spontan meli puti: 1. Insidensi yang relatif tinggi pada pasien usia muda, sehingga pleurodesis dapat diandalkan serta masih memungkinkan untuk dilakukannya
48
torakotomi pada masa selanjutnya (misalnya untuk reseksi kanker paru, transplantasi paru, dan sebagainya). 2. Ruptur bullae dan blebs membutuhkan intervensi khusus untuk mencegah rekurensi. 3. Permukaan mesotelial pleura yang sebagian besar masih normal memungkinkan tingkat keberhasilan pleurodesis yang lebih baik walaupun membutuhkan dosis analgesic yang lebih tinggi. Selain itu, respons yang adekuat diperoleh dapat dengan dosis agen sklerosis yang lebih rendah.
Tujuan utama pada penatalaksanaan pneumotorak adalah pengembangan paru yang sempurna. Pada sebagian kasus, hal tersebut dapat diatasi dengan drainase pleura atau Water Sealed Drainage (WSD), WSD), namun angka rekurensi pada teknik ini cukup tinggi sehingga penyatuan kedua lapisan pleura perlu dipertimbangkan untuk menekan angka rekurensi tersebut. Meskipun demikian, pada pasien usia muda, penggunaan talc pleurodesis masih kontroversial karena potensi menimbulkan me nimbulkan komplikasi jika dilakukan pembedahan toraks di kemudian hari. Walaupun relatif aman, komplikasi komplikasi jangka panjang penggunaan talk pada kasus pneumotorak belum dipahami sepenuhnya, sehingga sebagian ahli tetap menganjurkan terapi konservatif sebelum melakukan tindakan yang invasif.
13
Pada pasien pneumotorak, dosis analgesik dan titrasi dosis agen sklerosis perlu diperhatikan dengan baik karena rasa nyerinya lebih berat dibandingkan rasa nyeri pada pasien keganasan. Dosis talk sebaiknya tidak lebih dari 3-4 g (sekitar 5-6 ìL bubuk talk kering). 13
C. Teknik dan Bahan 1. Aspek Mekanis
Untuk menghasilkan perlekatan antara lapisan pleura parietal dengan pleura viseralis diperlukan evakuasi udara dan cairan secara sempurna. Obstruksi oleh clots dapat dicegah dengan penggunaan chest tube. tube. Penggunaan chest tube yang dipasang sebelum tindakan dilakukan serta meninggalkannya
49
selama
beberapa
waktu
(untuk
monitoring
pasca
tindakan)
dapat
meningkatkan tingkat keber-hasilan. 2. Aspek Biologis
Agar terjadi perlekatan yang sempurna, permukaan pleura harus teriritasi baik secara mekanik maupun dengan pemberian agen sklerosis. Selain itu, telah berkembang konsep baru bar u yaitu peran fungsional respons mesotelium mesoteli um terhadap te rhadap stimulus sklerosis. 3. Pemilihan Agen Sklerosis
Sejak tahun 1935 telah diketahui bahwa aplikasi talk pada rongga pleura mampu memicu terjadinya adhesi. Selain itu, juga telah dikenal lebih dari 30 agen sklerosis lainnya untuk prosedur pleurodesis.2 Walaupun demikian, talk telah terbukti paling efektif dan murah untuk pleurodesis. a. Tetrasiklin HCl Efektivitas tetrasiklin bervariasi antara 45-77% dengan angka rekurensi yang cukup tinggi. Penggunaanya membutuhkan analgesik dosis tinggi. Sekarang tetrasiklin parenteral sudah tidak diproduksi lagi sehingga sekarang sudah tidak digunakan. b. Doksisiklin Rerata
nilai
efektivitas
doksisiklin
72%,
namun
penggunaannya
membutuhkan dosis ulangan, seringkali lebih dari 2 minggu. c. Minosiklin Juga merupakan turunan tetrasiklin yang diharapkan dapat digunakan sebagai pengganti. Angka keberhasilan yang dicapai rata-rata 86%. Minosiklin pada dosis pleurodesis dapat menimbulkan gejala vestibular dan meningkatkan kejadian hemotorak pasca tindakan. ti ndakan. d. Bleomisin Karena mahal dan diabsorbsi secara sistemik (menimbulkan risiko toksik) penggunaannya tidak luas. e. Kuinakrin Banyak digunakan di Skandinavia, dapat menimbulkan reaksi toksik berat pada susunan saraf pusat karena dibutuhkan dalam dosis besar.
50
f. Talk Angka keberhasilan penggunaan talk pada pleurodesis mencapai 91%, terutama bila melalui torakoskopi. Pleurodesis talk dengan torakoskopik dianggap paling efektif dibandingkan dengan metode lain karena mampu memastikan drainase cairan sempurna serta distribusi yang merata di seluruh permukaan pleura. Penggunaan talk tidak membutuhkan anestesia umum ataupun intubasi trakea, namun perlu melakuan anestesia lokal serta parenteral dengan sangat hati-hati. Pada penggunaan talk, komplikasi yang telah dilaporkan meliputi nyeri, demam ringan (berhubungan dengan proses inflamasi yang terjadi), gagal napas akut, pneumonitis, dan gagal napas dapat terjadi pada penggunaan dosis tinggi (10g). 13 g. Iodopovidon Iodopovidon merupakan agen antiseptik topikal yang banyak dilaporkan dalam berbagai penelitian sebagai agen pleurodesis yang menjanjikan. Ditinjau dari efikasi dan keamanan penggunaan iodopovidon dalam mencegah rekurensi terjadinya pneumotoraks maupun efusi pleura, sudah terbukti dalam beberapa penelitian. 14, 15 Dalam penelitian yang dilakukan oleh Carlos dkk, menyebutkan bahwa pemakaian iodopovidon tidak memberikan terakumulasinya kembali efusi pleura sebelumnya pada 96,1% tingkat keberhasilannya. Dan tidak ditemukannya iodine pada serum, sehingga tidak terjadi adanya tandatanda hipertiroid pada pasien. Efek iritasinya hanya 5,8% dari penggunaan iodopovidon sebagai agen sklerosing yang menyebabkan nyeri pleuritik dan hipotensi. 14 Iodopovidon sangat luas diabsorbsi dan permukaan mukosa sehingga meningkat di dalam konsentrasi serum. Iodine diserap melalui kelenjar tirod dan akan terdapat dalam saliva, keringat dan susu. Iodopovidon mengalami metabolisme yang minimal dan dieksresi dengan praktis dalam urin.
14
Sehingga dapat disimpulkan bahwa iodopovidon merupakan bahan
yang efektif, amam, mudah tersedia dan murah, sebagai agen sklerosing
51
untuk pleurodesis dalam mencegah rekurensi pada pneumotoraks maupun efusi pleura. 14, 15, 16
4. Persiapan alat dan bahan
a. Alat-alat: -
Klem chest tube 2 buah
-
Catheter tip syringe (60 ml) 1 buah
-
Mangkuk steril 1 buah
-
Sarung tangan steril
-
Drape/duk steril Kassa steril
b. Bahan-bahan: -
Larutan povidon-iodine,
-
10 ampul lidokain 2%
-
1 ampul pethidin 50 mg
-
cairan NaCl 0,9%
c. Bahan sclerosing (salah satu): -
Agen sitotoksik: bleomisin 40-80 unit, atau mitoksantron 30 mg (20mg/m2), dicampur dengan 30-100 ml NaCl 0,9%,
-
Tetrasiklin dan turunannya: tetrasiklin 1000 mg (35 mg/kgBB) atau minosiklin 300 mg (7 mg/kgBB) atau doksisiklin 500-1000 mg, dicampur dengan 30-100 ml NaCl 0,9% dan 20 ml lidokain 2%
-
Talk: 3-10 g bubuk talk steril dilarutkan dalam 100 ml NaCl 9%. Talk disterilkan dengan radiasi sigma atau dimasukkan dalam autoclave dengan suku 270°F. Bubuk dimasukkan dalam kolf NaCL 0,9%, dikocok, lalu dituang ke dalam mangkuk steril.
-
Iodopovidon: 20 ml iodopovidon 10% yang dicampur 6 ampul lidokain sebagai analgesik sistemik dalam mangkuk steril. Kemudian dicampurkan ke dalam 80 ml NaCl dan dimasukkan ke kavum pleura.
52
D. Monitoring pasca tindakan
13
1. Dilakukan foto toraks AP ulang untuk meyakinkan reekspansi paru, bila perlu setiap hari 2. Awasi tanda vital 3. Monitor drainase chest tube harian 4. Monitor kebocoran udara 5. Perban diganti tiap 48 jam 6. Kendalikan nyeri dengan analgetik 7. Bila perlu spirometri insentif 8. Mobilisasi bertahap, cegah thrombosis vena dalam 9. Pertimbangkan mencabut chest tube bila drainase pleura harian < 100 ml atau tidak terlihat lagi fluktuasi pada botol WSD.
E. Komplikasi
13
1. Nyeri 2. Takikardia, takipnea, pneumonitis, atau gagal napas (terutama setelah pemberian slurry talc), edema paru reekspansi. Umumnya keadaan ini bersifat reversibel. 3. Demam. Biasanya berkaitan dengan pleuritis, hilang dalam <48 jam 4. Ekspansi paru inkomplit dan partially trapped lung 5. Reaksi terhadap obat 6. Syok neurogenik
53
BAB IV PEMBAHASAN
Pasien dengan nama Tn.R usia 19 tahun datang dengan keluhan sesak nafas dan telah terpasang WSD. Pasien didiagnosa TB Paru BTA Positif dengan Komplikasi Pneumothoraks Sinistra. Berikut adalah pembahasan mengenai perbandingan antara teori dan fakta yang terjadi pada perjalanan penyakit pasien tersebut.
Tabel 1. Anamnesa Fakta
• Sesak
nafas
Teori
tiba-tiba, Manifestasi klinis TB Paru
semakin berat
• Gejala respiratorik
• Nyeri dada
– batuk > 2 minggu – batuk darah • Batuk lama ± 3 bulan – sesak napas • Batuk berdahak – nyeri dada • Dahak terdapat bercak • Gejala sistemik darah • Demam malam hari • Keringat dingin • Badan lemas • Nafsu makan menurun • BB turun drastis
– –
Demam Gejala sistemik lain: malaise, keringat malam, anoreksia, berat badan menurun
Manifestasi Klinis Pneumotoraks Sulit
bernafas,
sesak
yang
timbul
mendadak dengan disertai nyeri dada yang
• Riwayat menghuni tempat terkadang dirasakan menjalar ke bahu, rasa tinggal dengan lingkungan
seperti ditusuk-tusuk. Dapat disertai batuk dan
yang kurang sehat.
terkadang terjadi hemoptisis. Perlu ditanyakan adanya penyakit paru atau pleura lain yang mendasari
pneumotorak,
dan
menyingkirkan
adanya penyakit jantung.
54
Analisis
Pada kasus ini didapatkan hasil anamnesa yang sesuai dengan manifestasi klinis dari TB paru baik gejala respiratorik maupun sistemik dan komplikasinya berupa pneumotoraks. Keluhan respiratorik yang dialami pasien berupa batuk lama dialami pasien sejak 3 bulan lalu, disertai dengan adanya dahak, dan terkadang terdapat bercak darah pada dahak tersebut. Keluhan sistemik dari pasien ini berupa demam disertai menggigil dan berkeringat pada malam hari yang berlangsung selama 2 bulan terakhir. Nafsu makan pasien menurun disertai dengan adanya penurunan berat badan. Pasien juga
mengeluhkan
badanya
lemas,
sehingga
pasien
tidak
meneruskan
pekerjaannya. Dari gejala yang dialami pasien tersebut, telah sesuai dengan pendekatan diagnosa TB paru dari segi anamnesa. Ditambah dengan keterangan berupa kondisi tempat tinggal pasien di kos-kosan yang kurang sehat dari segi sirkulasi udara dan lingkungan yang lembab karena di pinggir sungai. Walaupun pasien mengaku dari pihak keluarga dan teman-temannya tidak ada yang mengalami sakit yang serupa dengan pasien. Saat pasien dibawa ke RS.AWS, pasien dalam kondisi sesak nafas dan nyeri dada. Pasien merupakan rujukan dari RS Parikesit Tenggarong dengan alasan tidak adanya alat suction WSD. Pasien dirawat inap di RS. Parikesit sejak 2 hari sebelum MRS di RS AWS dan telah terpasang WSD pada dada kirinya. Nyeri dada dan sesak nafas yang dirasakan pasien merupakan gejala dari adanya pneumotoraks, sudah sesuai dengan keterangan dari teori yang ada, dimana sesak nafas merupakan gejala pada 80-100% pasien dan nyeri dada merupakan gejala 75-90% pasien. Pneumotoraks yang dialami pasien ini merupakan Pneumotoraks spontan sekunder, yakni pneumotoraks yang disebabkan dengan adanya penyakit dasarnya. Dalam hal ini penyakit dasarnya adalah TB paru, sesuai dengan gejalagejala TB paru yang telah dialami pasien sejak 3 bulan yang lalu. Hal ini sesuai dengan teori yang menyebutkan bahwa tuberkulosis paru dapat menyebabkan pneumotoraks dengan mekanisme rupturnya lesi kavitasi atau nekrosis ke ruang
55
pleura (Thurlbeck, dkk. 1995). Sedangkan menurut Sahn (2000) ketika tekanan alveolar melebihi tekanan interestial paru sebagai mana yang terjadi pada TB Paru dan inflamasi saluran nafas setelah batuk, udara yang berasal dari ruptur alveolus bergerak ke interstitsial dan belakang paru sepanjang berkas bronkovaskuler ke arah hilus ipsilateral dari paru, menghasilkan pneumomediastinum; jika terjadi ruptur pada hilus dan udara bergerak melalui pleura mediastinalis ke kavum pleura dan menghasilkan pneumotoraks.
Tabel 2. Pemeriksaan Fisik Fakta
Teori Pemeriksaan pertama terhadap keadaan umum
Tanda Vital
RR= 28 x/menit
pasien ditemukan konjungtiva mata atau kulit yang
Suhu = 37,80C
pucat kerena anemia, demam (sub febris), badan
Status Gizi
kurus, dan berat badan menurun.
Berat Badan : 43 Kg, menurun
Pada pemeriksaan fisik pasien sering tidak
Tinggi Badan : 155 cm
menunjukkan suatu kelainan pun terutama pada
Kepala dan Leher
kasus-kasus dini atau yang sudah terinfiltrasi secara
Kulit muka
: tampak pucat
asimptomatik.
Konjungtiva
: anemis (+/+)
Pada pemeriksaan fisik dapat ditemukan antara lain suara napas bronkial, amforik, suara napas
Mukosa mulut : pucat V. jugularis
:
JVP
meningkat
tidak melemah, ronki basah, tanda-tanda penarikan paru, diafragma & mediastinum. Pemeriksaan fisik pneumotoraks yaitu:
Thorax Paru
o
Inspeksi: terlihat sesak nafas, pergerakan dada
I : simetris, retraksi ICS (+/+)
berkurang, batuk-batuk, sianosis, serta iktus kordis
Pa: ICS melebar (+), fremitus raba
tergeser ke arah yang sehat.
asimetris D≠S, nyeri (-/+)
o
Palpasi: dijumpai spatium interkostalis yang
Per: sonor/hipersonor, nyeri ketok (-
melebar Stemfremitus melemah, trakea tergeser ke
/+)
arah yang sehat dan iktus kordis tidak teraba atau
Aus: vesikuler (D), dan (S) suara
tergeser ke arah yang sehat.
nafas , rhonki (-/-), wheez (-/-)
o
Perkusi:
dijumpai
sonor,
hipersonor
sampai
timpani.
56
Extremitas
o
Tampak pucat dan akral dingin.
Auskultasi: dijumpai suara nafas yang melemah, sampai menghilang.
Analisis
Secara umum, hasil dari pemeriksaan fisik yang dilakukan pada pasien sesuai dengan teori baik tanda TB paru maupun pneumotoraks. Pada hasil pemeriksaan ditemukan adanya postur tubuh yang kurus pada pasien, karena adanya penurunan berat badan dari 50 kg menjdi 43 kg. pada pasie n ini ditemukan konjugtiva yang anemis dan wajah tampak pucat. Pemeriksaan fisik tersebut mendukung anamnesa sebelumnya dari adanya TB paru pada pasien ini. Pada dada pasien tidak ditemukan adanya asimetris pergerkan dada dan adanya retraksi interkostal pada inspeksi, namun pada palpasi ditemukan fremitus raba asimetris. Pada perkusi ditemukan hipersonor dan terdapat nyeri ketok pada dada kiri, serta pada auskultasi ditemukan suara nafas yang menurun pada dada kiri. Hal tersebut menunjukkan adanya gambaran pneumotoraks pada paru kirinya, yang sudah sesuai dengan teori pada pneumotoraks. Pada pasien ini sudah tidak ditemukan adanya pergerakan dada yang tertinggal karena pada pasien telah dilakukan pemasangan WSD, sehingga tidak tampak sebelah dadanya tertinggal.
Tabel 3. Pemeriksaan Penunjang Fakta Darah Lengkap
Teori lnterpretasi hasil pemeriksaan dahak dari 3 kali
Hb 8,5
pemeriksaan ialah bila :
Ht : 27,7 %
-
Leukosit : 700
3 kali positif atau 2 kali positif, 1 kali negatif BTA positif
Trombosit : 367.000 GDS : 134
Gambaran radiologi yang dicurigai sebagai lesi
Elektrolit
TB paru aktif :
Natrium
134
Kalium
4,1
-
Bayangan berawan / nodular di segmen apikal dan posterior lobus atas paru dan segmen
57
Chloride
100
superior lobus bawah
Kimia darah
-
Kaviti, terutama lebih dari satu, dikelilingi oleh
SGOT
23
SGPT
17
-
Bayangan bercak milier
Bilirubin total
0,5
-
Komplikasi berupa Efusi pleura unilateral
Bil direk
0,3
(umumnya) atau bilateral (jarang) bayangan
Bil indirek
0,2
hitam
Protein total
7,0
(pneumotoraks).
Albumin
2,2
Globulin
4,8
Ureum
26,1
Pemeriksaan Radiologi Pneumotoraks:
Kreatinin
0,7
Diagnosis pasti ditegakkan dengan pemeriksaan
Asam urat
bayangan opak berawan atau nodular
3,1
radiolusen
di
pinggir
paru/pleura
Rontgen foto toraks. Pada rontgen foto toraks PA
Ab HIV (-) negatif
akan terlihat garis penguncupan paru yang halus
Sputum BTA
seperti rambut. Gambaran paru yang kolaps ke
BTA I
+1
BTA II
+1
BTA III
+1
arah hilus dengan radiolusen ke sebelah perifer.
Foto Rontgen PA
-
Panah merah pada paru sebelah kanan menunjukkan adanya gambaran bulat pada lobus superior yaitu Kavitas yang
dikelilingi
oleh
banyangan
infiltrat. -
Panah kuning pada paru sebelah kiri
58
terdapat bayangan garis berbatas tegas yang
menujukkan
adanya
penguncupan paru dengan gambaran radiolusen pada seluruh lapangan paru kiri.
EKG Sinus tachycardia
Analisis
Pada pemeriksaan penunjang laboratorium pasien ini diperiksa saat dating pertama kali di IGD, yakni Hb yang menurun menjadi 8,5 gr%, sehingga muncul serta leukopeni pada jumlah leukosit yakni 700/mm3. Berdasarkan hasil pemeriksaan kimia darah tidak ditemukan adanya kelainan dari tes fungsi hati dan ginjal, dimana pada kasus ini nilai-nilainya berada dalam rentang nilai normal. Antibody HIV yang dicurigai pada pasien ini diperoleh hasilnya adalah negative. Namun pada pemeriksaan sputum BTA 3 kali, didapatkan hasil berupa ketiganya positif satu, sehingga dapat ditegakkan diagnosa TB paru BTA positif pada pasien ini. Hal ini ditunjang dengan hasil pemeriksaan
radiologi
foto
rontgen
thoraks,
pada
paru
sebelah
kanan
menunjukkan adanya gambaran bulat pada lobus superior yaitu Kavitas yang dikelilingi oleh banyangan infiltrat. Pada paru sebelah kiri terdapat bayangan garis berbatas tegas yang
menujukkan adanya penguncupan paru dengan gambaran radiolusen pada seluruh lapangan paru kiri merupakan gambaran paru yang kolaps ke arah hilus ke sebelah perifer. Hal itu sesuai dengan teori adanya pneumotoraks pada sisi paru kiri pasien.
59
Tabel 4. Penatalaksanaan Fakta
Farmakologi: (BB= 43 kg) – IVFD RL : D5% 2:1 20 tpm
Teori
Terapi TB Paru Aktifitas obat TB didasarkan atas tiga
– Neurobion drip 1 amp/hr
mekanisme, yaitu aktifitas membunuh bakteri,
– Ranitidin inj 2x1 amp
aktifitas sterilisasi, dan mencegah resistensi.
– Salbutamol tab 3x2 mg
Obat yang umum dipakai adalah Isoniazid,
– DMP syrup 3xC1
Etambutol,
– Cefotaxim inj 3x1gr IV
Streptomisin. Dapat juga digunakan regimen
– Rimstar 1x3 tab
kemasan obat kombinasi dosis tetap atau FDC
– Methioson tab 3x1
yang terdiri dari 3 atau 4 obat dalam satu tablet.
Tindakan medis:
Rifampisin,
Pirazinamid,
dan
Terapi simptomatis dapat diberikan sesuai
– Pemasangan WSD
dengan gejala yang menyertai. Terapi supportif
– Pleurodesis
dapat diberikan untuk menunjang kebrhasilan dalam terapi dasar. Terapi Pneumotoraks Tindakan
yang
lazim
dikerjakan
pada
pneumotoraks adalah pemasangan WSD (Water Seal Drainage). Pada keadaan gawat dapat dilakukan punksi dengan jarum kemudian dihubungkan dengan selang ke botol berisi air. Pencegahan pneumotorak rekuren, dapat dilakukan dengan menggunakan pleurodesis kimia, dengan menggunakan larutan tetrasiklin, bedak talk atau iodopovidon.
Analisa
Terapi yang diberikan pada pasien ini selain bersifat kausatif, namun juga diberikan terapi simptomatis, suportif dan profilaksis. Terapi kausatif untuk mengobati penyakit dasarnya yaitu TB paru, dengan regimen obat yang diberi adalah FDC berupa Rimstar 3x1 tablet. Rimstar mengandung Rifampicin 150 mg, INH 75 mg, Pirazinamid 400 mg, Etambutol 275 mg. Pemberian dosis tersebut disesuaikan pada berat badan pasien yaitu 43 kg, dimana pada BB 38-54 kg
60
mendapat 3 tab/hari. Pemberian Cefotaxim diguanakan sebagi antibiotik broad spectrum pada infeksi saluran nafas bagian bawah. Dosis untuk infeksi sedang hingga berat adalah 1-2gr IM/IV tiap 8 jam. Terapi simptomatis pada kasus ini, didasarkan pada gejala yang menyertai, yakni batuk, sehingga diberi obat Dextrometorphan syrup 3x1 sdm. Sedangkan pemberian Salbutamol berfungsi untuk mengurangi keluhan sesak nafas yang dialami pasien ini dan diberi dosis kecil yaitu 3x2 mg tab/hari. Pemberian neurobion drip, diperuntukkan sebagai terapi suportif pada pasien ini. Komposisi Neurobion antara lain vitamin B1 100 mg, B6 100 mg, dan B12 1000 mcg. Vitamin tersebut selain dapat meredakan nyeri juga berfungsi untuk mencegah efek samping dari OAT, terutama efek dari INH yang berpengaruh pada saraf tepi. Pemberian Ranitidin injeksi juga diberikan sebagi terapi suportif, untuk mencegah sindrom dispepsia akibat efek samping dari pemberian OAT, yaitu Rifampisin dan Pirazinamid, berupa mual, dan muntah. Pemberian Methioson sebagai terapi profilaksis, diindikasikan untuk mencegah terjadinga gangguan fungsi hepar akibat zat hepatotoksik dari OAT, yakni INH, Rifampisin dan Pirazinamid. Methioson mengandung Methionin 100 mg, cholin bitartrate 10 mg, B 1 2 mg, B2 2 mg, B 6 2 mg, dan B 12 0,67 mcg, vit E 3 mg, nicotinamid 6 mg, pantothenol 3 mg, biotin 100 mcg, folic acid 400 mcg. Dosis yang diberikan 3x1 tab/hari setelah makan. Obat-obat yang telah diberikan diatas, sudah sesuai dengan teori yang ada. Bahwa pengobatan TB paru, tidak hanya mengeradikasi kuman TB saja namun juga memperhatikan efek samping yang ada pada tubuh pasien. Penanganan Pneumotoraks pada pasien ini, dilakukan dengan memasang WSD pada hari pertama dating ke RS.Parikesit, dan dirujuk ke RS.AWS untuk penanganan lebih lanjut. WSD dipasang pada ICS V toraks sinistra, dimana pada paru sebelah kiri terdapat perkusi yang hipersonor. Suction WSD dilakukan pada hari ke-4, saat nyeri sudah berkurang. Pleurodesis
dilakukan
di
hari
ke-9
untuk
mencegah
rekurensi
pneumotoraks pada pasien ini. Pleurodesis yang dilakukan menggunakan bahan utama Iodopovidon dan NaCl, karena selain mudah didapat dan tergolong murah,
61
iodopovidon telah terbukti dalam banyak penelitian sebagai agen sklerosing yang aman dan efisien. Sebagai anti nyeri digunakan Antrain injeksi IV, Pronalges (Ketoprofen) supp 2, untuk mengngurangi nyeri saat dan setelah proses pleurodesis selesai.
Prognosa
Prognosa pasien ini adalah dubia ad bonam, karena telah adanya perbaikan keadaan umum secara progresif dari awal terapi hingga kepulangan pasien. Terutama pada kondisi pneumotoraks yang dialami pasien, dimana paru telah mengembang kembali. Namun secara keseluruhan, prognosa tetap bergantung pada kepatuhan pasien dalam menjalani terapi TB paru.
62