Usaha pertanian sendiri meliputi kegiatan-kegiatan in-put, produksi, dan out-put (Uphoff, 1986). Dalam pengelolaan faktor-faktor produksi, prosesproduksi, sampai dengan pengolahan hasil diperlukan kelembagaan petani. Kegiatan usaha pertanian akan berhasil jika petani mempunyai kapasitas yang memadai. Untuk dapat mencapai produktivitas dan efisiensi yang optimal petani harus menjalankan usaha bersama secara kolektif. Untuk keperluan ini diperlukan pemahaman mengenai suatu kelembagaan di tingkat petani. PENGERTIAN KELEMBAGAAN PERTANIAN
Ditinjau dari Pengertian Kelembagaan Roucek dan Warren (1984). Kelembagaan adalah keseluruhan polapola ideal, organisasi, dan aktivitas yang berpusat di sekeliling kebutuhan dasar seperti kehidupan keluarga, negara, agama dan mendapatkan makanan, pakaian, dan kenikmatan serta tempat perlindungan. Suatu lembaga dibentuk selalu bertujuan untuk memenuhi berbagai kebutuhan manusia sehingga lembaga mempunyai fungsi. Selain itu, lembaga merupakan konsep yang berpadu dengan struktur, artinya tidak saja melibatkan pola aktivitas yang lahir dari segi sosial untuk memenuhi kebutuhan manusia, tetapi juga pola organisasi untuk melaksanakannya
Ditinjau dari Pengertian Kelembagaan Sosial Menurut Koentjaraningrat (1964), lembaga kemasyarakatan/lembaga sosial atau pranata sosial adalah suatu sistem norma khusus yang menata suatu rangkaian tindakan berpola mantap guna memenuhi suatu kebutuhan khusus dari manusia dalam kehidupan masyarakat Soekanto (2003) mendefinisikan lembaga kemasyarakatan sebagai himpunan dari normanorma segala tindakan berkisar pada suatu kebutuhan pokok manusia di dalam kehidupan masyarakat. Rahardjo (1999) menyatakan bahwa kelembagaan sosial ( social social institution) institution) secara ringkas dapat diartikan sebagai kompleks norma-norma atau kebiasaan-kebiasaan untuk mempertahankan nilai-nilai yang dipandang sangat penting dalam masyarakat, merupakan wadah dan perwujudan yang lebih konkret dari kultur dan struktur.
Berdasarkan pada beberapa pengertian tadi , dapat dipahami bahwa kelembagaan pertanian adalah “norma atau kebiasaan yang terstruktur dan terpola serta dipraktekkan terus menerus untuk memenuhi kebutuhan anggota masyarakat yang terkait erat dengan penghidupan dari bidang pertanian di pedesaan”. pedesaan”. Dalam kehidupan komunitas petani, posisi dan fungsi kelembagaan petani merupakan bagian pranata sosial yang memfasilitasi interaksi sosial atau social interplay dalam suatu komunitas. Kelembagaan pertani juga memiliki titik strategis (entry point) dalam menggerakkan sistem agribisnis di pedesaan. PERAN KELEMBAGAAN PERTANIAN
Kelembagaan pertanian baik formal maupun informal belum memberikan peranan yang berarti khususnya di daerah perdesaan, hal ini disebabkan :
Peran antar lembaga pendidikan dan pelatihan, balai penelitian, dan penyuluhan belum terkoordinasi dengan baik. Fungsi dan keberadaan lembaga penyuluhan cenderung terabaikan. Koordinasi dan kinerja lembaga-lembaga keuangan perbankan perdesaan masih rendah. Koperasi perdesaan khususnya yang bergerak di sektor pertanian masih belum berjalan optimum. Keberadaan lembaga-lembaga tradisi di perdesaan belum dimanfaatkan secara optimum.
Menurut Esman dan Uphoff (1989). Kelembagaan petani dibentuk pada dasarnya mempunyai beberapa peran, yaitu: a) tugas dalam organisasi (interorganizational task) untuk memediasi masyarakat dan negara, b) tugas sumberdaya (resource tasks) mencakup mobilisasi sumberdaya lokal (tenaga kerja, modal, material, informasi) dan pengelolaannya dalam pencapaian tujuan masyarakat, c) tugas pelayanan (service tasks) mungkin mencakup permintaan pelayanan yang menggambarkan tujuan pembangunan atau koordinasi permintaan masyarakat lokal, dan d) tugas antar organisasi (extra-organizational task) memerlukan adanya permintaan lokal terhadap birokrasi atau organisasi luar masyarakat terhadap campur tangan oleh agenagen luar Saat ini potret petani dan kelembagaan petani di Indonesia diakui masih belum sebagaimana yang diharapkan (Suradisastra, 2008) Peran kelembagaan dalam membangun dan mengembangkan sektor pertanian di Indonesia terutama terlihat dalam kegiatan pertanian tanaman pangan, khususnya padi. Di tingkat makro nasional, peran lembaga pembangunan pertanian sangat menonjol dalam program dan proyek intensifikasi dan peningkatan produksi pangan. Kegiatan pembangunan pertanian dituangkan dalam bentuk program dan proyek dengan membangun kelembagaan koersif (kelembagaan yang dipaksakan), seperti Padi Sentra, Demonstrasi Massal (Demas), Bimbingan Massal (Bimas), Bimas Gotong Royong, Badan Usaha Unit Desa (BUUD), Koperasi Unit Desa (KUD), Insus, dan Supra Insus. JENIS KELEMBAGAAN PERTANIAN
Menurut Basuki, dkk. (2006), kelembagaan pertanian memiliki delapan jenis kelembagaan, yaitu: 1) 2) 3) 4)
kelembagaan penyedia input, kelembagaan penyedia modal, kelembagaan penyedia tenaga kerja, kelembagaan penyedia lahan dan air,
5) 6) 7) 8)
kelembagaan usaha tani, kelembagaan pengolah hasil usaha tani, kelembagaan pemasaran, kelembagaan penyedia informasi
Menurut Mosher, di setiap lokalitas usahatani diperlukan beberapa kelembagaan pertanian, yaitu: kelembagaan pemasaran, kelembagaan penelitian dan pengujian, kelembagaan penyuluhan, kelembagaan penyedia sarana produksi, kelembagaan keuangan (penyedia kredit produksi), kelembagaan pengolahan dan pemasaran hasil pertanian dan kelembagaan transportasi. Kelembagaan di tingkat lokal tersebut harus mempunyai akses dengan kelembagaan serupa di tingkat regional dan nasional. 1) Kelembagaan penelitian dan pengujian Ditingkat lokal, kelembagaan ini dikenal sebagai petak pengujian lokal yang pelaksanaannya dilakukan oleh penyuluh, petani maju dan atau pegiat lembaga swadaya masyarakat. Fungsi kelembagaan ini antara lain melakukan pengujian tentang : Efektivitas sarana produksi Alternatif teknik budidaya tanaman Efektivitas peralatan/mesin pertanian
2) Kelembagaan penyuluhan Sampai dengan tahun 1970-an, hanya dilakukan instansi pemerintah sejak dilaksanakan proyek penyuluhan tanaman pangan pada 1976, dikembangkan balai penyuluhan pertanian di tingkat wilayah pembantu bupati. Pada periode 1995-2000, di tingkat kabupaten pernah dicoba pengembangan kelembagaan penyuluhan pertanian yang terpisah dari dinas pertanian, yaitu balai informasi dan penyuluhan pertanian (BIPP) dengan kebijakan revitalisasi pertanian, diundangkan UU No. 16 Tahun 2007 tentang sistem penyuluhan pertanian, erikana dan kehutanan. 3) Kelembagaan penyedia sarana produksi Ditingkat nasional dan provinsi, kabupaten dan kecamatan ditangani oleh BUMN dan swasta (produsem, distributor, penyalur) sedang ditingkat desa/kelurahan ditangani swasta (pengecer) dan KUD. 4) Kelembagaan pengolahan dan pemasaran hasil : BUMN (Bulog), swasta dan koperasi. 5) Kelembagaan keuangan : BRI dan swasta (pedagang, tengkulak, pelepas uang) 6) Kelembagaan pengangkutan (transportasi) : masih ditangani oleh swasta.
Keberadaan kelembagaan petani didasarkan atas kerjasama yang dapat dilakukan oleh petani dalam mengelola sumberdaya pertanian, antara lain:
(a) pemprosesan (processing), agar lebih cepat, efisien dan murah; (b) pemasaran (marketing), akan meyakinkan pembeli atas kualitas dan meningkatkan posisi tawar petani; (c) pembelian (buying), agar mendapatkan harga lebih murah; (d) pemakaian alat-alat pertanian (machine sharing), akan menurunkan biaya atas pembelian alat tersebut; (e) kerjasama pelayanan (cooperative services), untuk menyediakan pelayanan untuk kepentingan bersama sehingga meningkatkan kesejahteraan anggota; (f) bank kerjasama (co-operative bank) (g) kerjasama usahatani (co-operative farming), akan diperoleh keuntungan lebih tinggi dan keseragaman produk yang dihasilkan; (h) kerjasama multitujuan (multi-purpose co-operatives), yang dikembangkan sesuai minat yang sama dari petani. Kegiatan bersama (group action atau cooperation) oleh para petani diyakini oleh Mosher (1991) sebagai faktor pelancar pembangunan pertanian. Aktivitas bersama sangat diperlukan apabila dengan kebersamaan tersebut akan lebih efektif dalam mencapai tujuan yang diinginkan bersama. REVITALISASI KELEMBAGAAN PERTANIAN
Untuk membangun kelembagaan pertanian yang baik, kita harus melakukan revitalisasi di beberapa point yaitu: a. Peningkatan kualitas sumberdaya manusia para pelaku kelembagaan sehubungan dengan perkembangan teknologi, permasalahan dan kebutuhan para petani b. Diperlukan restrukturisasi kelembagaan penyuluhan pertanian yang mampu menyentuh langsung kebutuhan petani dengan melibatkan petani secara lebih aktif lagi c. Meningkatkan kualitas manajemen koperasi yang ada, khususnya dalam kualitas sumberdaya manusia para pengurus dan manajer, dalam rangka meningkatkan kesejahteraan petani d. Meningkatkan koordinasi peran lembaga-lembaga keuangan/perbankan dengan lembagalembaga penyuluhan, sarana produksi, dan koperasi untuk meningkatkan pelayanan kepada petani secara optimum e. Meningkatkan peran badan penerapan teknologi dan informasi pertanian f. Meningkatkan peran dari lembaga-lembaga tradisional seperti organisasi lumbung desa dan pengairan g. Meningkatkan kemandirian organisasi petani Dalam sistem pertanian dikenal juga istilah Kelembagaan rantai pasok yakni hubungan manajemen atau sistem kerja yang sistematis dan saling mendukung di antara beberapa lembaga kemitraan rantai pasok suatu komoditas. Komponen kelembagaan kemitraan rantai pasok mencakup pelaku dari seluruh rantai pasok, mekanisme yang berlaku, pola interaksi antarpelaku, serta dampaknya bagi pengembangan usaha suatu komoditas maupun bagi peningkatan kesejahteraan pelaku pada rantai pasok tersebut.
Bentuk kelembagaan rantai pasok pertanian terdiri dari dua pola, yaitu pola perdagangan umum dan pola kemitraan. Ikatan antara petani dan pedagang umumnya ikatan langganan, tanpa adanya kontrak perjanjian yang mengikat antarkeduanya dan hanya mengandalkan kepercayaan. Petani dan pedagang pada pola ini juga sering melakukan ikatan pinjaman modal. Sedangkang pola kemitraan rantai pasok pertanian adalah hubungan kerja di antara beberapa pelaku rantai pasok yang menggunakan mekanisme perjanjian atau kontrak tertulis dalam jangka waktu tertentu. Dalam kontrak tersebut dibuat kesepakatan-kesepakatan yang akan menjadi hak dan kewajiban pihak-piihak yang terlibat (Marimin dan Maghfiroh, 2010). Menurut Dimyati (2007), permasalahan yang masih melekat pada sosok petani dan kelembagaan petani di Indonesia adalah: 1. 2. 3.
Masih minimnya wawasan dan pengetahuan petani terhadap masalah manajemen produksi maupun jaringan pemasaran. Belum terlibatnya secara utuh petani dalam kegiatan agribisnis. Aktivitas petani masih terfokus pada kegiatan produksi (on farm). Peran dan fungsi kelembagaan petani sebagai wadah organisasi petani belum berjalan secara optimal.
Untuk mengatasi permasalahan di atas perlu melakukan upaya pengembangan, pemberdayaan, dan penguatan kelembagaan petani (seperti: kelompoktani, lembaga tenaga kerja, kelembagaan penyedia input, kelembagaan output, kelembagaan penyuluh, dan kelembagaan permodalan) dan diharapkan dapat melindungi bargaining position petani.
DAFTAR PUSTAKA
Anantanyu, Sapja. 2011. Kelembagaan Petani: Peran dan Strategi Pengembangan Kapasitasnya. SEPA. 7(2):102-109. Fitria, N.D. Kelembagaan Pertanian. 19 September 2013. http://ekonomi.kompasiana.com/manajemen/2013/09/19/kelembagaan-pertanian-591347.html [10 Oktober 2014]. Setiawan, A., Putri, M., Widia, A.N. 2012. Makalah DDPK Sejarah Penyuluhan, Kelembagaan Pertanian dan Falsafat Penyuluh Pertanian. Bandar Lampung: Universitas Lampung. Pasaribu, B.S. Kelembagaan Pertanian. 23 Oktober 2013. http://www.slideshare.net/anman963/4kelembagaan-pertanian-27471583 [10 Oktober 2014]. Anonim.______. Oktober 2014].
https://www.scribd.com/doc/54270134/tugas-7-Kelembagaan-Pertanian
[10