JUDUL RINGKASAN NAMA MAHASISWA NIM SEMESTER KELAS MATA KULIAH DOSEN
:PINJAL MANUSIA (pulex irritanst) :AULIA NOPRIANTY :DIII TEKNOLOGI LABORATORIUM MEDIK :AK816011 :IV :A :PARASITOLOGI II :PUTRI KARTIKA SARI ,M.Si
YAYASAN BORNEO LESTARI AKADEMI ANALIS KESEHATAN BORNEO LESTARI BANJARBARU 2018
1.1 Definisi pinjal manusia Pinjal adalah jenis serangga yang masuk dalam ordo Siphonaptera yang secara morfologis berbentuk pipih lateral dibanding dengan kutu manusia (Anoplura) yang berbentuk pipih, tetapi rata atau horizontal khas, yakni berbentuk pipih horizontal, tidak bersayap, tanpa mata majemuk, memiliki dua oseli, antena pendek tetapi kuat, alat-alat mulut dimodifikasi dalam bentuk menusuk dan menghisap, bagian eksternal tubuh memiliki struktur seperti sisir dan duri-duri, bersifat ektoparasit pada hewan-hewan berdarah panas. Pinjal termasuk ordo Sinophonaptera yang mulanya dikenal sebagai ordo Aphniptera. Terdapat sekitar 3000 spesies pinjal yang masuk ke dalam 200 genus. Sekarang ini baru 200 spesies pinjal yang telah diidentifikasi (Anonim,2004).
1.2 Klasifikasi Pinjal Manusia (Pulex Irritans) : Kingdom
:Animalia
Sub kingdom
:Invertebrata
Filum
:Arthropoda
Kelas
:Insecta
Ordo
:Siphonoptera
Familia
:Pulicidae
Genus
:Pulex
Spesies
:Pulex irritans
Berikut Gambar Yang Didapatkan Dari Hasil Pengamatan:
Gambar 1.1 Spermatheca pada Pulex betina
Gambar 1.2 Larva Pinjal
1.3 Siklus Hidup Metamorfosis sempurna, Pulex irritans betina mampu bertelur enam buah sehari. Telur ini selalu melekat dengan kuat pada rambut. Telur-telur ini akan menetas setelah kurang lebih 8 hari. Dari dalam telur akan keluar larva berbentuk seperti cacing bergerak aktif untuk mencari makan berupa bahan-bahan organik atau darah yang mengering. Larva terdiri dari 14 segmen yang ditutupi oleh bulu- bulu. Larva akan mengalami 3 kali pergantian kulit dan yang terakhir terjadi di dalam kokon. Didalam kokon yang biasanya tertutup oleh partikel kotoran, terbentuk pupa yang berwarna keputihan dan akhirnya terbentuk Pulex irritans dewasa. Sampai terbentuknya kokon itu diperlukan waktu 14-21 hari, lalu menjadi dewasa.
2.1 Patogenesis Berdasarkan perbedaan : -
Pulex irritant
Pinjal dengan host manusia (Pulex irritant) dapat menghisap darah untuk sumber makanan dan mematangkan telur nya.
-
Gigitan Pulex irritant dapat menyebabkan infeksi kulit dan infeksi reaksi alergi lainnya.
-
Sebagai vektor penyakit flea typhus dan penyakit pes ( Sampar / Plague).
-
Sebagai hospes perantara untuk Dipylidium caninum
-
Pediculus humanus capitis
Air liur yang dimasukkan sewaktu mengisap darah menyebabkan iritasi dan menimbulkan papel merah yang disertai gatal yang hebat.
-
Tiap orang mempunyai kepekaan yang berlainan.
-
Menggaruk menambah peradangan dan karena infeksi sekunder oleh bakteri, terbentuk pustel. Crusta dan proses penanahan.
2.2 Gejala Klinis Gigitannya menimbulkan rasa sakit dan gatal yang kuat pada permukaan kepala. Ini disebabkan oleh karena pinjal nya menghisap darah. Tanda-tanda merah pada permukaan kepala, leher dan belakang telinga. Tanda- tanda bengkak terlihat di belakang telinga. Bila terjadi infeksi sekunder dapat terbentuk ulkus. Terdapatnya telurtelur yang kecil. Tetapi telur yang menetas akan jadi larva dan larva nya akan aktif bergerak mencari makan berupa bahan organik atau darah kering supaya terbentuk pupa. Ia nampak bersinar dan berwarna putih. Ia terlihat seperti ketombe tetapi tidak mudah dikeluarkan.
Gambar 1.3 Pulex Irritant
Gambar 1.4 Akibat Gigitan Pulex Irritant
2.3 Epidemiologi
Sebagai hospes perantara untuk Dipylidium caninum
Pinjal juga berperan sebagai inang antara cacing pita Dipyllidium caninum (Linnaeus) (Gupta et al. 2008). Infeksi D. caninum pada inang defnitif dikenal sebagai penyakit Dipylidiasis. Hal tersebut dapat terjadi karena inang defnitif menelan inang antara yang mengandung larva D. caninum (Bowman et al.2002). Dipylidiasis termasuk dalam metazoonosis, yaitu penyakit zoonosa yang ditransmisikan dari invertebrata ke vertebrata (Lane et al. 2008). Adam et al. (2012) melaporkan kejadian Dipylidisis pada laki-laki karena tidak sengaja menelan pinjal yang mengandung larva D. caninum yang berada pada anjing dan kucing di sekitarnya. Infeksi D. caninum tersebar di seluruh dunia dan umum terjadi pada kucing (Taylor et al. 2007). Dipylidiasis pada kucing biasanya tidak menunjukkan gejala klinis, namun proglotid dapat ditemukan pada fesesnya (BARK 2010).
Sebagai vektor penyakit flea typhus dan Pes ( Sampar / Plague).
Kondisi kucing yang hidup secara bebas sekaligus kotor memudahkan berbagai jenis penyakit, di antaranya flea allergic dermatitis (FAD) dan Dipylidiasis diduga dapat berkembang di lingkungan. FAD merupakan penyakit yang disebabkan oleh gigitan pinjal (Siphonaptera) dengan gejala klinis pruritus dan papula di kulit (Lane et al. 2008). Menurut Hadi & Soviana (2010), beberapa pinjal utama yang menimbulkan masalah di Indonesia adalah Pulex irritans L., Ctenocephalides felis (Bouche), Ctenocephalides canis (Curtis), dan Xenopsylla cheopis (Roths.). Pinjal selain menyebabkan gangguan pada kucing juga mengganggu manusia. Chin et al. (2010) melaporkan enam mahasiswa lakilaki di Kuala Lumpur terinfestasi C. felis dengan gejala klinis berupa pruritus dan maculopapular . Untuk penyakit Pes ( Sampar / Plague) merupakan penyakit infeksi pada manusia dan hewan terutama tikus, pinjal menghisap darah manusia / tikus yang terinfeksi bakteri Yersinia pestis, akan terkandung pada lambungnya tikus. (Gupta et al. 2008).
3.1 Diagnosis Diagnosis ditegakkan jika terdapat rasa gatal-gatal yang hebat dengan bekasbekas garukan dan dipastikan jika ditemukan Pediculus humanus capitis dewasa, nimfa dan telurnya.
3.2 Pencegahan, Pengobatan, dan Pengendalian
Pencegahan
Menurut Soedarto, 1983. Langkah-langkah di bawah ini dapat dilakukan untuk mencegah keberadaan pinjal yaitu: 1. Menyedot menggunakan vaccum Seringlah menyedot di daerah dimana saja hewan peliharaan kunjungi, khususnya di mobil jika sering berpergian, daerah berkarpet, dan perabotan yang sering dikunjungi oleh hewan peliharaan supaya semua kutu termasuk telur, dan pupa nya dibersihkan sebanyak mungkin. 2. Pencucian Cucilah tempat tidur hewan peliharaan, kasur, selimut dan barang lainnya dengan air panas jika memungkinkan. 3. Penyemprotan Lingkungan Ada beberapa macam spray/semprotan yang tersedia yang bertujuan membunuh kutu loncat di lingkungan sekitarnya.
Pengobatan
Macam-macam obat untuk Pinjal Pulex Irritans : a. Shampo Lidane 1%. Gamma benzene heksa klorid atau piretrin. Dosis, shampo rambut biarkan 4-10 menit, kemudian dibilas piretrin. Pakai sampai rambut menjadi basah, biarkan 10 menit kemudian dibilas. (Tindak lanjut periksa rambut 1 minggu setelah pengobatan untuk telur dan kutu rambut). b. Selep Lindang (BHC 10%) ; atau bedak DDT 10% atau BHC 1% dalam pyrophylite; atau Benzaos benzylicus emulsion. Dosis, epala dapat digosok dengan salep Lindane (BHC 1%) atau dibedaki dengan DDT 10% atau BHC 1% dalam pyrophlite atau baik dengan penggunaan 3 – 5 gram dari campuran
tersebut untuk sekali pemakaian. Bedak itu dibiarkan selama seminggu pada rambut, lalu rambut dicuci dan disisir untuk melepaskan telur. Emulsi dari benzyl benzoate ternyata juga berhasil. c. Cair / Peditox / Hexachlorocyclohexane 0,5%. Dosis, osokkan pada rambut dan kepala sampai merata biarkan semalam kemudian dicuci lalu dikeringkan.
Pengendalian
Untuk mencegah penyebaran penyebaran penyakit yang disebabkan oleh pinjal maka perlu dilakukan tindakan pengendalian terhadap arthopoda tersebut. Upaya yang dapat dilakukan, antara lain melalui penggunaan insektisida, dalm hal ini DDT, Diazinon 2% dan Malathion 5% penggunan repllent (misalnya, diethyl toluamide dan benzyl benzoate) dan pengendalian terhadap hewan pengerat (rodent). Pengendalian pinjal di dalam ruangan terutama ditujukan terhadap pinjal dewasa, baik pada inang maupun diluar inang. Keefektifan insektisida pada pinjal dewasa ternyata bervariasi tergantung jenis permukaan tempat aplikasi. Pada permukaan kain tenun dan karpet, insektisida organofosfat paling efektif, selanjutnya berturut-turut karbamat > pirethrin sinergis > pirethtroid.
DAFTAR PUSTAKA
-Adam AA, Saeed OM, Ibrahim HM, Malik HYE, Ahmed ME. 2012. D. caninum infection in a 41 year old sudanese man in Nyala, Sudan: the first reported case in Sudan in 2006. Al Neelain Medical Journal 2:37–42 -Anonim, 2004. Teori Parasitologi. Semarang: Akademi Analisis Kesehatan. Universitas Muhamadiyah Semarang. -[BARK] Banfeld Applied Research & Knowledge Team. 2010. Flea Literature Review. Tillamok: Banfeld Pet Hospital. -Bowman DD, Hendrix HM, Lindsay DS, Barr SC. 2002. Feline Clinical Parasitology. 1st ed. Iowa: Iowa State University Press. doi: http://dx.doi. org/10.1002/9780470376805. -Brown, H. W, 1983. Dasar Parasitologi Klinik. Jakarta: PT. Gramedia -Chin HC, Ahmad NW, Lim LH, Jeffery J, Hadi AA, Othman H, Omar B. 2010. Infestation with the cat flea, Ctenocephalides felis felis (Siphonaptera: Pulicidae) among students in Kuala Lumpur, Malaysia. The Southeast Asian Journal Of Tropical Medicine And Public Health 41:1331–1334. -Gupta N, Gupta DK, Shalaby S. 2008. Parasitic zoonotic infections in Egypt and India: an overview. Journal of Parasitic Diseases 32:1–9. -Lane DR, Guthrie S, Griffth S. 2008. Dictionary of Veterinary Nursing. 3th Ed. London: Butterworth– Heinemann. -Soedarto, 1983. Ontemologi Kedokteran. Surabaya: Penerbit Fakultas Kedokteran Universitas Airlangga -Taylor MA, Coop RL, Wall RL. 2007. Veterinary Parasitology.3thed. Australia: Blackwell Scientifc.