Anemia Defisiensi Besi
Meidalena Anggresia Bahen 102010056 A4
17 April 2013
1
Anemia Defisiensi Besi Meidalena Anggresia Bahen*
Pendahuluan Darah adalah suatu suspense partikel dalam suatu larutan koloid cair yang mengandung elektrolit. Darah berperan sebagai medium pertukaran antara sel yang terfiksasi dalam tubuh dan lingkungan luar, serta memiliki sifat protektif terhadap organisme dan khususnya terhadap darah sendiri. Komponen cair darah yang disebut plasma teridiri dari 91-92% air yang berperan sebagai medium transport, dan 8-9% zat padat. Zat padat tersebut antara lain protein-protein seperti albumin, globulin, faktor-faktor pembekuan, dan enzim; unsur organic seperti zat nitrogen nonprotein (urea, asam urat, xantin, kreatinin, asam amino), lemak netral, fosfolipid kolesterol, dan glukosa, dan unsure anorganik berupa natrium, klorida, bikarbonat, kalsium, kalium, magnesium, fosfor, besi, dan iodium. Walaupun semua unsure memainkan peranan penting 1
dalam homeostasis, tetapi peranan protein plasma sering terlibat dalam diskrasia darah.
Unsur sel darah terdiri dari sel darah merah, (eritrosit), beberapa sel darah putih (leukosit), dan fragmen sel yang disebut trombosit. Eritrosit berfungsi sebagai transfor atau pertukaran oksigen (O2) dan karbondioksida (CO2), leukosit berfungsi untuk mengatasi infeksi, dan trombosit untuk hemostatis. Sel-sel ini mempunyai umur yang terbatas, sehungga diperlukan pembentukan optimal yang konstan untuk mempertahan jumlah yang diperlukan untuk memenuhi kebutuhan jaringan. Pembentukan ini, yang disebut hematopoiesis (pemebentukan dan pematangan sel darah) terjadi dalam sumsum tulang tengkorak, vertebra, pelvis, sternum, iga-iga, dan epifisis proksimal tulang-tulang panjang. Apabila kebutuhan meningkat, misalnya pada pendarahan atau penghancuran sel (hemolisis), maka dapat te rjadi pembentukan lagi dalam 1
seluruh tulang panjang, seperti yang terjadi pada anak-anak.
*Alamat korespondensi :
Meidalena Anggresia Bahen, Mahasiswa semester semester 6 Fakultas Kedokteran Universitas Kristen Krida Wacana Jl.Arjuna Utara No 6, Jakarta Barat 11510 Email :
[email protected] [email protected] 2
Anamnesis Anamnesis
dapat
dilakukan
autoanamnesis
pada
pasien dewasa
jika
keadaan
memungkinkan. Sekiranya keadaan tidak memungkinkan, anamnesis dilakukan secara allo anamnesis. Anamnesis yang perlu dilakukan meliputi:
Identitas Pasien
Meliputi nama, umur, jenis kelamin, pendidikan, alamat, pekerjaan, agama, suku bangsa
Keluhan utama
Bertanya tentang awitan dan gejala awal. Pasien mengeluh mudah lelah, nafas menjadi lebih berat, sesak nafas, kurang tenaga dan gejala lainnya.
Kekurangan zat besi memiliki gejala sendiri, yaitu:
2
2,3
Pika: suatu keinginan memakan zat yang bukan makanan seperti es batu, kotoran atau kanji
Glositis : iritasi lidah
Keilosis
Koilonikia : kuku jari tangan pecah-pecah dan bentuknya seperti sendok.
Disfagia: nyeri menelan karena kerusakan epitel hipofaring
: bibir pecah-pecah
Ditanyakan juga pola pertumbuhan sekiranya pasien anak/remaja.
Riwayat penyakit sekarang
Ditanya tentang faktor resiko yang mungkin ada pada pasien. Misalnya, kebiasaan makannya atau status diet, ambilan obat dan jangka waktunya, status sosioekonomi 2,3
(malnutrisi), status menstruasi (pada wanita, sering pada premenopause).
Penyakit yang dialami sekarang seperti perdarahan saluran makanan, perdarahan genitourinarius, hemosiderosis paru, dan hemolisis intravascular serta tempuh lamanya 2,3
penyakit tersebut.
3
Riwayat penyakit dahulu
Ditanya jika pasien mempunyai riwayat gastrektomi parsial atau total, by pass usus halus 3
proksimal.
3
Ditanya adakah pasien ada mengonsumsi obat terutama aspirin.
Pemeriksaan Fisik Pemeriksaan Status generalis: a. Keadaan umum: Tampak sakit ringan, pucat. b. Kesadaran: Kompos mentis c. Tanda-tanda vital: dalam batas normal. Pemeriksaan fisik lain a. Kepala – ditemukan konjungtiva anemis. Dapat juga ditemukan stomatitis 2-4
angularis, atrofi papil lidah
Gambar 1
Angular cheilosis / stomatitis angularis
4
Gambar 2
glossitis karena atrofi papil lidah
4
4
b. Thoraks - murmur sistolik dengan atau tanpa pemb esaran jantung c. Abdomen - Bisa ditemukan splenomegali pada pasien ADB yang berat, persisten dan ADB yang tidak diterapi. d. Ekstremitas – Khas ditemukan koilonikia yaitu kelainan pada kuku, tidak 2-4
ditemukan edema pada tungkai.
Gambar 3
4
Koilonychia (kuku sendok)
Pemeriksaan Penunjang Kadar hemoglobin dan indeks eritrosit
Didapatkan anemia hipokromik mikrositer dengan penurunan kadar hemogglobin mulai dari ringan sampai berat. MCV dan MCH menurun. MCV <70 fl hanya didapatkan pada anemia defisiensi besi dan thalassemia major. MCHC menurun pada defisiensi yang lebih berat dan berlangsung lama. Anisositosis merupakan tanda awal defisiensi besi. Penigkatan anisositosis ditandai oleh peningkatan RDW (red cell distribution width). Dulu dianggap pemeriksaan RDW dapat dipakai untuk membedakan ADB dengan anemia akibat penyakit kronik, tetapi sekarang RDW pada kedua jenis ini hasilnya sering tumpang tindih. Mengenai titik pemilah MCV, ada yang memaki angka <80fl, tapi pada penilitian ADB di Bagian Penyakit Dalam FK UNUD Denpasar, dijumpai bahwa titik pemilah <78fl memberi sensitivitas dan sfesifisitas paling baik. Dijumpai juga bahwa penggabungan MCV,MCH,MCHC dan RDW makin meningkatkan spesifisitas indeks eritrosit. Indeks eritrosit selalu dapat mengalami perubahan sebelum kadar hemoglobin menurun.
5
Hapusan darah tepi menunjukkan anemia hipokromik mikrositer, anisositosis, dan poiklilositosis. Makin berat derajat anemia, makin berat derajat hipokromia. Derajat hipokromia dan mikrositosis berbanding lurus dengan derajat anemia, berbeda dengan thalassemia. Jika terjadi hipokromia dan mikrositosis ekstrim, maka sel tampak sebagai sebuah cincin (ring cell ), atau memanjang seperti elips, disebut sebagai sel pensil ( pencil cell atau cigar cell ). Kadangkdang dijumpai sel target. Leukosit dan trombosit pada umumnya normal. Tetapi granulositopenia ringan dapat dijumpai pada ADB yang berlangsung lama. Pada ADB karena cacing tambang dijumpai eosinofilia. Trombositosis dapat dijumpai pada ADB dengan dengan 2-3
episode perdarahan akut.
Konsentrasi besi serum dan Total Iron Binding Capacity (TIBC)
Konsentrasi besi serum dan Total Iron Binding Capacity (TIBC) meningkat. TIBC menunjukkan tingkat kejenuhan apotransferin terhadap besi, sedangkan saturasi transferin dihitung dari besi serum dibagi TIBC dikalikan 100%. Untuk kriteria diganosis ADB, kadar besi serum menurun <50µg/dl, total iron binding capacity (TIBC) meningkat >350µg/dl, dan saturasi transferin <15%. Ada juga memakai saturasi transferin <16%, atau <18%. Harus diingat bahwa besi serum menunjukkan variasi diurnal yang sangat besar dengan kadar puncak pada jam 8 sampai 10 pagi. Ferritin serum
Feritin serum merupakan indikator cadangan besi yang sangat baik kecuali pada keadaan inflamasi dan keganasan tertentu. Titik pemilah (cutt off point ) untuk feritin aserum pada ADB diapakai angka <12µg/l, tetapi ada juga yang memakai <15µg/l. untuk daerah tropik di mana angka infeksi dan inflamasi masih tinggi, titik pemilah yang diajukan oleh negara barat tampaknya haris dikoreksi. Pada satu penilitian pada pasien anemia di rumah sakit di Bali pemakaian feritin serum <12µg/l dan <20µ/l memberikan sensitivitas dan spesifisitas masingmasing 68% dan 98% serta 68% dan 96%. Sensitivtas tertinggi (84%) justru dicapai pada pemakaian feritin serum <40mg/l, tanpa mengurangi spesifisitas terlalu banyak (92%). Hercberg untuk daerah tropik menganjurkan memakai angka feritin serum <20mg/l sebagai kriteria diagnosis ADB. Jika terdapat inflamasi atau infeksi yang jelas seperti artritis reumatoid, maka feritin serum 50-60µg/l masih dapat menunjukkan adanya defisiensi besi. Feritin serum 6
merupakan pemeriksaan laboratorium untuk diagnosis ADB yang paling kuat oleh karena itu banyak dipakai baik di klinik maupun di lapangan karena cukup reliabel dan praktis, meskipun tidak terlalu sensitif. Angka feritin serum normal tidak selalu dapat menyingkirkan adanya defisiensi besi, tetapi feritin serum di atas 100mg/dl dapat memastikan tidak adanya defisiensi 2
besi.
Protoporfirin
Protoporfirin merupakan bahan antara dalam pembentukan heme. Apabila sintesis heme terganggu, misalnya karena defisiensi besi, maka protoporfirin akan menumpuk dalam eritrosit. Angka normal adalah kurang dari momg/dl. Untuk defisiensi besi, protoporfirin bebas adalah lebih dari 100mg/dl. Keadaan yang sama juga didapatkan pada anemia akibat penyakit kronik 2
dan keracunan timah hitam. Kadar reseptor transferin
Kadar reseptor transerin dalam serum meningkat pada defisiensi besi. Kadar normal dengan cara immunologi adalah 4-9µg/L. Pengukuran reseptor transferin terutama digunakan untuk membedakan ADB dengan anemia akibat penyakit kronik. Akan lebih baik lagi bila dipakai rasio reseptor teransferin dengan log feritin serum. Ratio >1,5 menunjukkan ADB dan rasio <1,5 2
sangat mungkin anemia karena penyakit kronik Pemeriksaan sumsum tulang
Sumsum tulang menunjukkan hiperplasia normoblastik ringan sampai sedang dengan normoblas kecil-kecil. Sitoplasma sangat sedikit dan tepi tak teratur. Normoblas ini disebut sebagai micronormoblast. Pengecatan sumsum tulang dengan biru prusia ( Perl’s
stain)
menunjukkan cadangan besi yang negatif (butir hemosiderin negatif). Dalam keadaan normal 4060% normoblast mengandung granula feritin dalam sitoplasmanya, disebut sebagai sideroblast negatif. Di klinik, pengecatan besi pada sumsum tulang dianggap sebagai baku emas ( gold standard ) diagnosis defisiensi besi, namun akhir-akhir ini perannya banyak diambil alih oleh 2
pemeriksaan ferritin serum yang lebih paraktis.
7
Studi ferokinetik
Studi tentang pergerakan besi pada siklus besi dengan menggunakan zat radioaktif. Ada dua jenis studi ferokinetik yaitu Plasma iron transport rate (PIT) yang mengukur kecepatan besi meninggalkan plasma, dan erithrocyte iron turn over rate (EIT) yang mengukur peredaran besi dari sumsum tulang ke sel darah merah yang beredar. Secara praktis kedua pemeriksaan ini tidak 2
banyak digunakan, hanya dipakai untuk tujuan pen ilitian. Pemeriksaan penyakit penyebab
Perlu dilakukan pemeriksaan untuk mencari penyebab anemia defisiensi besi. Antara lain pemeriksaan feses untuk cacing tambang, sebaiknya dilakukan pemeriksaan semikuantitatif misalnya teknik Kato-katz, pemeriksaan darah samar feses, endoskopi, barium intake atau 2
barium inloop, dan lain-lain tergantung dari dugaan penyebab defisiensi tersebut.
Manifestasi klinis Pucat merupakan tanda paling penting pada defisiensi besi. Sklera berwarna biru juga sering, meskipun ini juga dirtemukan pada bayi normal. Pada defisiensi ringan samapai sedang (Hb 6-10 g/dL) mekanisme kompensasi, seperti kenaikan 2,3 difosfogliserat (2,3 DPG) dan pergeseran kurva disosiasi oksigen, mungkin demikian efektif sehingga sedikit saja keluhan anemia timbul, meskipun mungkin ada kenaikan iritabilitas. Pagofagia, yaitu keinginan untuk makan bahan yang tidak biasa seperti es atau tanah, mungkin ada. Pada beberapa anak, memakan bahan yang mengandung timah hitam dapat menyebabkan plumbisme bersamaan. Bila Hb menurun sampai dibawah 5 g/dL, iritabilitas dan anoreksia mencolok. Takikardia dan dilatasi jantung terjadi, dan bising sitolik sering ada. Limpa teraba membesar pada 10-15% penderita. Pada kasus menahun, dapat terjadi pelebarab diploe tulang tengkorak yang mirip dengan yang terlihat pada anemia hemolitik kongenital. Perubahan ini membaik dengan perlahan-lahan bersama terapi substitusi. Anak dengan defisiensi besi mungkin gemuk atau kurang berat, dengan tanmda lain kurang gizi. Iritabilitas dan anoreksia yang khas untuk kasus lanjut mungkin merupakan gambaran defisiensi besi jaringan, karena dengan terapi besi perbaikan yang nyata dalam perilaku sering terjadi sebelum terjadi perbaikan hematologis yang nyata. 8
Defisiensi besi dapat mempengaruhi fungsi neurologis dan intelektual. Sejumlah laporan menduga bahwa anemia defisiensi besi, dan bahkan defisiensi besi tanpa anemia yang berarti, mempengaruhi lama tahan menaruh perhatian, kewaspadaan, dan belajar bayi maupun remaja, tetapi itu tidak tegas benar apakah defisiensi besi merupakan penyebab atau apakah ia sekedar membantu mengidentifikasi bayi-bayi yang berperilaku suboptimal atas dasar lain. Juga tidak jelas apakah defek yang teramati akan menetap setelah terapi yang adekuat, karena hasil dari penelitian terkendali berbeda-beda. Monoamin oksidase (MAO), suatu enzim tergantung besi, memainkan peran penting dalam reaksi neurokimiawi di susunan saraf pusat. Defisiensi besi menyebabkan penurunan dalam aktivitas enzim seperti katalase, dan sitokrom. Katalase dan peroksidase mengandung besi, tetapi kepentingan biologiknya belum diketahui benar. Tidak mungkin untuk mengukur besi in vivo dalam kompartemen itu dengan mudah dan tepat, meskipun ini merupakan area vital 5
dalam metabolisme besi.
Gejala khas defisiensi besi
Gejala yang khas ditemukan pada anemia defisiensi besi tapi tidak ditemukan pada anemia lain adalah:
Koilonychia: kuku sendok ( spoon nail ), kuku menjadi rapuh, bergaris-garis vertikal dan menjadi cekung sehingga mirip seperti sendok.
Atrofi papil lidah: permukaan lidah menjadi licin dan mengkilap karena papil lidah menghilang
Stomatitis angularis (cheilosis): adanya keradangan pada sudut mulut sehingga tampak sebagai bercak berwarna pucat keputihan
Disfagia: nyeri menelan karena kerusakan epitel hipofaring
Atrofi mukosa gaster sehingga menimbulkan akhloridia
Pica: keinginan untuk memakan bahan yang tidak lazim seperti tanah liat, es, lem, dan lain-lain.
Sindrom Plummer Vinson atau disebut juga Sindrom Paterson Kelly adalah kumpulan gejala 2,4
yang terdiri dari anemia hipokrom mikrosikter, atrofi papil lidah, dan d isfagia.
9
Diagnosis kerja Untuk menegakkan diagnosis anemia defisiensi besi harus dilakukan anamnesis dan pemeriksaan fisis yang teliti disertai pemeriksaan laboratorium yang tepat. Terdapat tiga tahap diagnosis ADB. Tahap pertama adalah menentukan adanya anemia dengan mengukur kadar hemoglobin atau hematokrit. Cut off point anemia tergantung criteria yang dipilih, apakah kriteria WHO atau criteria klinik. Tahap kedua adalah memastikan adanya def besi, sedangkan tahap ketiga adalah menentukan penyebab dari defisiensi besi yang terjadi. Secara laboratoris untuk menegakkan diagnosis anemia defisiensi besi (tahap satu atau dua) dapat dipakai kriteria diagnosis anemia defisiensi besi (modifikasi dari kriteria Kerlin et al) sebagai berikut: Anemia hipokromik mikrositer pada hapusan darah tepi, atau MCV <80 fl dan MCHC 2
<31% dengan salah satu dari a, b, c, atau d.
Dua dari tiga parameter di bawah ini : -
Besi serum <50 mg/dl
-
TIBC >350 mg/dl
-
Saturasi transferin: <15%, atau
Feritin serum <20 mg/dl, atau
Pengecatan sumsum tulang dengan biru prusia (Perl’s stain) menunjukkan cadangan besi (butir-butir hemosiderin) negative, atau
Dengan pemberian sulfas ferosus 3 x 200 mg/hari (atau preparat besi lain yang setara) selama 4 minggu disertai kenaikan kadar hemoglobin lebih dari 2 g/dl.
Pada tahap ketiga ditentukan penyakit dasar yang menjadi penyebab anemia defisiensi besi. Tahap ini sering merupakan proses yang rumit yang memerlukan berbagai jenis pemeriksaan tetapi merupakan tahap yang sangat penting untuk mencegah kekambuhan defisiensi besi serta kemungkinan untuk dapat menemukan sumber perdarahan yang membahayakan. Meskipun 2
dengan pemeriksaan yang baik, sekitar 20% kasus ADB tidak diketahui penyebabnya.
10
Diagnosis banding Anemia Defisiensi Asam Folat
Penyakit ini disebakan oleh kurangnya masukan atau absopsi asam folat. Anemia megaloblastik ringan telah dilaporkan pada bayi berat lahir sangat rendah, dan suplementasi asam folat secara rutin dianjurkan . Anemia megaloblastik mencapai insidensi puncak pada umur 4-7 bulan, sedikit lebih awal daripada anemia defisiensi besi, meskipun keduanya dapat anemia, bayi yang menderita defisiensi asam folat menunjukan iritabel, gagal tumbuh dengan baik, dan menderita diare kronis,. Perdarahan karena defisiensi asam folat dapat menyertai kwashiorkor, marasmus atau sariawan (sprue).
5
Jenis anemianya adalah makrositik (MCV >100 fl). Jumlah retikulosit rendah, dan eritrosit bernuklei dengan morfologi megaloblastiksering tampak di darah tepi. Neutropenia dan trombositopenia mungkin ada, terutama pada defisiensi yang berlangsung lama. Neutrofil besar besar, beberapa mempunyai nuclei dengan hipersegmentasi: lebih dari 5% neutrofil mempunyai inti berlobus 5 atau lebih.Kadar asam folat serum normal, 5-20 ng/mL:defisiensi disertai kadar kurang dari 3 ng/mL. Tingkat folat eritrosit merupakan indikator yang lebih baik untuk defisiensi kronis.Kadar folat eritrosit normal adalah 150-600 ng/mL sel terpampat. Kadar besi dan vitamin B12 dalam serum biasanya mormal dan meningkat.Aktivitas LDH sangat meningkat. Sumsung tulang hiperselular karena hiperpalsi eritroid. Perubahan megaloblastiki mencolok, meskipun beberapa precursor eritrosit mungkin juga ditemukan. Bentuk neutrofil abnormal, besar (metamielosit raksasa) dengan sitoplasma bervakuola tampak, demikian pula hipersegmentasi nuclei megakariosit.
5
Anemia Defisiensi Vitamin B12
Defisiensi vitamin B12 bisa disebabkan karena kurang masukan, pembedahan lambung atau ileum terminal, kekurangan sekresi (Faktor intrinsik) oleh lambung, konsumsi atau inhibisi kompleks B12-faktor intrinsic,a bnormalitas yang melibatkan sisi reseptor di ileum terminal, atau abnormalitas TCII (transkobalamin II).
5
Gejala pada penyakit ini baru tampak pada umur 9 bulan sampai 11 tahun. Rentang waktu ini sesuai dengan habisnya simpanan vitamin B12 yang diperoleh in utero. Ketika anemia 11
menjadi berat , terjadi kelemahan, iritabilitas, anoreksia, dan kurang gairah. Lidah licin, merah dan nyeri. Manifestasi neurologis meliputi ataksia, parestesia, hiporefleksi, respon Babinski, klonus dan koma.
5
Anemia makrostik, dengan makro – ovalositosis eritrosit yang nyata. Neutrofil mungkin besar-besar dan hipersegmentasi. Pada kasus lanjut terlihat neutropenia dan trombositopenia seperti pada anemia aplastik atau leukemia. Kadar vitamin B12 <100 pg/mL. Kadar besi dan folat serum normal atau meningkat. Aktivitas LDH serum amat meningkat. Kenaikan sedang (23 mg/dL) kadar bilirubin serum mungkin ada. Ekskresi belrlebihan asam metilmalonat dalm urin (normal 0-3,5 mg/24 jam) merupakan indeks yang dapat dianadalkan dari defisiensi vitamin 5
B12.
Thalassemia
Gejala klinis dari thalasemia adalah -
Kelainan darah Berupa anemia berat tipe mikrositik karena sintesis HbA menurun, penghancuran eritrosit meningkat dan defisiensi asam folat.
-
Kelainan organ Karena
proses
penyakit
dan
hemosiderosis
karena
transfusi.
Berupa
hepatomegali – splenomegali, pada anak yang besar disertai gizi yang jelek dan muka fasies mongoloid. tulang medula lebar, kortek tipis sehingga mudah fraktur dan trabekula kasar, tulang tengkorak memperlihatkan diploe dan brush appereance. Gangguan pertumbuhan berupa pendek, menarche, gangguan pertumbuhan sex sekunder, perikarditis dan kardiomegali dapat menyebabkan dekomp kordis. -
Darah tepi Mikrositik hipokrom, jumlah retikulosit meningkat, pada hapusan darah tepi didapatkan anisositosis, hipokromi, poikilositositosis, sel target. Kadar besi dalam serum (SI) meninggi dan daya ikat serum besi (IBC) menjadi rendah. Hemoglobin mengandung kadar HbF yang tinggi lebih dari 30%. Di indonesia kira-kira 45% penderita talasmeia juga mempunyai HbE, penderita talasemia HbE maupun HbS secara klinis lebih ringan dari talasemia mayor. Umumnya datang ke dokter pada 12
umur 4-6 tahun sedang talasemia mayor gejala sudah tampak pada umur 3 bulan. Penderita talasemia HbE dapat hidup hingga dewasa. Anemia Aplastik
Hitung jenis darah menentukan manifestasi klinis. Anemia dapat menyebabkan fatig, dispnea, dan jantung berdebar-debar.. Trombositopenia menyebabkan mudah memar dan perdarahan mukosa. Neutropenia meningkatkan kerentanan terhadap infeksi. Pasien juga 5
mungkin mengeluh sakit kepala dan demam.
Etiologi Berat lahir rendah dan perdarahan perinatal yang tidak biasa berkaitan dengan penurunan massa Hb bayi dan cadangan besi. Karena konsentrasi tinggi Hb pada neonatus menurun selama masa kehidupan 2-3 bulan pertama, sejumlah lumayan besi dipakai kembali dan disimpan. Simpanan yang dimanfaatkan kembali biasanya cukup untuk pembentukan darah dalam 6-9 bulan pertama kehidupan bayi yang cukup bulan. Pada bayi berat badan lahir rendah atau pada bayi dengan kehilangan darah perinatal, cadangan besi mungkin habis lebih cepat , dan sumber makanan menjadi amat penting. Anemia semata-mata karena kekurangan besi dalam makanan tidak biasa sebelum 4-6 bulan pertama kehidupan tetapi menjadi umum pada umur 9-24 bulan. Sesudah itu, keadaan tersebut relative jarang. Pola diet yang biasa tampak pada bayi dengan anemia defisiensi besi adalah konsumsi sejumlah besar susu sapi dan makanan yang tidak 5
dilengkapi dengan besi.
Kehilangan darah harus dipertimbangkan sebagai penyebab pada setiap kasus defisiensi besi, terutama pada anak yang lebih besar. Anemia defisiensi kronis karena perdarahan samar mungkin disebabkan oleh lesi saluran pencernaan, sepeerti ulkus peptikum , divertikulum Meckel polip atau hemangioma, atau oleh penyakit peradangan usus. Di beberapa wilayah geografi infestasi cacing merupakan penyebab penting dari defisiensi besi. Hemosiderosis paru mungkin berkaitan dengan perdarahan dalam paru yang tak terdeteksi dan defisiensi besi terjadi lagi setelah terapi besi. Diare kronis pada masa anak awal mungkin berkaitan dengan sejumlah kehilangan darah yang tidak tampak.Beberapa bayi dengan defisiensi besi berat di Amerika 13
Serikat manglami kehilangan darah kronis dari usus yang disebabkan oleh pajanan protein labil panas dalam susu murni. Kehilangan darah dalam tinja tiap hari dapat dicegah dengan mengurangi jumlah susu sapi murni sampai 0,568 liter/24 jam atau kurang, dengan menggunakan susu yang telah dipanaskan atau diuapkan (evaporated milk), atau dengan pengganti susu sapi. Reaksi gastrointestinal ini tidak berkaitan dengan abnormalitas enzim dalam mukosa, seperti defisiensi lactase, atau “alergi susu” yang khas. Khas, bayi yang mengalami anemia yang lebih berat dan terjadi lebih awal daripada yang diharapkan hanya akibat ketidakcukupan masukan 5
besi.
Kelainan histologis pada mukosa saluran gastrointestinal seperti menjadi tumpulnya vili, yang terlihat pada anemia defisiensi lanjut dan dapat menyebabkan kebocoran darah serta 5
menurunkan absorbsi besi, lebih memperburuk masalah. Penyebab defisiensi besi menurut umur
Bayi kurang dari 1 tahun 1. Cadangan besi kurang, a.l. karena bayi berat lahir rendah, prematuritas, lahir kembar, ASI ekslusif tanpa suplementasi besi, susu formula rendah besi, pertumbuhan cepat dan anemia selama kehamilan. 6
2. Alergi protein susu sapi Anak umur 1-2 tahun
1. Asupan besi kurang akibat tidak mendapat makanan tambahan atau minum susu murni berlebih. 2. Obesitas 6
3. Kebutuhan meningkat karena infeksi berulang/kronis. 4. Malabsorbsi. Anak umur 2-5 tahun
1. Asupan besi kurang karena jenis makanan kurang mengandung Fe jenis heme atau minum susu berlebihan. 14
2. Obesitas 3. Kebutuhan meningkat karena infeksi berulang/kronis baik bak teri, virus ataupun parasit). 6
4. Kehilangan berlebihan akibat perdarahan (divertikulum Meckel/poliposis dsb). Anak umur 5 tahun-remaja 1. Kehilangan berlebihan akibat perdarahan(a.l infestasi cacing tambang) dan 6
2. Menstruasi berlebihan pada remaja puteri.
Epidemiologi Prevalensi anemia defisiensi besi tinggi pada bayi, hal yang sama juga dijumpai pada anak usia sekolah dan anak praremaja. Angka kejadian anemia defisiensi besi pada anak usia sekolah (5-8 tahun ) di kota sekitar 5,5% anak praremaja 2,6 % dan gadis remaja yang hamil 26%. Di Amerika serikat sekitar 6% anak berusia 1-2 tahun dikatahui kekurangan besi, 3% menderita anemia. Lebih kurang 9% gadis remaja di Amerika serikat kekurangan besi dan 2% menderita anemia, sedangkan pada anak laki-laki sekitar 50% cadangan besinya berkurang saat pubertas. Prevalensi Anemia defisiensi besi lebih tinggi pada anak kulit hitam dibanding kulit putih. Keadaan ini mungkin berhubungan dengan status sosial ekonomi anak kulit hitam lebih 7
rendah.
Berdasarkan penelitian yang pernah dilakukan di Indonesia prevalensi anemia defisiensi besi pada anak balita sekitar 25-35%. Dari hasil SKRT tahun 1992 prevalensi anemia defisiensi besi pada anak balita di Indonesia adalah 55,5%.
7
Patofisiologi Perdarahan menahun menyebabkan kehilangan besi sehingga cadangan besi makin menurun. Jika cadangan besi menurun, keadaan ini disebut iron dpleted state atau negative iron balance. Keadaan ini ditandai oleh penurunan kadar feritin serum, peningkatan absorbs besi dalam usus, serta pengecatan besi dalam sumsum tulang negative. Apabila kekurangan besi terus berlanjut maka cadangan besi menjadi kosong sama sekali, penyediaaan besi untuk eritropoesis 15
berkurang sehingga menimbulkan gangguan pada bentuk eritrosit tetapi anemia secara klinis belum terjadi, keadaan ini disebut sebagai: iron deficient erythropoiesis. Pada fase ini kelainan pertama
yang
dijumpai
adalah
peningkatan
kadar free
protophorphyrin atau zinc
protophorphyrin dalam eritrosit. Saturasi transferin menurun dan total iron binding capacity (TIBC) meningkat. Akhir-akhir ini parameter yang sangat spesifik ialah peningkatan reseptor transferin dalam serum. Apabila jumlah besi menurun terus maka eritropoesis semakin terganggu sehingga kadar hemoglobin mulai menurun, akibatnya timbul anemia hipokromik mikrositer, disebut sebagai iron deficiency anemia. Pada saat ini juga terjadi kekurangan besi pada epitel serta pada beberapa enzim yang dapat menimbulkan gejala pada kuku, epitel mulut, dan faring 2
serta bebagai gejala lainnya.
Penatalaksanaan Medika mentosa
Terapi besi oral Terapi besi oral merupakan terapi pilihan pertama oleh karena efektif, murah, dan aman. Preparat yang tersedia adalah ferrous sulphat (sulfas ferosus) merupakan preparat pilihan pertama oleh karena paling murah tetapi efektif. Dosis anjuran adalah 3x200 mg. Setiap 200 mg sulfas ferosus mengandung 66 mg besi elemental. Pemberian sulfas ferosus 3x200 mg mengakibatkan absorbsi besi 50 mg per hari ang dapat meningkatkan eritropoesis dua sampai 2
tiga kali normal.
Preparat lain: ferrous gluconate, ferrous fumarat, ferrous lactate dan ferrous succinate. Sediaan ini harganya lebih mahal, tapi efektivitas dan efek samping hampir sama dengan sulfas ferosus. Terdapat juga sediaan enteric coated yang dianggap memberikan efek samping yang lebih rendah, tapi dapat mengurangi absorbsi besi. Preparat besi oral sebainya diberikan saat lambung kososng, tapi efek samping lebih sering dibandingkan dengan pemberian setelah makan. Pada pasien yang mengalami intoleransi, sulfas ferosus dapat diberikan saat makan atau 2
setelah makan.
Efek samping utama besi peroral adalah gangguan gastrointestinal yang dijumpai pada 15 sampai 20%, yang sangat mengurangi kepatuhan pasien. Keluhan ini dapat berupa mual, muntah, serta konstipasi. Untuk mengurangi efek samping, besi diberikan saat makan atau dosis dikurangi 2
menjadi 3x100 mg.
16
Pengobatan besi diberikan 3 sampai 6 bulan, ada juga yang menganjurkan sampai 12 bulan, setelah kadar hemoglobin normal untuk mengisi cadangan besi tubu h. Dosis pemeliharaan yang diberikan adalah 100 sampai 200 mg. jika tidak diberikan dosis pemeliharaan, anemia sering kambuh kembali. Untuk meningkatkan penyerapan besi dapat diberikan preparat vitammin C, tapi dapat meningkatkan efek samping terapi. Dianjurkan pemberian diet yang 2
banyak mengandung besi.
Terapi besi parenteral Terapi besi parenteral sangat efektif tetapi mempunyai resiko lebih besar dan harganya lebih mahal. Oleh karena resiko ini, maka besi parenteral hanya diberikan pada indikasi tertentu. 2
Indikasi pemberin besi parenteral adalah:
Intoleransi terhadap pemberian besi oral
Kepatuhan terhadap obat yang rendah
Gangguan pencernaan seperti koilitis ulseratif yang dapat kambuh jika diberikan besi
Penyerapan besi terganggu misalnya pada gastrektomi
Keadaan dimana kehilangan darah yang banyak sehingga tidak cukup dikompensasi oleh pemberian oral, seperti misalnya pada hereditary hemorrhagic telengiectasia
Kebutuhan besi yang besar dalam waktu pendek, seperti pada kehemilan trimester tiga atau sebelum operasi
Defisiensi besi fungsional relatif akibat pemberian eritropoeitin pada anemia gagal ginjal kronik atau anemia akibat penyakit kronik
Preparat yang tersedia ialah iron dextra complex (mengandung 50mg besi/ml) , iron sorbital citric acid complex dan yang terbaru iron ferric gluconate dan iron sucrose yang lebih aman. Besi parenteral dapat diberikan secara intramuskular dalam atau intravena perlahan. Pemberian secara intramuskular memberikan rasa nyeri dan memberikan warna hitam pada kulit. Efek samping yang dapat timbul adalah reaksi anafilaksis meskipun jarang (0,6%). Efek samping 2
lain adalah flebitis, sakit kepala, flushing, mual, muntah, nyeri perut, dan sinkop.
Terapi besi parenteral bertujuan mengembalikan kadar hemoglobin dan mengisi besi sebesar 500 sampai 1000 mg. dosis yang dibserikan dapat dihitung menggunakan dosis:
17
Kebutuhan besi (mg) = (15-Hb sekarang) x BB X 2.4 + 500 atau 1000 mg
Pengobatan lain
Diet: sebaiknya diberikan makanan bergizi dengan tinggi protein terutama yang berasal dari protein hewani.
Vitamin c: vitamin c diberikan 3x100 mg per hari untuk meningkatkan absorbsi besi
Transfusi darah: ADB jarang memerlukan transfusi darah. Indikasi pemberian transfusi darah pada anemia kekurangan besi adalah: -
Adanya penyakit jantung anemik dengan ancaman payah jantung
-
Anemia yang sangat simptomatil, misalnya anemia dengan gejala pusing yang sangat menyolok.
-
Pasien memerlukan peningkatan kadar hemoglobin yang cepat seperti pada kehamilan trimester akhir atau preoperasi.
Jenis darah yang diberikanadalah PRC ( packed reds cell ) untuk mengurangi bahaya 2
overload. Sebagai premedikasi dapat dipertimbangkan pemberian furosemid intravena.
Respons terhadap terapi Dalam pengobatan dengan preparat besi, seorang pasien dinyatakan memberikan respons baik bila retikulosit naik pada minggu pertama, mencapai puncak pada hari ke-10 dan normal lagi setelah hari ke-14, diikuti kenaikan Hb 0,15g/hari atau 2g/dl setelah 3-4 minggu. Hemoglobin menjadi normal setelah 4-10 minggu. Jika respon terhadap terapi tidak baik, maka perlu dipikirkan:
Pasien tidak patuh minum obat
Dosis besi kurang
Masih ada perdarahan cukup banyak
Ada penyakit lain seperti misalnya penyakit kronik, keradangan menahun atau pada saat yang sama ada defisiensi asam folat
Diagnosis defisiensi besi salah.
18
Jika dijumpai keadaan seperti ini. Harus dilakukan evaluasi kembali dan ambil tindakan yang 2
sewajarnya.
Non medika mentosa
Secara keseluruhan di dunia, dasar terjadinya kekurang zat besi adalah masalah diet. Untuk mengharapkan populasi penduduk yang kekurangan zat besi ini mengambil langkah sendiri untuk meningkatkan konsumsi zat besi secara signifikan dengan menambahkan makan 8
daging sebagai sumber besi adalah kurang realistik.
Penambahan besi nonheme untuk diet nasional telah dimulakan di beberapa wilayah di dunia. Namun, beberapa masalah dihadapi oleh perusahaan termasuklah perubahan rasa dan penampilan makanan setelah penambahan besi. Selain itu, makanan pokok seperti roti (terutama di eropah) mengandung iron chelators yang bisa menghambat penyerapan suplemen besi (fosfat, phytates, karbonat. Oksalat). Selain itu pasien yang mengalami gejala pica yang berhubungan dengan anemia defisiensi besi perlu diidentifikasi dan dikonsultasi untuk menghentikan 8,9
memakan makanan yang tidak lazim seperti tanah liat.
Komplikasi
Anemia kekurangan zat besi mengurangi kinerja dengan memaksa otot tergantung, pada tingkat yang lebih besar dari pada orang sehat, setelah metabolisme anaerobik. Hal ini diyakini terjadi karena kekurangan zat besi yang mengandung 8
enzim pernafasan sebagai penyebab lebih utama daripada anemia.
Anemia yang parah dapat menghasilkan hipoksemia dan meningkatkan terjadinya insufisiensi koroner dan iskemia miokard. Demikian pula, dapat memperburuk 8
status paru pasien dengan penyakit paru kronis.
Kerusakan struktur dan fungsi jaringan epitel dapat diamati pada pasien kekurangan zat besi. Kuku menjadi rapuh atau longitudinal bergerigi dengan perkembangan koilonychia (kuku sendok). Lidah dapat menunjukkan atrofi papila lingual dan kelihatan mengkilap. Angular stomatitis dapat terjadi dengan celah di sudut mulut. Disfagia mungkin terjadi bila memakan makanan padat, dengan anyaman (webbing ) dari mukosa pada persimpangan hipofaring dan esofagus (PlummerVinson sindrom); ini telah dikaitkan dengan karsinoma sel skuamosa daerah 19
esofagus. Atrophic gastritis terjadi pada defisiensi zat besi dengan kehilangan progresif sekresi asam, pepsin, dan faktor intrinsik dan pembentukan antibodi terhadap sel parietal lambung. Vili usus kecil menjadi tumpul.
8
Itoleransi terhadap dingin berkembang pada satu dari lima pasien dengan anemia kekurangan zat besi kronis dengan manifestasi gangguan vasomotor, nyeri 8
neurologik, atau mati rasa dan kesemutan.
Gangguan fungsi kekebalan dilaporkan pada pasien yang kekurangan zat besi, dan ada laporan bahwa pasien rentan terhadap infeksi, namun bukti bahwa ini adalah langsung disebabkan oleh kekurangan zat besi tidak meyakinkan karena adanya 8,9
faktor lain.
Anak-anak kekurangan zat besi mungkin menunjukkan gangguan perilaku. Perkembangan neurologis akan terganggu pada bayi dan kinerja skolastik berkurang pada anak usia sekolah. IQ anak-anak sekolah kekurangan zat besi dilaporkan sebagai signifikan kurang dari rekan-rekan nonanemia. Gangguan perilaku bermanifestasi sebagai gangguan defisit perhatian. Pertumbuhan terganggu pada 8,9
bayi dengan defisiensi besi.
Masalah jantung. Anemia kekurangan zat besi dapat menyebabkan detak jantung yang cepat atau tidak teratur. Jantung harus memompa darah lebih banyak untuk mengkompensasi
kekurangan
oksigen
yang
dibawa
oleh
darah.
Hal
ini
9
dapat menyebabkan pembesaran jantung atau gagal jantung.
Masalah selama kehamilan. Pada wanita hamil, anemia defisiensi besi dikaitkan dengan kelahiran prematur dan bayi berat badan lahir rendah. Tetapi kondisi ini mudah dicegah pada wanita hamil yeng menerima suplemen zat besi sebagai bagian 9
dari perawatan pralahir mereka.
Pencegahan Mengingat tingginya prevalensi anemia efisiensi besi di masyarakat maka diperlukan 2
suatu tindakan pencegahan yang terpadu. Tindakan pencegahan tersebut dapat berupa:
Pendidikan kesehatan :
20
-
Kesehatan lingkungan, misalnya tentang pemakaian jamban, perbaikan lingkungan kerja, misalnya pemakaian alas kaki sehingga dapat mencegah penyakit cacing tambang. 2
Penyuluhan gizi untuk mendorong konsumsi makanan yang membantu absorbsi besi.
Pemberantasan infeksi cacing tambang sebagai sumber perdarahan kronik paling yang sering dijumpai di daerah tropic. Pengendalian infeksi cacing tambang dapat dilakukan 2
dengan pengobatan masal dengan anthelmentik dan perbaikan sanitasi.
Suplementasi besi yaitu pemberian besi profilkasis pada segmen penduduk yang rentan, seperti ibu hamil dan anak balita. Di Indonesia diberikan pada perempuan hamil dan anak 2
balita memakai pil besi dan folat.
Fortifikasi bahan makanan dengan besi, yaitu mencampurkan besi pada bahan makan. Di Negara Barat dilakukan dengan mencampur tepung untuk roti atau bubuk susu dengan besi.
2
Prognosis Prognosis anemia defisiensi besi umumnya baik. ADB merupakan satu gejala yang mudah diobati dengan hasil yang sangat baik. Namun prognosis ADB yang baik dan diperburuk oleh karena kondisi penyakit yang mendasarinya (underlying disease) seperti neoplasia. Demikian pula prognosis dapat diubah oleh suatu kondisi penyerta seperti penyakit arteri 8
koroner.
Kesimpulan Dari pembahasan yang telah dibahas diatas didapatkan bahwa hipotesis telah diterima yaitu anak perempuan pada kasus tersebt menderita anemia defisiensi besi. Anemia Defisiensi besi adalah anemia yang terjadi akibat kekurangan zat besi dalam darah, artinya konsentrasi hemoglobin dalam darah berkurang karena terganggunya pembentukan sel-sel darah merah akibat kurangnya kadar zat besi dalam darah .
21
Daftar Pustaka 1. Baldy CM. Komposisi darah dan sistem makrofag-monosit. Dalam : Price SA, Wilson LM. Patofisiologi : konsep klinis proses-proses penyakit. Ed 6. Jakarta : EGC; 2005. h.247-9 2. Bakta IM, Suega K, Dharmayuda TG. Pendekatan terhadap pasien anemia, Anemia defisiensi besi. Dalam : Sudoyo AW, Setiyohadi B, Alwi I, Simadibrata MK, Setiati S. Buku ajar ilmu penyakit dalam. Ed 5. Jakarta : Interna Publishing; 2009. h.1127-36 3. Kasper DL, Braunwald E, Fauci AS, Hauser SL, Longo DL, Jameson JL, Loscalzo J. Iron deficiency anemia. Harrison's principles of internal medicine. 17th ed. McGraw Hill 2008: p 1919-21 4. Hoffbrand AV, Pettit JE, Vyes P. Hypochromic Anemias dalam Atlas of Clinical th
Hematology. Elsavier 4 ed 2010: p 75-80 th
5. Behrman RE, Kliegman RM, Arvin AM. Ilmu kesehatan anak Nelson.15 ed (1). Jakarta : Penerbit Buku Kedokteran EGC. 2000. h. 1688-712 6. Windiastuti E. Anemia defisiensi besi. UKK hematologi-onkologi IDAI; 2009.Telah diunduh dari : http://www.idai.or.id/kesehatananak/artikel.asp?q=20125795911. 21 April 2013 7. Permono B, Sutaryo, Ugrasena. Anemia defisiensi besi. Dalam : Buku ajar hematology – oncology. Jakarta : Badan penerbit IDAI; 2005. h.30-42. 8. Kumar V, Cotran RS, Robbins SL. Anemia defisiensi zat besi dan anemia pada penyakit kronik. Dalam : Buku ajar patologi Robbins. Jakarta : EGC; 2007.h.459-461 9. Conrad ME, Besa EC. Iron deficiency anemia. August 2009. Diunduh dari http://emedicine.medscape.com, 21 April 2013.
22