Pendarahan Post Partum et causa Atonia Uteri
Alvivin 102011215/A9 - Mahasiswa Fakultas Kedokteran Universtas Kristen Krida Wacana
[email protected] - Jalan Arjuna Utara Nomor 6, Jakarta 11510 Pendahuluan Di bidang obstretis pendarahan masih merupakan penyebab utama kematian ibu. Yang dianggap paling dikenal sebangai tiga penyebab klasik kematian ibu di samping infeksi dan preeklamsia adalah pendarahan.Pendarahan merupakan penyebab pen yebab langsung pada lebih dari 17% dari 4200 kematian ibu terkait kehamilan di Amerika Serikat, sesuai dengan data yang diperoleh dari Prenancy Mortality Surveillance System of the Centers of Disease Control and Prevention. Di banyak negara maju, pendarahan merupakan alasan utama rawat inap perempuan hamil di unit rawat intensif. Di negara dengan sumber daya yang lebih terbatas, peran pendarahan dalam 1
rangka angka kematian ibu bahkan lebih nyata.
Pendarahan pascapersalinan (PPP) adalah pendarahan yang massif yang berasal dari tempat implantaso plasenta, robekan pada jalan lahir, dan jaringan sekitarnya dan merupakan salah satu penyebab kematian ibu di samping pendarahan karena hamil ektopik ataupun abortus. PPP bila tidak mendapatkan penanganan yang semestinya akan meningkatkan morbiditas dan 2
mortalitas ibu serta proses penyembuhan kembali.
Berikut akan dijelaskan lebih lanjut mengenai pendarahan post partum berserta penyebab serta penanganannya dan akan lebih difokuskan
mengenai pendarahan post partum yang yang
disebabkan oleh atonia uteri.
Anamnesis Anamnesis
Pada anamnesis hal-hal yang perlu ditanyakan adalah :
Identitas pasien o
Nama
: Ny.D
1
o
Usia
: …..tahun
o
Selain itu perlu juga ditanyakan alamat,pekerjaan,dan status.
Keluhan utama Pendarahan 40 menit pasca persalinan.
3
Riwayat kehamilan, persalinan, dan nifas sebelumnya
Kehamilan ke berapa?
Kehamilan sebelumnya normal atau sectio caesaria?
Bagaiman riwayat kehamilan sebelumnya, ada kelainan tidak?
Bagaimana BB lahir setiap anak?
Bagaimana kondisi ibu setelah melahirkan anaknya?
Apakah memiliki riwayat abortus? Berapa kali?
Apakah semua anak diberi ASI? Berapa lama?
Bagaimana produksi ASI ibu?
Adakah gejala mual muntah pada awal kehamilan? 3
Riwayat haid
Tanggal pertama haid terakhir?
Kapan pertama kali dapat haid?
Haid teratur tidak?
Berapa lama kalau lagi haid?
Riwayat penyakit dahulu
Apakah ibu menderita penyakit hipertensi,diabetes kronis?
Apakah ibu menderita penyakit hipertensi dan DM hanya pada saat kehamilan?
Apakah ibu ada kelainan jantung?
Apakah terdapat kelainan darah?
Riwayat pengobatan
Apa obat-obatan yang dikonsumsi ibu?
Riwayat penyakit keluarga
Adakah penyakit herediter misalnya cacat lahir atau kembar?
Riwayat kebiasaan
Riwayat social dan ekonomi
Pemeriksaan Fisik 2
Keadaan umum
Status gizi
Tanda-tanda vital
Tekanan darah
: 90/70 mmHg
Suhu
:37°C
Frekuensi nadi
: 100x/menit
Frekuensi napas
: 20x/menit
Status presens Konjuctiva anemis, sclera ikterik, edema kelopak mata, kloasma gravidarum, jantung, paru, mamaen, abdomen,dll.
Pemeriksaan fisik harus dilakukan secara menyeluruh karena telah terjadi perubahan akibat kehamilan, yang bersumber dari perubahan hormonal. Perubahan sistem hormonal ini dapat memperberat penyakit ibu yang diderita sebelumnya sehingga saling mempengaruhi antara kehamilan dan penyakitnya. Selain itu, dasar keadaan umum sebelum hamil merupakan bagian penting karena akan mempengaruhi tumbuh kembangnya janin. Pemeriksaan fisik ibu hamil 3
dapat dibagi menjadi dua, yaitu : 1. Pemeriksaan fisik umum
Tujuan pemeriksaan fisik umum adalah : a. Menilai keadaan umum yang dapat mendukung kehamilan atau sebaliknya sehingga dapat dilakukan upaya perbaikan. b. Mencari tanda – tanda perubahan fisik ibu hamil yang dapat mendukung diagnosis kehamilan. c. Mencari kemungkinan penyakit yang telah dideritanya atau terselubung sehingga dapat ditegakkan diagnosis dini dari pengobatan. d. Melakukan pemeriksaan penunjang khususnya laboratorium untuk menilai kesehatan umum ibu hamil atau untuk menegakkan diagnosis penyakit yang diderita. 2. Pemeriksaan fisik khusus kehamilan Tujuan pemeriksaan adalah : a. Untuk memastikan telah terjadi kehamilan.
3
b. Untuk memastikan apakah kehamilannya intrauteri. c. Untuk memastikan apakah kehamilannya tunggal atau ganda d. Untuk memastikan apakah kehamilannya tergolong berisiko rendah, meragukan, atau berisiko tinggi. e. Bagaimana sikap masing – masing untuk menghadapi keadaan itu. f.
Untuk menentukan keadaan janin dan ibu saat ini.
g. Untuk menentukan apakah perlu diberikan pengobatan terhadap penyakit yang diderita ibu. h. Untuk menentukan apakah saat ini diperlukan intervensi medis. i.
Jika perlu dilakukan intervensi medis, perlu ditetapkan bagaimana bentuknya, tempat dilakukan sehingga jika mungkin tercapai well born baby dan well health mother 3
Palpasi Uterus
Palpasi merupakan langkah diagnosis kehamilan yang sangat penting dengan tujuan untuk : 1. Menentukan umur kehamilan melalui tingginya fundus uteri. 2. Menentukan letak janin dalam uterus. 3. Menetapkan kemungkinan tumor yang dapat mengganggu proses persalinan. Untuk dapat lebih jelasnya dapat dijabarkan sebagai berikut. Diagnosis Kehamilan 3
Tabel 1.Diagnosis kehamilan Pemeriksaan Tinggi Fundus
Penjabaran
Menentukan
Keterangan
Umur kehamilan dalam bulan diukur
umur kehamilan
dari panjang antara simfisis pubis dan
menurut
puncak uteri dalam cm dibagi 3½ cm
McDonald
Penjabaran tinggi fundus uteri dengan umur kehamilan
Tinggi FU (cm)
Umur kehamilan (bulan)
4
20
5
23
6
26
7
30
8
33
9
Menentukan Umur Kehamilan
Menentukan umur kehamilan
menurut perhitungan tingginya fundus uteri secara International
Kurang dari 12 minggu, belum dapat diraba di atas simfisis
Akhir bulan III (minggu 12) fundus uteri teraba 1 – 2 jari di atas simfisis
Akhir bulan IV (16 minggu), fundus uteri teraba di pertengahan antara simfisis dan pusat (umbilikus)
Akhir bulan V (20 minggu) fundus uteri teraba 3 jari di bawah pusat
Akhir bulan VI (24 minggu) fundus uteri teraba setinggi pusat
Akhir bulan VII (28 minggu) fundus uteri 3 jari di bawah pusat
Akhir bulan VIII (32 minggu) fundus uteri teraba di pertengahan antara pusat dan prosesus Xypoideus
Akhir bulan IX (36 minggu) fundus uteri mencapai arkus kostarum atau teraba di 3 jari di bawah prosesus Xypoideus
Akhir bulan X (40 minggu) fundus uteri teraba di pertengahan antara prosesus
5
Xypoideus dan pusat (3 jari di bawahnya)
Menentukan umur kehamilan
Bulan I : setinggi simfisis
menurut
Bulan II : ¼ di atas simfisis
Bulan III : 2/4 di atas simfisis
Bulan IV : ¾ di atas simfisis
Bulan V : setinggi pusat
Bulan VI : ¼ di atas pusat
Bulan VII : ½ di atas pusat
Bulan VIII : ¾ di atas pusat
Bulan IX : setinggi arkus kosta
Bulan X : ¾ di atas pusat
Pada primigravida kepala janin masuk PAP
Bulan X untuk multigravida tinggi fundus
hukum
empat
dari
Bartholomew
Mengapa tinggi fundus uteri pada bulan X justru turun
uteri masih tetap setinggi arkus kosta. Kepala janin masuk PAP saat persalinan
Menentukan berat janin dalam
rahim menurut rumus Johnson
Panjang antara simfisis pubis dan fundus uteri dibagi 12,5 dalam gram, untuk kepala janin yang masih di atas simfisis
Untuk kepala janin yang telah masuk PAP, pembaginya 11,5 cm dalam skala gram
Pemeriksaan Palpasi 3
Tabel 2. Leopold Leopold
Teknik
pemeriksaan yang
paling
lengkap
dan
Teknik pemeriksaan ini harus diketahui dan dijabarkan dengan baik
Persiapan : -
sempurna
Tidur terlentang, tangan diletakkan di sisi badan atau di bawah kepala
-
Posisi uterus diletakkan di tengah
6
sehingga tinggi fundus uteri dengan cepat ditentukan -
Bagian perut yang akan diperiksa dibuka seperlunya
-
Pada pemeriksaan Leopold yang III, pemeriksa menghadap ke muka yang diperiksa
-
Ketenangan harus dijaga sehingga dinding abdomen (perut relaks dengan baik)
-
Leopold I
-
Untuk menentukan tinggi fundus uteri
-
Menentukan bagian apa yang terdapat pada fundus uteri dalam posisi janin membujur atau
akan
kosong
jika
posisi
janin
melintang
Kepala : bulat, padat, mempunyai gerakan pasif (ballotement )
Bokong : tidak padat, lunak, tidak mempunyai gerak pasif (benturan atau gerak ballotement )
Teknik : kedua tangan pada fundus uteri
-
Leopold II
-
Untuk menentukan letak punggung janin
-
Kedua telapak tangan melakukan palpasi pada sisi kanan/kiri bersama – sama:
Punggung
janin
rata,
sedikit
melengkung, mungkin teraba tulang iganya.
Tidak
terasa
gerak
ekstremitas.
Daerah abdomen janin tidak rata, ada
kemungkinan
terasa
gerak
ekstremitas. 7
-
Akhir palpasi Leopold II, harus sudah dapat dipastikan letak punggung janin
-
Menetapkan
punggung
penting
untuk
memastikan pungtum maksimum jantung janin (untuk melakukan auskultasi)\ Teknik
palpasi
-
bantuan
Budin-pierre
-
Constant (Ahli
-
Teknik
bantuan
pemeriksaan
palpasi
Leopold II -
Fundus uteri ditekan sehingga badan janin
Ginekologi
melengkung, dengan demikian punggung
Prancis)
lebih mudah diraba
Ahlfeld
-
Teknik pemeriksaan Leopold II
Jerman
-
Janin letak membujur, didorong ke salah satu sisi abdomen ibu sehingga punggung lebih mudah diraba
-
Leopold III
- First pelvic grip atau Pawlik disebut juga pemeriksaan Kneble -
Tujuannya menetapkan bagian terendah janin : Kepala -
Bulat,
padat,
terjadi
gerak
ballotement -
Kepala yang terlalu besar menonjol di atas simfisis, menunjukan bahwa kepala tidak / belum masuk PAP
-
Kepala belum masuk PAP ada kemungkinan panggul sempit atau hidrosefalus
-
Tonjolan kepala sekitar 2 jari di atas simfisis disebut Osborn positif
-
Osborn
positif
menunjukan
kesempitan panggul 8
-
Pada kepala yang masih melayang, pemeriksaan Leopold IV tidak perlu dilakukan
Bokong -
Tidak bulat, tidak keras, bentuk kurang bulat
-
Gerakan
pada
bokong
akan
diikuti oleh gerak seluruh badan janin
sehingga
dikatakan
ballotement negatif -
Bokong
dapat
masuk
PAP
sebagai tanda tidak berhadapan dengan kesempitan panggul -
Bahaya
persalinan
letak
sungsang adalah saat persalinan bahu dan kepala -
Pada kasus letak sungsang yang tergolong resiko tinggi langsung dilakukan persalinan SC
Leopold IV
Second pelvic grip
Pemeriksa
menghadap
ke
kaki
yang
diperiksa
Tekniknya : -
Jari tangan kanan-kiri dimasukan di samping kepala/bokong janin
-
Pada kepala yang sudah masuk PAP,
artinya
lingkaran
terbesar
belum melewati PAP, jari akan divergen -
Pada
pemeriksaan,
ada
kemungkinan akan dapat diraba 9
oksiput sehingga dapat ditetapkan posisi kepala janin dalam pelvis
Masuknya memberikan
kepala
janin
petunjuk
ke
PAP
bahwa
tidak
berhadapan dengan kesempitan panggul
Dapat dikatakan bahwa passanger atau passage telah menunjukan adaptasi baik sehingga masih menunggu power (kekuatan his dan mengejan) yang akan menentukan perjalanan kepala janin melewati jalan lahir
Muller-Kerr head fitting test dilakukan untuk menetapkan apakah kepala janin dapat masuk PAP atau tidak -
Dilakukan
pemeriksaan
dalam,
selanjutnya kepala janin ditekan menuju pintu atas panggul. -
Jika kepala dapat masuk artinya tidak ada kesempitan panggul
Auskultasi 3
Tabel 3. Auskultasi pada Kehamilan
Terdengarnya detak jantung janin
menunjukan bahwa janin hidup
sekitar 120 – 140 kali/menit
Alat yang dipergunakan adalah : -
Stetoskop kayu/laennec
-
Alat Doopler/dopton
-
Detak merupakan kehamilan
jantung tanda
Janin sehat jumlah detak jantungnya
Pengendalian detak jantung janin oleh serabut saraf simpatis
Setiap minggu detak jantung janin
janin
akan berkurang satu detak sampai
pasti
umur 1 tahun
Keadaan patologis detak jantung janin
10
disebabkan
oleh
gangguan
metabolisme sehingga serabut saraf parasimpatis dan simpatis mengalami gangguan
keseimbangan
dan
menimbulkan keadaan detak jantung janin menjadi :
Menggunakan dopton atau Doopler
-
Iregular
-
Bradikardia
-
Takikardia
Suara jantung dapat didengar oleh ibu hamil
Mempergunakan
stetoskop
atau
Doopler dapat didengar :
Semuanya harus dapat dibedakan
Memerlukan
Pada janin :
pengalaman
dalam
menentukan
tempat
mendengarnya
-
Detak jantung
-
Gerak janin
-
Bising abdomen ibu
Pada ibu :
-
Bising aorta
-
Bising usus
-
Bising arteri uterina
Tempat mendengarkan detak jantung
adalah : -
-
-
Di
yang
pungtum maksimum detak jantung bawah
umbilikus
janin adalah :
(umumnya pada letak kepala)
-
Presentasi
Setinggi umbilikus (sebagian
-
Posisi kedudukan punggung
besar pada letak lintang)
-
Sikap
Di atas umbilikus (pada letak
Bagaimana menghitung detak jantung
anak/habitusnya
terhadap dirinya
sungsang
Faktor
Kehamilan kembar
Di atas 160 kali/menit menunjukan
11
janin dalam uterus -
takikardia, permulaan asfiksia
Lakukan dengan interval 5
Tidak teratur tetapi jumlah sama,
detik
menunjukan gangguan keseimbangan
-
Mulai dengan angka 0
asam basa atau kurang O2
-
Jumlah perhitungan 3 x 5
detik dikalikan 4 -
Dalam
5
detik
Kurang
dari
100
kali/menit
menunjukan asfiksia berat umumnya
antara 10 – 13 denyutan dalam batas normal
Pemeriksaan
detak
jantung
janin
mempergunakan ultrasonografi
Mulai minggu ke – 6, pulsasi jantung janin telah dapat dideteksi
Pada kehamilan lebih besar, struktur jantung telah dapat ditetapkan
Gambar elektrokardiogram jantung janin dapat direkam
Dengan terdapat pulsasi jantung dan rekaman EKG, keadaan kesehatan janin dapat ditetapkan dalam uterus
Perbedaan
suara
yang
terdengar
Mendesis karena tali pusat tertekan
dengan dopton adalah bising tali
Perubahan
pusat
posisi
akan
mengubah
suaranya atau dapat menghilang
Frekuensinya
sama
dengan
detak
jantung janin
Gerak janin
Tidak teratur merupakan benturan pada dinding uterus
Bising arteri pada rahim
Mendesis, tetapi frekuensinya sama dengan denyut nadi ibu
Bising usus
Asalnya dari arteri uterina
Tidak
teratur
peristaltik
yang
akibat
gerakan
menyebabkan
12
perubahan-aliran cairan dan atau gas dalam usus
Detak jantung janin
Bising aorta
Frekuensinya
tinggi
di
atas
120
kali/menit
Teratur dan pungtum maksimumnya pada daerah punggung
Bising
aorta
abdominalis
sering
terdengar dengan frekuensi sama
Semuanya mendesis dan besar
Pemeriksaan Penunjang
1. Hitung darah lengkap Untuk menetukan tinghkat hemoglobin ( Hb ) dan hematokrit ( Hct ), melihat adanya trombositopenia, serta jumlah leukosit. Pada keadaan yang disertai dengan infeksi. 3
2. Menentukan adanya gangguan koagulasi
Dengan hitung protombrin time ( PT ) dan activated Partial Tromboplastin Time ( aPTT ) atau yang sederhanadengan Clotting Time ( CT ) atau Bleeding Time ( BT ). Ini penting 3
untuk menyingkirkan garis spons desidua. 3. Urinalisis
Memeriksa kadar HCG untuk menentukan kehamilan atau tidak, dan memeriksa kadar 3
glukosa,protein dan sebagainya. 4. USG abdomen
Sisa plasenta memberikan gambaran massa kompleks di kavum uteri, berbentuk irregular, batas bias tidak tegas bila terdapat plasenta akreta, inkreta, atau perkreta, dan dinding kavum uteri irregular. Kavum uteri terbuka lebih dari 2,5 cm dan berisi cairan (darah). Selaput ketuban memberikan gambaran hiperkhoik b atas tidak tegas, dan bentuknya 4
irregular. Adanya infeksi atau sisa plasenta dapat menyebabkan involusi uterus.
13
Differential Diagnosis Pendarahan Post Partum ec Gangguan Pembekuan Darah
Kausal PPP karena gangguan pembekuan darah baru dicurigai bila penyebab yang lain dapat disingkirkan apalagi disertai ada riwayat pernah mengalami hal yang sama pada persalinan sebelumnya. Akan ada tendensi mudah terjadi pendarahan setiap dilakukan penjahitan dan pendarahan akan merembes atau timbul hematoma pada bekas jahitan, suntikan, pendarahn dari gusi, rongga hidung, dan lain-lain. Pada pemeriksaan penunjang ditemukan hasil pemeriksaan faal hemostasis yang abnormal. Waktu pendarahan dan waktu pembekuan memanjang, trombositopenia, terjadi hipofibrinogenemia, dan terdeteksi adanya FDP (fibrin degradation product) serta perpanjangan tes protrombin dan PTT (partial trombhoplastin time). Predisposisi untuk terjadinya hal ini adalah solution plasenta, kematian janin dalam kandungan; eklampsia, emboli cairan ketuban, dan sepsis. Terapi yang dilakukan adalah dengan transfuse darah dan produknya seperti plasma beku segar, trombosit, fibrinogen, dan heparinisasi 2
atau pemberia EACA (epsilon amino caproic acid).
Pendarahan Post Partum et causa Laserasi Jalan Lahir
Pada umumnya laserasi jalan lahir terjadi pada persalinan dengan trauma. Pertolongan persalinan yang semakin manipulative dan traumatic akan memudahkan robekan jalan lahir dan karena itu dihindarkan memimpin persalinan pada saat pembukaan serviks belum lengkap. Robekan jalan lahir biasanya akibat episiotomy, robekan spontan perineum, trauma forceps atau vakum ekstraksi, atau karena versi ekstraksi. Robekan yang terjadi bias ringan (lacet, laserasi), luka episotomi, robekan perineum spontan derajat ringan sampai rupture perinea totalis (sfingter ani terputus), robekan pada dinding vagina, forniks uteri, serviks, daerah sekitar klitoris dan uretra dan bahkan yang terberat, rupture uteri. Oleh karena itu, pada setiap tindakan persalinan hendaklah dilakukan inspeksi yang teliti untuk mencari kemungkinan adanya robeka ini. Perdarahan yang terjadi saat kontraksi uterus baik, biasanya karena ada robekan atau sisa plasenta. Pemeriksaan dapat dilakukan dengan cara melakukan inspeksi pada vagina, vulva dan serviks dengan memakai spekulum untuk mencari sumber perdarahan dengan ciri darah dengan warna merah segar dan pulsatif sesuai denyut nadi. Perdarahan karena rupture uteri dapat diduga pada persalinan macet atau kasep, atau 14
uterus dengan lokus minoris resistensia dan adanya atonia uteri dan tanda cairan bebas intraabdominal. Semua sumber perdarahan harus diklem, diikat dan luka ditutu dengan jahitan cat-gut lapis demi lapis sampai perdarahan berhenti.
5
Tekhnik penjahitan memerlukan asisten, anestesi lokal, penerangan lampu yang cukup serta speculum dan memperhatikan kedalaman luka. Bila penderita kesakitan dan tidak kooperaatif, perlu mengundang sejawat anestesi untuk ketenangan dan keamanan saat melakukan 5
hemostasis.
Pendarahan Post Partum et causa Sisa Placenta
Bila plasenta tetap tertinggal dalam uterus setengah jam setelah anak lahir disbut sebagai retensio plasenta. Plasenta yang sukar dilepaskan dengan pertolongan aktif Kala III bisq disebabkan oleh adhesi yang kuat antara plasenta dan uterus. Disebut sebagai plasenta akreta bila implantasi menembus desidua basalis dan Nitabuch Layer disebut sebagai plasenta inkreta bila plasenta sampai menembus miometrium dan disebut plasenta perkreta bila vili korialis sampai 5
menembus perimetirum.
Faktor predisposisi terjadinya plasenta akreta adalah plasenta previa, bekas secsio sesarea, pernah kuret berulang, dan multiparitas. Bila sebagian dari plasenta masih tertinggal dalam uterus disebut rest-plasenta dan dapat menimbulkan PPP primer atau lebih sering) sekunder. Proses Kala III didahului dengan tahap pelepasan/separasi plasenta akan ditandai oleh perdarahan pervaginam (cara pelepasan Duncan) atau plasenta sudah sebagian lepas tetapi tidak keluar pervaginam(cara pelepasan Schultze), sampai akhirnya tahap ekspulsi, plasenta lahir. Pada retensio plasenta, sepanjang plasenta belum terlepas, maka tidak akan menimbulkan perdarahan. Sebagian plasenta yang sudah lepas dapat menimbulkan perdarahan yang cukup banyak (perdarahan Kala III) dan harus diantisipasi dengan segera melakukan plasenta manual , 5
meskipun kala uri belum lewat setengah jam.
Sisa plasenta bisa diduga kala uri berlangsung tidak lancar, atau setelah melakukan plasenta manual atau menemukan adanya kotiledon yang tidak lengkap pada saat melakukan pemeriksaan plasenta dan masih ada perdarahan dari ostium uteri eksternum pada saat kontraksi rahim sudah baik dan robekan jalan lahir sudah terjahit. Untuk itu, harus dilakukan eksplorasi ke dalam rahim dengan cara manual/digital atau kuret dan pemberia uterotonika. Anemia yang 5
ditimbulkan setelah perdarahan dapat diberi transfuse darah sesuai dengan keperluannya.
15
Working Diagnosis
Pendarahan Post Partum et causa Atonia Uteri Definisi pendarahan post partum adalah pendarahan yang melebihi 500ml setelah bayi lahir. Pada praktisnya tidak perlu mengukur jumlah pendarahan sampai sebanyak itu sebab menghentikan pendarahan lebih dini akan memberikan prognosis lebih baik. Pada umumnya bila terdapat pendarahan yang lebih dari normal, apalagi telah menyebabkan perubahan tanda vital (seperti kesadaran menurun, pucat, limbung, berkeringat dingin, sesak nafas, serta tensi <90mmHg dan nadi >100x/menit), maka penanganan harus segera dilakukan. Kegagalan uterus berkontraski secara adekuat setelah pelahiran merupakan penyebab tersering pendarahan obstretis. Pada banyak perempuan, atonia uterus paling tidak dapat diantisipasi dengan baik jauh sebelum pelahiran. Uterus yang mengalami distensi berlebihan rentan menjadi hipotonus setelah pelahiran. Jadi, perempuan dengan janin besar, multiple, atau hidramnion rentan mengalami atonia uterus. Perempuan yang persalinannya ditandai oleh aktivitas uterus yang sangat berlebihan atau hampir tidak efektif (lemah) juga beresiko mengalami pendarahan massif akibat atonia pascapartum. Serupa dengan hal tersebut, persalinan yang dimulai atau dibantu dengan oksitosik lebih beresiko diikuti oleh atonia dan pendarahan. Risiko lain ialah jika perempuan tersebut pernah mengalami pendarahan pascapartum. Terakhir, upaya untuk mempercepat pelahiran plasenta dapat mencetuskan atonia. Pemijatan dan peremasan tanpa henti uterus yang telah berkontraksi mungkin menghambat mekanisme fisiologis
pelepasan
plasenta,
menyebabkan
pelepasan
plasenta
yang
inkomplet
dan
1,2
bertambahnya pendarahan.
Pendarahan postpartum dibagi menjadi 2 bentuk yaitu : 3
Tabel 4. Klasifikasi Pendarahan Post Partum Pendarahan Post Partum Primer
Pendarahan Post Partum Sekunder
Definisi : Pendarahan berlangsung dalam 24 jam dengan Pendarahan pertama jumlah 500cc atau lebih.
post
partum
setelah
24
jam
pertama dengan jumlah 500cc atau lebih.
Penyebab :
Atonia uteri
Tertinggalnya
sebagian
plaseta
atau
16
Retensio plasenta
Robekan jalan lahir : -
membrannya.
-
Hematoma parametrium
-
Perlukaan servikal
-
Perlukaan vagina atau vulva
-
Perlukaan perineum
terbuka
kembali
dan
menimbulkan pendarahan.
Ruptura uteri inkomplet atau komplet
Perlukaan
Infeksi pada tempat implantasi plasenta.
Epidemiologi
Kematian maternal didefinisikan sebagai kematian ibu yang ada hubungannya dengan kehamilan, persalinan, dan nifas yakni 6 minggu setelah melahirkan. Angka kematian maternal 6
adalah jumlah kematian maternal per 100.000 kelahiran hidup. Perdarahan postpartum masih merupakan penyebab terbanyak kematian maternal. Perdarahan postpartum masih merupakan penyebab terbanyak kematian maternal, terhitung sekitar 100.000 kematian maternal setiap 7
tahunnya. Di negara maju dan berkembang, penyebab kematian yang paling umum adalah perdarahan berat (Tabel 1). 1
Tabel 5. Insiden Global Komplikasi Mayor Persalinan
8
Perdarahan masif terjadi sekitar 5-15 % pada wanita setelah mengalami persalinan.
Secara global, diperkirakan jumlah kematian maternal dunia pada tahun 2000 mencapai 529 ribu yang tersebar di Asia 47,8% (253 000); Afrika 47,4% (251 000); Amerika Latin dan Caribbean
17
4% (22 000); dan kurang dari 1% (2500) di negara maju. Di kawasan Asean Indonesia menempati urutan tertinggi dalam angka kematian maternal yakni 390/100.000 kelahiran hidup, 9
jauh di atas negara Asean lainnya (Gambar 1).
Paritas tinggi merupakan factor resiko atonia uterus. Fuchs dkk, menguraikan keluaran hampir 5800 perempuan pada 7 atau lebih. Mereka melaporkan bahwa insiden pendarahan pascapartum sebesar 2,7 persen adalah empat kali lebih tinggi dibandingkan insiden pada populasi obstretis umum. Babinszki dkk melaporkan bahwa insidens pendarahan pascapartum adalah 0,3 persen pada perempuan dengan paritas rendah, tetapi 1,9 persen pada mereka dengan 1
para 4 atau lebih.
9
Gambar 1. Perbandingan Angka Kematian Maternal Negara Asean
Etiologi dan Faktor Predisposisi
Meskipun pendekatan resiko untuk mengantisipasi perdarahan postpartum masih diperdebatkan karena tidak seorangpun pasti terbebas dari kemungkinan perdarahan setelah bersalin, tetapi pendekatan resiko tetap memberikan pertimbangan agar penanganan lebih berhati-hati dan petugas lebih siaga. Perdarahan yang masif terjadi karena adanya abnormalitas pada keempat proses dasar, yang disingkat “4 T”, baik tunggal ataupun gabungan: tone (kontraksi uterus yang buruk setelah persalinan), tissue (retensi sisa hasil konsepsi atau bekuan darah), trauma (pada saluran genital), atau thrombin (abnormalitas pembekuan darah). Beberapa faktor resiko yang berhubungan dengan perdarahan postpartum dapat terjadi pada salah satu dari keempat mekanisme tersebut. Faktor resiko yang memungkinkan seorang ibu bersalin 10
mengalami pedarahan postpartum antara lain dapat dilihat pada tabel berikut (Tabel 2).
18
Walaupun setiap wanita dapat mengalami perdarahan postpartum, adanya satu atau lebih faktor resiko dapat meningkatkan kemungkinan terjadinya perdarahan postpartum. 10
Tabel 6. Etiologi dan Faktor Resiko Perdarahan Postpartum
Patofisiologi
Pendarahan post partum bisa dikendalikan melalui kontraksi dan retraksi serat-serat miometrium. Kontraksi dan retraksi ini menyebabkan terlipatnya pembuluh-pembuluh darah sehingga aliran darah ke tempat plasenta berhenti. Kegagalan mekanisme akibat gangguan fungsi miometrium ini dinamakan atonia uteri dan keadaan ini menjadi penyebab utama pendarahan 11
post partum.
19
Diagnosis
Pada atonia uteri diagnosis ditegakkan apabila setelah bayi dan plasenta lahir ternyata pendarahan masih aktif dan banyak, bergumpal dan pada palpasi didapatkan fundus uteri masih setinggi pusat atau lebih dengan konstraksi yang lembek. Perlu dipehatikan bahwa pada saat atonia uteri didiagnosis, maka pada saat itu juga masih ada darah sebanyak 500-1000cc yang sudah keluar dari pembuluh darah, tetapi masih terperangkap dalam uterus dan harus 2
diperhitungkan dalam kalkulasi pemberian darah pengganti.
Penatalaksanaan
Tujuan utama penanganan perdarahan postpartum ada 3 yakni pencegahan, penghentian perdarahan dan mengatasi syok. Pendekatan resiko, meskipun menimbulkan kontroversi tetap masih mendapatkan tempat untuk diperhatikan. Setiap ibu hamil dengan faktor resiko tinggi terjadinya perdarahan postpartum sebaiknya dirujuk ke tempat fasilitas kesehatan yang 9
mempunyai unit tranfusi dan perawatan intensif. Pada penanganan perdarahan postpartum, pilihan terapi yang cepat dan tepat akan menentukan tingkat keberhasilan. Prinsip dasar dari penanganan perdarahan postpartum adalah haemostasis atau menghentikan perdarahan dengan cepat. Untuk memudahkan mengingat prosedur yang harus dilakukan, akronim Haemostasis 8
dapat digunakan (Tabel 5).
8
Tabel 7. Penanganan Umum Perdarahan Postpartum
1. Manajemen Aktif Kala III
20
Setiap ibu melahirkan harus mendapatkan manajemen aktif kala III. Merupakan tindakan (intervensi) yang bertujuan mempercepat lahirnya plasenta dengan meningkatkan kontraksi 12
uterus sehingga menurunkan kejadian perdarahan postpartum karena atoni uteri. Tindakan ini meliputi 3 komponen utama yakni (1) pemberian uterotonika, (2) peregangan tali pusat 13
terkendali dan (3) masase uterus setelah plasenta lahir. Oksitosin 10 unit disuntikan secara intramuskular segera setelah bahu depan atau janin lahir seluruhnya. Peregangan tali pusat secara terkendali (tidak terlalu kuat) dilakukan pada saat uterus berkontraksi kuat sambil ibu diminta mengejan. Jangan lupa melakukan counter-pressure terhadap uterus untuk menghidari inversi. Lakukan masase fundus uteri segera setelah plasenta lahir sampai uterus berkontraksi kuat, 13
palpasi tiap 15 menit dan yakinkan uterus tidak lembek setelah masase berhenti. Rekomendasi kunci yang dianjurkan dalam praktek untuk menekan kejadian perdarahan postpartum adalah sebagai berikut (Tabel 6).
12
Pada tahun 2006 WHO mengeluarkan rekomendasi yang sama untuk meminimalisasi morbiditas dan mortalitas maternal: 1. Manajemen aktif harus dilakukan pada semua wanita oleh dokter ahli 2. Dokter ahli harus menggunakan uterotonika (oksitosin, ergonovine, misoprostol, dan carboprost) untuk mencegah perdarahan postpartum. 3. Klem tali pusat lebih awal hanya direkomendasikan pada bayi yang membutuhkan resusitasi 12
Tabel 8. Rekomendasi Kunci Pedarahan Post Partum
21
2. Uterotonika Uterotonika utama yang dipakai dalam pencegahan dan penanganan perdarahan postpartum adalah oksitosin dan metilergonovin. Society of Obstetricians and Gynecologist of Canada (SOGC) Clinical Practice Guidline merekomendaskan pemakaian oksitosin dan 14
metilergonovin sebagai berikut (Tabel 7).
14
Tabel 9. Penggunaan Uterotonika
3. Misoprostol Misoprostol adalah analog prostaglandin E1, yang banyak digunakan dalam praktek obstetrik karena sifatnya yang memacu kontraksi miometrium. Misoprostol lebih unggul dibanding prostaglandin lain seperti PG E2 atau PG F2α karena sifatnya yang stabil pada 15
temperatur kamar, murah dan mudah penggunaannya.
Adanya perdarahan postpartum setelah persalinan harus segera ditangani dengan tepat. Penanganan lini pertama dengan pemberian uterotonika yaitu oksitosin dan ergometrin yang dilanjutkan dengan masase uterus. Misoprostol dapat digunakan apabila dengan metode ini perdarahan tidak dapat dihentikan. Dalam situasi di mana uterotonika tidak tersedia, pemberian misoprostol 600 μg dapat digunakan sebagai terapi utama perdarahan postpartum. Misoprostol 16
dapat diberikan secara oral ataupun sublingual.
4. Penanganan perdarahan postpartum yang telah terjadi (establihed postpartum hemorrhage) a. Intervensi medis Jika dengan managemen aktif kala III perdarahan vaginal masih berlangsung, maka harus segera diberikan 5-10 unit oksitosin secara intravena pelan atau 5-30 unit dalam 500 ml cairan dan 0,25-0,5 mg ergometrin intravena. Pada saat yang sama dilakukan pemeriksaan untuk menyingkirkan kemungkinan adanya sebab lain seperti adanya robekan jalan lahir atau retensi sisa plasenta. Perhatian harus ditujukan pada cara 22
mengatasi syok (“ABC's”) dengan memasang venokateter besar, memberikan oksigen dengan masker, monitoring tanda vital dan memasang kateter untuk memonitor jumlah urin yang keluar. Monitoring saturasi oksigen juga perlu dilakukan. Darah diambil untuk 14
pemeriksaan rutin, golongan darah dan skrining koagulasi.
Langkah penting yang harus segera diambil adalah koreksi hipovolemia (resusitasi cairan). Kelambatan atau ketidaksesuaian dalam memberikan koreksi hipovolemia merupakan awal kegagalan mengatasi kematian akibat perdarahan postpartum. Meskipun pada perdarahan kedua komponen darah yaitu plasma dan sel darah hilang, tetapi penanganan pertama untuk menjaga homeostasis tubuh dan mempertahankan perfusi jaringan adalah dengan pemberian cairan. Larutan kristaloid (saline normal atau ringer laktat) atau koloid harus segera diberikan dengan jumlah 3 kali estimasi darah yang hilang, tetapi larutan kristaloid lebih diutamakan. Dextran tidak boleh diberikan karena mengganggu agregasi platelet. Dosis maksimal untuk larutan 9
koloid adalah 1500 ml per 24 jam. b. Intervensi bedah
Pasien harus diletakkan dalam posisi litotomi dengan pencahayaan yang baik sehingga adanya robekan di perineum, vagina dan seviks dapat diidentifikasi. Jika robekan jalan lahir dapat disingkirkan maka segera dilakukan eksplorasi kavum uterin untuk menyingkirkan adanya retensi sisa plasenta. Jika setelah manuver ini perdarahan masih berlangsung dan kontraksi uterus lembek, maka atoni uteri adalah penyebab perdarahan. Beberapa intervensi bedah yang dapat dilakukan adalah kompresi bimanual, tampon uterus (uterine packing, tamponade test ), jahitan pada placental bed , jahitan segi empat ganda (multiple square suture), jahitan B-Lynch, ligasi arteria uterina, ligasi arteria iliaka interna, histerektomi, tampon intraabdominal (intra – abdominal packing ) dan 17
embolisasi arteria iliaka interna atau arteria uterina. 1. Kompresi Bimanual
Kompresi bimanual dilakukan dengan satu tangan (tangan kanan mengepal) ditempatkan di forniks anterior dan tangan kiri mengangkat korpus dan menekan ke arah tangan yang di dalam vagina. Cara ini setidaknya dapat menghentikan perdarahan sementara sambil menyiapkan langkah lainnya. 23
2. Tampon Uterus (Uterine Packing ) Tindakan ini dipertimbangkan bila terapi obat-obatan tidak berhasil atau sambil menunggu tindakan operatif. Pada keadaan di mana korpus berkontraksi baik sedang segmen bawah rahim tidak, seperti pada plasenta letak rendah, maka tampon uterus bermanfaat. Bila seluruh uterus lembek dan serviks terbuka lebar maka tampon tidak efektif karena tampon tidak mendapat tahanan dari bawah. Tampon harus dipasang dengan padat dan hanya meninggalkan bagian sedikit di 17
dalam vagina untuk mengangkat setelah 24 jam. 3. Histerektomi Peripartum
Insidensi melakukan histerektomi peripartum berkisar antara 7-13 per 100.000 persalinan dan sebagian besar terjadi bersamaan dengan seksio sesarea. Indikasi utama adalah plasenta akreta, inkreta dan perkreta, atoni uterin, ruptur uterin, hematoma ligamentum latum, robekan serviks luas setelah tindakan forseps, dan koriomanionitis. Sebaiknya serviks dipotong dibawah arteria uterina. Histerektomi supraservikal dapat dilakukan kalau dibutuhkan operasi yang lebih cepat. Teknik B-Lynch dan teknik Lasso-Budiman, keduanya merupakan teknik yang aman, sederhana, mudah, dan efektif untuk menghentikan perdarahan pascapersalinan yang disebabkan oleh atonia uteri. Bila terjadi kegagalan, histerektomi adalah pilihan terakhir. Kedua teknik tersebut juga merupakan 18
metode yang efektif untuk mempertahankan uterus dan fertilitas. 4. Tampon Intraabdominal
Histerektomi tidak menjamin bahwa perdarahan pasti berhenti. Perdarahan bisa terjadi karena gangguan faktor pembekuan (consumptive coagulopathy) atau manipulasi yang berlebihan. Sebuah tampon padat ditaruh di tempat sumber 17
perdarahan dan diangkat setelah 24 jam setelah gangguan perdarahan terkoreksi. 5. Tranfusi Darah
Sel darah merah yang dimampatkan ( Packed Red Cells, PRC) lebih banyak digunakan untuk mengatasi syok hemoragik. Tujuan transfusi darah pada kedaan ini adalah restorasi cairan intravaskular yang hilang dan pemulihan kapasitas membawa oksigen oleh sel darah merah (oxygen carrying-capacity). Kemampuan membawa oksigen sel darah merah pada seorang individu yang sehat 24
tidak akan terganggu sampai kadar hemoglobin turun di bawah 6-7 g/dL. Kehilangan darah lebih dari 20-25% atau dengan kecurigaan koagulopati memerlukan penggantian faktor koagulasi. Pemeriksan faktor koagulasi juga 19
diperlukan setelah pemberian 5-10 unit PRC.
14
Gambar 2. Manajemen Perdarahan Postpartum
25
11
Gambar 3.Tatalaksana Pendarahan Post Partum et cause Atonia Uteri Komplikasi
Syok terjadi bila ada hipoperfusi pada organ vital. Hipoperfusi bisa disebabkan oleh kegagalan kerja jantung (syok kardiogenik), infeksi yang hebat sehingga terjadi redistribusi
26
cairan yang beredar (intravaskular) ke dalam cairan ekstravaskular (syok septik), hipovolemia karena dehidrasi (syok hipovolemik) atau karena perdarahan banyak (syok hemoragik). Tanda dan gejala syok hemoragik bervariasi tergantung pada jumlah darah yang hilang dan kecepatan 12
hilangnya darah (Tabel 3).
Tabel 10. Tanda, Gejala dan Klasifikasi Syok Hemoragik (Wanita dengan Berat Badan 60-70 12
kg)
Kematian terjadi karena kegagalan multiorgan. Perdarahan hebat menyebabkan penurunan volume sirkulasi sehingga terjadi respons simpatis. Terjadi takikardia, kontraktilitas otot jantung meningkat dan vasokonstriksi perifer. Sementara volume darah beredar menurun, kemampuan sel darah merah untuk mengangkut oksigen juga menurun sedang kenaikkan kontraktilitas otot jantung membutuhkan pasokan oksigen lebih banyak. Keadaan ini cepat memacu terjadinya kegagalan miokardium. Vasokonstriksi perifer ditambah dengan menurunnya kemampuan darah membawa oksigen menyebabkan terjadinya hipoperfusi dan hipoksia jaringan. Hipoksia jaringan memacu metabolisme anaerob dan terjadilah asidosis. Asidosis inilah yang memacu terlepasnya berbagai mediator kimiawi dan memacu respons inflamasi sistemik. Keadaan ini menyebabkan terlepasnya radikal oksigen yang berakibat kematian sel. Kematian sel menyebabkan lemahnya sistem barier mukosa sehingga mikroorganisme dan endotoksin mudah tersebar ke seluruh jaringan dan organ. Keadaan inilah yang mengakibatkan terjadinya Systemic Inflammatory Response Syndrome (SIRS) dan kegagalan multiorgan yang berakhir dengan 12
kematian.
Evaluasi pada pasien meliputi riwayat medis yang lengkap, seperti riwayat koagulopati dan riwayat terapi anti koagulan, harus dilakukan. Pemeriksaan fisik yang lengkap dapat 27
menunjukkan adanya memar atau petekia yang luas. Pemeriksaan untuk menilai status koagulasi dan konsultasi harus dipertimbangkan. Resiko komplikasi perdarahan harus dicatat pada rekam 12
medis didiskusikan dengan pasien.
Pencegahan
Melakukan secara rutin manajemen aktif kala III pada semua wanita yang bersalin karena hal ini dapat menurunkan insidens pendarahan pascapersalinan akibat atonia uteri.
2
Pemberian misoprostol peroral 2-3 tablet (400-600 ug) segera setelah ba yi lahir.
Prognosis
Wanita dengan pendarahan pascapersalinan seharusnya tidak meninggal akibat pendarahannya, 20
sekalipun untuk mengatasinya perlu dilakukan histerektomi. Kesimpulan
Pasien ini mengalami pendarahan post partum primet yang disebabkan oleh atonia uteri karena pasien memiliki tekanan darah turun, nadi meningkat, pucat dan tidak sadarkan diri serta mengeluarkan darah dari vagina 40 menit setelah persalinan yang menunjukkan bahwa pasien mengalami pendarahan post partum. Sedangkan atonia uteri diambil sebagai causa karena fundus uteri setinggi pusat dan konsistensinya kenyal serta atonia uteri merupakan penyebab tersering dari pendarahan post partum.
Daftar Pustaka 1. F
Gary C, Kenneth JL,
Steven LB, John CH, Dwight JR, Catherine YS. Obstreti
Williams. Jakarta: ECG, 2012.h. 2. Saworno P. Ilmu Kebidanan. Jakarta; PT.Bina Pustaka Sarwono Prawirohardjo. h.522-9. 3. Ida BGM, Ida ACM, Ida BGFM. Pengantar Kuliah Obstreti. Jakarta: ECG, 2007. h. 15985. 4. Prabowo, Raden P. Perdarahan Post Partum dalam buku Ilmu Bedah Kebidanan. Ed 1 Cetakan ke 6. Jakarta: Yayasan Bina Pustaka Sarwono Prawirohardjo; 2005. h.188-9. 5. Karkata, Made K. Perdarahan Pasca Persalinan dalam buku Ilmu
Kebidanan. Ed 1
Cetakan ke 6. Jakarta: Yayasan Bina Pustaka Sarwono Prawirohardjo; 2005. h.552-9. 28
6. Timothy R. Maternal Mortality. J Obstet Gynecol Can 2011;33(10):989 -990 7. Hogan MC, et al. Maternal mortality for 181 countries, 1980 – 2008: a systematic analysis of progress towards Millennium Development Goal 5. Lancet 2010;375:16 09 – 23. 8. Ramanathan, Gand Arulkumaran, S. Postpartum Hemorrhage. J Obstet Gynaecol Can 2006;28(11):967 – 973. 9. Martaadisubrata D, dkk. Bunga Rampai Obstetri dan Ginekologi Sosial. Jakarta: Yayasan Bina Pustaka Sarwono Prawirohardjo, 2005. 10. Maughan KL, et al. Preventing Postpartum Hemorrhage: Managing the Third Stage of Labor. AmFam Physician 2006;73:1025-8. 11. Mohammad H. Ilmu Kebidanan: Patologi dan Fisiologi Persalinan. Ed
1.
Yogyakarta:
Yayasan Essentia Medica. 2010.h.412-6. 12. Anderson J M and Etches D. Prevention and Management of Postpartum Hemorrhage. Am Fam Physician 2007;75:875-82. 13. John RS. Management of Third Stage of Labor. Medscape Reference. 14. Schuurmans N, et al. SOGC Clinical Practice Guidline. Prevention and Management of Postpartum Hemorrhage. J Soc Obstet Gynaecol Can 2000;22(4):271-81. 15. Goldberg AB, Greenberg MB, and Darney PD. Misoprostol and Pregnancy. NEngl J Med 2001; 344 (1):38-45. 16. J Blum, et al. Treatment of Postpartum Hemorrhage. International Federation of Gynecology and Obstetric. Ireland:Elseiver. 17. Dean Leduc. Active Management of The Third Stage of Labour: Prevention and Treatment Postpartum Hemorrhage. J Obstet Gynecol Can 2009;31(10):980-993. 18. Muhammad Nurhadi Rahman, dkk. Penggunaan Teknik B-Lynch dan Teknik LassoBudiman untuk Penanganan Perdarahan Pascapersalinan akibat Atonia Uteri. Case Report Vol.34 No.4 Oktober 2010. 19. Statewide Maternity and Neonatal Clinical guidelines Program. Primary Postpartum Hemorrhage. July 2009. 20. Sulaiman S. Obstetri Patologi: Ilmu Kesehatan Reproduksi. Ed 2. Jakarta: ECG, 2004.h.172.
29