LAPORAN
ANALISIS RHODAMIN B PADA SAOS
SECARA KUANTITAF DAN KUALITATIF (KLT)
Oleh
Wiwit Puji Lestari 121810301052
Lubabah Putri D. 121810301061
Winda Intan N. 121810301062
Octavianti Nuryani 121810301067
Yulia agustin 121810301073
LABORATURIUM KIMIA ANALISIS
JURUSAN KIMIA
FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAAN ALAM
UNIVERSITAS JEMBER
2015
BAB 1. PENDAHULUAN
1. Latar Belakang
Makanan merupakan suatu hal yang sangat penting dalam kehidupan
manusia, oleh karena itu makanan yang kita makan bukan hanya harus memenuhi
gizi dan mempunyai bentuk yang menarik, akan tetapi juga harus aman dalam
arti tidak mengandung mikroorganisme dan bahan bahan kimia yang dapat
menyebabkan keracunan penyakit. Perusahaan makanan dan minuman kemasan di
Indonesia saat ini berkembang dengan sangat pesat. Ditemukan makanan dan
minuman kemasan yang diproduksi hanya mementingkan aspek selera konsumen
tanpa memperdulikan aspek kesehatan (Yuliarti, 2007).
Saos adalah bahan pelengkap makanan yang terbuat dari tomat. Industri
pembuatan saos biasanya juga menggunakan pepaya, maizena, bawang putih,
gula pasir, cuka makanan, sodium benzoat dan pewarna makanan sebagai
tambahannya. Namun beberapa penelitian terakhir mengungkap beberapa
industri soas menggunakan pewarna tekstil untuk bahan pewarnanya. Mereka
menggunakan ekstra cabai leoserin capsikum, ampas tapioka, ekstra bawang
putih, bibit cairan tomato, sakarin, garam, pewarna sunset, pewarna jenis
poncau, dan potassium fosfat. Hal ini jelas berbahaya jika dikonsumsi dan
dapat menimbulkan penyakit seperti kanker, pencernaan terhambat, sakit
tenggorokan, pengerasan usus dan diare.
Zat warna menurut Witt (1876:70) merupakan gabungan zat organik tidak
jenuh, kromofor dan ausokrom. Zat organik tidak jenuh adalah molekul zat
warna yang berbentuk senyawa aromatik yang terdiri dari hidrokarbon
aromatik, fenol dan senyawa yang mengandung nitrogen. Kromofor adalah
pembawa warna sedangkan aukrosom adalah pengikat antara warna dengan serat.
Peningkatan mutu sumber daya manusia dan teknnologii saat ini
menjadikan zat warna kian berkembang degan pesat. Keterbatasan zat warna
alam membuat industri tekstil menggunakan zat warna buatan (sintetik)
sebagai pewarna bahan tekstil karena zat warna sintetik lebih banyak
memiliki warna , tahan luntur dan mudah cara pemakaiannya ketimbang zat
warna alami yang kian sulit diperoleh.
Zat pewarna pada makanan digolongkan menjadi dua kategori yaitu zat
warna alami dan zat warna sintetik. Zat warna alami merupakan zat warna
yang berasal dari tanaman atau buah-buahan. Zat warna alami cenderung
menghasilkan karakteristik warna yang lebih pudar dan kurang stabil bila
dibandingkan zat warna sintetik.
Pemerintah Indonesia melalui Peraturan Menteri Kesehata (Permenkes)
No.239/MenKes/Per/V/85 menetapkan 30 zat pewarna berbahaya. Rhodamin B
termasuk salah satu zat pewarna berbahaya dan dilarang digunakan pada
produk pangan. Rhodamin B merupakan zat warna sintetik yang umum digunakan
sebagai pewarna tekstil. Menurut Peraturan Pemerintah RI No. 28 Tahun 2004,
Rhodamin B merupakan zat warna tambahan yang dilarang penggunaannya dalam
produk-produk pangan.
Rhodamin B dapat menyebabkan iritasi saluran pernafasan, iritasi kulit,
iritasi pada mata, iritasi pada saluran pencernaan, keracunan, dan gangguan
hati akan tetapi sampai sekarang masih banyak produsen yang menggunakan
Rhodamin B dalam produk makanan dan minuman yang dihasilkannya. Rhodamin B
ditemukan dalam berbagai produk seperti: kerupuk.
Zat warna Rhodamin B walaupun telah dilarang penggunaanya ternyata
masih ada produsen yang sengaja menambahkan zat warna Rhodamin B untuk
produk kerupuk sebagai pewarna merah dengan alasan warnanya sangat bagus,
mudah didapat, dan murah harganya. Sebagian besar produk tersebut tidak
mencantumkan kode, label, merek, jenis atau data lainnya. Para pedagang
kerupuk menggunakan pewarna untuk memperbaiki warna merah makanan yang
berkurang (menjadi pudar) akibat penambahan bahan lain. Rhodamin B dapat
terakumulasi pada tubuh manusia dan bersifat karsinogenik yang dalam jangka
panjang menyebabkan penyakit-penyakit seperti kanker dan tumor pada organ
tubuh manusia. Ciri-ciri makanan yang menggunakan pewarna rhodamin B,
seperti:
Warnanya mencolok
Cerah mengilap
Warnanya tidak homogen (ada yang menggumpal)
Ada sedikit rasa pahit
Berbagai peraturan pemerintah ditetapkan selain untuk melindungi konsumen
sekaligus juga merupakan informasi / petunjuk bagi pengusaha kecil industri
akan adanya bahan-bahan tambahan kimia yang berbahaya bagi kesehatan
manusia (Suprapti, 2005:10).
Berdasarkan uraian di atas, maka perlu adanya penelitian mengenai
keamanan pangan jajanan di sekitar Kampus Tegalboto Universita Jember dari
segi Rhodamin B.
2. Rumusan Masalah
Adapun rumusan masalah pada penelitian ini adalah
1. Apakan pelengkap makanan seperti saos cilok di sekitar Kampus Tegalboto
Universitas Jember mengandung zat pewarna sintetis Rhodamin B?
2. Berapa kadar Rhodamin B dalam sampel saos?
3. Batasan Masalah
Adapun batasan masalah pada penelitian ini adalah
1. Sampel penelitian diambil secara acak yaitu saos cilok yang dijual
beberapa pedagang di sekitar kampus
2. Sampel diuji untuk mengetahui kandungan Rhodamin B secara kualitatif dan
kuantitatif
4. Tujuan Penelitian
Berdasarkan permasalahan yang dikemukakan diatas maka tujuan dari
penelitian ini adalah untuk mengidentifikasi bahan kimia zat pewarna
Rhodamin B yang terdapat didalam pelengkap makanan seperti saos.
5. Manfaat Penelitian
Memberikan informasi pada mahasiswadan instansi terkait tentang adanya
zat warna berbahaya yang masih digunakan sebagai zat pewarna makanan yaitu
Rhodamin B pada pelengkap makanan seperti saos.
BAB II TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Jajanan
Makanan merupakan salah satu kebutuhan dasar manusia yang terpenting
dan juga merupakan faktor yang sangat esensial bagi pertumbuhan dan
perkembangan manusia. Tetapi betapapun menariknya penampilan, lezat rasanya
dan tinggi nilai gizinya, apabila tidak aman dikonsumsi, maka makanan
tersebut tidak ada nilainya sama sekali (Winarno dan Rahayu, 1994).
Makanan jajanan yang dijual oleh pedagang kaki lima menurut FAO
didefinisikan sebagai makanan dan minuman yang dipersiapkan dan dijual oleh
pedagang kaki lima di jalanan dan di tempat-tempat keramaian umum lain yang
langsung dimakan dan dikonsumsi tanpa persiapan atau pengolahan lebih
lanjut (Judarwanto, 2007). Makanan jajanan (street food) sudah menjadi
bagian yang tidak terpisahkan dari kehidupan masyarakat, baik dari
perkotaan maupun pedesaan. Keunggulan dari makanan jajanan adalah murah dan
mudah didapat, serta cita rasanya yang cocok dengan selera kebanyakan
masyarakat. Meskipun makanan jajanan memiliki keunggulan-keunggulan
tersebut, ternyata makanan jajanan juga beresiko terhadap kesehatan karena
penanganannya sering tidak higienis, yang memungkinkan makanan jajanan
terkontaminasi oleh mikroba beracun maupun penggunaan bahan tambahan pangan
(BTP) yang tidak diizinkan.
2.2 Bahan Pewarna Makanan
Warna dari suatu produk makanan ataupun minuman merupakan salah satu
ciri yang sangat penting. Warna merupakan kriteria dasar untuk menentukan
kualitas makanan, antara lain warna juga dapat memberi petunjuk mengenai
perubahan kimia dalam makanan, seperti pencoklatan (deMan, 1997).
Bahan pewarna makanan kadang-kadang ditambahkan dalam makanan untuk
membantu mengenali identitas atau karakteristik dari suatu makanan; untuk
mempertegas warna alami dari makanan; untuk mengkoreksi variasi alami dalam
warna; untuk menjaga keseragaman warna dari batch ke batch, di mana variasi
tersebut biasa terjadi pada intensitas warna; dan memperbaiki penampilan
makanan yang mengalami perubahan warna alaminya selama proses pengolahan
maupun penyimpanan (Nollet, 2004). Adapun bahan pewarna yang diijinkan di
Indonesia dapat dilihat di Tabel 1.
Zat pewarna makanan sering kali menimbulkan masalah kesehatan,
terutama dalam penyalahgunaan pemakaiannya. Betapa tidak, zat warna untuk
tekstil dan kulit terkadang dipakai untuk mewarnai makanan (Donatus, 1990).
Zat pewarna dibagi menjadi dua kelompok yaitu certified color dan
uncertified color. Perbedaan antara certified dan uncertified color adalah
certified color merupakan zat pewarna sintetik yang terdiri dari dye dan
lake, sedangkan uncertified color adalah zat pewarna yang berasal dari
bahan alami (Winarno, 2002).
2.2.1 Uncertified color additive ( zat pewarna tambahan alami)
Zat pewarna yang termasuk dalam uncertified color ini adalah zat
pewarna alami (ekstrak pigmen dari tumbuh-tumbuhan) dan zat pewarna
mineral, walaupun ada juga beberapa zat pewarna seperti ß-karoten dan
kantaxantin yang telah dapat dibuat secara sintetik. Untuk penggunaannya
bebas sesuai prosedur sertifikasi dan termasuk daftar yang tetap. Satu-
satunya zat pewarna uncertified yang penggunaannya masih bersifat sementara
adalah Carbon Black (Winarno, 2002).
2.2.3 Certified color (zat pewarna sintetik)
Seiring dengan berkembangnya ilmu pengetahuan, zat warna hasil
rekayasa teknologipun kian berkembang. Oleh karena itu berbagai zat warna
sintetik diciptakan untuk berbagai jenis keperluan misalnya untuk tekstil,
kulit, peralatan rumah tangga dan sebagainya (Djalil, dkk, 2005).
Tabel 1. Zat Pewarna bagi Makanan dan Minuman yang Diijinkan di
Indonesia (Winarno, 2002)
"Warna "Nama "Nomor indeks nama "
"I. Zat warna alam " " "
"Merah "Alkanat "75520 "
"Merah "Cochineal red ( karmin )"75470 "
"Kuning "Annato "75120 "
"Kuning "Karoten "75130 "
"Kuning "Kurkumin "75300 "
"Kuning "Safron "75100 "
"Hijau "Klorofil "75810 "
"Biru "Ultramarin "77007 "
"Coklat "Karamel "- "
"Hitam "Carbon black "77266 "
"Hitam "Besi oksida "77499 "
"Putih "Titanium dioksida "77891 "
"II. Zat warna sintetik " " "
"Merah "Carmoisine "14720 "
"Merah "Amaranth "16185 "
"Merah "Erythrosium "45430 "
"Oranye "Sunsetyellow FCF "15985 "
"Kuning "Tartrazine "19140 "
"Kuning "Quineline yellow "47005 "
"Hijau "Fast green FCF "42053 "
"Biru "Brilliant blue FCF "42090 "
"Biru "Indigocarmine ( "42090 "
"Ungu "indigotine ) "42640 "
" "Violet GB " "
Ada dua macam yang tergolong certified color yaitu dye dan lake.
Keduanya adalah zat pewarna buatan. Zat pewarna yang termasuk golongan dye
telah melalui prosedur sertifikasi dan spesifikasi yang telah ditetapkan
oleh FDA. Sedangkan zat pewarna lake yang hanya terdiri dari satu warna
dasar, tidak merupakan warna campuran juga harus mendapat sertifikat
(Winarno, 2002).
1) Dye
Dye adalah zat pewarna yang umumnya bersifat larut dalam air dan
larutannya dapat mewarnai. Pelarut yang dapat digunakan selain air adalah
propilenglikol, gliserin, atau alkohol. Dye dapat juga diberikan dalam
bentuk kering apabila proses pengolahan produk tersebut ternyata
menggunakan air. Dye terdapat dalam bentuk bubuk, butiran, pasta, maupun
cairan yang penggunaannya tergantung dari kondisi bahan, kondisi proses,
dan zat pewarnanya sendiri (Winarno, 2002).
2) Lake
Zat pewarna ini merupakan gabungan dari zat warna (dye) dengan radikal
basa (Al atau Ca) yang dilapisi dengan hidrat alumina atau Al(OH)3. Lapisan
alumina atau Al(OH)3 ini tidak larut dalam air, sehingga lake ini tidak
larut pada hampir semua pelarut. Sesuai dengan sifatnya yang tidak larut
dalam air, zat pewarna ini digunakan untuk produk-produk yang tidak boleh
terkena air. Lake sering kali lebih baik digunakan untuk produk-produk yang
mengandung lemak dan minyak daripada dye, karena FD & C Dye tidak larut
dalam lemak. (Winarno, 2002).
2.3 Rhodamin B
Rhodamin B adalah pewarna sintetis yang digunakan pada industri
tekstil dan kertas. Rhodamin B berbentuk serbuk kristal merah keunguan dan
dalam larutan akan berwarna merah terang berpendar. Zat ini sangat
berbahaya jika terhirup, mengenai kulit, mengenai mata dan tertelan. Dampak
yang terjadi dapat berupa iritasi pada saluran pernafasan, iritasi pada
kulit, iritasi pada mata, iritasi pada saluran pencernaan dan bahaya kanker
hati. Apabila tertelan dapat menimbulkan iritasi pada saluran pencernaan
dan air seni akan berwarna merah atau merah muda. Rhodamin B bersifat
karsinogenik sehingga dalam penggunaan jangka panjang dapat menyebabkan
kanker. Uji toksisitas Rhodamin B telah dilakukan terhadap mencit dan tikus
dengan injeksi subkutan dan secara oral. Rhodamin B dapat menyebabkan
karsinogenik ketika diinjeksi subkutan yaitu timbul sarcoma lokal,
sedangkan secara UV-VIS didapatkan LD5089,5 mg/Kg yang ditandai dengan
gejala adanya pembesaran hati, ginjal dan limfa serta diikuti perubahan
anatomi berupa pembesaran organ pada tikus tersebut. (Index, 2006).
Struktur rhodamin B dapat ditunjukkan pada gambar 1. (Marmion, 1984).
Gambar 1. Struktur rhodamin B
2.4 Kromatografi Lapis Tipis
Kromatografi lapis tipis ialah metode pemisahan fisikokimia. Lapisan
yang memisahkan, yang terdiri dari bahan yang berbutir-butir (fase diam),
ditempatkan pada penyangga berupa plat gelas, logam, atau lapisan yang
cocok. Campuran yang dipisah, berupa larutan, ditotolkan berupa bercak atau
pita (awal). Setelah plat atau lapisan ditaruh di dalam bejana tertutup
rapat yang berisi larutan pengembang yang cocok (fase gerak), pemisahan
terjadi selama perambatan kapiler (pengembangan) (Stahl, 1985).
Kromatografi lapis tipis (KLT) telah banyak digunakan pada analisis
pewarna sintetik. KLT merupakan metode pemisahan yang lebih mudah, lebih
cepat, dan memberikan resolusi yang lebih baik dibandingkan kromatografi
kertas. KLT tidak sebaik HPLC untuk pemisahan dan identifikasi, tetapi
metode ini relatif sederhana dan dapat digunakan untuk memisahkan campuran
yang kompleks. Meskipun demikian KLT tidak mahal dan dapat digunakan secara
mudah di industri makanan (Nollet, 2004). KLT pada hakekatnya melibatkan
dua fase: sifat fase diam atau sifat lapisan, dan sifat fase gerak atau
campuran larutan pengembang (Gritter, 1991).
2.4.1 Fase diam (larutan penjerap/ adsorben)
Semua prosedur kromatografi, kondisi optimum untuk suatu pemisahan
merupakan hasil kecocokan antara fase diam dan fase gerak. Pada KLT, fase
diam harus mudah didapat (Sudjadi, 1986). Dua sifat yang penting dari kolom
yaitu besar partikel dan homogenitas, karena adhesi terhadap penyokong
sangat tergantung pada kedua sifat tersebut. Besar partikel yang biasa
digunakan adalah 1-25 mikron (Sastrohamidjojo, 1991).
Kolom yang umum digunakan yaitu silika gel, aluminium oksida,
kieselgur, selulosa dan turunannya, poliamida dan lain-lain (Stahl, 1985).
Silika gel merupakan fase diam yang paling sering digunakan untuk KLT
(Sudjadi, 1986). Zat ini digunakan sebagai adsorben universal untuk kr
2.4.2 Fase gerak (pelarut pengembang)
Fase gerak ialah medium angkut dan terdiri atas satu atau beberapa
pelarut. Ia bergerak di dalam fase diam, yaitu suatu lapisan berpori,
karena ada gaya kapiler. Yang digunakan hanyalah pelarut bertingkat mutu
analitik dan bila diperlukan, sistem pelarut multikomponen ini harus berupa
campuran sesederhana mungkin yang terdiri atas maksimal tiga komponen
(Stahl, 1985).
Pada proses serapan, yang terjadi jika menggunakan silika gel, alumina
dan fase diam lainnya, pemilihan pelarut mengikuti aturan kromatografi
kolom serapan (Sudjadi, 1986). Memang agak sukar untuk menemukan sistem
pelarut yang cocok untuk pengembangan. Pemilihan sistem pelarut yang
dipakai didasarkan atas prinsip like dissolves like, tetapi akan lebih
cepat dengan mengambil pengalamanan para peneliti, yaitu dengan dasar
pustaka yang sudah ada (Adnan, 1997).
2.5 Spektrometri
Analisis spektrometri adalah salah satu metode analisis dalam ilmu
kimia yang didasarkan pada identifikasi dan kuantifikasi spesies analit
berdasarkan sifat optisnya. Dalam metode ini spektrum radiasi
elektromagnetik dimanfaatkan sebagai entitas perantara untuk analisis
kualitatif dan kuantitatif ketika berinteraksi dengan spesies analit yang
dapat melalui proses absorpsi, emisi, fluoresensi atau proses lainnya
(Siswoyo, 2007). Dalam metode spektrometri, larutan sampel menyerap radiasi
elektromagnetik dari sumber yang tepat, dan jumlah yang diserap terkait
dengan konsentrasi analit dalam larutan. Transisi elektronik yang terjadi
di daerah tampak dan ultraviolet dari spektrum adalah karena penyerapan
radiasi oleh jenis tertentu dari kelompok, obligasi, dan kelompok
fungsional dalam molekul. Panjang gelombang penyerapan dan intensitas
tergantung pada jenis. Panjang gelombang serapan adalah ukuran dari energi
yang dibutuhkan untuk transisi. Intensitasnya tergantung pada probabilitas
transisi yang terjadi ketika sistem elektronik dan radiasi berinteraksi dan
pada polaritas keadaan tereksitasi ( Christian, 1994).
2.6 Spektrfotometri UV-Vis
Spektrofotometri sinar tampak adalah salah satu teknik analisis
spektroskopik yang memakai sumber radiasi elektromagnetik sinar tampak
dengan menggunakan instrument spektrofotometer (Mulja dan Suharman, 1995).
Spektrofotometer UV-Vis adalah sejenis peralatan yang digunakan untuk
mengukur serapan molekul organik atau anorganik yang diberikan sumber
cahaya dengan rentang panjang gelombang di daerah UV-Vis (180-770 nm)
(Siswoyo, 2007).
Semua molekul dapat menyerap radiasi dalam daerah UV-Vis karena mereka
mengandung electron, baik sekutu maupun menyendiri, yang dapat
dieksitasikan ke tingkst energi yang lebih tinggi (Underwood, 1999).
Adsorbsi cahaya oleh suatu molekul merupakan bentuk interaksi antara
gelombang cahaya (foton) dan atom/molekul. Energi cahaya diserap oleh
ataom/molekul dan digunakan oleh elektron di dalam atom/molekul tersebut
untuk bertransisi ke tingkat energi elektronik yang lebih tinggi. Proses
absorbsi cahaya UV-Vis berkaitan dengan promosi elektron dari suatu orbital
molekul dengan tingkat energi elektronik tertentu ke orbital molekul lain
dengan tingkat nergi elektronik yang lebih tinggi (Siswoyo, 2007).
BAB 3. METODOLOGI PENELITIAN
3.1 Alat dan Bahan
3.1.1 Alat
- Spektro Visible
- Naraca
- Penangas air
- Erlenmeyer 250 mL
- Gelas Kimia 250 mL
- Hot plate
- Gelas Kimia 50 mL
- Gelas Ukur 10 mL
- Gelas ukur 50 mL
- Corong Pisah
- Chamber
- Plat Silika Gel
- Pengaduk Kaca
- Pipet tetes
- Oven
- Corong gelas
3.1.2 Bahan
- Benang wol
- NaOH 10%; 0,5%;
- Asam Asetat 10%
- HCl 0,1N
- Etanol
- Akuades
- Amonia 2% dalam etanol 70%
- Amonia 10% dalam etanol 70%
- Amonia
- Dietil eter
- Kertas saring (kertas whatman no.42)
- n-butanol
- etil asetat
- Rhodamin B 1000 ppm
3.2 Prosedur Kerja
3.2.1 Sampling
Tahap pengambilan dan penyiapan sampel. Sampel diambil di tiga tempat
berbeda di sekitar universitas jember yaitu kantin FMIPA universitas
jember, took di Jl. Kalimantan 1, dan took di Jl. Jawa 7, diambil 1 jajanan
yang diperkirakan mengandung rhodamin B.
3.2.2 Ekstraksi Sampel dan Pemurnian Sampel
Tahap ekstraksi dan pemurnian yang dilakukan dengan menggunakan dua
metode yaitu :
Prosedur 1, Prosedur ini berdasarkan penelitian dari Utami dan Suhendi
tahun 2009 yang mengambil acuan dari Djalil dkk tahun 2005.
a. Sebanyak 10 gram sampel (yang diperkirakan mengandung rhodamin B)
dimasukkan kedalam erlenmeyar kemudian direndam dalam 20 mL larutan
ammonia 2% (yang dilarutkan dalam etanol 70% selama semalaman.
b. Larutan disaring filtratnya dengan menggunakan kertas saring whatman
no.42.
c. Larutan dipindahkan kedalam gelas kimia kemudian dipanaskan diatas hot
plate.
d. Residu dari penguapan dilarutkan dalam 10 mL air yang mengandung asam
(larutan asam dibuat dengan mencampurkan 10 mL air dan 5 mL asam asetat
10%).
e. Benang wol dengan panjang 15 cm dimasukkan kedalam larutan asam dan
didihkan hingga 10 menit, pewarna akan mewarnai benang wol, kemudian
benang diangkat.
f. Benang wol dicuci dengan air.
g. Kemudian benang dimasukkan kedalam larutan basa yaitu 10 mL amonia 10%
(yang dilarutkan dalam etanol 70%) dan didihkan.
h. Benang wol akan melepaskan pewarna, pewarna akan masuk kedalam larutan
basa.
i. Larutan basa yang didapat selanjutnya akan digunakan sebagai cuplikanan
sampel pada analisis kromatografi lapis tipis.
Prosedur 2, prosedur ini berdasarkan penelitian Putri tahun 2009.
a. Sebanyak 5 gram sampel (yang diperkirakan mengandung rhodamin B)
ditimbang kemudian sampel dimasukkan kedalam erlenmeyer 250 mL.
b. Ditambahkan 100 ml larutan amonia 2% dalam etanol 70% dan didiamkan
semalam.
c. Larutan disaring dengan menggunakan kertas saring Whatman No.42 kedalam
erlenmeyer.
d. Larutan dipindahkan kedalam gelas kimia kemudian diuapkan diatas Hot
Plate selama 4 jam pada suhu 65oC.
e. Sampel yang telah menjadi pekat selama proses penguapan kemudian
dilarutkan dengan 30 mL aquades dan diaduk.
f. Larutan dipisahkan dengan cara dimasukkan kedalam corong pisah, kemudian
ditambahkan 6 mL larutan NaOH 10% dan dikocok.
g. Larutan diekstraksi dengan 30 mL dietil eter lalu dikocok dan didiamkan
sampai membentuk dua lapisan yaitu lapisan eter jernih (atas) dan lapisan
air berwarna merah (bawah).
h. Lapisan air dibuang dengan menggunakan corong pisah sampai mendapat
ekstrak eter.
i. Ekstrak eter dicuci dengan larutan NaOH 0,5% sebanyak 5 mL dengan cara
dikocok dan didiamkan.
j. Larutan akan membentuk dua lapisan yaitu lapisan eter jernih (atas) dan
lapisan air berwarna kecoklatan (bawah).
k. Lapisan air dibuang hingga hanya terdapat ekstrak eter, kemudian
diekstraksi tiga kali, tiap kali dengan 10 mL asam klorida (HCl) 0,1 N
hingga lapisan eter tak berwarna lagi.
l. Lapisan eter dibuang dan ekstrak asam klorida (HCl) ditampung dalam labu
takar 50 mL dan ditambahkan asam klorida (HCl) 0,1 N sampai tanda tera.
3.2.3 Pembuatan Larutan Baku
Tahap pembuatan larutan baku untuk pembuatan linieritas kurva
kalibrasi. Larutan baku rhodamin B dibuat dengan konsentrasi 1000mg/L. Dari
larutan baku ini dibuat larutan baku antara dengan kadar 20; 40; 80; 120
μg/ml. Selanjutnya dibuat dua seri larutan baku kerja yaitu yang pertama
dengan konsentrasi masing-masing 0,4; 0,8; 1,6; 2,4 μg/ml dan kedua dengan
konsentrasi masing-masing 0,008; 0,016; 0,032; 0,048 μg/ml. Sebagai pelarut
digunakan larutan HCl 0,1 N (Putri, 2009).
3.2.4 Identifikasi sampel dengan KLT
Tahap identifikasi sampel. Identifikasi sampel menggunakan
Kromatografi Lapis Tipis. Sampel ditotolkan pada plat KLT dengan
menggunakan pipa kapiler pada jarak 1,5 cm dari bagian bawah plat, jarak
antara noda adalah 2 cm. kemudian dibiarkan beberapa saat hingga mengering.
Plat KLT yang telah mengandung cuplikan dimasukkan kedalam chamber yang
lebih terdahulu telah dijenuhkan dengan fase gerak berupa n-butanol : etil
asetat : amonia (10:4:5) (Putri, 2009). Dibiarkan hingga lempeng terelusi
sempurna, kemudian plat KLT diangkat dan dikeringkan. Diamati warna secara
visual dan dibawah sinar UV, jika secara visual noda berwarna merah jambu
dan dibawah sinar UV 254 nm dan 366 nm berfluoresensi kuning atau orange ,
hal ini menunjukkan adanya rhodamin B (Ditjen POM, 2001; Djalil dkk dalam
Utami dan Suhendi, 2009 ; Putri, 2009).
3.2.5 Identifikasi Penentuan Kadar Rhodamin B dengan Spektrofotometri
visible
Tahap penetuan kadar zat warna rhodamin B. Penetapan kadar rhodamin B
dilakukan dengan spektrofotometri cahaya tampak pada panjang gelombang 400-
800 nm. Sedangkan untuk menghitung kadar rhodamin B dalam sampel dihitung
dengan menggunakan kurva kalibrasi dengan persamaan regresi : y = ax ± b.
3.3 Skema Kerja
3.3.1 Ekstraksi dan Pemurnian Sampel
Prosedur 1
Prosedur 2
3.3.2 Pembuatan Larutan Standart
3.3.3 Identifikasi Sampel dengan KLT
3.3.4 Penetapan Kadar Rhodamin B dengan Spektrofotometri Visible
BAB 4. HASIL DAN DISKUSI
4.1 Hasil Diskusi
4.1.1 Uji Kualitatif dengan Metode Kromatografi Lapis Tipis
"Sampel "Warna "Rf "
"Rhodamin "Pink "0,167 "
4.1.2 Uji Kuantitatif dengan Metode Spektrofotometer Visible
Berikut adalah data yang didapat dari uji kuantitatif dengan metode
spektrofotometer visible pada panjang gelombang 555 nm :
a. Pembuatan Kurva Standar
"Panjang gelombang "Konsentrasi "Absorbansi "
"(nm) "(ppm) " "
"555 "0.01 "0.018 "
" "0.05 "0.023 "
" "0.1 "0.028 "
" "0.2 "0.047 "
b. Pengukuran Sampel
"Ekstrak Sampel "Panjang Gelombang"Absorbansi"Konsentrasi"
" "(nm) " " "
"Fase HCl "555 "0.008 "- "
"Fase Diklorometana" "0.021 "0.039 ppm "
4.2 Pembahasan Hasil
Praktikum yang dilakukan kali ini bertujuan untuk menganalisis Rhodamin
B yang diduga terkandung dalam sampel saos yang banyak beredar dipasaran.
Analisis yang dilakukan dalam percobaan kali ini yaitu analisis kualitatif
dengan metode kromatografi lapis tipis dan analisis kuantitatif dengan
menggunakan metode spektrofotometri UV-Visible. Sampel saos yang digunakan
adalah saos tomat bungkusan yang banyak beredar di pasaran dengan harga
yang relatif murah. Analisis Rhodamin B dalam saos tomat ini dilakukan
karena rhodamin B dalam makanan terutama saos perlu diawasi keberadaanya
sebab rhodamin B merupakan pewarna sintesis yang biasa digunakan pada
industry tekstil bukan industry makanan sehingga penggunaan rhodamin B
dalam suatu sediaan dilarang karena dapat menimbulkan dampak yang tidak
diharapkan bagi kesehatan seperti gangguan ginjal, hati dan kanker.
Rhodamin B adalah salah satu zat pewarna sintetis yang biasa digunakan
pada industri tekstil dan kertas. Zat ini ditetapkan sebagai zat yang
dilarang penggunaannya pada makanan. Hal tersebut telah dicantumkan oleh
Menteri Kesehatan (Permenkes) pada aturan No.239/Menkes/Per/V/85, namun
walaupun sudah dilarang, penggunaan Rhodamine B dalam makanan masih banyak
terdapat di lapangan bahkan dijual bebas dipasaran. Hal tersebut telah
membuktikan bahwa masih banyak permintaan dan penggunaan Rhodamin B di
masyarakat terutama sebagai bahan pewarna makanan. Rhodamin B yang
dikonsumsi dalam jumlah cukup besar dan berulang-ulang akan menyebabkan
iritasi pada saluran penapasan, iritasi pada kulit, iritasi pada mata,
iritasi pada pencernaan, keracunan, gangguan fungsi hati dan kanker hati.
Oleh karena itu, untuk mengetahui apakah Rhodamin B ini masih banyak
beredar dipasaran terutama pada saos yang syarat dengan adanya Rhodamin B,
peneliti menguji saos yang beredar dipasaran dengan menggunakan dua metode
analisis.
Analisis pertama yang dilakukan adalah analisis kualitatif. Analisis
kualitatif yang dilakukan ini berfungsi untuk mengidentifikasi keberadaan
rhodamin B dalam sampel saos. Metode yang digunakan dalam analisis secara
kualitatif adalah metode Kromatografi Lapis Tipis yang merupakan salah
satu teknik pemisahan senyawa dengan prinsip adsorpsi dan koefisien
partisi. KLT dilakukan karena pengujian menggunakan metode ini mudah
dilakukan dan murah. Prinsip kromatografi lapis tipis yaitu perbedaan
kepolaran 'like dissolve like" dimana pelarut yang bersifat polar akan
berikatan dengan senyawa yang bersifat polar juga dan sebaliknya, semakin
dekat kepolaran antara senyawa dengan eluent maka senyawa akan semakin
terbawa oleh fase gerak tersebut.
Tahap pertama yang dilakukan adalah preparasi larutan sampel. Preparasi
sampel dilakukan untuk memperoleh larutan rhodamin B dalam sampel sehingga
bisa dianalisis dengan KLT dimana sampel yang diuji harus berbentuk
larutan. Preparasi sampel dilakukan dengan cara menambahkan sampel saos
yang akan diuji dengan larutan 2% amonia dalam 70% etanol dengan
perbandingan 1:2 selama 1 malam. Hal ini bertujuan agar rhodamin B dalam
sampel dapat larut semua. Larutan 2% amonia dalam 70% etanol dipilih dalam
percobaan kali ini sebab ammonia merupakan pengikat sekaligus pelarut
rhodamin B sehingga rhodamin B akan terambil sempurna dalam sampel yang
akan dianalisis. Larutan yang dihasilkan kemudian dipekatkan dengan cara
pemanasan. Larutan hasil pemanasan tersebut kemudian ditambah dengan
larutan asam (10 mL akuades dan 5 mL asam asetat 5%) dengan tujuan untuk
menstabilkan rhodamin B agar tidak berubah dari bentuk terionisasi menjadi
bentuk netral.
Langkah selanjutnya yaitu memasukkan benang wol berukuran 15 cm dalam
larutan kemudian didihkan selama 10 menit. Penggunaan benang wol dalam
percobaan kali ini berfungsi untuk mengekstraksi rhodamin B dalam sampel
yang telah menerima perlakuan, dengan bantuan asam asetat yang sebelumnya
telah ditambahkan terlebih dahulu, sehingga dihasilkan warna benang wol
yang berubah dari putih menjadi merah terang. Selain itu fungsi
digunakannya benang wol adalah sebagai absorben warna saus sedangkan asam
asetat glasial berfungsi sebagai pemberi suasana asam dimana pada suasana
ini rhodamin B akan tertarik oleh asam dan selanjutnya akan terabsorbsi
oleh benang wol.Hal ini menandakan bahwa rhodamin B dalam larutan telah
terikat pada benang wol. Namun, karena sampel uji KLT harus berupa larutan
maka rhodamin dalam sampel perlu dilarutkan dengan menggunakan pelarutnya
yaitu larutan 10% amonia dalam 70% etanol.
Hasil yang didapat berupa larutan berwarna orange yang mengidentifikasi
bahwa dalam sampel saos terdapat rhodamin B. Selanjutnya dilakukan
penyiapan fasa diam dan fasa gerak dari sistem kromatografi lapis tipis
ini. Fasa diam yang digunakan adalah plat alumunium. Plat tipis aluminium
berfungsi sebagai fasa diam yang merupakan tempat berjalannya adsorbens
sehingga proses migrasi analit oleh solventnya dapat berjalan, sedangkan
fase gerak yang digunakan dalam percobaan kali ini adalah campuran 2-
butanol: etil asetat: amonia (10: 4: 5) dengan total volume eluent yaitu 19
mL. Eluen yang digunakan pada percobaan kali ini bersifat polar,
dikarenakan etil asetat dan ammonia yang bersifat polar dan 2-butanol yang
bersifat semipolar. Pada etil asetat, adanya gugus karboksil menyebabkan
sifatnya semakin polar namun dengan semakin panjangnya rantai karbon
menyebabkan sifat polarnya semakin lemah sehingga menyebabkan etil asetat
bersifat polar. Lalu pada 2-butanol, adanya gugus hidroksil membuat zat ini
bersifat semi polar sedangkan pada ammonia, adanya gugus amino akan membuat
ammonia bersifat polar. Penggunaan eluen yang bersifat polar ini berkaitan
dengan sifat kebanyakan zat warna yang bersifat polar termasuk Rhodamin B,
juga kemudahannya untuk dapat larut dalam alcohol dan amonia. Oleh
karenanya digunakan eluen yang bersifat polar ini agar dapat mengelusi
Rhodamin B dengan baik sebab Rhodamin B juga bersifat polar. Apabila
digunakan eluen yang bersifat non polar seperti kloroform, maka Rhodamin B
tidak akan terelusi. Selain itu, Eluent tersebut dipilih karena sifatnya
lebih polar dari fase diamnya sehingga sampel yang polar tidak terikat kuat
pada fase diamnya.
Eluent dipilih dengan kombinasi demikian karena dapat menghasilkan spot
yang bagus, pemisahannya baik, dengan waktu pemisahannya juga yang tidak
terlalu lama. Hal ini dikarenakan eluennya bersifat polar dan mudah
menguap. Penggunaan eluent ini disesuaikan dengan sifar polar Rhodamin B
karena memiliki gugus karboksil dengan pasangan elektron bebas dan gugus
amina pada struktur molekulnya. Gugus karboksil dan amina ini akan
membentuk ikatan hidrogen intermolekular dengan pelarut polar sehingga
mudah larut dalam pelarut polar. Oleh karena itu, digunakan campuran eluen
polar agar dapat mengeluasi Rhodamin B dengan baik.
Absorben yang digunakan dalam metode KLT yaitu berupa silica gel (SiO2)
yang tidak mengikat air sehingga noda yang tercipta lebih dapat focus dan
tajam. Fase diam ini bersifat polar. Kepolaran ditentukan saat aktivasi
plat (yaitu menggunakan pelarut yang bersifat semipolar yakni etil asetat).
Sebelum mempartisi sampel, awalnya eluen terlebih dahulu dijenuhkan dengan
tujuan untuk memastikan partikel fasa gerak terdistribusi merata pada
seluruh bagian chamber sehingga proses pergerakan spot di atas fasa diam
oleh fasa gerak berlangsung optimal, dengan kata lain penjenuhan digunakan
untuk mengotimalkan naiknya eluent dan untuk menghindari hasil tailing pada
pelat KLT selain itu penjenuhan yang dilakukan berfungsi untuk memudahkan
saat eluasi sampel. Selama proses penjenuhan, dilakukan persiapan fase diam
yakni plat aluminium yang digunakan berukuran 9,5 x 2,5 cm. Plat tersebut
diberi batas atas dan bawah masing-masing 0,5 dan 1 cm. Fungsinya sebagai
penanda jarak tempuh eluent. Batas bawah plat dibuat 1 cm agar tidak
terendam oleh eluent. Jarak penotolan disesuaikan dengan lebar plat yang
tersedia. Jarak penotolan tidak boleh terlalu berdekatan untuk menghindari
bergabungnya spot masing-masing larutan dan tidak boleh terlalu pekat untuk
menghindari adanya tailing saat spot naik bersama fasa gerak. Penotolan
dilakukan pada 3 titik, dimana 2 titik untuk ekstrak sampel dan 1 titik
untuk larutan standar rhodamin 100 ppm. Larutan standar disini digunakan
sebagai pembanding dan untuk mengetahui apakah terdapat ekstrak Rhodamin B
dalam sampel yang dianalisi melalui spot yang terdistribusi. Penotolan
larutan baku dan sampel menggunakan pipa kapiler dengan tujuannya yaitu
supaya penotolan kecil karena dalam KLT, penotolan yang baik diusahakan
sekecil mungkin untuk menghindari pelebaran spot dan tidak menurunkan
resolusi. Pelebaran spot dapat mengganggu nilai Rf karena memungkinkan
terjadinya himpitan puncak. Penotolan menggunakan bantuan hair dryer untuk
mempercepat proses pengeringan.
Langkah selanjutnya, plat dimasukkan dengan hati-hati ke dalam chamber
tertutup yang berisi fasa gerak (eluent) dengan posisi fasa gerak berada di
bawah garis pada plat. Metode KLT yang digunakan dalam percobaan kali ini
yaitu menggunakan metode ascending (naik). Fase gerak dibiarkan naik sampai
hampir mendekati batas atas plat. Eluent dapat naik walaupun melawan
gravitasi karena adanya afinitas. Pada proses naiknya fase gerak, komponen-
komponen yang berbeda dalam campuran akan berjalan melewati fasa diam yang
telah dijenuhkan sesuai dengan kepolarannya. Setelah mencapai batas atas,
plat KLT diangkat dan dibiarkan kering diudara. Hal ini dilakukan berfungsi
untuk menguapkan sisa pelarut yang masih terdapat pada plat untuk menjamin
penguapan telah sempurna dan agar spot jelas terlihat.
Hasil KLT tidak perlu diamati di bawah sinar UV karena spot telah
terlihat dengan jelas. Hasil yang didapat dari percobaan yang dilakukan
kalini ini yaitu berupa 2 spot berfluoresensi yang masing – masingnya
berwarna merah muda dan orange dengan jarak tempuh spot yang berdekatan.
Namun, spot yang dianalisis adalah spot yang mirip dengan spot larutan
standar Rhodamin b yakni merah muda terang. Berdasarkan hasil pengukuran,
diperoleh jarak spot dengan batas bawah yaitu 1.15 cm sedangkan jarak
tempuh pelarut yaitu 7 cm. Rf yang didapat dari hasil pengamatan yaitu
0.164 sedangkan untuk Rf standar didapatkan sebesar 0.87. Nilai Rf yang
diperoleh ini menyatakan ukuran daya pisah suatu zat dengan kromatografi
planar (KLT), dimana jika nilai Rf-nya besar berarti daya pisah zat yang
dilakukan solvent (eluenya) maksimum sedangkan jika nilai Rf-nya kecil
berarti daya pisah zat yang dilakukan solvent (eluenya) minimum. Rf yang
optimum yaitu berada pada rentang 0.5 – 0.8. Hasil yang didapatkan tersebut
menunjukkan bahwa Rhodamin B dalam ssampel tidak dapat terpisah secara
sempurna. Pemisahan KLT, dapat dipengaruhi beberapa faktor-faktor seperti
struktur kimia dari senyawa yang dipisahkan, sifat dari penyerap dan
derajat aktifitasnya, tebal dan kerataan zat penyerap, kemurnian pelarut,
derajat kejenuhan, teknik percobaan, jumlah cuplikan, temperatur, dan
kesetimbangan.
Analisis kedua yang dilakukan dalam percobaan kali ini yaitu analisis
kuantitatif rhodamin B dengan tujuan untuk mengetahui kadar rhodamin b
dalam sampel saos karena berdasakan uji kualitatif, sampel mengandung
rhodamin B. Analisis kuantitatif dilakukan dengan menggunakan
spektrofotometri UV-Vis. Metode spektrofotometri ini mempunyai prinsip
yaitu hukum Lambert-Beer dimana hukum Lambert-Beer ini menyatakan bahwa
konsentrasi suatu zat berbanding lurus dengan jumlah cahaya yang
diabsorbsi, atau berbanding terbalik dengan logaritma cahaya yang
ditransmisikan. Berdasarkan pengukuran spektrofotometri dapat dihitung
konsentrasi sampel yang dianalisis. Alasan menggunakan metode analisis
spektrofotometri UV-Vis adalah karena senyawa rhodamin B memiliki gugus
kromofor yaitu gugus dalam senyawa organik yang mampu menyerap sinar
ultraviolet dan sinar tampak seperti gugus karboksil, senyawa aromatik dan
juga memiliki gugus auksokrom yaitu gugus yang memiliki pasangan elektron
bebas seperti NR2. Hal pertama yang dilakukan adalah pembuatan larutan
baku. Larutan baku, dibuat pada konsentrasi 1000 ppm dengan pelarut air dan
menghasilkan larutan baku 1000 ppm yang berwarna pink pekat. Larutan baku
tersebut kemudian diencerkan pada konsentrasi 0.01; 0.01; 0.1; dan 0.2 ppm
agar dapat diukur dengan spektrofotometer Uv-Vis sebab sampel yang terlalu
pekat kemungkinan tidak akan terbaca sehingga perlu pengenceran. Variasi
pengenceran (konsentrasi) digunakan untuk membuat kurva standar.
Selanjutnya di buat larutan sampel dengan cara mengekstrak rhdamin B
pada sampel saos. Rhodamin B pada saos 5 g diekstrak dengan cara melarutkan
sampel dengan larutan 2% amonia dalam 70 % sebanyak 100 mL. Waktu pelarutan
sama dengan analisa kualitatif yaitu 1 malam. Rhodamin B yang telah
terekstrak kemudian dipanaskan dengan tujuan pemekatan dan menguapkan
pelarut. Selajutnya ditambahkan 10% NaOH. Hal ini bertujuan untuk mengubah
kepolaran dari rhodamin B dengan melepas gugus Cl- pada senyawa sehingga
struktur garam rhodamin dapat dipertahankan saat proses ekstraksi
berlangsung. Kemudian ditambahkan air sebagai fase polarnya.
Ekstraksi dilakukan dengan larutan diklorometana. Prinsip ekstrasi ini
ialah "like disolve like". Diklorometana disini berifat non polar sehingga
dapat mengikat garam rhodamin B yang bersifat non polar. Air ditambahkan
sebagai fase polarnya dan menghasilkan 2 fase karena perbedaan kepolaran,
dimana fase atas berupa air dengan warna merah terang, dan fase bawah
merupakan fase organik yang mengandung rhodamin B. Fase organik berada di
fase bawah karena memiliki massa jenis yang lebih tinggi dibandingkan
dengan air. Fase yang diambil adalah fase bawah. Larutan yang didapat
diekstrak dengan HCl 0,1 N. HCl disini akan mengembalikan rhodamin B pada
fase polarnya sehingga terlepas dari fase diklorometana. HCl dapat
mengembalikan kepolaran rhodamin B karena adanya gugus Cl-, sehingga
rhodamin B kembali pada struktur aslinya yang bersifat polar. Rhodamin B
akan terikut pada fase asamnya. Fase asam berada pada fase atas karena
memiliki massa jenis yang lebih rendah dibandingkan dengan diklorometana
yakni 1,19 g/mL banding 1,32 g/mL. Seharusnya fase asam berwarna merah,
yang menunjukkan positif adanya rhodamin B. Namun, larutan yang diperoleh
tidak berwarna. Seharusnya rhodamin B merupakan larutan berwarna karena
menurut literatur yang ada panjang gelombang serapannya rhodamin B berada
pada daerah visibel bukan daerah ultraviolet. Hal ini juga terlihat dari
hasil scanning larutan standar yang menunjukkan panjang gelombang maksimum
pada 555 nm (daerah visible). Panjang gelombang maksimum yang diperoleh
pada scznning sudah sesuai dengan literatur yang menyatakan bahwa panjang
gelombang maksimum rhodamin B berada pada daerah 547 nm. Larutan yang tidak
berwarna sebenarnya dapat dijadikan indikator bahwa larutan tersebut tidak
mengandung rhodamin B. Namun, pengukuran absorbansi tetap dilakukan pada
ekstrak sampel karena pada uji kualitatif sampel positif mengandung
rhodamin B. Kurva standar rhodamin B dibuat pada panjang gelombang 555 nm.
Kurva standar yang dihasilkan adalah sebagai berikut:
Ekstrak sampel tidak berwarna yang diperoleh absorbansinya tetap diukur
pada panjang gelombang maksimum rhodamin B pada daerah visibel yaitu 555
nm. Nilai absorbansi yang diperoleh sebesar 0.021. Berdasarkan nilai
absorbansi yang diperoleh dapat diketahui bahwa konsentrasi sampel sebesar
0.039 ppm. Hal ini menunjukkan bahwa terdapat rhodamin B dalam sampel yang
kuantitasnya sangat kecil.
BAB 5. PENUTUP
5.1 Kesimpulan
Berdasarkan percobaan yang telah dilakukan, maka dapat disimpulkan
bahwa :
1. Saos tomat yang banyak beredar dipasaran positif mengandung zat pewarna
Rhodamin B yang seharusnya digunakan dalam industry tekstil
2. Kadar rhodamin B dalam saos tomat yang beredar dipasaran berkisar antara
0.039 mg/L
5.2 Saran
Saran yang diberikan pada percobaan kali ini yaitu agar lebih
mempehitungkan kembali perbandingan eluen yang digunakan serta lebih
memperhatikan keselamatan kerja ketika bekerja dengan zat kimia berbahaya.
DAFTAR PUSTAKA
Adnan, M. (1997). Teknik Kromatografi Untuk Analisis Bahan Makanan.
Yogyakarta : Penerbit Andi.
Christian, Gary D. 1994. Analytical Chemistry, edisi kelima. New York :
John Wiley and Sons Inc.
Deman, J.M. 1997. Kimia Makanan. Bandung : Penerbit ITB.
Djalil, A.D., Hartanti, D., Rahayu, W.S., Prihatin, R., Hidayah, N. 2005.
Identfikasi Zat Warna Kuning Metanil (Metanil Yellow) dengan Metode
Kromatografi Lapis Tipis (KLT) pada Berbagai Komposisi Larutan
Pengembang, Jurnal Farmasi. Purwokerto : Fakultas Farmasi UMP.
Donatus, I.A. 1990. Toksikologi Pangan, PAU Pangan dan Gizi. Yogyakarta:
UGM.
Gritter, R.J., J.M. Bobbit, and A.E. Schwarting. 1991. Pengantar
Kromatografi, Edisi 2, terjemahan Kasasih Padmawinata. Bandung : ITB.
Index, Merck. 2006. Chemistry Constant Companion, Now with a New Additon.
USA : Merck & CO.
Judarwanto, W. 2007. Perilaku Makan Anak Sekolah [Serial Online]
http://www.ludruk.com (diakses pada April 2015).
Marmion, Daniel. 1984. Colorts For Food Drug and Cosmetika. United States
of Amerik : Jhon Willy and Sons Inc.
Mulja, M. dan Suharman. 1995. Analisis Instrumental. Surabaya : Airlangga
University Press.
Nollet, 2004. Analisa Rhodamin B dan Metanil Yellow dalam Minuman Jajanan
Anak SD di Kecamatan Laweyan Kotamadya Surakarta Metode Kromatografi
Lapis Tipis, Skripsi. Surakarta : Universitas Muhamadiyah Surakarta.
Sastrohamidjojo, H. 1991. Spektrosfotokopi, edisi kedua. Yogyakarta:
Penerbit Liberty.
Siswoyo, Dwi. 2007. Ilmu Pendidikan. Yogyakarta: UNY Press
Stahl, E., 1985, Analisis Obat Secara kromatografi dan Mikroskopi,
diterjemahkan oleh Kosasih Padmawinata dan Iwang Soediro. Bandung :
ITB.
Sudjadi. 1986. Metode Pemisahan. Yogyakarta : Kanisius.
Underwood, A.L. 1999. Analisis Kimia Kuantitatif, Edisi 6. Jakarta :
Erlangga.
Winarno, F.G. dan Rahayu, T.S. 1994. Bahan Makanan Tambahan untuk Makanan
dan Kontaminan. Jakarta : Pustaka Sinar Harapan.
Winarno, F.G., 2002. Kimia Pangan dan Gizi. Jakarta : Gramedia Pustaka
Utama.
Lampiran Perhitungan
1. Perhitungan Pembuatan Larutan
a. Etanol 70% dalam air
b. NaOH 10%
c. NaOH 0.5%
d. 2% NH3 dalam 70% Etanol
e. 10% NH3 dalam 70% Etanol
f. 10% asam asetat
g. HCl 0.1 N
Massa HCl = 37 mL x 1.19 g/mL
M = m/(Mr x V)
M = 44.03 gram /(36.45g/mol x 0.1L)
M = 12.08 mol/L
h. Rhodamin 20 ppm dari 1000 ppm
2. Scanning Spektrofotometer Visible pada konsentrasi 0.2 ppm
"Panjang "Absorbans"Panjang "Absorbans"Panjang "Absorbans"
"gelombang"i "gelombang"i "gelombang"i "
"(nm) " "(nm) " "(nm) " "
"400 "0.009 "480 "0.010 "520 "0.020 "
"500 "0.013 "500 "0.013 "530 "0.021 "
"600 "0.005 "520 "0.020 "540 "0.031 "
"700 "0.005 "540 "0.033 "550 "0.044 "
"800 "0.001 "560 "0.039 "560 "0.040 "
" "580 "0.010 "570 "0.023 "
" "
"545 "0.038 "550 "0.043 "555 "0.044 "
"560 "0.039 "565 "0.031 " "
a. Pembuatan Kurva Standar
"Panjang gelombang "Konsentrasi "Absorbansi "
"(nm) "(ppm) " "
"555 "0.01 "0.018 "
" "0.05 "0.023 "
" "0.1 "0.028 "
" "0.2 "0.047 "
a. Pengukuran Sampel
"Ekstrak Sampel "Panjang Gelombang"Absorbansi"Konsentrasi"% dalam "
" "(nm) " " "Sampel "
"Fase HCl "555 "0.008 "- "- "
"Fase Diklorometana" "0.021 "0.039 ppm " "
3. Perhitungan Rf
Diketahui: - Jarak tempuh = 7 cm
- Jarak standar = 6,1 cm
- Jarak sampel = 1,2 cm dan 1,1 cm
- Rata2 jarak sampel = 1,15 cm
a. Rf standar
Rf = 6,1 cm / 7 cm = 0,87
b. Rf sampel
Rf = 1.15 cm / 7 cm = 0,164
-----------------------
Hasil
- dimasukkan dalam erlenmeyer 250 mL.
- ditambahkan 100 mL larutan ammonia 2% dalam etanol 70% dan didiamkan
semalam.
- disaring menggunakan kertas saring whatman no. 42 dalam erlenmeyer.
- dipindahkan filtrat dalam gelas kimia.
- diuapkan diatas Hot plate selama 4 jam pada T 65oC (sampel menjadi pekat
selama proses penguapan).
- dilarutakan dalam 30 mL akuades dan diaduk.
- dipisahkan larutan dengan corong pisah.
- ditambahkan 6 mL larutan NaOH 10% dan dikocok.
- diekstraksi dengan 30 mL dietileter lalu dikocok. Didiamkan sampai
membentuk 2 lapisan (lapisan eter jernih (diatas), lapisan air berwarna
merah (dibawah)).
- dibuang lapisan air dengan menggunakan corong pisah sampai mendapat
ekstrak eter.
- dicuci ekstrak eter dengan NaOH 0,5% sebanyak 5 mL dengan cara di kocok
dan didiamkan (larutan membentuk 2 lapisan yaitu eter jernih (diatas) dan
air berwarna coklat (bawah)).
- dibuang lapisan air hingga sisa ekstrak eter.
- diekstrak 3 kali dengan 10 mL HCl 0,1 N hingga lapisan eter tak berwarna
lagi.
- dibuang lapisan eter. Ditampung ekstrak HCl dalam labu takar 50 mL dan
ditambahkan HCl 0,1 N sampai tanda tera.
5 g sampel
10 g sampel
- dimasukkan dalam erlenmeyer 250 mL.direndam dalam 20 mL larutan ammonia
2% dalam etanol 70% dan didiamkan semalaman.
- disaring filtratnya menggunakan kertas saring whatman no. 42.
- dipindahkan filtrat dalam gelas kimia, dipanaskan diatas Hot Plate.
- dilarutakan residu dari penguapan dalam 10 mL air mengandung asam
(larutan asam dibuat dengan mencampurkan 10 mL air dan 5 mL asam asetat
10%).
- dimasukkan benang wol dengan panjang 15 cm. Dimasukkan dalam larutan asam
dan dididihkan hingga 10 menit (pewarna akan menempel pada benaang wol).
Diangkat benang.
- dicuci benang dengan air.
- dimasukkan benang dalam larutan basa yaitu 10 mL ammonia 10% yang
dilarutkan dalam etanol 70% dan didihkan (benang wol akan melepas warna,
warna masuk dalam larutan basa).
- ditotolkan larutan basa pada silica gel (sebagai suplikan sampel pada
analisis kromatogarfi lapis tipis.
Hasil
Larutan rhodamin B 1000 mg/L
- dibuat larutan baku dengan kadar 20; 40; 80; 120 μg/mL dari larutan baku.
- dibuat 2 seri larutan baku kerja yaitu larutan baku 0,4; 0,8; 1,6; 2,4
μg/mL dan kedua dengan 0,008; 0,016; 0,032; 0,048 μg/mL mrnggunakan
pelarut HCl 0,1 N.
Hasil
Sampel
- ditotolkan pada KLT dengan pipa kapiler pada jarak 1,5 cm dari bagian
bawah plat, jarak antara noda adalah 2 cm.
- dibiarkan beberapa saat hingga mongering.
- dimasukkan KLT dalam chamber yang lebih dahulu dijenuhkan dengan fase
gerak berupa n-butanol:etil asetat: ammonia (10:4:5).
- dibiarkan sampai terelusi sempurna.
- diangkat plat KLT dan dikeringkan.
- diamati secara visual dan dibawah sinar UV (secara visual noda merah
jambu dan dibawah UV 254 nm dan 366 nm berfluoresensi kuning/orange, hal
ini menunjukkan adanya rhodamin B).
Hasil
Sampel
- ditetapkan kadar rhodamin B dengan spektrofotometri visible dengan
panjang gelombang 400-800 nm.
- dihitung kadar rhodamin B dalam sampel dengan kurva kalibrasi menggunakan
persamaan regresi: y= ax ± b
Hasil