BAB I PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang Dewasa ini, dengan kemajuanteknologi dan fasilitas pendukung kesehatan diharapkan mampu meningkatkan angka harapan hidup. Namun di beberapa kasus, seperti kondisi lansia seringkali berhubungan dengan penyakit-penyakit degeneratif beserta komplikasinya, seperti penurunan kemampuan fisik dan kognitif, gejala depresi, maupun perubahan emosi. Semua itu berkaitan erat dengan keseimbangan antara kebutuhan dan intake nutrisi, sesuai dengan aktivitas fisik, kognitif, gaya hidup, serta status kesehatan secara keseluruhan. Ketidakseimbangan ini dapat diartikan sebagai kelebihan maupun kekurangan nutrisi. Inilah yang disebut malnutrisi(Schueren, et.al , 2013). Malnutrisi memiliki peran penting dalam menentukan sistem kesehatan masyarakat, termasuk morbiditas dan mortalitas. Prevalensi malnutrisi pada usia lanjut bervariasi, antara 5-65% dalam populasi, bergantung kriteria dan metodologi suatu riset (Chavarro-Carvajal, (Chavarro-Carvajal, et.al , 2015). Pencetus terjadinya malnutrisi pada lansia sangat multifaktorial daya cadangan faali menurun, adanya penurunan status fungsional, tampilan klinik yang menyimpang, serta malnutrisi (Heriawan, 2017).Prinsipnya, malnutrisi dipengaruhi oleh komplikasi usia dan intake diet. Salah satunya penurunan sensitivitas saraf
olfaktori yang mengatur rasa lapar dan kenyang, penurunan massa tubuh tanpa penurunan lemak, dan peningkatan metabolisme seiring bertambahnya usia berkontribusi dalam prones fisiologis anoreksia pada lansia. Jika terdapat penyakit komplikasi, akan memperberat kondisi anoreksia sehingga mudah jatuh ke dalam kondisi malnutrisi. Sehingga, pada lansia prevalensi gizi buruk dikonfirmasi oleh berbagai penelitian lebih tinggi, ditandai dengan hasil antropometri dan tanda biokimia dari hasil pemeriksaan laboratorium (Hickson, 2006). Penilaian
nutrisi
pada
lansia
memerlukan
pendekatan
multidimensi,
mencangkup anamnesis, pemeriksaan fisik, skrining, dan evaluasi secara holistik dan rinci.Namun di lapangan, yang sering terjadi adalah terbengkalainya masalah gizi sehari-hari. Mengingat malnutrisi dapat memberi dampak besar pada penyakit klinis, perlu dilakukan tindakan khusus pada bidang pengelolaan nutrisi, khususnya lansia (Chavarro-Carvajal, (Chavarro-Carvajal, et.al , 2015). Beberapa studi menyatakan, upaya memperbaiki makanan rumah sakit, perawatan nutrisi, dan lingkungan makan dapat meningkatkan asupan makanan, ditunjang dengan suplemen oral (Hickson, 2006). Sehingga pada studi kali ini, diharapkan dapat mengkaji kondisi lansia dengan malnutrisi serta penatalaksanaan secara menyeluruh dan meningkatkan angka harapan hidup serta menurunkan angka morbiditas dan mortalitas pada geriatri akibat kondisi malnutrisi. 1.2. Tujuan Untuk dapat mengetahui dan memahami definisi, penilaian status gizi dan tatalaksana gizi buruk, khususnya pada lansia.
olfaktori yang mengatur rasa lapar dan kenyang, penurunan massa tubuh tanpa penurunan lemak, dan peningkatan metabolisme seiring bertambahnya usia berkontribusi dalam prones fisiologis anoreksia pada lansia. Jika terdapat penyakit komplikasi, akan memperberat kondisi anoreksia sehingga mudah jatuh ke dalam kondisi malnutrisi. Sehingga, pada lansia prevalensi gizi buruk dikonfirmasi oleh berbagai penelitian lebih tinggi, ditandai dengan hasil antropometri dan tanda biokimia dari hasil pemeriksaan laboratorium (Hickson, 2006). Penilaian
nutrisi
pada
lansia
memerlukan
pendekatan
multidimensi,
mencangkup anamnesis, pemeriksaan fisik, skrining, dan evaluasi secara holistik dan rinci.Namun di lapangan, yang sering terjadi adalah terbengkalainya masalah gizi sehari-hari. Mengingat malnutrisi dapat memberi dampak besar pada penyakit klinis, perlu dilakukan tindakan khusus pada bidang pengelolaan nutrisi, khususnya lansia (Chavarro-Carvajal, (Chavarro-Carvajal, et.al , 2015). Beberapa studi menyatakan, upaya memperbaiki makanan rumah sakit, perawatan nutrisi, dan lingkungan makan dapat meningkatkan asupan makanan, ditunjang dengan suplemen oral (Hickson, 2006). Sehingga pada studi kali ini, diharapkan dapat mengkaji kondisi lansia dengan malnutrisi serta penatalaksanaan secara menyeluruh dan meningkatkan angka harapan hidup serta menurunkan angka morbiditas dan mortalitas pada geriatri akibat kondisi malnutrisi. 1.2. Tujuan Untuk dapat mengetahui dan memahami definisi, penilaian status gizi dan tatalaksana gizi buruk, khususnya pada lansia.
1.3. Manfaat Diharapkan dengan adanya responsi ini dapat bermanfaat bagi penulis dan pembaca khususnya dokter muda agar dapat menilai status gizi dan menatalaksana gizi buruk pada lansa sebagai dokter umum dikemudian hari.
BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 GERIATRI 2.1.1 DEFINISI GERIATRI Geriatri
adalah
cabang
ilmu
kedokteran
yang
menitikberatkan
pada
pencegahan, diagnosis, pengobatan dan pelayanan kesehatan pada usia lanjut (Setiati, 2014). Dalam Undang-undang No. 13 tahun 1998 tentang kesejahteraan lansia menyatakan bahwa lansia adalah seseorang yang mencapai usia 60 tahun ke atas. Dalam mendefinisikan batasan penduduk lanjut usia, ada tiga aspek yang perlu dipertimbangkan yaitu aspek biologi, aspek ekonomi dan aspek sosial (BKKBN 1998). Pasien geriatri atau pasin dengan usia lanjut memiliki karakteristikkarakteristik yang khas yang membedakannya. Karakteristik pasien geriatri yang pertama adalah multipatologi, yaitu adanya lebih dari satu penyakit kronis degeneratif. Karakteristik kedua adalah daya cadangan faal menurun karena menurunnya fungsi organ akibat proses menua. Karakteristik yang ketiga adalah gejala dan tanda penyakit yang tidak khas.Tampilan gejala yang tidak khas seringkali mengaburkan penyakit yang pasien.Karakteristik berikutnya adalah penurunan status fungsional yang merupakan kemampuan seseorang untuk melakukan aktivitas sehari-hari. Penurunan status fungsional menyebabkan pasien geriatri berada pada kondisi imobilisasi yang berakibat ketergantungan pada orang
lain. Karakteristik khusus pasien geriatri yang sering dijumpai di Indonesia ialah malnutrisi. Setiati et al melaporkan malnutrisi merupakan sindrom geriatri terbanyak pada pasien usia lanjut yang dirawat (42,6%) di 14 rumah sakit (Setiati, 2014). Secara ekonomi, geriatri lebih dipandang sebagai beban dari pada sebagai sumber daya. Banyak orang beranggapan bahwa kehidupan masa tua tidak lagi memberikan banyak manfaat, bahkan ada yang sampai beranggapan bahwa kehidupan masa tua, seringkali dipersepsikan secara negatif sebagai beban keluarga dan masyarakat. Dari aspek sosial, penduduk lanjut usia merupakan satu kelompok sosial sendiri. Di negara Barat, penduduk lanjut usia menduduki strata sosial di bawah kaum muda. Hal ini dilihat dari keterlibatan mereka terhadap sumber daya ekonomi, pengaruh terhadap pengambilan keputuan serta luasnya hubungan sosial yang semakin menurun. Akan tetapi di Indonesia penduduk lanjut usia menduduki kelas sosial yang tinggi yang harus dihormati oleh warga muda. 2.2 DEMOGRAFI USIA LANJUT Prevalensi usia lanjut lebih dari 60 tahun meningkat lebih cepat dibandingkan populasi kelompok umur lainnya karena peningkatan angka harapan hidup dan penurunan angka kelahiran. Data demografi dunia menunjukkan peningkatan populasi usia lanjut 60 tahun atau lebih meningkat tiga kali lipat dalam waktu 50 tahun; dari 600 juta pada tahun 2000 menjadi lebih dari 2 miliar pada tahun 2050. Hal itu menyebabkan populasi usia lanjut lebih atau sama dengan 80 tahun meningkat terutama di negara maju. Jumlah penduduk usia lanjut di Indonesia mencapai peringkat lima besar terbanyak di dunia, yakni 18,1 juta pada tahun 2010
dan akan meningkat dua kali lipat menjadi 36 juta pada tahun 2025. Angka harapan hidup penduduk Indonesia mencapai 67,8 tahun pada tahun 2000-2005 dan menjadi 73,6 tahun pada tahun 2020-2025. Proporsi usia lanjut meningkat 6% pada tahun 1950-1990 dan menjadi 8% saat ini. Proporsi tersebut diperkirakan naik menjadi 13% pada tahun 2025 dan menjadi 25% pada tahun 2050. Pada tahun 2050 seperempat penduduk Indonesia merupakan penduduk usia lanjut, dibandingkan seperduabelas penduduk Indonesia saat ini. Isu penting peningkatan populasi usia lanjut adalah perlunya rencana strategis perawatan kesehatan usia lanjut untuk meningkatkan kapasitas fungsional dan kualitas hidup yang mengacu pada konsep baru proses menua (aging) (Setiati, 2013). 2.3 KLASIFIKASI GERIATRI WHO dalam depkes RI mempunyai batasan usia lanjut sebagai berikut: middle / young elderly usia antara 45-59 tahun, elderly usia antara 60-74 tahun, old usia antara 75-90 tahun dan dikatakan very old berusia di atas 90 tahun. Pada saat ini, ilmuwan sosial yang mengkhususkan diri mempelajari penuaan merujuk kepada kelompok lansia : “lansia muda” (young old), “lansia tua” (old old). Dan “lansia tertua” (oldest old). Secara kronologis, young old secara umum dinisbahkan kepada usia antara 65 sampai 74 tahun, yang biasanya aktif, vital dan bugar. Old-old berusia antara 75 sampai 84 tahun, dan oldest old berusia 85 tahun ke atas, berkecenderungan lebih besar lemah dan tidak bugan serta memilki kesulitan dalam mengelola aktivitas keseharian (Papalia dkk, 2005).
2.4 PROSES PENUAAN Menua didefinisikan sebagai proses yang mengubah seorang dewasa sehat
menjadi
sebagian
besar
seorang
yang frail
(lemah, rentan)
cadangan sistem
fisiologis
dan
dengan
meningkatnya
berkurangnya kerentanan
terhadap berbagai penyakit dan kematian secara eksponensial. Menua juga didefinisikan sebagai penurunan seiring-waktu yang terjadi pada sebagian besar makhluk hidup, yang berupa kelemahan, meningkatnya kerentanan terhadap penyakit dan perubahan lingkungan, hilangnya mobilitas dan ketangkasan, serta perubahan fisiologis yang terkait-usia. Terdapat
beberapa
istilah
yang
digunakan
oleh gerontologis ketika
membicarakan proses menua:aging (bertambahnya umur), senescence (menjadi tua) dan homeostenosis: (penyempitan/berkurangnya cadangan homeostatis Istilah aging yang hanya menunjukkan efek waktu, dianggap tidak mewakili apa yang terjadi pada proses menua. Sebab berbagai proses yang terjadi seiring waktu, seperti perkembangan (development), istilah yang sering digunakan di bidang pediatri, dapat disebut sebagai aging. Aging merupakan proses yang terus berlangsung (continuum), yaitu proses generatif
yang
seiring
dilanjutkan dengan senescence
dimulai
dengan perkembangan (development)
waktu yang dibutuhkan yaitu
untuk kehidupan,
proses degeneratif
dan
yang inkompatibel
dengan kehidupan. Istilah senescence juga digunakan untuk menggambarkan turunnya
fungsi
efisien
suatu organisme
meningkatnya kemungkinan kematian.
sejalan
dengan penuaan
dan
Membedakan
antara aging
dan
senescence
dianggap perlu,
karena
banyak perubahan selama aging mungkin tidak merusak dan mungkin suatu perubahan yang diharapkan. Sebagai contoh, kebijakan (wisdom) yang meningkat seiring usia tidak dianggap sebagai senescence melainkan suatu aging,walaupun hal itu merupakan bagian dari proses menua. Sebaliknya, gangguan memori yang terjadi
selama
aging
merupakan
manifestasi
senescence. Sementara
konsep homeostenosis menunjukkan bahwa seiring dengan bertambahnya usia maka makin kecil kapasitas seorang tua untuk membawa dirinya ke keadaan homeostasis
setelah
terjadinya
stattt
'challenge'
(di sini yang
dimaksud
'challenge'adalah kondisi atau perubahan yang mengganggu homeostasis). Secara fisiologis, pada lansia akan terjadi transisi nutrisi yaitu terjadinya perubahan perilaku dan pola aktivitas fisik. Dimana transisi ini menuju diet tinggi serat rendah lemak menjadi tinggi lemak hewani, gula, dan produk olahan. Hal ini menyebabkan terjadinya kelemahan nutrisi sehingga terjadi kehilangan berat badan yang tidak disengaja dan sarkopenia. Sarkopenia merupakan penurunan massa dan kekuatan otot. Sedangkan, anoreksia adalah penurunan fisiologis nafsu makan dan asupan makan sehingga terjadi penurunan berat badan yang tidak diinginkan
2.4.1 TEORI PENUAAN Aging merupakan proses alamiah yang terjadi terus menerus dan dimulai sejak manusia dilahirkan. Terdapat banyak definisi proses menua, namun teori yang paling banyak dianut saat ini adalah teori radikal bebas dan teori telomer. (Zajko C, Ringel, Miller, 2007) Teori radikal bebas menyatakan proses menua terjadi akibat akumulasi radikal bebas yang merusak DNA, protein, lipid, glikasi non-enzimatik, dan turn over protein. Kerusakan di tingkat selular akhirnya menurunkan fungsi jaringan dan organ. Teori telomer menyatakan hilangnya telomer secara progresif menyebabkan proses menua. Telomer merupakan sekuens DNA yang terletak di ujung kromosom
yang berfungsi mencegah pemendekan kromosom selama replikasi DNA. Telomer akan memendek setiap kali sel membelah. Bila telomer terlalu pendek maka sel berhenti membelah dan menyebabkan replicative senescence (Warner HR, Sierra F, Thompson LV, 2010) Masalah umum pada proses menua adalah penurunan fungsi fisiologis dan kognitif yang bersifat progresif serta peningkatan kerentanan usia lanjut pada kondisi sakit. Laju dan dampak proses menua berbeda pada setiap individu karena dipengaruhi faktor genetik serta lingkungan. Proses menua mengakibatkan penurunan fungsi sistem organ seperti sistem sensorik, saraf pusat, pencernaan, kardiovaskular, dan sistem respirasi. Selain itu terjadi pula perubahan komposisi tubuh, yaitu penurunan massa otot, peningkatan massa dan sentralisasi lemak, serta peningkatan lemak intramuskular. Perlu diingat bahwa perubahan fisik yang berhubungan dengan proses menua normal bukanlah penyakit. Individu yang menunjukkan karakteristik menua dikatakan mengalami usual aging, sedangkan individu yang tidak atau memiliki sedikit karakteristik menua disebut successful aging (SA) (Zajko C, Ringel, Miller, 2007;Warner HR, Sierra F, Thompson LV, 2010). SA merupakan konsep multidimensi yang berkaitan dengan kondisi fisik, psikologis, dan fungsi sosial.Dimensi operasional SA yang paling sering dipakai adalah menurut Rowe dan Kahn yang meliputi tiga aspek, yaitu bebas dari penyakit dan hendaya, fungsi kognitif yang baik, dan tetap aktif di dalam kehidupan. SA berarti memerpanjang usia dan mengupayakan agar penyakit terkait usia terjadi di usia setua dan sedekat mungkin dengan kematian. Pemeliharaan fungsi fisik yang baik tercermin pada kemampuan untuk melakukan aktivitas harian, mulai dari hal
sederhana seperti makan, berpakaian, dan naik tangga sampai kegiatan yang lebih kompleks seperti belanja dan menggunakan alat transportasi.Model SA biologis dapat dicapai dengan pencegahan primer seperti berhenti merokok, latihan jasmani, penggunaan vaksin yang tepat, dan penurunan kolesterol. Aspek SA yang kedua adalah aspek psikologis yang menekankan pada pentingnya kepuasan subjektif usia lanjut terhadap kehidupannya. Perspektif subjektif tersebut mempunyai nilai yang sama penting dengan penilaian objektif mengenai kesehatan. Rasa puas akan dipengaruhi oleh tiga hal, yaitu kebebasan untuk bertindak, rasa kompeten, dan rasa keterikatan dengan sesama. Model SA psikologis akan tercapai jika terdapat mekanisme kompensasi yang baik terhadap keterbatasan akibat usia dan optimalisasi kemampuan yang tersisa, sehingga usia lanjut, bahkan dengan multipatologi, dapat mengalami SA. Aspek sosial menekankan pada kemampuan usia lanjut untuk berinteraksi positif dengan sesama dan aktif dalam kegiatan kemasyarakatan. Fungsi sosial yang baik ditunjukkan dengan mempunyai pekerjaan yang mendapat penghasilan, menghadiri kegiatan keagamaan, dan aktif pada kegiatan amal. Aspek sosial juga dapat menjadi faktor protektif terhadap kejadian mistreatment pada usia lanjut (Cocsco TD, Prina AM, Parales J, Stephan BCM, Brayne C. Lay, 2013). 2.5. Sindroma Geriatrik Sindroma geriatrik adalah kumpulan tanda atau gejala klinis dari salah satu atau lebih penyakit yang dialami pasien pada usia lanjut. Kondisi pasien geriatrik yang paling sering ditangani oleh ahli geriatri antara lain mudah jatuh, delirium, linglung, inkontinensia urin dan malnutrisi. Terjadinya sindroma geriatrik dapat
dipengaruhi oleh beberapa faktor yang mendasari seperti beberapa gangguan pada organ maupun sistem organ.Seringkali, keluhan utama pasien tidak secara langsung menunjukkan dengan jelas kondisi patologis yang mendasari terjadinya gangguan pada status kesehatan pasien saat ini. Sindroma geriatrik adalah kondisi kesehatan yang sangat multifaktorial yang jika terjadi dapat berakumulasi menjadi efek gangguan pada berbagai macam sistem, baik sistem pendengaran, sistem pencernaan, persendian dan otot serta otak dan syaraf maupun kondisi emosi – kejiwaan pasien.Pada sindroma geriatric ada beberapa hal yang perlu diperhatikan.Pertama, faktor resiko dan sistem organ yang sering terpengaruh.Kedua, strategi diagnostik untuk identifikasi dasar penyebab pada pasien.Terakhir adalah manajemen terapi dari manifestasi klinis yang dialami pasien.Sindroma
geriatrik
sangat
perlu
dilakukan
penatalaksanaan
identifikasi penyebab yang akurat danmanajemen terapi yang komprehensif. Macam Sindroma Geriatri Immobility
Instability
Incontinence ( urine and alvi)
Intelectual impairment
Infections
Impairment in hearing and vision
Isolation (depression)
Inanition (malnutrition)
segera,
Impecunity (poverty)
Iatrogenesis
Insomnia
Immune deficiency
Impotence
Irritable colon
Gangguan Makan pada geriatrik Orang dengan usia lanjut banyak mengalami perubahan pada kondisi fisiologis tubuh, begitu juga dengan faktor pikologi dan kognitifnya. Pada lansia juga didapatkan penuruan kemampuan saraf pengecap sehingga sulit mebedakan berbagai macam rasa dari makanan. Hal ini dapat membuat pasien lanjut usia mengalami gangguan pola makan. Orang lanjut usia juga cenderung memiliki gangguan pada gigi yang membuatnya menjadi kesulitan dalam mengunyah makanan. Makanan yang tidak terkunyah dengan baik dan langsung ditelan juga mempengaruhi kerja sistem pencernaan yang mana sudah tidak optimal. 2.5.1. Malnutrisi pada geriatrik Malnutrisi adalah keadaan dimana terjadi kekurangan kelebihan maupun ketidakseimbangan dari asupan energi atau gizi.Ada 3 macam malnutrisi yang dapat terjadi yaitu kekurangan nutrisi, kekurangan asupan mikronutrisi dan kelebihan nutrisi.
Ada 4 klasifikasi dari kekurangan nutrisi yaitu wasting (kekurangan berat badan dibanding tinggi badan), stunting ( kekurangan tinggi badan dibanding usia), underweight (kekurangan berat badan dibanding usia) dan defisiensi vitamin dan mineral. Malnutrisi energi protein dapat terjadi sebagai akibat dari asupan yang tidak
adekuat, atau berhubungan dengan mekanisme
fisiologis penyakit
yang
memengaruhi metabolisme tubuh, komposisi tubuh, dan selera makan (contoh: kakeksia).
Pada keadaan defisiensi kalori primer,
tubuh
beradaptasi dengan
menggunakan cadangan lemak sambil menghemat protein dan otot. Perubahan fisiologis yang terjadi sering reversibel dengan kembalinya asupan dan aktivitas seperti biasa. Kakeksia dicirikan
dengan
tingginya
respons
fase akut yang
berkaitan dengan peningkatan mediator-mediator inflamasi (seperti TNF-a dan interleukin-I) serta meningkatnya degradasi protein dan otot yang dapat pulih dengan membaiknya asupan. Meskipun kakeksia biasanya berhubungan dengan kondisi penyakit kronik spesifik (Contoh: kanker, infeksi, artritis inflamasi), keadaan ini dapat timbul pada usia lanjut tanpa penyakit yang jelas. Sangatlah perlu bagi tenaga medis untuk dapat mengidentifikasi apakah pasien lanjut usia yang ditangani termasuk lansia dengan gangguan malnutrisi atau tidak, oleh karena itu diperlukan adanya skrining yang perlu dilakukan pada pasien usia lanjut. Penilaian status nutrisi dengan antropometri standar, biokimia, hingga imunologis Monitor ketat berat badan yang mencerminkan ketidakseimbangan antara asupan kalori dan kebutuhan energi, merupakan cara yang paling sederhana dan
paling dapat dinyatakan
dipercaya dalam
untuk menilai
malnutrisi.
Perubahan berat
persentase perubahan dibandingkan
saat
badan
sebelum sakit.
Kehilangan > 5% dari berat badan biasanya berkaitan dengan meningkatnya morbiditas dan mortalitas. Bila kehilangan berat badan >lo% biasanya berkaitan dengan penurunan status fungsional dan hasil pengobatan. Kehilangan berat badan 15-20% atau lebih biasanya secara tidak langsung menunjukkan terdapatnya malnutrisi berat. Skrining dapat menggunakan alat bantu seperti MNA – Mini Nutritional Assesment . MNA sangat membantu untuk mekukan skrining cepat dengan pertanyaan-pertanyaan yang sangat sederhana. MNA dapat digunakan pada semua pasien usia lanjut baik yang sedang dirawat dirumah sakit, berada di rumah singgah orang tua maupun yang tinggal dirumah sendiri. Sensitifitas MNA mencapai 96% dan spesifisitasnya mencapai 98%. MNA memiliki skor maksimal 30. Interpretasi dari skor MNA adalah sebagai berikut : < 17
: undernutrition
17-23,5
: borderline/underrisk of malnutrition
>24
: normal / well nourished
Ada beberapa penyebab yang dapat menyebabkan penurunan berat badan pada pasien lanjut usia :
• Medications • Emotions (depression) • Alcoholism, anorexia • Late-life paranoia • Swallowing problems • Oral problems • No money (poverty) • Wandering (dementia) • Hyperthyroidism, Hyperparathyroidism • Entry problems (malabsorption) • Eating problems • Low-salt, low-cholesterol diet • Shopping problems Tidak memadainya asupan mikronutrien sering
terjadi pada usia
lanjut,
bahkan pada negara yang telah sangat maju, yang berkaitan dengan meningkatnya risiko penyakit kronik. Sebagai contoh, vitamin B-6, 8-12, dan asam folat dibutuhkan untuk mencegah
akumulasi
homosistein, suatu asam
amino yang
secara
konsisten berhubungan dengan risiko penyakit vaskular. Juga terdapat hubungan
antara rendahnya konsentrasi vitamin B dan merurunnya fungsi kognitif. Data dari beberapa studi memperlihatkan bahwa kadar vitamin B yang rendah sering terjadi pada usia lanjut. Sangatlah perlu bagi tenaga medis untuk dapat mengidentifikasi apakah pasien lanjut usia yang ditangani termasuk lansia dengan gangguan malnutrisi atau tidak, oleh karena itu diperlukan adanya skrining yang perlu dilakukan pada pasien usia lanjut. Skrining dapat menggunakan alat bantu seperti MNA – Mini Nutritional Assesment . MNA sangat membantu untuk mekukan skrining cepat dengan pertanyaan-pertanyaan yang sangat sederhana. MNA dapat digunakan pada semua pasien usia lanjut baik yang sedang dirawat dirumah sakit, berada di rumah singgah orang tua maupun yang tinggal dirumah sendiri. Sensitifitas MNA mencapai 96% dan spesifisitasnya mencapai 98%. MNA memiliki skor maksimal 30. Interpretasi dari skor MNA adalah sebagai berikut : < 17
: undernutrition
17-23,5
: borderline/underrisk of malnutrition
>24
: normal / well nourished
2.6. Tanda dan gejala gangguan nutrisi Tanda-Tanda Klinik kekurangan Nutrisi No
Bagian Tubuh
Tanda Klinik
Kemungkinan Kekurangan
1.
Tanda Umum
a. Penurunan
berat
a. Kalori
badan, lesu b. Dehidrasi,haus 2.
Rambut
Kekuningan,
b.Air Protein
Kekurangan pigmen,kusut 3.
Kulit
a. Dermatitis
a. niasin,riboflavin,biotin
b. Dermatosis
pada b. lemak
bayi 4.
5.
Mata
Mulut
a. Photopobia
a. Riboflavin
b. Rabun senja
b. Vitamin A
a. Stomatitis
a. Riboflavin
b. Glossitis
b. Niasin,asam
folic,vit
B12 6.
Gigi
7.
Neuromuskular
Gigi karies
Flour
a. Kejang otot
a. Vitamin D
b. Lemah otot
b. Potassium
8.
Tulang
Riketsia
9.
Gastrointestinal
a. Anoreksia b. Mual
Vitamin D a. Thiamin dan/atau b. Garam dapur (Nacl)
muntah 10. Endokrin
Gondok
Iodium
11. Kardiovaskular
a. Perdarahan
a. Vitamin K
b. Penyakit Jantung
b. Thiamin
c. Anemia
c. Pyridoxine
dan zat
besi 12. Sistem saraf
Kelainan mental
dan Vitamin B12
kelainan saraf perifer Sumber: tanda-tanda klinik kekurangan nutrisi, dalam Fundamental of nursing (Kozier,B.,& erb,G.2004). 2.7 Diagnosis Gangguan Nutrisi Dari sudut pandang pasien geriatri, setidaknya pengkajian status nutrisi harus dilakukan secara anamnesis, antropometrik, dan biokimiawi. Ketiga cara tersebut sebaiknya dikerjakan pada setiap pasien agar gambaran status nutrisi menjadi lengkap sehingga penatalaksanaannya menyeluruh. Anamnesis asupan makronutrien dan mikronutrien secara kasar sesuai frekuensi dan jumlah yang seimbang harus dapat dilakukan pada wawancara medik. Proporsi asupan karbohidrat (+ 25%) dan lemak (+ 15%) merupakan presentase yang dianjurkan. Adanya mikronutrien dari sayur dan buah serta konsumsi serat yang memadai juga dapat dilihat dari riwayat makanan. Jenis karbohidrat (kompleks vs sederhana), jenis asam amino penyusun protein (esensial vs non-esensial), jenis asam lemak (esensial vs non-esensial, lemak jenuh atau tak jenuh ganda/ rantai tunggal) juga merupakan hal-hal yang perlu diperhatikan. Perubahan yang terjadi
dalam kurun waktu satu hingga dua minggu terakhir perlu ditilik lebih jauh; baik frekuensi konsumsi, maupun jumlah yang mampu dikonsumsi pasien. Hal ini dapat merupakan indikator awal gangguan nutrisi. Selain itu yang perlu diperhatikan pula, daya ingat pasien. Ada baiknya melibatkan keluarga atau perilaku rawat yang ikut mengantar pasien agar data dapat diverifikasi tanpa membuat perasaan pasien menjadi malu (Heriawan, 2017). PENGKAJIAN GIZI (Assessment) Assesmentata disebut dengan pengkajian terhadap status gizi merupakan landasan data menyusun asuhan gizi yang optimal kepada klien bertujuan untuk mendapatkan informasi yang adekuat dalam upaya mengidentifikasi masalah gizi yang terkait dengan masalah asupan makanan atau faktor lain yang dapat me imbulkan masalah gizi Pengkajian gizi merupakan suatu proses pengumpulan, verifikasi dan interpretasi data yang sistematis dalam upaya untuk mengidentifikasi masalah gizi dan penyebabnya, bukan hanya pengumpulan data awal tetapi juga merupakan pengkajian ulang dan analisis kebutuhan gizi pasien. Informasi yang diperoleh melalui pengkajian gizi selanjutnya dibandingkan dengan standar baku/nilai normal, sehingga dapat dievaluasi dan diidentifikasi seberapa besar masalahnya. Proses pengkajian meliputi : a. Antropometri
Secara antropometrik, dapat dilakukan pengukuran indeks massa tubuh (IMT) yakni dengan mengukur berat badan (kg) dibagi tinggi badan (meter) kuadrat. Nilai normal untuk perempuan 17-23 kg/m 2 sedangkan untuk laki-laki 18-25 kg/m 2. Hal yang harus diperhatikan adalah saat mengukur tinggi badan. Pada kebanyakan usia lanjut, tinggi badan saat pengukuran cenderung menyusut dibandingkan saat berusia dewasa muda. Selain itu, jika terdapat kifosis atau skoliosis akibat kelainan tulang belakang (spondiloarthrosis, spondilolistesis, fraktur kompresi vertebrae), maka tinggi badan sesungguhnya menjadi silit diperoleh (Heriawan, 2017). Data antropometri merupakan hasil pengukuran fisik pada individu, yang meliputi pengukuran berat badan (B), tinggi badan (TB), tinggi lutut (TL), panjang depa (PD), tinggi duduk (TD), lingkaran lengan atas (LiLA), tebaI lemak, lingkar pinggang dan lingkar panggul. Cara Pengukuran Antropometri pada lanjut usia 1. Pengukuran Tinggi Badan a. Pengukuran dilakukan dengan menggunakan mikrotoa 2 meter b. Alat sudah ditera c. Letakkan mikrotoa di lantai yang rata dan menempel pada dinding yang tegak
lurus,
tarik
pita
meteran
keatas
sampai
menunjukkan
angka
paku/tempelkan ujung pita pada dinding (2m) d. Tarik kepala mikrotoa ke bawah dan difiksasi sekitar 50 cm dari atas
not,
e. Meteran microtoise diturunkan hingga mengenai kepala anak f. HasiI pengukuran dibaca pada skala (garis merah) dengan ketelitian 0,1 cm g. Upayakan mata pengukur sejajar dengan skala Cara pengukuran : a. Posisikan lansia berdiri tegak pada permukaan tanah/ lantai yang rata tanpa memakai alas kaki(sandal, sepatu) b. Posisikan ujung tumit kedua telapak kaki dirapatkan dan menempel di dinding dalam posisi agak terbuka di bagian jari-jari kaki c. Pandangan mata lurus ke depan d. Kedua lengan menggantung santai menempel di dinding tembok e. Pada waktu mengukur TB, punggung, tumit, pantat, dan belakang kepala menempel pada tembok, posisi kepala tegak dan pandangan mata lures ke depan, lengan menggantung di sisi 2. Pengukuran Berat Badan a. Pengukuran dilakukan dengan menggunakan timbangan berat badan tanpa pegas b. Alat sudah ditera c. Letakkan di lantai yang rata posisikan angka sampai menunjukkan angka nol
d. Hasil pengukuran dibaca pada skala dengan ketelitian 0,1 cm e. Upayakan mata pengukur sejajar dengan skala Cara Pengukuran : a. Lansia berdiri tegak dengan memakai pakaian seminimal mungkin, tidak membawa beban atau benda apapun, dan tanpa alas kaki (sandal, sepatu) b. Mata menutup lurus ke depan, dan tubuh tidak membungkuk c. Pembacaan dilakukan pada alat secara langsung 3. Pengukuran Panjang Depa Kondisi/ Syarat Pengukuran a. Lansia yang diukur harus memiliki kedua tangan yang dapat direntangkan sepanjang mungkin dalam posisi lurus mendatar/ horizontal dan dan tidak dikepal b. Jika salah satu kedua tangan tidak dapat diluruskan karena sakit atau sebab lainnya, maka pengukuran ini tidak dapat dilakukan c. Panjang depa tidak dianjurkan diukur dalam posisi berbaring atau telentang karena dapat mengurangi tingkat ketelitian hasil pengukuran sehingga hasilnya kurang akurat (WHO 1995). Cara Pengukuran : a. Lansia berdiri dengan kaki dan bahu menempel membelakangi tembok sepanjang pita pengukuran yang ditempel di tembok.
b. Bagian atas kedua lengan hingga ujung telapak tangan menempel erat di dinding sepanjang mungkin c. Pembacaan dilakukan dengan ketelitian 0,1 cm mulal dari bagian ujung jari tengah tangan kanan hingga ujung jari tengah tanan kiri 4. Pengukuran Tinggi Lutut a. Kondisi Syarat Pengukuran Tinggi lutut sangat erat hubungannya dengan tinggi badan sehingga sering digunakan untuk memperkirakan tinggi badan seseorang yang memiliki gangguan lekukan tulang belakang tidak dapat berdiri karena lumpuh atau sebab lainnya b. Alat Pengukuran : Penggaris kayu /stainless steel dengan mata pisau menempel pada sudut 900 pada kaki kiri. Cara pengukuran : a. Lansia diukur dalam posisi duduk atau berbaring / tiduran di atas lantai atau kasur dengan permukaan rata / flat tanpa menggunakan bantal atau alas kepala (topi) apapun b. Segitiga kayu diletakkan pada kaki kiri antara tulang kering dengan tulang paha membentuk sudut 90
c. Penggaris kayu/ stainless steel ditempatkan di antara tumit sampai bagian tertinggi dari tulang lutut. Pembacaan dilakukan pada alat ukur dengan ketelitian 0,1 cm. 5. Pengukuran Tinggi Duduk Kondisi syarat pengukuran : a. Bila lansia tidak dapat berdiri tegak dan atau merentangkan kedua tangannya sepanjang mungkin dalam posisi lurus lateral dan tidak dikepal. b. Jika salah satu atau kedua pergelangan tangan tidak dapat diluruskan karena sakit atau sebab lainnya Alat Pengukuran : a. AIat ukur antropometer terdiri dari bangku duduk dari kayu de gan panjang, lebar, dan tinggi masing-masing 40 cm bagi Iansia laki-laki dan 35 cm bagi lansia perempuan. b. Mikrotoa sepanjang 2 m yang ditempelkan di tembok/ dinding Cara Pengukuran a. Mikrotoa menempel erat di dinding tembok harus di nol-kan dulu sampai lantai b. Lansia duduk dengan posisi tubuh tegak , kepala dan tulang belakang/ punggung menempel rapat ke dinding
c. Tangan diletakkan dengan santai di atas paha d. Lansia tidak menggunakan alas kepala (topi) e. Kedua kaki tanpa atau dengan alas kaki dirapatkan ke dinding bangku dan mata menatap lurus ke depan f. Pembacaan dilakukan pada mikrotoa yang ditempelkan di dinding tepat di atas kepala, setelah dikurangi tinggi bangku Dengan mengkaitkan dua variabel antropometri tersebut di atas dapat diperoleh Indeks Massa Tubuh ( IMT) dengan perhitungan sebagai berikut : a. IMT (Indeks Massa Tubuh) Cara menghitungnya sebagai berikut: IMT = berat badan (kg) tinggi badan (m) x tinggi badan (m) Klasifikasi status gizi berdasarkan IMT yang digunakan di Indonesia. IMT
Status Gizi
< 17,0
Sangat Kurus
17,0-18,4
Kurus
18,5-25,0
Normal
25,1-27,0
Gemuk
> 27,0
Obese
Sumber : Kadarzi Depkes, 2004.
b. IMT (Indeks Massa Tubuh ) untuk lanjut usia dengan kondisi khusus (tidak dapat berdiri atau bongkok ) dapat merujuk pada tabel BB/TL, BB/PD, BB/TD (terlampir), c. Lingkar perut Digunakan untuk menentukan obesitas sentral. Cara pengukurannya adalah dengan berpuasa pada malam hari sebelum pemeriksaan dan pada hari pemeriksaan mengenakan pakaian yang ringan.Pengukuran dilakukan dalam posisi berdiri tegak dengan kedua tangan di samping dan kaki rapat. Tepi tulang iga yang terendah dan Krista iliaka pada garis aksila tengah (mid- axillary line) diberi tanda dengan pena. Pita pengukur non elastic diletakkan melintang di pertengahan antara kedua tanda tersebut melingkari perut secara horizontal.Kemudian dilakukan pembacaan dalam sentimeter.Selam dilakukan pengukuran, pasien diminta untuk bernapas biasa (Gibso, 2005).Klasifikasi lingkar perut adalah dikatakan obesitas sentral jika lingkar perut pada laki-laki > 90 cm dan perempuan > 80 cm (Kemenkes, 2012). b. Biokimia Data biokimia meliputi hasil pemeriksaan laboratorium dan penunjang lain yang memberikan informasi mengenai status gizi guna menegakkan diagnosis gizi. Berikut ini adalah beberapa parameter biokimia yang sering digunakan:
Albumin rendah/hipoalbuminemia mengindikasikan adanya defisiensi protein, stress akut, katabolisme, overload cairan, gagal hati, pembedahan. Albumin tinggi/hiperalbuminemia kemungkinan dehidrasi dan gagal ginjal. Selain dalam darah, kadar albumin juga dapat diperiksa dalam urin. Nilai albumin juga dapat dipakai sebagai baku status gizi seseorang walaupun waktu paruhnya di plasma cukup lama yakni 21 hari. Transferin dan prealbumin dengan waktu paruh yang lebih singkat (9 hari dan 14 hari) lebih akurat dalam menentukan kondisi status nutrisi namun harga pemeriksaannya masih cukup mahal. Asam folat serum rendah mengindikasikan adanya defisiensi asam folat, vitamin B12, anemia makrositik, penggunaan obat-obatan tertentu. Glukosa darah tinggi/hiperglikemia mengindikasikan adanya perubahan metabolisme karbohidrat, kelebihan intake energi, kanker, diabetes mellitus, infus dekstrosa yang berlebihan, infeksi, respon stres, penggunaan obat-obatan. Glukosa darah rendah/ hipoglikemia, kemungkinan penghentian makanan parenteral total yang mendadak, pemberian insulin yang berlebihan. Selain itu glukosa dapat juga diperiksa dengan urin reduksi (Kemenkes, 2012). Walaupun kadar Hb normal untuk usia lanjut di Indonesia belum ada, namun nilai normal yang ditetapkan WHO yakni 11, 0 g/dl – 13,0 g/dl untuk perempuan dan 12,0 g/dl – 14,0 g/dl untuk laki-laki dapat dipergunakan sebagai patokan. Hemoglobin rendah mengindikasikan kemungkinan adanya defisiensi protein, Fe, anemia, perdarahan (Heriawan, 2017).
Natrium serum tinggi/hipernatremia mengindikasikan adanya defisit volume cairan, pemberian natrium yang berlebihan, kehilangan air bebas yang terjadi sekunder akibat interaksi obat. Natrium serum rendah/hiponatremia, kemungkinan kelebihan cairan, kehilangan natrium lewat saluran cerna, sonde dengan formula susu rendah natrium untuk waktu yang lama (Kemenkes, 2012). 2.8 Bahaya/ Komplikasi Gangguan Nutrisi Komplikasi dari ganguan nutrisi yang dapat terjadi pada geriatri, di antaranya: - Diabetes mellitus. - Hipertensi. - Penyakit jantung. - Gastritis. - Ulkus peptikum (Watson, Roger, 2003). 2.9 Penatalaksanaan Gangguan Nutrisi Setelah status nutrisi seseorang ditentukan barulah dapat dilakukan perencanaan makanan sesuai kondisi patologisnya. Ada beberapa hal yang penting diingat: laju perburukan status nutrisi, kondisi kesadaran, kemampuan atau faal menelan, daftar pustaka maupun pantangan terhadap jenis makanan tertentu, status fungsional, dan tentu saja penyakit yang mendasari (Heriawan, 2017). Langkah awal adalah mengidentifikasi penyebab kehilangan berat badan yang
dapat
dikoreksi
seperti penggunaan obat
(digoksin,
fluoksetin),
tirotoksikosis, dan depresi. Bila penyebabnya adalah kurangnya asupan kalori, dapat diatasi dengan pemberian diet yang lebih enak bagi pasien, seringkali berupa diet tinggi lemak dan protein. Pada pasien-pasien ini risiko hiperkolesterol rendah. Makanan porsi kecil dan sering harus dianjurkan.
Studi
terbaru
menunjukkan bahwa peningkatan asupan kalori dapat dicapai bila terapi nutrisi dibarengi dengan program olah raga/ aktivitas yang agresif dan proaktif. Pada pasien geriatri dengan penurunan IMT yang nyata perlu dilakukan pemeriksaan yang lengkap untuk menentukan penyebabnya. Penurunan asupan makanan dalam waktu relatif singkat mengarahkan pada penyebab keganasan atau infeksi dan penatalaksanaannya tergantung penyebab yang ditemukan (Heriawan, 2017). Kadar albumin yang menurun dalam waktu singkat mengarahkan pemikiran pada sepsis, infeksi berat lainnya, atau imobilisasi. Pada kondisi yang kronis, tentu harus dipertimbangkan kemungkinan sirosis hati atau penyakit hati kronis lainnya. Penatalaksanaan yang sesuai harus diberikan sejalan dengan penyebabnya. Pemberian infus albumin tidak selalu bermanfaat menaikkan kadar albumin plasma (Heriawan, 2017). Pada
penurunan
kadar
hemoglobin
yang
cepat,
harus
dipikirkan
kemungkinan adanya perdarahan sehingga penanganan dengan transfusi perlu dipikirkan. Pada pasien dengan kesadaran yang berubah atau menurun, perlu diingat kemungkinan terjadinya aspirasi pada saat pemberian makanan terutama yang bentuknya cair. Pemasangan nasogastric tube akan sangat membantu mengatasi hal tersebut. Posisi bahu dan kepala yang lebih tinggi akan mencegah
aspirasi. Sejalan dengan perbaikan kesadaran, jenis makanan dapat disesuaikan menjadi bubur saring, bubur biasa, nasi tim dan akhirnya nasi biasa. Hal ini tentu dengan memperhatikan faal menelan (Heriawan, 2017). Target
utama
rehabilitasi
pada
pasien
geriatri
adalah
memperbaiki
kemandirian fungsional dan meningkatkan kekuatan otot sehingga strategi yang bertujuan
untuk memperbaiki massa otot sehingga aktivitas dapat berjalan lebih
baik. Terdapat
beberapa
bukti manfaat
suplementasi vitamin
pada
fungsi
kognitif dan penyembuhan ulkus. ditemukan bahwa penggunaan vitamin E dari makanan mungkin berkaitan dengan berkurangnya risiko Penyakit Alzheimer. Juga terdapat bukti bahwa suplemen vitamin C dan zink pada usia lanjut dengan ulkus dekubitus akan mempercepat penyembuhan merupakan zat
luka. Kalsium dan vitamin
gizi yang sangat perlu mendapat perhatian pada usia
D juga lanjut.
Dengan bertambahnya usia, penurunan fungsi ginjal menyebabkan malabsorpsi kalsium dan meningkatnya kehilangan massa tulang. Kebutuhan akan vitamin D juga meningkat pada usia lanjut. Meskipun tinggal di negara tropis, seringkali para usia lanjut kurang terpajan sinar matahari daripada orang dewasa muda. Selain itu, pada proses menua, kemampuan kulit membentuk previtamin D-3 dari sinar ultraviolet
berkurang. Rendahnya
mayoritas penduduk negara
kadar kalsium dan vitamin D dalam diet
berkembang,
bersama
dengan
perubahan pola
makan dan aktivitas akan membuat steoporosis sebagai masalah besar yang kian meningkat pada usia lanjut. Dengan transisi nutrisi menuju diet tinggi lemak dan rendah serat, perlu dijaga dan ditingkatkan asupan buah, sayuran, dan biji-bijian
utuh yang akan sangat membantu mengontrol peningkatan insidensi penyakit kronik. Menariknya, kebutuhan terhadap
zat besi dan vitamin A pada usia lanjut, lebih
rendah daripada dewasa muda. Pada usia lanjut terdapat penurunan klirens vitamin A lewat hepar dan jaringan perifer lainnya. Cadangan zat besi pada usia lanjut terakumulasi dan tingginya
kadar
feritin serum berkaitan dengan makin
besamya risiko penyakit jantung koroner (Kemenkes, 2012). Mengkoreksi status nutrisi tak lepas dari besaran jumlah energi yang harus diberikan. Pada 24 jam pertama jika disertai dehidrasi maka pemberian cairan dan elektrolit menjadi prioritas. Selanjutnya, mulai ditentukan jumlah energi yang diberikan. Dapat digunakan rumus 25 kkal/kg/hari untuk pasien perempuan atau 30 kkal/kg/hari untuk pasien laki-laki. Penambahan 13 kkal untuk setiap kenaikan suhu 1◦C tetap berlaku. Jika aktivitas pasien ringan maka penambahan 5% dari basal juga berlaku; sedangkan untuk aktivitas sedang harus ditambah 10% dari kebutuhan dasar (Heriawan, 2017). Jika berat badan pasien lebih rendah dari berat badan normal perlu penambahan
jumlah
energi
maksimal
sebesar
10%
mengingat
penurunan
kemampuan pasien untuk mengkonsumsinya (faktor nafsu makan, penurunan kecepatan pengosongan lambung, kondisi gigi geligi, perlambatan gerakan kolon). Presentase karbohidrat sebaiknya tetap mengacu pada laju keseimbangan 60% dari energi total; protein 20-25% dan sisanya lemak. Jumlah protein antara 0,8-2,0 g/kg/hari sesuai kebutuhan (Heriawan, 2017). Atasi problem akut (jika ada) seperti mengatasi infeksi, kontrol tekanan darah, dan menjaga kondisi keseimbangan metabolik, elektrolit, dan cairan. Setelah
masalah akut teratasi, pasien diminta mengkonsumsi sebanyak mungkin makanan. Tujuannya adalah memberikan asupan kalori kira – kira 35 kkal/kgBB ideal. Lakukan upaya intervensi nutrisi yang agresif. Sebagai patokan umum, dalam 48 jam pertama perawatan sudah diberikan asupan gizi adekuat. Pendekatan yang diambil tergantung kondisi klinis pasien, apakah memerlukan support nutrisi jangka pendek atau jangka panjang. Bagi yang membutuhkan support jangka pendek (<10hari) diberikan hiperalimentasi melalui vena perifer berupa larutan asam amino, dekstrosa 10%, dan intralipid. Pemberian diet per NGT harus dihindari pada pasien usia lanjut dengan delirium karena resiko aspirasi dan tarikan selang oleh pasien. Bila pasien tidak delirium dapat diberikan diet per flowcare. Selang ini tidak mengiritasi dan tidak terlalu mengganggu mobilitas atau kemampuan menelan makanan. Untuk pasien yang membutuhkan terapi nutrisi selama 6 minggu atau lebih, dianjurkan pemberian melalui gastrostomi atau yeyunostomi. Diet cair harus mengandung tidak lebih dari 1 kkal/ml dengan kecepatan 25 ml/jam agar tidak terlalu kental dan dapat masuk ke selang dengan mudah. Target utama adalah kemandirian fungsional dan meningkatkan kekuatan otot sehingga strategi yang bertujuan memperbaiki massa otot sangatlah penting. Latihan fisik yang sesuai dapat dilakukan untuk tujuan ini. Sangatlah penting memahami perlunya pendekatan terpadu dalam tatalaksana malnutrisi pada usia lanjut. Intervensi nutrisi agresif hanya merupakan bagian dari keseluruhan strategi (Sari, Nina, 2006).
BAB 3 KESIMPULAN Lansia mengalami persoalan khusus tentang nutrisi. Mereka beresiko tinggi menderita malnutrisi dan lebih rentan terkena dampak malnutrisi. Masalah malnutrisi tidak sekedar gizi kurang dan gizi buruk ; berbagai aspek harus ditilik, mulai dari anamnesis
asupan,
nilai
antropometrik,
serta
parameter
biokimiawi.
Dalam
penatalaksanaannya, ketiga aspek tersebut harus ditangani dan dinilai secara berkala. Peran dukungan keluarga dan pelaku rawat amat penting dan sebaiknya dilibatkan
secara
aktif
sejak
perencanaan
hingga
pelaksaannya.
Makanan merupakan bagian yang paling penting dalam kehidupan sebagian lansia dan saat-saat bersantap menjadi bagian penting yang dialami manula setiap harinya. Makanan juga harus menjadi sumber kesehatan serta kegembiraan bagi orangorang yang berusia lanjut ini
Daftar Pustaka Heriawan, 2017. Kedokteran Usia Lanjut Dialektika Senja . Jakarta: Pusat Penerbitan Ilmu Penyakit Dalam. Januari 2017, hal. 31-35. Kemenkes. 2012. Pedoman Pelayanan Gizi Lanjut Usia , Katalog Dalam Terbitan, Kemenkes RI, Juni 2011, Jakarta, hal. 14-19. Sari, Nina. 2006. Gangguan Nutrisi pada Usia Lanjut. Dalam : Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Jilid III, Edisi IV. Jakarta : PAPDI. Setiati S. Pedoman Pengelolaan Imobilisasi pada Pasien Geriatri .Pedoman pengelolaan kesehatan pada pasien geriatri, 2014. Setiati, S. 2014. Geriatri Medicine, Sarkopenia, Frailty, dan Kualitas Hidup Usia Lanjut . Jakarta: Pusat Penerbitan Ilmu Penyakit Dalam. Setiati, S. 2013. Geriatri Medicine, Sarkopenia, Frailty, dan Kualitas Hidup Usia Lanjut . eJKI: vol.1.No.3, Desember 2013. Chodzko-Zajko, Ringel, Miller R. Biology of aging and longevity. In: Halter BJ, Ouslander JG Tiinneti ME, Studenski S, Higj KP, Asthana K, editors. Hazzard’s geriatric medicines and gerontology. 6 th ed. New York: McGrawHill Health Professions Divisons; 2009. Warner HR, Sierra F, Thompson LV. Biology of aging. In: Fillit HM, Rockwood K, Woodhouse K, editors. Brocklehurst’s textbook of geriatric medicine and gerontology. 7th ed. New York: Saunders; 2010. Cocsco TD, Prina AM, Parales J, Stephan BCM, Brayne C. Lay perspectives of successful ageing: a systematic review and meta-ethnography. BMJ Open 2013;3:200-70. Hickson, M. Malnutrition and Ageing. Postgrad Med J, 2006, 82:2-8