Clinical Report Session
SINDROM STEVEN JOHNSON
Oleh: Suciliani Deyosky
Preseptor : dr. Ennesta Asri Sp. KK
BAGIAN KULIT DAN KELAMIN FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS ANDALAS
RSUP DR. M. DJAMIL PADANG PADANG 2018
BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang
Nekrolisis epidermis (NE) adalah sindrom
reaksi mukokutan akut ditandai dengan
nekrosis dan pengelupasan epidermis yang yang luas dan dapat menyebabkan kematian. Lesi awal berupa makula eritematosa kemudian berkembang progresif menjadi lesi lepuh kendur, dan selanjutnya terjadi pengelupasan epidermis. Berdasarkan luas permukaan tubuh yang terlibat, NE diklasifikasikan menjadi tiga: sindrom Stevens-Johnson (SSJ, jika luas lesi <10%), overlap SSJ/nekrolisis epidermal toksik
(SSJ-NET, jika luas lesi 10-30%) 10-30%) dan NET (jika luas lesi lesi
>30%). 1,2 Sindrom Stevens-Johnson didefinisikan didefinisikan sebagai reaksi kumpulan gejala sistemik dengan karakteristik yang mengenai kulit, mata dan selaput lendir orifisium. orifisium.1Sindrom Stevens-Johnson merupakan bentuk berat dari eritema multiforme, sehingga SSJ dikenal juga dengan sebutan eritema multiforme mayor.1,2 Penyakit ini disebabkan oleh reaksi hipersensitif (alergi) terhadap obat; infeksi HIV, penyakit jaringan ikat dan kanker merupakan faktor risiko penyakit ini.1 Beberapa kasus berhubungan dengan infeksi Mycoplasma pneumonia,kasus lainnya idiopatik atau tidak diketahui penyebabnya.3
RSUP DR. M. DJAMIL PADANG PADANG 2018
BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang
Nekrolisis epidermis (NE) adalah sindrom
reaksi mukokutan akut ditandai dengan
nekrosis dan pengelupasan epidermis yang yang luas dan dapat menyebabkan kematian. Lesi awal berupa makula eritematosa kemudian berkembang progresif menjadi lesi lepuh kendur, dan selanjutnya terjadi pengelupasan epidermis. Berdasarkan luas permukaan tubuh yang terlibat, NE diklasifikasikan menjadi tiga: sindrom Stevens-Johnson (SSJ, jika luas lesi <10%), overlap SSJ/nekrolisis epidermal toksik
(SSJ-NET, jika luas lesi 10-30%) 10-30%) dan NET (jika luas lesi lesi
>30%). 1,2 Sindrom Stevens-Johnson didefinisikan didefinisikan sebagai reaksi kumpulan gejala sistemik dengan karakteristik yang mengenai kulit, mata dan selaput lendir orifisium. orifisium.1Sindrom Stevens-Johnson merupakan bentuk berat dari eritema multiforme, sehingga SSJ dikenal juga dengan sebutan eritema multiforme mayor.1,2 Penyakit ini disebabkan oleh reaksi hipersensitif (alergi) terhadap obat; infeksi HIV, penyakit jaringan ikat dan kanker merupakan faktor risiko penyakit ini.1 Beberapa kasus berhubungan dengan infeksi Mycoplasma pneumonia,kasus lainnya idiopatik atau tidak diketahui penyebabnya.3
Di Eropa dan Amerika Serikat, angka kejadian SSJ diperkirakan 1-6 kasus per 1 juta pasien per tahun, lebih jarang pada pria dengan sex ratio 0,6. Kasus SSJ paling sering ditemukan setelah dekade ke-4.1Kondisi ini sering terjadi pada orang dewasa namun telah dilaporkan terjadi pada anak-anak berumur 3 bulan. Sindrom Stevens-Johnson juga dilaporkan d ilaporkan lebih sering terjadi pada ras Kaukasia.4 Patogenesis SSJ sampai saat ini masih belum jelas, beberapa di antaranya adalah cellmediated cytotoxic reaction terhadap keratinosit, yang mengakibatkan apoptosis masif melalui perforin-granzyme B atau Fas – FasL. FasL.1 Selanjutnya, ada teori reaksi idiosinkrasi dan immune complex mediated hypersensitivity.4 Teori lainnya adalah slow acetylation (gangguan metabolisme obat) sehingga terjadi peningkatan produksi metabolit reaktif yang bersifat toksik atau dapat memicu respons imun sekunder.1,5 Hipotesis terakhir adalah teori kerentanan genetik, yang mengatakan adanya asosiasi kuat antara HLA-B75 (alel B*1502) dari HLA-B dan SSJ akibat karbamazepin dan fenitoin, dan antara HLA-B58 (alel B*5801) dan SSJ akibat alopurinol pada orang Asia.1 1.2 Tujuan Penulisan
Penulisan Case Report Session Session ini bertujuan untuk memahami dan menambah pengetahuan tentang sindrom Steven Johnson dan tatalaksananya.
BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Definisi
Sindrom Steven-Johnson (SSJ) merupakan suatu kumpulan gejala klinis erupsi mukokutaneus yang ditandai oleh trias kelainan pada kulit berupa eritema, vesikel/ bula, dapat disertai purpura yang mengenai kulit, selaput lendir orifisium serta mata disertai gejala umum bervariasi dari ringan sampai berat 2.2 Epidemiologi
Sindrom Stevens-Johnson adalah suatu kondisi yang jarang terjadi, di Amerika Serikat, terdapat 300 kejadian melaporkan sekitar 2,6 menjadi 6,1 kasus per juta orang per tahun.7 Kondisi ini sering terjadi pada orang dewasa dibandingkan pada anak-anak.7 Sebagian besar terjadi pada dekade ke 2 dan ke 4 kehidupan, namun kasus ini telah dilaporkan terjadi pada anakanak berumur 3 bulan. Perempuan lebih sering terkena daripada pria dengan rasio 2:3. SSJ juga telah dilaporkan lebih sering terjadi pada ras Kaukasia.10 Di Indonesia jarang terjadi, hanya sekitar 1-6 per juta orang. Dengan kata lain, rata-rata jumlah kasus sindrom ini hanya sekitar 0,03%. Penelitian menunjukkan bahwa SSJ adalah kasus yang langka. Hanya 1 dari 2000 orang yang mengkonsumsi antibiotik penisilin yang terkena SSJ. 2. 3. Etiologi
Terdapat empat kategori etiologi yaitu (1) infeksi, (2) drug-induced, (3) keganasan, dan (4) idiopatik.10
Obat dan keganasan yang paling sering terlibat sebagai etiologi pada orang dewasa dan orang tua.
Pada anak-anak lebih sering disebabkan karena infeksi daripada keganasan atau reaksi terhadap suatu obat.
Oxicam NSAID dan sulfonamides yang paling sering terlibat di negara-negara barat. Di Asia Tenggara, allopurinol adalah yang paling sering.
Obat seperti sulfa, fenitoin, atau penisilin telah ditentukan sebelumnya, ditemukan lebih dari dua pertiga dari semua pasien dengan sindrom Stevens-Johnson (SSJ). Antikonvulsi karbamazepin, asam valproat, lamotrigin, dan barbiturat juga telah terlibat.
Infeksi virus yang telah dilaporkan menyebabkan SSJ adalah herpes simplex virus (HSV), AIDS, infeksi virus coxsackie, influenza, hepatitis, gondok, venereum lymphogranuloma (LGV), infeksi rickettsia, dan variola.
Penyebab bakteri adalah grup A beta streptokokus, difteri, brucellosis, mikobakteri, Mycoplasma pneumoniae, tularemia, dan tifus. Sebuah kasus baru-baru ini dilaporkan SSJ timbul setelah infeksi Mycoplasma pneumoniae.
2.4 Patogenesis
Patogenesisnya masih belum jelas walaupun sering dihubungkan dengan reaksi alergi tipe III dan IV.3 Reaksi alergi tipe III terjadi akibat terbentuknya kompleks antigen-antibodi yang membentuk mikropresipitasi sehingga terjadi aktivasi sistem komplemen.3 Akibatnya terjadi akumulasi neutrofil yang kemudian melepaskan lisozim dan menyebabkan kerusakan jaringan pada organ sasaran (target organ).
3
Reaksi alergi tipe IV terjadi akibat limfosit T yang
tersensitisasi oleh suatu antigen, berkontak kembali dengan antigen yang sama kemudian limfokin dilepaskan sehingga terjadi reaksi radang.3 Reaksi
Hipersensitivitas
Tipe
III
(Reaksi
Kompleks
Imun)
Antibodi yang berikatan dengan antigen akan membentuk kompleks antigen antibodi. Kompleks antigen antibodi ini mengendap pada salah satu tempat dalam jaringan tubuh. Akibat endapan kompleks antigen-antibodi dalam jaringan atau pembuluh darah maka kompleks
tersebut
mengaktifkan komplemen yang kemudian melepas berbagai mediator terutama macrophage chemotactic factor. Makrofag yang dikerahkan ke tempat tersebut akan merusak jaringan di sekitarnya dan mengakibatkan reaksi radang.13 Reaksi
Hipersensitivitas
Tipe
IV
(Reaksi
Alergi
Seluler
Tipe
Lambat)
Reaksi ini melibatkan limfosit. Limfosit T yang tersensitasi mengadakan reaksi dengan antigen. Reaksi ini disebut reaksi tipe lambat karena baru timbul 12-48 jam setelah terpajan antigen. Dalam hal ini tidak ada peran antibodi. Akibat sensitisasi tersebut sel Th1 melepaskan limfokin antara lain MIF, MAF. Makrofag yang diaktifkan melepas berbagai mediator (sitokin, enzim, dsb) sehingga dapat menyebabkan kerusakan jaringan.13,14 Stevens-Johnson Syndrome merupakan penyakit hipersensitivitas yang diperantarai oleh kompleks imun yang mungkin disebabkan oleh beberapa jenis obat, infeksi virus, dan keganasan.
Kokain saat ini ditambahkan dalam daftar obat yang mampu menyebabkan sindroma ini. Hingga sebagian kasus yang terdeteksi, tidak terdapat e tiologi spesifik yang dapat diidentifikasi.10 2.5 Gejala klinis
Sindrom ini jarang dijumpai pada usia 3 tahun ke bawah karena imunitas belum begitu berkembang. Keadaan umumnya bervariasi dari ringan sampai berat. Pada yang berat kesadarannya menurun, pasien dapat soporous sampai koma.12 Mulainya penyakit akut dapat disertai gejala prodormal berkisar antara 1-14 hari berupa demam tinggi, malese, nyeri kepala, batuk, pilek, nyeri tenggorokan, sakit menelan, nyeri dada, muntah, pegal otot, dan atralgia yang sangat bervariasi.3 Pada SSJ ini terlihat trias kelainan berupa : kelainan kulit, kelainan selaput lendir di orifisium, dan kelainan mata.[2 a. Kelainan kulit Lesi dimulai sebagai makula yang berkembang menjadi papula, vesikula, bullae, dan plak urtikaria. Pusat lesi ini mungkin vesikel, purpura, atau nekrotik. Lesi memiliki gambaran yang khas, dianggap patognomonik. Namun, berbeda dengan erythema multiforme, lesi ini hanya memiliki dua zona warna. Inti lesi dapat berupa vesikel, purpura, atau nekrotik, dikelilingi oleh eritema macular. Lesi ini di sebut lesi targetoid. Lesi mungkin menjadi bulosa dan kemudian pecah menyebabkan erosi yang luas, meninggalkan kulit yang gundul sehingga terjadi peluruhan yang ekstensif. Sehingga kulit menjadi rentan terhadap infeksi sekunder.10 Pada bentuk yang berat kelainannya generalisata. Kulit lepuh sangat longgar dan mudah lepas bila digosok. Pada sindrom Stevens-Johnson, kurang dari 10% dari permukaan tubuh yang mengelupas. Sedangkan pada necrolysis epidermis toksik, 30% atau lebih dari
permukaan tubuh yang mengelupas. Daerah kulit yang terkena akan terasa sakit. Pada beberapa orang, rambut dan kuku rontok.12 b. Kelainan selaput lendir di orifisium Kelainan selaput lendir yang tersering adalah mukosa mulut (100%), kemudian disusul oleh kelainan di lubang alat genital (50%), sedangkan di lubang hidung (8%), dan anus (4%).12 Kelainannya berupa vesikel dan bula yang cepat memecah hingga menjadi erosi dan ekskoriasi dan krusta kehitaman.[13] Di mukosa mulut dapat terbentuk pseudomembran. Di bibir kelainan yang sering tampak ialah krusta hitam yang tebal. Stomatitis ulseratif dan krusta hemoragis merupakan gambaran utama.12 Kerusakan pada lapisan mulut biasanya sangat menyakitkan dan mengurangi kemampuan pasien untuk makan atau minum dan sulit menutup mulut sehingga air liurnya menetes.12 Lesi di mukosa mulut dapat juga terdapat di faring, traktus respiratorius bagian atas, dan esofagus. Kelainan pada lubang alat genital akan menyebabkan sulit buang air kecil disertai rasa sakit. Kadang-kadang selaput lendir saluran pencernaan dan pernapasan juga terlibat, menyebabkan diare dan sesak napas.12 c. Kelainan mata Kelainan mata, merupakan 80% diantara semua kasus, yang tersering ialah konjungtivitis kataralis.12 Selain itu juga dapat berupa konjungtivitis purulen, blefarokonjungtivitis, perdarahan, simblefaron, ulkus kornea, iritis, iridosiklitis, kelopak mata edema, penuh dengan nanah sehingga sulit dibuka, dan disertai rasa sakit.13 Pada kasus berat terjadi erosi dan perforasi kornea yang dapat menyebabkan kebutaan.6 2.6 Diagnosa
Diagnosis ditujukan terhadap manifestasi yang sesuai dengan trias kelainan kulit, mukosa, mata, serta hubungannya dengan faktor penyebab yang secara klinis terdapat lesi
berbentuk target, iris atau mata sapi disertai gejala prodormal. Selain itu didukung pemeriksaan laboratorium antara lain pemeriksaan darah tepi, pemeriksaan imunologik, biakan kuman serta uji resistensi dari darah dan tempat lesi, serta pemeriksaan histopatologik biopsi kulit. Anemia dapat dijumpai pada kasus berat dengan perdarahan, leukosit biasanya normal atau sedikit meninggi bila meninggi penyebabnya adalah infeksi sekunder, terdapat peningkatan eosinofil jika penyebabnya alergi. Kadar IgG dan IgM dapat meninggi, C3 dan C4 normal atau sedikit menurun dan dapat dideteksi adanya kompleks imun yang beredar. Biopsi kulit direncanakan bila lesi klasik tak ada.3 Gambaran histopatologinya sesuai dengan eritema multiforme, bervariasi dari perubahan dermal yang ringan sampai nekrolisis epidermal yang menyeluruh. Kelainan berupa 12
Infiltrat sel mononuklear di sekitar pembuluh darah dermis superfisial
Edema dan ekstravasasi sel darah merah di dermis papilar
Degenerasi hidropik lapisan basalis sampai terbentuk vesikel subepidermal
Nekrosis sel epidermal di adneksa Spongiosis dan edema intrasel di epidermis Selain itu dapat dilakukan pemeriksaan imunofluoresensi untuk membantu membedakan
sindrom Steven Johnson dengan penyakit kulit dengan lepuh subepidermal lainnya. Menentukan fungsi ginjal dan mengevaluasi adanya darah dalam urin. Pemeriksaan elektrolit di lakukan untuk
mengetahui
apakah
terjadi
gangguan
keseimbangan
asam
basa.
Pemeriksaan
bronchoscopy, esophagogastro duodenoscopy (EGD), dan kolonoskopi dapat dilakukan. Dan fototoraks untuk mengetahui adanya komplikasi pneumonitis.10
2.7 Diagnosis banding
Nekrolisis Epidermal Toksik (NET) Dimana manifestasi klinis hampir serupa tetapi keadaan umum NET terlihat lebih buruk
daripada SSJ.2 Pada penyakit ini terdapat epidermolisis yang menyeluruh yaitu lebih dari 30% epidermis yang terkelupas (tanda Nikolsky positif).13
Staphylococcal Scalded Skin Syndrome (Ritter disease) Pada penyakit ini lesi kulit ditandai dengan krusta yang mengelupas pada kulit. .
Biasanya mukosa jarang terkena.(12)
SSSS Etiologi
NET
SSJ
Staphylococcus aureus,
Obat
Obat, infeksi,
infeksi mata, infeksi THT
Reaksi graft vs host
keganasan, post vaksinasi, radiasi, makanan.
Pasien
Anak-anak, bayi < 5 tahun
Dewasa
Dewasa, anak > 3 tahun
Gejala klinis
– Eritem muka, leher,
– Akut
– Gejala prodormal
inguinal, axila (24 jam) → – Gejala prodormal
– Trias :
generalis (24-48 jam) →
– KU buruk
Kulit: eritem, vesikel,
bula dinding kendur.
– Eritem generalisata,
– Epidermolisis
vesikel, bula, purpura
bula dan purpura, Mukosa:orifisium mulut, faring, traktus
– Nikolsky sign +
– Kulit, mukosa bibir-
– Mukosa jarang
mulut, orifisium
respiratorius,
– PA : celah pada sratum
genital
esophagus
granulosum
– Epidermolisis +
(pseudomembran)
– Nikolsky sign +
Mata
– PA : celah pada
– Epidermolisis –
subepidermal
– Nikolsky sign – – PA : kelainan dermis sedikit sampai nekrolisis epidermal
Komplikasi
Selulitis, pneumonia,
Akut Tubular Nekrosis
Bronkopneumonia
septikemia Sumber : Buku Ajar Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, Edisi 5, 2007. 12
2.8 Komplikasi
Komplikasi tersering ialah bronkopneumonia, sekitar 16%. Komplikasi lain ialah kehilangan cairan/ darah, gangguan keseimbangan elektrolit dan syok, pada mata dapat terjadi ulserasi kornea, uveitis anterior, kebutaan karena gangguan lakrimasi.
12
Pada gastroenterologi
teriadi esofageal striktur, pada genitourinari dapat terjadi nekrosis tubular ginjal, gagal ginjal, jaringan parut pada penis, vagina stenosis, dan pada kutaneus terdapat
jaringan parut dan
deformitas kosmetik. Infeksi dapat kambuh karena penyembuhan ulserasi yang lambat.7 2.9 Pengobatan
Pasien harus ditangani dengan perhatian khusus pada jalan nafas dan stabilitas hemodinamik, status cairan, luka/perawatan luka bakar, dan kontrol nyeri. Menghentikan penggunaan obat-obatan yang mungkin menyebabkan hal itu adalah hal yang paling penting
dalam mengobati SJS. Karena sulit untuk menentukan mana obat yang dapat menyebabkan masalah tersebut.4 Perawatan suportif
Saat ini tidak ada rekomendasi standar untuk mengobati SJS. Perawatan suportif mungkin dapat di terima saat dirawat di rumah sakit meliputi: a.
Pengganti cairan dan nutrisi. Karena kehilangan kulit dapat mengakibatkan kerugian yang signifikan cairan dari tubuh, menggantikan cairan merupakan bagian penting dari pengobatan.
b.
Perawatan luka, kompres basah akan membantu menenangkan lecet saat mereka sembuh. Tim medisakanmengeliminasi kulit mati, dan kemudian menempatkan krim dengan anestesi topikal di atas area yang terkena, jika diperlukan.
c.
Perawatan mata, karena risiko kerusakan mata, pengobatan harus mencakup konsultasi dengan seorang spesialis mata (ophthalmologist).4
Obat-obatan yang biasa digunakan dalam pengobatan SJS meliputi: a.
Obat nyeri untuk mengurangi ketidaknyamanan
b.
Antihistamin untuk meredakan gatal
c.
Antibiotik untuk mengendalikan infeksi, bila diperlukan
d.
Steroid topikal untuk mengurangi peradangan kulit.4
Selain itu, salah satu dari jenis berikut obat yang saat ini sedang dipelajari dalam pengobatan SJS: a.
Kortikosteroid intravena
Untuk orang dewasa, obat ini dapat mengurangi keparahan gejala dan mempersingkat waktu pemulihan jika dimulai dalam satu atau dua hari ketika gejala muncul pertama kali. Untuk anak-anak, mereka dapat meningkatkan risiko komplikasi. b.
Imunoglobulin intravena (IVIG) Obat ini mengandung antibodi yang dapat membantu sistem kekebalan tubuh Anda menghentikan proses SJS.
c.
Pencangkokan kulit Jika area besar tubuh Anda terpengaruh, pencangkokan kulit, yaitu menghilangkan kulit dari satu area tubuh dan melampirkan ke lain atau menggunakan pengganti kulit sintetis mungkin diperlukan untuk membantu penyembuhan. Perawatan ini jarang diperlukan. Jika penyebab SJS dapat dihilangkan dan reaksi kulit berhenti, kulit Anda mungkin mulai tumbuh lagi dalam beberapa hari. Dalam kasus yang parah, pemulihan penuh mungkin memakan waktu beberapa bulan.4
2.10 Prognosis
SSJ adalah penyakit dengan morbiditas yang tinggi, yang berpotensi mengancam nyawa. Tingkat mortalitas adalah 5%, jika ditangani dengan cepat dan tepat, maka prognosis cukup memuaskan.4 Lesi biasanya akan sembuh dalam 1-2 minggu, kecuali bila terjadi infeksi sekunder. Sebagian besar pasien sembuh tanpa gejala sisa.7 Bila terdapat purpura yang luas dan leukopenia prognosisnya lebih buruk. Pada keadaan umum yang buruk dan terdapat bronkopneumonia, dapat menyebabkan
kematian.[12]
Pengembangan gejala sisa yang serius, seperti kegagalan pernafasan, gagal ginjal, dan kebutaan, menentukan prognosis.7
Sampai dengan 15% dari semua pasien dengan sindrom Stevens-
Johnson (SSJ) meninggal
akibat kondisi ini. Bakteremia dan sepsis meningkatkan resiko
kematian.7 Nilai SCORTEN merupakan sejumlah variable yang digunakan untuk meramalkan faktor risiko terjadinya kematian pada SSJ dan dan juga pada TEN.7 Skor SCORTEN Faktor prognosis
Skor mortalitas
Umur > 40 tahun
SCORTEN 0-1 > 3.2%
Keganasan
SCORTEN 2 > 12.1%
Denyut jantung > 120 x/menit
SCORTEN 3 > 35,3%
Persentase detasemen epidermis > 10%
SCORTEN 4 > 58.3%
BUN level >10 mmol/L
SCORTEN 5 atau lebih > 90%
Kadar glukosa serum > 14 mmol / L
Kadar bikarbonat < 20 mmol / L
BAB 3 LAPORAN KASUS 3.1 IDENTITAS PASIEN
Nama
: Ny. E
Umur
: 37 tahun / 1 Juli 1980
Jenis Kelamin
: Perempuan
Pekerjaan
: Tidak Bekerja
No RM
: 01.00.35.26
Negeri Asal
: Padang
Agama
: Islam
Suku
: Minang
Alamat
: Pasaman Barat
Tanggal Pemeriksaan : 12 Januari 2018 3.2
ANAMNESA (AUTOANAMNESA DAN ALLOANAMNESA)
Seorang pasien perempuan berusia 37 tahun dirawat di Bangsal Kulit dan Kelamin RSUP Dr. M. Djamil Padang pada tanggal 10 Januari 2018 dengan: 3.2.1 Keluhan Utama : Bercak-bercak merah yang terasa gatal dan perih pada wajah, leher, punggung, dada, kedua lengan dan kedua tungkai disertai dengan keropeng merah kehitaman pada bibir, nyeri menelan dan mata merah serta banyak kotoran sejak 1 minggu sebelum masuk rumah sakit.
3.2.2 Riwayat Penyakit Sekarang
Bercak-bercak merah yang terasa gatal dan perih pada wajah, leher, punggung, dada, kedua lengan dan kedua tungkai disertai dengan keropeng merah kehitaman pada bibir, nyeri menelan dan mata merah serta banyak kotoran sejak 1 minggu sebelum masuk rumah sakit.
Awalnya sekitar 2 bulan yang lalu pasien mendapat terapi obat risperidone 2 x 1mg, lorazepam 1 x 2mg, asam folat 2 x 1mg untuk riwayat skizofrenia yang dimiliki pasien sejak 5 tahun yang lalu. Pasien juga mendapat terapi obat baru phenytoin 3 x sehari untuk riwayat kejang yang juga dialami pasien. Sekitar kurang lebih 15 hari sebelum masuk RS, pasien mengeluhkan terdapat bercak merah yang muncul pada pertama kali di paha sebelah kiri yang dirasakan sangat gatal dan terdapat gelembung berisi cairan jernih disetai demam. Bercak merah kemudian semakin banyak dan meluas sejak kurang lebih 7 hari yang lalu ke kedua tungkai dan lengan, badan disertai rasa gatal. Kemudian bercak merah semakin meluas ke wajah punggung, bengkak kedua tungkai, gelembung tidak ada lagi, demam tidak ada, terasa sisik kasar pada badan, nyeri menelan, bibir keropeng kehitaman, dan mata merah disertai kotoran, pasien sulit makan 5 hari yang lalu.
3.2.3.Riwayat Penyakit Dahulu
Riwayat memiliki keluhan bercak merah, gatal disertai dengan mata merah dan bibir lecet tidak ada.
Riwayat atopi tidak ada
Pasien sudah dikenal menderita ganguan jiwa sejak 5 tahun yang lalu.
Riwayat kejang ada 3 bulan yang lalu.
3.2.4. Riwayat Pengobatan Pasien sudah dikenal menderita skyzofrenia sejak 5 tahun yang lalu, terkontrol. Pasien rutin
kontrol ke RSJ Prof HB Saanin Padang. Terakhir di bulan November mendapat obat risperidone 2 x 1mg, lorazepam 1 x 2mg, asam folat 2 x 1mg dan obat baru phenytoin 3 x sehari. 3.2.5. Riwayat Penyakit Keluarga Tidak ada anggota keluarga yang mengalami keluhan bercak merah disertai rasa gatal pada
tubuh seperti yang dialami pasien. 3.2.6 Riwayat Atopi / Riwayat Alergi
Riwayat bersin- bersin ≥ 5X di pagi tidak ada
Riwayat asma tidak ada.
Riwayat mata merah dan gatal tidak ada
Riwayat alergi makanan tidak ada
Riwayat alergi obat tidak ada
Riwayat kaligata tidak ada
Riwayat alergi serbuk sari tidak ada
3.2.7 Riwayat Sosioekonomi
Pasien tidak bekerja
Riwayat gangguan jiwa sejak 5 tahun yang lalu.
3.3 PEMERIKSAAN FISIK
a. Status Generalis Keadaan umum
: Tampak sakit sedang
Kesadaran
: Komposmentis kooperatif
Tekanan darah
: 110/70 mmHg
Nadi
: 80x/menit
Nafas
: 20x/menit
Suhu
: 38°C
Status gizi
: BB: 48 kg TB: 150 cm IMT 23,4 (normoweight)
Kepala
: Tidak ada kelainan
Mata
: Injeksi konjungtiva (+) kotoran (+)
Leher
: JVP 5-2 cmH2O
KGB
: Tidak ada pembesaran KGB
Thorax
: Paru Inspeksi
: Dada simetris kiri dan kanan. Pergerakan dada simetris
Palpasi
: Fremitus kiri sama dengan kanan
Perkusi
: Sonor kiri dan kanan
Auskultasi
: SN Vesikuler Rh-/- Wh -/-
Jantung Inspeksi
: Iktus kordis tidak terlihat
Palpasi
: Iktus kordis teraba 1 jari LMCS RIC V
Perkusi
: Atas : RIC II Kanan: Linea sternalis dekstra Kiri : 1 jari LMCS RIC V
Auskultasi
: S1 S2 reguler, murmur (-), gallop (-)
Abdomen
: Tidak ada kelainan
Extremitas
: Tidak ada kelainan
b. Status Dermatologis Inspeksi Lokasi
: Wajah, bibir, badan, punggung, kedua lengan dan tungkai
Distribusi
: Generalisata
Bentuk
: Tidak khas
Susunan
: Tidak khas
Batas
: Tidak tegas
Ukuran
: Numular hingga plakat
Efloresensi
: Makula eriema, makula hiperpigmentasi, plak eritema, krusta merah kehitaman, skuama kasar kekuningan
Palpasi Diaskopi
:+
Nikolsky sign
: Tidak dilakukan karena bula tidak ada.
c. Status Venerelogikus
: Tidak ada kelainan
d. Kelainan Selaput
: Terdapat krusta merah kehitaman pada bibir, terdapat injeksi konjungtiva pada mata
e. Kelainan Kuku
: Tidak ada kelainan
f. Kelainan Rambut
: Tidak ada kelainan
g. Kelainan Kelenjar Limfe : Tidak teraba pembesaran KGB
Tampilan Wajah
Tampilan dada
Tampilan kaki
RESUME
Seorang pasien perempuan berusia 37 tahun dirawat di Bangsal Kulit dan Kelamin RSUP Dr. M. Djamil Padang pada tanggal 10 Januari 2018 dengan keluhan bercak-bercak merah pada wajah, badan, kedua tungkai dan lengan yang terasa gatal sejak kurang lebih 5 hari yang lalu disertai dengan keropeng merah kehitaman pada bibir, bersisik kasar pada tungkai, mata merah disertai kotoran dan nyeri menelan. Awalnya, kurang lebih 2 bulan yang lalu pasien kontrol ke RSJ Prof HB Saanin Padang dengan diagnosa skizofrenia. Pasien diberikan obat risperidone 2 x 1mg, lorazepam 1 x 2mg, asam folat 2 x 1mg dan obat baru phenytoin 3 x sehari. Sekitar 15 hari yang lalu, pasien mengeluhkan terdapat bercak merah yang muncul pada paha sebelah kiri, bercak disertai gatal, dan gelembung berisi cairan jernih. Pasien juga mengeluhkan demam dan nyeri menelan. Bercak merah kemudian semakin banyak dan meluas ke kedua lengan dan tungkai, badan, gelembung tidak ada, gatal ada, demam tidak ada, bercak merah semakin banyak ke wajah disertai rasa gatal sisik kasar pada tungkai, nyeri menelan, bibir keropeng kehitaman, dan mata merah disertai kotoran, bengkak kedua kaki, pasien sulit makan. Ada riwayat kejang, dan tidak ada riwayat atopi.
3.3 DIAGNOSIS KERJA
Sindrom Steven-Johnson ec susp alergi obat ec susp Phenitoin Skyzofrenia 3.4 DIAGNOSIS BANDING
Sindroma Steven Johnson e.c susp Lorazepam Sindroma Steven Johnson e.c susp Risperidone Sindroma Steven Johnson e.c susp Asam Folat
Erupsi obat alergi e.c susp Phenytoin TEN 3.5 PEMERIKSAAN PENUNJANG
a. Pemeriksaan Laboratorium - Pemeriksaan Laboratorium (10/1/2018) Hb
9,7 g/dl
Leukosit
16.980/mm3
Trombosit
402.000/mm3
Hematokrit
30%
GDS
63mg/dl
Albumin
3,1 g/dl
Globulin
2,7 g/dl
Total protein
5,8 g/dl
SGOT
64 u/l
SGPT
58 u/l
Ureum darah
46 mg/dl
Kreatinin darah 1,2 mg/dl Kesan: Anemia, Leukositosis, Hematokrit menurun, Total protein dan Albumin menurun, SGOT dan SGPT meningkat, Hipoglikemi. - PEMERIKSAAN ANJURAN Cek darah lengkap dan elekrolit Pemeiksaan patch test terhadap obat tersangka 6 bulan setelah rawatan
3.6
DIAGNOSIS
Sindrom Steven Johnson ec susp Phenytoin 3.7 PENATALAKSANAAN
UMUM
Edukasi kepada pasien dan keluarga pasien untuk menghentikan pemakaian obat yang dicurigai menjadi penyebab, yaitu Phenytoin.
Edukasi kepada pasien agar tidak mengelupaskan keropeng sendiri.
Menjaga daya tahan tubuh pasien agar terhindar dari infeksi yang dapat memicu munculnya gejala yang sama dengan cara memperbaiki pola makan dan menjaga kebersihan diri.
KHUSUS
Injeksi Deksametason 4 x 5 mg/hari
IVFD NaCl 0,9% : D5% = 1 : 3
Injeksi Ranitidin 2x50 mg
Injeksi Gentamicin 2x80 mg
Kompres NaCl 0,9% sebanyak 3x15 menit pada keropeng merah kehitaman (bibir)
KCl tab 3x1
Krim Hidrokortison 2,5% pada bercak kemerahan 2x sehari
3.8 PROGNOSIS
Berdasarkan nilai SCORTEN Nilai SCORTEN
Angka Kematian (%)
0-1
3,2
2
12,1
3
35,8
4
58,3
>5
90
Kriteria: Usia > 40 tahun, denyut jantung >120 x/menit, terdapat kanker atau keganasan hematologik, epidermolisis >10% LPB, kadar urea serum >10 mM/L (>28 mg/dL) pada pasien kadar urea serum 46mg/dL = 16.422 mM/L, kadar bikarbonat serum <20 mEq/L, kadar gula darah sewaktu >252 mg/dL. Pada pasien angka kematian 3,6%.
Quo Ad Vitam
: Bonam
Quo Ad Sanationam : Dubia Ad Bonam
Quo Ad Cosmeticum : Dubia Ad Bonam
Quo Ad Functionam : Bonam
BAB 4 DISKUSI
Telah diperiksa seorang pasien perempuan usia 37 tahun di Bangsal Kulit Kelamin RSUP DR M Djamil Padang, dengan keluhan utama bercak-bercak merah yang terasa gatal dan perih pada wajah, leher, punggung, dada, kedua lengan dan kedua tungkai disertai dengan keropeng merah kehitaman pada bibir, nyeri menelan dan mata merah serta banyak kotoran sejak 1 minggu sebelum masuk rumah sakit, gelembung tidak ada, demam ada. Pasien juga mendapat terapi obat baru yaitu obat anti kejang phenytoin 3 x sehari untuk riwayat kejang yang didapat 2 bulan yang lalu. Pada pemeriksaan dijumpai adanya makula eritem dan hiperpigmentasi pada wajah, lengan, badan dan tungkai. Pada beberapa tempat ditemukan kulit yang dijumpai krusta kehitaman pada bibir, dan dijumpai skuama kasar kekuningan. Pada mata dijumpai injeksi konjungtiva dan kotoran. Hal ini sesuai literatur yang menunjukkan bahwa pada SSJ merupakan sindrom reaksi mukokutan akut ditandai dengan nekrosis dan pengelupasan epidermis yang luas dan dapat menyebabkan kematian. Lesi awal berupa makula eritematosa kemudian berkembang progresif menjadi lesi lepuh kendur, dan selanjutnya terjadi pengelupasan epidermis. Terlihat trias kelainan pada SSJ berupa kelainan kulit, kelainan selaput lendir di orifisium dan kelainan mata yang sebelumnya didahului oleh sindroma prodromal non spesifik. Kelainan kulit pada pasien sesuai dengan litelatur yang menyebutkan munculnya dalam 8 minggu setelah terpapar obat. Berdasarkan luas permukaan tubuh yang terlibat, luas lesi pada pasien ini <10%, dan sesuai dengan klasifikasi pada SSJ.1,2 Sindrom Steven-Johnson menyerang laki-laki atau perempuan dengan umur di atas 3 tahun, umumnya pada usia dewasa, dan penyebab utama adalah alergi obat golongan
sulfonamide, beta-laktam, imidazol, NSAID, quinolon, antikonvulsan aromatik dan allopurinol. Penyebab lain di antaranya ialah infeksi (virus Herpes si mpleks, Mycoplasma pneumonia). Hal ini sesuai dengan hasil anamnesis yang didapatkan bahwa pasien perempuan berusia 37 tahun, dengan kemungkinan faktor penyebab adalah akibat konsumsi obat anti kejang, yaitu phenytoin. Phenytoin merupakan obat yang memiliki resiko tinggi sebagai penyebab SSJ.1 Tidak dilakukan pemeriksaan Nikolsky sign karena tidak ada vesikel maupun bula pada pasien ini. Pasien diberikan IVFD D5% : NaCl 0,9% = 1:3, Inj dexamethasone 4 x 5 mg, Inj gentamisin 2x80 mg , Inj ranitidin 2 x 50 mg, Hidrokortison cr 2,5% (2x sehari pada bercak merah), Kompres terbuka NaCl 0,9% (3 x 15 menit pada lecet, keropeng di bibir). Pada pasien Sindrom Steven-Johnson diberikan terapi kortikosteroid sistemik, kortikosteroid topikal, dan antibiotik. Edukasi kepada pasien dan keluarga pasien untuk menghentikan pemakaian obat yang dicurigai/ tersangka menjadi penyebab, yaitu Phenytoin dan anjuran kepada pasien agar tidak mengelupaskan keropeng sendiri untuk mencegah infeksi sekunder.
DAFTAR PUSTAKA
1. Allanore LV, Roujeau JC. Epidermal necrolysis (Stevens-Johnson syndrome and toxic epidermal necrolysis). In: Wolff K, Goldsmith LA, Katz SI, Gilchrest BA, Paller AS, Leffel DJ, editors. Fittzpatrick’s Dermatology in General Medicine. 7 th ed. New York: McGraw-Hill Companies Inc; 2008. pp. 347-54. 2. French LE, Prins C. Erythema multiforme, Stevens-Johnson syndrome and toxic epidermal necrolysis. In: Bolognia JC, Jorizzo JC, Rapini RP, editors. Dermatology. 2nd ed. New York: Mosby Elsevier; 2008. pp. 287-99. 3. Ghislain PD, Roujeau JC. Steven-Johnson syndrome and toxic epidermal necrolisis. In: William H, Bigby M, Diepgen T, Herxheimer A, Naldi L, Rzany B. eds. Evidence-based Dermatology. 2nd ed. London; BMJ; 2008. pp. 613-9. 4. Foster CS. Stevens-Johnson syndrome [Internet]. 2013 [last updated 2013 Aug 12; cited 2014 Apr 3]. Available from: http://emedicine.medscape.com/article/1197450-overview 5. French LE. Toxic epidermal necrolysis and Stevens-Johnson syndrome: Our current understanding. Allergol Int.2006;55(1):9-16. 6. Mansjoer, A. Suprohaita. Wardhani, WI. Setiowulan, W. Erupsi Alergi Obat. Kapita Selekta Kedokteran. Edisi 3. Jilid 2. Media Aesculapius. Jakarta 2002 : 136-138. 7. Parrillo J Steven, DO, FACOEP, FACEP : Stevens-Johnson Syndrome. Direvisi terakhir 25
Mei
2010.
Di
akses
tanggal
:
30
Mei
2010.
Diunduh
dari
:
http://emedicine.medscape.com/article/756523-overview 8. Yusra Pintaningrum, Ari Baskoro, Agung Pranoto : Penatalaksanaan penderita Sindroma Stevens-Johnson dan Toxic Necrolysis Epidermal. Dikutip tanggal :31 Mei 2010.