BAB I PENDAHULUAN
Epilepsi merupakan salah satu penyakit saraf yang sering dijumpai, terdapat pada semua bangsa, segala usia dimana laki-laki sedikit lebih banyak dari wanita. Insiden tertinggi terdapat pada golongan usia dini yang akan menurun pada gabungan usia dewasa muda sampai setengah tua, kemudian meningkat lagi pada usia lanjut. Prevalensi epilepsI berkisar antara 0,5% - 2%. Di Indonesia penelitian epidemiologi tentang epilepsy belum pernah di lakukan, namun bila dipakai angka prevalensi yang dikemukakan, maka dapat diperkirakan bahwa bila penduduk Indonesia saat ini sekitar 220 juta akan ditemukan 1,1 sampai 4,4 juta penderita penyandang epilepsi dan 40% masih dalam usia reproduksi. Epilepsi berasal dari bahasa Yunani yang berarti “serangan” atau penyakit yang timbul secara tiba-tiba.Epilepsi merupakan penyakit yang umum terjadi dan penting di masyarakat. Permasalahan epilepsi tidak hanya dari segi medik tetapi juga sosial dan ekonomi yang menimpa penderita maupun keluarganya. Dalam kehidupan sehari-hari, epilepsy merupakan stigma bagi masyarakat. Mereka cenderung untuk menjauhi penderita epilepsi. 1 Akibatnya banyak yang menderita epilepsi yang tak terdiagnosis dan mendapat pengobatan yang tidak tepat sehingga menimbulkan dampak klinik dan psikososial yang merugikan baik penderita maupun keluarganya.2
1
BAB II STATUS PASIEN
I. Identitas Pasien
Nama
: Tn. Ahmad Latipul Hobe
Jenis Kelamin
: Laki-laki
Usia
: 21 tahun
Alamat
: RT 24 Desa Ladang Panjang Sungai G
Status Perkawinan
: Belum Menikah
Agama
: Islam
Pekerjaan
: Tidak Bekerja
Pendidikan
: SD
Suku Bangsa
: Jambi
No RM
: 17-868672
Tanggal Masuk RS
: 19 Oktober 2017
Ruang Perawatan
: Neurologi
DAFTAR MASALAH No.
Masalah Aktif
Tanggal
Masalah
Tanggal
Pasif 1. 2.
Kejang-kejang 19-10-2017 Kaku seluruh 19-10-2017 badan
3.
Mual
19-10-2017
II. Anamnesis
Anamnesis
dilakukan
secara
autoanamnesis
dan
alloanamnesis.
Anamnesis dilakukan pada hari Jumat, tanggal 20 Oktober 2017 1. Keluhan Utama
: Kejang-kejang sejak ± 2 hari SMRS
2. Riwayat Penyakit Sekarang
Lokasi
: Seluruh tubuh
Onset
: Sejak ± 2 hari SMRS 2
Kualitas
: Kejang berulang-ulang
Kuantitas
: kejang 2-3 kali/hari yang berlangsung ± 15 menit
Kronologis : Pasien diantar keluarga dengan keluhan kejang-kejang sejak ± 2 hari SMRS. Kejang berulang-ulang sebanyak 2-3 kali per hari yang berlangsung selama ± 15 menit. Kejang terjadi di seluruh tubuh disertai dengan kaku dan kelonjotan, pasien dalam keadaan tidak sadar. Saat kejang, mata terbelalak ke atas, mulut mengeluarkan busa dan lidah tergigit. Pasien mengaku sebelum kejang, pasien merasakan badan yang mulai kaku terutama di daerah bibir lalu terjadilah kejang. Keluarga pasien juga mengatakan, saat kejang tampak badan pasien yang kaku seluruh badan. Kaku seluruh tubuh ini tetap berlangsung walaupun kejang pasien sudah berhenti. Badan kaku ini berlangsung 15-20 menit. Pasien mengaku pada saat badan pasien kaku, pasien dalam keadaan sadar. Keluarga pasien mengatakan, saat kejang pasien sempat terjatuh dan kepala terbentur sehingga saat ini pasien merasakan nyeri di bagian belakang kepalanya. Keluhan pasien tidak disertai dengan demam, mual (+), BAB dan BAK normal. Pasien tidak mengeluhkan baik pandangan maupun bicaranya terganggu, juga tidak ada kelemahan anggota gerak. Keluarga mengatakan bahwa dalam 1 bulan ini pasien mengkonsumsi obat-obatan dari RS jiwa dan pasien rutin meminum obat tersebut. Pasien rencana akan kontrol ulang ke RS jiwa tersebut. Sebelum sempat kontrol ulang, obat pasien habis dan kejang pasien mulai kambuh lagi.
Faktor yang memperberat : Jika pasien tidak meminum obat
Faktor yang memperingan: Kejang pasien hilang jika diberi obat anti kejang.
3. Riwayat Penyakit Dahulu
3
Pasien memiliki riwayat kejang ketika kelas 5 SD. Saat itu pasien hanya di obati dengan obat kampung. 1 tahun yang lalu kejang mulai muncul lagi dan menjadi lebih sering, namun masih diobati dengan obat kampung. 1 bulan yang lalu pasien dibawa ke RS jiwa untuk berobat.
4. Riwayat Pengobatan
1 bulan SMRS pasien sudah meminum obat-obatan dari RS jiwa. Obat yang diminum pasien antara lain: Haloperidol 2x5mg, THP 1x2mg, Merlopam 1x2mg, Depakote 1x250mg, dan Phenytoin 2x100 mg.
5. Riwayat Penyakit Keluarga
Di keluarga pasien tidak ada yang mengalami hal serupa.
6. Riwayat Sosial Ekonomi dan Kebiasaan
Pasien setelah serangan kejang pada kelas 5 SD, pasien tidak sekolah lagi karena keluarga takut kejang pasien sering kambuh.
III. PEMERIKSAAN FISIK (OBJEKTIF)
Pemeriksaan fisik dilakukan pada tanggal 20 Oktober 2017. 1. Keadaan Umum
Kesadaran
: Compos mentis
Kesan sakit
: Tampak sakit sedang
Kesan gizi
: Gizi cukup
2. Tanda Vital
Tekanan darah
: 120/80 mmHg
Nadi
: 86 kali/menit
Respirasi
: 21 kali/menit, pernapasan reguler
Suhu
: 36,6°C
Berat badan
: 70 kg
Tinggi Badan : 170 cm BMI
: 70 kg/1,702 m2= 24,22 kg/m2
4
Status Gizi
3.
: Normal
Status Generalis
Kepala
: Normocephal
Mata
: Edema palpebra (-/-), conjungtiva anemis (-/-), sklera ikterik (-/-), pupil bulat, isokor, refleks cahaya (+/+), katarak (-/-)
THT
: Dalam batas normal
Mulut
: Bibir sianosis (-), mukosa kering (-), lidah hiperemis (-), T1-T1, faring hiperemis (-).
Leher
Dada
: JVP 5-2 cm H2O, pembesaran KGB (-), pembesaran tiroid (-)
Jantung : -
Inspeksi
: Tidak terlihat
-
Palpasi
: Ictus cordis teraba di ICS V
-
Perkusi
: Batas jantung dalam batas normal
-
Auskultasi
: BJ I dan BJ II regular, gallop (-), murmur (-)
Paru : -
Inspeksi
: Gerakan dinding dada simetris kanan dan kiri
-
Palpasi
: Massa (-), nyeri tekan (-), krepitasi (-), fremitus taktil sama kanan dan kiri
-
Perkusi
: Vocal fremitus sama kiri dan kanan, sonor (+/+)
-
Auskultasi
: Vesikuler (+/+), ronkhi (-/-), wheezing (-/-)
5
Perut : -
Inspeksi
: Tampak datar, distensi (-), massa (-)
-
Palpasi
: Supel, nyeri tekan epigastrium (+), undulasi (-), shifting dullness (-), hepar dan lien tidak teraba
4.
-
Perkusi
: Timpani (+)
-
Auskultasi
: Bising usus (+) N
Alat kelamin
: Tidak dilakukan pemeriksaan
Ekstremitas
: Akral hangat, edema (-/(-), sianosis (-/-)
Status Neurologis 1) Kesadaran kualitatif
: Compos Mentis
2) Kesadaran kuantitatif (GCS) : 15 (E 4 V5 M6) 3) Tanda rangsang meningeal :
Kaku kuduk
:-
Brudzinsky 1
:-
Brudzinsky 2
: -|-
Brudzinsky 3
: -|-
Brudzinsky 4
: -|-
Laseque
: >700 / >700
Kernig
: >1350 / >1350
4) Saraf kranial : 1. N. I (Olfactorius )
Daya pembau Subjektif
Kanan
Kiri
Keterangan
Dbn
Dbn
Dalam batas normal
Objektif (dengan bahan)
Dbn
Dbn
Dalam batas normal
6
2. N.II (Opticus)
Kanan
Kiri
Daya penglihatan
Dbn
Dbn
Lapang pandang
Dbn
Dbn
Pengenalan warna
Dbn
Dbn
Tidak
Tidak
dilakukan
dilakukan
Funduskopi
Keterangan
Dalam batas normal
3. N.III (Oculomotorius)
Sela mata
Simetris
Simetris
Tidak ada
Tidak ada
Normal
Normal
Nistagmus Strabismus
Tidak ada Tidak ada
Tidak ada Tidak ada
Ekso/endotalmus
Tidak ada
Tidak ada
Bulat, isokor,
Bulat, isokor, 3
Ptosis Pergerakan bola mata
Pupil: Bentuk, besar
3 mm
mm
Reflex cahaya langsung
+
+
Reflex konvergensi
+
+
Reflex konsensual
+
+
Tidak ada
Tidak ada
Normal
Normal
Tidak ada
Tidak ada
Diplopia
4. N. IV (Trokhlearis)
Pergerakan bola mata ke bawah-dalam Diplopia
7
5. N. V (Trigeminus) Motorik
Membuka mulut
Normal
Mengunyah
Normal
Mengigit
Normal
Sensibilitas Muka
Oftalmikus
Normal
Normal
Maksila
Normal
Normal
Mandibula
Normal
Normal
Reflek Kornea
Normal
Normal
6. N. VI (Abduscens)
Gerak bola mata
Kanan Dbn
Kiri Dbn
(-)
(-)
ke lateral Strabismus
Keterangan Dalam batas normal
7. N. VII (Facialis)
Kanan
Kiri
simetris
simetris
memperlihatkan gigi
Dbn
Dbn
Daya perasa 2/3
Dbn
Dbn
anterior lidah
Dbn
Dbn
Motorik Saat diam Mengernyitkan dahi Senyum
8
Keterangan
8. N. VIII (Vestibulo-Kokhlearis)
Kanan
Kiri
Tuli konduktif
(-)
(-)
Tuli sensorineural
(-)
(-)
Keterangan
Pendengaran
Dalam batas normal
Vestibular Nistagmus horizontal
(-)
(-)
9. N. IX (Glossofaringeus)
Kanan
Kiri
Arkus faring
Dbn
Dbn
Daya perasa 2/3 posterior lidah
Dbn
Dbn
10. N. X (Vagus)
Kanan
Kiri
Keterangan
Arkus faring
Dbn
Dbn
Dalam batas
Disfonia
Dbn
Dbn
normal
Refleks muntah
Dbn
Dbn
11. N. XI (Assesorius)
Kanan
Kiri
Keterangan
Menoleh
Dbn
Dbn
Dalam batas
Mengangkat bahu
Dbn
Dbn
normal
Eutrofi
Eutrofi
Motorik
Trofi
9
12. N. XII (Hipoglossus)
Kanan
Kiri
Dbn
Dbn
eutrofi
eutrofi
Dalam batas
Tremor
(-)
(-)
normal
Disartri
(-)
(-)
Motorik Trofi
Keterangan
5) Sistem motorik :
Kanan
Kiri
Kekuatan
5
5
Tonus
N
N
Trofi Ger. Involunter
Eu (-)
Eu (-)
Kekuatan
5
5
Tonus
N
N
Trofi
Eu
Eu
Ger. Involunter
(-)
(-)
Keterangan
Ekstremitas atas
Ekstremitas bawah
6) Sistem sensorik :
Sensasi
Kanan
Kiri
Raba
Dbn
Dbn
Nyeri
Dbn
Dbn
Suhu
Dbn
Dbn
Propioseptif
Dbn
Dbn
10
Keterangan
7) Refleks :
Refleks
Kanan
Kiri
Keterangan
Biseps
(+)
(+)
Triseps
(+)
(+)
Patella
(+)
(+)
Achilles
(+)
(+)
Hoffman
(-)
(-)
Tromer
(-)
(-)
Reflek patologis
Babinski
(-)
(-)
(-)
Chaddock
(-)
(-)
Openheim Gordon
(-) (-)
(-) (-)
Schaeffer
(-)
(-)
Fisiologis
Patologis
8) Fungsi koordinasi dan keseimbangan :
Pemeriksaan
Kanan
Kiri
Disdiadokokinesia
Dbn
Dbn
Test telunjuk-hidung
Dbn
Dbn
Test jari-jari
Dbn
Dbn
Romberg test dipertajam
Dbn
Dbn
Tes tandem gait
Dbn
Dbn
9) Sistem otonom :
Berkemih
: Tidak ada keluhan
Defekasi
: Tidak ada keluhan
Keringat
: Tidak ada keluhan
10) Fungsi luhur : Tidak ada gangguan fungsi luhur : Tidak ada kelainan, nyeri tekan (-) 11) Vertebra
11
Keterangan
IV. PEMERIKSAAN PENUNJANG
Pemeriksaan laboratorium klinik dilakukan pada tanggal 19 Oktober 2017 1. WBC
: 12,24.109/L
(normal: 4-10.109/L)
2. HGB
: 13,8 g/dL
(normal: 11-16 g/dL)
3. HCT
: 42,4%
(normal: 35-50%)
4. PLT
: 315.109/L
(normal: 100-300.109/L)
5. Ureum
: 9 mg/dL
(normal: 15-39 mg/dL)
6. Kreatinin
: 0,9 mg/dL
(normal: 0,9-1,3 mg/dL)
7. GDS
: 106 mg/dL
(normal: <200 mg/dL)
8. Natrium
: 146,01 mmol/L
(normal: 135-148 mmol/L)
9. Kalium
: 4,07 mmol/L
(normal: 3,5-5,3 mmol/L)
10. Chlorida
: 105,23 mmol/L
(normal: 98-110 mmol/L)
11. Calcium
: 1,29 mmol/L
(normal: 1,19-1,23 mmol/L)
Pasien dianjurkan untuk melakukan pemeriksaan rontgen kepala karena pasien mengeluhkan nyeri kepala bagian belakang akibat terjatuh saat kejang. Hasil rontgen kepala AP Lateral: Tidak ditemukan kelainan
12
V. RINGKASAN S:
Pasien diantar keluarga dengan keluhan kejang-kejang sejak ± 2 hari SMRS. Kejang berulang-ulang sebanyak 2-3 kali per hari yang berlangsung selama ± 15 menit. Kejang terjadi di seluruh tubuh disertai dengan kaku dan kelonjotan, pasien dalam keadaan tidak sadar. Saat kejang, mata terbelalak ke atas, mulut mengeluarkan busa dan lidah tergigit. Pasien mengaku sebelum kejang, pasien merasakan badan yang mulai kaku terutama di daerah bibir lalu terjadilah kejang. Keluarga pasien juga mengatakan, saat kejang tampak badan pasien yang kaku seluruh badan. Kaku seluruh tubuh ini tetap berlangsung walaupun kejang pasien sudah berhenti. Badan kaku ini berlangsung 15-20 menit. Pasien mengaku pada saat badan pasien kaku, pasien dalam keadaan sadar. Keluarga pasien mengatakan, saat kejang pasien sempat terjatuh dan kepala terbentur sehingga saat ini pasien merasakan nyeri di bagian belakang kepalanya. Keluhan pasien tidak disertai dengan demam, mual (+), BAB dan BAK normal. Pasien tidak mengeluhkan baik pandangan maupun bicaranya terganggu, juga tidak ada kelemahan anggota gerak. Keluarga mengatakan bahwa dalam 1 bulan ini pasien mengkonsumsi obat-obatan dari RS jiwa dan pasien rutin minum obat tersebut. Riwayat trauma waktu kecil di sangkal, riwayat kejang demam disangkal, riwayat epilepsi dalam keluarga disangkal.
O: Keadaan umum : Tampak sakit sedang
Kesadaran
: Compos mentis
Gizi
: cukup
Suhu
: 36,6ºC
Nadi
: 86 x/m
Pernapasan
: 21 x/m
GCS 15 (E:4, V:5, M:6)
Tekanan Darah : 120/80 mmHg Berat Badan Tinggi Badan
: 50 kg : 170 cm
13
Status Neurologikus
Tanda rangsang meningeal
: negatif
Saraf cranialis
: baik
Fungsi Motorik
Lka
Lki
Tka
5
5
5
5
Tonus
Normal
Normal
Normal
Normal
Klonus
-
-
R. Fisiologis
Normal
Normal
Normal
Normal
R. Patologis
-
-
-
-
Kekuatan
Fungsi Sensorik
: Tidak ada kelainan
Fungsi Luhur
: Tidak ada kelainan
Fungsi Vegetatif
: Tidak ada kelainan
Gerakan Abnormal
:-
-
Tki
-
A: Diagnosis Kerja: Diagnosis Neurologi
Diagnosis Klinis
: Kejang + sindrom ekstrapiramidal
Diagnosis Topik
: Korteks serebri
Diagnosis Etiologi : Epilepsi serangan umum tipe tonik-klonik dan intoksikasi antipsikotik
P: Non Medikamentosa:
Pertolongan pertama o
Pasien dan anggota keluarga harus diberitahukan dengan jelas tindakan apa yang harus diambil bila menghadapi serangan.
o
Jangan memasukan sesuatu ke dalam mulut pasien atau memaksa membuka mulut pasien.
o
Tidak perlu diusahakan mengekang gerakan kejang karena
o
hanya akan berakibat menimbulkan cedera. Pasien harus dibiarkan untuk mengalami kejang seperti seharusnya.
14
o
Pasien harus dipindahkan ke tempat yang aman.
o
Setelah serangan balikkan pasien pada salah satu sisi dalam posisi setengah telungkup untuk membantu pernafasan pasien dan pemulihan serta berikan bantalan di kepala dengan sesuatu yang lunak.
o
Jalan nafas harus diperiksa dan diawasi
o
Setelah suatu serangan pasien harus ditemani dan diberi dukungan hingga fase bingung yang menyertainya telah hilang seluruhnya dan pasien memperoleh kembali keseimbangannya.
Medikamentosa:
IVFD RL 20 tpm
Injeksi Diazepam 1 ampul bolus pelan jika kejang Injeksi ranitidine 2x1 ampul
Terapi lain teruskan -
Haloperidol 2x5mg (ditunda)
-
THP 1x2mg (ditunda)
-
Merlopam 1x2mg (ditunda)
-
Depakote 1x250mg
-
Phenytoin 2x100 mg.
Mx : Pantau tanda-tanda vital dan perbaikan keluhan Ex : Memberi penjelasan kepada keluarga mengenai keadaan pasien dan
terapi yang akan diberikan, mengatur pola makan yang sehat dan seimbang, penanganan stress dan istirahat yang cukup, serta kontrol pemeriksaan secara teratur. Jangan panik jika serangan kambuh, jaga lidah pasien agar tidak tergigit, jangan meninggalkan pasien seorang diri karena sewaktu-waktu kejang pasien bisa muncul.
15
VI. PROGNOSIS
Quo Ad Vitam: Ad bonam. Pada pasien ini tidak ditemukan kelainan tanda vital, serta tidak mengalami penurunan kesadaran ataupun muntah proyektil.
Quo Ad Sanationam: Dubia Ad Bonam. kejang yang diderita pasien tidak diketahui kausanya, sehingga rekurensi dapat terjadi, namun dengan terapi yang adekuat, gejala yang berat dapat diminimalisir dan dengan terapi preventif diharapkan dapat meminimalisir frekuensi serangan.
Quo Ad Functionam: Dubia Ad Bonam. Epilepsi tidak mudah disembuhkan secara total, hanya dapat ditekan rekurensinya.
VI. RIWAYAT PERKEMBANGAN a. Follow Up Tanggal 20 Oktober 2017 (perawatan hari ke-2)
S : Masih
terdapat
serangan
berulang,
nyeri
kepala
berkurang, leher pasien terasa kaku, mual (+)
O: Kesadaran
: GCS 15 (E:4, V:5, M:6)
Suhu
: 36,4ºC
Nadi
: 80 x/m
Pernapasan
: 20 x/m
Tekanan Darah : 120/80 mmHg
Status Neurologikus
Tanda rangsang meningeal
: negatif
Saraf cranialis
: baik
Fungsi Motorik
Lka
Lki
Tka
5
5
5
5
Tonus
Normal
Normal
Normal
Normal
Klonus R. Fisiologis
Normal
Normal
Normal
Normal
R. Patologis
-
-
-
-
Kekuatan
16
Tki
Fungsi Sensorik
: Tidak ada kelainan
Fungsi Luhur
: Tidak ada kelainan
Fungsi Vegetatif
: Tidak ada kelainan
Gerakan Abnormal : -
A: Diagnosis Kerja: Diagnosis Neurologi
Diagnosis Klinis
: Kejang + sindrom ekstrapiramidal
Diagnosis Topik
: Korteks serebri
Diagnosis Etiologi : Epilepsi serangan umum tipe Tonik-klonik
dan
intoksikasi
antipsikotik
P: Medikamentosa
IVFD RL 20 tpm
Injeksi Diazepam 1 ampul bolus pelan jika kejang
Drip Phenytoin 1 ampul
Injeksi ranitidine 2x1 ampul
Depakote 1x250mg
b. Follow Up Tanggal 21 Oktober 2017 (perawatan hari ke-3)
S : Masih terdapat serangan berulang, nyeri kepala (-), leher
kaku (-), mual (-)
O: Kesadaran
: GCS 15 (E:4, V:5, M:6)
Suhu
: 36,4ºC
Nadi
: 78 x/m
Pernapasan
: 20 x/m
Tekanan Darah : 120/80 mmHg
Status Neurologikus
Tanda rangsang meningeal
: negatif
Saraf cranialis
: baik
17
Fungsi Motorik
Lka
Lki
Tka
5
5
5
5
Tonus
Normal
Normal
Normal
Normal
Klonus
-
-
R. Fisiologis
Normal
Normal
Normal
Normal
R. Patologis
-
-
-
-
Kekuatan
Fungsi Sensorik
: Tidak ada kelainan
Fungsi Luhur
: Tidak ada kelainan
Fungsi Vegetatif
: Tidak ada kelainan
Gerakan Abnormal
:-
Tki
-
-
A: Diagnosis Kerja: Diagnosis Neurologi
- Diagnosis Klinis
: Kejang + Sindrom Eksrapiramidal
- Diagnosis Topik
: Korteks serebri
- Diagnosis Etiologi
: Epilepsi serangan umum Tipe Tonik-klonik
P: Medikamentosa IVFD RL 20 tpm Injeksi Diazepam 1 ampul bolus pelan jika kejang
Depakote 1x250mg
Phenytoin 2x100 mg
18
BAB III TINJAUAN PUSTAKA
3.1 Definisi
Kejang merupakan manifestasi berupa pergerakan secara mendadak dan tidak terkontrol yang disebabkan oleh kejang involunter saraf otak.3 Epilepsi menurut JH Jackson (1951) didefinisikan sebagai suatu gejala akibat cetusan pada jaringan saraf yang berlebihan dan tidak beraturan. Cetusan tersebut dapat melibatkan sebagian kecil otak (serangan parsial atau fokal) atau yang lebih luas pada kedua hemisfer otak (serangan umum). Epilepsi merupakan gejala klinis yang kompleks yang disebabkan berbagai proses patologis di otak. Epilepsi ditandai dengan cetusan neuron yang berlebihan dan dapat dideteksi dari gejala klinis, rekaman elektroensefalografi (EEG), atau keduanya. Epilepsi adalah suatu kelainan di otak yang ditandai adanya bangkitan epileptik yang berulang (lebih dari satu episode).3 Menurut
International
League
Against
Epilepsy
(ILAE)
dan
International Bureau for epilepsy (IBE) pada tahun 2005 epilepsi didefinisikan sebagai suatu kelainan otak yang ditandai oleh adanya factor predisposisi yang dapat mencetuskan kejang epileptik, perubahan neurobiologis, kognitif, psikologis dan adanya konsekuensi social yang diakibatkannya. Definisi ini membutuhkan sedikitnya satu riwayat kejang epileptik sebelumnya. Sedangkan bangkitan epileptik didefinisikan sebagai tanda dan/atau gejala yang timbul sepintas (transien) akibat aktivitas neuron yang berlebihan atau sinkron yang terjadi di otak.4 Epilepsi adalah sindroma otak kronis dengan berbagai macam etiologi dengan ciri-ciri timbulnya serangan paroksismal dan berkala akibat lepas muatan listrik neuron-neuron otak secara berlebihan dengan berbagai manifestasi klinik dan laboratorik. Status epileptikus merupakan kejang yang terjadi >30 menit atau kejang berulang tanpa disertai pemulihan kesadaran diantara dua serangan kejang.4
19
3.2 Epidemiologi
Epilepsi merupakan salah satu kelainan otak yang serius dan umum terjadi. Sekitar lima puluh juta orang di seluruh dunia mengalami kelainan ini. Angka epilepsy lebih tinggi di negara berkembang. Insiden epilepsy di negara maju ditemukan sekitar 50/100.000. Sementara di Negara berkembang mencapai 100/100.000.5 Di Negara berkembang sekitar 80-90% diantaranya tidak mendapatkan pengobatan apapun. Penderita laki-laki umumnya sedikit lebih banyak dibandingkan dengan perempuan. Insiden tertinggi terjadi pada anak berusia dibawah 2 tahun dan usia lanjut di atas 65 tahun. Umumnya paling tinggi pada umur 20 tahun pertama, menurun sampai umur 50 th, dan meningkat lagi setelahnya terkait dengan kemungkinan terjadinya penyakit cerebrovascular. Pada 75% pasien, epilepsy terjadi sebelum umur 18 tahun.6
3.3 Etiologi
Etiologi Epilepsi kemungkinan disebabkan oleh: A. Aktivitas saraf abnormal akibat proses patologis yang mempengaruhi otak B. Gangguan biokimia atau metabolik dan lesi mikroskopik di otak akibat trauma otak pada saat lahir atau cedera lain C. Pada bayi penyebab paling sering adalah asfiksi atau hipoksia waktu lahir, trauma intrakranial waktu lahir, gangguan metabolik, malformasi congenital pada otak, atau infeksi D. Pada anak-anak dan remaja mayoritas adalah epilepsy idiopatik, pada umur 5-6 tahun disebabkan karena febril E. Pada usia dewasa penyebab lebih bervariasi idiopatik, karena birth trauma, cedera kepala, tumor otak (usia 30-50 th), penyakit serebro vaskuler (> 50 th).
Ditinjau dari penyebab, epilepsi dapat dibagi menjadi 3 golongan, yaitu :
Epilepsi idiopatik : penyebabnya tidak diketahui, meliputi ±50% dari penderita epilepsi anak dan umumnya mempunyai predisposisi genetic, 20
awitan biasanya pada usia >3tahun. Dengan berkembangnya ilmu pengetahuan dan alat-alat diagnostic yang canggih kelompok ini semakin sedikit.
Epilepsi simptomatik : disebabkan oleh kelainan / lesi pada susunan saraf pusat. Misalnya : post trauma kapitis, infeksi susunan saraf pusat (SSP), gangguan metabolic, malformasi otak kongenital, asphyxia neonatorum, lesi desak ruang, gangguan peredaran darah otak, toksik serta kelainan neurodegenerative.
Epilepsy kriptogenik : dianggap simtomatik tetapi penyebabnya belum diketahui, termasuk disini adalah sindrom West, sindrom LennoxGastaut dan epilepsy mioklonik.7
3.4 Klasifikasi Epilepsi dapat diklasifikasikan menurut klasifikasi bangkitan epilepsi
dan klasifikasi sindroma epilepsi. Klasifikasi sindroma epilepsi berdasarkan faktor-faktor tipe bangkitan (umum atau terlokalisasi), etiologi (simtomatik atau idiopatik), usia dan situasi yang berhubungan dengan bangkitan. Sedangkan klasifikasi epilepsi menurut bangkitan epilepsi berdasarkan gambaran klinis dan elektroensefalogram. Klasifikasi ILAE (1981) untuk tipe bangkitan epilepsi adalah : 3
1. Bangkitan parsial/fokal 1) Bangkitan parsial sederhana (tanpa gangguan kesadaran)
a. Dengan gejala motorik b. Dengan gejala sensorik c. Dengan gejala otonomik d. Dengan gejala psikik 2) Bangkitan parsial kompleks (dengan gangguan kesadaran)
a. Awalnya parsial sederhana, kemudian diikuti gangguan kesadaran
Bangkitan parsial sederhana, diikuti gangguan kesadaran Dengan automatisme
b. Dengan gangguan kesadaran sejak awal bangkitan
21
Dengan gangguan kesadaran saja
Dengan automatisme
3) Bangkitan parsial yang menjadi umum sekunder (tonik-klonik, tonik
atau klonik) a. Bangkitan parsial sederhana berkembang menjadi bangkitan umum b. Bangkitan parsial kompleks berkembang menjadi bangkitan umum c. Bangkitan
parsial
sederhana
berkembang
menjadi
parsial
kompleks, dan berkembang menjadi bangkitan umum
2. Bangkitan Umum (Konvulsi atau Non-Konvulsi) 1) Bangkitan lena (absence) Lena (absence), sering disebut petitmal. Serangan terjadi secara tiba-
tiba, tanpa di dahului aura.Kesadaran hilangselama beberapa detik, di tandai dengan terhentinya percakapan untuk sesaat, pandangan kosong, atau mata berkedip dengan cepat. Hampir selalu pada anakanak, mungkin menghilang waktu remaja atau diganti dengan serangan tonik-klonik. 2) Bangkitan mioklonik
Mioklonik, serangan-serangan ini terdiri atas kontraksi otot yang singkat dan tiba-tiba, bisa simetris dan asimetris, sinkronis atau asinkronis. Muncul akibat adanya gerakan involuntar sekelompok otot skeletal yang muncul secara tiba-tiba dan biasanya hanya berlangsung sejenak. Biasanya tidak ada kehilangan kesadaran selama serangan. Gambaran klinis yang terlihat adalah gerakan ekstensi dan fleksi lengan atau keempat anggota gerak yang berulang dan terjadinya cepat. 3) Bangkitan tonik
Tonik, serangan ini terdiri atas tonus otot dengan tiba-tiba meningkat dari otot ekstremitas, sehingga terbentuk sejumlah sikap yang khas. Berupa pergerakan tonik satu ekstremitas atau pergerakan tonik
22
umum dengan ekstensi lengan dan tungkai yang menyerupai deserebrasi atau ekstensi tungkai dan fleksi lengan bawah dengan bentuk dekortikasi. Biasanya
kesadaran hilang hanya beberapa
menit terjadi pada anak 1-7 tahun. 4) Bangkitan atonik/astatik
Atonik, serangan atonik terdiri atas kehilangan tonus tubuh. Keadaan ini bisa di menifestasikan oleh kepala yang terangguk-angguk, lutut lemas, atau kehilangan total dari tonus otot dan Px bisa jatuh serta mendapatkan
luka-luka.
Biasanya
penderita
akan
kehilangan
kekuatan otot dan terjatuh secara tiba-tiba. Bangkitan ini jarang terjadi. 5) Bangkitan klonik
Klonik, serangan di mulai dengan kehilangan kesadaran yang di sebebkan aleh hipotonia yang tiba-tiba atau spasme tonik yng singkat. Keadaan ini diikuti sentakan bilateral yang lamanya 1 menit sampai beberapa menit yang sering asimetris dan bisa predominasi pada satu anggota tubh. Serangan ini bisa bervariasi lamanya, seringnya dan bagian dari sentakan ini satu saat ke satu saat lain. 6) Bangkitan tonik-klonik
Tonik-Klonik, biasa di sebut grandmal. Merupakan jenis serang klasik epilepsi serangan ini di tandai oleh suatu sensasi penglihatan atau pendengaran selama beberapa saat yang diikuti oleh kehilangan kesadaran secara cepat. Secara tiba-tiba penderita akan jatuh disertai dengan teriakan, pernafasan terhenti sejenak kemudian diiukti oleh kekauan tubuh. Setelah itu muncul gerakan kejang tonik-klonik (gerakan tonik yag disertai dengan relaksaki). Pada saat serangan, penderita tidak sadar, bisa menggigit lidah atau bibirnya sendiri, dan bisa sampai mengompol. Pasca serangan, penderita akan sadar secara perlahan dan merasakan tubuhnya terasa lemas dan biasanya akan tertidur setelahnya.
23
3. Bangkitan Epileptik yang Tidak Tergolongkan
Klasifikasi ILAE (1989) untuk tipeepilepsy dan sindrom epilepsiadalah :3
1. Fokal / Partial (localized related) 1.1. Idiopatik (berhubungan dengan usia awitan) 1.1.1. Epilepsi benigna dengan gelombang paku di daerah sentrotemporal (childhood epilepsy with centrotemporal spikes) 1.1.2. Epilepsy benigna dengan gelombang paroksismal pada daerah oksipital 1.1.3. Epilepsi primer saat membaca (primary reading epilepsy) 1.2. Simtomatik 1.2.1. Epilepsi parsial kontinua yang kronik progresif pada anak – anak (Kojenikow’s Syndrome) 1.2.2. Sindrom dengan bangkitan yang dipresipitasi oleh suatu rangsangan
(kurang
tidur,
alcohol,
obat-obatan,
hiperventilasi, refleks epilepsy, stimulasi fungsi kortikal tinggi, membaca) 1.2.3. Epilepsi lobus temporal 1.2.4. Epilepsi lobus frontal 1.2.5. Epilepsi lobus parietal 1.2.6. Epilepsi lobus oksipital 1.3. Kriptogenik
2. Epilepsi Umum 2.1. Idiopatik (sindrom epilepsi berurutan sesuai dengan usia awitan) 2.1.1. Kejang neonatus familial benigna 2.1.2. Kejang neonatus benigna 2.1.3. Kejang epilepsi mioklonik pada remaja 2.1.4. Epilepsi lena pada anak 2.1.5. Epilepsi lena pada remaja
24
2.1.6. Epilepsi mioklonik pada remaja 2.1.7. Epilepsi dengan bangkitan umum tonik – klonik pada saat terjaga 2.1.8. Epilepsi umum idiopatik lain yang tidak termasuk salah satu di atas 2.1.9. Epilepsi tonik klonik yang dipresipitasi dengan aktivasi yang spesifik 2.2. Kriptogenik atau Simtomatik (berurutan sesuai dengan peningkatan usia) 2.2.1. Sindrom West (spasme infantiil dan spasme salam) 2.2.2. Sindrom Lencox – Gastaut 2.2.3. Epilepsi Mioklonik astatic 2.2.4. Epilepsi mioklonik lena 2.3. Simtomatik 2.3.1. Etiologi non spesifik
Ensefalopati mioklonik dini
Ensefalopati pada infantiil dini dengan burst supresi
Epilepsi simtomatik umum lainnya yang tidak termasuk di atas
2.3.2. Sindrom Spesifik 2.3.3. Bangkitan epilepsi sebagai komplikasi penyakit lain
3. Epilepsi dan Sindrom yang tak dapat ditentukan fokal atau umum 3.1. Bangkitan Umum dan fokal 3.1.1. Bangkitan neonatal 3.1.2. Epilepsi mioklonik berat pada bayi 3.1.3. Epilepsi dengan gelombang paku kontinyu selama tidur dalam 3.1.4. Epilepsi afasia yang didapat (Sindrom Landau – Kleffner) 3.1.5. Epilepsi yang tidak termasuk dalam klasifikasi diatas 3.2. Tanpa gambaran tegas fokal atau umum
25
4. Sindrom Khusus 4.1. Bangkitan yang berkaitan dengan situasi tertentu 4.1.1. Kejang demam 4.1.2. Bangkitan kejang / status epileptikus yang timbul hanya sekali( isolated) 4.1.3. Bangkitan yang hanya terjadi bila terdapat kejadian metabolic akut, atau toksis, alcohol, obat-obatan, eklamsia, hiperglikemi non ketotik 4.1.4. Bangkitan berkaitan dengan pencetus spesifik (epilepsi reflektorik)
3.5 Patofisiologi
Serangan epilepsi terjadi apabila proses eksitasi di dalam otak lebih dominan dari pada proses inhibisi. Perubahan-perubahan di dalam eksitasi aferen, disinhibisi, pergeseran konsentrasi ion ekstraseluler, voltage-gated ion channel opening, dan menguatnya sinkronisasi neuron sangat penting artinya dalam hal inisiasi dan perambatan aktivitas serangan epileptik.Aktivitas neuron diatur oleh konsentrasi ion di dalam ruang ekstraseluler dan intraseluler, dan oleh gerakan keluar-masuk ion-ion menerobos membran neuron.
26
Gambar : Silbernagl S. Color Atlas Pathopysiology. New York : Thieme.2000
27
Lima buah elemen fisiologi sel dari neuron–neuron tertentu pada korteks serebri penting dalam mendatangkan kecurigaan terhadap adanya epilepsi:
1. Kemampuan neuron kortikal untuk bekerja pada frekuensi tinggi dalam merespon depolarisasi diperpanjang akan menyebabkan eksitasi sinaps dan inaktivasi konduksi Ca2+ secara perlahan. 2. Adanya koneksi eksitatorik rekuren (recurrent excitatory connection), yang memungkinkan adanya umpan balik positif yang membangkitkan dan menyebarkan aktivitas kejang. 3. Kepadatan komponen dan keutuhan dari pandangan umum terhadap sel-sel piramidal pada daerah tertentu di korteks, termasuk pada hippocampus, yang bias dikatakan sebagai tempat paling rawan untuk terkena aktivitas kejang. Hal ini menghasilkan daerah-daerah potensial luas, yang kemudian memicu aktifitas penyebaran nonsinaptik dan aktifitas elektrik. 4. Bentuk siap dari frekuensi terjadinya potensiasi (termasuk juga merekrut respon NMDA) menjadi ciri khas dari jaras sinaptik di korteks. 5. Efek berlawanan yang jelas (contohnya depresi) dari sinaps inhibitor rekuren dihasilkan dari frekuensi tinggi peristiwa aktifasi. Serangan epilepsi akan muncul apabila sekelompok kecil neuron abnormal mengalami depolarisasi yang berkepanjangan berkenaan dengan cetusan potensial aksi secara tepat dan berulang-ulang. Secara klinis serangan epilepsi akan tampak apabila cetusan listrik dari sejumlah besar neuron abnormal muncul secara bersamasama, membentuk suatu badai aktivitas listrik di dalam otak. Badai listrik tadi menimbulkan bermacam-macam serangan epilepsi yang berbeda (lebih dari 20 macam), bergantung pada daerah dan fungsi otak yang terkena dan terlibat.Dengan demikian dapat dimengerti apabila epilepsi tampil dengan manifestasi yang sangat bervariasi.
Sebagai penyebab dasar terjadinya epilepsi terdiri dari 3 kategori yaitu : 1. Non Spesifik Predispossing Factor ( NPF ) yang membedakan seseorang peka tidaknya terhadap serangan epilepsi dibanding orang lain. Setiap 28
orang sebetulnya dapat dimunculkan bangkitan epilepsi hanya dengan dosis rangsangan berbeda-beda. 2. Specific Epileptogenic Disturbances (SED). Kelainan epileptogenik ini dapat diwariskan maupun didapat dan inilah yang bertanggung jawab atas timbulnya epileptiform activity di otak. Timbulnya bangkitan epilepsi merupakan kerja sama SED dan NPF. 3. Presipitating Factor (PF). Merupakan faktor pencetus terjadinya bangkitan epilepsi pada penderita epilepsi yang kronis. Penderita dengan nilai ambang yang rendah, PF dapat membangkitkan reactive seizure dimana SED tidak ada. Ketiga hal di atas memegang peranan penting terjadinya epilepsi sebagai hal dasar. Hipotesis secara seluler dan molekuler yang banyak dianut sekarang adalah : Membran neuron dalam keadaan normal mudah dilalui oleh ion kalium dan ion klorida, tetapi sangat sulit dilalui oleh ion natrium dan ion kalsium. Dengan demikian konsentrasi yang tinggi ion kalium dalam sel ( intraseluler ), dan konsentrasi ion natrium dan kalsium ekstraseluler tinggi. Sesuai dengan teori dari Dean (Sodium pump), sel hidup mendorong ion natrium keluar sel, bila natrium ini memasuki sel, keadaan ini sama halnya dengan ion kalsium. Bangkitan epilepsi karena transmisi impuls yang berlebihan di dalam otak yang tidak mengikuti pola yang normal, sehingga terjadi sinkronisasi dari impuls. Sinkronisasi ini dapat terjadi pada sekelompok atau seluruh neuron di otak secara serentak, secara teori sinkronisasi ini dapat terjadi. 1. Fungsi jaringan neuron penghambat (neurotransmitter GABA dan Glisin) kurang optimal hingga terjadi pelepasan impuls epileptik secara berlebihan. 2. Keadaan dimana fungsi jaringan neuron eksitatorik (Glutamat dan Aspartat) berlebihan hingga terjadi pelepasan impuls epileptik berlebihan juga.
29
Fungsi neuron penghambat bisa kurang optimal antara lain bila konsentrasi GABA (gamma aminobutyric acid ) tidak normal. Pada otak manusia
yang
menderita
epilepsi
ternyata
kandungan
GABA
rendah. Hambatan oleh GABA dalam bentuk inhibisi potensial postsinaptik (IPSPs = inhibitory post synaptic potentials) adalah lewat reseptor GABA. Suatu hipotesis mengatakan bahwa aktifitas epileptic disebabkan oleh hilang atau kurangnya inhibisi oleh GABA, zat yang merupakan neurotransmitter inhibitorik utama pada otak. Ternyata pada GABA ini sama sekali tidak sesederhana seperti yang disangka semula. Riset membuktikan bahwa perubahan pada salah satu komponennya bias menghasilkan inhibisi tak lengkap yang akan menambah rangsangan. Sinkronisasi dapat terjadi pada sekelompok kecil neuron saja, sekelompok besar atau seluruh neuron otak secara serentak. Lokasi yang berbeda dari kelompok neuron ini menimbulkan manifestasi yang berbeda dari serangan epileptik. Secara teoritis ada 2 penyebabnya yaitu fungsi neuron penghambat kurang optimal ( GABA ) sehingga terjadi pelepasan impuls epileptik secara berlebihan, sementara itu fungsi jaringan neuron eksitatorik ( Glutamat ) berlebihan. Berbagai macam penyakit dapat menyebabkan terjadinya perubahan keseimbangan antara neuron inhibitor dan eksitator, misalnya kelainan heriditer, kongenital, hipoksia, infeksi, tumor, vaskuler, obat atau toksin.Kelainan tersebut dapat mengakibatkan rusaknya faktor inhibisi dan atau meningkatnya fungsi neuron eksitasi, sehingga mudah timbul epilepsi bila ada rangsangan yang memadai. Daerah yang rentan terhadap kerusakan bila ada abnormalitas otak antara lain di hipokampus. Oleh karena setiap serangan kejang selalu menyebabkan kenaikan eksitabilitas neuron, maka serangan kejang cenderung berulang dan selanjutnya menimbulkan kerusakan yang lebih luas. Pada pemeriksaan jaringan otak penderita epilepsi yang mati selalu didapatkan kerusakan di daerah hipokampus. Oleh karena itu tidak mengherankan bila lebih dari 50% epilepsi parsial, fokus asalnya berada di lobus temporalis dimana terdapat hipokampus dan merupakan tempat asal epilepsi dapatan. Pada bayi dan anakanak, sel neuron masih imatur sehingga mudah terkena efek traumatik, gangguan metabolik, gangguan sirkulasi, infeksi dan sebagainya.Efek ini dapat
30
berupa kemusnahan neuron-neuron serta sel-sel glia atau kerusakan pada neuron atau glia, yang pada gilirannya dapat membuat neuron glia atau lingkungan neuronal epileptogenik. Kerusakan otak akibat trauma, infeksi, gangguan metabolisme dan sebagainya, semuanya dapat mengembangkan epilepsi.Akan tetapi anak tanpa brain damage dapat juga menjadi epilepsi, dalam hal ini faktor genetik dianggap penyebabnya, khususnya grand mal dan petit mal serta benigne centrotemporal epilepsy. Walaupun demikian proses yang mendasari serangan epilepsi idiopatik, melalui mekanisme yang sama. Dasar serangan epilepsi ialah gangguan fungsi neuron-neuron otak dan transmisi pada sinaps. Tiap sel hidup, termasuk neuron-neuron otak mempunyai kegiatan listrik yang disebabkan oleh adanya potensial membrane sel. Potensial membrane neuron bergantung pada permeabilitas selektif membrane neuron, yakni membrane sel mudah dilalui oleh ion K dari ruang ekstraseluler ke intraseluler dan kurang sekali oleh ion Ca, Na dan Cl, sehingga di dalam sel terdapat kosentrasi tinggi ion K dan kosentrasi rendah ion Ca, Na, dan Cl, sedangkan keadaan sebaliknya terdapat diruang ekstraseluler. Perbedaan konsentrasi ion-ion inilah yang menimbulkan potensial membran. Ujung terminal neuron-neuron berhubungan dengan dendrite-dendrit dan badan-badan neuron yang lain, membentuk sinaps dan merubah polarisasi membran
neuron
berikutnya.
Ada
dua
jenis
neurotransmitter,
yakni
neurotransmitter eksitasi yang memudahkan depolarisasi atau lepas muatan listrik dan neurotransmitter inhibisi yang menimbulkan hiperpolarisasi sehingga sel neuron lebih stabil dan tidak mudah melepaskan listrik. Diantara neurotransmitter-neurotransmitter eksitasi dapat disebut glutamate,aspartat dan asetilkolin sedangkan neurotransmitter inhibisi yang terkenal ialah gamma
amino butyric acid (GABA) dan glisin. Jika hasil pengaruh kedua jenis lepas muatan listrik dan terjadi transmisi impuls atau rangsang.Hal ini misalnya terjadi dalam keadaan fisiologik apabila potensial aksi tiba di neuron. Dalam keadaan istirahat, membrane neuron mempunyai potensial listrik tertentu dan berada dalam keadaan polarisasi. Aksi potensial akan mencetuskan depolarisasi membrane neuron dan seluruh sel akan melepas muatan listrik.
31
Oleh berbagai factor, diantaranya keadaan patologik, dapat merubah atau mengganggu fungsi membaran neuron sehingga membrane mudah dilampaui oleh ion Ca dan Na dari ruangan ekstra ke intra seluler. Influks Ca akan mencetuskan letupan depolarisasi membrane dan lepas muatan listrik berlebihan, tidak teratur dan terkendali. Lepas muatan listrik demikian oleh sejumlah besar neuron secara sinkron merupakan dasar suatu serangan epilepsy. Suatu sifat khas serangan epilepsy ialah bahwa beberapa saat serangan berhenti akibat pengaruh proses inhibisi. Di duga inhibisi ini adalah pengaruh neuron-neuron sekitar sarang epileptic.Selain itu juga system-sistem inhibisi pra dan pasca sinaptik yang menjamin agar neuron-neuron tidak terusmenerus berlepasmuatan memegang peranan. Keadaan lain yang dapat menyebabkan suatu serangan epilepsy terhenti ialah kelelahan neuron-neuron akibat habisnya zat-zat yang penting untuk fungsi otak. 3.6 Patofisiologi Anatomi Seluler
Secara etiopatologik, bangkitan epilepsi bisa diakibatkan oleh cedera kepala, stroke, tumor otak, infeksi otak, keracunan, atau juga pertumbuhan jarigan saraf yang tidak normal (neurodevelopmental problems), pengaruh genetik yang mengakibatkan mutasi. Mutasi genetik maupun kerusakan sel secara fisik pada cedera maupun stroke ataupun tumor akan mengakibatkan perubahan dalam mekanisme regulasi fungsi dan struktur neuron yang mengarah pada gangguan pertumbuhan ataupun plastisitas di sinapsis. Perubahan (fokus) inilah yang bisa menimbulkan bangkitan listrik di otak. Bangkitan epilepsi bisa juga terjadi tanpa ditemukan kerusakan anatomi
(focus) di otak. Disisi lain epilepsi juga akan bisa mengakibatkan kelainan jaringan otak sehingga bisa menyebabkan disfungsi fisik dan retardasi mental. Dari sudut pandang biologi molekuler, bangkitan epilepsi disebabkan oleh ketidakseimbangan sekresi maupun fungsi neurotransmiter eksitatorik dan inhibitorik di otak.Keadaan ini bisa disebabkan sekresi neurotransmiter dari presinaptik tidak terkontrol ke sinaptik yang selanjutnya berperan pada reseptor NMDA atau AMPA di post-sinaptik.Keterlibatan reseptor NMDA subtipe dari reseptor glutamat (NMDAR) disebut-sebut sebagai patologi terjadinya kejang
32
dan epilepsi.Secara farmakologik, inhibisi terhadap NMDAR ini merupan prinsip kerja dari obat antiepilepsi. Beberapa penelitian neurogenetik membuktikan adanya beberapa faktor yang bertanggungjawab atas bangkitan epilepsi antara lain kelainan pada ligand-gate (sub unit dari reseptor nikotinik) begitu juga halnya dengan voltage-gate (kanal natrium dan kalium). Hal ini terbukti pada epilepsi lobus frontalis yang ternyata ada hubungannya dengan terjadinya mutasi dari resepot nikotinik subunit alfa. Berbicara mengenai kanal ion maka peran natrium, kalium dan kalsium merupakan ion-ion yang berperan dalam sistem komunikasi neuron lewat reseptor. Masuk dan keluarnya ion-ion ini menghasilkan bangkitan listrik yang dibutuhkan dalam komunikasi sesame neuron. Jika terjadi kerusakan atau kelainan pada kanal ion-ion tersebut maka bangkitan listrik akan juga terganggu sebagaimana pada penderita epilepsi. Kanal ion ini berperan dalam kerja reseptor neurotransmiter tertentu.Dalam hal epilepsi dikenal beberapa neurotransmiter seperti gamma aminobutyric acid (GABA) yang dikenal sebagai inhibitorik, glutamat (eksitatorik), serotonin (yang sampai sekarang masih tetap dalam penelitian kaitan dengan epilepsi, asetilkholin yang di hipokampus dikenal sebagai yang bertanggungjawab terhadap memori dan proses belajar. 3.7 Manifestasi Klinis
Kejang parsial simplek Serangan dimana pasien akan tetap sadar. Pasien akan mengalami gejala berupa “déjàvu” : perasaan dimana pernah melakukan sesuatu yang sama sebelumnya. Perasaan senang atau takut yang muncul secara tiba-tiba dan
tidak dapat di jelaskan. Perasaan seperti kebas, tersengat listrik atau ditusuk-tusuk jarum
pada bagian tubuh tertentu. Gerakan yang tidak dapat di kontrol pada bagian tubuh tertentu
33
Halusinasi
Kejang parsialpsikomotor ( ) kompleks Serangan yang mengenai bagian otak yang lebih luas dan biasanya bertahanlebih lama. Pasien mungkin hanya sadar sebagian dan kemungkinan besar tidak akan mengingat waktu serangan. Gejalanya meliputi : gerakan seperti mencucur atau mengunyah melakukan gerakan yang sama berulang – ulang atau memainkan
pakaiannya Melakukan gerakan yang tidak jelas artinya, atau berjalan
berkeliling dalam keadaan seperti sedang bingung Gerakan menendang atau meninju yang berulang – ulang Berbicara tidak jelas seperti menggumam
Kejang tonik klonik (epilepsy grand mal). Merupakan tipe kejang yang paling sering, di mana terdapat dua tahap: tahap tonik atau kaku diikuti tahap klonik atau kelonjotan. Pada serangan jenis ini pasien dapat hanya mengalami tahap tonik atau klonik saja. Serangan jenis ini biasa didahului oleh aura. Aura merupakan perasaan yang dialami sebelum serangan dapat berupa : merasa sakit perut, baal, kunang – kunang, telinga berdengung. Pada tahap tonik pasien dapat : kehilangan kesadaran, kehilangan keseimbangan dan jatuh karena otot yang menegang, berteriak tanpa alasan yang jelas, menggigit pipi bagian dalam atau lidah. Pada saat fase klonik : terjadi kontraksi otot yang berulang dan tidak terkontrol, mengompol atau buang air besar tidak dapat di kontrol, pasien tampak sangat pucat, pasien mungkin akan merasa lemas, letih ataupun ingin tidur setelah serangan semacam ini.
34
3.8 Penegakkan Diagnosis
Untuk
dapat mendiagnosis seseorang
menderita epilepsi dapat
dilakukan melalui anamnesis dan pemeriksaan klinis dengan hasil pemeriksaan EEG dan radiologis. Namun demikian, bila secara kebetulan melihat serangan yang sedang berlangsung maka epilepsi (klinis) sudah dapat ditegakkan.8 1. Anamnesis
Anamnesis harus dilakukan secara cermat, rinci dan menyeluruh, karena pemeriksa hampir tidak pemah menyaksikan serangan yang dialami penderita.Penjelasan perihal segala sesuatu yang terjadi sebelum, selama dan sesudah serangan (meliputi gejala dan lamanya serangan) merupakan informasi yang
sangat berarti dan
merupakan
kunci diagnosis.Anamnesis juga
memunculkan informasi tentang trauma kepala dengan kehilangan kesadaran, meningitis, ensefalitis, gangguan metabolik, malformasi vaskuler dan obatobatan tertentu.
35
Anamnesis (auto dan aloanamnesis), meliputi: -
Pola / bentuk serangan
-
Lama serangan
-
Gejala sebelum, selama dan paska serangan Frekuensi serangan
-
Faktor pencetus
-
Ada / tidaknya penyakit lain yang diderita sekarang
-
Usia saat serangan terjadinya pertama
-
Riwayat kehamilan, persalinan dan perkembangan
-
Riwayat penyakit, penyebab dan terapi sebelumnya
-
Riwayat penyakit epilepsi dalam keluarga
Anamnesa / Alloanamnesa Epilepsi umum : Major : Grand mal (meliputi 75% kasus epilepsi) meliputi tipe primer dan sekunder. Epilepsi grand mal ditandai dengan hilang kesadaran dan bangkitan tonik-klonik. Manifestasi klinik: kedua golongan epilepsi grand mal tersebut sama, perbedaan terletak pada ada tidaknya aura yaitu gejala pendahulu atau preiktal sebelum serangan kejang-kejang. Pada epilepsi grand mal simtomatik selalu didahului aura yang memberi manifestasi sesuai dengan letak fokus epileptogen pada permukaan otak.Aura dapat berupa perasaan tidak enak, melihat sesuatu, mencium bau-bauan tak enak, mendengar suara gemuruh, mengecap sesuatu, sakit kepala dan sebagainya.Bangkitan sendiri dimulai dengan hilang kesadaran sehingga aktivitas penderita terhenti. Kemudian penderita
mengalami
kejang
tonik. otot-otot
berkontraksi sangat
hebat,
penderita terjatuh, lengan fleksi dan tungkai ekstensi. Udara paru-paru terdorong keluar dengan deras sehingga terdengar jeritan yang dinamakan jeritan epilepsi.Kejang tonik ini kemudian disusul dengan kejang klonik yang seolah-olah mengguncang-guncang dan membanting-banting tubuh si sakit ke tanah.Kejang tonik-klonik berlangsung 2 - 3 menit. Selain kejang-kejang terlihat aktivitas vegetatif seperti berkeringat, midriasis pupil, refleks cahaya
36
negatif, mulut berbuih dan sianosis.Kejang berhenti secara berangsur-angsur dan penderita dalam keadaan stupor sampai koma. Kira-kira 4-5 menit kemudian penderita bangun, termenung dan kalau tak diganggu akan tidur beberapa jam. Frekuensi bangkitan dapat setiap jam sampai setahun sekali. Minor : Epilepsi petit mal yang sering disebut pykno epilepsi ialah epilepsi umum yang idiopatik. Meliputi kira-kira 3 -- 4% dari kasus epilepsi.. Bangkitan mioklonus.Bangkitan berupa gerakan involunter misalnya anggukan kepala, fleksi lengan yang terjadi berulang-ulang. Bangkitan terjadi demikian cepatnya sehingga sukar diketahui apakah ada kehilangan kesadaran atau tidak. Bangkitan ini sangat peka terhadap rangsang sensorik. (9) Bangkitan akinetik.Bangkitan berupa kehilangan kelola sikap tubuh karena menurunnya tonus otot dengan tiba-tiba dan cepat sehingga penderita jatuh atau mencari pegangan dan kemudian dapat berdiri kembali. Ketiga jenis bangkitan ini(petit mal, mioklonus dan akinetik) dapat terjadi pada seorang penderita dan disebut trias Lennox-Gastaut. Spasme infantil. Jenis epilepsi ini juga dikenal sebagai salaam spasm atau sindroma West. Timbul pada bayi 3 -- 6 bulan dan lebih sering pada anak laki-laki. Penyebab yang pasti belum diketahui, namun selalu dihubungkan dengan kerusakan otak yang luas seperti proses degeneratif, gangguan akibat trauma, infeksi dan gangguan pertumbuhan. Bangkitan dapat berupa gerakan kepala kedepan atau keatas, lengan ekstensi, tungkai tertarik ke atas, kadangkadang disertai teriakan atau tangisan,miosis atau midriasis pupil, sianosis dan berkeringat. Bangkitan
motorik.Fokus
epileptogen
terletak
di
korteks
motorik.Bangkitan kejang pada salah satu atau sebagian anggota badan tanpa disertai dengan hilang kesadaran. Penderita seringkali dapat melihat sendiri gerakan otot yang misalnya dimulai pada ujung jari tangan, kemudian ke otot
37
lengan bawah dan akhirnya seluruh lengan.Manifestasi klinik ini disebut Jacksonian marche Epilepsi parsial ( 20% dari seluruh kasus epilepsi). 9 Bangkitan sensorik Bangkitan yang terjadi tergantung dari letak fokus epileptogen pada koteks sensorik. Bangkitan somato sensorik dengan fokus terletak di gyrus postcentralis memberi gejala kesemutan, nyeri pada salah satu bagian tubuh, perasaan posisi abnormal atau perasaan kehilangan salah satu anggota badan.Aktivitas listrik pada bangkitan ini dapat menyebar ke neuron sekitarnya dan dapat mencapai korteks motorik sehingga terjadi kejangkejang.Epilepsi lobus temporalis. Jarang terlihat pada usia sebelum 10 tahun. Memperlihatkan gejala fokalitas yang khas sekali. Manifestasi klinik fokalitas ini sangat kompleks karena fokus epileptogennya terletak di lobus temporalis dan bagian otak ini meliputi kawasan pengecap, pendengar, penghidu dan kawasan asosiatif antara ketiga indra tersebut dengan kawasan penglihatan. Manifestasi yang kompleks ini bersifat psikomotorik, dan oleh karena itu epilepsi jenis ini dulu disebut epilepsi psikomotor. Bangkitan psikik berupa halusinasi dan bangkitan motorik lazimnya berupa automatisme. Manifestasi klinik ialah sebagai berikut: Kesadaran hilang sejenak, dalam keadaan hilang kesadaran ini penderita masuk ke alam pikiran antara sadar dan mimpi (twilight state), dalam keadaan ini timbul gejala fokalisasi yang terdiri dari halusinasi dan automatisme yang berlangsung beberapa detik sampai beberapa jam. Halusinasi dan automatisme yang mungkin timbul : Halusinasi dengan automatisme pengecap, halusinasi dengan automatisme
membaca,
halusinasi
dengan
automatisme
penglihatan,
pendengaran atau perasaan aneh.Tujuan pertama dokter ketika bertemu dengan pasien yang mempunyai nyeri kranial adalah untuk menentukan apakah nyeri kepala tergolong primer atau sekunder. Gejala nyeri kepala primer utama di antaranya migren, nyeri kepala tipe tegang, nyeri kepala klaster, atau salah satu migren simpatetik trigeminal dari varian migren atau klaster, yang cenderung kronik, rekuren, dan tidak disertai gejala dan tanda lain dari penyakit neurologis.2
38
Semestinya tidak banyak kesulitan dalam mengenali penyakit nyeri kepala sekunder seperti glaukoma, sinusitis purulen, perdarahan subaraknoid, dan meningitis bakterial atau viral. Semua nyeri kepala lain yang berdasarkan lokasi, kualitas nyerinya dan karakteristik presipitasi tidak sesuai dengan salah satu tipe primer harus dicurigai simtomatik gangguan kranial, servikal atau sistemik.2 2. Pemeriksaan fisik umum dan neurologis
-Pada orang dewasa Pemeriksaan umum dan neurologis dilakukan seperti biasa. Pada kulit dicari adanya tanda neurofibromatosis berupa bercak-bercak coklat, bercakbercak putih, dan adenoma seboseum pada muka pada sklerosi tuberose. Hemangioma pada muka dapat menjadi tanda adanya penyakit Sturge-Weber. Pada toksoplasmosis, fundus okuli mungkin menunjukkan tanda-tanda korio renitis. Mencari kelainan bawaan, asimetri pada kepala, muka, tubuh, dan ekstremitas. 3. Pemeriksaan penunjang
Pemeriksaan Laboratorium Perlu diperiksa kadar glukosa, kalsium, magnesium,
natrium,
bilirubin,
ureum
dalamdarah. Yang
memudahkan
timbulnya kejang ialah keadaan hipoglikemia, hypokalemia, hipomagnesia, hiponatremia, hypernatremia, hiperbilirubinemia, dan uremia. Penting pula diperiksa pH darah karena alkalosis mungkin disertai kejang. Pemeriksaan cairan otak dapat mengungkapkan adanya radang pada otak atau selaputnya, toksoplasmosis susunan saraf sentral, leukemia yang menyerang otak, metastasis
tumor ganas,
adanya
perdarahan
subaraknoid.10,11
39
otak
atau
perdarahan
a. Pemeriksaan radiologis Arteriografi dan
pneumoensefalografi
dilakukan
bila
perlu.
Elektroensefalografi (EEG) merupakan pemeriksaan penunjang yang informatif yang dapat memastikan diagnosis epilepsy. Gelombang yang ditemukan pada EEG berupa gelombang runcing, gelombang paku, runcing lambat, paku lambat. Pemeriksaan tambahan lain adalah pemeriksaan foto polos kepala b. Pemeriksaan psikologis atau psikiatris Untuk diagnosis bila diperlukan uji coba yang dapat menunjukkan naik turunnya kesadaran. c. Elektro ensefalografi (EEG) Pemeriksaan EEG harus dilakukan pada semua pasien epilepsi dan merupakan pemeriksaan penunjang yang paling sering dilakukan untuk rnenegakkan diagnosis epilepsi. Adanya kelainan fokal pada EEG menunjukkan kemungkinan adanya lesi struktural di otak, sedangkan adanya kelainan umum pada EEG menunjukkan kemungkinan adanya kelainan genetik atau metabolik. Rekaman EEG dikatakan abnormal. 1) Asimetris irama dan voltase gelombang pada daerah yang sama di kedua hemisfer otak.
40
2) Irama gelombang tidak teratur, irama gelombang lebih lambat dibanding seharusnya misal gelombang delta. 3) Adanya gelombang yang biasanya tidak terdapat pada anak normal, misalnya gelombang tajam, paku (spike), paku-ombak, paku majemuk, dan gelombang lambat yang timbul secara paroksimal. Bentuk epilepsi tertentu mempunyai gambaran EEG yang khas, misalnya spasme infantile mempunyai gambaran EEG hipsaritmia, epilepsi petit mal gambaran EEG nya gelombang paku ombak 3 siklus per detik (3 spd), epilepsi mioklonik mempunyai gambaran EEG gelombang paku / tajam / lambat dan paku majemuk yang timbul secara serentak (sinkron). a. Rekaman video EEG Rekaman EEG dan video secara simultan pada seorang penderita yang sedang mengalami serangan dapat meningkatkan ketepatan diagnosis dan lokasi sumber serangan. Rekaman video EEG memperlihatkan hubungan antara fenomena klinis dan EEG, serta memberi kesempatan untuk mengulang kembali gambaran klinis yang ada.Prosedur yang mahal ini sangat bermanfaat untuk penderita yang penyebabnya belum diketahui secara pasti, serta bermanfaat pula untuk kasus epilepsi refrakter.Penentuan
lokasi
fokus
epilepsi
parsial
prosedur ini sangat diperlukan pada persiapan operasi.
41
dengan
Gambar: profil EEG pada pasien Epilepsi
42
3.9 Penatalaksanaan Tujuan utama dari terapi epilepsi adalah tercapainya kualitas hidup penderita yang optimal. Ada beberapa cara untuk mencapai tujuan tersebut antara lain menghentikan bangkitan, mengurangi frekuensi bangkitan tanpa efek samping ataupun dengan efek samping seminimal mungkin serta menurunkan angka kesakitan dan kematian.10 Prinsip penanggulangan bangkitan epilepsi dengan terapi farmaka mendasar pada beberapa faktor antara lain blok kanal natrium, kalsium, penggunaan potensi efek inhibisi seperti GABA dan menginhibisi transmisi eksitatorik glutamat. Sekarang ini dikenal dengan pemberian kelompok inhibitorik GABAergik. Beberapa obat antie- pilepsi yang dikenal sampai sekarang ini antara lain karbamazepin (Tegretol), klobazam (Frisium), klonazepam (Klonopin), felbamate (Felbatol), gabapentin (Neurontin), lamotrigin (Lamiktal), levetirasetam (Keppra), oksarbazepin (Trileptal), fenobarbital (Luminal), fenitoin (Dilantin), pregabalin (Lyrica), tiagabine (Gabitril), topiramat (Topamax), asam valproat (Depakene, Convulex) (Brodie and Dichter, 1996). Protokol penanggulangan terhadap status epilepsi dimulai dari terapi benzodiazepin yang kemudian menyusul fenobarbital atau fenitoin.Fenitoin
bekerja
menginhibisi
hipereksitabilitas
kanal
natrium
berperan dalam memblok loncatan listrik.Beberapa studi membuktikan bahwa obat antiepilepsi selain mempunyai efek samping, juga bisa berinteraksi dengan obat-obat lain yang berefek terhadap gangguan kognitif ringan dan sedang. Melihat banyaknya efek samping dari obat antiepilepsi maka memilih obat secara tepat yang efektif sangat perlu mengingat bahwa epilepsi itu sendiri berefek pada kerusakan atau cedera terhadap jaringan otak. Glutamat salah satunya yang berpotensi terhadap kerusakan neuron sebagai aktivator terhadapreseptor NMDA dan reseptor alpha-amino-3-
hydroxy-5-methyl-4-isoxazolepropionic acid (AMPA). Ikatan glutamate dengan reseptor NMDA dan AMPA akan memperboleh-kan ion kalsium masuk kedalam sel yang bisa menstimulasi kematian dari sel.
43
Levetiracetam, termasuk kelompok antikonvulsan terbaru merupakan antiepilepsi yang banyak digunakan walaupun cara kerjanya masih tetap dalam penelitian lanjut. Levetirasetam adalah derivat dari pirrolidona sebagai obat antiepilepsi berikatan dengan protein SVA2 di vesikel sinaptik yang mempunyai mekanisme berbeda dengan obat antiepilepsi lainnya (ikatan dengan receptor NMDA dan AMPA yakni glutamat dan GABA).Pada hewan percobaan ditemukan bahwa potensi levetirasetam
berkorelasi dengan
perpaduan ikatan obat tersebut dengan SVA2 yang menimbulkan efek sebagai antiepilepsi. Dari data penelitian ditemukan bahwa levetiracetam dapat digunakan pada penderita epilepsi dengan berbagai penyakit saraf sentral lainnya seperti pasien epilepsi dengan gangguan kognitif, karena ternyata levetirasetam tidak berinteraksi dengan obat CNS lainnya. Salah satu andalan dari levetirasetam yang berfungsi sebagai antikonvulsan adalah dengan ditemukannya ikatan levetirasetam dengan protein SVA2. Dari beberapa penelitian membuktikan bahwa vesikel protein SVA2 di sinaptik adalah satusatunya protein yang mempunyai ikatan dengan levetirasetam mendasar pada karakter serta pendistribusian molekul protein sebagai antikonvulsan. Keadaan ini terbukti pada hewan percobaan bahwa pemberian levetirasetam yang analog dengan protein SVA2 di vesikel berpotensi sebagai antikonvulsan. Dalam farmakoterapi, terdapat prinsip-prinsip penatalaksanaan untuk 12,13
epilepsi yakni: 1. Obat anti epilepsi (OAE) mulai diberikan apabila diagnosis epilepsi sudah dipastikan, terdapat minimum 2 kali bangkitan dalam setahun. Selain itu pasien dan keluarganya harus terlebih dahulu diberi penjelasan mengenai tujuan pengobatan dan efek samping dari pengobatan tersebut. 2. Terapi dimulai dengan monoterapi 3. Pemberian obat dimulai dari dosis rendah dan dinaikan secara bertahap samapai dengan dosis efektif tercapai atau timbul efek samping obat. 4. Apabila dengan penggunakan OAE dosis maksimum tidak dapat mengontrol bangkitan, maka ditambahkan OAE kedua dimana bila sudah
44
mencapai dosis terapi, maka OAE pertama dosisnya diturunkan secara perlahan. 5. Adapun penambahan OAE ketiga baru diberikan setelah terbukti bangkitan tidak terkontrol dengan pemberian OAE pertama dan kedua. Berikut merupakan OAE pilihan pada epilepsi berdasarkan mekanisme kerjanya : 1) Karbamazepin : Blok sodium channel konduktan pada neuron, bekerja juga pada reseptor NMDA, monoamine dan asetilkolin. 2) Fenitoin : Blok sodium channel dan inhibisi aksi konduktan kalsium dan klorida dan neurotransmitter yang voltage dependen 3) Fenobarbital : Meningkatkan aktivitas reseptor GABA, menurunkan eksitabilitas glutamate, menurunkan konduktan natrium, kalium dan kalsium. 4) Valproat : Diduga aktivitas GABA glutaminergik, menurunkan ambang konduktan kalsium (T) dan kalium. 5) Levetiracetam : Tidak diketahui 6) Gabapentin : Modulasi kalsium channel tipe N 7) Lamotrigin : Blok konduktan natrium yang voltage dependent 8) Okskarbazepin : Blok sodium channel, meningkatkan konduktan kalium, modulasi aktivitas channel. 9) Topiramat : Blok sodium channel, meningkatkan influks GABA-Mediated chloride, modulasi efek reseptor GABA. 10) Zonisomid : Blok sodium, potassium, kalsium channel. Inhibisi eksitasi glutamate. Setelah bangkitan terkontrol dalam jangka waktu tertentu, OAE dapat dihentikan tanpa kekambuhan. Penghentian sebaiknya dilakukan secara bertahap setelah 2 tahun bebas dari bangkitan kejang.
45
Ada 2 syarat yang penting diperhatikan ketika hendak menghentikan OAE yakni: 1. Syarat umum yang meliputi : -
Penghentian
OAE
telah
didiskusikan
terlebih
dahulu
dengan
pasien/keluarga dimana penderita sekurang-kurangnya 2 tahun bebas bangkitan. -
Gambaran EEG normal
-
Harus dilakukan secara bertahap, umumnya 25% dari dosis semula setiap bulan dalam jangka waktu 3-6 bulan.
-
Bila penderita menggunakan 1 lebih OAE maka penghentian dimulai dari 1 OAE yang bukan utama.
2. Kemungkinkan kekambuhan setelah penghentian OAE -
Usia semakin tua, semakin tinggi kemungkinan kekambuhannya.
-
Epilepsi simtomatik
-
Gambaran EEG abnormal
-
Semakin lamanya bangkitan belum dapat dikendalikan.
-
Penggunaan OAE lebih dari 1
-
Masih mendaptkan satu atau lebih bangkitan setelah memulai terapi
-
Mendapat terapi 10 tahun atau lebih. Kekambuhan akan semakin kecil kemungkinannya bila penderita telah bebas bangkitan selama 3-5 tahun atau lebih dari 5 tahun. Bila bangkitan timbul kembali maka pengobatan menggunakan dosis efektif terakhir, kemudian evaluasi.
46
BAB IV ANALISIS KASUS
Tn. Ahmad Latiful, 21 tahun, mengalami episode kejang dengan riwayat menderita kejang pertama pada usia 10 tahun ketika pasien kelas 5 SD. Pada kejang kali ini hingga pasien dibawa ke rumah sakit, dikatakan pasien kejang berulang-ulang sebanyak 2-3 kali per hari yang berlangsung selama ± 15 menit. Dari klasifikasi kejang, dicurigai merupakan kejang umum tonikklonik. Kejang jenis ini paling banyak ditemui. Dimana pada kejang ini terjadi hilangnya
kesadaran sehingga pasien terjatuh jika sebelumnya pada posisi
berdiri. Pada saat episode, dikatakan penderita menghentak-hentakkan tangan dan kaki yang mengarahkan pada jenis “klonik”. Kejang ini juga bisa disertai dengan kelemahan otot sfingter kantung kemih hingga os mengompol, namun pada pasien ini tidak ditemukan. Pasien saat ini juga sedang mengkonsumsi obat antipsikotik selama 1 bulan yaitu Haloperidol 2 x 5mg perhari. Haloperidol adalah antipsikotik yang dilaporkan sering men imbulkan efek neurologis yaitu gejala ekstra pira midal berupa sindrom Parkinson. Dimana pada pasien ini ditemukan rigiditas, serta gerakan rahang lateral. Sehingga pada pasien ini, pengobatan haloperidol ditunda terlebih dahulu. Gejala ekstrapiramidal antara lain: 1.
Sindrom parkinson (tremor, bradikinesia, rigiditas/kaku, hipersalivasi)
2.
Akathisia dan distonia (kejang)
3.
Diskinesia tardive (menjulurkan lidah, gerakan rahang lateral)
4.
Sindrom neuroleptik maligna (demam, kekakuan otot, kesadaran menurun).
Pasien dengan kejang
umum tonik-klonik diberikan terapi asam
valproat atau lamotrigine sebagai terapi lini pertama. Dapat diberikan fenitoin dengan dosis 300-600 mg/hari per oral dibagi menjadi satu atau dua dosis. Pasien didiagnosis Epilepsi dengan bangkitan umum tonik-klonik dengan tatalaksana perawatan di rumah sakit. Dengan pengobatan IVFD NaCl 20 tetes makro per menit, Diazepam 10 mg intravena pelan bila kejang, Phenitoin 100
47
mg diencerkan dalam 20 cc NaCl 0,9 % secara intra vena pelan
dengan
kecepatan 5 menit tiap 6 jam, Diazepam oral 3 x 5 mg. Pada prakteknya pasien diberikan drip phenitoin dalam RL 500 cc sebanyak 20 tetes permenit.
48
BAB V KESIMPULAN
Epilepsi adalah gangguan pada otak yang menyebabkan terjadinya kejang berulang. Kejang terjadi ketika aktivitas listrik dalam otak tiba-tiba terganggu. Gangguan ini dapat menyebabkan perubahan gerakan tubuh, kesadaran, emosi dan sensasi. Tidak
semua kejang
disebabkan
epilepsy.
Kejang
juga dapat
disebabkan oleh kondisi tertentu seperti meningitis, ensefalitis atau trauma kepala. Ada banyak tipe kejang pada epilepsy.Kejang dapat digolongkan menjadi kejang parsial dan kejang umum, tergantung pada banyaknya area otak yang terpengaruh. Ada beberapa komplikasi pada epilepsy seperti status epileptikus dan sudden unexpected death in epilepsy. Status epileptikus ini terjadi jika terdapat kejang lebih dari 30 menit tanpa adanya pemulihan kesadaran. Biasanya status epileptikus adalah kedaruratan medis pada kejang tonik klonik. Gejala epilepsy dapat dikontrol dengan menggunakan obat anti kejang. Hampir delapan dari sepuluh orang dengan epilepsy gejala kejang yang mereka alami dapat dikontrol dengan baik oleh obat anti kejang. Pada awal pengobatan akan diberikan satu jenis obat untuk mengatasi kejang. Apabila kejang tidak dapat dikontrol maka akan digunakan dua atau lebih kombinasi dari obat anti kejang.
49
DAFTAR PUSTAKA
1. Accessed
on
February
22th
2014
:
http://www.searo.who.int/LinkFiles/Technical_documents_Ment134.pdf 2. Tjahjadi,P.,Dikot,Y,Gunawan,D.
Gambaran
Umum
Mengenai
Epilepsi. In : Kapita Selekta Neurologi. Yogyakarta : Gadjah Mada University Press.2005. p119-127. 3. Kelompok Studi Epilepsi Perhimpunan Dokter Spesialis Saraf Indonesia (Perdossi).
Pedoman Tatalaksana Epilepsy.Jakarta:
Penerbit Perdossi;2012. 4. Heilbroner, Peter. Seizures, Epilepsy, and Related
Disorde
r,Pediatric Neurology: Essentials for General Practice. 1 5. Accessed
on
February
sted.
22th
2007 2014:
http://www.who.int/mental_health/neurology/epilepsy_atlas_introdion.pdf 6. Accessed
on
February
22th
2014:
http://www.epilepsyfoundation.org/about/statistics.cfm 7. Accessed
on
February
22th
2014
:
http://epilepsiindonesia.com/pengobatan/epilepsi-dan-anak/pahamigejala-epilepsi-pada-anak-2 8. Shorvon SD. HANDBOOK OF Epilepsy Treatment Forms, Causes
and Therapy
in
Children
and
Adults.
2nd
ed.
America: Blackwell Publishing Ltd.2005
Patofisiologi: Konsep Klinis Pro
9. Price dan Wilson. 2006.
ses -Proses Penyakit.Ed: 6. Jakarta: EGC th 10. Aminoff MJ dkk. Clinical Neurology. ed. 6New York: McGraw-Hill. th 11. Wilkinson I. Essential neurology. ed. 4 USA: Blackwell Publishing.
200515.PERDOSSI. Pedoman Tatalaksana Epilepsi. Ed.
3. Jakarta.
200816.http://www.medscape.com/viewarticle/726809 12. Utama H. Antiepilepsi dan Antikonvulsi dalam Farmakologi dan
terapi. 5th ed. Jakarta : Balai Penerbit FKUI; 2005. 13. Lumbantobing SM. Epilepsy. Jakarta : Balai Penerbit FKUI;2006. 50