Case Report Session
STATUS EPILEPTIKUS
Oleh:
Sylvia Restu Mayestika 1310312018
Preseptor: dr. Syarif Indra, Sp.S dr. Hendra Permana, Sp.S
BAGIAN NEUROLOGI FAKULTAS AKULTAS KEDOKTERAN KEDOKTE RAN UNIVERSITAS ANDALAS RSUP DR. M. DJAMIL D JAMIL PADANG PADANG 2017
BAB I TINJAUAN PUSTAKA 1. 1 DEFINISI
Epilepsi adalah suatu keadaan yang ditandai oleh bangkitan ( seizure ( seizure)) berulang sebagai akibat dari adanya gangguan fungsi otak secara intermitten yang disebabkan oleh lepasnya muatan listrik abnormal dan berlebihan di neuron-neuron secara paroksismal dan disebabkan oleh berbagai etiologi. Status epileptikus ditegakkan apabila kejang yang terjadi bersifat kontinyu, berulang dan disertai gangguan kesadaran dengan durasi kejang yang berlangsung lebih dari 30 menit. Status epileptikus merupakan kejang yang paling serius karena terjadi terus menerus tanpa berhenti dimana terdapat kontraksi otot yang sangat kuat, kesulitan bernapas dan muatan listrik di dalam otaknya menyebar luas sehingga apabila status epileptikus tidak dapat ditangani segera, maka besar kemungkinan dapat terjadi kerusakan jaringan otak yang permanen dan dapat menyebabkan kematian. Status epileptikus adalah kondisi kejang berkepanjangan mewakili keadaan darurat medis dan neurologis utama. International League Against Epilepsy Epilepsy mendefinisikan status epileptikus sebagai aktivitas kejang yang berlangsung terus menerus selama 30 menit atau lebih (Nia Kania, 2007). Sedangkan, menurut Epilepsy Foundation of America (EFA) mendefinisakan status epileptikus sebagai kejang yang terus menerus selama paling sedikit 30 menit atau adanya dua atau lebih kejang terpisah tanpa pemulihan kesadaran di antaranya. Secara sederhana dapat dikatakan bahwa jika seseorang mengalami kejang persisten atau seseorang yang tidak sadar kembali selama lima menit atau lebih, harus dipertimbangkan sebagai status epileptikus (Rilianto, 2015).
1.2 EPIDEMIOLOGI
Status epileptikus merupakan suatu masalah yang umum terjadi dengan angka kejadian kira-kira 60.000 – 160.000 kasus dari status epileptikus tonik-klonik umum yang terjadi di Amerika Serikat setiap tahunnya. Pada sepertiga kasus, status epileptikus merupakan gejala yang timbul pada pasien yang mengalami epilepsi berulang. Sepertiga kasus terjadi pada pasien yang didiagnosa epilepsi, biasanya karena ketidakteraturan dalam memakan obat antikonvulsan. (Sisodiya dan Duncan, 2000). Dari data epidemiologi menunjukkan bahwa etiologi dari Status Epileptikus dapat dikategorikan pada proses akut dan kronik. Pada usia tua, Status Epileptikus kebanyakan sekunder karena adanya penyakit serebrovaskuler, disfungsi jantung, dementia. Pada Negara
miskin, epilepsy merupakan kejadian yang tak tertangani dan merupakan angka kejadian yang paling tinggi (Oguni 2004). Diperkirakan ada lebih dari 150.000 kasus status epileptikus dan mengakibatkan 55.000 kematian yang terjadi setiap tahun di US. Dari berbagai tipe SE ditemukan GCSE merupakan tipe terbanyak. Geografi, jenis kelamin, usia dan ras dapat mempengaruhi epidemiologi status epileptikus. Dilaporkan insiden diantara 6,2 sampai 18,3 per 100.000 populasi (US). Wanita dan pria tidak ada perbedaan bermakna. Menurut geografi, SE tampak lebih sering pada pria kulit hitam dan lanjut usia. Insiden pada orangtua dua kali lebih sering dari populasi umumnya.SE pada lanjut usia mendapat perhatian besar karena berbarengan dengan kondisi medis pasien sendiri, dan adanya terapi komplikasi serta buruknya prognosis. Pada suatu studi epidemiologis lain ditemukan mayoritas adalah SE partial. Terdapat sebanyak 69% kasus pada orang dewasa dan 64% kasus pada anak – anak. Sedangkan status epileptikus general didapatkan 43 % pada orang dewasa dan 36% pada anak-anak.11 Insidens status epileptikus terjadi paling sering dalam tahun pertama kehidupan dan setelah 60 tahun. Diantara orang dewasa, pasien yang berusia lebih dari 60 tahun memiliki risiko paling tinggi untuk berkembang menjadi status epileptikus, dengan insidens 86 per 100.000 orang per tahun. Diantara anak-anak berusia 15 tahun atau lebih muda, bayi kurang dari 12 bulan memiliki insidens dan frekuensi paling tinggi. Banyak variasi etiologi terhadap kondisi ini. Pada orang dewasa, penyebab utama adalah rendahnya kadar obat anti epilepsi (34%) dan penyakit serebrovaskuler (22%), termasuk stroke akut atau stroke lama dan perdarahan. Tingkat mortalitas status epileptikus (didefinisikan sebagai kematian dalam 30 hari status epileptikus) adalah 22% (studi Richmond). Tingkat mortalitas pada anak – anak sebanyak 3 %, sebaliknya pada orang dewasa 26%. Populasi yang lebih tua memiliki tingkat mortalitas tertinggi, yaitu 38%. Penyebab utama mortalitas adalah lamanya kejang, usia saat serangan, dan etiologi. Pasien dengan anoksia dan stroke memiliki mortalitas yang lebih tinggi, tidak tergantung pada variabel – variabel lain. Status epileptikus yang terjadi akibat penghentian tiba-tiba penggunaan alkohol, atau rendahnya kadar obat antiepilepsi memiliki tingkat mortalitas yang rendah. Kematian pada SE refraktorik sebanyak 76% pada lanjut usia.
1.3 ETIOLOGI
1. Idiopatik epilepsy
: Biasanya berupa epilepsi dengan serangan kejang umum, penyebabnya tidak diketahui. Pasien dengan idiopatik epilepsi mempunyai inteligensi normal dan hasil pemeriksaan juga normal dan umumnya predisposisi genetik.
2. Kriptogenik epilepsy : Dianggap simptomatik tapi penyebabnya belum diketahui. Kebanyakan lokasi yang berhubungan dengan epilepsi tanpa disertai lesi yang mendasari atau lesi di otak tidak diketahui. Termasuk disini adalah sindroma West, Sindroma Lennox Gastaut dan epilepsi mioklonik. Gambaran klinis berupa ensefalopati difus. 3. Simptomatik epilepsi : Pada simptomatik terdapat lesi struktural di otak yang mendasari, contohnya oleh karena sekunder dari trauma kepala, infeksi susunan saraf pusat, kelainan kongenital, proses desak ruang di otak, gangguan pembuluh darah diotak, toksik (alkohol, obat), gangguan metabolik dan kelainan neurodegeneratif. (Kustiowati dkk 2003, Sirven, Ozuna 2005)
1.4 KLASIFIKASI
Banyak variasi pendekatan untuk mengklasifikasikan status epileptikus. Salah satu versi klasifikasi terbagi atas status epileptikus general (tonik-klonik, mioklonik, absens, atonik, akinetik) dan status epileptikus parsial (simpleks atau kompleks).Versi lain membagi dalam kondisi status epileptikus yang konvulsif dan status epileptikus nonkonvulsif (parsial simpleks, parsial kompleks, absens). Versi ketiga mengambil pendekatan yang berbeda, yaitu berdasarkan usia (periode neonatal, bayi dan kanak-kanak, kanak – kanak dan dewasa, hanya dewasa). Marik PE (2004) mengklasifikasi SE berdasarkan gambaran elektroklinikal atas SE konvulsif (konvulsi motorik) dan SE non konvulsif. Kemudian membagi lagi atas SE generalized (mempengaruhi seluruh otak) dan SE partial ( sebagian otak).
1.5 PATOFISIOLOGI
Kejang dipicu oleh perangsangan sebagian besar neuron secara berlebihan, spontan, dan sinkron sehingga mengakibatkan aktivasi fungsi motorik (kejang), sensorik, otonom atau fungsi kompleks (kognitif, emosional) secara lokal atau umum. Mekanisme terjadinya kejang ada beberapa teori: a. Gangguan pembentukan ATP dengan akibat kegagalan pompa Na-K, misalnya pada hipoksemia, iskemia, dan hipoglikemia. Sedangkan pada kejang sendiri dapat terjadi pengurangan ATP dan terjadi hipoksemia. b. Perubahan permeabilitas membran sel syaraf, misalnya hipokalsemia dan hipomagnesemia. c. Perubahan relatif neurotransmiter yang bersifat eksitasi dibandingkan dengan neurotransmiter inhibisi dapat menyebabkan depolarisasi yang berlebihan. Misalnya ketidakseimbangan antara GABA atau glutamat akan menimbulkan kejang. (Silbernagl S, Lang F. 2006) Terdapat beberapa perubahan fisiologis yang menyertai GCSE. Terbanyak diantaranya adalah respons sistemik yang merupakan lonjakan katekolamin yang terjadi saat serangan. Respon sistemik tersebut antara lain berupa hipertensi, takikardi, aritmia, dan hiperglikemia. Suhu badan dapat meningkat mengikuti aktivitas otot yang berlebihan saat serangan GCSE berlangsung. Asidosis laktat seringkali ditemukan setelah bangkitan motorik umum tunggal yang akan menghilang seiring berakhirnya bangkitan. Kebutuhan metabolik otak meningkat seiring bangkitan GCSE, akan tetapi oksigenasi dan aliran darah otak tetap terjaga bahkan meningkat saat awal serangan GCSE. Percobaan pada hewan yang dilumpuhkan dan diberi ventilasi artificial menunjukkan bahwa kehilangan neuron yang terjadi setelah status epileptikus baik yang umum maupun fokal berhubungan dengan abnormal neuronal discharge dan bukan merupakan respon sistemik dari GCSE. Hipokampus tampaknya paling rentan terhadap kerusakan dalam mekanisme sistemik ini. Pada level neurokimia, bangkitan terjadi akibat ketidakseimbangan antara eksitasi berlebihan dan kurangnya inhibisi. Neurotransmiter eksitasi yang terbanyak ditemukan adalah glutamate dan juga turut dilibatkan disini adalah reseptor subtype NMDA (N-methylD-aspartate).
Neurotransmiter
inhibisi
yang
terbanyak
ditemukan
adalah
gamma-
aminobutyric acid (GABA). Kegagalan proses inhibisi merupakan mekanisme utama pada status epileptikus.
Inhibisi yang diperantarai reseptor GABA berperanan dalam normalnya terminasi bangkitan. Aktivasi reseptor NMDA oleh glutamate sebagai neurotransmitter eksitasi dibutuhkan dalam perambatan bangkitan. Aktivasi reseptor NMDA meningkatkan kadar kalsium intraseluler yang menyebabkan cedera sel saraf pada status epileptikus. Sejumlah penelitian menyimpulkan bahwa semakin lama durasi status epileptikus maka semakin sulit dikontrol. Hal ini dikatakan sebagai akibat peralihan dari transmisi GABAergik inhibisi yang inadekuat ke transmisi NMDA eksitasi yang berlebihan. Pada manusia dan hewan percobaaan, bangkitan yang terus menerus menyebabkan kehilangan/kerusakan neuron selektif pada area yang rentan seperti hipokampus, korteks, dan thalamus. Derajat beratnya cedera neuron berhubungan erat dengan lamanya bangkitan, hal ini menegaskan betapa pentingnya penanganan yang cepat pada status epileptikus. Meldrum dkk telah membuktikan walaupan tanpa adanya hipoksia, asidosis, hipertermia, atau hipoglikemia, bangkitan yang berkepanjangan pada hewan percobaaan dapat menyebabkan kematian neuron. Wasterlain dkk melaporkan bahwa terdapat kehilangan/kerusakan neuron pada hipokampus dan area otak lain pada penderita status epileptikus nonkonvulsif yang tidak mengalami bangkitan atau kelainan sistemik sebelumnya. Enolase neuron – spesifik merupakan suatu petanda cedera akut neuron, dilaporkan meningkat pada penderita status epileptikus nonkonvulsif yang tanpa mengalami bangkitan sebelumnya ataupun mengalami cedera otak lain. Thom dkk menunjukkan adanya cedera akut neuron pada penderita yang meninggal tiba-tiba akibat epilepsi. Kematian neuron kemungkinan disebabkan oleh pelepasan neurotransmitter eksitasi. Mikati dkk membuktikan peningkatan aktivasi NMDA meningkatkan kadar ceramide yang diikuti kematian sel terprogram pada hewan per cobaan.
1.6 DIAGNOSIS
Diagnosis status epileptikus dapat langsung ditegakkan bila ada yang menyaksikan bangkitan umum tonik klonik. Status epileptikus seringkali tidak dipikirkan pada pasien koma yang telah memasuki fase nonkonvulsif. Pada semua pasien koma perlu diketahui adanya minor twitching yang bisa terlihat di wajah, tangan, kaki, atau dalam bentuk nistagmus. Towne dkk memeriksa 236 pasien koma yang tidak menunjukkan tanda kejang. 8% di antaranya mengalami status epileptikus nonkonvulsif yang terlihat dar i gambaran EEG. Oleh karena itu, pemeriksaan EEG seharusnya dilakukan pada pasien koma yang penyebabnya tidak jelas.
Status epileptikus terbagi dalam dua fase. Fase pertama ditandai bangkitan tonikklonik umum yang berhubungan dengan peningkatan aktivitias otonom sehingga bisa ditemukan hipertensi, hiperglikemia, berkeringat, salivasi, dan hiperpireksia. Selama fase ini, terjadi peningkatan aliran darah otak oleh karena adanya peningkatan kebutuhan metabolik otak. Sekitar 30 menit sesudahnya, penderita memasuki fase kedua, yang ditandai dengan kegagalan autoregulasi otak, penurunan aliran darah otak, peningkatan tekanan intrakranial, dan hipotensi sistemik. Selama fase ini terjadi disosiasi elektromekanik, di mana walaupun aktivitas bangkitan elektrik di otak tetap berlangsung, manifestasi klinis yang ditemukan bisa hanya berupa minor twitching.
1.7 PEMERIKSAAN PENUNJANG
Pemeriksaan EEG umumnya membantu dalam mengklasifikasikan tipe epilepsi seseorang. Pasien jarang mengalami kejang selama pemriksaan EEG rutin. Namun kejang tetap dapat memberikan konfirmasi tentang kehadiran aktifitas listrik yang abnormal, informasi tentang tipe gangguan kejang, dan lokasi spesifik kejang fokal. Pada pemeriksaan EEG rutin, tidur dan bangun, hanya terdapat 50% dari seluruh pasien epilepsi yang akan terdeteksi dengan hasil yang abnormal. EEG sebenarnya bukan merupakan tes untuk menegakkan diagnosa epilepsi secara langsung. EEG hanya membantu dalam penegakan diagnosa dan membantu pembedaan antara kejang umum dan kejang fokal. Tetapi yang harus diingat: - 10% populasi normal menunjukkan gambaran EEG abnormal yang ringan dan non spesifik seperti gelombang lambat di salah satu atau kedua lobus temporal-menurut sumber lain terdapat 2% populasi yang tidak pernah mengeluh kejang memberikan gambaran abnormal pada EEG; - 30% pasien dengan epilepsi akan memiliki gambaran EEG yang normal pada masa interval kejang-berkurang menjadi 20% jika EEG dimasukkan pada periode tidur. Dengan kata lain, EEG dapat memberikan hasil yang berupa positif palsu maupun negatif palsu, dan diperlukan kehati-hatian dalam menginterpretasinya. Perekaman EEG yang dilanjutkan pada pasien dengan aktifitas yang sangat berat dapat sangat membantu dalam penegakan diagnosis dengan kasus yang sangat sulit dengan serangan yang sering, karena memperlihatkan gambaran selama serangan kejang terjadi. Namun dengan metode ini pun masih terdapat kemungkinan negatif palsu, dengan 10% kejang fokal yang timbul di dalam sebuah lipatan korteks serebri dan yang gagal memberikan gambaran abnormal pada
pemeriksaan EEG. Pemeriksaan lainnya seperti glukosa, kalsium, dan ECG jarang memberikan informasi yang dibutuhkan. Sulitnya menegakkan diagnosis epilepsi dengan bantuan pemeriksaan di atas, memaksa seorang pemeriksa harus meneliti gejala klinis secara seksama untuk menegakkan diagnosa dengan tetap memperhatikan hasil dari pemeriksaan EEG. (Kirpatrick, Sisodiya, Duncan 2000, Stefan, 2003).
1.8 TATALAKSANA
Penanganan status epileptikus mencakup terminasi bangkitan sesegera mungkin, perlindungan jalan napas, pencegahan aspirasi, penanganan faktor presipitasi yang potensial, penanganan komplikasi, pencegahan serangan ulang, dan penanganan penyakit yang mendasari. Penanganan dibagi dalam 2 tahap yaitu penanganan di luar dan di dalam rumah sakit. Sebagai terapi lini pertama di luar rumah sakit adalah benzodiazepine. Penanganan dalam rumah sakit / gawat darurat adalah bantuan hidup dasar (basic life support) (0-10 menit) dan terapi farmakologik (10-60 menit). Obat-obat yang digunakan antara lain diasepam, lorazepam, midazolam, propofol, phenobarbital, phenytoin, fosphenytoin, valproate IV dan lain-lain. Sebagai terapi awal pada Status Epileptikus digunakan obat lini pertama yaitu dari golongan benzodiazepine (diazepam 0.1 – 0.4 mg/kg, lorazepam 0.05 – 0.1 mg/kg atau midazolam 0.05 – 0.2 mg/kg). Sedangkan obat lini kedua yaitu phenytoin (PHT) 0.05 – 0.2 mg/kg, fosphenytoin (fPHT) 15 – 20 mg/kg PE, valproate (VPA) 15 – 20 mg/kg, levetiracetam 1000 – 1500 mg tiap 12 jam.
Status epileptikus merupakan gawat darurat neurologik. Harus ditindaki secepat mungkin untuk menghindarkan kematian atau cedera saraf permanen. Biasanya dilakukan dua tahap tindakan: (Paul E. Marik,2000) I.
Stabilitas Penderita Tahap ini meliputi usaha usaha mempertahankan dan memperbaiki fungsi vital yang mungkin terganggu. Prioritas pertama adalah memastikan jalan napas yang adekuat dengan cara pemberian oksigen melalui nasal canul atau mask ventilasi. Tekanan darah juga perlu diperhatikan, hipotensi merupakan efek samping yang umum dari obat yang digunakan untuk mengontrol kejang. Darah diambil untuk pemeriksaan darah lengkap,
gula darah, elektrolit, ureum, kreatinin. Harus diperiksa gas-gas darah arteri untuk melacak adanya asidosis metabolic dan kemampuan oksigenasi darah. Asidosis di koreksi dengan bikarbonat intravena. Segera diberi 50 ml glukosa 50% glukosa iv, diikuti pemberian tiamin 100 mg im. II. Menghentikan Kejang Status Epileptikus Konvulsif (Kustiowati E, Hartono B, Bintoro A, Agoes A 2003) Stadium
Penatalaksanaan
Stadium I (0-10 menit)
Memperbaiki fungsi kardiorespirasi Memperbaiki jalan napas, pemberian resusitasi
oksigen,
Stadium II (1-60 menit)
Pemeriksaan status neurologik Pengukuran tekanan darah, nadi, dan suhu EKG Pemasangan infus Mengambil 50-100 darah untuk pemeriksaan lab Pemberian OAE emergensi: diazepam 10-20 mg IV (kecepatan pemberian ≤ 2-5 mg/menit atau rektal dapat diulang 15 menit kemudian) Memasukkan 50 cc glukosa 50% dengan atau tanpa thiamin 250 mg intravena Menangani asidosis
Stadium menit)
(0-60/90
Menentukan etiologi Bila kejang berlansung terus selama 30 menit setelah pemberian diazepam pertama, beri phenytoin IV 15-18 mg/kg dengan kecepatan 50 mg/menit Memulai terapi dengan vasopresor bila diperlukan Mengoreksi komplikasi
(30-90
Bila kejang tetap tidak teratasi selama 30-60 menit, transfer pasien ke ICU, beri propofol (2 mg/kgBB bolus IV, diulang bila perlu) atau thiopentone (100-250 mg bolus IV dalam 20 menit, dilanjutkan dengan bolus 50 mg setiap 2-3 menit), dilanjutkan 12-24 jam setelah bangkitan klinis atau bangkitan EEG terakhir, lalu dilakukan tappering off. Memantau bangkitan dengan EEG, tekanan intrakranial, memulai pemberian OAE dosis rumatan.
Stadium menit)
III
IV
Status Epileptikus Non Konvulsif (Kustiowati E, Hartono B, Bintoro A, Agoes A 2003)
Status Epileptikus Refrakter (Kustiowati E, Hartono B, Bintoro A, Agoes A 2003)
1.9 PROGNOSIS
Prognosis SE tergantung pada berbagai faktor, termasuk klinis, durasi bangkitan, usia pasien, dan yang terpenting adalah gangguan yang mendasari terjadinya bangkitan. Kematian refraktori SE terbanyak pada lanjut usia.
BAB II ILUSTRASI KASUS
IDENTITAS PASIEN :
Nama
: Ny. D
Jenis kelamin : Perempuan Umur
: 56 th
Suku bangsa : Minang Alamat
: Jln. Kurao Pasang Manggalo
Pekerjaan
: Pensiunan
Alloanamnesis (dengan anak pasien):
Seorang pasien, perempuan, umur 56 tahun dirawat di bangsal Neurologi RSUP Dr. M. Djamil Padang pada tanggal 06 Agustus 2017 dengan:
Keluhan Utama :
Kejang berulang
Riwayat Penyakit Sekarang :
Kejang berulang sejak 4 jam sebelum masuk rumah sakit. Kejang diawali kaku seluruh tubuh ± 20 detik, diikuti kelonjotan seluruh tubuh ± 40 detik. Jarak antara kejang ± 1 jam. Pada saat kejang dan diantara kejang pasien tidak sadar. Saat kejang mata mendelik ke atas, lidak tergigit dan pasien mengompol. Kejang berulang dengan frekuensi 3x. Kejang berulang dengan pola yang sama.
Muntah 3x berisi apa yang dimakan dan diminum Nyeri kepala tidak ada
Kelemahan anggota gerak tidak ada
Demam tidak ada
Riwayat Penyakit Dahulu
:
Pasien menderita epilepsi sejak 5 tahun yang lalu. Berobat rutin dengan fenitoin 3 x 100 mg ke poliklinik RSUP Dr. M Djamil
Riwayat DM sejak 25 tahun yang lalu, dengan gula darah tertinggi 300 mg/dl kontrol teratur dengan obat Glikuidon 1 x 30 mg di poliklinik RSUP Dr. M Djamil
Riwayat penyakit ginjal dan hipertensi sejak 6 bulan yang lalu, kontrol teratur di poliklinik RSUP Dr. M Djamil namun pasien lupa obatnya.
Riwayat pembesaran jantung sejak 6 bulan yang lalu dengan kontrol teratur di Ibnu Sina dengan Bisoprolol 1 x 5 mg, Valsartan 1 x 80 mg, Amlodipin 1 x 10 mg.
Riwayat batuk-batuk lama (2-3 bulan terakhir) hilang timbul dan keluhan hilang bila minum obat batuk, berobat ke poli paru RSI yarsi namun pasien lupa apa obatnya.
Riwayat penyakit keluarga :
Tidak ada anggota keluarga yang menderita penyakit seperti pasien.
Riwayat pribadi dan sosial :
Pasien seorang ibu rumah tangga dengan aktivitas harian ringan-sedang
PEMERIKSAAN FISIK I.
Umum (06 Agustus 2017)
Keadaan umum : buruk Kesadaran
: somnolen (E3 M5 V2 = 10)
Nadi/ irama
: 70x/menit, nadi teraba kuat, teratur
Pernafasan
: 22x/menit, torakoabdominal, teratur
Tekanan darah
: 170/100 mmHg
Suhu
: 36,3 oC
Turgor kulit
: baik
II. Status internus
Kulit
: Tidak ada kelainan
Kelenjar getah bening Leher
: tidak teraba pembesaran KGB
Aksila
: tidak teraba pembesaran KGB
Inguinal
: tidak teraba pembesaran KGB
Rambut
: hitam, tidak mudah dicabut
Mata
: pupil isokor ø 3 mm/3 mm, RC +/Doll eyes movement bergerak bebas, Reflek kornea +/+
FODS : papil batas tegas, warna kuning jingga, cuping (+) aa:vv = 7:3 Thorak Paru
: Inspeksi
: Simetris kiri dan kanan dalam keadaan statis dan dinamis
Palpasi
: fremitus normal kiri dan kanan
Perkusi
: Sonor
Auskultasi : Bronkovesikuler, rhonki -/-, wheezing -/Jantung
:
Inspeksi
: ictus cordis tak terlihat
Palpasi
: ictus cordis teraba 1 jari medial LMCS RIC V
Perkusi
: batas jantung dalam batas normal
Auskultasi : irama murni, teratur, bising (-) Abdomen Inspeksi
: tidak membuncit
Palpasi
: supel, hepar dan lien tak teraba
Perkusi
: timpani
Auskultasi : bising usus (+) N Korpus vertebrae Inspeksi
: deformitas (-)
Palpasi
: gibus (-)
Alat kelamin
: tidak diperiksa
III. Status neurologikus
1.
2.
Tanda rangsangan selaput otak
Kaku kuduk
: (-)
Brudzinsky I
: (-)
Brudzinsky II
: (-)
Tanda Kernig
: (-)
Tanda peningkatan tekanan intrakranial +
Pupil anisokor, diameter 3mm/5mm, reflek cahaya +/-
Muntah proyektil tidak ada
3.
Pemeriksaan nervus kranialis
N. I (Olfaktorius)
: Tidak ada kelainan
N. II (Optikus)
:
N. III (Okulomotorius), N. IV (Trochlearis), N. VI (Abdusen) : -
Pupil
: isokor ø 3mm/5m
-
Reflek cahaya
: +/-
-
Doll’s eyes movement
: bergerak bebas
N. V (Trigeminus)
: Fungsi motorik normal, refleks kornea +
N. VII (Fasialis)
: Raut muka simetris (+), tidak ada kelainan
N. VIII (Vestibularis)
: Refleks occuloauditorik (+)
N. IX (Glossopharyngeus) : normal
N. X (Vagus)
: normal
N. XI (Asesorius)
: normal
N. XII (Hipoglosus)
: posisi lidah normal
4.
Koordinasi : normal
5.
Motorik Dengan rangsangan nyeri, keempat anggota gerak aktif bergerak. Dengan tes jatuh, anggota gerak tidak jatuh. Kesan : tidak ada lateralisasi. Tonus : eutonus Tropi : eutrofi
6.
Sensorik respon (+) dengan rangsangan nyeri ringan
7.
Fungsi otonom : uninhibited bladder -
8.
Refleks RF: Biseps
: ++/++
Triseps
: ++/++
KPR
: ++/++
APR
: ++/++
Dinding perut : ++/++ RP : Babinsky
: -/-
Chaddok
: -/-
Oppenheim
: -/-
Schaefer
: -/-
Gordon
: -/-
Hoffman trommer : -/9.
Fungsi luhur : tidak bisa dinilai
Pemeriksaan laboratorium
Darah : Rutin
Kimia darah
: Hb
: 6,3 gr/dl
Leukosit
: 10.470 /mm 3
Trombosit
: 265.000/mm3
Hematokrit
: 17%
: Ureum Kreatinin
: 77 mg/dl : 2,5 mg/dl
Gula darah random : 243 mg/dl Na/K/Cl
: 104/2,3/102 mmol/L
pH/PO2/PCO2/HCO3-/BE/SIO2 : 7,36/165/21/11,9/-12,6/99
Pemeriksaan penunjang
EKG : Sinus rytme, HR = 68x, ST change (-), T inverted (-), SV 1 + RVS > 35 Kesan : LVH
Diagnosis :
Diagnosis Klinis
: Status epileptikus
Dianosis Topik
: Ensephalon
Diagnosis Etiologi
: Idiopatik
Diagnosis Sekunder
: Anemia sedang ec. penyakit kronis
Diagnosis Banding
CKD stage IV ec. nefropati DM DM tipe II tidak terkontrol
Hiponatremia et hypokalemia
Prognosis :
Quo ad vitam
: dubia et malam
Quo ad sanam
: dubia et malam
Quo ad fungsionam
: dubia et malam
Terapi :
-
Umum : IVFD NaCl 3 % 12 J/kolf (2 kolf) O2 3L/menit Pasang NGT MCRG II DD : 800 kkal RP 48gr Kateterisasi urine, hitung balance cairan
-
Khusus : Fenitoin 3 x 100 mg (IV) Asam folat 2 x 5 mg (PO) KSR 2 x 600 mg (PO) Gicnat 3 x 500 mg (PO) Tranfusi PRC 1 kantong/hr sampai dengan Hb ≥ 8 SS / 6 Jam
FOLLOW UP
10 Agustus 2017 S/ - Sadar - Kejang (-) O/ KU
Kesadaran
TD
Nd
Nf
T
CMC
130/80
90 x/ menit
17 x/menit
37,3 0C
Sedang SI : Rh -/- Wh -/SN : GCS : E 4 M6V5 = 15
TRM (-), tanda peningkatan TIK (-) N. Cranialis : Pupil anishokor ø 3 mm/5 mm, RC +/+, gerak bola mata ke segala arah. Reflek kornea +/+, plika nasolabialis simetris kanan=kiri
Motorik :
555 555
|
555 555
Sensorik : proprioseptif dan eksteroseptif bau Otonom : neurogenic bladder (-) RF A/
+++ +++
|
+++ +++
− −
RP |
− −
Epilepsi symptomatic with status epileptik DM tipe II tidak terkontrol CKD SD IV Hiponatremi, hipokalemi Anemia post transfusi
Terapi : -
Umum : IVFD NaCl 0,9 % 123/kolf Diet MLDD RG 1800 kkal RP 48 gr O2 3L/menit Pasien dipuasakan, Pasang NGT alir, spooling setiap 6 jam Kateterisasi urine, hitung balance cairan
-
Khusus : Fenitoin 3 x 100 mg (PO) Asam folat 2 x 500 mg (PO) KSR 2 x 600 mg (PO) Bicnat 3 x 500 mg (PO) Sliding scale/6 jam Herbesser 1 x 200 mg (PO)
BAB III DISKUSI
Telah dilaporkan seorang pasien perempuan berumur 56 tahun sejak tanggal 6 Agustus 2017 di RSUP Dr.M. Djamil Padang dengan diagnosis klinik pada saat pasien masuk adalah status epileptikus. Diagnosa topik yaitu esensephalon. Diagnosis etiologi adalah hiponatremia. Diagnosis ditegakkan berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik dan pemeriksaan penunjang. Berdasarkan anamnesis diketahui bahwa kejang berulang sejak 4 jam sebelum masuk rumah sakit. Kejang berulang dengan frekuensi 3x. Kejang diawali kaku seluruh tubuh ± 20 detik, diikuti kelonjotan seluruh tubuh ± 40 detik. Saat kejang mata mendelik ke atas, lidah tergigit, mulut tidak tergigit dan mengompol. Kejang berulang dengan pola yang sama. Jarak antara kejang ± 1 jam. Pada saat kejang dan diantara kejang pasien tidak sadar. Muntah 3x berisi apa yang dimakan dan diminum. Dari pemeriksaan fisik didapatkan kesadaran pasien Somnolen, (E 4 M6V5 = 15) tanda rangsang meningeal (-), ↑ TIK (+), pemeriksaan n.cranial: pupil anisokhor, Ø 3 mm/5 mm, RC +/+, Doll’s Eye Movement (+), sensorik : respon terhadap nyeri ringan, RF : +++/+++, RP : -/Penatalaksanaan pada pasien ini secara umum berupa IVFD NaCl 0,9 % 123/kolf, diet MLDD RG 1800 kkal RP 48 gr, O 2 3L/menit. Pasien dipuasakan, pasang NGT alir, spooling setiap 6 jam, kateterisasi urine, hitung balance cairan dan secara khusus dengan pemberian Fenitoin 3 x 100 mg, asam folat 2 x 500 mg, KSR 2 x 600 mg, Bicnat 3 x 500 mg, Sliding scale/6 jam, Herbesser 1 x 200 mg (PO). Prognosis pada pasien dengan meningitis TB ini mengarah ke dubia et malam, dilihat dari keadaan umum pasien. Dan harus segera diterapi sesuai dengan etiologi yang di dapat secara teratur.
DAFTAR PUSTAKA
Andrew CF, Tong AW, Leung TWH. Simple partial status epilepticus in Chinese adults. J Clin Neuro Sci [serial online] 2005 [cited 2008 Sep 12]; 12(8):902-4. Available from: URL: http://www.sciencedirect.com/science. Dulac O, Leppik IF. Initiating and discontinuing treatment in comprehensive textbook epilepsy. 1st ed. Philadelphia: Lippincott-Raven; 1998. p.1237-46. Doloren RJ, Hauser WA, Towne AP. A prospecti ve, population based epidemiologic study of status epilepticus in Richmond, Virginia. Neurology 1996 Aprl; 46 (4):1029-35. Jimaad C. Status Epilepticus. Journal of the Indian Medical Association 2002; 100 (5): 299303. Kustiowati E, Hartono B, Bintoro A, Agoes A (editors) (2003) : Pedoman Tatalaksana Epilepsi, Kelompok Studi Epilepsi Perdossi. Leppik IE. Intractable Epilepsy in adult in intractable seizure. Diagnosis, treatment and prevention. Advances in experimental medicine and biology. 2002; 497:1-7. Lowenstein DH, Bleck T, Macdonald RL. It's time to revise the definition of status epilepticus. Epilepsia 1999 Jan; 40(1):120-2. Marik PE, Varon J. The management of status epilepticus. Chest 2004; 126:582-91 Marek A, Mirski, Panayiotis N, Varelas. Seizures and status epilepticus in the critically ill. Crit Care Clin 2008; 24:115 – 47. Nia Kania, dr., SpA., MKes.Kejang pada Anak. Disampaikan pada acara Siang Klinik Penanganan Kejang Pada Anak di AMC Hospital Bandung, 12 Februari 2007. Oguni H (2004) : Diagnosis and Treatment of Epilepsy, Epilepsia, 48 (Suppl.8):13-16. Paul E. Marik, MD, FCCP; and Joseph Varon, MD, FCCP. The Management of Status Epilepticus. CHEST 2004; 126:582 – 591 Pokdi Epilepsi. Terapi. Dalam: Pedoman Tatalaksana Epilepsi. Edisi 2. Jakarta: PERDOSSI; 2006. h. 10-21. Shorvon S. The Management of status epilepticus. J Neurol Neurosurg Psychiatry 2001 June; 70 (Suppl 2):1122-7 Shorvon. Status epilepticus: its clinical features and treatment in children and adult. Cambridge: University Press; 1995. Sirven J, Waterhorse E. Status Epilepticus. American Family Physician 2003 Aug 1;68(3). Sisodiya S.M, Duncan J (2000) : Epilepsy : Epidemiology, Clinical Assessment,Investigation and Natural History, Medicine International,00(4);36-41. Walker M. Status epilepticus: an evidence based guide. BMJ 2005; 331:673-7.
Wasterlain, CG, Fujikawa, DG, Penix, L, et al Pathophysiological mechanisms of brain damage from status epilepticus. Epilepsia 1993; 34(suppl):S37-53