1
LAPORAN KASUS EPILEPSI Disusun untuk Memenuhi Tugas Kepaniteraan Klinik Madya
Disusun oleh: Candra Nurmalia Dewi 21704101056 Ilham Ramadhana 2170410159
Dosen Pembimbing: dr. Zainal Abidin, Sp.S.
LABORATORIUM ILMU PENYAKIT SARAF RSUD SYARIFAH AMBAMI RATO EBU BANGKALAN FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS ISLAM MALANG 2018
2
BAB I PENDAHULUAN 1.1
Latar Belakang
Epilepsi merupakan salah satu penyakit saraf yang sering dijumpai, terdapat pada semua bangsa, ban gsa, segala usia dimana laki-laki sedikit s edikit lebih banyak dari wanita. Insiden tertinggi terdapat pada golongan usia dini yang akan menurun pada gabungan usia dewasa muda sampai setengah tua, kemudian meningkat lagi pada usia lanjut. Epilepsi tidak jarang ditemui di dalam masyarakat terutama indonesia, dimana didapatkan prevalensi sebanyak 5-10% dan insidensi 0,5%. Maka dapat di perkirakan bahwa di indonesia yang berpenduduk 200 juta sedikitnya terdapat 1-2 juta orang penyandang epilepsi (WHO, 2005). 2005). Epilepsi berasal dari bahasa Yunani yang berarti “serangan” atau penyakit yang timbul secara tiba-tiba. Epilepsi adalah suatu pelepasan aktivitas listrik neuron otak secara periodik dan berlebih yang mengakibatkan hilangnya kesadaran, timbulnya gerakan involuntar, fenomena sensorik abnormal, peningkatan aktivitas autonom, dan beberapa gejala psikis. (Markand, 2009). Sindrom epilepsi adalah kumpulan gejala dari epilepsi yang mencakup etiologi, anatomi, faktor presipitasi, usia awitan, berat dan kronisitas, bahkan kadang-kadang prognosis. Kejang tonik adalah kekakuan kontraktur pada otototot, termasuk otot pernafasan. Kejang klonik berupa gemetar yang bersifat lebih lama. Jika keduanya muncul secara bersamaan maka disebut kejang tonik klonik (kejang Grand Mal). (Engel Jr, 2006) Banyak penderita epilepsi yang tak terdiagnosis dan mendapat pengobatan yang tidak tepat sehingga menimbulkan dampak klinik dan psikososial yang merugikan baik penderita maupun keluarganya. Perlunya pemahaman yang tepat mengenai penyakit epilepsi ini, berguna untuk penanganan apabila kasus epilepsi ini ditemui.
3
1.2 Rumusan Masalah
1. Bagaimana definisi, etiopatofisiologi, epidemiologi, gejala,diagnosa, tatalaksana, komplikasi dan prognosis epilepsi ? 1.3 Tujuan
1. Mengetahui
tentang
definisi,
etiopatofisiologi,
epidemiologi,
gejala,diagnosa, tatalaksana, komplikasi dan prognosis epilepsi 1.4 Manfaat
Laporan kasus ini dibuat agar klinisi dapat menegakan diagnosis, menterapi kasus epilepsi dengan mengetahui definisi, etiologi, gejala yang ditimbulkan, mengetahui alur penegakan diagnosa dan tatalaksana epilepsi.
4
BAB II LAPORAN KASUS
2.1. Identitas Pasien
Nama
:Tn. RR
Umur
: 20 Tahun
Jenis kelamin
: Laki-laki
TTL
: 07 Januari 1998
Agama
: Islam
Pendidikan terakhir : Suku
: Madura
Alamat
: Dsn Bandun Barat Keleyan-Socah
Pekerjaan
:-
Status Pernikahan
: Belum Menikah
No RM.
: 148531
Tanggal MRS
: 29-7-2018
2.2. Anamnesa
1.Riwayat Penyakit sekarang Keluhan Utama
: Kejang
Onset
: 3 hari SMRS
Lokasi
: Seluruh tubuh
Kualitas
: Tangan dan kaki lemas
Kuantitas
: 4-5-6
Kronologis
:
Pasien datang ke RSUD dengan keluhan tiba-tiba kejang 3 hari SMRS. Pasien kejang lebih dari 5 kali dalam satu hari. Lama satu kali kejang ± 10-15 menit. Saat kejang pasien tidak sadar.Keluarga pasien mengatakan bahwa pasien kejang dengan kedua tangan, kaki, hingga kepala kaku dan mata melihat keatas, sampai keluar busa pada mulut. Saat kejang badan kaku dan dihentakkan. Sebelumnya pasien rutin kontrol ke RSUD dengan riwayat penyakit epilepsi. Namun karena telat kontrol maka pasien tidak meminum obat epilepsi selama 1 minggu sehingga pasien kembali kejang.
5
Faktor yang memperberat
:-
Faktor yang memperingan
:-
Gejala Penyerta
:-
2. Riwayat Penyakit Dahulu
: riwayat epilepsi >5 tahun
3. Riwayat Penyakit Keluarga
:Hipertensi
disangkal,
riwayat
stroke
disangkal, riwayat diabetes disangkal 4. Riwayat Sosial Ekonomi
:menengah
2.3 Pemeriksaan Fisik Status Presens
1. Kesadaran : 2. Vital sign
GCS
:E4V5 M6
: TD : 120/80 mmHg RR : 20 x/menit
3. Antopometri: TB : - cm
Nadi : 80 x/menit regular Suhu : 36,8 oC
Berat badan
: - kg
BMI
:-
4. Kulit Warna kulit coklat, turgor kulit normal, ikterik (-), pucat (-), pt echie (-) 5. Kepala Bentuk normosephalic, luka (-),makula (-), papula (-), nodul (-) 6. Mata Konjungtiva anemis (-/-), sklera ikterik (-/-), reflek cahaya (+/+), katarak (-/-), edema palpebra (-/-), cowong (-/-), pupil isokor, diameter 3mm/3mm, radang (/-), hidung Nafas cuping hidung (-/-), secret (-/-), epistaksis (-/-), deformitas (/-) 7.Mulut Sianosis (-), bibir kering (-), lidah kotor (-), tremor (-), gusi berdarah (-), sudut bibir kanan tertinggal saat pasien diminta untuk meringis (-) 8.Telinga Secret (-/-), pendengaran berkurang (-/-) 9. Tenggorokan Hiperemi (-), tonsil membesar (-/-) 10. Leher Trakea ditengah, pembesaran KGB (-)
6
11. Toraks Simetris, retraksi subkostal (-), pembesaran kelenjar limfe (-) Cor I : ictus cordis tidak tampak P : ictus cordis kuat angkat P : Batas kiri atas Batas kanan atas Batas kiri bawah
: ICS II linea para sternalis sinistra : ICS II linea para sternalis dekstra : ICS V linea medio clavicularis sinistra
Batas kanan bawah : ICS IV linea para sterna dekstra A : BJ I-II intensitas normal, regular, bising (-) Pulmo
: statis (depan dan belakang)
I : pengembangan dada kanan dan kiri simetris, benjolan (-), luka (-) P : fremitus taktil kanan = kiri, nyeri tekan (-), krepitasi (-) P :
Sonor Sonor Sonor
Sonor Sonor Sonor
A : suara dasar vesikuler di semua lapang paru, suara tambahan (-) Rhonki
Wheezing
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
12. Abdomen I : dinding perut tampak datar A : bising usus normal P : supel, nyeri tekan (-), hepar tidak teraba, pembesaran lien (-) P : timpani seluruh lapang perut 13. Sistem Collumna Vertebralis : I : deformitas (-), skoliosis (-), kifosis (-), lordosis (-) P : nyeri tekan (-) 14. Ektremitas: Atas
: Akral dingin (-/-), Edema (-/-)
Bawah
: Akral dingin (-/-), Edema (-/-)
15. Sistem genetalia:tidak dievaluasi
7
Status Psikis
i.
Cara berpikir
: Menurun
ii.
Perasaan hati
: Sulit dievaluasi
iii.
Tingkah Laku
: Menurun
iv.
Ingatan
: Menurun
Kecerdasan
: Menurun
v.
Status Neurologi
1. Kepala Bentuk
: normosefal
Nyeri tekan
:(-)
Simetris
: simetris
Mata ( Pupil )
: bentuk bulat isokor, ukuran 3mm/ 3 mm
Reflek Cahaya
:+/+
2. Leher Sikap
: tegak, lurus
Pergerakan
: bebas
3. Meningeal Sign
: Kaku kuduk ( - ) Kernig sign (-), Laseque (-), Brudzinski
I/ II (-) 4. Nervus Kranial Nevus I
: SDE
Nervus II
: SDE
Nervus III
Pupil
:Bulat isokor, diameter 3/3
Reflek Cahaya
: +/+
Nervus IV
: dbN
Nervus V
: RK +/+
Nervus VI
: dbN
Nervus VII
: dbN
Nervus VIII
: dbN
Nervus IX
: dbN
Nervus X
: dbN
8
Nervus XI
: dbN
Nervus XII
: dbN
5. Anggota Gerak Motorik Motorik
Superior
Inferior
Gerak
N/N
N/N
Kekuatan
5-5-5/5-5-5
5-5-5/5-5-5
Tonus
N/N
N/N
Trofi
E/E
E/E
Reflek Fisiologis
BPR++/++
APR++/++
TPR ++/++
KPR++/++
Reflek patologis
Hoff -/-
Trom -/-
Babinski -/- Chaddock -/Openheim -/-
Gonda
-/Gordon
-/- Schaefer
-/Klonus
-/-
Sensorik Sensorik
Superior
Inferior
Tekan
Sde
Sde
Raba
Baik
Baik
Nyeri
Baik
baik
9
5.Gerakan-Gerakan Abnormal
vi.
Tremor
:-
Athetose
:-
Mioklonik
:-
Khorea
:-
Alat Vegetatif Miksi
: Inkontinensi (-), Retensi (-)
Defekasi
: Inkontinesi (-), Retensi (-)
2.4. Pemeriksaan Penunjang 1. Darah Lengkap dan Elektrolit Tabel Pemeriksaan Laboratotium Darah Tgl 29 Juli 2018 Jenis Pemeriksaan
Hasil HEMATOLOGI
Nilai Rujukan
Hematologi lengkap Hemoglobin Eritrosit Leukosit Trombosit Hematokrit
13,8 4,56 15,4 214 39,9
11,7-15,5 gr/d3 3,8-5,2 juta/ul 3,6-11,0 ribu/ul 150-440 ribu/mm3 35-47%
Index Eritrosit MCV MCH MCHC
87,5 30,3 34,6
70-96 fL 26-34 pg 30-36%
Hitung Jenis Leukosit Basofil Neutrofiil Limfosit Eosinofil Monosit
1,87 78,00 13,30 0,33 0,41
0-1 % 40-70 % 22-40 % 2-4 % 4-8 %
KIMIA KLINIK Elektrolit Natrium Kalium Klorida
146 3,80 108
137-150mmol/L 3,5-5,0mmol/L 95-105 mmol/L
10
2. Gula Darah Acak; 112mmol/dl 3. Usul pemeriksaan EEG
2.5. Resume
Pasien datang ke RSUD dengan keluhan tiba-tiba kejang 3 hari SMRS. Pasien kejang lebih dari 5 kali dalam satu hari. Lama satu kali kejang ± 10-15 menit. Saat kejang pasien tidak sadar.Keluarga pasien mengatakan bahwa pasien kejang dengan kedua tangan, kaki, hingga kepala kaku dan mata melihat keatas, sampai keluar busa pada mulut. Saat kejang badan kaku dan dihentakkan. Sebelumnya pasien rutin kontrol ke RSUD dengan riwayat penyakit epilepsi. Namun karena telat kontrol maka pasien tidak meminum obat epilepsi selama 1 minggu sehingga pasien kembali kejang Pasien datang dengan GCS E4 V5 M6, dengan TD : 120/80 mmHg Nadi : 80 x/menit RR : 20 x/menit Suhu : 36,8 oC. Reflex fisiologis dan reflex patologis dalam batas normal. Status psikis meliputi cara berpikir, tingkah laku,dan ingatan menurun. Pemeriksaan darah lengkap menunjukkan leukosit meningkat hingga 15,4 ribu/ ul.
11
2.7 Diagnosa Kerja
Diagnosa klinis
: Riwayat konvulsi
Diagnosa topis
: Fronto temporal kiri
Diagnosa etiologi : Epilepsi
2.8 Penatalaksanaan
- Non farmakologi : Bed rest -
Farmakologi IVFD RL 30 tpm Inj.Fenitoin 2x300mg Diazepam 1 amp/ 10 mg
2.9 SOAP Hari Tanggal
Sabtu, 30 Juli 2018
S
Kejang 3x tadi malam ±5menit dlm sekali kejang,, mual(-), muntah (-)
O
Dx Klinis: Riw. konvulsi GCS: 456 VS : TD: 120/80 mmHg HR:100x/mnt Dx Topis: frontotemporal RR: 28x/mnt T: 36,8 oC sinistra Mata : Pupil bulatiskor 3/3, RC +/+ Dx Etiologi: Leher : KK -, L -, K -, Brudz I/II – epilepsi N. Cranialis dbN KU: tampak sakit berat
Kejang (+) namun jarang terjadi daripada sebelumnya
Sensitibilitas sde Vegetatif Retensi urin/alvi -/Inkontinensia urin/alvi -/-
KU : tampak sakit sedang
GCS : 456 VS : TD: 110/80 mmHg HR80x/mnt RR: 26x/mnt T: 36,5 oC
Mata : Pupil bulatiskor 3/3, RC +/+
Leher : KK -, L -, K -, Brudz I/II –
N. Cranialis dbN
1 Agustus 2018
Kejang (-)
- Non farmakologi : Bed rest - Farmakologi: IVFD RL 30 tpm, Inj.Fenitoin 2x300mg Diazepam, 1 amp/ 10 mg (kp)
P
31 Juli 2018
A
- Non farmakologi : Bed rest - Farmakologi: IVFD RL 30 tpm, Inj.Fenitoin 2x300mg Diazepam, 1 amp/ 10 mg (kp)
Dx Klinis: Riw. konvulsi Dx Topis: frontotemporal
- Non farmakologi : Bed rest - Farmakologi: IVFD RL 30 tpm (mikro), Inj.Fenitoin 2x30mg
Sensitibilitas sde Vegetatif Retensi urin/alvi -/Inkontinensia urin/alvi -/-
KU : tampak sakit sedang
GCS : 456
Dx Klinis: Riw. konvulsi Dx Topis: frontotemporal sinistra Dx Etiologi: epilepsi
VS : TD: 110/80 mmHg HR80x/mnt RR: 20x/mnt T: 36,9 oC
12
Mata : Pupil bulatiskor 3/3, RC +/+
Leher : KK -, L -, K -, Brudz I/II –
N. Cranialis dbN
Sensitibilitas sde Vegetatif Retensi urin/alvi -/Inkontinensia urin/alvi -/-
sinistra Dx Etiologi: epilepsi
Diazepam, 1 amp/ 10 mg
(kp)
13
BAB III TINJUAN PUSTAKA 3.1 Definisi
Epilepsi merupakan salah satu kelainan neurologis yang paling umum terjadi dan mengenai sekitar 50 juta orang di dunia. Epilepsi berupa suatu kondisi yang berbeda-beda ditandai dengan kejang yang tiba-tiba dan berulang. Tidak ada perbedaan usia, jenis kelamin, atau ras, meskipun kejadian kejang epilepsi yang pertama mempunyai dua pembagian, dengan puncaknya pada saat masa kanakkanak dan setelah usia 60 tahun (WHO, 2012). Kata epilepsi berasal dari kata Yunani dan Latin untuk kejang dan mengambil alih (WHO, 2005). Epilepsi berasal dari kata Yunani, epilambanmein, yang berarti serangan. Masyarakat percaya bahwa epilepsi disebabkan oleh roh jahat dan juga dipercaya bahwa epilepsi merupakan penyakit yang bersifat suci.Hal ini yang melatarbelakangi adanya mitos dan rasa takut terhadap epilepsi.Mitos tersebut mewarnai sikap masyarakat dan menyulitkan upaya penanganan penderita epilepsi dalam kehidupan normal. Kejang berasal dari bahasa Latin, sacire, yang berarti untuk mengambil alih. Kejang adalah suatu kejadian tiba-tiba yang disebabkan oleh lepasnya agregat dari sel-sel saraf di sistem saraf pusat yang abnormal dan berlebihan (Lowenstein, 2010). Epilepsi merupakan manifestasi gangguan fungsi otak dengan berbagai etiologi, dengan gejala tunggal yang khas, yakni kejang berulang akibat lepasnya muatan listrik neuron otak secara berlebihan dan paroksimal. Epilepsi ditetapkan sebagai kejang epileptik berulang (dua atau lebih), yang tidak dipicu oleh penyebab yang akut (Markand, 2009). Bangkitan epilepsi adalah manifestasi klinis dari bangkitan serupa yang berlebihan dan abnormal, berlangsung secara mendadak dan sementara, dengan atau tanpa perubahan kesadaran, disebabkan oleh hiperaktifitas listrik sekelompok sel saraf di otak yang bukan disebabkan oleh suatu penyakit otak akut. Lepasnya
14
muatan listrik yang berlebihan ini dapat terjadi di berbagai bagian pada otak dan menimbulkan gejala seperti berkurangnya perhatian dan kehilangan ingatan jangka pendek, halusinasi sensoris, atau kejangnya seluruh tubuh (Miller, 2009). Sindrom epilepsi adalah sekumpulan gejala dan tanda klinis epilepsi yang terjadi bersama-sama meliputi berbagai etiologi, umur, onset, jenis serangan, faktor pencetus dan kronisitas (Engel Jr, 2006). 3.2 Epidemiologi
WHO melaporkan sebanyak sekitar 43 juta orang dengan epilepsi berasal dari 108 negara yang mencakup 85,4% dari populasi dunia. Angka rata-rata orang dengan epilepsi per 1000 populasi adalah 8,93 dari 105 negara. Angka rata-rata orang dengan epilepsi per 1000 populasi bervariasi di seluruh wilayah. Amerika mempunyai angka rata-rata 12,59, 11,29 di Afrika, 9,4 di Mediterania Timur, 8,23 di Eropa, dan 3,66 di Pasifik Barat. Sementara itu, Asia Tenggara memiliki angka rata-rata sebanyak 9,97 (WHO, 2005). Prevalensi epilepsi aktif dalam sejumlah besar studi membuktikan keseragaman pada angka 4-10 per 1000 penduduk. Insidensi epilepsi di negara maju adalah 24-53 per 100.000 populasi. Terdapat beberapa studi kejadian epilepsi di negara berkembang, tetapi tidak ada yang cukup prospektif. Mereka menunjukkan 49,3-190 per 100.000 populasi. Tingkat insidensi tinggi di negara berkembang yang dianggap sebagai akibat dari infeksi parasit terutama neurosistiserkosis, HIV, trauma, dan morbiditas perinatal sulit untuk ditafsirkan karena masalah metodologis, terutama kurangnya penyesuaian usia, yang penting karena epilepsi memiliki dua bimodal terkait usia. Sedangkan di negara maju, insidensi di kalangan orang tua meningkat dan menurun di kalangan anak-anak. Hal ini diakibatkan karena meningkatnya risiko penyakit serebrovaskular. Sebaliknya, perawatan obstetrik yang lebih baik dan pengendalian infeksi dapat mengurangi angka kejadian pada anak-anak. Tingkat insidensi di dunia lebih besar pada pria dibandingkan wanita (WHO, 2005).
15
Berapa banyak pasien epilepsi di Indonesia, sampai sekarang belum diketahui. Meskipun di Indonesia belum ada data pasti tentang prevalensi maupun insidensi, tapi sebagai suatu negara berkembang yang penduduknya berkisar 220 juta, maka diperkirakan jumlah orang dengan epilepsi yang masih mengalami bangkitan dan membutuhkan pengobatan berkisar 1,8 juta orang (Hawari, 2011). 3.3 Etiologi
Penyebab epilepsi pada berbagai kelompok usia: 1. Neonatal Kelainan kongenital, kelainan saat persalinan, anoksia, kelainan metabolik (hipokalsemia,
hipoglisemia,
defisiensi
vitamin
B6,
defisiensi
biotinidase,fenilketonuria). 2. Bayi (1-6 bulan) Kelainan kongenital, kelainan saat persalinan, anoksia, kelainan metabolik, spasme infantil, Sindroma West. 3. Anak (6 bulan – 3 tahun) Spasme
infantil,
kejang
demam,
kelainan
saat
persalinan
dan
anoksia,infeksi, trauma, kelainan metabolik, disgenesis kortikal, keracunan obatobatan. 4. Anak (3-10 tahun) Anoksia perinatal, trauma saat persalinan atau setelahnya, infeksi, thrombosis arteri atau vena serebral, kelainan metabolik, Sindroma Lennox Gastaut, Rolandic epilepsi. 5. Remaja (10-18 tahun) Epilepsi idiopatik, termasuk yang diturunkan secara genetik, epilepsi mioklonik juvenile, trauma, obat-obatan. 6. Dewasa muda (18-25 tahun)
16
Epilepsi idiopatik, trauma, neoplasma, keracunan alkohol atau obat sedasi lainnya. 7. Dewasa (35-60 tahun) Trauma, neoplasma, keracunan alkohol atau obat lainnya. 8. Usia lanjut (>60 tahun) Penyakit vascular (biasanya pasca infark), tumor, abses, penyakit degeneratif, trauma. Meningitis atau ensefalitis dan komplikasinya mungkin adalah penyebab kejang di semua kelompok usia. Hal ini dikarenakan adanya gangguan metabolik yang berat. Pada negara tropis dan subtropis, infeksi parasit pada sistem saraf pusat adalah penyebab umum kejang. 3.4 Klasifikasi
Klasifikasi bangkitan epilepsi menurut International League Against Epilepsi (1981): A. Bangkitan parsial a. Bangkitan parsial sederhana 1. Motorik 2. Sensorik 3. Otonom 4. Psikis b. Bangkitan parsial kompleks 1. Bangkitan parsial sederhana diikuti gangguan kesadaran 2. Bangkitan parsial disertai gangguan kesadaran saat awal bangkitan
17
c. Bangkitan parsial yang menjadi umum sekunder 1. Parsial sederhana menjadi umum tonik-klonik 2. Parsial kompleks menjadi umum tonik-klonik 3. Parsial sederhana menjadi parsial kompleks kemudian menjadi umum tonik-klonik B. Bangkitan umum a. Absans (lena) b. Mioklonik c. Klonik d. Tonik e. Tonik-klonik f. Atonik C. Tak tergolongkan Klasifikasi sindroma epilepsi menurut ILAE 1989 (Rudzinski dan Shih, 2011): A. Berkaitan dengan letak fokus a. Idiopatik (primer) 1. Epilepsi anak benigna dengan gelombang paku di sentrotemporal (Rolandik benigna) 2. Epilepsi pada anak dengan paroksismal oksipital 3. Primary reading epilepsy
18
b. Simtomatik (sekunder) 1. Epilepsi kronik progresif parsialis kontinua pada anak (Sindrom Kojewnikow) 2. Epilepsi lobus temporalis 3. Epilepsi lobus frontalis 4. Epilepsi lobus parietalis 5. Epilepsi lobus oksipitalis c. Kriptogenik B. Umum a. Idiopatik (primer) 1. Kejang neonatus familial benigna 2. Kejang neonatus benigna 3. Epilepsi mioklonik benigna pada bayi 4. Epilepsi absans pada anak 5. Epilepsi absans pada remaja 6. Epilepsi mioklonik pada remaja 7. Epilepsi dengan serangan tonik klonik pada saat terjaga 8. Epilepsi tonik klonik dengan serangan acak b. Kriptogenik atau simtomatik 1. Sindroma West (spasme infantil dan hipsaritmia) 2. Sindroma Lennox Gastaut 3. Epilepsi dengan kejang mioklonik astatik
19
4. Epilepsi dengan absans mioklonik c. Simtomatik 1. Etiologi non spesifik - Ensefalopati mioklonik neonatal - Sindrom Ohtahara 2. Etiologi atau sindroma spesifik - Malformasi serebral - Gangguan metabolisme C. Epilepsi dan sindroma yang tidak dapat ditentukan a. Serangan umum fokal 1. Kejang neonatal 2. Epilepsi mioklonik berat pada bayi 3. Sindroma Taissinare 4. Sindroma Landau Kleffner b. Tanpa gambaran tegas fokal atau umum D. Epilepsi berkaitan dengan situasi a. Kejang demam b. Berkaitan dengan alkohol c. Berkaitan dengan obat-obatan d. Eklamsi e. Serangan berkaitan dengan pencetus spesifik (reflek epilepsi)
20
3.4 Patofisiologi
Telah diketahui bahwa neuron memiliki potensial membran, hal ini terjadi karena adanya perbedaan muatan ion-ion yang terdapat di dalam dan di luar neuron. Perbedaan jumlah muatan ion-ion ini menimbulkan polarisasi pada membran dengan bagian intraneuron yang lebih negatif. Neuron bersinaps dengan neuron lain melalui akson dan dendrit. Suatu masukan melalui sinapsis yang bersifat eksitasi akan menyebabkan terjadinya depolarisasi membran yang berlangsung singkat, kemudian inhibisi akan menyebabkan hiperpolarisasi membran. Bila eksitasi cukup besar dan inhibisi kecil, akson mulai terangsang, suatu potensial aksi akan dikirim sepanjang akson, untuk merangsang atau menghambat neuron lain. Patofisiologi utama terjadinya epilepsi meliputi mekanisme yang terlibat dalam munculnya kejang (iktogenesis), dan juga mekanisme yang terlibat dalam perubahan otak yang normal menjadi otak yang mudahkejang (epileptogenesis). 1. Mekanisme iktogenesis Hipereksitasi adalah faktor utama terjadinya iktogenesis. Eksitasi yang berlebihan dapat berasal dari neuron itu sendiri, lingkungan neuron, atau jaringan neuron. - Sifat eksitasi dari neuron sendiri dapat timbul akibat adanya perubahan fungsional dan struktural pada membran postsinaptik; perubahan pada tipe, jumlah, dan distribusi kanal ion gerbang-voltase dan gerbang-ligan; atau perubahan biokimiawi pada reseptor yang meningkatkan
permeabilitas
terhadap
Ca2+,
mendukung
perkembangan depolarisasi berkepanjangan yang mengawali kejang. - Sifat eksitasi yang timbul dari lingkungan neuron dapat berasal dari perubahan fisiologis dan struktural. Perubahan fisiologis meliputi perubahan
konsentrasi
ion,
perubahan
metabolik,
dan
kadar
neurotransmitter. Perubahan struktural dapat terjadi pada neuron dan sel glia. Konsentrasi Ca2+ ekstraseluler menurun sebanyak 85% selama kejang, yang mendahului perubahan pada konsentasi K2+. Bagaimanapun, kadar Ca2+ lebih cepat kembali normal daripada
21
kadar K2+. - Perubahan pada jaringan neuron dapat memudahkan sifat eksitasi di sepanjang sel granul akson pada girus dentata; kehilangan neuron inhibisi; atau kehilangan neuron eksitasi yang diperlukan untuk aktivasi neuron inhibisi. 2. Mekanisme epileptogenesis - Mekanisme nonsinaptik Perubahan konsentrasi ion terlihat selama hipereksitasi, peningkatan kadar K2+ ekstrasel atau penurunan kadar Ca2+ ekstrasel. Kegagalan pompa Na+-K+ akibat hipoksia atau iskemia diketahui menyebabkan epileptogenesis, dan keikutsertaan angkutan Cl--K+, yang mengatur kadar Cl- intrasel dan aliran Cl- inhibisi yang diaktivasi oleh GABA, dapat menimbulkan peningkatan eksitasi. Sifat eksitasi dari ujung sinaps
bergantung
pada
lamanya
depolarisasi
dan
jumlah
neurotransmitter yang dilepaskan. Keselarasan rentetan ujung runcing abnormal pada cabang akson di sel penggantian talamokortikal memainkan peran penting pada epileptogenesis. - Mekanisme sinaptik Patofisiologi sinaptik utama dari epilepsi melibatkan penurunan inhibisi
GABAergik dan peningkatan eksitasi glutamatergik.
o GABA Kadar GABA yang menunjukkan penurunan pada CSS (cairan serebrospinal) pasien dengan jenis epilepsi tertentu, dan pada potongan jaringan epileptik dari pasien dengan epilepsi yang resisten terhadap obat, memperkirakan bahwa pasien ini mengalami penurunan inhibisi. o Glutamat Rekaman hipokampus dari otak manusia yang sadar menunjukkan peningkatan kadar glutamat ekstrasel yang terus-menerus selama dan mendahului kejang. Kadar GABA tetap rendah pada hipokampus yang epileptogenetik, tapi selama kejang, konsentrasi GABA meningkat, meskipun pada kebanyakan hipokampus yang non-epileptogenetik.
22
Hal ini mengarah pada peningkatan toksik di glutamat ekstrasel akibat Tabel 2.1 Manifestasi Klinis Bangkitan Epilepsi Tipe Kejang
Ciri Khas
Kejang Parsial Parsial sederhana
Adanya
gejala
motorik,
somatosensorik, sensorik, otonom, atau kejiwaan. Kesadran normal Parsial kompleks
Adanya
gejala
motorik,
somatosensorik, sensorik, Kejang umum Tonik-klonik
Kekakuan klonik yang diikiuti oleh sentakan ekstremitas yang sinkron. Dapat disertai inkontinensia. Diikuti dengan kebingungan pasca kejang.
Absans
Hilangnya kesadaran yang singkat (biasanya
< 10 detik) dengan
terhnetinya aktivitas yang sedang berlangsung. Mioklonik
Adanya satu atau banyak sentakan otot. Kesadaran normal. Biasanya bilateral dan simetris.
Atonik
Hilangnya tonus otot yang singkat
Tonik
Kontraksi
otot
yang
berkepanjangan Klonik
Pergantian sentakan dan relaksasi ekstremitas secara berulang-ulang
Sumber : (Miller, 2009)
23
3.5 Penegakan Diagnosa
Epilepsi dapat ditegakkan setelah pasien mengalami dua atau lebih kejang yang tidak dipicu (Rudzinski dan Shih, 2011). Diagnosis pasti dapat ditegakkan hanya jika kejang terjadi selama perekaman EEG atau jika muatan listrik dapat dihubungkan dengan tanda dan gejala pasien. Oleh karena itu, diagnosis kejang tetap yang paling utama (Miller, 2009). Diagnosis epilepsi merupakan masalah tersendiri karena membuat diagnosis epilepsi secara rutin memerlukan pengetahuan klinis dan keterampilan yang khusus. Pada kebanyakan pasien epilepsi, diagnosis dapat dibuat dengan mengetahui secara lengkap riwayat penyakit, pemeriksaan fisik dan neurologi, pemeriksaan elektroensefalografi, dan pencitraan otak (Sunaryo, 2006). 1. Anamnesis Anamnesis harus dilakukan secara cermat, rinci, dan menyeluruh karena pemeriksa hampir tidak pernah menyaksikan serangan yang dialami penderita. Anamnesis dapat berupa autoanamnesis maupun aloanamnesis, meliputi: a. Pola atau bentuk serangan b. Lama serangan c. Gejala sebelum, selama, dan sesudah serangan d. Frekuensi serangan e. Faktor pencetus f. Ada tidaknya penyakit lain yang diderita sekarang g. Usia saat serangan pertama h. Riwayat kehamilan, persalinan, dan perkembangan i. Riwayat penyakit, penyebab, dan terapi sebelumnya
24
j. Riwayat penyakit epilepsi dalam keluarga 2. Pemeriksaan fisik dan neurologi Melihat adanya tanda-tanda infeksi, seperti demam, infeksi telinga, tanda meningeal, atau bukti adanya trauma kepala. Pemeriksaan fisikk harus menepis sebab-sebab terjadinya serangan dengan menggunakan umur dan riwayat penyakit sebagai pegangan. Pada anak-anak, pemeriksa harus memperhatikan adanya keterlambatan perkembangan, organomegali, perbedaan ukuran antara anggota tubuh yang dapat menunjukkan
awal
gangguan
pertumubuhan
otak
unilateral.
Pemeriksaan neurologis lengkap dan rinci adalah penting, khususnya untuk mencari tanda-tanda fokal atau lateral. 3. Pemeriksaan penunjang a. Elektroensefalografi (EEG) Pemeriksaan EEG harus dilakukan pada semua pasien epilepsi dan merupakan pemeriksaan penunjang yang paling sering dilakukan untuk menegakkan diagnosis epilepsi dan tipe kejang lainnya yang tepat dan bahkan sindrom epilepsi (Markand, 2009). EEG juga dapat membantu pemilihan obat anti epilepsi dan prediksi prognosis pasien (Smith, 2005). Adanya kelainan fokal pada EEG menunjukkan kemungkinan adanya lesi struktural di otak, sedangkan adanya kelainan umum pada EEG menunjukkan kemungkinan
adanya
kelainan
genetik
atau
metabolik.
Pemeriksaan EEG rutin sebaiknya dilakukan perekaman pada waktu sadar dalam keadaan istirahat dan pada waktu tidur (Sunaryo, 2006). Gambaran EEG pasien epilepsi menunjukkan gambaran epileptiform, misalnya gelombang tajam (spike), pakuombak, paku majemuk, dan gelombang lambat yang timbul secara paroksismal.
25
b. Pemeriksaan radiologis Pemeriksaan yang dikenal dengan istilah pencitraan otak (neuroimaging) bertujuan untuk melihat struktur otak dengan melengkapi data EEG. Pada pencitraan struktural, MRI merupakan pilihan utama, lebih unggul dibandingkan CT scan, karena MRI dapat
mendeteksi
Pencitraan
dan
fungsional
Computerised
menggambarkan
lesi
seperti
Photon
Emission
Positron
Emission
Tomography
Single
(SPECT),
epileptogenik.
Tomography (PET), dan MRI fungsional digunakan lebih lanjut untuk menentukan lokasi lesi epileptogenik sebelum pembedahan jika pencitraan struktural meragukan. MRI fungsional juga dapat membantu menentukan lokasi area fungsional spesifik sebelum pembedahan (Consensus Guidelines on the Management of Epilepsy, 2010). 3.6 Diagnosis Banding
Diagnosis Banding epilepsi yaitu: 1.Pada neonatus : jittring dan apneic spell 2. Pada anak : breath holding spells, sinkope, migrain, bangkitan psikogenik/konversi, Prolonged QT syndrome, Night terror, Tics, Hypercianotic attack (pada tetralogi fallot) 3. Pada dewasa : sinkope (vasovagal attack, sinkope kardiogenik, sinkope hipovolemik, sinkope hipotensi, dan sinkop saaat miksi (micturition sinkope), serangan iskemik sepintas (TIA), vertigo, Transint Global Amnesia, Narkolepsi, Bangkitan Panic, psikogenik 3.7 Penatalaksanaan
Tujuan utama pengobatan epilepsi adalah membuat orang dengan epilepsi (ODE) terbebas dari serangan epilepsinya, terutama terbebas dari serangan kejang sedini mungkin. Setiap kali terjadi serangan kejang yang berlangsung sampai beberapa menit maka akan menimbulkan kerusakan sampai kematian
26
sejumlah sel-sel otak. Apabila hal ini terus-menerus terjadi, maka dapat mengakibatkan menurunnya kemampuan intelegensi penderita. Pengobatan epilepsi dinilai berhasil dan ODE dikatakan sembuh apabila serangan epilepsi dapat dicegah atau penyakit ini menjadi terkontrol dengan obat-obatan. Penatalaksanaan untuk semua jenis epilepsi dapat dibagi menjadi 4 bagian: penggunaan
obat
antiepilepsi
(OAE),
pembedahan
fokus
epilepsi,
penghilangan faktor penyebab dan faktor pencetus, serta pengaturan aktivitas fisik dan mental. Tapi secara umum, penatalaksanaan epilepsi dibagi menjadi dua, yaitu: 1. Terapi medikamentosa Terapi medikamentosa adalah terapi lini pertama yang dipilih dalam menangani penderita epilepsi yang baru terdiagnosa. Ketika memulai pengobatan, pendekatan yang “mulai dengan rendah, lanjutkan dengan lambat (start low, go slow)” akan mengurangi risiko intoleransi obat (Smith dan Chadwick, 2001). Penatalaksanaan epilepsi sering membutuhkan pengobatan jangka panjang. Monoterapi lebih dipilih ketika mengobati pasien epilepsi, memberikan keberhasilan yang sama dan tolerabilitas yang unggul dibandingkan politerapi (Louis, Rosenfeld, Bramley, 2009). Pemilihan OAE yang dapat diberikan dapat dilihat pada tabel 2.2.
Tabel 2.2 Daftar OAE yang umum digunakan dan indikasinya Tipe Kejang
Lini Pertama
Lini Kedua
Parsial kompleks,
Carbamazepine
Acetazolamide
parsial kompleks,
Lamotrigine
Clonazepam
Kejang parsial
27
Umum sekunder
Levatiracetam
Gabapentin
Oxarbazepine
Phenobarbitone
Topiramate
Phenytoin
Valporate Kejang umum Tonik-klonik,
Carbamazepine
Acetazolamide
Konik
Lamotrigine
Levatiracetam
Topiramate
Phenobarbitone
Valporate
Phenytoin
Ethosuximide
Acetazolamide
Lamotrigine
Clonazepam
Absans
Valporate Absans atipikal,
Valporate
Acetazolamide
Atonik,
Clonazepam
Tonik
Lamotrigine Phenytoin Topiramate
Mioklonik
Valporate
Acetazolamide Clonazepam Lamotrigine Levatiracetam
28
Phenobarbitone Piracetam Sumber: (Consensus Guidelines onn the Management og Epilepsy, 2010) 2. Terapi bedah epilepsi Tujuan terapi bedah epilepsi adalah mengendalikan kejang dan meningkatkan kualitas hidup pasien epilepsi yang refrakter. Pasien epilepsi dikatakan refrakter apabila kejang menetap meskipun telah diterapi selama 2 tahun dengan sedikitnya 2 OAE yang paling sesuai untuk jenis kejangnya atau jika terapi medikamentosa menghasilkan efek samping yang tidak dapat diterima. Terapi bedah epilepsi dilakukan dengan membuang atau memisahkan seluruh daerah epileptogenik tanpa mengakibatkan risiko kerusakan jaringan otak normal didekatnya (Consensus Guidelines on the Management of Epilepsy, 2010). 3.8 Prognosis
Prognosis epilepsi bergantung pada beberapa hal, diantaranya jenis epilepsi, faktor penyebab, saat pengobatan dimulai, dan keteraturan minum obat. Pada umumnya prognosis epilepsi cukup baik. Pada 50-70% penderita epilepsi, serangan dapat dicegah dengan obat-obat, sedangkan sekitar 50% pada suatu waktu dapat berhenti minum obat. Serangan epilepsi primer, baik yang bersifat kejang umum maupun serangan lena atau melamun atau absence mempunyai prognosis baik. Sebaliknya epilepsi yang seranagn pertamanya mulai pada usia 3 tahun atau yang disertai kelainan neurologik dan atau retardasi mental mempunyai prognosis relatif jelek. Pada epilepsi dengan tipe bangkitan mioklonik, prognosisnya sangat buruk jika ia disebabkan oleh anoksia.
29
BAB IV PEMBAHASAN 4.1 Alur Penegakan Diagnosa
Pasien datang ke RSUD dengan keluhan tiba-tiba kejang 3 hari SMRS. Pasien kejang lebih dari 5 kali dalam satu hari. Lama satu kali kejang ± 10-15 menit. Saat kejang pasien tidak sadar.Keluarga pasien mengatakan bahwa pasien kejang dengan kedua tangan, kaki, hingga kepala kaku dan mata melihat keatas, sampai keluar busa pada mulut. Saat kejang badan kaku dan dihentakkan. Sebelumnya pasien rutin kontrol ke RSUD dengan riwayat penyakit epilepsi. Namun karena telat kontrol maka pasien tidak meminum obat epilepsi selama 1 minggu sehingga pasien kembali kejang Pasien datang dengan GCS E4 V5 M6, dengan TD : 120/80 mmHg Nadi : 80 x/menit RR : 20 x/menit Suhu : 36,8 oC. Reflex fisiologis dan reflex patologis dalam batas normal. Status psikis meliputi cara berpikir, tingkah laku,dan ingatan menurun. Pemeriksaan darah lengkap menunjukkan leukosit meningkat hingga 15,4 ribu/ ul Diagnosa pada pasien ini ditegakkan berdasarkan, anamnesis, pemeriksaan fisik, serta pemeriksaan penunjang sebagai berikut: 1.
Hasil anamnesa didapatkan data:
Kejang tiba-tiba
Kejang lebih dari 5 kali dalam satu hari
Satu kali kejang ± 10-15 menit
Tidak sadar saat kejang
Kejang dengan kedua tangan, kaki, hingga kepala kaku dan mata melihat keatas, sampai keluar busa pada mulut
Saat kejang otot kaku dan dihentakkan.
Riwayat epilepsi Diagnosa epilepsi dibuat berdasarkan gejala klinis epilepsi yang
menunjukkan adanya bangkitan kejang yang berlebihan dan abnormal, berlangsung secara mendadak dan sementara, dengan atau tanpa perubahan kesadaran, disebabkan oleh hiperaktifitas listrik sekelompok sel saraf di otak yang bukan disebabkan oleh suatu penyakit otak akut .
30
Selain itu, kejang yang dialami oleh pasien yaitu pada seluruh tubuh sehingga termasuk kedalam kejang general. Saat terjadi kejang tubuh menjadi kaku lalu dikatakan bahwa pasien kejang dengan menghentak-hentakkan tangan dan kaki. Dari klasifikasi kejang, dicurigai merupakan kejang umum tonik-klonik. Kejang jenis ini paling banyak ditemui. Dimana pada kejang ini terjadi hilangnya kesadaran. Pada saat episode, dikatakan penderita menghentak-hentakkan tangan dan kaki yang mengarahkan pada jenis “klonik” dan kekakuan otot pada saat kejadian “tonik”. 2.
Hasil Pemeriksaan Fisik didapatkna data: Berdsarkan hasil pemeriksaan fisik, data yang diperoleh cenderung normal, namun untuk pemeriksaan status psikis terdapat beberapa kelainan diantaranya : Cara berpikir
: Menurun
Perasaan hati
: Sulit dievaluasi
Tingkah Laku
: Menurun
Ingatan
: Menurun
Kecerdasan
: Menurun
Apabila dilihat dari fungsi otak, maka otak yang memiliki fungsi emosi, perencanaan, kreativitas, penilaian, gerakan dan pemecahan masalah dikendalikan di lobus frontal. Sedangkan pendengaran, belajar dan fungsi bahasa dikendalikan oleh lobus temporal. Pda pasien didapatkan penurunan pada cara berpikir, tingkah laku, ingatan, dan kecerdasan sehingga dapat diduga bahwa kelainan berada pada otak bagian fronto temporal. 3.
Hasil Pemeriksaan Penunjang didapatkan data: Pemeriksaan EEG menunjukkan hasil bahwa terdapat perekaman abnormal pada EEG yakni menunjukkan adanya gelombang epileptiform di fronto temporal kiri yang bisa berpotensi epileptogenik.
4.2 Dasar Pemilihan Terapi - IVFD RL 30 tpm
Ringer laktat bekerja sebagai sumber air dan elektrolit tubuh serta untuk meningkatkan duresis. Obat ini juga memiliki efek alkalis, dimana ion laktat
31
dimetabolisasi menjadi karbon dioksida dan air yang menggunakan hidrogen kation sehingga menyebabkan turunnya keasaman - Inj.Fenitoin 2x300mg Fenitoin bekerja menginhibisi hipereksitabilitas kanal natrium berperan dalam memblok loncatan listrik. Beberapa studi membuktikan bahwa obat antiepilepsi selain mempunyai efek samping, juga bisa berinteraksi dengan obat-obat lain yang berefek terhadap gangguan kognitif ringan dan sedang. Melihat banyaknya efek samping dari obat antiepilepsi maka memilih obat secara tepat yang efektif sangat perlu mengingat bahwa epilepsi itu sendiri berefek pada kerusakan atau cedera terhadap jaringan otak.
- Diazepam 1 amp/ 10 mg Obat ini bekerja dengan peningkatan inhibisi dari g-aminobutyric acid (GABA) oleh ikatan pada Benzodiazepin-GABA dan kompleks Reseptor-Barbiturat