Laporan Kasus Kasus EPISODE DEPRESI BERAT TANPA GEJALA PSIKOTIK
Disusun Oleh: Meirisa Rahma Pratiwi
04054821618039 040548216180 39
Dess Dessy y Carm Carmel elia ia N
0405 040548 4821 2161 6180 8040 40
Nur-Annisa Faradina
04084821618174
Al-A Al-Ami mira rah h Zain Zainab ab
0408 040848 4821 2161 6181 8175 75
Prab Prabash ashni ni Rama Ramani ni
040548 040548215 215171 17143 43
Pembimbing : dr. Abdullah Shahab, SpKJ (K)
BAGIAN ILMU KEDOKTERAN JIWA RUMAH SAKIT ERNALDI BAHAR PALEMBANG
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS SRIWIJAYA
2017 HALAMAN PENGESAHAN
Judul Laporan Kasus: EPISODE DEPRESI BERAT DENGAN GEJALA PSIKOTIK
Oleh: Meirisa Rahma Pratiwi
04054821618039 040548216180 39
Dess Dessy y Carm Carmel elia ia N
0405 040548 4821 2161 6180 8040 40
Nur-Annisa Faradina
04084821618174
Al-A Al-Ami mira rah h Zain Zainab ab
0408 040848 4821 2161 6181 8175 75
Prab Prabash ashni ni Rama Ramani ni
040548 040548215 215171 17143 43
Telah Telah diterima diterima dan disetujui disetujui sebagai sebagai salah salah satu syarat dalam mengikuti mengikuti ujian kepaniteraan klinik senior di Bagian Ilmu Kesehatan Jiwa Fakultas Kedokteran Universitas Sriwijaya Periode 13 September 2016 – 16 Oktober 2016
Palembang, Januari 2017 Pembimbing,
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS SRIWIJAYA
2017 HALAMAN PENGESAHAN
Judul Laporan Kasus: EPISODE DEPRESI BERAT DENGAN GEJALA PSIKOTIK
Oleh: Meirisa Rahma Pratiwi
04054821618039 040548216180 39
Dess Dessy y Carm Carmel elia ia N
0405 040548 4821 2161 6180 8040 40
Nur-Annisa Faradina
04084821618174
Al-A Al-Ami mira rah h Zain Zainab ab
0408 040848 4821 2161 6181 8175 75
Prab Prabash ashni ni Rama Ramani ni
040548 040548215 215171 17143 43
Telah Telah diterima diterima dan disetujui disetujui sebagai sebagai salah salah satu syarat dalam mengikuti mengikuti ujian kepaniteraan klinik senior di Bagian Ilmu Kesehatan Jiwa Fakultas Kedokteran Universitas Sriwijaya Periode 13 September 2016 – 16 Oktober 2016
Palembang, Januari 2017 Pembimbing,
dr. Abdullah Shahab, SpKJ (K)
KATA PENGANTAR
Puji dan syukur kehadirat Allah SWT atas karunia-Nya sehingga penulis dapat ”Episode Depresi Depresi Berat Berat dengan dengan Gejala Gejala menyel menyelesa esaika ikan n lapora laporan n kasus kasus yang yang berjud berjudul ul ”Episode Psikotik ”.
Lapo Lapora ran n kasu kasuss ini ini meru merupa paka kan n sala salah h satu satu syar syarat at Kepan epanit iter eraa aan n Klin Klinik ik di Bagian Bagian/De /Depar partem temen en Ilmu Ilmu Kedokt Kedoktera eran n Jiwa Jiwa Rumah Rumah Sakit Sakit Ernald Ernaldii Bahar Bahar Palemb Palembang ang Fakultas Kedokteran Universitas Sriwijaya. Penulis mengucapkan terima kasih kepada dr. Abdullah Shahab, SpKJ (K) selaku pembim pembimbin bing g yang yang telah telah member memberika ikan n bimbin bimbingan gan selama selama penuli penulisan san dan penyus penyusuna unan n laporan kasus ini. Penulis menyadari masih banyak kekurangan dalam penyusunan laporan kasus ini. ini. Oleh Oleh karena karena itu, itu, kritik kritik dan saran saran dari dari berbag berbagai ai pihak pihak sangat sangat penuli penuliss harapk harapkan. an. Semoga laporan kasus ini dapat memberi manfaat bagi pembaca.
Palembang, Januari 2017
Penulis
DAFTAR ISI HALAMAN JUDUL……...............................................................................
i
HALAMAN PENGESAHAN……………………………………………….
ii
KATA PENGANTAR……………………………………………………….
iii
DAFTAR ISI…………………………………………………………………
iv
BAB I PENDAHULUAN……………………………………………………
1
BAB II STATUS PASIEN …………………………………..........................
3
BAB III TINJAUAN PUSTAKA …………………………………................
16
BAB III ANALISIS KASUS …………………………………...................
35
DAFTAR PUSTAKA.......................................................................................
40
28
5
BAB I PENDAHULUAN
Salah satu bentuk gangguan mood yang sering terjadi pada semua usia di masyarakat yaitu gangguan depresi. Depresi merupakan satu masa terganggunya fungsi manusia yang berkaitan dengan alam perasaan yang sedih dan gejala penyertanya, termasuk perubahan pada pola tidur dan nafsu makan, psikomotor, konsentrasi, anhedonia, kelelahan, rasa putus asa dan tidak berdaya, serta bunuh diri. 1 Sedangkan menurut Sinopsis Psikitari, mood adalah keadaan emosional internal yang meresap dari seseorang. Emosi adalah kompleksitas perasaan yang meliputi psikis, somatik dan perilaku yang berhubungan dengan afek dan mood.
2
Prevalensi kejadian depresi cukup tinggi hampir lebih dari 350 juta penduduk dunia mengalami depresi. Survey yang dilakukan di 17 negara eropa, rata-rata 1 dari 20 orang pernah mengalami depresi. Gangguan depresi paling sering terjadi dengan prevalensi seumur hidup sekitar 15%. Perempuan dua kali lipat lebih besar dibandingkan laki-laki. Hal ini diduga adanya perbedaan hormon. Rata-rata usia penderita sekitar 40 tahun. Data terkini menunjukkan, gangguan depresi berat diusia kurang dari 20 tahun, yang mungkin berhubungan dengan meningkatnya pengguna alkohol dan penyalahgunaan zat. 3 Sebuah penelitian di Amerika Serikat didapatkan bahwa gangguan depresif berat terjadi pada 13 sampai 14 juta orang dewasa dan mengakibatkan penderitaan yang signifikan bagi penderitanya dalam hidup. 4 Prevalensi di Indonesia berdasarkan data Riskesda s tahun 2007 mencapai 11,6% atau diderita sekitar 19 juta gangguan mental emosional penduduk di atas 15 tahun orang.
5
Pasien depresi memperlihatkan kehilangan energi dan minat, merasa bersalah, sulit berkonsentrasi, hilangnya nafsu makan, berpikir untuk mati dan bunuh diri. Tanda dan gejala lain termasuk perubahan dalam tingkat aktivitas, kemampuan
6
kognitif, bicara dan fungsi vegetatif (termasuk tidur, aktivitas seksual dan ritme biologi yang lain). Gangguan ini hampir selalu menghasilkan hendaya interpersonal, sosial dan fungsi pekerjaan. Neurotransmitter yang mungkin berkurang pada gangguan depresi adalah norepineprin, dopamin, dan serotonin. 3 Gangguan depresif berat sekarang telah menjadi 2 masalah kesehatan yang serius dimana diperkirakan gangguan ini akan menduduki peringkat kedua penyebab disabilitas pada tahun 2020, setelah penyakit kardiovaskular. 6 Gangguan depresi berat dengan gejala psikotik adalah depresi yang parah walau bukan penderita psikotik.
7
Hingga sekarang terapi yang paling efektif untuk gangguan depresif berat yaitu kombinasi antara psikoterapi dan farmakoterapi. Psikoterapi jangka pendek dapat dibagi menjadi yaitu terapi kognitif, terapi perilaku dan terapi interpersonal.
7
2
BAB II STATUS PASIEN
I.IDENTIFIKASI PASIEN
a. Nama b. Jenis kelamin c. Umur d. Status perkawinan e. Agama f. Tingkat pendidikan g. Warga negara h. Suku bangsa i. Alamat j. Pekerjaan
: Ny. E : Perempuan : 52 tahun : Kawin : Islam : SMA : Indonesia : Sumatera : Komplek Megah Asri I Sukajadi Talang Kelapa : Ibu Rumah Tangga
II. ANAMNESIS A. ALLOANAMNESIS
Diperoleh dari Jenis kelamin Umur Alamat Pendidikan Pekerjaan Hubungan dgn pasien
: Nn. Y : Perempuan : 27 tahun : Komplek Megah Asri I Sukajadi Talang Kelapa : SMA : Belum bekerja : Anak kandung
a. Sebab Utama : Sulit tidur dan sering menangis b. Keluhan Utama : Tidak ada c. Riwayat Perjalanan Penyakit ± 5 bulan yang lalu, pasien mulai merasa tidak bisa tidur. Pasien juga merasa kepalanya terasa berat, dada sesak, dan badan tidak enak. Pasien juga menjadi lebih pendiam, pemurung, dan sering menangis. Pasien
8
bahkan sempat beberapa kali mengatakan ingin bunuh diri kepada anak pasien. Pasien masih bisa merawat diri dan melakukan aktivitas sehari-hari dengan baik. ± 3 minggu yang lalu, pasien tidak bisa tidur sama sekali. Saat tidak bisa tidur pasien menangis histeris. Pasien juga terlihat semakin pendiam, murung dan lebih sering melamun. Pasien masih bisa merawat diri tapi tidak memiliki keinginan untuk melakukan apapun. Pasien merasa kesepian dan tidak disayang. Pasien kemudian berobat ke Puskesmas Talang Kelapa lalu dirujuk ke RS Ernaldi Bahar Palembang. d. Riwayat Penyakit Dahulu Penyakit dengan keluhan yang sama sebelumnya disangkal. e. Riwayat Premorbid -
-
Lahir
: Lahir cukup bulan,spontan, langsung
menangis, ditolong bidan Bayi: Tumbuh kembang baik Anak-anak : Interaksi sosial baik Remaja : Interaksi sosial baik Dewasa : Interaksi sosial baik
f. Riwayat perkembangan organobiologi Riwayat kejang (-) Riwayat demam tinggi yang lama (-) -
Trauma kepala (-) Alergi (-)
g. Riwayat penggunaan alkohol dan obat-obatan terlarang Riwayat mengonsumsi alkohol dan NAPZA disangkal. h. Riwayat pendidikan Pasien lulus dari Sekolah Menengah Atas, bisa mengikuti pelajaran, nilai baik.
9
i.
Riwayat pekerjaan Ibu Rumah Tangga.
j. Riwayat perkawinan Pasien menikah satu kali, tahun 1986, usia perkawinan 30 tahun, atas dasar suka sama suka, tidak harmonis. k. Keadaan sosial ekonomi Pasien tinggal bersama anak perempuannya yang kedua yang belum menikah di sebuah rumah milik orang tua pasien. Kesan : Keadaan sosial ekonomi menengah ke bawah. l. Riwayat keluarga Pasien merupakan anak ketiga dari tiga bersaudara. Riwayat keluarga dengan gangguan jiwa disangkal. Pola asuh : normal, kasih sayang dan cukup adil
Pedigree
B. AUTOANAMNESIS DAN OBSERVASI
Wawancara dan observasi dilakukan pada Kamis, 12 Januari 2017 pukul 10.00 s.d. 10.45 WIB di Poliklinik Rumah Sakit Ernaldi Bahar, Palembang. Penampilan pasien cukup rapi, pasien memakai blus lengan panjang berwarna hijau dengan bawahan celana hitam. Pasien berperawakan
berisi
dengan tinggi badan sekitar 150 cm dan berat badan 60 kg, warna
kulit
sawo
matang. Pemeriksa dan pasien duduk saling berhadapan. Selama
10
wawancara pasien tampak tenang dan mau menatap pemeriksa. Pasien mampu menjawab pertanyaan dengan jelas dan dapat dimengerti. Wawancara dilakukan dengan menggunakan bahasa Indonesia. Pemeriksa Selamat pagi, Ibu. Kami
Pasien Pagi, dokter ( menjawab
dokter muda bagian jiwa
sambil menjabat tangan
(tersenyum dan
tanpa tersenyum )
mengulurkan tangan)
Interpretasi Kontak (+) Perhatian (+) kurang Konsentrasi kurang Afek sesuai Mood hipotimik Daya ingat baik
Siapa nama nya Bu? Boleh ya Bu kita ngobrol-
Ernawati. Ya dokter.
Kooperatif
52 tahun dok.
Daya ingat baik
ngobrol sebentar ya. Kalo boleh tahu usianya berapa Bu? Tinggalnya dimana Bu? Sekarang kita dimana?
Orientasi tempat Di Talang Kelapo Di rumah sakit Ernaldi Bahar. Kamis.
baik Orientasi waktu baik Orientasi personal baik
Hari ini hari apa ya Bu? Ini anak sama suami saya Ibu kesini sama siapa?
dok.
(sambil menunjuk keluarga pasien)
Kenapa Bu ke sini?
Mau berobat dok.
Discriminative judgement baik
Kenapa ibu mau berobat?
Sakit saya dok.
Discriminative insight baik
11
Sakit gimana Bu?
Susah tidur dok kepala rasanya berat (pasien mempertahankan kontak mata sambil memegang kepala)
Banyak yang dipikirin
memangnya Bu?
terkendali, adekuat, empati dapat dirabarasakan, arus
Sulit tidur kenapa Bu?
Ada masalah apa
Afek sesuai Mood hipotimik, Emosi stabil, dalam,
dok.
emosi lambat Afek sesuai Mood hipotimik
Ini suami kan tentara, jarang pulang, pulang-
Rasa
nikah lagi. Kesal dok rasa
permusuhan/dendam Perasaan inferior Perasaan tidak
hati mau meledak. Saya
berguna.
pulang bawa anak sudah
beban, kesal, emosi lihat suami. Mana mikirin anak cucu rumah sepi cuma Ibu masih suka masak, berkebun, melakukan hobi di rumah?
aku sama bungsu. Sudah tidak ada guna lagi rasa hidup.
Kehilangan minat
(menunduk)
Ibu pernah ingin bunuh diri? Kenapa?
Dulu kadang-kadang masih, sekarang..
Ibu sering dengar bisikanbisikan? Kalau melihat bayangan-
(menggeleng kepala dan
Ide bunuh diri Perasaan tidak
menunduk)
berguna
Ya pernah dok. Capek rasanya, sudah
Halusinasi auditorik
untuk apalagi juga saya
(-)
12
bayangan atau hal-hal lain yang tidak terlihat orang
hidup. Halusinasi visual (-) Tidak dok.
lain? Ibu pernah merasa badan
Tidak juga dok. Waham (-)
atau pikiran seperti ada yang mengendalikan, merasa ada yang aneh?
Tidak dok. Depersonalisasi &
Sekarang apa yang Ibu
derealisasi (-) Aliensi (-)
rasakan? Dulu pernah seperti ini Bu?
Sedih dok.
Baiklah kalau begitu terimakasih ya Ibu sudah mau diajak cerita-cerita.
Tidak pernah Iya dokter, makasih
Silahkan tunggu diluar dulu yaa, nanti dipanggil kembali untuk bertemu dokter spesialis jiwa-nya. Terimakasih Bu III.
PEMERIKSAAN A. STATUS INTERNUS
1). Keadaan Umum Sensorium Tekanan darah Frekuensi nadi Frekuensi napas Suhu
: Compos mentis :120/70 mmHg : 82x/menit : 20 x/menit : 36,7 0C
B. STATUS NEUROLOGIKUS
1) Urat syaraf kepala (panca indera) 2) Gejala rangsang meningeal
13
: tidak ada kelainan : tidak ada
3) Gejala peningkatan tekanan intracranial 4) Mata
: tidak ada
Gerakan
: baik ke segala arah
Persepsi mata
: baik, visus normal
Pupil
: bentuk bulat, sentral, isokor, Ø 3mm/3mm
Refleks cahaya
: +/+
Refleks kornea
: +/+
Pemeriksaan oftalmoskopi
: tidak dilakukan
5). Motorik Fungsi Motorik Gerakan Kekuatan Tonus Klonus Refleks fisiologis Refleks patologis
6).Sensibilitas
Lengan Kanan Kiri Luas Luas 5 5 Eutoni Eutoni + +
: normal
7). Susunan syaraf vegetatif: tidak ada kelainan 8). Fungsi luhur
: tidak ada kelainan
9). Kelainan khusus
: tidak ada 14
Tungkai Kanan Kiri luas Luas 5 5 eutoni Eutoni + + -
C. STATUS PSIKIATRIKUS KEADAAN UMUM
a. b. c. d. e. f. g. h. i.
Sensorium Perhatian Sikap Inisiatif Tingkah laku motorik Ekspresi fasial Verbalisasi Cara bicara Kontak psikis Kontak fisik Kontak mata Kontak verbal
: Compos mentis terganggu : Berkurang : Kooperatif : Ada : Normoaktif : Cenderung sedih : lancar dan jelas : lancar : ada, kurang : ada, kurang : ada, cukup
KEADAAN KHUSUS (SPESIFIK)
a. Keadaan afektif Afek Mood b. Hidup emosi
: depresif (sesuai) : hipotimik
Stabilitas
: stabil
Dalam-dangkal
: dalam
Pengendalian
:terkendali
Adekuat-Inadekuat
: adekuat
Echt-unecht
: echt
Skala diferensiasi
: normal
Einfuhlung
: bisa dirabarasa
Arus emosi
: lambat
c. Keadaan dan fungsi intelektual Daya ingat
: baik
Daya konsentrasi
: baik
Orientasi orang/waktu/tempat : baik
15
Luas pengetahuan umum
: sesuai
Discriminative judgement
: baik
Discriminative insight
: baik
Dugaan taraf intelegensi
: baik
Depersonalisasi dan derealisasi : tidak ada d. Kelainan sensasi dan persepsi Ilusi : tidak ada Halusinasi : auditorik (-), visual (e. Keadaan proses berpikir Psikomotilitas
: normal
Mutu
: baik
f. Arus pikiran Flight of ideas Inkoherensi Sirkumstansial Tangensial Terhalang( blocking) Terhambat (inhibition) Perseverasi Verbigerasi
: tidak ada : tidak ada : tidak ada : tidak ada : tidak ada : tidak ada : tidak ada : tidak ada
g. Isi pikiran Waham
: tidak ada
Pola Sentral
: tidak ada
Fobia
: tidak ada
Konfabulasi
: tidak ada
Perasaan inferior
: ada
Kecurigaan
: tidak ada
Rasa permusuhan/dendam: ada Perasaan berdosa/salah
: tidak ada
Hipokondria
: tidak ada
Ide bunuh diri
: ada 16
Ide melukai diri
: tidak ada
Lain-lain
: tidak ada
h. Pemilikan pikiran Obsesi
: tidak ada
Aliensi
: tidak ada
i. Bentuk pikiran Autistik Simbolik Dereistik Simetrik Paralogik Konkritisasi Overinklusif
: tidak ada : tidak ada : tidak ada : tidak ada : tidak ada : tidak ada : tidak ada
j. Keadaan dorongan instinktual dan perbuatan Hipobulia
: tidak ada
Vagabondage
: tidak ada
Katatonia
: tidak ada
Stupor
: tidak ada
Pyromania
: tidak ada
Raptus/Impulsivitas:
tidak ada
Mannerisme
: tidak ada
Kegaduhan umum
: tidak ada
Autisme
: tidak ada
Deviasi seksual
: tidak ada
Logore
: tidak ada
Ekopraksia
: tidak ada
Mutisme
: tidak ada
Ekolalia
: tidak ada
Lain-lain
: tidak ada 17
k. Kecemasan : ada l. Dekorum Kebersihan : baik Cara berpakaian : baik Sopan santun : baik m. Reality testing ability RTA tidak terganggu D. PEMERIKSAAN LAIN
a. Pemeriksaan elektroensefalogram : tidak dilakukan b. Pemeriksaan radiologi/ CT scan : tidak dilakukan c. Pemeriksaan laboratorium : tidak dilakukan d. Hamilton Depression Rating Scale (HDRS)
Total : 21 (depresi berat) IV.
DIAGNOSIS MULTIAKSIAL
Aksis I Aksis II Aksis III Aksis IV Aksis V V.
: F.32.2 Episode Depresi Berat tanpa Gejala Psikotik : Tidak ada diagnosa : Tidak ada diagnosa : Masalah primary support group (keluarga) : GAF scale saat ini 70-61
DIAGNOSIS BANDING
- F.32.2 Episode Depresi Berat tanpa Gejala Psikotik - F.48.0 Neurastenia - F.51.0 Insomnia Non Organik VI.
TERAPI a. Psikofarmaka
Fluoxetine tablet 1 x 20 mg, Merlopam tablet 1 x 2 mg, b. Psikoterapi Suportif -
Memberi dukungan dan perhatian kepada pasien dalam menghadapi
-
masalah. Memotivasi pasien agar minum obat secara teratur
18
Kognitif
Menerangkan tentang gejala penyakit pasien yang timbul akibat cara berpikir yang salah, mengatasi perasaan, dan sikapnya terhadap masalah yang dihadapi.
Keluarga dan lingkungan
Memberikan penyuluhan bersama dengan pasien yang diharapkan keluarga dapat membantu dan mendukung kesembuhan pasien.
Sosial-Budaya
Terapi kerja berupa memanfaatkan waktu luang dengan melakukan hobi atau
pekerjaan yang disukai pasien dan bermanfaat.
Terapi rekreasi dapat berupa berlibur atau bepergian ke suatu daerah yang disenangi pasien.
Religius
Bimbingan keagamaan agar pasien selalu menjalankan ibadah sesuai ajaran agama yang dianutnya, yaitu menjalankan solat lima waktu, menegakkan amalan sunah seperti mengaji, berzikir, dan berdoa kepada Allah SWT. VII.
PROGNOSIS
Dubia ad bonam
19
BAB III TINJAUAN PUSTAKA
3.1
Definisi
Depresi merupakan salah satu gangguan mood. Gangguan mood dianggap sebagai sindrom, yang terdiri atas sekelompok tanda dan gejala bertahan selama berminggu-minggu, berbulan-bulan yang menunjukkan penyimpangan nyata fungsi habitual seseorang serta kecenderungan untuk kambuh, sering dalam bentuk periodik atau siklik. 1 Pasien dengan mood terdepresi (yaitu, depresi) merasakan hilangnya energi dan minat, perasan bersalah, sulit berkonsentrasi, hilang nafsu makan, dan pikiran tentang kematian atau bunuh diri. Berdasarkan WHO Depresi merupakan gangguan mental yang ditandai dengan munculnya gejala penurunan mood, kehilangan minat terhadap sesuatu, perasaan bersalah, gangguan tidur atau nafsu makan, kehilangan energi, dan penurunan konsentrasi. 2 Episode depresi berat harus ada setidaknya 2 minggu dan seseorang yang didiagnosis memiliki episode depresif berat terutama juga harus mengalami empat gejala dari daftar yang mencakup perubahan berat badan dan nafsu makan, perubahan tidur dan aktivitas, tidak ada energi, rasa bersalah, masalah dalam, berpikir dan membuat keputusan, serta pikiran berulang mengenai kematian dan bunuh diri.
3.2
1
Epidemiologi
Gangguan depresif berat adalah suat gangguan yang sering, dengan prevalensi seumur hidup adalah kira-kira 15 persen, kemungkinan setinggi 25 persen pada wanita. Prevalensi gangguan depresif pada wanita dua kali lebih besar dibandingkan laki-laki. 2 Alasan perbedaan ini yang telah di hipotesiskan antara lain perbedaan
20
hormonal, pengaruh kelahiran anak, stressor psikososial yang berbeda antara laki-laki dan perempuan, serta model perilaku ketergantungan yang dipelajari.
1
Rata-rata usia onset untuk gangguan depresi berat kira-kira 40 tahun, 50 % dari semua pasien mempunyai onset antara 20 dan 50 tahun. 2 Beberapa data epidemiologi baru-baru ini menyatakan bahwa insidensi gangguan depresi berat mungkin meningkat pada orang-orang yang berusia kurang dari 20 tahun. Jika pengamatan tersebut benar, mungkin berhubungan dengan meningkatnya penggunaan alkohol dan zat-zat lain pada kelompok usia tersebut. 2 Pada umumnya gangguan depresi berat terjadi paling sering pada orang tua yang tidak memiliki hubungan interpersonal yang erat atau berpisah. 1,2
3.3
Etiologi dan Patofisiologi a. Faktor organobiologi 1,3
Beberapa penelitian menunjukkan bahwa terdapat kelainan pada amin biogenik, seperti: 5 HIAA (5-Hidroksi indol asetic acid), HVA (Homovanilic acid), MPGH (5 methoxy-0-hydroksi phenil glikol), di dalam darah, urin dan cairan serebrospinal pada pasien gangguan mood. Neurotransmiter yang terkait dengan patologi depresi adalah serotonin dan epineprin. Penurunan serotonin dapat mencetuskan depresi, dan pada pasien bunuh diri, beberapa pasien memiliki serotonin yang rendah. Aktivitas serotonin diduga berkurang pada depresi. Serotonin bertanggung jawab untuk kontrol regulasi afek, agresi, tidur dan nafsu makan. Pada beberapa penelitian ditemukan jumlah serotonin yang berkurang di celah sinaps dikatakan bertanggung jawab untuk terjadinya depresi. Pada terapi despiran mendukung teori bahwa norepineprin berperan dalam patofisiologi depresi. Noreprinefrin. Dalam beberapa penelitian diduga adanya peranan
langsung sistem noradrenergik dalam depresi. Jenis bukti lain juga melibatkan reseptor adrenergik alfa-2 dalam depresi, karena aktivasi reseptor tersebut
21
menyebabkan penurunan jumlah noreprinefrin yang dilepaskan. Reseptor adrenergikalfa2 juga berlokasi pada neuron serotonergik dan mengatur jumlah serotonin yang dilepaskan. Serotonin. Penurunan serotonin dapat mencetuskan depresi, dan beberapa
pasien yang bunuh diri memliki konsentrasi metabolit serotonin di dalam cairan serebrospinalis yang rendah dan konsentrasi tempat ambilan serotonin yang rendah di trombosit, beberapa pasien depresi juga memiliki respons neuroendokrin yang abnormal,
sebagai
contoh
hormon
pertumbuhan,
prolaktin,
dan
hormon
adrenokortikotropin (ACTH) terhadap provokasi dengan agen serotonerik. Dopamin. Walaupun noreprinefrin dan serotonin adalah amin biogenik adalah
amin biogenik yang paling sering dihubungkan dengan patofisiologi depresi, dopamin juga telah diperkirakan memiliki peranan dalam depresi. Data menyakan bahwa aktvitas dopamin mungkin menurun pada depresi dan meningkat pada mania. Regulasi neuroendokrin. Hipotalamus
adalah pusat regulasi sumbu
neurohormonal dan hipotalamus sendiri menerima banyak masukan (input) neuronal yang menggunakan transmiter amin biogenik. Berbagai disregulasi telah dilaporkan pada pasien dengan gangguan mood.Kelainan neuroendokrin yang telah digambarkan pada pasien dengan gangguan mood adalah penurunan sekresi nokturnal melantonin, penurunan pelepasan prolaktin, penurunan kadar FSH dan LH, dan penurunan kadar testosteron pada laki-laki. Sumbu adrenal. Hubungan antara hipersekresi kortisol dan depresi adalah
salah satu pengamatan paling tua dalam psikiatri biologi. Neuron di nukleus paraventrikular (PVN; paraventricular nucleus) melepaskan corticotropin-releasing hormon (CRH), yang menstimulasi pelepasan hormon adrenokortikotropik (ACTH)
dari hipofisis anterior. ACTH selanjutnya menstimulasi pelepasan kortisol dari korteks adrenal. Kortisol memberikan umpan balik ( feed back) pada jaringan kerja melalui reseptor kortisol di hipokampus dan menyebabkan penurunan pelepasan
22
ACTH. Suatu penelitian menemukan bahwa pasien depresi mungkin memiliki fungsi reseptor kortisol yang abnormal di hipokampus. Banyak peneliti menemukan bahwa hiperkortisolemia dapat merusak neuron hipokampus, suatu siklus yang melibatkan stres, stimulasi pelepasan kortisol, dan ketidakmampuan untuk menghentikan pelepasan kortisol dapat menyebabkan bertambahnya kerusakan pada hipokampus yang telah mengalami kerusakan. Beberpa penelitian mengatakan bahwa stres kronik merupakan faktor pemicu terjadinya depresi, dimana stres itu sendiri tidak hanya berdampak pada perilaku namun juga pada sistem endokrin, imunitas, dan sistem neurotransmiter. Ditemukan adanaya hubungan erat antara stres dan perubahan pada axis HPA dan sistem pusat noreprinefrin. Depresi dapat terjadi akibat dari adanya disfungsi pada area otak yang dimodulasi oleh axis HPA seperti pada korteks frontalis, hipokampus, amygdala, dan basal ganglia. Ditemukan juga bahwa area-area pada otak tersebut mempunyai sensitivitas yang tinggi terhadap efek stres yang dikarenakan kejadian pada masa lampa di kehidupan.
b.
Faktor genetik 1,3
Genetik merupakan faktor penting dalam perkembangan gangguan mood, tetapi jalur penurunan sangat kompleks. Tidak hanya sulit untuk mengabaikan efek psikososial, tetapi juga faktor nongenetik kemungkinan juga berperan sebagai penyebab berkembangnya gangguan mood setidak-tidaknya pada beberapa orang. Penelitian genetik dan keluarga menunjukkan bahwa angka resiko di antara anggota keluarga tingkat pertama dari individu yang menderita depresi berat (unipolar) diperkirakan 2 sampai 3 kali dibandingkan dengan populasi umum. Angka keselarasan sekitar 11% pada kembar dizigot dan 40% pada kembar monozigot. Penelitian menunjukkan anak biologis dari orang tua yang terkena gangguan mood berisiko mengalami gangguan mood walaupun anak tersebut dibesarkan oleh keluarga angkat. Penelitian pada anak kembar menunjukkan anak
23
kembar monozigot lebih besar kemungkinan mengalami gangguan depresi daripada anak kembar dizigot.
c. Faktor Psikososial 10
Faktor psikososial seperti hilangnya peranan sosial, hilangnya otonomi, kematian teman atau sanak saudara, penurunan kesehatan, peningkatan isolasi diri, keterbatasan finansial, dan penurunan fungsi kognitif . Sedangkan menurut Kane, faktor psikososial Universitas Sumatera Utara meliputi penurunan percaya diri, kemampuan untuk mengadakan hubungan intim, penurunan jaringan sosial, kesepian, perpisahan, kemiskinan dan penyakit fisik. Faktor psikososial yang mempengaruhi depresi meliputi: peristiwa kehidupan dan stressor lingkungan, kepribadian, psikodinamika, kegagalan yang berulang, teori kognitif dan dukungan sosial. Peristiwa kehidupan dan stresor lingkungan. Peristiwa kehidupan yang menyebabkan stres, lebih sering mendahului episode pertama gangguan mood dari episode selanjutnya. Para klinisi mempercayai bahwa peristiwa kehidupan memegang peranan utama dalam depresi, klinisi lain menyatakan bahwa peristiwa kehidupan hanya memiliki peranan terbatas dalam onset depresi. Stressor lingkungan yang paling berhubungan dengan onset suatu episode depresi adalah kehilangan pasangan. Stressor psikososial yang bersifat akut, seperti kehilangan orang yang dicintai, atau stressor kronis misalnya kekurangan finansial yang berlangsung lama, kesulitan hubungan interpersonal, ancaman keamanan dapat menimbulkan depresi. Faktor kepribadian. Beberapa ciri kepribadian tertentu yang terdapat pada individu, seperti kepribadian dependen, anankastik, histrionik, diduga mempunyai resiko tinggi untuk terjadinya depresi. Sedangkan kepribadian antisosial dan paranoid (kepribadian yang memakai proyeksi sebagai mekanisme defensif) mempunyai resiko yang rendah.
24
Faktor kognitif. Adanya interpretasi yang keliru terhadap sesuatu, menyebabkan distorsi pikiran menjadi negatif tentang pengalaman hidup, penilaian diri yang negatif, pesimisme dan keputusasaan. Pandangan yang negatif tersebut menyebabkan perasaan depresi
3.4
Manifestasi Klinis
Mood terdepresi, kehilangan minat dan berkurangnya energi adalah gejala utama dari depresi. Pasien mungkin mengatakan perasaannya sedih, tidak mempunyai harapan, dicampakkan, dan tidak berharga. Emosi pada mood depresi kualitasnya berbeda dengan emosi duka cita atau kesedihan yang normal. 3 Pikiran untuk melakukan bunuh diri dapat timbul pada sekitar dua pertiga pasien depresi, dan 10 sampai 15 persen diantaranya melakukan bunuh diri.Mereka yang dirawat di rumah sakit dengan percobaan bunuh diri mempunyai umur hidup lebih panjang dibandingkan yang tidak dirawat. Beberapa pasien depresi terkadang tidak menyadiari ia mengalami depresi dan tidak mengeluh tentang gangguan mood meskipun mereka menarik diri dari keluarga, teman dan aktivitas yang sebelumnya menarik bagi dirinya. 3 Hampir semua pasien depresi (97%) mengeluh tentang penurunan energi dimana mereka mengalami kesulitan menyelesaikan tugas, mengalami hendaya di sekolah dan pekerjaan, dan meurunnya motivasi untuk terlibat dalam kegiatan baru. Sekitar 80 persen pasien mengeluh masalah tidur, khususnya terjada dini hari (terminal insomsia) dan sering terbangun di malam hari karena memikirkan masalah yang dihadapi. Kebanyakan pasien menunjukkan peningkatan atau penurunan nafsu makan demikian pula dengan bertambah dan menurunnya berat badannya serta mengalami tidur lebih lama dari biasanya. 3 Kecemasan adalah gejala tersering dari depresi dan menyerang 90 persen pasien depresi. Berbagai perubahan
asupan makanan
25
dan
istirahat
dapat
menyebabkan timbulnya penyakit lain secara bersamaa, seperti diabetes, hipertensi, penyakit paru obstruksi kronik, dan penyakit jantung. Gejala lain termasuk haid yang tidak normal dan meurunnya minat serta aktivitas seksual. 3 Pada pemeriksaan status mental, episode depresi memperlihatkan retardasi psikomotor menyeluruh merupakan gejala yang paling umum, walaupun agitasi psikomotor
juga
sering
ditemukan,
khususnya
pada
pasien
usia
lanjut.
Menggenggamkan tangan dan menarik-narik rambut merupakan gejala agitasi yang paling umum.Secara klasik, seorang pasien depresi memiiki postur yang membungkuk, tidak terdapat pergerakan yang sponta, dan pandangan mata yang putus asa dan memalingkan pandangan.Pasien depresi seringkali dibawa oleh keluarga atau teman kerjanya karenan penarikan sosial dan penurunan aktivitas secara menyeluruh. 2 Banyak pasien terdepresi menunjukkan suatu kecepatan dan volume bicara yang menurun, berespons terhadap pertanyaan dengan kata tunggal dan menunjukkan respons yang melambat terhadapt pertanyaan. Secara sederhana, pemeriksa mungkin harus menunggu dua atau tiga menit untuk mendapatkan suatu respons terhadap suatu pertanyaan. 2 Pasien terdepresi dengan waham atau halusinasi dikatakan menderita episode depresif berat dengan ciri psikotik.Waham atau halusinasi yang sesuai dengan mood terdepresi dikatan sesuai mood ( mood-congruent ).Waham sesuai mood pada seorang pasien terdepresi adalah waham bersalah, memalukan, tidak berguna, kemiskinan, kegagalan, kejar dan penyakit somatic terminal (sevagai contoh, kanker dan otak “yang membusuk”).Isi waham atau halusinasi yang tidak sesuai mood ( moodincongruent ) adalah tidak sesuai dengan mood terdepresi. Pasien depresi juga
memiliki pandangan negatif tentang dunia dan dirinya sendiri. 2
Perubahan Fisik
26
• • • • •
Penurunan nafsu makan. Gangguan tidur. Kelelahan dan kurang energi Agitasi. Nyeri, sakit kepala, otot keran dan nyeri, tanpa penyebab fisik.
Perubahan Pikiran •
• • • • •
Merasa bingung, lambat dalam berfikir, penurunan konsentrasi dan sulit, mengungat informasi. Sulit membuat keputusan dan selalu menghindar. Kurang percaya diri. Merasa bersalah dan tidak mau dikritik. Pada kasus berat sering dijumpai adanya halusinasi ataupun delusi. Adanya pikiran untuk bunuh diri.
Perubahan Perasaan • • • • • •
Penurunan ketertarikan dengan lawan jenis. Merasa bersalah, tak berdaya. Tidak adanya perasaan. Merasa sedih. Sering menangis tanpa alas an yang jelas. Iritabilitas, marah, dan terkadang agresif.
Perubahan pada Kebiasaan Sehari-hari • • • • • •
Menjauhkan diri dari lingkungan sosial, pekerjaan. Menghindari membuat keputusan. Menunda pekerjaan rumah. Penurunan aktivitas fisik dan latihan. Penurunan perhatian terhadap diri sendiri. Peningkatan konsumsi alcohol dan obat-obatan terlarang.
27
3.5
Diagnosis a. Skala penilaian objektif untuk depresi
Skala penilaian objektif untuk depresi dapat berguna dalam praktik klinis untuk mendapatkan dokumentasi keadaan klinis pada pasien terdepresi. Zung Self Rating Depression Scale adalah skala pelaporan yang terdiri dari 20 pertanyaan. Skor
normal adalah 34 atau kurang, skor terdepresi adalah 50 atau lebih. Skala memberikan petunjuk global tentang kekuatan (intensitas) gejala depresi pasien, termasuk ekspresi afektif dari depresi. 3 Raskin Depression Scale adalah skala yang dinilai oleh dokter yang mengukur
keparahan depresi pasien, seperti yang dilaporkan oleh pasien dan seperti yang diamati oleh dokter, pada skala lima angka dari tiga dimensiL laporan verbal, pengungkapan perliaku, dan gejala sekunder. Skala ini memiliki rentang 3 sampai 13: normal adalah 3, dan terdepresi adalh 7 atau lebih. 2 Hamilton Rating Scale for Depression (HAM-D) adalah skala depresif yang
digunakan secara luas yang memiliki sampai 24 nomor, masing-masingnya memiliki nilai 0 sampai 4 atau 0 sampai 2, dengan skor total adalah 0 sampai 76. Penilaian diturunkan dari suatu wawancara klinis dengan pasien. Klinisi menilai jawaban pasien terhadap pertanyaan tentang perasaan bersalah, bunuh diri, kebiasaantidur, dan gejala depresi lainnya. 2 b. Pedoman diagnosis menurut PPDGJ-III.4
Pedoman diagnostik pada depresi dibagi menjadi : •
Semua gejala utama depresi : o o o
•
afek depresif kehilangan minat dan kegembiraan berkurangnya energi yang menuju meningkatnya keadaan mudah lelah.
Gejala lainnya:
28
o o o o o o o
konsentrasi dan perhatian berkurang harga diri dan kepercayaan diri berkurang gagasan tentang rasa bersalah dan tidak berguna pandangan masa depan yang suram dan pesimis gagasan atau perbuatan membahayakan diri atau bunuh diri tidur terganggu nafsu makan berkurang
Episode depresif biasanya harus berlangsung sekurang-kurangnya 2 minggu, akan tetapi jika gejala amat berat dan beronset sangat cepat, maka masih dibenarkan untuk menegakkan diagnosis dalam kurun waktu dari 2 minggu.
Tingkat
Gejala
Gejala
Depresi
Utama
Lain
Ringan
2
Sedang
2
Berat
3
Fungsi
Keterangan
2
Baik
3-4
Terganggu
Nampak
>4
Sangat
terganggu Tabel 1. Penggolongan Depresi Menurut ICD-10
Distress Sangat Distress
Episode depresif ringan menurut PPDGJ III
(1) Sekurang-kurangnya harus ada 2 dan 3 gejala utama depresi seperti tersebut di atas (2) Ditambah sekurang-kurangnya 2 dari gejala lainnya (3) Tidak boleh ada gejala yang berat diantaranya lamanya seluruh episode berlangsung sekurang-kurangnya sekitar 2 minggu (4) Hanya sedikit kesulitan dalam pekerjaan dan kegiatan sosial yang biasa dilakukannya. Episode depresif sedang menurut PPDGJ III
29
(1) (2) (3) (4)
Sekurang-kurangnya harus ada 2 dan 3 gejala utama Ditambah sekurang-kurangnya 3 atau 4 dari gejala lainnya Lamanya seluruh episode berlangsung minimum 2 minggu Menghadapi kesulitan nyata untuk meneruskan kegiatan sosial, pekerjaan, dan urusanrumah tangga.
Episode Depresif Berat dengan Tanpa Gejala Psikotik menurut PPDGJ III :
(1) Semua 3 gejala utama depresi harus ada (2) Ditambah sekurang-kurangnya 4 dari gejala lainnya dan beberapa diantaranya harus berintensitas berat (3) Bila ada gejala penting (misalnya retardasi psikomotor) yang menyolok, maka pasien mungkin tidak mau atau tidak mampu untuk melaporkan banyak gejalanya secara rinci. Dalam hal demikian, penilaian secara menyeluruh terhadap episode depresi berat masih dapat dibenarkan. (4) Sangat tidak mungkin pasien akan mampu meneruskan kegiatan sosial, pekerjaan atau urusan rumah tangga, kecuali pada taraf yang sangat terbatas. Episode Depresif Berat dengan Gejala Psikotik menurut PPDGJ III :
Episode depresi berat yang memenuhi kriteria menurut No. 3 di atas (F.32.2) tersebut di atas, disertai waham, halusinasi atau stupor depresi. Waham biasanya melibatkan ide tentang dosa, kemiskinan atau malapetaka yang mengancam dan pasien merasa bertanggung jawab atas hal itu. Halusinasi auditorik atau alfatorik biasanya berupa suara yang menghina atau menuduh, atau
bau kotoran. Retardasi psikomotor yang berat dapat menuju pada stupor .
3.6
Tatalaksana
Tujuan terapi depresi adalah untuk mengurangi gejala depresi akut, meminimalkan efek samping, memastikan kepatuhan pengobatan, membantu pengembalian ketingkat fungsi sebelum depresi, dan mencegah episode lebih lanjut.
30
Berbagai obat dan teknik psikoterapi telah dikembangkan untuk memulihkan penderita depresi. Pada sebagian besar kasus, pengobatan penderita depresi akan paling efektif dengan mengkombinasikan pemberian obat-obatan oleh psikiater dengan pemberian psikoterapi oleh psikolog. 7 Semua pasien depresi harus mendapatkan psikoterapi dan beberapa memerlukan tambahan terapi fisik. Kebutuhan terapi khusus bergantung pada diagnosis, berat penyakit, umur pasien, dan respon terhadap terapi sebelumnya. Bila seseorang menderita depresi berat, maka diperlukan seorang yang dekat dan yang dipercayainya untuk membantunya selama menjalani pemeriksaan dan pengobatan depresi tersebut.Kadang seorang penderita depresi berat perlu rawat inap di rumah sakit, kadang cukup dengan pengobatan rawat jalan. 7,8 a. Terapi psikologi Psikoterapi suportif selalu diindikasikan. Berikan kehangatan, empati,
pengertian, dan optimistik. Bantu pasien mengindentifikasi dan mengekspresikan halhal yang membuatnya prihatin dan melontarkannya. Identifikasi faktor pencetus dan bantulah untuk mengoreksinya. Bantulah memecahkan problem eksternal (misal pekerjaan) arahkan pasien terutama selama episode akut dan bila pasien tidak aktif bergerak. Terapi kognitif-perilaku Bertujuan memberikan peringanan gejala melalui
perubahan pikiran sasaran, mengidentifikasi kognisi yang menghancurkan diri sendiri, memodifikasi anggapan salah yang spesifik dan mempermudah pengendalian diri terhadap pola pikiran. Terapi ini juga dapat sangat bermanfaat pada pasien depresi ringan dan sedang. Diyakini oleh sebagian orang “ketidak berdayaan yang dipelajari”, depresi diterapi dengan memberikan pasien latihan keterampilan dan memberikan pengalaman-pengalaman sukses. Dari perpektif kognitif pasien dilatih untuk mengenal dan menghilangkan pikiran-pikiran negatif dan harapan-harapan negatif. Terapi ini mencegah kekambuhan.8
31
Keluarga dan lingkungan. Memberikan penyuluhan bersama dengan pasien
yang diharapkan keluarga dapat membantu dan mendukung kesembuhan pasien. Sosial-Budaya. Terapi kerja berupa memanfaatkan waktu luang dengan
melakukan hobi atau pekerjaan yang disukai pasien dan bermanfaat. Terapi rekreasi dapat berupa berlibur atau bepergian kesuatu daerah yang disenangi pasien. Religius. Bimbingan keagamaan agar pasien selalu menjalankan ibadah sesuai
ajaran agama yang dianutnya, yaitu menjalankan solat lima waktu, menegakkan amalan sunah seperti mengaji, berzikir, dan berdoa kepada Allah SWT. b. Terapi fisik
Pada farmakoterapi digunakan obat anti depresan, dimana anti depresan dibagi dalam beberapa golongan yaitu :
Golongan trisiklik, seperti : amitryptylin, imipramine, clomipramine dan opipramol.
Golongan tetrasiklik, seperti : maproptiline, mianserin dan amoxapine.
Golongan MAOI-Reversibel (RIMA, Reversibel Inhibitor of Mono Amine Oxsidase-A), seperti : moclobemide.
Golongan atipikal, seperti : trazodone, tianeptine dan mirtazepine.
Golongan SSRI ( Selective Serotonin Re-Uptake Inhibitor ) , seperti : sertraline, paroxetine, fluvoxamine, fluxetine dan citalopram. Dalam pengaturan dosis perlu mempertimbangkan onset efek primer (efek
klinis) sekitar 2-4 minggu, efek sekunder (efek samping) sekitar 12-24 jam serta waktu paruh sekitar 12-48 jam (pemberian 1-2 kali perhari). 3
Ada lima proses dalam pengaturan dosis, yaitu:
32
1. Initiating Dosage (dosis anjuran), untuk mencapai dosis anjuran selama minggu I. Misalnya amytriptylin 25 mg/hari pada hari I dan II, 50 mg/hari pada hari III dan IV, 100 mg/hari pada hari V dan VI. 2. Titrating Dosage (dosis optimal), dimulai pada dosis anjuran sampai dosis efektif kemudian menjadi dosis optimal. Misalnya amytriptylin 150 mg/hari selama 7 sampai 15 hari (miggu II), kemudian minggu III 200 mg/hari dan minggu IV 300 mg/hari. 3. Stabilizing Dosage (dosis stabil), dosis optimal dipertahankan selama 2-3 bulan. Misalnya amytriptylin 300 mg/hari (dosis optimal) kemudian diturunkan sampai dosis pemeliharaan. 4. Maintining Dosage (dosis pemeliharaan), selama 3-6 bulan. Biasanya dosis pemeliharaan
½ dosis
optimal. Misalnya amytriptylin 150 mg/hari. 5. Tapering Dosage (dosis penurunan), selama 1 bulan. Kebalikan dari initiating dosage. Misalnya amytriptylin 150 mg/hari à 100 mg/hari selama 1 minggu, 100 mg/hari à 75 mg/hari selama 1 minggu, 75 mg/hari
à
50
mg/hari selama 1 minggu, 50 mg/hari à 25 mg/hari selama 1 minggu. Dengan demikian obat anti depresan dapat diberhentikan total. Kalau kemudian sindrom depresi kambuh lagi, proses dimulai lagi dari awal dan seterusnya. Pada dosis pemeliharaan dianjurkan dosis tunggal pada malam hari ( single dose one hour before sleep), untuk golongan trisiklik dan tetrasiklik. Untuk golongan SSRI
diberikan dosis tunggal pada pagi hari setelah sarapan. Pemberian obat anti depresi dapat dilakukan dalam jangka panjang oleh karena “addiction potential”-nya sangat minimal.
Efek Samping obat anti depresi adalah: 7 1. Tricyclic antidepressants.
Obat-obatan yang termasuk kedalam kelompok ini (misal Amitryptiline) sudah dipakai bertahun tahun dan telah terbukti tidak kalah manjur dibandingkan
33
dengan obat anti depresi yang lebih baru. Hanya saja, karena banyaknya dan lebih kerasnya efek samping obat, maka obat tricyclic antidepressant biasanya tidak diberikan sebelum obat jenis SSRI dicoba dan tidak berhasil. Efek samping obat ini antara lain: penglihatan kabur, mulut kering, gangguan buang air besar dan gangguan kencing, detak jantung cepat dan bingung. Obat jenis ini juga sering menyebabkan penambahan berat badan. 7 2. Tetracyclic. Obat-obatan yang termasuk kedalam kelompok ini misalnya Maproptiline (Ludiomil) efek sampingnya seperti TCA; efek samping otonomik, kardiologik relatif lebih kecil, efek sedasi lebih kuat diberikan pada pasien yang kondisinya kurang tahan terhadap efek otonomik dan kardiologik (usia lanjut) dan sindrom depresi dengan gejala anxietas dan insomnia yang menonjol. 8 Tabel 2. Dosis Obat Trisiklik dan Tetrasiklik pada Orang Dewasa
34
3.Selective serotonine reuptake inhibitors (SSRI).
Banyak dokter yang memulai pengobatan depresi dengan SSRI. Efek samping yang paling sering adalah menurunnya dorongan seksual dan sulitnya mencapai orgasme. Berbagai efek samping lainnya biasanya menghilang sejalan dengan penyesuaian tubuh terhadap obat-obatan tersebut. Beberapa efek samping SSRI yang sering adalah: sakit kepala, sulit tidur, gangguan pencernaan, dan resah/ gelisah.
7
Tabel 3. Dosis Obat Selective Serotonin Reuptake Inhibitor pada Orang Dewasa
4. Monoamine oxidase inhibitors (MAOIs).
Obat obatan dalam kelompok ini biasanya merupakan pilihan terakhir bila obat dari kelompok lain sudah tidak mempan mengobati depresi. Obat obatan dalam kelompok ini bisa menimbulkan efek samping yang serius, bahkan bisa menyebabkan kematian. Obat MAOIs memerlukan diet ketat karena bila berinteraksi dengan makanan seperti keju, acar mentimun (pickles) dan anggur, serta obat anti pilek (decongestant) dapat berakibat fatal. Selegiline (Emsam) merupakan obat jenis terbaru dalam kelompok ini yang memakainya tidak dengan diminum, cukup dengan ditempelkan di kulit. Obat selegiline mempunyai lebih sedikit efek samping dibandingkan dengan obat MAOIs lainnya. 7 Empat jenis MAOI yang sering
35
digunakan di Amerika Serikat, yaitu Isocarboxazid, Phenelzine, Tranylccypromine dan Selegiline.
5. Atypical antidepressant
Merupakan obat anti depresi yang tidak bisa dimasukkan kedalam kelompok obat lainnya. Pada beberapa kasus, obat tersebut dikombinasikan untuk mengurangi efeknya terhadap tidur. Obat terbaru dalam kategori ini adalah vilazodone (Vibryd). Obat vilazidone mempunyai efek samping kecil terhadap dorongan seksual. Beberapa efek samping dari vilazodone yang sering muncul adalah: mual, muntah, mencret dan sulit tidur. 7
6. Obat obatan lainnya.
Dokter mungkin mengobati depresi dengan obat obat lainnya, misalnya dengan obat stimulant, obat untuk menstabilkan suasana hati (mood), obat anti cemas/ anxiety,
dan
obat
anti psikotik.
Pada
beberapa kasus,
dokter
mungkin
mengkombinasikan beberapa obat agar dihasilkan efek yang optimal. Strategi ini dikenal sebagai augmentation (penguatan/ tambahan). 7
36
Algoritma pengobatan farmakoterapi episode depresi sedang atau berat tanpa ada kontrindikasi terhadap antidepresan.
Gambar 1. Algoritma Pengobatan Farmakoterapi Episode Depresi Sedang/
Berat
12
BAB IV
37
ANALISIS KASUS
Seorang wanita usia 52 tahun, ibu rumah tangga dan sudah menikah mempunyai 2 orang anak perempuan,
dibawa ke rumah sakit oleh anak
perempuannya dengan kondisi pasien compos mentis, dengan sebab utama sulit tidur dan sering menangis ± 5 bulan yang lalu, pasien mulai merasa tidak bisa tidur. Pasien juga merasa kepalanya terasa berat, dada sesak, dan badan tidak enak. Pasien juga menjadi lebih pendiam, pemurung, dan sering menangis. Pasien bahkan sempat beberapa kali mengatakan ingin bunuh diri kepada anak pasien. Pasien masih bisa merawat diri dan melakukan aktivitas sehari-hari dengan baik. ± 3 minggu yang lalu, pasien tidak bisa tidur sama sekali. Saat tidak bisa tidur pasien menangis histeris. Pasien juga terlihat semakin pendiam, murung dan lebih sering melamun. Pasien masih bisa merawat diri tapi tidak memiliki keinginan untuk melakukan apapun. Pasien merasa kesepian dan tidak disayang. Pasien kemudian berobat ke Puskesmas Talang Kelapa lalu dirujuk ke RS Ernaldi Bahar Palembang. Saat dilakukan wawancara psikiatri, pasien bisa menyebutkan nama, umur, alamat dan yang mengantar dengan benar. Pasien mengetahui bahwa dirinya sakit dan alasan dibawa berobat. Pasien tampak terlihat sedih dan kehilangan minat. Ketika ditanya yang dirasakannya saat ini, pasien mengaku sedih karena kesepian dan lelah dengan hidupnya. Perubahan perilaku pasien dilihat pertama kali oleh anak pasien saat suami pasien membawa anak dari istri kedua sedangkan pasien tidak tahu bahwa suaminya telah menikah lagi. Semenjak itu pasien menjadi lebih pendiam dan suka menyendiri. Ditambah lagi dengan cucunya yang telah pindah rumah pasien juga merasa kesepian. Pasien juga terlihat memiliki perasaan bersalah, tidak berguna, perasaan inferior dan sempat memiliki ide bunuh diri karena masalahnya tersebut. Pasien sempat mendengar bisikan-bisikan yang tidak jelas. Pasien dan keluarga
38
mengatakan bahwa pasien tidak pernah memiliki keluhan yang sama sebelumnya. Riwayat penyakit yang sama di keluarga disangkal. Riwayat penyakit fisik lain disangkal. Pasien mengatakan bahwa dia tidak merokok, tidak mengkonsumsi minuman keras atau menggunakan zat terlarang. Berdasarkan autoanamnesis dan pemeriksaan status mental, didapatkan gejala klinis bermakna berupa pasien lebih pendiam, sering melamun, sering menyendiri, suka mengurung diri, nafsu makan berkurang, susah memulai tidur dan jika terbangun susah untuk tidur kembali, emosi yang labil, berbicara sendiri dan sulit menentukan realita dan nonrealita. Status psikiatri, keadaan umum kompos mentis terganggu, tampak sedih, perhatian dan konsentrasi berkurang, kontak psikis yang menurun, mood/afek hipotimik/appropriate. Bentuk pikir logis realis, arus pikir koheren, isi pikir preokupasi terhadap masalah yang dihadapi, perasaan inferior, bersalah dan tidak berguna, ide bunuh diri ada. Persepsi halusinasi auditorik tidak ada. Dapat disimpulkan pasien memiliki kelainan kesadaran, kelainan perhatian, serta kelainan pikiran dan perasaan sehingga pasien dapat disimpulkan mengalami gangguan jiwa. Gejala tersebut didominasi dengan gejala non psikotik sehingga didiagnosis gangguan jiwa non psikotik. Pada status internus tidak ditemukan adanya kelainan dan pada pemeriksaan status neurologi juga tidak ditemukan adanya kelainan, sehingga gangguan mental organik dapat disingkirkan dan didiagnosis gangguan jiwa non psikotik non organik. Dari autoanamnesis dan aloanamnesis serta pemerikan status mental, pasien mengetahui bahwa dirinya sakit dan alasan dibawa berobat sehingga discriminative insight dan judgement baik. Gangguan asosiasi seperti asosiasi longgar, inkoherensi,
atau neologisme juga tidak ada. Gangguan afek dan ambivalensi juga tidak ada. Hanya terdapat gejala autism berupa penarikan diri dari kehidupan nyata dan tidak ada halusinasi dan waham
sehingga
berdasarkan kriteria Bleurer tidak dapat
ditegakkan diagnosis skizofrenia pada kasus ini. Gejala yang paling kuat kearah skizofrenia adalah gejala afek dan gangguan asosiasi, bila hanya satu maka harus
39
didukung oleg gejala khas lain. Oleh karena itu, diagnosis banding skizofrenia dapat disingkirkan. Dari autoanamnesis dan pemeriksaan status mental didapatkan 3 gejala utama depresi yang dialami sejak beberapa bulan ini berupa kehilangan minat dan kegembiraan, mudah lelah, dan afek depresif (hipotimia), disertai 5 gejala tambahan berupa konsentrasi dan perhatian berkurang, gagasan tentang rasa bersalah dan tidak berguna, gagasan atau perbuatan yang membahayakan diri (bunuh diri), tidur teganggu, dan nafsu makan berkurang. Berdasarkan PPDGJ III dapat ditegakkan diagnosis aksis I sebagai Episode depresif berat dengan gejala psikotik (F32.2). Diagnosis aksis II tidak ada diagnosis. Aksis III tidak ada diagnosis . Aksis IV stressor berupa masalah primary support group (keluarga). Aksis V GAF scale saat ini 70-61. Kemudian dilakukan pemeriksaan penunjang menggunakan skala nilai depresi dari Hamilton Depression Rating Scale (HDRS) yang teridiri dari 24 pertanyaan, didapatkan perasaan sedih yang ada hanya bila ditanya (1); perasaan bersalah (1); keinginan bunuh diri berupa ide-ide atau gerak-gerak tentang bunuh diri (3); insomnia (early), kadang-kadang mengeluh sulit tidur setiap malam (2); insomnia ( middle) mengeluh gelisah dan terganggu sepanjang malam (1); Insomnia ( late) bangun terlalu pagi tetapi dapat tidur kembali (1); Kerja dan kegiatan pikiran dan perasaan tentang ketidakmampuan, keletihan atau kelemahan sehubungan dengan kegiatan, kerja atau hobi (1); Retardasi jelas lamban dalam wawancara (2); Agitasi tidak ada (0); Anxietas psikis ketegangan dan mudah tersinggung yang bersifat subyektif (1); Anxietas somatik (0); gejala somatik gastrointestinal (0); gejala somatik umum (0); gejala genital (0); hipokondriasis (0); kehilangan berat badan kemungkinan berat badan berkurang sehubungan dengan sakit sekarang (1); tilikan (0); vasiasi diurnal (0); depersonalisasi dan derealisasi (0); gejala paranoid (0); gejala obsesif kompulsif (0); ketidakberdayaan (2); keputusasaan (2); Perasaan tidak berharga menunjukkan perasaan tidak berharga (kehilangan harga diri) secara spontan (2). Dari hasil
40
perhitungan maka didapatkan nilai 21 yang menunjukkan pasien mengalami depresi berat. Depresi merupakan salah satu gangguan mood. Pasien dengan mood terdepresi (yaitu, depresi) merasakan hilangnya energi dan minat, perasan bersalah, sulit berkonsentrasi, hilang nafsu makan, dan pikiran tentang kematian atau bunuh diri. Gangguan depresi berat merupakan suatu masa terganggunya fungsi manusia yang berkaitan dengan perasaan yang sedih dan gejala penyertanya, termasuk perubahan pada psikomotor, kemampuan kognitif, pembicaraan dan fungsi vegetatif. Episode depresi berat dengan gejala psikotik merupakan depresi yang parah walau bukan penderita psikotik. Diagnosis gangguan ini ditegakkan berdasarkan adanya gejala episode depresif berat ditambah dengan gejala psikotik. Penyebab dari gangguan depresi terdiri dari faktor biologis, faktor genetika dan faktor psikososial. Pada hipotesis timbulnya depresi dihubungkan dengan peran beberapa neurotransmiter aminergik. Hipotesis tersebut menjadi dasar penggunaan dan pengembangan obat-obat anti depresan. Pada gangguan depresi yang sering terdapat pikiran-pikiran atau rancangan bunuh diri, maka sebaiknya penderita dengan emosi yang tidak dapat dikendalikan sebaikanya dirawat di rumah sakit dengan pemberian terapi psikoterapi dan obat anti depresan. Psikoterapi bermanfaat untuk mengurangi atau menghilangkan keluhankeluhan dan mencegah kambuhnya pola perilaku maladaptif atau gangguan psikologik. Psikoterapi dapat diberikan secara individual, kelompok, atau pasangan sesuai dengan gangguan psikologis yang dialaminya. Pemberian anti depresan diberikan melalui tahapan-tahapan, yaitu dosis initial, titrasi, stabilisasi, maintenance dan dosis tapering. Dimana dosis dan lama pemberiannya berbeda-beda. Pada kasus ini, emosi pasien yang relatif stabil dan masih dapat dikendalikan menurut keluarga, maka pasien dilakukan rawat jalan dan diberi anti depresan amitriptyline tablet 1 x 25 mg dan clozapine tablet 2 x 25 mg. Amitriptylin
merupakan
antidepresi
trisiklik.
Amitriptylin
bekerja
dengan
menghambat pengambilan kembali neurotransmiter di otak. Amitriptylin mempunyai 41
2 gugus metil, termasuk amin tersier sehingga lebih responsif terhadap depresi akibat kekurangan serotonin. Senyawa ini juga mempunyai aktivitas sedatif dan antikolinergik yang cukup kuat. Hipotesis sindrom depresi disebabkan oleh defesiensi relatif salah satu atau beberapa aminergic neurotransmitter seperti noradrenalin, serotonin, dan dopamine sehingga pemberian amytriptilin cukup baik dipilih sebagai obat antidepresi. Dosis yang diberikan merupakan dosis inisial terapi depresi. Sedangkan clozapine yang diberikan sebagai pilihan obat antipsikotik karena mekanisme kerja dan efek sindrom ekstrapiramidal yang rendah. Keuntungan efek sindrom ekstrapiramidal yang rendah adalah tidak memberatkan gejala negatif yang sudah ada pasien ini, meningkatkan kepatuhan, tidak menganggu kognisi, risiko dysphoria kurang, dan efek samping motorik ringan. Prognosis bergantung pada diagnosis yang tepat dan sedini mungkin, terapi yang adekuat, serta dukungan dari keluarga. Pasien depresi membutuhkan terapi jangka panjang agar dapat mengurangi relaps atau rekurensi. Karena beragamnya penyebab depresi, beberapa modalitas
terapi dapat
digunakan. Kombinasi
farmakoterapi dengan psikoterapi lebih efektif untuk mengobati depresi berat dan mencegah relaps atau rekurensi, dibandingkan dengan hanya far-makoterapi atau psikoterapi.
42
DAFTAR PUSTAKA 1. Sadock BJ and Sadock VA. Gangguan Mood/ Suasana Perasaan. Dalam: Kaplan & Sadock Buku Ajar Psikiatri Klinis. Edisi 2, editor:Muttaqin H and Elseria RN. Jakarta: EGC; 2010. p.189-229. 2. Kaplan HI, BJ Sadock, JA Grebb. Sinopsis Psikiatri. Jilid 1, Jakarta Barat: Bina Rupa Aksara,2012. Hal: 813-816 3. Tomb DA, Buku Saku Psikiatri.Edisi 6, Cetakan 1. Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC, 2004. Hal : 47-63 4. Kessler RC, Berglund P, Demler O, Jin R, Merikangas KR, Walters EE. Lifetime Prevalence and Age-of-Onset Distributions of DSM-IV Disorders in the National Comorbidity Survey Replication. Arch Gen Psychiatry 2005;62:593-602. 5. [RISKESDAS] Riset Kesehatan Dasar. 2007. Jakarta: Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan, Departemen Kesehatan, Republik Indonesia. 6. Charu Taneja, George I Papakostas, Yonghua Jing, Ross A Baker, Robert A Forbes, dan Gerry Oster. Cost Effectiveness of Adjunctive Therapy with Atypical Antipsychotics for Acute Treatment of Major Depressive Disorder. The Annals of Pharmacotherapy 2012;46:642-649. 7. Maslim, Rusdi. 2001. Diagnosis Gangguan Jiwa, Rujukan Ringkas PPDGJ III. Jakarta: Bagian Ilmu Kedokteran Jiwa FK Unika Atma Jaya. 8. Jiwo T. Pusat Pemulihan dan Pelatihan Penderita Gangguan Jiwa. 9. Tomb DA, Buku Saku Psikiatri.Edisi 6, Cetakan 1. Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC, 2004. Hal : 47-63 10. Junaldi I. Anomali Jiwa. Dalam:
Gangguan
Kecemasan.
Edisi
1.
Yogyakarta:Percetakan Andi, 2012. Hal:124-141. 11. Kane. 1999. Essentials of Clinical Geriatrics 4th Edition, USA : McGrow-Hill Companies, 231-245. 12. Teter, C. S., Kando, J. C., Wells, B. G., & Hayes, P. E., 2007, Depressive Disorder
43