MENGENAL KARAKTERISTIK BACILLUS SUBTILIS MENGENAL KARAKTERISTIK BACILLUS SUBTILIS
Bakteri yang berperan dalam pembusukan daging, salah satunya yaitu bakteri B. subtilis. Bakteri ini memiliki karakter-karakter tertentu dan spesifik. Berikut adalah klasifikasi B. klasifikasi B. subtilis : (Madigan, 2005) Kingdom:Bacteria Phylum:Firmicutes Class:Bacilli Order:Bacillales Family:Bacillaceae Genus: Bacillus Bacillus Species: B. subtil subtil is Karakteristik dari bakteri B. bakteri B. Subtilis dapat dilihat pada table berikut : Karakter
Bacill us Subtili s
Bentuk
Batang (tebal maupun tipis), rantai maupun tunggal
Gram
Positif
Sumber
tanah, air, udara dan materi tumbuhan yang terdekomposisi
Berdasarkan spora
Bakteri penghasil endospora
Respirasi
Aerob obligat
Pergerakan
Motil dengan adanya flagella
Suhu Optimu Optimum m Pertum Pertumbuha buhan n
25-35 25-3 5C
pH Optimum Pertumbuhan
7-8
Katalase
Positif
Sumber : Graumann, 2007 Media Perantara
Media perantara pertumbuhan Bacillus pertumbuhan Bacillus subtilis antara lain adalah tanah, air, udara dan materi tumbuhan yang terdekomposisi. Selain itu, B.subtilis itu, B.subtilis juga juga ditemukan pada produk makanan seperti produk susu, daging, nasi dan pasta. Bakteri ini dapat tumbuh pada produk makanan karena produk-produk makanan tersebut menyediakan nutrisi yang baik untuk pertumbuhan B.subtilis. pertumbuhan B.subtilis. Ciri-ciri Pembusukan
Ciri ciri kebusukan pada daging menurut Buckle dkk. (1985): 1.Perubahaan Warna
Beberapa mikroorganisme menghasilkan koloni koloni yang berwarna atau mempunyai pigmen (zat warna) yang memberi warna pada daging yang tercemar. 2.Berlendir Kental Suatu lendir kental yang berbentuk tali dalam bahan pangan disebabkan oleh berbagai spesies mikroorganisme seperti Leuconostoc mesenteroides, Leuconostoc dextracium, Bacillus subtilis dan Lactobacillus plantarum. Pada beberapa bahan pangan pembentukan lendir dikaitkan dengan pembentukan bahan kapsul oleh mikroorganisme.sedang pada beberapa produk pangan yang lain dapat disebabkan karena hidrolisa dari zat pati dan protein untuk menghasilkan bahan bersifat lekat yang tidak berbentuk kapsul.Lendir tali ini dapat mencemari bahan bahan pangan seperti minuman anggur, cuka, susu dan roti. 3.Kerusakan Fermentatif Beberapa tipe organisme terutama khamir, spesies Bacillus dan Clostrodium serta bakteri asam laktat mampu memfermentasikan karbohidrat.Bakteri dapat mengubah gula menjadi asam laktat atau campuran asam asam laktat, asetat, propionat dan butirat,bersama sama dengan hidrogen dan karbondioksida. Perubahan flavor dan pembentukan gas akhirnya terjadi dalam bahan pangan. 4.Pembusukan bahan Bahan Berprotein Dekomposisi anaerobik dari protein menjadi peptida atau asam asam amino mengakibatkan bau busuk pada bahan pangan karena terbentuknya sulfida, amonia, methyl sulfida, amin dan senyawa bau yang lainnya. Bahan pangan tercemar lainnya adalah bahan pangan yang diolah kurang sempurna dan dikemas sehingga terbentuk kondisi anaerobik. Faktor-faktor yang mempengaruhi kerusakan bahan pangan (Irianto, 2007): Activity water (Aw) Bahan pangan dengan kadar air tinggi(nilai Aw:0,95-0,99) pada umumnya kan ditumbuhi oleh semua jenis mikrooganisme. Karena bakteri lebih cepat pertumbuhannya dibandingankan dengan khamir ataupun kapang. Perubahan nilai pH. Beberapa mikroorganisme khususnya kapang ataupun khamir dapat memecah asam secara alamiah ada dalam bahan pangan .Oleh karena itu dapat mengakibatkan kenaikna pH yang cukup memungkinkan tumbuhnya spesies pembusuk yang sebelumnya terhambat pertumbuhannya. Lemak
Adanya lemak akan memberi kesempatan bagi jenis lipolitik untuk tumbuh secra dominan.Keadaan tersebut akan mengakibatkan kerusakan lemak oleh mikroorganisme dan menghasilkan zat zat yang disebut asam asam lemak bebas dan keton yang memiliki bau dan rasa yang khas. Seringkali disebut tengik. Protein dan peptida Kemampuan memecah molekul protein dalam bahan pangan terbatas hanya pada beberapa spesies mikroorganisme yang dapat menghasilkan enzim proteolitik ekstraseluer.Pada umumnya spesies proteolitik ini pertama tama berperan kemudian dikalahkan oleh spesies lain yang tumbuh pada produk yang proteinnya terdegradasi. Mekanisme Pembusukan
Pada pembusukan daging, mikroorganisme yang menghasilkan enzim proteolitik mampu merombak protein-protein atau biasa disebut denaturasi protein. Dengan terjadinya proses denaturasi, protein secara bertahap kehilangan kemampuannya untuk menahan cairan. Akibatnya, cairan tubuh tersebut akan lepas dan mengalir keluar dari bahan pangan. Cairan ini kaya akan nutrien sehingga akan digunakan oleh mikroba sebagai sumber makanan untuk tumbuh dan berkembang. Mekanisme pembusukan ini sangat kompleks. Bakteri tumbuh/berkembang pada daging dengan memanfaatkan komponen-komponen (dengan berat molekul rendah) yang terlarut dalam daging. Konsentrasi komponen tersebut dalam daging dan penggunaannya oleh jenis mikroba tertentu yang akan menentukan waktu terjadinya (onset) dan jenis pembusukan (Pelczar dan Chan, 2005). Selain itu proses pembusukan terjadi akibat adanya aktivitas enzim yang merombak komponen bahan pangan hingga terbentuk senyawa yang aromanya tidak disukai. Aroma tersebut merupakan gabungan dari sejumlah senyawa hasil proses pembusukan. Selama proses pembusukan, enzim akan merombak karbohidrat secara bertahap menjadi alkohol dan akhirnya membentuk asam butirat dan gas metan. Protein akan dirombak oleh protease hingga terbentuk ammonia dan hidrogen sulfida; sedangkan lemak akan dirombak menjadi senyawa keton. Keberadaan senyawa ini secara bersamaan akan menyebabkan terbentuknya aroma busuk. Proses pembusukan makanan dapat dijelaskan pada persamaan berikut ini (Dwidjoseputro,2005): ProteaseProtein ———————————– H2S dan amoniakKarbohidrase Karbohidrat ———————— alkohol Lipase Lemak —————————— lemak Jumlah mikroorganisme pada daging sapi saat baumuncul sebesar adalah 1,2 X 10 6 s/d 1,0 X 108cfu/cm2 dan lendirakan muncul saat jumlah mikroorganisme sebesar 3,0 X 10 6 s/d 3,0 X 108cfu/cm2. Pada daging unggas, bau akan muncul saat jumlah mikroorganismenya sebesar 2,5 X 10 6s/d 1,0 X 10 8 cfu/cm2 dan muncul lendir saat jumlah mikroorganisme sebesar 1,0 x 107 s/d 6,0 X 107 cfu/cm2.
Lendir yang dihasilkan pada permukaan daging menurut Winarno (1985) disebabkan oleh berbagai spesies mikroorganisme seperti Leuconostoc mesenteroides, Leuconostoc dextranicum, Bacillus subtilis dan Lactobacillus plantarum. Pada beberapa bahan pangan pembentukan lendir dikaitkan dengan pembentukan bahan kapsul oleh mikroorganisme sedang pada beberapa produk pangan pembentukan lendir juga disebabkan oleh hidrolisa dari zat pati dan protein untuk menghasilkan bahan yang bersifat lekat yang tidak berbentuk kapsul. Pencegahan
Daging adalah salah satu dari produk pangan yang mudah rusak disebabkan daging kaya zat yang mengandung nitrogen, mineral, karbohidrat, dan kadar air yang tinggi serta pH yang dibutuhkan mikroorganisme perusak dan pembusuk untuk pertumbuhannya. Pertumbuhan mikroorganisme ini dapat mengakibatkan perubahan fisik maupun kimiawi yang tidak diinginkan, sehingga daging tersebut rusak dan tidak layak untuk dikonsumsi (Komariah dkk., 2004). Usaha-usaha untuk meningkatkan kualitas daging bisa dilakukan dengan proses pengawetan dan peningkatan keempukan dengan penambahan enzim proteolitik. Pengawetan daging akan memperpanjang masa simpan dan memperbaiki persediaan daging dengan mengurangi kerusakan dan pembusukan oleh mikroorganisme. Penambahan enzim proteolitik akan meningkatkan keempukan dan penerimaan daging oleh konsumen. Pengawetan pada prinsipnya adalah penghambatan kerusakan oleh bakteri dan bisa dilakukan dengan penggunaan senyawa antimikroba. Tujuan pengawetan tersebut ditentukan oleh waktu penyimpanan komoditi (Komariah dkk., 2004). B. subtilis dapat menyebabkan kerusakan pada makanan kaleng yang juga dapat mengakibatkan gastroenteritis pada manusia yang mengkonsumsinya. Oleh sebab itu makanan yang disimpan dalam waktu lama perlu dilakukan pengawetan agar tidak membahayakan konsumen. Untuk mencegah dan mengendalikan pertumbuhan bakteri pada bahan makanan umumnya digunakan bahan kimia pengawet berupa zat kimia sintetik. Alternatif lain yang memungkinkan untuk dikembangkan adalah pemanfaatan senyawa bioaktif yang dihasilkan oleh tumbuhan. Salah satu diantaranya adalah pemanfaatan senyawa metabolit sekunder yang terdapat pada tanaman Jahe ( Zingiber officinaleRoxb.) (Nursal dkk., 2006). Tanaman jahe termasuk Suku Zingiberaceae, merupakan salah satu tanaman rempahrempahan yang telah lama digunakan sebagai bahan baku obat tradisional. Kandungan senyawa metabolit sekunder yang terdapat pada tanaman jahe terutama golongan flavonoid, fenol, terpenoid, dan minyak atsiri (Benjelalai, 1984). Senyawa metabolit sekunder yang dihasilkan tumbuhan Suku Zingiberaceae umumnya dapat menghambat pertumbuhan mikroorganisme patogen yang merugikan kehidupan manusia. Ekstrak Lengkuas (Suku Zingiberaceae) dilaporkan dapat menghambat pertumbuhan mikroba, diantaranya bakteri Escherichia coli, Bacillus subtilis, Staphylococcus aureus, jamur Neurospora sp,Rhizopus sp dan Penicillium sp (Nursal dkk., 2006). Berdasarkan hasil-hasil penelitian sebelumnya diketahui bahwa senyawa fenol, terpenoid dan flavonoid merupakan senyawa produk metabolisme sekunder tumbuhan yang aktif
menghambar pertumbuhan bakteri. Ekstrak akar Acanthus ilicifolius dilaporkan dapat menghambat pertumbuhan koloni bakteri Vibrio parahaemolyticus sp (Nursal, 1997) dan Vibrio sp (Nursal, 1998).Senyawa triterpenoid yang terdapat pada ekstrak daun Premna schimperi dilaporkan dapat menghambat pertumbuhan koloni bakteri Staphylococcus aureus dan Bacillus subtilis pada konsentrasi 20-25 μg/ml (Habtemariam dkk. , 1990). Terjadinya penghambatan terhadap pertumbuhan koloni bakteri pada diduga disebabkan karena kerusakanyang terjadi pada komponen struktural membran sel bakteri. Senyawa golongan terpenoid dapat berikatan dengan protein dan lipid yang terdapatpada membran sel dan bahkan dapat menimbulkan lisis pada sel. Volk dan Wheeler (1988) mengemukakan bahwa membran sel yang tersusun atas protein dan lipid sangat rentan terhadap zat kimia yang dapat menurunkan tegangan permukaan. Kerusakan membran sel menyebabkan terganggunya transport nutrisi (senyawa dan ion) melalui membran sel sehingga sel bakteri mengalami kekurangan nutrisi yang diperlukan bagi pertumbuhannya. Daging hewan yang sehat sebelum pemotongan pada dasarnya adalah steril atau hanya mengandung tingkat mikroorganisme yang sangat sedikit, namun setelah pemotongan, jaringan-jaringan tersebut mulai terkontaminasi oleh mikroba dari lingkungan sekitar. Pengaruh interaksi antara konsentrasi penambahan jahe dan lama simpan terhadap total mikroba sangat nyata. Faktor perlakuan penambahan jahe dan lama simpan juga berpengaruh sangat nyata terhadap total mikroba. Syarat mutu daging sapi untuk jumlah mikroba maksimum adalah 5 x 10 5 kuman/gram (BSN, 1995), sedangkan tingkat maksimum total mikroba yang dapat diterima pada daging yang menentukan akhir dari masa simpannya, menurut Ockerman (1984), adalah 3,39 x 10 6 cfu/g. Jumlah mikroba yang didapat pada daging untuk masing-masing konsentrasi penambahan jahe menunjukkan, bahwa daging sudah tidak memenuhi syarat mutu. Hal ini diduga disebabkan penanganan yang kurang higienis dan sanitasi yang kurang baik sejak sapi dipotong sehingga menyebabkan kontaminasi oleh mikroorganisme pada daging. Pada daging yang ditambahkan jahe, selain suhu penyimpanan dan pH, pertumbuhan mikroba tersebut dihambat oleh zat antimikroba yang terkandung dalam jahe.Selain menghambat pertumbuhan mikroba, zat antimikroba pada jahe juga bersifat membunuh mikroba pada daging yang terlihat dengan adanya penurunan jumlah mikroba pada 3 hari penyimpanan.Zat antimikroba yangterkandung dalam jahe adalah zingeron dan gingerol yang merupakan senyawa turunan metoksi fenol dalam oleoresin jahe (Al-Khayat & Blank, 1985). Penambahan jahe juga berpengaruh terhadapkeempukan dan total mikroba pada daging.Daging dengan pH akhir yang rendah sekitar5,1 sampai dengan 6,1, menurut Buckle dkk. (1986), mempunyai struktur yang terbuka yang memudahkan penetrasi zat-zat tertentu ke dalam daging seperti pada proses pengasinan daging.Struktur terbuka ini diduga akan memudahkan masuknya enzim proteolitik dan zat antimikroba jahe ke dalam daging. Mekanisme lain zat antimikroba adalah penghambatan sintesis di dinding sel, penghambatan sintesis protein, sintesis asam nukleat dan penghambatan pertumbuhan analog (Lay & Hastowo, 1992). Berdasarkan hasil pangamatan Jenie dkk. (1992), pada umumnya bakteri Gram negatif lebih tahan terhadap aktivitas antimikroba jahe dibandingkan dengan bakteri Gram positif, hal ini mungkin disebabkan dinding sel bakteri Gram negatif mempunyai lapisan lemak yang lebih tebal daripada bakteri Gram positif.
Penambahan jahe ( Zingiber officinale Roscoe) hingga 8% pada daging sapi akan meningkatkan daya simpan keempukan daging. Konsentrasi dan waktu penyimpanan terbaik dari hasil yang didapat adalah konsentrasi penambahan jahe 8% dengan lama penyimpanan 6 hari. Ekstrak jahe ( Zingiber officinale) dapat menghambat pertumbuhan koloni bakteri Escherichia coli mulai konsentrasi 6,0%. Bacillus subtilis mulai dapat dihambat pada konsentrasi 2,0%. Hal ini membuktikan bahwa bakteri Gram negatif lebih tahan terhadap aktivitas antimikroba jahe dibandingkan dengan bakteri Gram positif, hal ini mungkin disebabkan dinding sel bakteri Gram negatif mempunyai lapisan lemak yang lebih tebal daripada bakteri Gram positif. DAFTAR PUSTAKA
Al-Khayat MA, Blank G. . 1985. Phenolic spicecomponents sporostatik to Bacillus subtilis.J. Food Sci. 50: 971-974. Badan Standardisasi Nasional. 1995. Daging sapi/kerbau. SNI No. 01-3947-1995. BadanStandarisasi Nasional. Jakarta. Buckle K A., Edwards R.A., Fleet G.H. & Wooton M. . 1986. Ilmu Pangan. Terjemahan: H.Purnomo & Adiono. Univ. Indonesia Press. Jakarta. Dwidjoseputro. 2005. Dasar-Dasar Mikrobiologi. Djambatan. Malang. Graumann P.2007.Bacillus: Cellular and Molecular Biology. Caister Academic Press. Habtemariam S, Gray A.L. , Halbert G.W., and Waterman P.G. 1990. A Novel Antibacterial Diterpene From Premna schimperi. Medica56:187-189. Irianto Koes. 2007. Mikrobiologi : Menguak Dunia Mikroorganisme. Yrama Widya. Bandung. Jenie BSL, K. Undriyani, & R. Dewanti . 1992. Pengaruh konsentrasi jahe dan waktu kontakterhadap aktivitas beberapa mikrobapenyebab ker usakan pangan. Bul. Pen. Ilmudan Tek. Pangan III (2): 1-16. Komariah, II Arief& Y. Wiguna. 2004. Kualitas Fisik dan Mikroba Daging Sapi yang DitambahJahe (Zingiber officinale Roscoe) pada Konsentrasidan Lama Penyimpanan yang Berbeda.Departemen Ilmu Produksi Ternak, Fakultas Peternakan, Institut Pertanian Bogor. Bogor. Lay B.W. & S. Hastowo . 1992. Mikrobiologi.Rajawali Press. Jakarta. Madigan M and Martinko J (editors). 2005. Brock Biology of Microorganisms (11th ed.).Prentice Hall.
Nursal. 1997. Pengaruh Ekstrak Akar Acanthusilicifolius Terhadap Pertumbuhan BakteriVibrioparahaemolyticus. Jurnal Biosains. Vol 2(1):32-37 Nursal. 1998. Pengaruh Ekstrak Akar Acanthusilicifolius Terhadap Pertumbuhan Bakteri Vibriosp.Prosiding Seminar Nasional VI EkosistemMangrove. Pekanbaru 15-18 September 1998;273-277 Sri Wulandari Nursal dan Wildan Sukma Juwita.2006. Bioaktifitas Ekstrak Jahe (Zingiber officinale Roxb.) dalam Menghambat Pertumbuhan Koloni Bakteri Escherichia coli dan Bacillus subtilis .Jurnal Biogenesis Vol. 2(2):64-66. Laboratorium Pendidikan Biologi PMIPA FKIP Universitas Riau.Riau. Ockerman HW. 1984. Quality Control of Post mortemMuscle Tissue. Vol. 4: Microbiology.12thEd . Dept. of Animal Sci., The Ohio StateUniversity & The Ohio Agriculture Research& Development Center. Ohio. Pelczar MJ dan Chan ECS. 2005. Dasar-Dasar Mikrobiologi (2). UI Press. Jakarta. Volk WA and Wheeler. 1988. Mikrobiologi DasarJilid I Edisi kelima. Diterjemahkan olehMarkham. Penerbit Erlangga. Jakarta.