LAPORAN PENDAHULUAN GANGGUAN PERSEPSI SENSORI: HALUSINASI
PROGRAM PENDIDIKAN PROFESI NERS SEKOLAH TINGGI ILMU KESEHATAN ARTHA BODHI ISWARA SURABAYA 2017/2018
A. Pengertian
Halusinasi adalah persepsi sensorik yang keliru dan melibatkan panca indera (Isaacs, 2002). Halusinasi
merupakan
gangguan
atau
perubahan
persepsi
dimana
klien
mempersepsikan sesuatu yang sebenarnya tidak terjadi. Suatu penerapan panca indra tanpa ada rangsangan dari luar. Suatu penghayatan yang dialami suatu persepsi melalui panca indra tanpa stimulus eksteren: persepsi palsu (Maramis, 2005). Halusinasi adalah kesan, respon dan pengalaman sensori yang salah (Stuart, 2007). Dari beberapa pengertian yang dikemukan oleh para ahli mengenai halusinasi di atas, maka penulis mengambil kesimpulan bahwa halusinasi halusinasi adalah persepsi klien melalui panca indera terhadap lingkungan tanpa ada stimulus atau rangsangan yang nyata.
B. Klasifikasi Menurut (Menurut Stuart, 2007), jenis halusinasi antara lain : a. Halusinasi pendengaran (auditorik) 70 % Karakteristik ditandai dengan mendengar suara, teruatama suara – suara orang, biasanya klien mendengar suara orang yang sedang membicarakan apa yang sedang dipikirkannya dan memerintahkan untuk melakukan sesuatu. b. Halusinasi penglihatan (Visual) 20 % Karakteristik dengan adanya stimulus penglihatan dalam bentuk pancaran cahaya, gambaran geometrik, gambar kartun dan / atau panorama yang luas dan kompleks. Penglihatan bisa menyenangkan atau menakutkan. c. Halusinasi penghidu (olfactory) Karakteristik ditandai dengan adanya bau busuk, amis dan bau yang menjijikkan seperti : darah, urine atau feses. Kadang – kadang terhidu bau harum. Biasanya berhubungan dengan stroke, tumor, kejang dan dementia. d. Halusinasi peraba (tactile) Karakteristik ditandai dengan adanya rasa sakit atau tidak enak tanpa stimulus yang terlihat. Contoh : merasakan sensasi listrik datang dari tanah, benda mati atau orang lain. e. Halusinasi pengecap (gustatory) Karakteristik ditandai dengan merasakan sesuatu yang busuk, amis dan menjijikkan, merasa mengecap rasa seperti rasa darah, urin atau feses.
f. Halusinasi sinestetik Karakteristik ditandai dengan merasakan fungsi tubuh seperti darah mengalir melalui vena atau arteri, makanan dicerna atau pembentukan urine.
g. Halusinasi Kinesthetic Merasakan pergerakan sementara berdiri tanpa bergerak.
C. Etiologi Menurut stuart ( 2007) faktor penyebab terjadinya halusinasi adalah:
faktor predisposisi 1. biologis abnormalitas perkambangan syaraf berhubungan dengan respon neorologis yang maladaftif baru mulai dipahami, ini ditunjukkan oleh penelitian-penelitian sebagai berikut: a. penelitian pencitraan otak sudah menunjukan keterlibatan otak yang lebih luas dalam perkembangan skizofren b. beberapa zat kimia diotak seperti dopamin neorotransmiter yang berlebihan c. pembesaran ventrikel dan penurunan massa kortikal menunjukan terjadinya atropi yang signifikan pada otak manusia. 2. Psikolagis Keluarga, pengasuh dan lingkungan klien sangat mempengaruhi respon dan kondisi psikologis klien. Salah satu sikap atau keaadan k eaadan yang dapat dap at mempengaruhi mempeng aruhi gangguan orientasi realitas adalah penolakan atau tindakan kekerasan dalam rentang hidup klien. 3. sosial budaya kondisi ini mempengaruhi mempengaruhi gangguan orientasi realita seperti : kemiskinan, perang, perang, kerusuhan, bencana alam dan kehidupan yang terisolasi
faktor presipitasi secara fisik klien dengan gangguan halusinasi timbul gangguan setelah adanya hubungan yang bermusuhan, tekanan, isolasi, perasaan tidak berguna, putus asa dan tidak berdaya. Penilaian induvidu terhadap stressor dan maslah koping dapat mengindikasi kemungkinnan kekambuhan (kelliat,2006). Faktor presipitasi presipitasi terjadinya gangguan halusinasi adalah : 1. biologis ganngguan dalam komunikasi dan putaran balik otak, yang mengatur proses informasi serta abnomalitas pada mekanisme pintu masuk dalam o tak akibat ketidakmampuan untuk secara selektif selektif menanggapi stimulus yang diterima oleh otak untuk diinterpretasikan. 2. Sterss lingkungan Ambang toleransi terhadap sress yang berinteraksi terhadap stresor lingkungan untuk menentukan terjadinya gangguan prilaku. 3. sumber koping. Sumber koping mempengaruhi respon individu dalam menanggapi stressor.
D. Fase halusinasi
Fase halusinasi ada 4 yaitu (Stuart dan Laraia, 2001): a. Comforting Klien mengalami perasaan mendalam seperti ansietas sedang, kesepian, rasa bersalah dan takut serta mencoba untuk berfokus pada pikiran yang menyenangkan
untuk meredakan ansietas. Di sini klien tersenyum atau tertawa yang tidak sesuai, menggerakkan lidah tanpa suara, pergerakan mata yang cepat, diam dan asyik. b. Condemning Pada ansietas berat pengalaman sensori menjijikkan dan menakutkan. Klien mulai lepas kendali dan mungkin mencoba untuk mengambil jarak dirinya dengan sumber yang dipersepsikan. Disini terjadi peningkatan tanda-tanda sistem saraf otonom akibat ansietas seperti peningkatan tanda-tanda vital (denyut jantung, pernapasan dan tekanan darah), asyik dengan pengalaman sensori dan kehilangan kemampuan untuk membedakan halusinasi dengan realita. c. Controling Pada ansietas berat, klien berhenti menghentikan perlawanan terhadap halusinasi dan menyerah pada halusinasi tersebut. Di sini klien sukar berhubungan dengan orang lain, berkeringat, tremor, tidak mampu mematuhi perintah dari orang lain dan berada dalam kondisi yang sangat menegangkan terutama jika akan berhubungan dengan orang lain. d. Consquering Terjadi pada panik Pengalaman sensori menjadi mengancam jika klien mengikuti perintah halusinasi. Di sini terjadi perilaku kekerasan, agitasi, menarik diri, tidak mampu berespon terhadap perintah yang kompleks dan tidak mampu berespon lebih dari 1 orang. Kondisi klien sangat membahayakan.
E. Tanda gejala
Pasien dengan halusinasi cenderung menarik diri, sering didapatkan duduk terpaku dengan pandangan mata pada satu arah tertentu, tersenyum atau berbicara sendiri, secara tiba-tiba marah atau menyerang orang lain, gelisah, melakukan gerakan seperti sedang menikmati sesuatu. Juga keterangan dari pasien sendiri tentang halusinasi yang dialaminya (apa yang dilihat, didengar atau dirasakan). Berikut ini merupakan gejala klinis berdasarkan halusinasi (Budi Anna Keliat, 1999) :
a.
Tahap 1: halusinasi bersifat tidak menyenangkan Gejala klinis: 1) Menyeriangai/tertawa tidak sesuai 2) Menggerakkan bibir tanpa bicara 3) Gerakan mata cepat 4) Bicara lambat 5) Diam dan pikiran dipenuhi sesuatu yang mengasikkan
b. Tahap 2: halusinasi bersifat menjijikkan Gejala klinis: 1) Cemas 2) Konsentrasi menurun 3) Ketidakmampuan membedakan nyata dan tidak nyata c. Tahap 3: halusinasi bersifat mengendalikan Gejala klinis: 1) Cenderung mengikuti halusinasi 2) Kesulitan berhubungan dengan orang lain 3) Perhatian atau konsentrasi menurun dan cepat berubah 4) Kecemasan berat (berkeringat, gemetar, tidak mampu mengikuti pe tunjuk). d. Tahap 4: halusinasi bersifat menaklukkan Gejala klinis: 1) Pasien mengikuti halusinasi 2) Tidak mampu mengendalikan diri 3) Tidak mamapu mengikuti perintah nyata 4) Beresiko mencederai diri, orang lain dan lingkungan.
F. Rentan respon Halusinasi Rentan Respon Neurobiologis Respon Maladaptif
Respon Adaptif
1. Pikiran logis 2. Persepsi akurat 3. Emosi konsisten dengan pengalaman pengalaman 4. Perilaku sesuai 5. Hubungan sosial harmonis
1. Kadang proses pikir terganggu 2. Ilusi 3. Emosi berlebihan/kurang berlebihan/kurang 4. Perilaku tidak biasa 5. Menarik diri
1. Gangguan Gangguan proses pikir (waham) 2. Halusinasi 3. Kerusakan proses emosi 4. Perilaku tidak terorganisir 5. Isolasi sosial
(Stuart dan Laraia 2007)
Respon adaptif adalah respon yang dapat diterima oleh norma-norma social dan budaya secara umum yang berlaku didalam masyarakat, dimana individu menyelesaikan masalah dalam batas normal yang meliputi : 1. Pikiran logis adalah segala sesuatu yang diucapkan dan dilaksanakan dilaksanakan oleh individu sesuai dengan kenyataan. 2. Persepsi akurat adalah penerimaan pesan yang disadari oleh indra perasaan, dimana dapat membedakan objek yang satu dengan yang lain dan mengenai kualitasnya menurut berbagai sensasi yang dihasilkan. 3. Emosi konsisten dengan pengalaman adalah respon yang diberikan individual sesuai dengan stimulus yang datang. 4. Prilaku sesuai dengan cara berskap individu yang sesuai dengan perannya. 5. Hubungan social harmonis dimana individu dapat berinteraksi dan berkomunkasi dengan orang lain tanpa adanya rasa curiga, bersalah dan tidak senang.
Sedangkan mal adaptif adalah suatu respon yang tidak dapat diterima oleh norma-norma sosial dan budaya secara umum yang berlaku dimasyarakat, dimana individu dalam menyelesaikan masalah tidak berdasarkan norma yang yang sesuai diantaranya diantaranya : 1. Gangguan proses pikir / waham adalah ketidakmampuan otak untuk memproses data secara akurat yang dapat menyebabkan gangguan proses pikir, seperti ketakutan, merasa hebat, beriman, pikiran terkontrol, pikiran yang terisi dan lain-lain. 2. Halusinasi adalah gangguan identifikasi identifikasi stimulus berdasarkan informasi yang diterima otak dari lima indra seperti suara, raba, bau, dan pengelihatan 3. Kerusakan proses emosi adalah respon yang diberikan Individu tidak sesuai dengan stimulus yang datang. 4. Prilaku yang tidak terorganisir adalah cara bersikap individu yang tidak sesuai dengan peran 5.
Isolasi social adalah dimana individu yang mengisolasi dirinya dari lingkungan atau tidak mau berinteraksi dengan lingkungan
G. Patofisiologi
Menurut Trimelia ( 2012 ), pohon masalah pada klien dengan gangguan sensori persepsi : halusinasi pendenganran dan perabaan sebagai beriku:
Resiko Prilaku Kekerasan
Gangguan persepsi sensori: Halusinasi
Isolasi Sosial
H. Penatalaksanaan
Penatalaksanaan pada pasien halusinasi dengan cara : 1. Menciptakan lingkungan yang terapeutik Untuk mengurangi tingkat kecemasan, kepanikan dan ketakutan pasien akibat halusinasi, sebaiknya pada permulaan pendekatan di lakukan secara individual dan usahakan agar terjadi knntak mata, kalau bisa pasien di sentuh atau di pegang. Pasien jangan di isolasi baik secara fisik atau emosional. Setiap S etiap perawat masuk ke kamar k amar atau mendekati pasien, bicaralah dengan pasien. Begitu juga bila akan meninggalkannya hendaknya pasien di beritahu. Pasien di beritahu tindakan yang akan di lakukan. Di ruangan itu hendaknya di sediakan sarana yang dapat merangsang perhatian dan mendorong pasien untuk berhubungan dengan realitas, misalnya jam dinding, gambar atau hiasan dinding, majalah dan permainan 2. Melaksanakan program terapi dokter Sering kali pasien menolak obat yang di berikan sehubungan dengan rangsangan halusinasi yang di terimanya. Pendekatan sebaiknya secara persuatif tapi instruktif. Perawat harus mengamati agar obat yang di berikan betul di telannya, serta reaksi obat yang di berikan. 3. Menggali permasalahan pasien dan membantu mengatasi masalah yang ada Setelah pasien lebih kooperatif dan komunikatif, perawat dapat menggali masalah pasien yang merupakan penyebab timbulnya halusinasi serta membantu mengatasi masalah yang ada. Pengumpulan data ini juga dapat melalui keterangan keluarga pasien atau orang lain yang dekat dengan pasien. 4. Memberi aktivitas pada pasien Pasien di ajak mengaktifkan diri untuk melakukan gerakan fisik, misalnya berolah raga, bermain atau melakukan kegiatan. Kegiatan ini dapat membantu mengarahkan pasien ke kehidupan nyata dan memupuk hubungan dengan orang lain. Pasien di ajak menyusun jadwal kegiatan dan memilih kegiatan yang sesuai. 5. Melibatkan keluarga dan petugas lain dalam proses perawatan Keluarga pasien dan petugas lain sebaiknya di beritahu tentang data pasien agar ada kesatuan pendapat dan kesinambungan dalam proses keperawatan, misalny dari percakapan dengan pasien di d i ketahui bila sedang sendirian ia sering mendengar laki -laki yang mengejek. Tapi bila ada orang lain di dekatnya suara-suara itu tidak terdengar jelas. Perawat menyarankan agar pasien jangan menyendiri dan men yibukkan diri dalam permainan atau aktivitas yang ada.
Konsep Asuhan Keperawatan pada Pasien dengan Halusinasi
A. Identitas klien
Identitas ditulis lengkap seperti nama, usia dalm tahun, alamat, pendidikan, agama, status perkawinan, pekerjaan, jenis kelamin, nomer rekam medic dan diagnose medisnya. B. Alasan Masuk
Menanyakan kepada klien/keluarga/pihak yang berkaitan dan tulis hasilnya, apa yang menyebabkan klien dating ke rumah sakit, apa yang sudah dilakukan oleh klien/keluarga sebelumnya atau dirumah untuk mengatasi masalah ini dan bagaimana hasilnya. Pasien dengan halusinasi biasanya dilaporkan oleh keluarga bahwa paien sering melamun, menyendiri dan terlihat berbicara sendiri, tertawa sendiri. C. Riwayat Penyakit sekarang dan Faktor Presipitasi
Menanyakan riwayat timbulnya gejala gangguan jiwa saaf ini, penyebab munculnya gejala, uapaya yang dilakukan keluarga untuk mengatasi dan bagaimana hasilnya. D. Factor Predisposisi
Menanyakan apakah pasien perah mengalami gangguan jiwa dimasa lalu, pengobatan yang pernah dilakukan sebelumnya, adanya trauma masa lalu, factor genetic dan silsilah orang tuanya dan pengalaman masa lalu yang tidak menyenagkan. E. Pemeriksaan Fisik
Mengkaji keadaan umum klien, tanda-tanda vital, tinggi badan/berat badan, ada/tidak keluhan fisik seperti nyeri dll. F. Pengkajian Psikososial
1. Genogram Membuat genogram beserta keterangannya, untuk mengetahui kemungkinan adanya riwayat genetic yang menyebabkan/menurunkan gangguan jiwa 2. Konsep Diri a. Citra tubuh, bagaimana persepsi klien terhadap tubuhnya, bagian tubuhnya yang paling/tidak disukai b. Identitas diri, bagaimana persepsi tentang status dan posisi klien sebelum dirawat, kepuasan klien terhadap suatu/ posisi tersebut, kepuasan klien sebagai laki-laki atau perempuan. c. Peran, bagaimana harapan klien terhadap tubuhnya, posisi, status, tugas/peran yang harapannya dalam keluarga, kelompok, masyarakat dan bagaimana kemampuan klien dalam melaksanakan tugas/peran tersebut. d. Ideal diri, bagaimana harapan klien terhadap tubuhnya, posisi, status, tugas/peran dan harapan klien terhadap lingkungan.
e. Harga diri, bagaimana persepsi klien terhadap dirinya dalam hubungannya dengan orang lain sesuai dengan kondisi dan bagaimana penilaian/ penghargaan orang lain terhadap diri dan lingkungan klien. 3. Hubungan social Mengkaji siapa orang yang berarti/terdekat dengan klien, bagaimana peran serta dalam kegiatan dalam kelompok/masyarakat serta ada/tidak hambatan dalam berhubungan dengan orang lain. 4. Spiritual Apa agama/keyakinan klien. Bagaimana nilai, norma, pandangan dan keyakinan diri klien, keluarga dan masyarakat setempat tentang gangguan jiwa sesuai dengan norma budaya dan agam yang dianut. G. Status Mental
1. Penampilan Observasi penampilan umum klien yaitu penampilan usia, cara berpakaian, kebersihan, sikap tubuh, cara berjalan, ekspresi wajah, kontak mata. 2. Pembicaraan Bagaimana pembicaraan yang didapatkan pada klien, apakah cepat, keras. Gagap, inkoheren, apatis, lambat, membisu dll. 3. Aktivitas motorik (Psikomotor) Aktivitas motorik berkenaan dengan gerakan fisik perlu dicatat dalam hal tingkat aktivitas (latergik, tegang, gelisah, agitasi), jenis (tik, seringan, tremor) dan isyarat tubuh yang tidak wajar. 4. Afek dan emosi Afek adalah nada perasaan yang menyenangkan atau tidak menyenangkan yang menyertai suatu pikiran dan berlangsung relative lama dan dengan sedikit komponen fisiologis/fisik fisiologis/fisik seperti bangga, kecewa. Emosi adalah manifestasi afek yang ditampilkan/diekspresikan keluar, disertai banyak komponen fisiologis dan berlangsung relative lebih singkat/spontan seperti sedih, ketakutan, putus asa, kuatir atau gembira berlebihan. 5. Interaksi selama wawancara Bagaimana respon klien saat wawancara, kooperatif/tidak, bagaimana kontak mata dengan perawat dll. 6. Persepsi sensori Memberikan pertanyaan kepada klien seperti “ apakah apakah anda sering mendengar suara saat tidak ada orang? Apa anda mendengar suara orang yang tidak dapat anda lihat? Apa yang dilakukan oleh suara itu. Memeriksa ada/ tidak halusinasi, ilusi.
7. Proses pikir Bagaimana proses pikir klien, bagai mana alur pikirnya (koheren/inkoheren), bagaimna isi pikirnya realistis/ tidak. 8. Kesadaran Bagaimana tingkat kesadaran klien menurun atau meninggi. 9. Orientasi Bagaimna orientasi pasien terhadap waktu, tempat dan orang. 10. Memori Apakah klien mengalami gangguan daya ingat. 11. Tingkat konsentrasi dan berhitung Apakah klien mengalami kesulitan saat berkonsentrasi, bagaimana kemampuan berhitung klien. 12. Kemampuan penilaian skor
Keterangan
karakteristik
0
Tidak ada
Tidak cukup informasi
1
Sangat berat
Keputusan yang diambil maladaptive dan prilakunya
berisiko
membahayakan
diri
sendiri dan orang lain 2
Berat
Penilaian yang diambil maladaptif
3
Sedang
Tidak mampu membuat penilain sederhana (konstruktif dan adaptif) meskipun telah mendapatkan bantuan orang lain
4
Ringan
Mampu membuat penilaian sederhana dengan bantuan orang lain
13. Daya tilik diri Apakah klien mengingkari penyakit yang diderita, apakah klien menyalahkan hal-hal diluar dirinya
H. Analisa Data
Data
Problem
Subjektif:
Gangguan sensori persepsi: halusinasi
Pasien mengatakan mendengar bisikan/melihat bayangan
Pasien menyatakan senang dengan suara-suara
Objektif:
Pasien terlihat bicara sendiri, tertawa sendiri, sering melamun, menyendiri dan marah tanpa sebab
I. Diagnose keperawatan
Gangguan sensori persepsi: halusinasi
J. Intervensi Pasien
Keluarga
SP 1
SP 1
1. Mengidentifikasi jenis halusinasi pasien 1. Mendiskusikan maslah yang dirasakan 2. Mengidentifikasi isi halusinasi pasien keluarga dalam merawat pasien 3. Mengidentifikasi waktu halusinasi 2. Menjelaskan pengertian, tand gejala pasien dan jenis halusinasi yang dialami 4. Mengidentifikasi frekuensi halusinasi pasien beserta proses terjadinya pasien 3. Menjelaskan cara-cara merawat pasien 5. Mengidentifikasi situasi yang halusinasi menimbulkan halusinasi SP 2 6. Mengidentifikasi respon pasien terhadap halusinasi 1. Melatih keluarga mempraktikkan cara 7. Mengajarkan pasien menghardik merawat pasien dengan halusinasi halusinasi 2. Melatih keluarga melakukan cara 8. Menganjurkan pasien memasukkan merawat langsung kepada pasien cara menghardik halusinasi dalam halusinasi jadwal kegiatan harian SP 2 1. Mengevaluasi jadwal kegiatan harian pasien 2. Melatih pasien mengendalikan halusinasi dengan cara bercakap-cakap dengan oang lain 3. Menganjurkan pasien memasukkan dalam jadwal kegiatan harian
SP 3 1. Membantu keluarga membuat jadwal aktivitas dirumah termasuk minum obat 2. Menjelaskan follow up pasien setelah pulang
SP 3 1. Mengevaluasi jadwal kegiatan harian pasien 2. Melatih pasien mengendalikan halusinasi dengan melakukan kegiatan yang biasa dilakukan pasien 3. Menganjurkan pasien memasukkan dalam jadwal kegiatan harian SP 4 1. Mengevaluasi jadwal kegiatan harian pasien 2. Memberikan pendidikan kesehatan tentang penggunaan obat secara teratut 3. Menganjurkan pasien memasukkan dalam jadwal kegiatan harian.
LAPORAN PENDAHULUAN ISOLASI SOSIAL : MENARIK DIRI
PROGRAM PENDIDIKAN PROFESI NERS SEKOLAH TINGGI ILMU KESEHATAN ARTHA BODHI ISWARA SURABAYA 2017/2018
Pengertian Isolasi Sosial : Menarik Diri
Isolasi sosial adalah individu yang mengalami ketidakmampuan untuk mengadakan hubungan dengan orang lain dan dengan lingkungan sekitarnya secara wajar dalam khalayaknya sendiri yang tidak realistis. Isolasi sosial adalah suatu keadaan kesepian yang dialami oleh seseorang karena orang lain mengatakan sikap sikap negatif atau mengancam. (Dalami dkk, 2009). Gangguan hubungan sosial merupakan suatu ganggguan hubungan interpersonal yang terjadi akibat adanya kepribadian yang tidak fleksibel yang menimbulkan perilaku maladaptif dan mengganggu fungsi seseorang dalam berhubungan sosial. (Riyadi Sujono, 2009). Isolasi sosial adalah keadaan ketika seorang individu mengalami penurunan atau bahkan sama sekali tidak mampu berinteraksi dengan orang lain disekitarnya. (Dr.Keliat, 2009). Isolasi sosial adalah keadaan dimana seorang individu mengalami penurunan atau bahkaan sama sekali tidak mampu berinteraksi dengan orang lain di sekitarnya. (Yosep, 2007). Berdasarkan definisi yang telah disebutkan sebelumnya, jadi dapat disimpulkan bahwa isolasi sosial adalah suatu gangguan hubungan interpersonal atau perasaan kesepian yang dialami oleh seseorang karena akibat penolakan dan sikap negatif serta kepribadian yang tidak fleksibel sehingga muncul perilaku maladaptif seperti menghindari/kehilangan hubungan dengan orang, tidak mempunyai kesempatan untuk membagi perasaan, pikiran, prestasi, atau kegagalan, yang dimanifestasikan dengan sikap memisahkan diri, tidak ada perhatian sehingga fungsi hubungan sosial seseorang terganggu.
Etiologi
Terjadinya
gangguan
ini
dipengaruhi
oleh
faktor
predisposisi
diantaranya
perkembangan dan sosial budaya. Kegagalan dapat mengakibatkan individu tidak percaya diri, tidak percaya pada orang lain, tidak mampu merumuskan keinginan, dan merasa tertekan. Keadaan ini dapat menimbulkan perilaku tidak ingin berkomunikasi dengan orang lain, lebih menyukai berdiam diri, menghindar dari orang lain, dan kegiatan sehari-hari terabaikan. (Farida, 2010).
Tanda dan Gejala
Tanda dan gejala klien dengan isolasi sosial antara lain : a. Menyendiri dalam ruangan b. Tidak berkomunikasi, menarik diri, tidak melakukan kontak mata c. Sedih, afek datar
d. Perhatian dan tindakan yang tidak sesuai dengan perkembangan usianya e. Berpikir menurut pikirannya sendiri, tindakan berulang dan tidak bermakna f. Mengekspresikan penolakan atau kesepian pada orang lain g. Tidak ad asosiasi antara ide satu dengan yang lainnya h. Menggunakan kata-kata simbolik (neologisme) i. Menggunakan kata yang tak berarti j. Kontak mata kurang/tidak mau menatap lawan bicara Klien cenderung menarik diri dari lingkungan pergaulan, suka melamun, berdiam diri. (Farida, 2010).
Patofisiologi
Salah satu gangguan berhubungan sosial diantaranya perilaku menarik diri atau isolasi sosial yang disebabkan oleh perasaan tidak berharga yang bisa dialami klien dengan latar belakang yang penuh dengan permasalahan, ketegangan, kek ecewaan dan kecemasan. Perasaan tidak berharga menyebabkan klien makin sulit dalam mengembangakan hubungan dengan orang lain. Akibatnya klien menjadi regresi atau mundur, mengalami penurunan dalam aktifitas dan kurangnya perhatian terhadap penampilan dan kebersihan diri. Klien semakin tenggelam dalam perjalanan dan tingkah laku masa lalu serta tingkah laku primitif antara lain pembicaraan yang austik dan tingkah laku yang tidak sesuai dengan kenyataan, sehingga berakibat lanjut menjadi halusinasi. (Dalami, 2009).
Rentang Respons
Respon Adaptif :
Respon Maladaptif :
Solitude
Kesepian
Autonom
Menarik Diri
Kebersamaan
Ketergantungan
Saling Ketergantungan
Manipulasi Implusif Narkisisme
Keterangan rentang respon : a. Respon adaptif adalah respon yang diterima oleh norma sosial dan kultural dimana individu tersebut menjelaskan masalah dalam batas normal. Adapun respon rentang adaptif tersebut :
Solitude atau menyendiri
Respon yang dibutuhkan untuk menentukan apa yang telah dilakukan dilingkungan sosialnya dan merupakan suatu cara mengawasi diri dan menentukan langkah berikutnya.
Otonomi Suatu kemampuan individu untuk menentukan dan menyampaikan ide-ide pikiran dan perasaan
dalam
hubungan
sosia.
Individu
mampu
menetapkan
diri
untuk
inetrdependen dan mengatur diri.
Mutuality atau Kebersamaan Suatu keadaan dalam hubungan interpersonal dimana individu tersebut mampu untuk memberi dan menerima.
Interdependen atau Saling ketergantungan Saling
ketergantungan
antara
individu
dengan
orang
lain
dalam
hubungan
interpersonal. b. Respon maladaptif adalah respon yang dilakukan individu dalam menyelesaikan masalah yang menyimpang dari norma-norma sosial dan kebudayaan suatu tempat. Karakteristik diri perilaku maladaptif tersebut adalah :
Menarik diri Gangguan yang terjadi apabila seseorang memutuskan untuk tidak berhubungan dengan orang lain untuk mencari ketengan sementara waktu.
Manipulasi Adalah hubungan sosial yang terdapat pada individu yang menganggap orang lain sebagai objek dan bberorientasi pada diri sendiri atau pada tujuan, bukan berorientasi pada orang lain. Individu tidak dapat membina hubungan sosial secara mendalam.
Ketergantungan Individu gagal mengembangkan rasa percaya diri dan kemampuan yang dimiliki.
Implusif Ketidakmampuan merencanakan sesuatu, tidak mampu belajar dari pengalaman, tidak dapat diandalkan, mempunyai penilaian yang buruk dan cenderung memaksakan kehendak.
Narkisisme Harga diri yang rapuh, secara terus menerus berusaha mendapatkan penghargaan dan pujian, memiliki sikap egosentris, pencemburu dan marah jika orang lain tidak mendukung. (Dalami, 2009).
Faktor penyebab
Faktor Predisposisi a. Faktor Perkembangan
Pada dasarnya kemampuan seseorang untuk berhubungan social berkembang sesuai dengan proses tumbuh kembang mulai dari usia bayi sampai usia lanjut untuk dapat mengembangkan
hubungan
social
yang
positif,
diharapkan
setiap
tahapan
perkembangan dapat dilalui dengan sukses. Sistem keluarga yang terganggu dapat menunjang perkembangan respon social maladaptif. b. Faktor Komunikasi Dalam Keluarga Masalah
komunikasi
dalam
keluarga
dapat
menjadi
kontribusi
untuk
kesempatan
untuk
mengembangkan gangguan tingkah laku.
Sikap bermusuhan/hostilitas
Sikap mengancam, merendahkan dan menjelek-jelekkan anak
Selalu
mengkritik,
menyalahkan,
anak
tidak
diberi
mengungkapkan pendapatnya.
Kurang kehangatan, kurang memperhatikan ketertarikan pada pembicaananak, hubungan yang kaku antara anggota keluarga, kurang tegur sapa, komunikasi kurang terbuka, terutama dalam pemecahan masalah tidak diselesaikan secara terbuka dengan musyawarah.
Ekspresi emosi yang tinggi
Double bind (dua pesan yang bertentangan disampaikan saat bersamaan yang membuat bingung dan kecemasannya meningkat)
c. Faktor Sosial Budaya Isolasi sosial atau mengasingkan diri dari lingkungan merupakan faktor pendukung terjadinya gangguan berhubungan. Dapat juga disebabkan oleh karena norma-norma yang salah yang dianut oleh satu keluarga.seperti anggota tidak produktif diasingkan dari lingkungan sosial. d. Faktor Biologis Genetik merupakan salah satu faktor pendukung gangguan jiwa. Insiden tertinggi skizofrenia ditemukan pada keluarga yang anggota keluarga yang menderita skizofrenia. Berdasarkan hasil penelitian pada kembar monozigot apabila salah diantaranya menderita skizofrenia adalah 58%, sedangkan bagi kembar dizigot persentasenya 8%. Kelainan pada struktur otak seperti atropi, pembesaran ventrikel, penurunan berat dan volume otak serta perubahan struktur limbik, diduga dapat menyebabkan skizofrenia. Faktor Presipitasi Stresor sosial budaya dapat memicu kesulitan dalam berhubungan, terjadinya penurunan stabilitas keluarga seperti perceraian, berpisah dengan den gan orang o rang yang dicintai, kehilangan pasangan pada usia tua, kesepian karena ditinggal jauh, dirawat dirumah sakit atau dipenjara. Semua ini dapat menimbulkan isolasi sosial. a. Stresor Biokimia
1) Teori dopamine yaitu kelebihan dopamin pada mesokortikal dan mesolimbik serta tractus saraf dapat merupakan indikasi terjadinya skizofrenia. 2) Menurunnya MAO (Mono Amino Oksidasi) didalam darah akan meningkatkan dopamin dalam otak. Karena salah satu kegiatan MAO adalah sebagai enzim yang menurunkan dopamin, maka menurunnya MAO juga dapat merupakan indikasi terjadinya skizofrenia. 3) Faktor endokrin: Jumlah FSH dan LH yang rendah ditemukan pada pasien skizofrenia. Demikian pula prolaktin mengalami penurunan karena dihambat oleh dopamin. Hypertiroidisme, adanya peningkatan maupun penurunan hormon adrenocortical seringkali dikaitkan dengan tingkah laku psikotik. 4) Viral hipotesis: Beberapa jenis virus dapat menyebabkan gejala-gejala psikotik diantaranya adalah virus HIV yang dapat merubah stuktur sel-sel otak. b. Stresor Biologik dan Lingkungan Sosial Beberapa peneliti membuktikan bahwa kasus skizofrenia sering terjadi akibat interaksi antara individu, lingkungan maupun biologis. c. Stresor Psikologis Kecemasan yang tinggi akan menyebabkan menurunnya kemampuan individu untuk berhubungan dengan orang lain. Intesitas kecemasan yang ekstrim dan memanjang disertai terbatasnya kemampuan individu untuk mengatasi masalah akan menimbulkan berbagai masalah gangguan berhubungan pada tipe psikotik. Menurut teori psikoanalisa perilaku skizofrenia disebabkan karena ego tidak dapat menahan tekanan yang berasal dari id maupun realitas yang berasal dari luar. Ego pada klien psikotik mempunyai kemampuan terbatas untuk men gatasi stress. Hal ini berkaitan dengan adanya masalah serius antara hubungan ibu dan anak pada fase simbiotik sehingga perkembangan psikologis individu terhambat.
Mekanisme Koping
Individu yang mengalami respon sosial maladaptif menggunakan berbagai mekanisme dalam upaya untuk mengatasi ansietas. Mekanisme tersebut berkaitan dengan dua jenis masalah hubungan yang spesifik (Gail, W Staurt 2006). Koping yang berhubungan dengan gangguan kepribadian antisosial antara lain proyeksi, splitting dan merendahkan orang lain, koping yang berhubungan dengan gangguan kepribadian ambang splitting, formasi reksi, proyeksi, isolasi, idealisasi orang orang lain, merendahkan orang lain dan identifikasi proyeksi.
Perilaku
Pada klien gangguan sosial menarik diri yaitu: kurang sopan, apatis, sedih, afek tumpul, kurang perawatan diri, komunikasi verbal turun, menyendiri, kurang peka terhadap
lingkungan, kurang energy, harga diri rendah dan sikap tidur seperti janin saat tidur. Sedangkan perilaku pada gangguan sosial curiga meliputi tidak mempercayai orang lain, sikap bermusuhan, mengisolasi diri dan paranoia. Kemudian perilaku pada klien dengan gangguan sosial manipulasi adalah kurang asertif, mengisolasi diri dari lingkungan, harga diri rendah, dan sangat tergantung pada orang lain.
Penatalaksanaan
Penatalaksanaan medis : a. Electro Convulsive Therapy (ECT) Electro Convulsive Therapy (ECT) adalah suatu jenis pengobatan dimana arus listrik digunakan pada otak dengan menggunakan 2 elektrode yang ditempatkan dibagian temporal kepala (pelipis kiri dan kanan). Arus tersebut menimbulkan kejang grand mall yang berlangsung 25-30 detik dengan tujuan terapeutik. Respon bangkitan listriknya di otak menyebabkan terjadinya perubahan faal dan biokimia dalam otak. Indikasi : 1) Depresi mayor
Klien depresi berat dengan retardasi mental, waham, tidak ada perhatian lagi terhadap dunia sekelilingnya, kehilangan berat badan yang berlebihan dan adanya ide bunuh diri yang menetap.
Klien depresi ringan adanya riwayat responsif atau memberikan respon membaik pada ECT.
Klien depresi yang tidak ada respon terhadap pengobatan antidepresan atau klien tidak dapat menerima antidepresan.
2) Maniak Klien maniak yang tidak responsif terhadap cara terapi yang lain atau terapi lain berbahaya bagi klien. 3) Skizofrenia Terutama akut, tidak efektif untuk skizofrenia kronik, tetapi bermanfaat pada skizofrenia yang sudah lama tidak kambuh. b. Psikoterapi Membutuhkan waktu yang relatif cukup lama dan merupakan bagian penting dalam proses terapeutik, upaya dalam psikoterapi ini meliputi: memberikan rasa aman dan tenang, menciptakan lingkungan yang terapeutik, bersifat empati, menerima klien apa adanya, memotivasi klien untuk dapat mengungkapkan perasaannya secara verbal, bersikap ramah, sopan dan jujur kepada klien. c. Terapi Okupasi
Adalah suatu ilmu dan seni untuk mengarahkan partisipasi seseorang dalam melaksanakan aktivitas atau tugas yang sengaja dipilih dengan maksud untuk memperbaiki, memperkuat dan meningkatkan harga diri seseorang.
Penatalaksanaan Keperawatan : Terapi Modalitas Keperawatan yang dilakukan adalah: a. Terapi Aktivitas Kelompok (TAK) 1) Pengertian TAK merupakan salah satu terapi modalitas yang dilakukan perawat kepada sekelompok klien yang mempunyai masalah keperawatan yang sama. 2) Tujuan Membantu anggotanya berhubungan dengan orang lain serta mengubah perilaku yang destruktif dan maladaptif. 3) Terapi aktivitas kelompok yang digunakan untuk pasien dengan isolasi sosial adalah TAK Sosialisasi dimana klien dibantu untuk melakukan sosialisasi dengan individu yang ada di sekitar klien. Sosialisasi dapat pula dilakukan secara bertahap dari interpersonal, kelompok dan massa.
KONSEP ASUHAN KEPERAWATAN ISOLASI SOSIAL : MENARIK DIRI
Pengkajian
a. Data yang dikaji 1. Wawancara :
Merasa sepi
Merasa tidak aman
Hubungan tidak berarti
Bosan dan waktu terasa lambat
Tidak mampu konsentrasi
Merasa tidak berguna
Tidak yakin hidup
Merasa ditolak.
2. Observasi
Banyak diam
Tidak mau bicara
Menyendiri
Tidak mau berinteraksi
Tampak sedih
Ekspresi datar dan dangkal
Kontak mata kurang.
Diagnosa Keperawatan
1. Isolasi Sosial : Menarik Diri
Intervensi Keperawatan Intervensi Strategi Pelaksanaan Tindakan Keperawatan
a. Pasien SP 1
:
Mengidentifikasi penyebab isolasi sosial pasien
Berdiskusi dengan pasien tentang keuntungan berinteraksi dengan orang lain
Berdiskusi dengan pasien tentang kerugian tidak berinteraksi dengan orang lain
Mengajarkan pasien cara berkenalan dengan satu orang
Menganjurkan pasien memasukkan kegiatan latihan berbincang-bincang dengan orang lain dalam kegiatan harian
SP 2
:
Mengevaluasi jadwal kegiatan harian pasien
Memberikan kesempatan kepada pasien mempraktekkan cara berkenalan dengan satu orang
Membantu pasien memasukkan kegiatan berbincang-bincang dengan orang lain sebagai salah satu kegiatan harian
SP 3
:
Mengevaluasi jadwal kegiatan harian pasien
Memberikan kesempatan kepada klien berkenalan dengan dua orang atau lebih
Menganjurkan klien memasukkan dalam jadwal kegiatan harian
b. Keluarga SP 1
:
Mendiskusikan masalah yang dirasakan keluarga dalam merawat pasien
Menjelaskan pengertian, tanda dan gejala isolasi sosial yang dialami pasien beserta proses terjadinya
Menjelaskan cara - cara merawat pasien isolasi sosial
SP 2
:
Melatih keluarga mempraktekkan cara merawat pasien dengan isolasi sosial
Melatih keluarga melakukan cara merawat langsung kepada pasien isolasi sosial
SP 3
:
Membantu keluarga membuat jadual aktivitas dirumah termasuk minum obat (Discharge planning)
Menjelaskan follow up pasien setelah pulang.
LAPORAN PENDAHULUAN PERUBAHAN PROSES PIKIR : WAHAM
PROGRAM PENDIDIKAN PROFESI NERS SEKOLAH TINGGI ILMU KESEHATAN ARTHA BODHI ISWARA SURABAYA 2017/2018
A. Pengertian Waham adalah keyakinan seseorang yang berdasarkan penilaian realitas yang salah. Keyakinan klien tidak konsisten dengan tingkat intelektual dan latar belakang budaya klien. Waham dipengaruhi oleh faktor pertumbuhan dan perkembangan seperti adanya penolakan, kekerasan, tidak ada kasih sayang, pertengkaran orang tua dan aniaya. (Budi Anna Keliat,1999). Waham adalah keyakinan tentang suatu pikiran yang kokoh, kuat, tidak sesuai dengan kenyataan, tidak cocok dengan intelegensia dan latar belakang budaya, selalu dikemukakan berulang-ulang dan berlebihan biarpun telah dibuktikan kemustahilannya atau kesalahannya atau tidak benar secara umum. (Tim Keperawatan PSIK FK UNSRI, 2005). Waham adalah keyakinan keliru yang sangat kuat yang tidak dapat dikurangi dengan menggunakan logika (Ann Isaac, 2004)
B. Tanda dan Gejala : 1. Klien mengungkapkan sesuatu yang diyakininya (tentang agama, kebesaran,
kecurigaan, keadaan dirinya berulang kali secara berlebihan tetapi tidak sesuai kenyataan 2. Klien tampak tidak mempunyai orang lain 3. Curiga 4. Bermusuhan 5. Merusak (diri, orang lain, lingkungan) 6. Takut, sangat waspada 7. Tidak tepat menilai lingkungan/ realitas 8. Ekspresi wajah tegang 9. Mudah tersinggung
macam waham yaitu : C. Macam – macam
1. Waham agama: percaya bahwa seseorang menjadi kesayangan supranatural atau alat supranatural 2. Waham somatik: percaya adanya gangguan pada bagian tubuh 3. Waham kebesaran: percaya memiliki kehebatan atau kekuatan luar biasa 4. Waham curiga: kecurigaan yang berlebihan atau irasional dan tidak percaya dengan orang lain 5. Siar pikir: percaya bahwa pikirannya disiarkan ke dunia dun ia luar
6. Sisip pikir: percaya ada pikiran orang lain yang masuk dalam pikirannya 7. Kontrol pikir: merasa perilakunya dikendalikan oleh pikiran orang lain
D. RENTANG RESPON WAHAM
Respon
Adaptif
<----------------------------------->
Piki Pi kirr an L ogis gi s
Respon
D i sto stor si Piki Pi kirr an
Maladaptif
G angguan ngguan Piki Pi kirr an
1. Persepsi Kuat
1. Ilusi
1. Sulit Berespon
2. Emosi Konsisten
2. Reaksi Emosi
2. Emosi
Dengan Pengalaman Berlebihan
3. Perilaku kacau
3. Perilaku Sesuai 4. Berhubungan Sesuai
Rentang respon waham yaitu ada respon adaptif dan ada respon maladaptif : Respon adaptif terdapat pikiran yang logis. Dibagi beberapa bagian : a. Persepsi Kuat : dimana apa yang diyakini seseorang tersebut sangatlah kuat dan tidak bisa di ganggu gugat, serta dapat dibuktikan kebenarannya. b. Emosi Konsisten : pengalaman bisa membuat seseorang mengalami atau mempunyai emosi yang stabil atau tetap. c. Perilaku sesuai : perilaku tidak menyimpang dari kenyataan yang ada d. Berhubungan sesuai : dalam berhubungan antar teman dan keluarga berbeda, jadi seaharusnya dalam berhubungan kita harus dapat menyesuaikan diri. Dalam rentang respon ada Distorsi pikiran, terdiri dari : a. Ilusi : keadaan proses berfikir yang tidak benar tentang mengartikan suatu benda. b. Reaksi Emosi : dimana tingkat emosi seseorang meningkat, tidak lagi stabil atau konstan. Rentang respon maladaptif terdapat gangguan pikiran. Terbagi beberapa masalah : a.
Sulit Berespon : sesorang yang terganggu pikirannya akan susah sekali untuk diajak berinteraksi.
b.
Emosi : dalam tingkatan ini emosi seseorang sudah tidak lagi bisa terkontrol, dia mudah marah, dan mudah tersinggung.
c.
Perilaku kacau : dimana seseorang berprilaku tidak sesuai dengan keadaan, mereka menunjukan prilaku yang sesuai dengan pola pikir mereka tersebut.
E. Penyebab Faktor presdisposisi
Faktor perkembangan
Hambatan perkembangan akan menggangu hubungan interpersonal seseorang. Hal ini dapat meningkatkan stress dan ansietas yang berakir dengan gangguan presepsi, klien menekankan perasaan nya sehingga pematangan fungsi intelektual dan emosi tidak efektif
Faktor sosial budaya
Seseorang yang merasa di asingkan dan kesepian dapat menyebabkan timbul nya waham
Faktor psikologis
Hubungan yang tidak harmonis, peran ganda bertentangan dapat menimbulkan ansietas dan berakhir dengan pengingkaran terhadap kenyataan
Faktor biologis
Waham di yakini terjadi karena ada nya atrofi otak, pembesaran ventrikel di otak atau perubahan pada sel kortikal dan lindik
Faktor genetik
Gangguan orientasi realita yang ditemukan pada klien dengan skizoprenia
Faktor presipitasi
Faktor sosial budaya Waham dapat di picu karena ada nya perpisahan dengan orang yang berarti atau di asingkan dari kelompok.
Faktor biokimia Dopamin, norepinepin, dan zat halusinogen lain nya di duga dapat menjadi penyebab waham pada seseorang
Faktor psikologis Kecemasan yang memanjang dan terbatasan nya kemampuan untuk mengatasi masalah sehingga
klien
mengembangkan
koping
untuk
menghindari
kenyataan
yang
menyenagkan.
Salah satu penyebab dari perubahan proses pikir : waham yaitu Gangguan konsep diri: harga diri rendah. Harga diri adalah penilaian individu tentang pencapaian diri dengan menganalisa seberapa jauh perilaku sesuai dengan ideal diri. Gangguan harga diri dapat digambarkan sebagai perasaan negatif terhadap diri sendiri, hilang kepercayaan diri, dan merasa gagal mencapai keinginan.
Tanda-tanda dan Gejala Waham a.
Menolak makan
b.
Tidak ada perhatian pada perawatan diri
c.
Ekspresi wajah sedih / gembira / ketakutan
d.
Gerakan tidak terkontrol
e.
Mudah tersinggung
f.
Isi pembicaraan tidak sesuai dengan kenyataan
g.
Tidak bisa membedakan antara kenyataan dan bukan kenyataan
h.
Menghindar dari orang lain
i.
Mendominasi pembicaraan
j.
Berbicara kasar
k.
Menjalankan kegiatan keagamaan secara berlebihan
F.
POHON MASALAH
Resiko ----- Resiko Perilaku Kekerasan
CP ---------- Perubahan proses pikir: waham
Etiologi ---- Gangguan konsep diri: harga diri rendah
G. Akibat dari Waham
Klien dengan waham dapat berakibat terjadinya resiko mencederai diri, orang lain dan lingkungan. Resiko mencederai merupakan suatu tindakan yang kemungkinan dapat melukai/ membahayakan diri, orang lain dan lingkungan. Tanda dan Gejala : 1.
Memperlihatkan permusuhan
2.
Mendekati orang lain dengan ancaman
3.
Memberikan kata-kata ancaman dengan rencana melukai
4.
Menyentuh orang lain dengan cara yang menakutkan
5.
Mempunyai rencana untuk melukai
H.
Proses Berpikir Arus Pikir
a. Koheren : Kalimat / pembicaran dapat difahami dengan baik. b. Inkoheren : Kalimat tidak terbentuk, pembicaraan sulit difahami. c. Sirkumstansial : Pembicaraan yangberbelit-belit tapi sampai pada tujuan pembicaraan. d. Tangensial : Pembicaraan yang berbelit-belit tapi tidak sampai pada tujuan pembicaraan. e. Asosiasi longgar : Pembicaraan tidak ada hubungan antara kalimat yang satu dengan kalimat yang lainnya, dan klien tidak menyadarinya. f. Flight of ideas : Pembicaraan yang melompat d ari satu topik ke topik lainnya, masih ada a da hubungan yang tidak logis dan tidak sampai pada tujuan. g. Blocking : Pembicaraan terhenti tiba-tiba tanpa gangguan eksternal kemudian dilanjutkan kembali. h. Perseverasi : Berulang-ulang menceritakan suatu ide, tema secara berlebihan. i. Logorea : Pembicaraan cepat tidak terhenti. j. Neologisme : Membentuk kata-kata baru yang tidak difahami oleh umum. k. Irelefansi : Ucapan yang tidak ada hubungannya dengan pertanyaan atau dengan hal yang sedang dibicarakan. l. Assosiasi bunyi : Mengucapkan perkataan yang mempunyai persamaan bunyi m. Main kata-kata : Membuat sajak secara tidak wajar. n. Afasi : Bisa sensorik (tidakmengerti pembicaraan orang lain), motorik (tidak bisa atau sukar berbicara) Isi Pikir
1. Obsesif : Pikiran yang selalu muncul meski klien berusaha menghilangkannya 2. Phobia : Ketakutan yang pathologis / tidak logis terhadap obyek / situasi tertentu 3. Ekstasi : Kegembiraan yang luar biasa 4. Fantasi : Isi pikiran tentang suatu keadaan atau kejadian yang diinginkan 5. Bunuh diri : Ide bunuh diri 6. Ideas of reference : Pembicaraan orang lain, benda-benda atau suatu kejadian yang dihubungkan dengan dirinya. 7. Pikiran magis : Keyakinan klien tentang kemampuannya melakukan hal-hal yang mustahil / diluar kemampuannya 8. Alienasi : Perasaan bahwa dirinya sudah menjadi lain, berbeda atau asing 9. Rendah diri : Merendahkan atau menghina diri sendiri, menyalahkan diri sen diri tentang suatu hal yang pernah atu tidak pernah dilakukan 10. Pesimisme : Mempunyai pandangan yang suram mengenai banyak hal dalam hidupnya
Bentuk pikir
a. Realistik : Cara berfikir sesuai kenyataan atau realita yang ada b. Non realistic : Cara berfikir yang tidak sesuai dengan kenyataan c. Autistik : Cara berfikir berdasarkan lamunan / fantasi / halusinasi / wahamn ya sendiri d. Dereistik : Cara berfikir dimana proses mentalnya tidak ada sangkut pautnya dengan kenyataan, logika atau pengalaman.
I.
Masalah keperawatan dan data yang perlu dikaji
1.
Masalah keperawatan : Perubahan proses pikir : waham
Data Subjektif :
Klien mengungkapkan sesuatu yang diyakininya (tentang agama, kebesaran, kecurigaan, keadaan dirinya) berulang kali secara berlebihan tetapi tidak sesuai kenyataan. Data objektif :
Klien tampak tidak mempunyai orang lain, curiga, bermusuhan, merusak (diri, orang lain, lingkungan), takut, kadang panik, sangat waspada, tidak tepat menilai lingkungan/ realitas, ekspresi wajah klien tegang, mudah tersinggung. Diagnosa Keperawatan
Resiko mencederai diri, orang lain dan lingkungan berhubungan dengan waham. Perubahan proses pikir : waham berhubungan dengan harga diri rendah.
Intervensi Keperawatan waham : Pasien
Keluarga
SP 1
SP 1
1. Membantu orientasi realita
1. Mendiskusikan masalah yang dirasakan
2. Mendiskusikan kebutuhan yang tidak terpenuhi
keluarga dalam merawat pasien 2. Menjelaskan pengertian, tanda gejala
3. Membantu pasien memenuhi
dan jenis waham yang dialami pasien
kebutuhannya 4. Menganjurkan pasien memasukkan
beserta proses terjadinya 3. Menjelaskan cara-cara merawat pasien
dalam jadwal kegiatan harian
waham
SP 2 SP 2
1. Melatih keluarga mempraktikkan cara
1. Mejadwal kegiatan harian pasien 2. Berdiskusi tentang kemampuan yang
merawat pasien dengan waham 2. Melatih keluarga melakukan cara
dimiliki
merawat langsung kepada pasien
3. Melatih kemampuan yang dimiliki
waham
SP 3 SP 3
1. Membantu keluarga membuat jadwal
1. Mengevaluasi jadwal kegiatan harian pasien 2. Memberikan pendidikan kesehatan tentang penggunaan obat secara teratur 3. Menganjurkan pasien memasukkan dalam jadwal kegiatan harian
aktivitas dirumah termasuk minum obat 2. Mendiskusikan sumber rujukan yang bisa dijangkau keluarga
LAPORAN PENDAHULUAN PRILAKU KEKERASAN
PROGRAM PENDIDIKAN PROFESI NERS SEKOLAH TINGGI ILMU KESEHATAN ARTHA BODHI ISWARA SURABAYA 2017/2018
A. Pengertian
Prilaku kekerasan atau agresif merupakan suatu bentuk perilaku yang bertujuan untuk melukai seseorang secara fisik maupun psikologis (Berkowitz, 1993). Perilaku kekerasan adalah suatu keadaan dimana seseorang melakukan tindakan yang dapat membahayakan secara fisik baik terhadap diri sendiri, orang lain maupun lingkungan. Hal tersebut dilakukan untuk mengungkapkan perasaan kesal atau marah yang tidak konstruktif. (Stuart dan Sundeen, 1995). Perilaku kekerasan adalah suatu keadaan dimana seseorang melakukan tindakan yang dapat membahayakan secara fisik baik terhadap diri sendiri, orang lain maupun lingkungan. Hal tersebut dilakukan untuk mengungkapkan perasaan kesal atau marah yang tidak konstruktif. (Stuart dan Sundeen, 1995). Perilaku kekerasan adalah suatu keadaan dimana seseorang melakukan tindakan yang dapat membahayakan secara fisik, baik kepada diri sendiri maupun orang lain (Yosep, 2007; hal, 146). Perilaku kekerasan adalah suatu bentuk perilaku yang bertujuan untuk melukai seseorang secara fisik maupun psikologis (Depkes, RI, 2000). Sedangkan menurut Carpenito 2000, perilaku kekerasan adalah keadaan dimana individuindividu beresiko menimbulkan bahaya langsung pada dirinya sendiri ataupun orang lain. Jadi, perilaku kekerasan merupakan suatu keadaan individu yang melakukan tindakan yang dapat membahayakan/mencederai diri sendiri, orang lain bahkan dapat merusak lingkungan.
B. Etiologi
Perilaku kekerasan bisa disebabkan adanya gangguan harga diri: harga diri rendah. Harga diri adalah penilaian individu tentang pencapaian diri dengan menganalisa seberapa jauh perilaku sesuai dengan ideal diri. Dimana gangguan harga diri dapat digambarkan sebagai perasaan negatif terhadap diri sendiri, hilang kepercayaan diri, merasa gagal mencapai keinginan. Frustasi, seseorang yang mengalami hambatan dalam mencapai tujuan/keinginan yang diharapkannya menyebabkan ia menjadi frustasi. Ia merasa terancam dan cemas. Jika ia tidak mampu menghadapi rasa frustasi itu dengan cara lain tanpa mengendalikan orang lain dan keadaan sekitarnya misalnya dengan kekerasan.
C. Faktor-Faktor yang Menyebabkan Perilaku Kekerasan
a. Faktor Predisposisi Ada beberapa faktor faktor yang mempengaruhi terjadinya perilaku kekerasan menurut teori biologik, teori psikologi, dan teori sosiokultural sosiokultural yang dijelaskan oleh Towsend (1996 dalam Purba dkk, 2008) adalah: 1. Teori Biologik Teori biologik terdiri dari beberapa pandangan yang berpengaruh terhadap perilaku: a) Neurobiologik
Ada 3 area pada otak yang berpengaruh berpengaruh terhadap proses impuls agresif: sistem limbik, lobus frontal dan hypothalamus. Neurotransmitter juga mempunyai peranan dalam memfasilitasi atau menghambat proses impuls agresif. Sistem limbik merupakan sistem informasi, ekspresi, perilaku, dan memori. Apabila ada gangguan pada sistem ini maka akan meningkatkan atau menurunkan potensial perilaku kekerasan. Adanya gangguan pada lobus frontal maka individu tidak mampu membuat keputusan, kerusakan pada penilaian, perilaku tidak sesuai, dan agresif. Beragam komponen dari sistem neurologis mempunyai implikasi memfasilitasi dan menghambat impuls agresif. Sistem limbik terlambat dalam menstimulasi timbulnya perilaku agresif. Pusat otak atas secara konstan berinteraksi dengan pusat agresif. b) Biokimia Berbagai neurotransmitter (epinephrine, norepinefrine, dopamine, asetikolin, dan serotonin) sangat berperan dalam memfasilitasi atau menghambat impuls agresif. Teori ini sangat konsisten dengan fight atau flight yang dikenalkan oleh Selye dalam teorinya tentang respons terhadap stress. c) Genetik Penelitian membuktikan adanya hubungan langsung antara perilaku agresif dengan genetik karyotype XYY. d) Gangguan Otak Sindroma otak organik terbukti sebagai faktor predisposisi perilaku agresif dan tindak kekerasan. Tumor otak, khususnya yang menyerang sistem limbik dan lobus temporal; trauma otak, yang yang
menimbulkan perubahan serebral; dan
penyakit seperti ensefalitis, dan epilepsy, khususnya lobus temporal, terbukti berpengaruh terhadap perilaku agresif dan tindak kekerasan. 2. Teori Psikologik a) Teori Psikoanalitik Teori ini menjelaskan tidak
terpenuhinya kebutuhan untuk mendapatkan
kepuasan dan rasa aman dapat mengakibatkan tidak berkembangnya ego dan membuat konsep diri rendah. Agresi dan tindak kekerasan memberikan kekuatan dan prestise yang yang dapat meningkatkan citra citra diri dan memberikan arti dalam kehidupannya. Perilaku agresif dan perilaku kekerasan merupakan pengungkapan secara terbuka terhadap rasa ketidakberdayaan dan rendahnya harga diri. b) Teori Pembelajaran Anak belajar melalui perilaku meniru dari contoh peran mereka, biasanya orang tua mereka sendiri. Contoh peran tersebut ditiru karena dipersepsikan sebagai prestise atau berpengaruh, atau jika perilaku tersebut diikuti dengan pujian yang positif. Anak memiliki persepsi ideal tentang orang tua mereka selama tahap
perkembangan awal. Namun, dengan perkembangan yang dialaminya, mereka mulai meniru pola perilaku guru, teman, dan orang lain. Individu yang dianiaya ketika masih kanak-kanak atau mempunyai orang tua yang mendisiplinkan anak mereka dengan hukuman fisik akan cenderung untuk berperilaku kekerasan setelah dewasa. 3. Teori Sosiokultural Pakar sosiolog lebih menekankan pengaruh faktor budaya dan struktur sosial terhadap perilaku agresif. Ada kelompok sosial yang secara umum menerima perilaku kekerasan sebagai cara untuk menyelesaikan masalahnya. Masyarakat juga berpengaruh pada perilaku tindak kekerasan, apabila individu menyadari bahwa kebutuhan dan keinginan mereka tidak dapat terpenuhi secara konstruktif. Penduduk yang ramai /padat dan lingkungan yang ribut dapat berisiko untuk perilaku kekerasan. Adanya keterbatasan sosial dapat menimbulkan kekerasan dalam hidup individu.
b. Faktor Presipitasi Faktor-faktor yang dapat mencetuskan perilaku kekerasan sering kali berkaitan dengan (Yosep, 2009): 1. Ekspresi diri, ingin ingin menunjukkan eksistensi diri atau atau simbol solidaritas solidaritas seperti dalam sebuah konser, penonton sepak bola, geng sekolah, perkelahian masal dan sebagainya. 2. Ekspresi dari tidak terpenuhinya kebutuhan dasar dan kondisi sosial ekonomi. 3. Kesulitan
dalam
mengkomunikasikan
sesuatu
dalam
keluarga
serta
tidak
membiasakan dialog untuk memecahkan masalah cenderung melalukan kekerasan dalam menyelesaikan konflik. 4. Ketidaksiapan seorang ibu dalam merawat anaknya dan ketidakmampuan dirinya sebagai seorang yang dewasa. 5. Adanya riwayat perilaku anti sosial meliputi penyalahgunaan obat dan alkoholisme dan tidak mampu mengontrol emosinya pada saat menghadapi rasa frustasi. 6. Kematian anggota keluarga yang terpenting, kehilangan pekerjaan, perubahan tahap perkembangan, atau perubahan tahap perkembangan k eluarga.
D. Tanda dan gejala
Tanda dan gejala dari perilaku kekerasan yaitu; a.
Muka merah dan tegang
b.
Pandangan tajam
c.
Mengatupkan rahang dengan kuat
d.
Mengepalkan tangan
e.
Jalan mondar-mandir
f.
Bicara kasar
g.
Suara tinggi, menjerit atau berteriak
h.
Mengancam secara verbal atau fisik
i.
Melempar atau memukul benda/orang lain
j.
Merusak barang atau benda
k.
Tidak memiliki kemampuan mencegah atau mengendalikan perilaku kekerasan
E. Rentang Respon
Rentang adaptif
Asertif
frustasi
Respon Maladaptif
pasif
agresif
kekerasan
Keterangan : a. Asertif individu dapat mengungkapkan marah tanpa menyalahkan orang lain dan memberikan ketenangan. b. Frustasi Individu gagal mencapai tujuan kupuasan saat marah dan tidak dapat menemukan alternative c. Pasif Individu tidak dapat mengungkapkan perasaanya d. Agresif Prilaku yang menyertai marah terhadap dorongan untuk menuntut tetapi masih terkontrol e. Kekerasan Perasan marah dan bermusuhan yang kuat serta hilangnya control
Perbandingan antara prilaku asertif, pasif, agrsif / kekerasan Pasif Isi
Negatif menurun
Agresif
Positif dan
Menyombongkan diri,
menwarkan diri,
memindahkan orang lain
contoh
contoh :
contoh
“dapatkah saya?”
“saya dapat….
“ kamu selalu….”
“Dapatkah kamu
“saya akan….
“kamu tidak pernah…”
Sedang
Keras dan mengotot
Tegap dan santai
Kaku, cenderung
Mempertahankan
Siap dengan jarak dan
pembicar menandakan diit, aan
Asertif
?” Tekanan
Cepat lambat ,
suara
mengeluh.
Posisi
Menundukan
badan
kepala
Jarak
Menjaga jarak
dengan sikap acuh jarak yang nyaman
menyerang orang lain
mengabaikan Penampil an Kontak mata
Loyo, tidak dapat
Sikap tenang
Mengancam posisi
tenang
menyerang
Sedikit/ sama
Mepmpertahankan
Mata melotot dan di
sekali tidak
kontak mata sesuai
pertahankan
dengan hubungan
F. Pohon Masalah
Resiko tinggi mencederai orang lain, diri sendiri,dan lingkungan Prilaku kekerasan PPS Halusinasi
Regimen terapeutik
HDR kronis
Inefektif
Koping keluarga Tdk efektif
berduka disfungsional
isolasi sosial
G. Masalah Keperawatan yang Mungkin Muncul
a. Prilaku kekerasan b. Resiko mencederai diri, orang lain dan lingkungan c. Perubahan persepsi sensori : halusinasi d. Harga diri rendah kronis e. Isolasi sosial f. Berduka disfungsional g. Penaktalaksanaan regimen terapeutik inefektif h. Koping keluarga inefektif
H. Data yang perlu dikaji
Masalah Keperawatan Perilaku Kekersan
Data yang perlu di kaji Subjektif Klien mengancam Klien mengumpat dengan kata-kata kotor Klien mengaatkan dendam dan jengkel Klien mengatakan ingin berkelahi Klien mengatakan menyalahkan dan menuntut Klien meremehkan Objektif Mata melotot/pandangan tajam Tangan mengepal Rahang mengatup Wajah memerah dan tegang Postur tubuh kaku Suara keras
Faktor-faktor yang berhubungan dengan masalah perilaku kekerasan, antara lain sebagai berikut: a.
Ketidakmampuan mengendalikan dorongan marah
b. Stimulus lingkungan c.
Konflik interpersonal
d. Status mental e.
Putus obat
f.
Penyalahgunaan narkoba
I. Diagnosa keperawatan .
Perilaku Kekerasan
J. Rencana Tindakan Keperawatan
Pasien
Keluarga
SP 1
SP 1
1. 2. 3. 4. 5. 6.
Mengidentifikasi penyebab PK Mengidentifikasi tand gejala PK Mengidentifikasi PK yang dilkukan Menidentifikasi akibat PK Menyebutkan cara mengontrol PK Membantu pasien mempraktikkan latihan cara mengontrol PK 7. Mengnjurkan pasien memasukkan dalam kegiatan harian SP 2 1. Menevaluasi jadwal kegiatan harian pesien 2. Melatih pasien mengontrol PK dengan cara fisik II 3. Menganjurkan pasien memasukkan dalam kegiatan harian SP 3 1. Menevaluasi jadwal kegiatan harian pasien 2. Melatih pasien mengontrol PK dengan cara verbal 3. Menganjurkan pasien memasukkan dalam jadwal kegiatan harian SP 4 1. Mengevaluasi jadwal kegiatan harian pasien 2. Melatih pasien mengontrol PK dengan cara spiritual 3. Menganjurkan pasien memasukkan dalam jadwal kegiatan harian SP 5 1. Mengevaluasi jadwal kegiatan harian pasien 2. Menjelaskan cara mengontrol PK dengan minum obat 3. Menganjurkan pasien memasukkan dalam jadwal kegiatan harian
1. Mendiskusikan masalah yang dirasaka keluarga dalam merawat pasien 2. Menjelaskan pengertian PK, tanda gejala serta proses tejadinya PK 3. Menjelaskan cara merawat pasien dengan PK
SP 2 1. Melatih keluarga mempraktikkan cara merawat pasien dengan PK 2. Melatih keluarga melakukan cara merawat langsung kepada pasien PK
SP 3 1. Membantu keluarga membuat jadwal aktivitas di rumah termasuk minum obat 2. Menjelaskan follow up pasien setelah pulang
LAPORAN PENDAHULUAN HARGA DIRI RENDAH
PROGRAM PENDIDIKAN PROFESI NERS SEKOLAH TINGGI ILMU KESEHATAN ARTHA BODHI ISWARA SURABAYA 2017/2018
A. Definisi
Harga diri rendah adalah penilaian individu tentang pencapaian diri dengan menganalisa seberapa jauh perilaku sesuai dengan ideal diri. Pencapaian ideal diri atau cita – cita – cita cita atau harapan langsung menghasilkan perasaan bahagia. (Budi Ana Keliat, 1998). Harga diri rendah adalah evaluasi diri dan perasaan tentang diri atau kemampuan diri yang negatif, dapat secara langsung atau tidak langsung di ekspresikan. Harga diri rendah adalah menolak dirinya sebagai sesuatu yang berharga dan tidak dapat bertanggungjawab pada kehidupannya sendiri.(Stuart dan Sundeen, 2005). Harga diri rendah adalah penilaian negative seseorang terhadap diri dan kemampuan yang diekspresikan secara langsung dan tidak langsung (Bawlis,2002). Seseorang yang dikatakan mempunyai konsep diri negatif jika ia meyakini dan memandang bahwa dirinya lemah, tidak berdaya, tidak dapat berbuat apa – apa – apa, apa, tidak kompeten, gagal, malang, tidak menarik, tidak disukai dan kehilangan daya tarik terhadap hidup. Orang dengan konsep diri negatif akan cenderung bersikap pesimistik terhadap kehidupan dan kesempatan yang dihadapinya. Akan ada dua pihak yang bisa disalahkannya, entah itu menyalahkan diri sendiri (secara negatif) atau menyalahkan oran g lain (Rini, J.F, 2002). Dari pengertian diatas dapat disimpulakan bahwa harga diri rendah adalah sebagai perasaan negative terhadap diri sendiri dalam kepercayaan diri yang gagal mencapai keinginan. B. Konsep Diri
Konsep diri terdiri atas komponen-komponen berikut ini : 1. Citra tubuh (Body Image) Citra tubuh (Body Image) Image) adalah kumpulan dari sikap individu yang disadari dan tidak disadari terhadap tubuhnya. Termasuk persepsi masa lalu dan sekarang, serta perasaan tentang ukuran, fungsi, penampilan, dan potensi. Yang secara berkesinambungan dimodifikasi dengan persepsi dan pengalaman yang baru (Stuart & Sundeen, 1998). 2. Ideal Diri (Self Ideal) Ideal diri adalah persepsi individu tentang bagaimana ia harus berperilaku sesuai dengan standar, aspirasi, tujuan atau nilai personal tertentu (Stuart & Sundeen, 1998). Sering juga disebut bahwa ideal diri sama dengan cita – cita – cita, cita, keinginan, harapan tentang diri sendiri. 3. Identitas Diri (Self Identifity) Identitas adalah pengorganisasian prinsip dari kepribadian yang bertanggung jawab terhadap kesatuan, kesinambungan, konsistensi, dan keunikkan individu (Stuart & Sundeen, 1998). Pembentukan identitas dimulai pada masa bayi dan terus berlangsung sepanjang kehidupan tapi merupakan tugas utama pada masa remaja 4. Peran Diri (Self Role) Serangkaian pola perilaku yang diharapkan oleh lingkungan sosial berhubungan dengan fungsi individu di berbagai kelompok sosial. Peran yang diterapkan adalah peran dimana
seseorang tidak mempunyai pilihan. Peran yang diterima adalah peran yang terpilih atau dipilih oleh individu (Stuart & Sundeen, 1998). 5. Harga Diri (Self Esteem) Harga diri adalah penilaian individu tentang nilai personal yang diperoleh dengan menganalisa seberapa baik perilaku seseorang sesuai dengan ideal diri. Harga diri yang tinggi adalah perasaan yang berakar dalam penerimaan diri tanpa syarat, walaupun melakukan kesalahan, kekalahan, tetap merasa sebagai seorang yang penting dan berharga (Stuart & Sundeen, 1998.
C. Rentang HDR
Rentang harga diri rendah : 1. Aktualisasi diri Pengungkapan pertanyaan atau kepuasan dari konsep diri positif. 2. Konsep diri positif Dapat menerima kondisi dirinya sesuai dengan yang diharapkannya dan sesuai dengan kenyataan. 3. Harga diri rendah Perasaan negatif terhadap diri sendiri, hilang kepercayaan diri merasa gagal mencapai keinginan. 4. Kerancunan identitas Ketidakmampuan individu mengidentifikasi aspek psikologi pada masa dewasa, sifat kepribadian yang bertentangan perasaan hampa dan lain-lain. 5. Dipersonalisasi Merasa asing terhadap diri sendiri, kehilangan identitas misalnya malu dan sedih karena orang lain. Kepribadian yang sehat mempunyai konsep diri sebagai berikut : 1. Konsep diri posistif 2. Gambaran diri yang tepat dan positif 3. Ideal diri yang realistis 4. Harga diri yang tinggi 5. Penampilan diri yang memuaskan 6. Identitas yang jelas
D. Proses Terjadinya Harga Diri Rendah
Harga diri rendah merupakan penilaian individu tentang nilai personal yang diperoleh dengan menganalisa seberapa baik perilaku seseorang sesuai dengan ideal diri. Harga diri yang tinggi adalah perasaan yang berakar dalam penerimaan diri sendiri tanpa syarat, walaupun melakukan kesalahan,kekalahan, dan kegagalan, tetapi merasa sebagai seorang yang penting dan berharga.
Gangguan harga diri rendah merupakan masalah bagi banyak orang dan diekspresikan melalui tingkat kecemasan yang sedang sampai berat.Umumnya disertai oleh evalauasi diri yang negative membenci diri sendiri dan menolak diri sendiri. Gangguan harga diri atau harga diri rendah dapat terjadi secara : 1. Situasional Yaitu terjadi trauma yang tiba-tiba, missal harus dioperasi, kecelakaan, dicerai suami, putus sekolah, putus hubungan kerja, dll. Pada pasien yang dirawat dapat terjadi harga diri rendah karena prifasi yang kurang diperhatikan : pemeriksaan fisik yang sembarangan, pemasangan alat yang tidak sopan, harapan akan struktur, bentuk dan fungsi tubuh yang tidak tercapai karena dirawat/sakit/penyakit, perlakuan petugas yang tidak menghargai. 2. Kronik Yaitu perasaan negative terhadap diri telah berlangsung lama, yaitu sebelum sakit/dirawat. Pasien mempunyai cara berpikir yang negative. Kejadian sakit dan dirawat akan menambah persepsi negative terhadap dirinya. Kondisi ini mengakibatkan respons yang maladaptive, kondisi ini dapat ditemukan pada pasien gangguan fisik yang kronis atau pada pasien gangguan jiwa.
E. Etiologi
1. Faktor Predisposisi Faktor yang mempengaruhi HDR adalah penolakan orang tua, harapan orang tua yang tidak realistic. Tergantung pada orang tua dan ideal diri yang tidak realistic. Misalnya ; orang tua tidak percaya pada anak, tekanan dari teman, dan kultur sosial yang berubah a.
Faktor yang memiliki harga diri meliputi pendataan orang lain, harapan orang tua yang tidak realistis, kegagalan yang berulang kali, kurang mempunyai tanggung jawab personal, ketergantungan pada orang lain dan ideal diri yang tidak realistis.
b.
Faktor yang mempengaruhi penampilan peran adalah peran seks, tuntutan peran kerja, harapan peran kultural.
c.
Faktor yang mempengaruhi identitas personal, meliputi ketidak p ercayaan orang tua tekanan dari kelompok sebaya, perubahan dalam stuktural sosial
2. Faktor Presipitasi a. Ketegangan peran Stress yang berhubungan dengan frustasi yang dialami dalam peran atau posisi b. Konflik peran Ketidaksesuaian peran dengan apa yang diinginkan c. Peran yang tidak jelas Kurangnya pengetahuan individu tentang peran
d. Peran yang berlebihan Menampilkan seperangkat peran yang konpleks e. Perkembangn transisi Perubahan norma dengan nilai yang taksesuai dengan diri f. Situasi transisi peran Bertambah/ berkurangnya orang penting dalam kehidupan individu g. Transisi peran sehat-sakit Kehilangan bagian tubuh, prubahan ukuran, fungsi, penampilan, prosedur pengobatan dan perawatan.
F.
Manifestasi klinis (Gejala dan Tanda)
Perasaan malu pada diri sendiri akibat penyakit pen yakit dan akibat terhadap tindakan penyakit. Misalnya malu dan sedih karena rambut menjadi rontok (botak) karena pengobatan akibat penyakit kronis seperti kanker. 1. Rasa bersalah terhadap diri sendiri misalnya ini terjadi jika saya tidak ke RS menyalahkan dan mengejek diri sendiri. 2. Merendahkan martabat misalnya, saya tidak bisa, saya tidak mampu, saya memang bodoh dan tidak tahu apa – apa – apa. apa. 3. Gangguan hubungan sosial, seperti menarik diri, klien tak mau bertemu orang lain, lebih suka menyendiri. 4. Percaya diri kurang, klien sukar mengambil keput usan yang suram mungkin memilih alternatif tindakan. 5. Mencederai diri dan akibat HDR disertai dengan harapan yang suram mungin klien ingin mengakhiri kehidupan.
Menurut Struart & Sundden (1998) perilaku klien HDR ditunjukkan tanda – tanda – tanda tanda sebagai berikut : 1. Produktivitas menurun. 2. Mengukur diri sendiri dan orang lain. 3. Destructif pada orang lain. 4. Gangguan dalam berhubungan. 5. Perasaan tidak mampu. 6. Rasa bersalah. 7. Mudah tersinggung atau marah yang berlebihan. 8. Perasaan negatif terhadap tubuhnya sendiri. 9. Ketegangan peran yang dihadapi atau dirasakan. 10. Pandangan hidup yang pesimis. 11. Keluhan fisik.
12. Pandangan hidup yang bertentangan. 13. Penolakan terhadap kemampuan personal. 14. Destruktif terhadap diri sendiri. 15. Menolak diri secara sosial. 16. Penyalahgunaan obat. 17. Menarik diri dan realitas. 18. Khawatir.
G. Akibat harga diri rendah berkepanjangan (kronis).
Harga diri rendah dapat membuat klien menjdai tidak mau maupun tidak mampu bergaul dengan orang lain dan terjadinya isolasi sosial : menarik diri. Isolasi sosial menarik diri adalah gangguan kepribadian yang tidak fleksibel pada tingkah laku yang maladaptive, mengganggu fungsi seseorang dalam hubungan sosial (DEPKES RI, 1998 : 336). H. Patopsikologi
Menurut Stuart (2005), berbagai faktor menunjang terjadinya perubahan dalam konsep diri seseorang yaitu Faktor predisposisi yang merupakan faktor pendukung harga diri rendah meliputi penolakan orang tua, harapan orang tua yang tidak relistis, kegagalan yang berulang b erulang kali, kurang mempunyai tanggungjawab personal, ketergantungan pada orang lain dan ideal diri yang tidak realistis. Faktor yang mempengaruhi performa peran adalah peran gender, tuntutan peran kerja, dan
harapan
peran
budaya.
Faktor
yang
mempengaruhi
identitas
pribadi
meliputi
ketidakpercayaan orang tua, tekanan dari kelompok sebaya, dan perubahan struktur sosial. Sedangkan faktor presipitasi munculnya harga diri rendah meliputi trauma seperti penganiayaan seksual dan psikologis atau menyaksikan kejadian yang megancam kehidupan dan ketegangan peran beruhubungan dengan peran atau posisi yang diharapkan dimana individu mengalami frustrasi. Pada mulanya klien merasa dirinya tidak berharga lagi sehingga merasa tidak aman dalam berhubungan dengan orang lain. Biasanya klien berasal dari lingkungan yang penuh permasalahan, ketegangan, kecemasan dimana tidak mungkin mengembangkan kehangatan emosional dalam hubungan yang positif dengan orang lain yang menimbulkan rasa aman. Klien semakin tidak dapat melibatkan diri dalam situasi yang baru. Ia berusaha mendapatkan rasa aman tetapi hidup itu sendiri begitu menyakitkan dan menyulitkan sehingga rasa aman itu tidak tercapai. Hal ini menyebabkan ia mengembangkan rasionalisasi dan mengaburkan realitas daripada mencari penyebab kesulitan serta menyesuaikan diri dengan kenyataan. Semakin klien menjauhi kenyataan semakin kesulitan yang timbul dalam mengembangkan hubungan dengan orang lain. Tanda dan gejala yang muncul pada gangguan konsep diri harga diri rendah yaitu mengkritik diri sendiri, termasuk hilangnya percaya diri dan harga diri, merasa gagal mencapai
keinginan,gangguan dalam berhubungan, penurunan produktivitas, destruktif yang diarahkan pada orang lain, rasa bersalah, ketegangan peran pe ran yang dirasakan, pandangan hidup yang pesimis, adanya keluhan fisik, perasaan tidak mampu, mudah tersinggung, menarik diri secara realitas,penyalahgunaan zat dan menarik diri secara sosial.(Stuart & Sundeen, 1998, hal. 230).Melihat tanda dan gejala diatas apabila tidak ditanggulangi secara intensif akan menimbulkan distress spiritual, perubahan proses pikir (curiga), perubahan interaksi sosial (menarik diri) dan resiko terjadi amuk.
WOC Isolasi Sosial
Curiga
Distress spiritual
Halusinasi
Resiko amuk
Harga Diri Rendah
Defisit perawatan diri Rendah
Intoleransi aktivitas Rendah
Kurang Percaya Diri
I. Penatalaksanaan Medis Menurut hawari (2001), terapi pada gangguan jiwa skizofrenia dewasa ini sudah dikembangkan
sehingga penderita tidak mengalami diskriminasi bahkan metodenya lebih manusiawi daripada masa sebelumnya. Terapi yang dimaksud meliputi : 1. Psikofarmaka Adapun obat psikofarmaka yang ideal yaitu yang memenuhi syarat sebagai berikut : a. Dosis rendah dengan efektifitas terapi dalam waktu yang cukup singkat. b. Tidak ada efek samping kalaupun ada relative kecil. c. Dapat menghilangkan dalam waktu yang relative singkat, baik untuk gejala positif maupun gejala negative skizofrenia. d. Tidak menyebabkan kantuk e. Memperbaiki pola tidur f.
Tidak menyebabkan lemas otot. Berbagai jenis obat psikofarmaka yang beredar dipasaran yang hanya diperoleh dengan
resep dokter, dapat dibagi dalan 2 golongan yaitu golongan generasi pertama (typical) dan golongan kedua (atypical). Obat yang termasuk golongan generasi pertama misalnya chlorpromazine HCL, Thoridazine HCL, dan Haloperidol. Obat yang termasuk generasi kedua misalnya : Risperidone, Olozapine, Quentiapine, Glanzapine, Zotatine, dan aripiprazole.
2. Psikoterapi Therapy kerja baik sekali untuk mendorong penderita bergaul lagi dengan orang lain, penderita lain, perawat dan dokter. Maksudnya supaya ia tidak mengasingkan diri lagi karena bila ia menarik diri ia dapat membentuk kebiasaan yang kurang baik. Dianjurkan untuk mengadakan permainan atau latihan bersama. (Maramis,2005) 3. Therapy Kejang Listrik ( Electro Convulsive Therapy) ECT adalah pengobatan untuk menimbulkan kejang granmall secara artificial dengan melewatkan aliran listrik melalui elektrode yang dipasang satu atau dua temples. Therapi kejang listrik diberikan pada skizofrenia yang tidak mempan denga terapi neuroleptika oral atau injeksi, dosis terapi kejang listrik 4-5 joule/detik. (Maramis, 2005) 4. Therapy Modalitas Therapi modalitas/perilaku merupakan rencana pengobatan untuk skizofrrenia yang ditujukan pada kemampuan dan kekurangan klien. Teknik perilaku menggunakan latihan keterampilan sosial untuk meningkatkan kemampuan sosial. Kemampuan memenuhi diri sendiri dan latihan praktis dalam komunikasi interpersonal. Therapi kelompok bagi skizofrenia biasanya memusatkan pada rencana dan masalah dalam hubungan kehidupan yang nyata. Therapy aktivitas kelompok dibagi empat, yaitu therapy aktivitas kelompok stimulasi kognitif/persepsi, theerapy aktivitas kelompok stimulasi sensori, therapi aktivitas kelompok stimulasi realita dan therapy aktivitas kelompok sosialisasi (Keliat dan Akemat,2005). Dari empat jenis therapy aktivitas kelompok diatas yang paling relevan dilakukan pada individu dengan gangguan konsep diri harga diri rendah adalah therapyaktivitas kelompok stimulasi persepsi. Therapy aktivitas kelompok (TAK) stimulasi persepsi adalah therapy yang mengunakan aktivitas sebagai stimulasi dan terkait dengan pengalaman atau kehidupan untuk didiskusikan dalam kelompok, hasil diskusi kelompok dapat berupa kesepakatan persepsi atau alternatif penyelesaian masalah.(Keliat dan Akemat,2005). J.
Konsep Askep
1. Pengkajian a. Identitas klien Meliputi nama klien, umur, jenis kelamin, status perkawinan, agama, tanggal MRS (masuk rumah sakit), informan, tanggal pengkajian, No Rumah Sakit dan alamat klien. b. Keluhan utama Tanyakan pada keluarga/klien hal yang menyebabkan klien dan keluarga datang ke rumah sakit. Yang telah dilakukan keluarga untuk mengatasi masalah, dan perkembangan yang dicapai. c. Faktor predisposisi
Tanyakan pada klien/keluarga, apakah klien pernah mengalami gangguan jiwa pada masa lalu, pernah melakukan atau mengalami penganiayaan fisik, seksual, penolakan dari lingkungan, kekerasan dalam keluarga dan tindakan criminal. Dan pengkajiannya meliputi psikologis, biologis, dan social budaya. d. Aspek fisik/biologis Hasil pengukuran tanda-tanda vital (TD, Nadi, Suhu, Pernafasan, TB, BB) dan keluhan fisik yang dialami oleh klien. e. Aspek psikososial 1) Genogram yang menggambarkan tiga generasi 2) Konsep diri
3) Hubungan social dengan orang lain yang terdekat dalam kehidupan, kelompok, yang diikuti dalam masyarakat 4) Spiritual, mengenai nilai dan keyakinan dan kegiatan ibadah f. Status mental Nilai klien rapi atau tidak, amati pembicaraan klien, aktivitas motorik klien, afek klien, interaksi selama wawancara, persepsi, proses pikir, isi pikir, tingkat kesadaran, memori, tingkat konsentrasi, dan berhitung.
g. Kebutuhan persiapan pulang 1) Kemampuan makan klien dan menyiapkan serta merapikan lat makan kembali. 2) Kemampuan BAB, BAK, menggunakan dan membersihkan WC serta membersihkan dan merapikan pakaian. 3) Mandi dan cara berpakaian klien tampak rapi. 4) Istirahat tidur kilien, aktivitas didalam dan diluar rumah. 5) Pantau penggunaan obat dan tanyakan reaksinya setelah diminum. h. Mekanisme koping Malas beraktivitas, sulit percaya dengan orang lain dan asyik dengan stimulus internal, menjelaskan suatu perubahan persepsi dengan mengalihkan tanggung jawab kepada orang lain. i.
Masalah psikososial dan lingkungan Masalah berkenaan dengan ekonomi, dukungan kelompok, lingkungan, pendidikan, pekerjaan, perumahan, dan pelayanan kesehatan.
j.
Pengetahuan Didapat dengan wawancara klien dan disimpulkan dalam masalah.
k. Aspek medik Diagnose medis yang telah dirumuskan dokter, therapy farmakologi, psikomotor, okopasional, TAK dan rehabilitas.
2. Diagnosa Keperawatan
Menurut Keliat ( 1999 ), diagnosa yang lazzim muncul pada pasien dengan gangguan konsep diri : harga diri rendah adalah : a. Gangguan harga diri rendaah b. Keputus asaan c. Isolasi sosial : menarik diri d. Resiko perilaku social
3. Intervensi Keperawatan
Pasien
Keluarga
SP 1
SP 1
1. Mengidentifikasi kemampuan aspek positif yang dimiliki pasien
dan
1. Mendiskusikan masalah ynag dirasakan keluarga dalam merawat pasien
2. Membantu pasien menilai kemampuan pasien yang masih dapat digunakan
2. Menjelaskan pengertian, tanda gejala harga diri rendah yang dialami pasien beserta proses terjadinya
3. Membantu pasien memilih kegiatan yang akan dilatih sesuai dengan kemampuan pasien 4. Melatih pasien sesuai kemampuan yang dipilih 5. Memberikan pujian yang terhadap keerhasilan klien
3. Menjelaskan cara-cara merawat pasien harga diri rendah
dengan SP 2 wajar
6. Menganjurkan pasien memasukkan dalam jadwal kegiatan harian
SP 2
1. Melatih keluarga mempraktikkan cara merawat pasien dengan harga diri rendah 2. Melatih keluarga melakukan cara merawat langsung kepada pasien harga diri rendah
1. Mengevaluasi jadwal kegiatan harian pasien SP 3 2. Melatih kemampuan kedua 3. Menganjurkan pasien memasukkan kedalam jadwal kegiatan harian
1. Membantu keluarga membuat jadwal aktivitas di rumah termasuk minum obat 2. Menjelaskan follow up pasien setelah pulang
LAPORAN PENDAHULUAN RESIKO BUNUH DIRI
PROGRAM PENDIDIKAN PROFESI NERS SEKOLAH TINGGI ILMU KESEHATAN ARTHA BODHI ISWARA SURABAYA 2017/2018
A. Pengertian
Bunuh diri adalah suatu keadaan di mana individu mengalami risiko untuk menyakiti diri sendiri atau tindakan yang dapat mengancam jiwa. (Stuart dan Sundeen, 1995 dalam Fitria, 2009). Bunuh diri adalah suatu upaya yang disadari dan bertujuan untuk mengakhiri kehidupan, individu secara sadar berhasrat dan berupaya untuk mewujudkan hasratnya untuk mati. Perilaku bbunuh diri ini meliputi isyarat-isyarat, percobaan atau ancaman verbal, yang akan mengakibatkan kematian, luka, atau menyakiti diri sendiri (Clinton, 1995 dalam Yosep, 2010). Bunuh diri adalah setiap aktivitas yang jika tidak dicegah dapat mengarah pada kematian. (Gail w. Stuart, 2007. Dikutip Dez, Delicious, 2009.) Bunuh diri adalah suatu tindakan agresif yang langsung terhadap diri sendiri untuk mengakhiri kehidupan. Bunuh diri merupakan koping terakhir dari individu untuk memecahkan masalah yang dihadapi. (Jenny., dkk. (2010). Asuhan (2010). Asuhan Keperawatan Pada Klien Dengan Masalah Psikososial dan Gangguan Jiwa ). ). Bunuh diri merupakan tindakan yang secara sadar dilakukan oleh pasien untuk mengakhiri kehidupannya.Menurut Maris, Berman, Silverman, dan Bongar (2000), bunuh diri memiliki 4 pengertian, antara lain: 1)
Bunuh diri adalah membunuh diri sendiri secara intensional
2)
Bunuh diri dilakukan dengan intensi
3)
Bunuh diri dilakukan oleh diri sendiri kepada diri sendiri
4)
Bunuh diri bisa terjadi secara tidak langsung (aktif) atau tidak langsung (pasif), misalnya dengan tidak meminum obat yang menentukan kelangsungan hidup atau secara sengaja berada di rel kereta api.
B. Etiologi 1. Faktor predisposisi
Lima factor predisposisi yang penunjang pemahaman perilaku destruktif diri sepanjang siklus kehidupan (Fitria, 2009): a. Diagnosa Psikiatrik. Lebih dari 90% orang dewasa yang mengakhiri hidupnya dengan bunuh diri mempunyai ganggguan jiwa (ganggan afektif, penyalagunaan zat, dan skizofrenia). b. Sifat Kepribadian. Tiga kepribadian yang erat hubungannya dengan risiko bunuh diri adalah antipasti, impulsive, dan depresi. c. Lingkungan Psikososial. Diantaranya adalah pengalaman kehilangan, kehilangan dukungan social, kejadian-kkejadian negative dalam hidup, penyakit kronis, perpisahan, atau bahkan perceraian.
d. Riwayat Keluarga. Riwayat keluarga yang pernah melakukan bunuh diri merupakan faktor penting yang dpaat menyebabkan seseorang melakukan tinfdakan bunuh diri. e. Faktor Biokimia. Data menunjukkan bahwa pada klien dengan risiko bunuh diri terdapat peningkatan zat-zat kimia yang terdapat di dalam otak seperti serotonin, adrenalin, dan dopamine yang dapat dilihat dengan EEG. Menurut Iyus Yosep (2010), terdapat beberapa factor yang berpengaruh dalam bunuh diri, anatara lain: a. Faktor mood dan biokimia otak. b. Faktor riwayat gangguan mental. c. Faktor meniru, imitasi, dan factor pembelajaran. d. Faktor isolasi sosial dan human relations. e. Faktor hilangnya rasa aman dan ancaman kebutuhan dasar. f. Faktor religiusitas.
2. Faktor Presipitasi
Perilaku destruktif dapat ditimbulkan oleh stress yang berlebihan yang dialami oleh individu. Pencetusnya seringkali kejadian hidup yang memalukan, melihat atau membaca melalui media tentang orang yang melakukan bunuh diri ataupun percobaan bunuh diri (Fitria, 2009).
C. Manifestasi Klinis
Tanda dan Gejala menurut Fitria, Nita (2009) : 1. Mempunyai ide untuk bunuh diri. 2. Mengungkapkan keinginan untuk mati. 3. Mengungkapkan rasa bersalah dan keputusasaan. 4. Impulsif. 5. Menunjukkan perilaku yang mencurigakan (biasanya menjadi sangat patuh). 6. Memiliki riwayat percobaan bunuh diri. 7. Verbal terselubung (berbicara tentang kematian, menanyakan tentang obat dosis mematikan). 8. Status emosional (harapan, penolakan, cemas meningkat, panic, marah dan mengasingkan diri). 9. Kesehatan mental (secara klinis, klien terlihat sebagai orang yang depresi, psikosis dan menyalahgunakan alcohol). 10. Kesehatan fisik (biasanya pada klien dengan p enyakit kronis atau terminal). 11. Pengangguaran (tidak bekerja, kehilangan pekerjaan, atau mengalami kegagalan dalam karier). 12. Umur 15-19 tahun atau di atas 45 tahun. 13. Status perkawinan (mengalami kegagalan dalam perkawinan). 14. Pekerjaan.
15. Konflik interpersonal. 16. Latar belakang keluarga. 17. Orientasi seksual. 18. Sumber-sumber personal. 19. Sumber-sumber social. 20. Menjadi korban perilaku kekerasan saat kecil.
D. Akibat
Klien dengan resiko bunuh diri dapat melakukan tindakan-tindakan berbahaya atau mencederai dirinya, orang lain maupun lingkungannya, seperti menyerang orang lain, memecahkan perabot, membakar rumah, dll.
E. Pohon Masalah
Resiko mencederai diri sendiri, orang lain dan lingkungan
Resiko bunuh diri
Harga diri rendah
F. Penatalaksanaan
Pertolongan pertama biasanya dilakukan secara darurat atau dikamar pertolongan darurat di RS, dibagian penyakit dalam atau bagian bedah. Dilakukan pengobatan terhadap luka-luka atau keadaan keracunan, kesadaran penderita tidak selalu menentukan urgensi suatu tindakan medis. Penentuan perawatan tidak tergantung pada faktor sosial tetapi berhubungan erat dengan kriteria yang mencerminkan besarnya kemungkinan bunuh diri. Bila keadaan keracunan atau terluka sudah dapat diatasi maka dapat dilakukan evaluasi psikiatri. Tidak adanya hubungan beratnyagangguan badaniah dengan gangguan psikologik. Penting sekali dalam pengobatannya untuk menangani juga gangguan mentalnya. Untuk pasien dengan depresi dapat diberikan terapi elektro konvulsi, obat obat terutama anti depresan dan psikoterapi.
G. MASALAH KEPERAWATAN DAN DATA YANG PERLU DIKAJI 1.
Masalah keperawatan
a. Gangguan konsep diri : harga diri rendah b. Resiko bunuh diri c. Resiko mencederai diri sendiri, orang lain dan lingkungan 2.
Data yang perlu dikaji
a.
Resiko bunuh diri DS : menyatakan ingin bunuh diri / ingin mati saja, tak ada gunanya hidup. DO : ada isyarat bunuh diri, ada ide bunuh diri, pernah mencoba bunuhdiri.
b.
Gangguan konsep diri : harga diri rendah 1) Data subjektif a)
Mengungkapkan ingin diakui jati dirinya
b)
Mengungkapkan tidak ada lagi yang peduli
c)
Mengungkapkan tidak bisa apa-apa
d)
Mengungkapkan dirinya tidak berguna
e)
Mengkritik diri sendiri
2) Data objektif
c.
a)
Merusak diri sendiri
b)
Merusak orang lain
c)
Menarik diri dari hubungan sosial
d)
Tampak mudah tersinggung
e)
Tidak mau makan dan tidak tidur
Resiko mencederai diri sendiri, orang lain dan lingkungan 1) Data subyektif Klien mengatakan marah dan jengkel kepada orang lain, ingin membunuh, ingin membakar atau mengacak-acak lingkungannya. 2) Data obyektif Klien mengamuk, merusak dan melempar barang-barang, melakukan tindakan kekerasan pada orang-orang disekitarnya.
H. DIAGNOSA KEPERAWATAN
Core Problem : Resiko bunuh diri Diaggnosa Penyerta : Gangguan konsep diri : harga diri rendah (HDR)
I. RENCANA TINDAKAN KEPERAWAAN
Pasien SP 1 1. Mengidentifikasi benda-benda yang dapat membahayakan pasien 2. Mengamankan benda-benda yang dapat membahayakan pasien 3. Melakukan kontrak treatment 4. Mengajarkan cara mengendalikan dorongan bunuh diri 5. Melatih cara mengendalikan dorongan bunuh diri
Keluarga SP 1 1. Mendiskusikan masalah yang dirasakan keluarga dalam merawat pasien 2. Menjelaskan pengertian, tanda gejala resiko bunuh diri dan jenis prilaku bunuh diri yang dialami pasien beserta proses terjadinya menjelaskan cara-cara merawat pasien resiko bunuh diri 3. Menjelaskan cara-cara merawat pasien resiko bunuh diri
SP 2 1. Mengidentifikasi aspek positif pasien 2. Mendorong apsien untuk berpikir positif terhadap diri 3. Mendorong pasien untuk menghargai diri sebagai individu yang berharga
SP 2 1. Melatih keluarga mempraktikkan cara merawat pasien dengan resiko bunuh diri 2. Melatih keluarga melakukan cara merawat langsung kepada pasien resiko dunuh diri
SP 3 1. Mengidentivikasi pola koping yang biasa diterapkan pasien 2. Menilai pola koping yang biasa dilakukan 3. Mengidentifikasi pola koping yang konstruktif 4. Mendorong pasien memilih pola koping yang konstruktif 5. Menganjurkan pasien menerapkan pola koping konstruktif dalam kegiatan harian
SP 3 1. Membantu keliarga membuat jadwal aktivitas dirumah termasuk minum obat 2. Mendiskusikan sumber rujukan yang biasa dijangkau oleh keluarga
SP 4 1. Membuat rencana masa depan yang realistis bersama pasien 2. Mengidentifikasi cara mencapai rencana masa depan yang realistis 3. Memberi dorongan pasien melakukan kegiatan dalam rangka meraih masa depan yang realistis