LAPORAN PENDAHULUAN
I.
Kasus (M (Masalah Ut Utama) Perilaku kekerasan
II. II.
Prose rosess ter terja jadi din nya masal asalah ah A. Peng Penger erti tian an Perilaku kekerasan adalah suatu bentuk perilaku yang bertujuan untuk melukai seseorang secara fisik maupun psikologis. Berdasarkan definisi ini maka perilaku kekerasan dapat dilakukan secara verbal, diarahkan pada diri sendiri, orang lain dan lingkungan. Perilaku kekerasan dapat terjadi dalam dua bentuk yaitu saat sedang berlangsung berlangsung perilaku kekerasan kekerasan atau riwayat perilaku kekerasan (Keliat, dkk, 2006). Perilaku kekerasan atau agresif adalah suatu keadaan dimana seseorang melakukan tindakan yang membahayakan secara fisik baik terhadap diri sendir sendiri, i, orang orang lain lain maupun maupun lingku lingkunga ngan. n. Hal tersebu tersebutt dilaku dilakukan kan untuk untuk mengungkap mengungkapkan kan perasaan perasaan kesal atau marah yang tidak konstruktif konstruktif (Stuart, (Stuart, 2007). 2007). Kemarah Kemarahan an adalah adalah perasaa perasaan n jengke jengkell yang yang timbul timbul sebaga sebagaii respon respon terhadap kecemasan yang dirasakan sebagai ancaman (Keliat, 2005).
B. Etiologi 1. Fakt Faktor or pred predis ispo posi sisi si Berbagai pengalaman yang dialami tiap orang mungkin menjadi menjadi faktor predisposisi yang mungkin/ tidak mungkin terjadi jika faktor berikut dialami oleh individu, diantaranya: a. Psik Psikol olog ogis; is; kega kegaga gala lan n yang yang dial dialam amii dapa dapatt meni menimb mbul ulka kan n frust frustas asii yang kemudian timbul agresif atau amuk. b. Perilaku; reinforcement yang diterima ketika melakukan kekerasan, seri serin ng
meng engobse observ rvas asii
kek kekeras erasan an
meru erupak pakan
menstimulasi/ mengadopsi perilaku kekerasan.
aspe aspek k
yan yang
c. Sosial budaya; budaya tertutup, kontrol sosial yang tidak pasti terhadap perilaku kekerasan menciptakan seolah – olah perilaku kekerasan diterima. d. Bioneurologis; kerusakan sistem limbik, lobus frontal, temporal dan ketidaksimbangan neurotransmiter. 2. Faktor presipitasi a. Klien, seperti: kelemahan fisik, keputusasaan, ketidakberdayaan, kurang percaya diri, b. Lingkungan, seperti: ribut, padat, kritikan mengarah penghinaan, kehilangan orang yang dicintai/ pekerjaan dan kekerasan. c. Interaksi dengan orang lain, seperti: provokatif dan konflik. (Keliat, 2005)
C. Tanda dan gejala Data perilaku kekerasan dapat diperoleh melalui observasi maupun wawancara, diantaranya : 1. Muka merah dan tegang. 2. Pandangan tajam 3. Mengatupkan rahang dengan kuat 4. Mengepalkan tangan 5. Jalan mondar – mandir 6. Bicara kasar. 7. Suara tinggi, menjerit atau berteriak. 8. Mengancam secara verbal dan fisik. 9. Melempar atau memukul benda/ orang lain. 10. Merusak barang atau benda. 11. Tidak
mempunyai
kemampuan
mencegah/
mengontrol
perilaku
kekerasan. (Keliat, dkk, 2006)
D. Rentang respon Menurut Keliat (2005), respon kemarahan dapat berfluktuasi dalam rentang adaptif – mal adaptif. Rentang respon kemarahan dapat digambarkan sebagai berikut: Adaptif
Mal
adaptif
Asertif
Frustasi
Pasif
Agresif
Kekerasan
Keterangan: 1. Asertif adalah mengungkapkan marah tanpa menyakiti, melukai perasaan orang lain, atau tanpa merendahkan harga diri orang lain. 2. Frustasi adalah respon yang timbul akibat gagal mencapai tujuan atau keinginan. Frustasi dapat dialami
sebagai suatu ancaman dan
kecemasan. Akibat dari ancamaan tersebut dapat menimbulkan kemarahan. 3. Pasif adalah respon dimana individu tidak mampu mengungkapkan perasaan yang dialami. 4. Agresif merupakan perilaku yang menyertai marah namun masih dapat dikontrol oleh individu. Orang agresif biasanya tidak mau mengetahui hak orang lain. Dia berpendapat bahwa setiap orang harus bertarung untuk mendapatkan kepentingan sendiri dan mengharapkan perlakuan yang sama dari orang lain. 5. Kekerasan (mengamuk) adalah rasa marah dan bermusuhan yang kuat disertai kehilangan kontrol diri. Pada keadaan ini individu dapat merusak dirinya sendiri maupun terhadap orang lain.
E. Proses terjadinya perilaku kekerasan Ancaman Stres Cemas Marah Merasa kuat kuat
Mengungkapkan secara verbal
Marah berkepanjangan
Menjaga kebutuhan orang lain
Merasa tidak
Melarikan diri
Ketegangan menurun
Mengingkari
marah Rasa marah teratasi
Marah tidak
terungkap Muncul rasa bermusuhan Rasa bermusuhan menahun Marah pada diri sendiri lingkungan
Marah pada orang lain dan
Persepsi psikosomatik
Agresif/ amuk (Keliat, 2005)
F. Perilaku Perilaku yang berkaitan dengan perilaku kekerasan antara lain: 1. Perilaku menyerang/ menghindar ( fight or flight ) Pada keadaan ini respon fisiologis timbul karena kegiatan system saraf otonom beraksi terhadap sekresi epinefrin yang menyebabkan tekanan darah meningkat, takikardi, wajah merah, pupil melebar, sekresi HCl meningkat,
peristaltic gaster menurun, pengeluaran urine dan saliva meningkat, konstipasi, kewaspadaan meningkat disertai ketegangan otot, seperti rahang terkatup, tangan dikepal, tubuh menjadi kaku dan disertai refleks yang cepat. 2. Menyatakan secara asertif (assertiveness) Perilaku asertif adalah cara yang terbaik untuk mengekspresikan marah karena individu dapat mengekspresikan rasa marahnya tanpa menyakiti orang lain secara fisik maupun psikologis. Selain itu, perilaku ini untuk pengembangan diri klien. 3. Memberontak (acting out ) Perilaku yang muncul biasanya disertai akibat konflik perilaku acting out untuk menarik perhatian orang lain. 4. Perilaku kekerasan/ amuk Tindakan kekerasan atau amuk yang ditujukan kepada diri sendiri, orang lain maupun lingkungan (Azis, 2003).
G. Mekanisme koping Mekanisme koping adalah upaya yang diarahkan pada penatalaksanaan stress, termasuk upaya penyelesaian masalah langsung dan mekanisme pertahanan yang digunakan untuk melindungi diri (Stuart, 2007). Kemarahan merupakan ekspresi dari rasa cemas yang timbul karena adanya ancaman. Beberapa mekanisme koping yang dipakai pada klien marah untuk melindungi diri, antara lain: 1. Sublimasi Menerima suatu sasaran pengganti yang mulia artinya di mata masyarakat
untuk
suatu
dorongan
yang
mengalami
hambatan
penyaluran secara normal. Misalnya seseorang yang sedang marah melampiaskan kemarahannya pada obyek lain seperti meremas adonan kue, meninju tembok, dan sebagainya. Tujuannya adalah untuk mengurangi ketegangan akibat rasa marah. 2. Proyeksi Menyalahkan orang lain mengenai kesukarannya atau keinginannya yang tidak baik. Misalnya seseorang wanita muda yang menyangkal
bahwa ia mempunyai perasaan seksual terhadap rekan sekerjanya, berbalik
menuduh bahwa temannya
tersebut
mencoba
merayu,
mencumbunya. 3. Represi Mencegah pikiran yang menyakitkan aatau membahayakan masuk kea lam sadar. Misalnya seseorang anak yang sangat benci pada orang tuanya yang tidak disukainya. Akan tetapi, menurut ajaran atau didikan yang diterimanya sejak kecil bahwa membenci orang tua merupakan hal yang tidak baik dan dikutuk oleh Tuhan. Sehingga perasaan benci itu ditekannya dan akhirnya ia dapat melupakannya.
4. Reaksi formasi Mencegah keinginan yang berbahaya bila diekspresikan dengan melebih-lebihkan
sikap
dan
perilaku
yang
berlawanan
dan
menggunakannya sebagai rintangan. Misalnya seseorang yang tertarik pada teman suaminya, akan memperlakukan orang tersebut dengan kasar. 5. Displacement Melepaskan perasaan yang tertekan biasanya bermusuhan pada obyek yang tidak begitu berbahaya seperti yang pada mulanya membangkitkan emosi itu. Misalnya, Timmy berusia 4 tahun marah karena ia baru saja mendapat hukuman dari ibunya karena menggambar di dinding kamarnya. Dia mulai perang-perangan dengan temannya (Stuart, 2007).
H. Penyebab perilaku kekerasan Perilaku kekerasan bisa disebabkan adanya gangguan konsep diri: harga diri rendah. Harga diri adalah penilaian individu tentang pencapaian diri dengan menganalisa seberapa jauh perilaku sesuai dengan ideal diri. Dimana gangguan harga diri dapat digambarkan sebagai perasaan negatif terhadap diri sendiri, hilang kepercayaan diri, merasa gagal mencapai keinginan. Tanda dan gejala :
1. Rasa bersalah terhadap diri sendiri (mengkritik/ menyalahkan diri sendiri). 2. Gangguan hubungan sosial (menarik diri). 3. Percaya diri kurang (sukar mengambil keputusan). 4. Mencederai diri (akibat dari harga diri yang rendah disertai harapan yang suram, mungkin klien akan mengingkari kehidupannya (Keliat, 2005).
I. Akibat perilaku kekerasan Klien dengan perilaku kekerasan dapat menyebabkan resiko mencederai diri, orang lain dan lingkungan. Resiko mencederai merupakan suatu tindakan yang kemungkinan dapat melukai/ membahayakan diri, orang lain dan lingkungan. Tanda dan gejala : 1. Memperlihatkan permusuhan. 2. Mendekati orang lain dengan ancaman 3. Memberikan kata-kata ancaman dengan rencana melukai. 4. Menyentuh orang lain dengan cara yang menakutkan 5. Mempunyai rencana untuk melukai (Keliat, 2005).
III.
A. Pohon masalah
Resiko mencederai diri, orang lain dan lingkungan Perilaku kekerasan Gangguan konsep diri: harga diri rendah (Keliat, 2005)
B. Masalah keperawatan dan data yang perlu dikaji : 1. Masalah keperawatan a. Resiko mencederai diri, orang lain dan lingkungan b. Perilaku kekerasan/ amuk
c. Gangguan konsep diri: harga diri rendah. 2. Data yang perlu dikaji: a. Resiko mencederai diri, orang lain dan lingkungan Data subjektif : Klien mengatakan marah dan jengkel kepada orang lain, ingin membunuh, ingin membakar atau mengacak-acak lingkungannya. Data objektif : Klien
mengamuk,
merusak
dan
melempar
barang-barang,
melakukan tindakan kekerasan pada orang-orang di sekitarnya. b. Perilaku kekerasan/ amuk Data subjektif: -
Klien mengatakan benci dan kesal pada seseorang
-
Klien suka membentak dan menyerang orang yang mengusiknya jika sedang kesal atau marah.
-
Riwayat perilaku kekerasan atau gangguan jiwa lainnya.
Data objektif : -
Mata merah, wajah agak merah.
-
Nada suara tinggi dank eras, bicara menguasai.
-
Ekspresi marah saat membicarakan orang, pandangan tajam.
-
Merusak dan melempar barang-barang.
c. Gangguan konsep diri: harga diri rendah Data Subjektif : Klien mengatakan: saya tidak mampu, tidak bisa, tidak tahu apaapa, bodoh, mengkritik diri sendiri, mengungkapkan perasaan malu terhadap diri sendiri. Data Objektif : Klien tampak lebih suka sendiri, bingung bila disuruh memilih alternatif tindakan, ingin mencederai diri/ ingin akhiri hidup (Keliat, 2005).
IV.
Diagnosa keperawatan
A. Resiko mencederai diri sendiri, orang lain dan lingkungan B. Perilaku kekerasan
V.
Rencana tindakan keperawatan A.
Resiko mencederai diri, orang lain dan lingkungan
Tujuan umum : Klien tidak mencederai diri sendiri, orang lain dan lingkungannya. Tujuan khusus : 1. Klien dapat membina hubungan saling percaya Tindakan : a.
Bina hubungan saling percaya: salam terapeutik, empati, sebut nama perawat dan jelaskan tujuan interaksi.
b.
Panggil klien dengan nama panggilan yang disukai.
c.
Bicara dengan sikap tenang, rileks dan tidak menantang.
d.
Jelaskan tentang kontrak yang dibuat.
e.
Beri rasa aman dan sikap empati.
f.
Lakukan kontak singkat tapi sering.
2. Klien dapat mengidentifikasi penyebab perilaku kekerasan Tindakan : a.
Beri kesempatan mengungkapkan perasaan.
b.
Bantu klien mengungkapkan jengkel/ kesal.
c.
Dengarkan ungkapan rasa marah dan perasaan bermusuhan klien dengan sikap tenang.
3. Klien dapat mengidentifikasi perilaku kekerasan yang biasa dilakukan. Tindakan : a.
Anjurkan klien mengungkapkan yang dialami dan dirasakan saat jengkel/ kesal.
b.
Observasi tanda perilaku kekerasan.
c.
Simpulkan bersama klien tanda-tanda jengkel/ kesal yang dialami klien.
4. Klien dapat mengidentifikasi perilaku kekerasan yang biasa dilakukan. Tindakan : a.
Anjurkan mengungkapkan perilaku kekerasan yang biasa dilakukan.
b.
Bantu bermain peran sesuai dengan perilaku kekerasan yang biasa dilakukan.
c.
Tanyakan “apakah dengan cara yang dilakukan masalahnya selesai?”
5. Klien dapat mengidentifikasi akibat perilaku kekerasan. Tindakan : a.
Bicarakan akibat/ kerugian dari cara yang dilakukan.
b.
Bersama klien menyimpulkan akibat dari cara yang digunakan.
c.
Tanyakan apakah ingin mempelajari cara baru yang sehat.
6. Klien dapat mengidentifikasi cara konstruktif dalam berespon terhadap kemarahan. Tindakan : a.
Tanyakan kepada klien apakah ingin mempelajari cara baru yang sehat
b.
Beri pujian jika mengetahui cara lain yang sehat.
c.
Diskusikan dengan klien cara lain yang sehat. - Secara fisik: tarik nafas dalam jika sedang kesal, berolahraga, memukul bantal/ kasur atau pekerjaan yang memerlukan tenaga. - Secara verbal : katakana bahwa anda sedang marah/ kesal/ tersinggung. - Secara sosial : lakukan dalam kelompok cara-cara marah yang sehat, latihan asertif, latihan manajemen perilaku kekerasan. - Secara spiritual: berdo’a, sembahyang, memohon kepada Tuhan untuk diberi kesabaran.
7. Klien dapat mengidentifikasi cara mengontrol perilaku kekerasan
Tindakan: a.
Bantu memilih cara yang paling tepat.
b.
Bantu mengidentifikasi manfaat cara yang telah dipilih.
c.
Bantu mensimulasikan cara yang telah dipilih.
d.
Beri reinforcement positif atas keberhasilan yang dicapai dalam simulasi.
e.
Anjurkan menggunakancara yang telah dipilih saat jengkel/ marah.
8. Klien mendapat dukungan dari keluarga dalam mengontrol perilaku kekerasan. Tindakan : a.
Identifikasi kemempuan keluarga merawat klien dari sikap apa yang telah dilakukan keluarga selama ini.
b.
Jelaskan peran serta keluarga dalam merawat klien.
c.
Jelaskan cara-cara merawat klien: -
Cara mengontrol perilaku marah secara konstruktif.
-
Sikap tenang, bicara tenang dan jelas.
-
Membantu klien mengenal penyebab ia marah.
d.
Bantu keluarga mendemontrasikan cara merawat klien.
e.
Bantu keluarga mengungkapkan perasaannya setelah melakukan demonstrasi.
9. Klien dapat menggunakan obat dengan benar (sesuai program). Tindakan : a.
Jelaskan jenis-jenis obat yang diminum klien pada klien dan keluarga.
b.
Diskusikan manfaat minum obat dan kerugian berhenti minum obat dan kerugian berhenti minum obat tanpa seizing dokter.
c.
Jelaskan prinsip 5 benar minum obat (nama klien, obat, dosis, cara dan waktu).
d.
Anjurkan untuk membicarakan efek dan efek samping obat yang dirasakan.
e.
Anjurkan klien melaporkan pada perawat/ dokter jika merasakan efek yang tidak menyenangkan.
f.
Beri pujian jika klien minum obat dengan benar.
B.
Perilaku kekerasan
Tujuan umum : Klien tidak melakukan perilaku kekerasan Tujuan khusus 1. Klien dapat membina hubungan saling percaya Tindakan : a.
Bina hubungan saling percaya -
Salam terapeutik
-
Perkenalkan diri
-
Tanyakan nama lengkap klien dan panggilan yang disukai.
-
Jelaskan tujuan pertemuan.
-
Ciptakan lingkungan yang tenang
-
Buat kontrak yang jelas (waktu, tempat dan topik pembicaraan).
b.
Beri kesempatan pada klien mengungkapkan perasaannya.
c.
Sediakan waktu untuk mendengarkan klien.
d.
Katakan kepada klien bahwa ia adalah seseorang yang berharga dan bertanggung jawab serta mampu menolong dirinya sendiri.
2. Klien dapat mengidentifikasi kemampuan dan aspek positif yang dimiliki. Tindakan : a. Diskusikan kemampuan dan aspek positif yang dimiliki klien. b. Setiap bertemu klien hindarkan dari member penilaian negatif c. Utamakan member pujian yang realistis. 3. Klien dapat menilai kemampuan yang dapat digunakan. Tindakan :
a. Diskusikan bersama klien kemampuan yang masih dapat digunakan selama sakit. b. Diskusikan pula kemampuan yang dapat dilanjutkan setelah pulang ke rumah.
4. Klien dapat menetapkan/ merencanakan kegiatan sesuai kemampuan yang dimiliki. Tindakan : a. Rencanakan bersama klien aktivitas yang dapat dilakukan setiap hari sesuai kemampuan (mandiri, bantuan sebagian, bantuan total). b. Tingkatkan kegiatan sesuai dengan toleransi kondisi klien. c. Beri contoh cara pelaksanaan kegiatan yang boleh klien lakukan.
5. Klien dapat melakukan kegiatan sesuai kondisi dan kemampuannya. Tindakan : a. Beri kesempatan klien untuk mencoba kegiatan yang telah direncanakan. b. Beri pujian atas keberhasilan klien. c. Diskusikan kemungkinan pelaksanaan di rumah.
6. Klien dapat memanfaatkan sistem pendukung yang ada. Tindakan : a. Beri pendidikan kesehatan pada keluarga tentang cara merawat klien dengan harga diri rendah. b. Bantu keluarga member dukungan selama klien dirawat. c. Bantu keluarga menyiapkan lingkungan di rumah. d. Beri reinforcement positif atas keterlibatan keluarga. (Keliat, 2005)
DAFTAR PUSTAKA
Azis, R. (2003). Pedoman asuhan keperawatan jiwa. Semarang: RSJD Dr. Amino Gondoutomo. Keliat, B.A. (2005). Proses keperawatan kesehatan jiwa. Jakarta: EGC Keliat, B.A., Akemat, Helena, N., Susanti, H., Panjaitan, R.V., Wardani, I, Y., dkk. (2006). Modul praktek keperawatan profesional jiwa (MPKP Jiwa). Jakarta: FIK UI dan WHO Stuart, G.W. (2007). Buku saku keperawatan jiwa. Edisi 6. Jakarta: EGC.