TUGAS PENGAWASAN MUTU PANGAN Pelaksanaan HACCP pada Pembuatan Tempe Pabrik Rumahan di Cipinang
DISUSUN OLEH: Azzah Adillah (P23131115006) (P23131115006) Dhea Zahra Huwaida (P23131115014) (P23131115014) Vici Nur Aurelia (P23131115047)
KELAS : DIV-5A DOSEN PENGAMPU : Meilinasari, SKM, M.Kes
POLITEKNIK KESEHATAN KEMENKES JAKARTA II JURUSAN GIZI, 2017
1
KATA PENGANTAR
Puji dan syukur penulis panjatkan atas kehadirat Allah SWT karena dengan rahmat dan karunia-Nya penulis dapat menyelesaikan laporan Pengawasan Mutu Pangan dengan judul “Pelaksanaan HACCP pada Pembuatan Tempe Pabrik Rumahan di Cipinang” Cipinang”. Dalam penyusunan laporan ini, penulis telah berusaha sebaik mungkin sesuai dengan kemampuan penulis. Namun, penulis tidak juga luput dari kesalahan, baik dari teknik penulisan maupun tata bahasa. Namun walaupun walaupun demikian, penulis berusaha sebisa mungkin menyelesaikan karya karya ini meskipun sangat sangat sederhana. Banyak kendala yang penulis alami selama pemyusunan makalah ini, tetapi penulis banyak memperoleh bantuan serta bimbingan dari berbagai pihak sehingga termotivasi untuk segera menyelesaikannya. menyelesaikannya. Oleh karena itu, penulis ingin menyampaikan ucapan terima kasih, khususnya kepada: 1. Orang tua tercinta yang telah memberi restu, motivasi, serta ide-idenya 2. Ibu Meilinasari, SKM, M.Kes., selaku pembimbing yang telah mengarahkan, membimbing, dan memberi pendapat serta analisanya terhadap laporan ini sehingga penulis dapat mengerjakan dan menyelesaikannya menyelesaikannya dengan baik 3. Para teman Program Studi Diploma IV kelas V-A yang telah membantu penulis dalam menyelesaikan laporan ini 4. Pihak-pihak yang tidak bisa disebutkan namanya satu persatu Adapun laporan ini disusun untuk memenuhi tugas Pengawasan Mutu Pangan. Diharapkan tulisan ini dapat bermanfaat untuk menambah informasi mengenai “Pelaksanaan HACCP pada Pembuatan Tempe Pabrik Rumahan di Cipinang ”. Penulis menyadari bahwa dalam menyusun laporan ini masih jauh dari sempurna, untuk itu penulis sangat mengharapkan kritik dan saran yang sifatnya membangun guna sempurnanya makalah ini. Penulis berharap semoga laporan ini dapat bermanfaat bagi penulis khususnya dan bagi pembaca umumnya.
Jakarta, November 2017
Penulis
2
BAB I PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang Masalah
Latar belakang diadakanya kunjungan industri ini agar mahasiswa mengetahui proses produksi tempe mulai dari persiapan, pengolahan, packaging sampai distribusi . Selain itu mahasiswa dapat mengetahui lebih jauh tentang cara kerja, kedisiplinan, tata tertib kerja , mesin – mesin – mesin industri yang lebih memadai. Yang utama adalah mahasiswa mengetahu analisis bahaya apa saja yang terjadi selama proses produksi disetiap tahapannya. Diharapkan dari kunjungan industri sebagai sarana belajar dengan cara mendatangi industri secara langsung, dan melihat urutan – urutan urutan proses kerja di industri tersebut. Kunjungan industri dipilih untuk menambah pengalaman mahasiswa tentang Hazard Analysis & Critical Control Point. Siswa dituntut untuk aktif menggali informasi tentang kunjungan industri untuk memperoleh pengetahuan tentang risiko keamanan pangan, mencegah bahaya dalam keamanan pangan, dan menyampaikan kesesuaian hukum. Maka dari itu kelompok 3 mengunjugi pambrik tempe untuk melakukan kunjungan industri dan memperhatikan, mempelajadi, menggali informasi mengenai Hazard Analysis & Crtitical Control Point di setiap tahapan p roduksinya. Sekaligus di akhir kunjungan memb erikan saran yang baik kepada pabrik tempe yang dikunjungi mengenai HACCCP serta Hygine & Sanitasi agar pabrik tempe jauh menjadi pabrik yang baik.
1.2 Permasalahan 1) Banyak pabrik industry rumah tangga atau pabrik industry besar yang belum melakukan HACCP
2) Banyak Pabrik industry rumah tangga atau pabrik industry besar yang belum memahami dan menerapkan Hygine dan Sanitasi dalam produksi produknya
3
3) Banyak Pabrik industry rumah tangga atau pabrik industry besar yang belum memahami dan menerapkan keamanan pangan dalam produksi produknya
1.3 Tujuan
Umum
Dari kunjungan industry yang dilakukan mahasiswa mendapatkan sebanyak informasi dan dapat membuat Hazard Analysis & Critical Control Point dari produk yang di produksi Industry dan memberikan sara dan masukan yang baik bagi pemilik pabrik industry.
Khusus
1)
Melakukan wawancara denga pemilik pabrik
2)
Memperhatikan dan mencatat di setiap proses produk si ( persiapan, pengolahan, packaging, distribusi)
3)
Mendokumentasi kunjungan industry
4)
Membuat laporan kujungan industry
1.4 Manfaat
Bagi Siswa
1)
Dapat menyelesaikan tugas matakuliah PMP
2)
Melihat cara kerja, dan berbagai macam alat – alat produksi yang digunakan
3)
Mendapat gambaran umum tentang risiko keamanan pangan, mencegah bahaya dalam keamanan pangan di pabrik industry pangan.
4
Bagi Industri
1)
Dapat berbagi ilmu dengan mahasiswa
2)
Mengajak dan memperlihatkan proses produksi bagi mahasiswa
3)
Memperkenalkan sejarah singkat berdirinya industri kepada mahasiswa
4)
Memperkenalkan hasil produksi kepada masyarakat luas.
5)
Mendapatkan saran dan masukan yang sifatnya membangun dari mahasiswa
5
BAB II TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Pengertian HAACP
HACCP adalah suatu sistem control dalam upaya pencegahan terjadinya masalah yang didasarkan atas identifikasi titik-titik kritis didalam tahap penangananan dan proses produksi. HACCP merupakan salah satu bentuk manajemen resiko yang dikembangkan untuk menjamin keamanan pangan dengan pendekatan pencegahan (preventif) yang dianggap dapat memberikan jaminan dalam mengahsilkan makanan yang aman bagi konsumen. Kunci utama HACCP adalah antisipasi bahaya dan identifikasi titik pengawasan yang mengutamakan kepada tindakan pencegahan dari pada mengandalkan kepada pengujian produk akhir.Sistem HACCP bukan merupakan sistem jaminan keamanan pangan yang zero-risk atau tanpa resiko, tetapi dirancang untuk meminimumkan resiko bahaya keamanan pangan. Sistem HACCP juga dianggap sebagai alat manajemen yang digunakan untuk memproteksi rantai pasokan pangan dan proses produksi terhadap kontaminasi bahaya-bahaya mikrobilogis, kimia dan fisik. HACCP dapat diterapkan dalam rantai produksi pangan mulai dari produsen utama bahan baku pangan (pertanian), penanganan, pengolahan, distribusi, pemasaran hingga sampai kepada pengguna akhir. Keberhasilan dalam penerapan HACCP membutuhkan tanggung jawab penuh dan keterlibatan manajemen serta tenaga kerja. Keberhasilan penerapan HACCP juga membutuhkan pendekatan tim, tim ini harus terdiri dari tenaga ahli yang tepat. Tujuan dari penerapan HACCP dalam industri pangan adalah untuk mencegah terjadinya bahaya sehingga dapat dipakai sebagai jaminan mutu pangan guna memenuhi tuntutan konsumen.HACCP bersifat sebagai sistem pengendalian mutu sejak bahan baku dipersiapkan sampai produk akhir diproduksi dan didistribusikan. HACCP juga berfungsi sebagai promosi perdagangan di era pasar global yang memiliki daya saing kompetitif.
6
2.1.1 Penerapan HACCP Panduan Penerapan Sistem HACCP
Program-program yang harus dijalankan sebelum penerapan HACCP Sebelum mengembangkan suatu pendekatan HACCP ada satu aturan dasar yang harus diamati:
Ketika menerapkan HACCP dalam suatu industri pangan, langkah pertama yang harus dilakukan adalah meninjau program yang sudah ada untuk mencek ulang apakah seluruh persyaratan telah dipenuhi dan jika perlu pengendalian dan dokumentasi (misalnya deskripsi program, orang-orang yang berwenang dan catatan pengawasan) tersedia.
Persyaratan-persyaratan yang harus dipenuhi sebelum melaksanakan HACCP serta hasil-hasil yang diharapkan dari terpenuhinya persyaratan-persyaratan tersebut terdapat dalam the Annexe of Directives 93/43/EEC.
Program-program yang harus dijalankan sebelumnya: Tahapan-tahapan umum dan atau prosedur yang mengendalikan kondisi operasi dalam suatu perusahaan terdaftar yang memungkinkan untuk mengelola kondisi lingkungan agar mendukung untuk memproduksi makanan yang aman, seperti:
Perancangan tempat dan peralatan
Penyimpanan dan transportasi
Pencatatan
Catatan kesehatan dan keselamatan
Higiene perseorangan dan perilakunya
Pembersihan /disinfeksi
Pengendalian hama
7
Keuntungan yang dapat diperoleh Panduan Codex mensyaratkan bahwa:
Sebelum penerapan HACCP ke sektor apapun juga dalam rantai makanan, sektor tersebut harus beroperasi sesuai dengan Prinsip prinsip Umum Codex untuk Higiene Pangan, Pedoman Praktis Codex yang sesuai dan Peraturan Keamanan Pangan yang sesuai.
Jika dalam program yang disyaratkan tersebut ada hal yang tidak dilakukan dengan cukup, maka titik pengendalian kritis tambahan harus diidentifikasi, diawasi dan dipelihara dalam rencana HACCP yang bersangkutan.
Pelaksanaan program pendahuluan akan mempermudah penyusunan rencana pelaksanaan HACCP dan menjamin bahwa integritas rencana HACCP dapat dipelihara.
Semakin banyak titik-titik pengendalian kritis yang ada akan semakin sulit pengelolaan sistem HACCP yang harus dihadapi.
CCP tidak dapat dikendalikan secara efektif dalam lingkungan yang tidak stabil.
Konsep-konsep yang penting lainnya yaitu pada saat identifikasi potensi bahaya, evaluasi dan operasi-operasi berikutnya dalam merancang dan menerapkan sistem HACCP, hal-hal berikut ini harus di pertimbangkan, yaitu:
Dampak bahan mentah, bahan baku dan cara-cara pembuatan makanan
Peranan proses pembuatan makanan untuk mengendalikan potensi bahaya.
Kecenderungan penggunaan produk akhir
Hal-hal yang menjadi kekhawatiran konsumen
Bukti epidemiologi yang berubungan dengan keamanan pangan Penerapan HACCP harus ditinjau ulang dan perubahan-perubahan yang diperlukan harus dibuat jika suatu modifikasi akan
dilakukan pada produk, proses atau tahap apapun juga. Ketika menerapkan HACCP, fleksibilittas adalah hal yang penting bilamana dibutuhkan, dengan demikian kon teks penerapan harus mempertimbangkan sifat dan ukuran operasi yang bersangkutan. Sebagai alat bantu 8
dalam pengembangan pelatihan khusus untuk mendukung rencana HACCP, instruksi kerja dan prosedur harus dikembangkan sedemikian rupa sehingga dapat mendefinisikan tugas orang yang mengoperasikan pada masing-masing titik pengendalian kritis (CCP). HACCP harus diterapkan pada masing-masing operasi secara terpisah. Tiga kategori potensi bahaya fisik: 1. Potensi bahaya biologis: a. Bakteri patogen (kontaminasi, pertumbuhan, ketahanan) beserta toksin-toksin yang dihasilkannya b. Virus c. Jamur dan mikotoksin d. Protozoa 2. Potensi bahaya kimia a. Polutan (logam berat...) b. Produk-produk beracun (pestisida, asam, mineral oils, produk- produk yang bocor dari mesin,…) c. Residu obat-obatan hewan dan pestisida. 3. Potensi bahaya fisik: a. Serpihan gelas atau logam dari mesin atau wadah b. Benda-benda asing seperti pasir, kerikil atau potongan kayu. 2.1.2 Prinsip-Prinsip HACCP
Sistem HACCP didasarkan pada 7 prinsip berikut ini:
Prinsip 1
Melakukan suatu analisis potensi bahaya
9
Prinsip 2
Menentukan Titik-titik Pengendalian Kritis atau Critical Control Points (CCPs)
Prinsip 3
Menyusun batas-batas kritis
Prinsip 4
Menyusun suatu sistem untuk mengawasi pengendalian CCP.
Prinsip 5
Menyusun tindakan-tindakan perbaikan yang harus diambil ketika pengawasan menunjukkan bahwa suatu titik pengendalian kritis (CCP) berada diluar kendali.
Prinsip 6
Menyusun prosedur pengecekan ulang untuk memastikan bahwa sistem HACCP dapat bekerja dengan efektif.
Prinsip 7
Menyusun dokumentasi yang berhubungan dengan semua prosedur dan catatan-catatan yang sesuai untuk prinsip-prinsip ini beserta aplikasinya.
10
2.1.3 Penerapan Prinsip-Prinsip HACCP
11
2.1.3.1 Menyusun Tim HACCP
a. Mendefinisikan dan mendokumentasi kebijakan keamanan pangan Meskipun hal ini mungkin tidak secara eksplisit disyaratkan oleh Codex, namun tahap ini sangat disarankan sehingga pihak manajemen perusahaan dapat menunjukkan komitmennya terhadap keamanan pangan dan pengembangan sistem HACCP. Ahli-ahli HACCP telah menyarankan bahwa kebijakan yang dikatakan secara oral harus didefinisikan dan didokumentasikan termasuk tujuan-tujuannya dan komitmennya terhadap keamanan produk. Hal tersebut harus difokuskan pada keamanan dan higiene bahan pangan dan harus disesuaikan dengan harapan dan kebutuhan konsumen. b. Mendefinisikan lingkup rencana HACCP Lingkup rencana HACCP (atau bidang yang akan dipelajari) harus didefinisikan sebelumnya sebelum memulai studi HACCP. Bagian dari studi HACCP termasuk:
Membatasi studi pada produk atau proses tertentu
Mendefinisikan jenis potensi bahaya yang akan dimasukkan
Mendefinisikan bagian rantai makanan yang akan d ipelajari
c. Menyusun tim HACCP Tim bisa terdiri dari 4-10 orang yang menguasai produk dan potensi bahaya yang hendak diperhatikan. Sebagai acuan, tim HAACP ini terdiri dari pemimpin produksi, quality control, bagian teknis dan perawatan. Tim ini harus dipilih oleh pihak manajemen (komitmen pihak manajemen adalah syarat paling awal yang harus ada untuk mensukseskan studi). Perencanaan, organisasi dan identifikasi subersumber daya yang penting adalah tiga kondisi yang penting untuk penerapan metode HACCP yang berhasil.
12
Kesuksesan studi ini tergantung pada: o
Pengetahuan dan kompetensi anggota-anggota tim terhadap produk, proses dan potensi bahaya yang perlu diperhatikan,
o
Pelatihan yang sudah mereka jalani tentang prinsip-prinsip metode ini.
o
Kompetensi pelatih
2.1.3.2 Deskripsikan Produk
Menurut Codex Alimentarius, uraian lengkap dari produk ini berhubungan dengan prioritas produk akhir. Uraian produk akan menjelaskan:
Karakteristik umum (komposisi, volume, struktur, dst)
Struktur fisikokimia (pH, aktivitas air, jumlah dan jenis kurator, atmosfir termodifikasi)
Bahan pengemas dan cara pengemasan
Kondisi penyimpanan, informasi tentang pelabelan, instruksi untuk pengawetan (suhu, batas umur simpan) dan penggunaannya.
Kondisi distribusi
Kondisi penggunaan oleh konsumen
Pada prakteknya, informasi ini juga perlu dikumpulkan untuk bahan mentah, bahan baku, produk antara dan produk yang harus diproses ulang jika bahan-bahan tersebut memiliki karakteristik tertentu. Informasi yang berhubungan dengan karaktersitik yang dapat berpengaruh terhadap potensi bahaya yang akan dipertimbangkan (misalnya suhu, pengawetan atau aktivitas air yang berhubungan dengan bakteria) akan dikumpulkan pertama kali. Tahapan ini sangat penting dan tidak boleh diremehkan. Tujuannya adalah untuk mengumpulkan informasi yang dapat diandalkan tentang suatu produk, komposisi, perilaku, umur simpan, tujuan akhir, dan sebagainya. Keraguan akan ketidakpastian (pH, Aw dan
13
sebagainya) harus dihilangkan pada tahapan studi ini, jika perlu dengan cara percobaan dan pengujian. Data yang dikumpulkan akan digunakan pada tahap berikutnya dalam studi HACCP, terutama untuk melengkapi Tahap 6 (analisis potensi bahaya) dan tahap 8 (batas kritis).
2.1.3.3 Identifikasi Tujuan Penggunaan
Peruntukan penggunaan harus didasarkan kepada kegunaan yang diharapkan dari produk oleh pengguna akhir atau konsumen Tujuan pengunaan ini harus didasarkan pada manfaat yang diharapkan dari produk oleh pengguna akhir atau konsumen. Pengelompokan konsumen penting dilakukan untuk melakukan tingkat resiko dari setiap produk. Tujuan penggunaan ini dimaksudkan untuk memberi informasi apakah produk tersebut dapat didistribusikan kepada semua populasi atau hanya populasi khusus yang sensitif (balita, manula, orang sakit, dll) sedangkan cara menangani dan mengkonsumsi prosuk juga penting untuk selalu memberi perhatian, misalnya prosuk siap santap memerlukan perhatian khusus untuk mencegah terjadinya kontaminasi. Dokumen Petunjuk Penggunaan Produk harus sebagai berikut:
Menunjukkan bahwa telah benar-benar memperhatikan proses pengumpulan dan pengkajian ulang informasi tentang petunjuk penggunaan oleh konsumen.
Menggambarkan kepedulian anda akan keamanan konsumen
Berisi referensi untuk melakukan pengujian, studi dan hasil analisa yang mendukung informasi yang diberikan oleh dokumen yang disebutkan tadi.
14
2.1.3.4 Menyusun Diagram Alir
a. Menyiapkan Diagram Alir yang Rinci Diagram alir harus mencakup seluruh tahapan dalam operasi produk yang telah ditentukan dalam studi (lingkup rencana HACCP). Sebuah diagram alir adalan penyajian yang mewakili tahapan-tahapan operasi yang saling berkesinambungan. Diagram alir proses akan mengidentifikasi tahapan-tahapan proses yang penting (dari penerimaan hingga perjalanan akhir produk yang s edang dipelajari. Rincian yang tersedia harus cukup rinci dan berguna untuk tahapan analisis potensi bahaya, namun harus ada kesetimbangan antara keinginan untuk mencantumkan terlalu banyak tahapan dan keinginan untuk menyederhanakan secara berlebihan sehingga rencana yang dihasilkan menjadi kurang akurat dan kurang dapat diandalkan. Pada tahapan ini, kemungkinan ada kesulitan tertentu dalam pendefinisian tahapan operasi, dengan kata lain, seberapa jauh proses tersebut harus dibagi dalam tahapan-tahapan proses tersendiri. Pada prakteknya pembagian tahap operasi yang tepat akan memudahkan analisis potensi bahaya. Untuk menyiapkan diagram alir:
Mulai dengan membuat diagram yang paling detail yang berisi operasi-operasi dasar proses tersebut.
Pertimbangkan urutan operasi-operasi dasar untuk menentukan bagaimana b eberapa operasi dasar dapat dikelompokkan kembali dalam sebuah TAHAPAN proses. Penyiapan diagram alir adalah tahapan yang sulit dan sangat penting serta memerlukan pembahasan yang mendalam antar seluruh
anggtota tim HACCP. Bila mana perlu, informasi pelengkap dapat b erupa:
Masukan: bahan mentah, bahan baku, produk antara selama proses
15
KARAKTERISTIK (parameter, kendala) tiap tahapan proses: o
Aliran internal, termasuk tahap daur ulang
o
Parameter waktu dan suhu
o
Kondisi antar muka (perubahan dari satu tahap ke tahap yang lain)
Kontak produk dengan lingkungan (kemungkinan kontaminasi dan atau kon taminasi silang).
Prosedur pembersihan-disinfeksi dan proses
Kondisi penyimpanan dan distribusi peralatan dan produk
Petunjuk yang diberikan untuk penggunaan produk.
b. Penyiapan Skema Pabrik Sebuah skema pabrik harus dibuat untuk menggambarkan aliran produk dan lalu lintas pekerja untuk memproduksi produk yang sedang dipelajari. Diagram tersebut harus berisi aliran seluruh bahan baku dan bahan pengemas mulai dari saat bahan-bahan tersebut diterima, disimpan, disiapkan, diolah, dikemas/digunakan untuk mengemas, disimpan kembali hingga didistribusikan. Diagram alir pekerja harus menggambarkan pergerekan pekerja di dalam pabrik termasuk ruang ganti, ruang cuci dan ruang makan siang. Lokasi tempat cuci tangan dan cuci kaki (jika ada) juga harus dicatat. Skema ini harus dapat membantu mengidentifikasi wilayah yang memungkinkan terjadinya kontaminasi silang di dalam proses produksi. Diantara semua informasi yang berharga yang harus d ikumpulkan, informasi-informasi berikut ini wajib diperoleh:
Bangunan: sifat, konstruksi, pengaturan
Sifat, fungsi dan jumlah tahapan proses 16
Kemungkinan terdapatnya wilayah yang dilindungi
Sifat sambungan dan peralatan
Aliran internal:
Gerakan udara
Penggunaan air
Pergantian staff
Skema pabrik harus memberikan informasi tentang:
Bagaimana kontaminasi silang dikendalikan
Bagaimana kontaminasi dari lingkungan dikendalikan
Bagaimana higiene perorangan dapat ditegakkan
Dimana resiko terjadinya kontaminasi silang
2.1.3.5 Verifikasi Diagram Alir Proses
Tim HACCP harus memverifikasi proses pengolahan yang sesungguhnya dengan diagram alir dan skema pabrik pada seluruh tahapan dan jam operasi dan bila mana perlu mengubah dokumen tersebut. Tujuannya adalah memvalidasi asumsi-asumsi yang dibuat berdasarkan tahapan-tahapan proses serta pergerakan produk dan pekerja di lokasi pengolahan pangan. Seluruh anggota tim HACCP harus dilibatkan. Proses verifikasi tahap ini harus diprioritaskan pada tinjauan tentang proses yang dilakukan di pabrik pada waktu-waktu yang berbeda pada saat operasi, termasuk pada shift yang berbeda (bila ada). Pada shift yang berbeda bisa terjadi perbedaan-perbedaan.
17
Selain itu, pada saat yang sama disarankan juga untuk: o
Meninjau sistem pengawasan dan prosedur pencatatan (keberadaan, dan ketersediaannya untuk digunakan oleh petugas yang berwenang, pendistribusian kembali, peralatan yang digunakan. Kalibrasi peralatan untuk pengukuran, dsb).
o
Menguji bagaimana operator memahami dan menerapkan prosedur tertulis dan mengoperasikannya termasuk mengawasi dan melakukan prosedur penyimpanan catatan.
o
Meninjau penerapan program-program yang disyaratkan sebelumnya.
Demi keakuratan studi HACCP, konfirmasi ini tidak boleh diabaikan. Pada semua kasus, verifikasi akan menimbulkan penyesuaian kembali diagram awal (diagram alir). Penyesuaian kembali yang dapat menampilkan situasi sesungguhnya hanya dapat diperoleh dengan memperinci catatan tentang jalannya operasi di lapang, di pabrik melalui pengamatan dan wawancara dengan operator dan manajer suatu proses produksi. Jika tahap ini tidak dilakukan dengan teliti maka analisis yang dilakukan selanjutnya bisa keliru. Potensi bahaya yang sesungguhnya bisa tid ak teridentifikasi dan titik -titik yang bukan titik pengendalian kritis (CCP) teridentifikasi sebagai CCP. Dengan demikian maka perusahaan telah membuang-buang sumber daya dan tingkat keamanan produk menjadi berkurang.
2.1.3.6 Tahap Analisis Pelaksanaan HACCP
Setelah lima tahap pendahuluan terpenuhi, tim HACCP melakukan analisa bahaya dan mengindentifikasi bahaya beserta cara-cara pencegahan untuk mengendalikannya. Analisa bahaya amat penting untuk dilakukan terhadap bahan baku, komposisi, setiap tahapan proses produksi, penyimpanan produk, dan distribusi, hingga tahap p enggunaan oleh konsumen. Tujuan analisis bahaya adalah untuk mengenali bahaya-bahaya apa saja yang mungkin terjadi dalam suatu proses pengolahan sejak awal hingga ke tangan konsumen.
18
Analisis bahaya terdiri dari tiga tahap yaitu, identifikasi bahaya, penetapan tindakan pencegahan (preventive measure), dan penentuan kategori resiko atau signifikansi suatu bahaya. Dengan demikian, perlu dipersiapkan daftar bahan mentah d an ingredient yang digunakan dalam proses, diagram alir proses yang telah diverifikasi, serta deskripsi dan penggunaan produk yang mencakup kelompok konsumen beserta cara konsumsinya, cara penyimpanan, dan lain sebagainya. Bahaya (hazard) adalah suatu kemungkinan terjadinya masalah atau resiko secara fisik, kimia dan biologi dalam suatu produk pangan yang dapat menyebabkan gangguan kesehatan pada manusia. Bahaya-bahaya tersebut dapat dikategorikan ke dalam enam kategori bahaya, yaitu bahaya A sampai F . Tabel 1. Jenis-Jenis Bahaya Jenis Bahaya
Contoh Sel Vegetatif : Salmonella sp, Escherichia coli
Biologi
Kapang
: Aspergillus, Penicillium, Fusarium
Virus
: Hepatitis A
Parasit
: Cryptosporodium sp
Spora bakteri : Clostridium botulinum, Bacillus cereus Kimia
Fisik
Toksin mikroba, bahan tambahan yang tidak diizinkan, residu pestisida, logam berat, bahan allergen Pecahan kaca, potongan kaleng, ranting kayu, batu atau kerikil, rambut, kuku, perhiasan
Tabel 2. Karakteristik Bahaya 19
Kelompok Bahaya
Karakteristik Bahaya Produk-produk pangan yang tidak steril dan dibuat untuk
Bahaya A
konsumsi kelompok beresiko (lansia, bayi, immunocompromised )
Bahaya B
Produk mengandung ingridient sensitif terhadap bahaya biologi, kimia atau fisik Proses tidak memiliki tahap pengolahan yang terkendali yang
Bahaya C
secara efektif membunuh mikroba berbahaya atau menghilangkan bahaya kimia atau fisik
Bahaya D
Bahaya E
Produk mungkin mengalami rekontaminasi setelah pengolahan sebelum pengemasan Ada potensi terjadinya kesalahan penanganan selama distribusi atau oleh konsumen yang menyebabkan produk berbahaya Tidak ada tahap pemanasan akhir setelah pengemasan atau di tangan kosumen atau tidak ada pemanasan akhir atau tahap
Bahaya F
pemusnahan mikroba setelah pengemasan sebelum memasuki pabrik (untuk bahan baku ) atau tidak ada cara apapun bagi konsumen untuk mendeteksi, menghilangkan atau menghancurkan bahaya kimia atau fisik
20
Tindakan pencegahan ( preventive measure ) adalah kegiatan yang dapat menghilangkan bahaya atau menurunkan bahaya sampai ke batas aman. Beberapa bahaya yang ada dapat dicegah atau diminimalkan melalui penerapan prasyarat dasar pendukung sistem HACCP seperti GMP ( Good Manufacturing Practices) , SSOP ( Sanitation Standard Operational Procedure) , SOP ( Standard Operational Procedure ), dan sistem pendukung lainnya. Untuk menentukan resiko atau peluang tentang terjadinya suatu bahaya, maka dapat dilakukan penetapan kategori resiko. Dari beberapa banyak bahaya yang dimiliki oleh suatu bahan baku, maka da pat diterapkan kategori resiko I sampai VI ( Tabel 3 ). Selain itu, bahaya yang ada dapat juga dikelompokkan berdasarkan signifikansinya ( Tabel 4 ). Signifikansi bahaya dapat diputuskan oleh tim dengan mempertimbangkan peluang terjadinya ( reasonably likely to occur ) dan keparahan ( severity ) suatu bahaya. Tabel 3. Penetapan Kategori resiko Karakteristik Bahaya
Kategori Resiko
Jenis bahaya
0
0
Tidak mengandung bahaya A sampai F
(+)
I
Mengandung satu bahaya B sampai F
(++)
II
Mengandung dua bahaya B sampai F
(+ + +)
III
Mengandung tiga bahaya B sampai F
(+ + + +)
IV
Mengandung empat bahaya B sampai F
(+ + + + +)
V
Mengandung lima bahaya B sampai F
A+ (kategori khusus) dengan atau tanpa bahaya B-F
VI
Kategori resiko paling tinggi (semua produk yang mempunyai bahaya A)
21
Tabel 4. Signifikansi Bahaya Tingkat Keparahan (Severity) L
M
H
l
Ll
Ml
Hl
m
Lm
Mm
Hm*
h
Lh
Mh*
Hh*
Peluang Terjadi (Reasonably likely to occur)
Umumnya dianggap signifikan dan akan diteruskan/dipertimbangkan dalam penetapan CCP Keterangan : L=l= low, M=m= medium, H=h=high
Analisa bahaya adalah salah satu hal yang sangat penting dalam penyusunan suatu rencana HACCP. Untuk menetapkan rencana dalam rangka mencegah bahaya keamanan pangan, maka bahaya yang signifikan atau beresiko tinggi dan tindakan pencegahan harus diidentifikasi. Hanya bahaya yang signifikan atau yang memiliki resiko tinggi yang perlu dipertimbangkan dalam penetapan critical control point .
22
2.1.3.7 Menentukan Titik Pengendalian Kritis
A. Definisi CCP (Critical Control Point) atau titik pengendalian kritis didefinisikan sebagai: “CCP atau Titik Kendali Kritis didefinisikan sebagai suatu titik, langkah atau prosedur dimana pengendalian dapat diterapkan dan bahaya keamanan pangan dapat dicegah, dihilangkan atau diturunkan sampai ke batas yang dapat diterima. diterima. Pada setiap bahaya yang telah diidentifikasi dalam proses sebelumnya, maka dapat ditentukan satu atau beberapa CCP dimana suatu bahaya dapat dikendalikan. Dengan demikian,: “ Jika suatu potensi bahaya bahaya telah diidentifikasi pada suatu tahapan dimana pengendalian diperlukan untuk menjamin keamanan produk, dan tidak ada upaya pengendalian lain yang ada pada tahapan ini, maka produk atau proses tersebut h arus dimodifikasi pada tahapan tersebut atau pada pad a tahap sebelum atau sesudahnya agar dapat dikendalikan.”
B. Penentuan CCP Penentuan CCP dilandaskan pada penilaian tingkat keseriusan dan kecenderungan kemunculan potensi bahaya serta hal-hal yang dapat dilakukan untuk menghilangkan, mencegah atau mengurangi potensi bahaya pada suatu tahap pengolahan. Pemilihan CCP dibuat berdasarkan pada:
Potensi bahaya yang teridentifikasi dan kecenderungan kemunculannya dalam hubungannya dengan hal-hal yang dapat menimbulkan kontaminasi yang tidak dapat diterima.
Operasi dimana produk tersebut terpengaruh selama pengolahan, p ersiapan dan sebagainya.
Tujuan penggunaan produk.
23
24
Gambar 9. Diagram Pohon keputusan untuk penentuan titik kendali mutu (Sumber : European Committee for Standardisation, 2004)
CCP yang terpisah tidak harus ditujukan untuk masing-masing potensi bahaya. Namun demikian harus dilakukan usaha-usaha untuk menjamin penghilangan, pencegahan atau pengurangan seluruh potensi bahaya yang teridentifikasi. Identifikasi CCP sesungguhnya sangat dibantu oleh pemahaman yang benar terhadap pertanyaan-pertanyaan yang muncul dalam pohon keputusan. Pemahaman ini sangatlah mendasar. Contoh CCP antara lain: pemasakan, pengendalian formulasi, pendinginan, dsb.
Pemasakan: bahan mentah yang digunakan sering kali mengandung patogen, dengan demikian pengawasan pada saat penerimaan mungkin merupakan titik pengendalian kritis, tergantung pada asal dan penggunaan produk tersebut. Jika ada satu atau lebih tahapan selama pengolahan (misalnya pemasakan) yang dapat mengilangkan atau mengurangi sebagian besar potensi biaya biologis, maka pemasakan akan menjadi CCP (titik pengendalian pengendalian kritis).
Pengendalian formulasi bisa menjadi CCP. Beberapa bahan baku mempengaruhi pH atau kadar Aw makanan sehingga dapat mencegah pertumbuhan bakteri. Serupa dengan hal tersebut, garam curing menciptakan lingkungan yang selektif un tuk pertumbuhan mikrobia. Nitrit pada jumlah yang cukup akan akan mencegah pertumbuhan spora yang terluka terluka karena panas. Dengan demikian, demikian, pada produk-produk tertentu, konsentrasi garam yang cukup tinggi serta nitrit dapat dimasukkan sebagai CCP dan diawasi untuk menjamin keamanannya.
Pendinginan bisa menjadi CCP pada beberapa produk. Penurunan suhu yang cepat pada makanan yang dipasteurisasi adalah proses yang sangat penting karena pasteurisasi tidak mensterilkan produk namun hanya mengurangi beban bakteri hingga ke tingkat tertentu. Spora yang dapat bertahan pada proses ini akan tumbuh jika ada pendinginan yang tidak tepat atau pendinginan yang tidak cukup selama penyimpanan produk yang tidak stabil selama penyimpanan. 25
Pada area yang sangat sensitif terhadap mikrobia (misalnya pengemasan makanan siap santap), praktek-praktek higiene tertentu mungkin harus dianggap sebagai CCP.
2.1.3.8 Menyusun Batas Kritis
Critical limit (CL) atau batas kritis adalah suatu kriteria yang harus dipenuhi untuk setiap tindakan pencegahan yang ditujukan untuk menghilangkan atau mengurangi bahaya sampai batas aman. Batas ini akan memisahkan antara "yang diterima" dan "yang ditolak", berupa kisaran toleransi pada setiap CCP. Batas kritis ditetapkan untuk menjamin bahwa CCP dapat dikendalikan dengan baik. Penetapan batas kritis haruslah dapat dijustifikasi, artinya memiliki alasan kuat mengapa batas tersebut digunakan dan harus dapat divalidasi artinya sesuai dengan persyaratan yang ditetapkan serta dapat diukur. Penentuan batas kritis ini biasanya dilakukan berdasarkan studi literatur, regulasi pemerintah, para ahli di bidang mikrobiologi maupun kimia, CODEX dan lain sebagainya. Untuk menetapkan CL maka pertanyaan yang harus dijawab adalah : apakah komponen kritis yang berhubungan dengan CCP? Suatu CCP mungkin memiliki berbagai komponen yang harus dikendalikan untuk menjamin keamanan produk. Secara umum batas kritis dapat digolongkan ke dalam batas fisik (suhu, waktu), batas kimia (pH, kadar garam). Penggunaan batas mikrobiologi (jumlah mikroba dan sebagainya) sebaiknya dihindari karena memerlukan waktu untuk mengukurnya, kecuali jika terdapat uji cepat untuk pengukuran tersebut. Tabel 5 menunjukkan contoh batas kritis suatu proses dalam industri pangan.
26
Tabel 5. Contoh Critical Limit (Batas Kritis) Pada CCP Critical Control Point
Komponen Kritis Suhu awal
Proses Sterilisasi Makanan Kaleng
Berat kaleng setelah diisi Isi kaleng Tebal hamburger
Pemanasan hamburger
Suhu pemanasan Waktu pemanasan
Penambahan asam ke minuman asam PH produk akhir
Deteksi logam pada pengolahan biji bijian
Kalibrasi detektor Sensitivitas detektor
27
2.1.3.9. Prosedur Pemantauan CCP
"Pengawasan adalah pengukuran atau pengawasan yang terjadwal dari suatu CCP relatif dengan batas kritisnya.”
Sistem pengawasan harus mampu mendeteksi seluruh penyimpangan dari pengendalian
Pengawasan idealnya harus dapat memberikan informasi ini tepat pada waktunya agar dapat dilakukan penyesuaian yang perlu serta tindakan perbaikan bila mana perlu. Jika mungkin, penyesuaian proses harus dapat dibuat ketika proses pengawasan menunjukkan suatu trend yang mengarah pada
hilangnya pengenadalian pada titik-titik kritis, Penyesuaian harus diambil sebelum terjadi penyimpangan. Data yang dihasilkan dari pengawasan harus di etrjemahkan dalam dokumentasi tetrtulis dan dievaluasi oleh orang yang berwenang
dan memiliki pengetahuan serta kekuasan untuk melakukan tindakan perbaikan bilamana perlu. Jika pengawasan tidak dilakukan terus menerus, maka jumlah atau frekuensi pengawasan harus cukup untuk menjamin bahwa CCP
masih dibawah kendali. Semua catatan dan dokumen yang berhubungan dengan pengawasan CCp harus ditandatangani oleh orang yang melakukan
pengawasan dan oleh petugas peninjau yang bertanggung jawab dalam perusahaan tersebut. Pada prakteknya, sistem pengawasan harus distandarisasi dengan men yusun prosedur operasi yang sesuai dan dapat menjelaskan:
Sifat dan prinsip pengujian, metode atau teknik yang digunakan
28
Frekuensi pengamatan, letak atau lokasi dilakukannya pengamatan
Alat yang digunakan, proses atau rencana pengambilan sampel
Tanggung jawab pengawasan an interpretasi hasil
Peredaran informasi.
2.1.3.10 Penetapan Tidakan Koreksi
Tindakan koreksi atau perbaikan dilakukan apabila terjadi penyimpangan terhadap batas kritis suatu CCP. Tindakan koreksi yang dilakukan jika terjadi penyimpangan, sangat tergantung pada tingkat risiko produk pangan. Pada produk pangan berisiko tinggi misalnya, tindakan koreksi dapat berupa penghentian proses produksi sebelum semua penyimpangan dikoreksi/diperbaiki, atau produk ditahan/tidak dipasarkan dan diuji keamanannya. Tindakan perbaikan tertentu harus dikembangkan untuk masing-maisng CCP dalam sistem HACCP agar dapat mengatasi penyimpangan bilamana ada. Tindakan-tindakan ini harus dapat menjamin vahwa CCP telah dikendalikan. Tindakan-tindakan yang dilakukan juga harus melibatkan penyingkiran produk. Penyimpangan dan prosedur pembuangan produk harus didokumentasikan dalam sistem pencatatan HACCP. Tahapan yang dibuat harus memungkinkan pendefinisian tindakan yang harus diambil ketika sistem pengawsan menunjukkan bahwa terjadi pelalaian pelanggaran pengendalian pada suatu CCP. Pada prakteknya, “tindakan perbaikan” yang dilakukan di sini termasuk:
Tindakan sertamerta pada proses agar dapat segera kembali ke batas yang disyaratkan
Tindakan sertamerta pada produk mungkin di pengaruhi oleh penyimpangan yang teramati.
Tindakan yang berbeda untuk menghindari terulangnya penyimpangan (tindakan perbaikan yang sesuai dengan seri ISO 9000) 29
Catatan yang dibuat harus berisi:
Sifat penyimpangan
Penyebab penyimpangan
Tindakan perbaikan yang dilakukan
Orang yang bertanggung jawab terhadap tindakan perbaikan
Tindakan lain yang dicapai
Semua penyimpangan yang mungkin terjadi tidak dapat diantisipasi sehingga tindakan perbaikan tidak boleh dilakukan sebelumnya. Dengan demikian disarankan untuk menduga kasus penyimpangan yang paling sering terjadi dan atau mendefinisikan mekanismenya, pengaturannya, pihak yang berwenang, serta tanggung jawab secara umum untuk diterapkan setelah terjadi penyimpangan apapun juga.
2.1.3.11 Verifikasi Program HACCP
Verifikasi adalah metode, prosedur dan uji yang digunakan untuk menentukan bahwa sistem HACCP telah sesuai dengan rencana HACCP yang ditetapkan. Dengan verifikasi maka diharapkan bahwa kesesuaian program HACCP dapat diperiksa dan efektifitas pelaksanaan HACCP dapat dijamin. Beberapa kegiatan verifikasi misalnya:
Penetapan jadwal inspeksi verifikasi yang tepat
Pemeriksaan kembali rencana HACCP
Pemeriksaan catatan CCP
Pemeriksaan catatan penyimpangan dan disposisi inspeksi visual terhadap kegiatan untuk mengamati jika CCP tidak terkendalikan 30
Pengambilan contoh secara acak
Catatan tertulis mengenai inspeksi verifikasi yang menentukan kesesuaian dengan rencana HACCP, atau penyimpangan dari rencana dan tindakan koreksi yang dilakukan.
Verifikasi harus dilakukan secara rutin dan tidak terduga untuk menjamin bahwa CCP yang ditetapkan masih dapat dikendalikan. Verifikasi juga dilakukan jika ada informasi baru mengenai keamanan pangan atau jika terjadi keracunan makanan oleh produk tersebut.
2.1.3.12 Penyimpanan Catatan dan Dokumentasi
Prosedur HACCP harus didokumentasikan dan harus sesuai dengan sifat dan ukuran operasi. Sistem pendokumentasian yang praktis dan tepat sangatlah penting untuk aplikasi yang efeisien dan penerapan sistem HACCP yang efektif.
Ada 3 hal yang termasuk dalam dokumen: 1. semua studi tentang dokumen HACCP yang berisi rincian tentang pertimbangan ilmiah CCP (titik-titik pengendalian kritis), batas kritis, sistem pengawasan dan tindakan perbaikan. 2. Dokumentasi tentang sistem: prosedur, cara operasi, instruksi kerja yang mengacu pada setiap titik dalam metode tersebut. Dokumendokumen ini menyusun rencana HACCP. 3. Penyimpanan catatan (studi laporan HACCP, hasil penerapan sistem, pengambilan keputusan) sehingga dapat menggambarkan penerapan permanen sistem HACCP.
31
Dokumen-dokumen ini harus terus diperbaharui dan ada di setiap tempat ayng memerlukan. Sistem pendokumentasian ini juga harus menjelaskan bagaimana orang-orang yang ada di pabrik dilatih untuk menerapkan rencana HACCP dan harus memasukkan bahan bahan yang digunakan dalam pelatihan pekerja.
2.2 Tempe
Tempe adalah salah satu produk fermentasi yang umumnya berbahan baku kedelai yang difermentasi dan mempunyai nilai gizi yang baik. Fermentasi pada pembuatan tempe terjadi karena aktivitas kapang Rhizopus oligosporus. Fermentasi pada tempe dapat menghilangkan bau langu dari kedelai yang disebabkan oleh aktivitas dari enzim lipoksigenase. Fermentasi kedelai menjadi tempe akan meningkatkan kandungan fosfor. Hal ini disebabkan oleh hasil kerja enzim fitase yang dihasilkan kapang Rhizopus oligosporus yang mampu menghidrolisis asam fitat menjadi inositol dan fhosfat yang bebas. Jenis kapang yang terlibat dalam fermentasi tempe tidak memproduksi toksin, bahkan mampu melindungi tempe dari aflatoksin. Tempe mengandung senyawa antibakteri yang diproduksi oleh kapang tempe selama proses fermentasi (Koswara, 1995). Tempe merupakan sumber protein yang baik. Setiap 100 g tempe mengandung 18-20 g zat protein dan 4 g zat lemak (Tarwotjo, 1998). Tempe juga memiliki berbagai sifat unggul seperti mengandung lemak jenuh rendah, kadar vitamin B12 tinggi, mengandung antibiotik, dan berpengaruh baik pada pertumbuhan badan. Selain itu asam-asam amino pada tempe lebih mudah dicerna oleh tubuh jika dibandingkan dengan kacang kedelai. Vitamin B12 yang terdapat pada tempe diproduksi oleh sejenis bakteri Klabsiella peumoniae. Kekurangan vitamin B12 ini dapat menghambat pembentukan sel darah merah (Koswara, 1995). Perbandingan komposisi kimia kedelai dan tempe per 100 g bahan dapat dilihat pada Tabel 1.
32
Tabel 1. Komposisi kimia kedelai dan tempe per 100 g bahan Komponen
Sumber : Kesehatan RI., 1979
Tempe
Kedelai
Tempe Kedelai
Protein (g)
30,2
18,3
Lemak (g)
15,6
4,0
Karbohidrat (g)
30,1
12,7
Air (g)
20,0
64,0
Direktorat Gizi Departemen
memiliki manfaat baik dari
segi nutrisi maupun manfaat kesehatan. Sebagai sumber nutrisi, tempe berperan sebagai sumber protein dan min eral besi. Sebagai obat dan penunjang kesehatan, tempe b erperan sebagai anti diare (misalnya dalam pembuatan super oralit dari 40-50 g tempe) dan anti bakteri. Senyawa anti bakteri pada tempe dapat menghambat sembilan jenis bakteri gram postitif dan satu jenis bakteri gram negatif, yaitu: Streptococcus lactis, S. cremoris, Leuconostoc dextranicum, L. mesenteroides, Staphylococcus aureus, Bacillus subtillis, Clostridium botulinum, C. sporogenes, C. butyricum, dan Klebsiella pneumoniae(Syarief et al., 1999). Wang dan Hesseltine (1981) menyatakan bahwa Rhizopus oligosporus bahkan dapat mencegah akumulasi aflatoksin yang ada pada kedelai dengan melakukan hidrolisis. Dalam tempe, kadar nitrogen totalnya sedikit bertambah, kadar abu meningkat, tetapi kadar lemak dan kadar nitrogen asal proteinnya berkurang.
Tabel 2. Komposisi Kimia Tempe
33
Komposisi
Jumlah
Air (wb)
61,2 %
Protein kasar (db)
41,5 %
Minyak kasar (db)
22,2 %
Karbohidrat (db)
29,6 %
Abu (db)
4,3 %
Serat kasar (db)
3,4 %
Nitrogen (db)
7,5 %
Sumber: Cahyadi (2006)
2.2.1 Proses Produksi Tempe
Prinsip dasar pembuatan tempe ialah menumbuhkan kapang pada media kedelai gizi pada kedelai (Sarwono, 2003). Proses pembuatan tempe melibatkan tiga faktor pendukung, yaitu bahan baku yang dipakai (kedelai), mikroorganisme (kapang tempe), dan keadaan lingkungan tumbuh (suhu, pH, dan kelembaban). Dalam proses fermentasi tempe kedelai, substrat yang digunakan adalah biji kedelai yang telah direbus dan mikroorganisme yang digunakan berupa kapang antara lain Rhizopus olygosporus, Rhizopus oryzae, Rhizopus stolonifer (dapat terdiri atas kombinasi dua spesies atau ketiganya) dan lingkungan pendukung yang terdiri dari suhu 30˚C, pH awal 6.8, kelembaban nisbi 70-80% (Ferlina, 2009).
34
Sortasi
Pencucian
Perebusan I
Perendaman
Pengupasan
Perebusan II
Penirisan dan Pendinginan
Penginokulasian (peragian)
Pengemasan
Fermentasi
35
Gambar 1. Diagram alir proses pembuatan tempe menurut Hidayat (2009) Bahan baku utama produksi tempe ialah kedelai (Glycine max (L) Merr ). Menurut Ketaren (1986), secara fisik setiap kedelai berbeda dalam hal warna, ukuran dan komposisi kimianya. Perbedaan secara fisik dan kimia tersebut dipengaruhi oleh varietas dan kondisi dimana kedelai tersebut dibudidayakan. Mutu tempe bergantung pada mutu bahan baku yang digunakan. Menurut Supriono (2003), untuk mendapatkan tempe bermutu diperlukan persiapan perlakuan bahan b aku kedelai seperti: 1. Jenis kedelai yang digunakan adalah jenis/varietas Amerika yang mempunyai ciri-ciri biji berwarna kuning, ukurannya lebih besar dari kedelai lokal. 2. Dipilih kedelai yang tua dan baru (tidak terlalu lama di gudang, karena kalau terlalu lama di gudang telah tengik atau berjamur). 3. Dilakukan sortasi dan pemilahan berdasarkan standarisasi kedelai, antara lain yaitu kedelai yang muda dan cacat dibuang. 4. Benda asing dibuang, seperti serangga dan bagian-bagian tubuhnya, kerikil, pecahan gelas atau kayu, dan juga bijibijian atau leguminosa asing seperti beras, jagung, koro dan lain-lain. Untuk memproduksi tempe di gunakan bahan baku pokok yang sama, yaitu kedele. Jenis kedele terdiri atas 4 macam, kedele kuning, kedele hitam, kedele coklat dan kedele hijau. Para pengrajin tempe biasanya memakai kedele kuning sebagai bahan baku utama. Kedele berbiji besar bila bobot 100 bijinya lebih dari 13 gram, kedele berbiji sedang bila b obot 100 bijinya antara 11 - 13 gram dan kedele berbiji kecil bila bobot 100 bijinya antara 7 -11 gram (Anonim, 2009). Syarat mutu kedelai untuk memproduksi tempe tahu kualitas pertama menurut Koswara (1992) adalah sebagai berikut; (1) bebas dari sisa tanaman (kulit palang, potongan batang atau ranting, bau, kerikil, tanah atau biji-bijian), (2) biji kedele tidak luka atau bebas serangan hama dan penyakit, (3) biji kedele tidak memar, dan (4) kulit biji kedele tidak keriput.
36
Tabel 3. Syarat Pokok Mutu Kedelai Kriteria % Bobot
Mutu I
Mutu II
Mutu III
Kadar air maksimum
13 %
14 %
16 %
Kotoran maksimum
1%
2%
5%
Butir rusak
2%
3%
5%
Butir keriput
0%
5%
8%
Butir belah
1%
3%
5%
Butir warna lain
0%
5%
10 %
Sumber : SK Menteri No 501/Kpts/TP.803/8/1994
2.2.1.1 Tahap sortasi
Tahap ini bertujuan untuk memperoleh produk tempe yang berkualitas, yaitu memilih biji kedelai yang bagus dan padat berisi. Biasanya di dalam biji kedelai tercampur kotoran seperti pasir atau biji yang keriput dan keropos. Menurut Supriono (2003), sebelum melakukan proses produksi, diperlukan sortasi bahan baku berdasarkan standardisasi kedelai, membuang bji kedelai cacat dan muda, membuang kotoran, serangga dan bahan leguminosa lainnya (beras dan jagung).
37
2.2.1.2 Tahap Pencucian
Pencucian bertujuan untuk menghilangkan kotoran yang melekat maupun tercampur di antara biji kedelai. Diperlukan cukup banyak air dalam proses produksi tempe baik untuk sanitasi, medium penghantar panas, maupun pada proses pengolahan. Air yang digunakan dalam pengolahan harus terbebas dari mikroba patogen maupun mikroba penyebab kebusukan makanan. Umumnya air yang memenuhi persyaratan standar air minum, cukup baik memenuhi persyaratan untuk indu stri (Camus, 2008). Menurut Buckle dkk (1987), air yang berhubungan dengan hasil-hasil industri pengolahan pangan harus memiliki setidak-tidaknya standar mutu yang diperlukan untuk air minum. Tetapi masing-masing bagian dari pengolahan industri pangan mun gkin perlu mengembangkan syarat-syarat mutu air khusus untuk mencapai hasil-hasil pengolahan yang memuaskan. Dalam proses produksi tempe perbandingan bahan baku dengan air 1:12 (Supriono,2003). Tabel 4. Standar Mutu Bakteriologis Air
Klasifikasi
Mutu bakteri yang dapat diterapkan hanya pada
MPN
bakteri
koliform/100 ml2
0 – 50
penanganan pencuci-hamaan Mutu bakteri yang memerlukan cara-cara penanganan
50 – 5000
konvensial (penggumpalan, penyaringan, pencucihamaan) Polusi berat yang memerlukan jenis-jenis penanganan
5000 – 50000
yang ekstensif Polusi yang sangat berat
Lebih dari 50000 38
2.2.1.3. Tahap Perebusan I
Perebusan bertujuan untuk melunakkan biji kedelai dan memudahkan dalam pengupasan kulit serta bertujuan untuk menonaktifkan tripsin inhibitor yang ada dalam biji kedelai. Selain itu perebusan I ini bertujuan untuk mengurangi bau langu dari kedelai dan dengan perebusan akan membunuh bakteri yang kemungkinan tumbuh.Perebusan dilakukan selama 30 menit atau ditandai dengan mudah terkelupasnya kulit kedelai jika ditekan dengan jari tangan (Hidayat, 2009). Adapun menurut Suhendri dkk (2006), perebusan tahap ini dilakukan selama 60 menit. 2.2.1.4 Tahap Perendaman
Perendaman bertujuan untuk melunakkan biji dan mencegah pertumbuhan bakteri pembusuk selama fermentasi. Ketika perendaman, pada kulit biji kedelai telah berlangsung proses fermentasi oleh bakteri yang terdapat di air terutama oleh bakteri asam laktat. Perendaman juga betujuan untuk memberikan kesempatan kepada keping-keping kedelai menyerap air sehingga menjamin pertumbuhan kapang menjadi optimum. Keadaan ini tidak mempengaruhi pertumbuhan kapang tetapi mencegah berkembangnya bakteri yang tidak diinginkan. Perendaman ini dapat menggunakan air biasa atau air yang ditambah asam asetat sehingga pH larutan mencapai 4-5. Perendaman dilakukan selama 12-16 jam pada suhu kamar (25-30˚C) (Hidayat, 2009). Adapun menurut Cahyadi (2006), perendaman dilakukan selama ± 24 jam agar air dapat berdifusi ke dalam biji kedelai. Menurut Suhendri dkk (2006) waktu perendaman dilakukan selama 16 jam. Selama proses perendaman, biji mengalami proses hidrasi, sehingga kadar air bi ji naik sebesar kira-kira dua kali kadar air semula, yaitu mencapai 62-65 %. Proses perendaman memberi kesempatan pertumbuhan bakteri-bakteri asam laktat sehingga terjadi penurunan pH dalam biji menjadi sekitar 4, 5 – 5,3. Bakteri yang berkembang pada kondisi tersebut antara lain Lactobacillus casei, Streptococcus faecium, dan Streptococcus epidermidis. Kondisi ini memungkinkan terhambatnya pertumbuhan bakteri yang bersifat patogen dan pembusuk yang tidak tahan terhadap asam.
39
2.2.1.5 Tahap Pengupasan
Tahap pengupasan kulit dapat dilakukan dengan dua cara yaitu cara kering dan cara basah. Pengupasan cara kering yaitu dengan mengeringkan kedelai terlebih dahulu pada suhu 104o C selama 10 menit atau dengan pengeringan sinar matahari selama 1-2 jam. Selanjutnya penghilangan kulit dilakukan dengan alat Burr Mill . Pengupasan secara basah dapat dilakukan setelah biji mengalami hidrasi yaitu setelah perebusan atau perendaman. Biji yang telah mengalami hidrasi lebih mudah dipisahkan dari bagian ku litnya, biasanya dengan meremas-remas biji kedelai hingga kulitnya terkelupas (Hidayat, 2009). 2.2.1.6 Tahap Perebusan II
Tahap perebusan II ini bertujuan untuk membunuh bakteri-bakteri kontaminan, mengaktifkan senyawa tripsin inhibitor, membantu membebaskan senyawasenyawa dalam biji yang diperlukan untuk pertumbuhan jamur ( Hidayat, dkk. 2006). Menurut Dwinaningsih (2010), pada perebusan II ini biji kedelai direbus pada suhu 100oC selama 20-30 menit supaya menjadi lunak sehingga dapat ditembus oleh miselia kapang yang menyatukan biji dan tempe menjadi kompak. 2.2.1.7 Tahap Penirisan dan Pendinginan
Tahapan ini bertujuan untuk mengurangi kandungan air dalam biji, mengeringkan permukaan biji dan menurunkan suhu biji sampai sesuai dengan kondisi pertumbuhan jamur, air yang berlebihan dalam biji dapat menyebabkan penghambatan pertumbuhan jamur dan menstimulasi pertumbuhan bakteri-bakteri kontaminan, sehingga menyebabkan pembusukan (Hidayat, 2009). Pendinginan dapat dilakukan dengan cara membiarkan kedelai hingga dingin atau cukup mencapai suhu ± 30 oC untuk kemudian dilakukan proses berikutnya (Dwinaningsih, 2010).
40
2.2.1.8 Tahap Inokulasi (Peragian)
Menurut Fauzan (2005), inokulasi dilakukan dengan penambahan inokulum, yaitu ragi tempe atau laru. Inokulasi dapat dilakukan dengan dua cara, yaitu (1) penebaran inokulum pada permukaan kacang kedelai yang sudah dingin dan dikeringkan, lalu dicampur merata sebelum pembungkusan; atau (2) inokulum dapat dicampurkan langsung pada saat perendaman, dibiarkan beberapa lama, lalu d ikeringkan. Menurut Astuti (2009), inokulum yang ditambahkan sebanyak 0,5% dari berat bahan baku. Menurut Suhendri dkk (2006), inokulum yang ditambahkan sebesar 0,2% dari berat bahan b aku.
2.2.1.9 Tahap Pengemasan
Berbagai bahan pembungkus atau wadah dapat digunakan (misalnya daun pisang, daun waru, daun jati, dan plastik), asalkan memungkinkan masuknya udara karena kapang tempe membutuhkan oksigen untuk tumbuh. Bahan pembungkus dari daun atau plastik biasanya diberi lubang-lubang dengan cara ditusu k-tusuk (Hermana dan Karmini, M., 1 999). Pengemasan merupakan suatu cara d alam memberikan kondisi sekeliling yang tepat bagi bahan pangan dan dengan demikian membutuhkan perhatian yang lebih besar secara nyata. Pengemasan akan berperan sangat penting dalam mempertahankan bahan tersebut dalam keadaan bersih dan higienis. Fungsi suatu kemasan yaitu:
a.
Harus dapat mempertahankan produk agar bersih dan memberikan perlindungan terhadap kotoran dan pencemaran lainnya.
b.
Harus memberikan perlindungan pada bahan pangan terhadap kerusakan fisik, air, Oksigen dan sinar.
c.
Harus berfungsi efisien dan ekonomis dalam proses pengepakan yaitu selama pemasukan bahan pangan dalam kemasan.
d.
Harus mempunyai suatu tingkat kemudahan dalam membuka dan menutup kembali wadah tersebut (Buckle, 1987).
41
Pembungkusan bahan tempe dengan daun pisang sama halnya dengan menyimpannya dalam ruang gelap (salah satu syarat ruang fermentasi), mengingat sifat daun yang tidak tembus pandang. Di samping itu aerasi (sirkulasi udara) tetap dapat berlangsung malalui celah-celah pembungkus yang ada (Suprapti, 2003).
2.2.1.10 Tahap Inkubasi (Fermentasi)
Menurut Hidayat (2006), inkubasi dilakukan pada suhu 25o-37o C selama 36-48 jam. Selama inkubasi terjadi proses fermentasi yang menyebabkan perubahan komponen-komponen dalam biji kedelai. Pada proses ini kapang tumbuh pada permukaan dan menembus biji-biji kedelai, menyatukannya menjadi tempe. Fermentasi dapat dilaku kan pada suhu 20 °C – 37 °C selama 18 – 36 jam (Hermana dan Karmini, M., 1999).
Proses fermentasi tempe dapat dibedakan atas tiga fase (Hidayat, 2009) yaitu : a. Fase pertumbuhan cepat (0-30 jam fermentasi) terjadi penaikan jumlah asam lemak bebas, penaikan suhu, pertumbuhan jamur cepat, terlihat dengan terbentuknya miselia pada permukaan biji makin lama makin lebat, sehingga menunjukkan masa yang lebih kompak. b. Fase transisi (30-50 jam fermentasi) merupakan fase optimal fermentasi tempe dan siap untuk dip asarkan. Pada fase ini terjadi penurunan suhu, jumlah asam lemak yang dibebaskan dan pertumbuhan jamur hampir tetap atau bertambah sedikit, flavor spesifik tempe optimal, dan tekstur lebih kompak. c. Fase pembusukan atau fermentasi lanjut (50-90 jam fermentasi) terjadi penaikan jumlah bakteri dan jum lah asam lemak bebas, pertumbuhan jamur menurun dan pada kadar air tertentu pertumbuhan jamur terhenti, terjadi perubahan flavor karena degradasi protein lanjut sehingga terbentuk amonia.
42
Persyaratan tempat yang dipergunakan untuk inkubasi kedelai adalah kelembaban, kebutuhan oksigen dan suhu yang sesuai dengan pertumbuhan jamur (Hidayat, dkk. 2006). Oksigen diperlukan dalam pertumbuhan kapang, tetapi bila berlebihan dan tak seimbang dengan pembuangnya (panas yang ditimbulkan menjadi lebih besar dari pada panas yang dibuang dari bungkusan). Jika hal ini terjadi maka suhu kedelai yang sedang difermentasi menjadi tinggi dan mengakibatkan kapangnya mati (Hayati, 2009). Untuk pertumbuhannya kapang tempe memerlukan suhu antara 25-30oC (suhu kamar). Oleh karena itu suhu ruang fermentasi harus diperhatikan dan memiliki fentilasi yang cukup. Derajat keasaman (pH) mempengaruhi keberhasilan fermentasi. Kondisi pH optimum selain berfungsi sebagai syarat kapang untuk tumbuh, juga diperlukan untuk mencegah tumbuhnya mikroba lain selama fermentasi. Oleh karena itu kestabilan udara (oksigen), suhu dan pH dalam ruang fermentasi menentukan keberhasilan proses fermentasi tempe (Pusbangtepa, 1982). Adapun kondisi pH optimum untuk pertumbuhan kapang ialah 4-5 (Nout dkk, 1987 d alam Silvia, 2009).
43
2.2.2 Inokulum Tempe
Inokulum tempe merupakan kumpulan spora kapang yang memegang peranan penting dalam pembuatan tempe karena mempengaruhi kualitas tempe yang dihasilkan. Jenis kapang yang berperan utama dalam pembuatan tempe ialah Rhizopus oligosporus dan Rhizopus oryzae (Silvia, 2009). Miselium Rhizopus oryzae lebih panjang dari pada Rhizopus oligosporus sehingga menghasilkan tempe yang lebih padat. Namun apabila dilihat dari segi peningkatan gizi protein k edelai, maka disinilah letak keunggulan Rhizopus oligosporus. Hal ini karena Rhizopus oligosporus memproduksi enzim protease (pemecah protein) lebih banyak. Adapun Rhizopus oryzae lebih banyak mensintesis enzim α-amilase (pemecah pati). Dengan demikian kedua kapang ini dapat dikombinasikan dalam pembuatan tempe dengan kadar Rhizopus oligosporus lebih banyak (1:2) (Sutrisno, 2002). Kualitas tempe amat dipengaruhi oleh kualitas starter yang digunakan untuk inokulasinya. Berikut merupakan syarat starter yang baik digunakan untuk pembuatan tempe (Hidayat dkk, 2006). 1.
Mampu memproduksi spora dalam jumlah banyak.
2.
Mampu bertahan beberapa bulan tanpa mengalami perubahan genetis dan kemampuan tumbuhnya.
3.
Memiliki presentase pertumbuhan spora yang tinggi segera setelah diinokulasikan.
4.
Mengandung biakan jamur tempe murni, dan bila digunakan berupa campuran harus memiliki proporsi yang tepat.
5.
Bebas dari mikroba kontaminan dan jika memungkinkan strain yang dipakai memiliki kemampuan untuk melindungi diri dari dominasi mikroba kontaminan.
6.
Mampu menghasilkan produk yang stabil berulang-ulang.
7.
Pertumbuhan miselia setelahh inokulasi harus kuat, lebat berwarna putih bersih, memiliki aroma spesifik tempe yang enak dan tidak mengalami sporulasi terlalu dini.
44
Menurut Darwindra (2008), inokulum (ragi/laru/usar) merupakan kultur mikroba yang diinokulasikan ke dalam media fermentasi pada saat kultur mikroba tersebut berada dalam fase pertumbuhan eksponensial. Kriteria penting bagi kultur untuk dapat digunakan sebagai inokulum dalam proses fermentasi adalah: 1.
Sehat dan dalam keadaan aktif sehingga dapat mempersingkat proses adaptasi.
2.
Tersedia cukup sehingga dapat menghasilkan inokulum dalam takaran yang optimum.
3.
Berada dalam bentuk morfologi yang sesuai.
4.
Bebas kontaminasi.
5.
Dapat menahan kemampuannya membentuk produk.
2.2.3. Mutu Tempe
Mutu merupakan gabungan atribut produk yang dapat dinilai secara organoleptik (warna, tekstur, rasa dan bau) (Soekarto, 1990). Intisari elemen-elemen mutu (Tjiptono dan Diana, 1995) dapat dipahami sebagai berikut: 1. Mutu meliputi usaha memenuhi atau melebihi harapan pelanggan. 2. Mutu mencakup produk, jasa manusia, proses dan lingkungan. 3. Mutu merupakan kondisi yang selalu berubah (misalnya yang dianggap bermutu saat ini mungkin akan dianggap kurang bermutu pada masa mendatang).
45
Klasifikasi karakteristik mutu bahan pangan terdapat dua kelompok, yaitu: (1) karakteristik fisik/tampak, meliputi penampilan yaitu warna, ukuran, bentuk, dan cacat fisik; kinestika yaitu tekstur, kekentalan dan konsistensi; flavor yaitu sensasi dari kombinasi bau dan cicip, dan (2) karakteristik tersembunyi, yaitu nilai gizi dan keamanan mikrobiologis (Ramdhani, 2007). Adapun sifat mutu merupakan sifat-sifat yang langsung dapat diamati, dianalisis tau diukur dari produk. Sifat-sifat itu dapat berupa sifat fisik obyektif (susunan kimia, kadar air, kadar abu, berat dan ukuran) ataupun sifat organoleptik subyektif (rasa, bau dan tekstur). Sifat-sifat ini dapat diukur dengan alat fisik maupun secara uji indrawi (Soekarto, 1990).
Persyaratan mutu tempe berdasarkan SNI 3144:2009 disajikan dalam Tabel 6. Tabel 6. Syarat mutu tempe (SNI 3144:2009) No.
1.
Kriteria uji
Satuan
Persyaratan
Keadaan : 1.1 Bau
Normal (khas tempe)
1.2 Warna
Normal
1.3 Rasa
Normal
2.
Air (b/b)
%
maks. 65
3.
Abu (b/b)
%
maks. 1,5
4.
Lemak (b/b)
%
min. 10
46
5.
Protein (N x 6,25), %, b/b
%
min. 20
6.
Serat kasar (b/b)
%
maks. 2,5
7.
Cemaran Logam 7.1 Kadmium (Cd)
mg/kg
maks. 0,2
7.2 Timbal (Pb)
mg/kg
maks. 0,25
7.3 Timah (Sn)
mg/kg
maks. 40
7.4 Merkuri
mg/kg
maks. 0,03
8.
Cemaran Arsen (As)
mg/kg
maks. 0,25
9.
Cemaran mikroba : APM/g
maks. 101
9.1 Coli 9.2 Salmonela
negatif/25 g
Sumber : Badan Standardisasi Nasional (2009)
47
2.3 Metodologi Penelitian 2.3.1 Ruang Lingkup 2.3.1.1 Tempat
Pelaksanaan pengamatan yang kami lakukan, betepatan di kediaman bapak Sopan sebagai penjual dan pembuat produk yaitu Tempe. Mengenai pengamatan HACCP yang kami lakukan, kami berkunjung langsung ke lokasi pembuatannya yaitu di kediaman bapak Sopan pribadi. Pengamatan dilakukan di tiga lokasi yaitu, tempat produksi, tempat pengemasan, dan juga tempat pemasaran. 2.3.1.2 Waktu
Pengamatan dan juga analisa HACCP dilakukannpada hari Minggu, 5 November 2017. Pukul 11.00 pagi - selesai.
2.3.2 Jenis Data 2.3.2.1 Data Primer
Diperoleh dari pencatatan hasil pengamatan yang dilakukan oleh kelompok terhadap proses produksi Tempe. 2.3.2.2 Data Sekunder
Diperoleh melalui wawancara kepada bapak Sopan langsung (Produsen) pada setiap proses penyelenggaraan bahan, yan terdiri dari proses pembelian, persiapan, dan penyimpanan, pengolahan, dan pendistribusian produk.
48
2.3.3 Cara Pengumpulan Data
Data dikumpulkan melalui cara pengamatan, wawancara, pengambilan gambar, dan video yang dilakukan secara langsung kepada produsen.
49
BAB III PEMBAHASAN
3.1 Sejarah pabrik
Pabrik tempe sopan merupakan industry rumahan yang didirikan oleh bapak sopan pada tahun 2008. Sebelum bapak sopan memiliki pabrik sendiri , beliau membantu memproduksi tempe pada pabrik tempe milik ayah dan kakanya. Sehingga beliau sangat p aham tentang produksi tempe. Ilmu dalam pembuatan tempe dalam keluarga bapak sop an merupakan ilmu yang turun menurun sehingga bapak sopan pun tertarik untuk memiliki pabrik sendiri yang pada akhirnya pada tahun 2008 pun bapak sopan mendirikan pabrik tempe milikinya pribadi Pabrik tempe sopan menjual tempe oalahan kacang kedele kuning dengan menggunakan ragi. Kemasan tempe dengan menggunakan daun pisang. Awal mula pabrik tempe sopan merupakan pabrik kecil yang hanya menjual tempenya di tetangga sekitar namun seiring berjalannya waktu usaha bapak sopan m engalami peningkatan kini hasil tempe bapak sopan telah d idistribusikan ke pasar dan memiliki konsumen setia. 3.2 Gambaran umum pabrik
1. Tempat pengolahan tempe secara umum
Dapur Kamar mandi
t a n g g a
Tempat pengolahan
Ruang keluarga
tempe
50 Pintu masuk
2. Tempat packaging, fermentasi, perebusan kedele
Teras rumah Kamar tidur pintu
wc
pintu
Da pur
Ruang tamu
Ruang fermentasi
3.3 Hygine dan Sanitasi
a. Pekerja Sebelum melakukan kegiatan, saat beralih kegiatan lain dalam produksi tempe pekerja tidak penah mencuci tangannya. Pekerja tidak memperhatikan kebersihan dirinya karena sehabis pulang dari pasar pekerja tidak membersihkan dirinya dulu seperti mandi, berganti pakaian, mencuci tangan dll. Selain itu pekerja tidak memakai APD. b. Kondisi pabrik Tempat produksi dijadikan satu dengan tempat tinggal, sirkulasi udara baik karna terdapat ventilasi udara tetapi udara terasa pengap dan panas, selain itu banyak binatang peliharaan didalam tempat produksi yaitu berbagai jenis burung dan jangkrik. Lanta dalam ruang produksi terlihat kotor, dinding terlihat kotor banyak debu. Dalam penyimpanan bahan baku ditaruh begitu saja mengenai lantai tidak
51
dialasi kayu terlbih dahulu dan tidak diikat rapi. Dalam bagian fermentasi tempe ditaruh didalam rak rak, rak tersebut dijadikan satu dengan ruang tamu. c. Lingkungan pabrik Pabrik berada didalam gang yang sempit, udara kurang baik karena banyak pabrik di dekat pabrik tempe, kondisi lingkungan sekitar kurang bersih. d. Bahan baku Bahan baku didapatkan dari penjual kacang kedele. Kondisi Kacang kedele saat ditempat penjual bahan baku baik karena kacang kedelai di masukan ke dalam karung dan tersusun rapi akan tetapi lingkungan dari tempat penjual bahan baku kurang baik karena dipinggir jalan dan banyak angkotan ngetem dan berlalu lalang sehingga banyaknya polusi udara yang masuk kemudian selain menggunakan kacang kedele dalam pembuatan tempe juga menggunakan ragi, ragi yang digunakan didapat juga dari penjual kacang kedele namun ragi yang dijual kurang baik karena dijemur dipinggirjalan yang kemungkinana besar telah terkontaminasi dengan polusi angkutan e. Packaging tempe yang telah melalui proses produksi kemudian masuk ke tahap berikutnya yaitu packaging dengan menggunakan daun pisang. Daun pisang yag digunakan bermutu baik karena daun tidak layu dan bersih . Daun pisang di potong sesuai bentuk dan besar tempe yang akan dijual. Kemudian daun pisang yang sudah dipotong disusun memanjang dan di masukkanlah temped an ditutup dengan ikatan berupa bamboo. f.
Distribusi Transportasi yang digunakan saat distribusi adalah sepeda motor yang kemungkinan besar tempe yang di distribusi akan terkontaminasi dengan pulutan karena tempe yang akan didistribusi di letakan di bak belakang motor digabungkan dengan bahan makanan lain yang akan dijual tanpa ada penutupnya.
52
3.4 HACCP dalam Proses Pembuatan Tempe
1. PEMBENTUKAN TIM HCCP
Pembentukan Tim kelompok 3 Nama
Tanggung Jawab
Azzah Adillah
Dhea Zahra Huwaida
Mewawancarai narasumber dan melihat setiap proses produksi untuk memastikan adanya CCP Dokumentasi dan melihat setiap proses produksi untuk memastikan adanya CCP Mencatat
Vici Nur Aurelia
Informasi
yang
disampaikan
oleh
narasumber dan melihat setiap proses produksi untuk memastikan adanya CCP
Pembentukan Tim Pabrik Tempa Nama
Tugas
Jabatan
1. Melakukan proses pengolahan Ketua produksi, Sopan
packaging, distribusi dan engeneering
tempe 2. Menjamin produk yang dibuat sesuai dengan SOP pabrik 3. Melakukan packaging produk 53
4. Melakukan distribusi ke pasar 5. Mengecek rutin alat-alat yang digunakan 1. Membeli bahan baku kacang kedelai dan ragi pada supplier Yani
Pengadaan bahan baku
2. Menjamin bahan baku yang digunakan berkualitas baik 3. Mempersiapkan bahan baku untuk proses pengolahan
1. DESKRIPSI PRODUK Parameter Deskripsi
Keterangan
Nama Produk
Tempe
Komposisi
Kacang Kedelai, Ragi, Air bentuk
persegi panjang, padatan
kompak
dan
berbau khas serta berwarna putih atau sedikit Karakteristik Produk
keabu-abuan. Terdapat lapisan putih di sekitar kedelai (setelah fermentasi) dan pada saat di potong, tempe tidak hancur, tidak ada bercak hitam dipermukaan tempe, berat 500 gram, kemasan daun pisang
Metode Pengolahan
Fermentasi 19 jam
54
Pengemas Primer
Daun Pisang
Pengemas Sekunder atau
Box tanpa tutup
pengemas untuk trnsportasi Kondisi Penyimpanan
Suhu ruang 30ᵒC
Umur Simpan
3 hari
Metode Distribusi
Didistribusikan dengan motor dan produk dijual dengan menggunakan gerobak
2. IDENTIFIKASI PENGGUNA
-
Untuk produk makanan Tempe
-
Deskripsi Pengguna Produk Dikonsumsi langsung oleh konsumen dari semua kalangan masyarakat.
-
55
3. DIAGRAM ALIR
Kacang Kedelai
Sortasi Pencucian Perebusan hingga berbusa selama 1 jam Pengupasan Kulit Ari dengan mesin pengupas
Penyaringan kulit ari Pembilasan 1 Peragian
Pembungkusan dengan daun pisang dan lidi bambu
Fermentasi 3 hari Distribusi
56
No
Input/Tahapan proses
Identifikasi Bahaya
1.
Signifikasi Bahaya
Identifikasi Penyebab Bahaya
Tindakan Pencegahan Peluang
Keparahan
Signifikan
L
L
TN
H
L
TN
Penyimpanan & Fungi Penerimaan bahan segar (kacang kedelai)
B : mikroba perusak
/Kapang/bakteri yang
(Rhizombium sp)
menempel pada kacang kedelai
F : pasir, batu, tanah,
Penanganan pasca panen
serangga, dll
yang tidak tepat
Penerimaan bahan kering ( Ragi )
Penjemuran ragi di F :debu, daun kering
tempat yang banyak tanaman
K : polutan dari kendaraan 2. Sortasi kacang kedelai
SOP Penyimpanan dan penanganan pasca panen yang tepat
Penjemuran ragi ditempat yang banyak
H
L
Jaminan supllier Sop penyimpanan
TN
lalu lalang kendaraan
B : mikroba perusak
Pekerja tidak bersih dan
(Rhizombium sp)
produksi prapanen yang kurang baik
H
M
N
Mencuci tangan dengan sabun sebelum menyentuh
bahan makanan
57
F : kacang rusak, kopong, tidak utuh
Kacang kedelai yg hancur atau terbelah dua dan
Terbawa dari supplier
bermuntu rendah atau
(terbelah dua)
busuk tidak diolah menjadi tempe
3.
Pencucian
Perlakuan sanitasi air, cuci B : bakteri E. Coli dari air
di air mengalir, berulang,
Sumber air pabrik dan Penggunaan air yang
M
H
N
dan air yang digunakan harus air bersih sesuai
sudah tercemar/kotor
dengan syarat air minum K : Logam Berat F : Serangga, benda asing 4.
Perebusan
Menganalisis air setahun
Sumber air pabrik
M
L
TN
Lingkungan pabrik
L
L
TN
Perlakuan sanitasi air
H
H
N
Kontrol waktu dan suhu
M : kapang/ jamur
Waktu dan suhu
pembentuk spora,
pemanasan yang tidak
bakteri thermofilik
sesuai dengan SOP
K : logam berat
Panci yang digunakan sudah tidak layak pakai (karatan) atau ada hitam-
sekali
M
L
TN
Lakukan pengecekan terhadap alat sebelum digunakan
58
hitam disekitar
permukaan panci
Panci yang sudah berkarat atau menghitam pada permukaan tidak digunakan kembali
Mesin pengupas yang
digunakan sudah tidak K : logam berat
layak pakai karena
Pengecekan alat sebelum digunakan
M
L
TN
Mesin yang sudah
sudah terdapat karat
berkarat, tidak
pada permukaan mesin
dipergunakan kembali
Wadah penampungan 5.
Pengupasan Kulit
kedelai yang telah
Ari dengan mesin
dikupas ada bolong
bolong dan bagian
B : Bakteri, kapang
bawah ember terlihat
/jamur
Pengecekan alat sebelum digunakan
M
L
TN
Mesin yang sudah
kotor, sehingga
berkarat, tidak
terepapar langsung
dipergunakan kembali
dengan lantai yang hanya disemen 6.
Penyaringan kulit ari
B : Bakteri, kapang /jamur
Wadah merendam kacang kedelai tidak bersih, ada noda hitam
H
L
TN
Lakukan pengecekan terhadap alat sebelum digunakan
59
yang menempel pada
Pencucian alat-alat yang
ember
hendak digunakan
Penyaringan yang
dengan sabun dan air
dipakai tidak dicuci
mengalir
dulu, sehingga kontaminasi silang dengan air & kedelai
Pekerja tidak bersih,
tidak memakai APD dlm proses persiapan
Pekerja mencuci tangan dengan air dan sabun,
M
M
TN
serta memakai APD
/ pengolahan
(topi, hand glove, masker dan celemek)
7.
Pembilasan 1
F : kulit ari masih ada
Keterbatasan alat
Penyaringan dilakukan
yang tersisa pada
untuk menyaring atau
secara berulang kali agar
kedelai, akibat proses
memisahkan kulir ari
kulit ari dapat tersaring
penyaringan yang tdk
dengan kedelai
semua
sempurna
H
H
N
Lakukan pengecekan apabila kulir ari belum terkelupas dari kedelai, sehingga dapat dilakukan penyaringan ulang
60
B : Bakteri, kapang
/jamur
Wadah kedelai yang telat terpisah dgn kulit ari tidak dicuci terlebih dulu, sehingga
nampak kotor
Penyaring untuk
Pengecekan alat sebelum digunakan
M
M
TN
Melakukan pencucian alat
mengambil kedelai,
sebelum digunaka dalam
menggunakan
proses pengolahan
penyaring yang sama seperti proses sebelumnya. 8.
Peragian
B : Bakteri,
kapang/jamur
Pekerja yang tidak
ragi
Mencuci tangan sebelum
bersih, tidak memakai
melakukan proses
APD. Tidak
pengolahan, memakai
menggunakan sendok
K : pemakaian dosis
M
L
TN
APD (masker, hand glove
atau wadah untuk
dll), menggunakan wadah
mengambil ragi
atau sendok untuk
(tangan kosong)
mengambil ragi
Ragi yang digunakan tidak ditakar atau
L
H
N
Melakukan penimbangan atau penakaran untuk
proses peragian
61
ditimbang terlebih dahulu 9.
Pembungkusan
B : Bakteri, kapang/
jamur
Proses pengantaran
kacang kedelai yang
berisi kacang kedelai agar
sudah di beri ragi ke
tidak terkena udara atau
rumah pengemasan,
polusi
kacang kedelai
atau batu yang sudah
terkena udara atau
dibersihkan
Pisau diasah dengan kayu yang sudah kotor
Pisau diasah dengan kayu
dibiarkan terbuka
polusi
Menutup wadah yang
Daun pisang hendaknya dibersihkan dahulu
H
H
N
Lakukan pengecekan alat,
Daun pisang untuk
Tempat atau rak penaham
bahan pengemas tidak
untuk proses pengemasan,
dibesihkan terlebih
dibersihkan dahulu
dahulu
sehingga bebasa dari
Tempat atau rak
kotoran dan debu
penahan untuk proses
Mencuci tangan sebelum
pengemasan tidak
melakukan
dibersihkan terlebih
pembungkusan, atau menggunakan APD (hand
62
dulu, sehingga masih
glove dan masker) untuk
berdebu
mencegah kontaminasi
Pekerja yang tidak
SOP sealing
Pengecekan alat, pisau
bersih, tidak memakai APD. Tidak menggunakan sendok atau wadah untuk mengambil kedelai (tangan kosong)
Penutupan tempe dengan daun pisang dan lidi bambu yang tidak rapat
K : Logam berat
Pisau yang digunakan sudah berkarat
yang sudah berkarat atau H
L
TN
tidak layak pakai sebaiknya tidak dipergunakan kembali
F : batu, kerikil atau serangga kecil
Tempat pengemasan yang kurang tepat yaitu diruang terbuka
M
H
N
Pengemasan dilakukan di dalam ruangan dengan ventilasi yang cukup
63
untuk menghindari serangga atau debu/polusi dari luar 10.
Fermentasi
B : bakteri,
mikroba/kapang
Tempat fermentasi
Disediakan rak
tempe yang diletakkan
penyimpanan untuk
berdekatan dengan
fermetantasi yang jauh
benda-benda lain
dari benda-benda yang
(sangkar burung),
memungkinkan dapat
lantai kotor
menyebarkan bakteri
(kontaminasi silang)
H
M
N
Tempat fermentasi
Suhu yang tidak
dibersihkan terlebih
terpantau karena
dahulu sehingga tidak
peletakan tempe yang
terjadi kontaminasi silang
bertumpuk-tumpuk
Pengaturan suhu dan waktu fermentasi yang sesuai SOP
F : serangga/hewan pengerat
Penyimpanan yang
kurang tepat yaitu dibawah meja
Tempat penyimpanan untuk fermentasi tempe
M
H
N
tidak diletakkan di tempat
(memungkinkan ada
yang rendah, dengan
serangga atau hewan
masksud agar terhindar
64
11.
Distribusi
pengerat bisa merusak
dari serangga atau hewan
tempe)
pengerat
B : Bakteri, kapang/jamur
Tempat packaging sekunder kotor
L
H
Pengecekan alat, SSOP
Membersihkan alat
TN
pengemas sekunder sebelum di distribusikan ke konsumen
F : debu, kotoran,
Kontaminasi debu
benda asing, benturan
karena pengemas
atau gesekan
sekunder tidak ditutup
sebaiknya ditutup
sehingga terkena polusi udara atau benda asing lainnya
Tempe dijejerkan
Pengemas sekunder
M
L
Peletakan makananmakanan yang dijual
TN
diletakan dalam masing-
dengan makanan
masing wadah yang
lainnya sehingga
terpisah
memungkinkan
SSOP
terjadinya kontaminasi silang
65
Bungkusan tempe rusak
Bahaya A
Bahay B
Bahaya C
Bahaya D
Bahaya E
Bahaya F
Katagori resiko
+
+
+
III
Produk Tempe
0
0
0 Bahan Baku
Kacang Kedelai
0
0
0
+
+
0
II
Ragi
0
+
+
+
+
+
V
Aire
0
+
0
0
0
0
I
66
No.
Input/Tahap Proses
1
Sortasi kacang kedelai
2
Pencucian
3
Perebusan kacang kedelai
Bahaya
P1
P2
P3
P4
CCP/Bukan CCP
Y
Y
Y
N
N
Y
N
Y
Y
Y
CCP
K : pemakaian dosis
Y
Y
CCP
B : Bakteri, kapang/ jamur
Y
Y
CCP
F : batu, kerikil atau serangga kecil
Y
N
M : Bakteri, kapang /jamur
Y
Y
F : serangga/hewan pengerat
Y
N
B : mikroba perusak (Rhizombium sp), bakteri pembusuk B : E. Coli dari air M : kapang/ jamur pembentuk spora, bakteri thermofilik
CCP Bukan CCP N
CCP
F : kulit ari masih ada yang tersisa pada 4
Pembilasan 1
kedelai, akibat proses penyaringan yang tdk sempurna
5
Peragian
6
Pembungkusan
7
Fermentasi
Y
Y
Buka CCP CCP
N
Bukan CCP
67
Tahapan Proses CCP
Batas Kritis
What
How
Prosedur Monitoring Where
Who
When
Tidak terlihat kapang, tidak Sortasi
ada bagian yang
kacang
busuk, tidak ada
kedelai
benda asing atau
Pengecekan k. kedelai
Melakukan
Tempat
Jaminan
pemeriksaan
sortasi/
visual
penerimaan
suplier
kerikil dan ada
Pekerja bagian sortir k. kedelai
pemanasan tepat
kedelai
(T= 100ᵒ dan
Mengamati suhu
waktu 45 menit
Setiap
dan putuskan
pelaksanaan
diterima atau
sortasi
dengan termometer
Kondisi
air
atas panci
Pembilasan 1
dari k. Kedelai dengan sempurna
Mengamati
perebusan
termometer
s/d permukaan
Kulit ari terlepas
Review form sortasi setiap bulan
Rekaman sortasi bahan baku
ditolak
Kalibrasi suhu dan termometer secara berkala, perawatan alat setiap bulan
Rekaman suhu dan waktu perebusan
Review form pembilasan dan kondisi alat
Rekaman proses pembilasan
Komplain
Perebusan
suhu
pemanasan
atau 1 jam) hingga berbusa
Dokumentasi & Record
pada suplier
Suhu dan waktu
kacang
Verifikasi
kepala QC
jaminan suplier
Perebusan
Tindakan Koreksi Hubungi
kembali jika Di tempat
Operator
Pada saat
waktu dan
pengolahan/
pemasak-
mulai muncul
suhu tidak
pemanasan
an
busa
Periksa atau
Mengamati
kontrol alat
kondisi alat
Pemeriksaan kacang
Kedelai yang
Melakukan
kedelai yang
pemeriksaan
telah disaring
visual
dan bilas
sesuai SSOP
Di tempat pembilasan
Operator pembilasan
masih ada Setiap proses
kulir ari, di saring kembali
68
Kondisi
saringan
Mengamati
kemudian
kondisi
dibilas ulang
saringan
Bersihkan saringan Ragi diberi
Penggunaan ragi yang terukur, Peragian
disesuaikan
Memeriksa pemakaian
dengan berat
ragi
kedelai yang
dgn terukur
Penimbangan ragi dengan
Di tempat
timbangan
pengolahan
digital
Operator pengolahan
Saat sebelum pengemasan
pembilasan
daun pisang
Daun pisang
dalam keadaan
yang kotor,
dibersihkan, tertutup rapat dengan lidi bambu yang dipakai. Tempat
Rekaman penambahan ragi
pengemasan
sudah
an
setelah
Kalibrasi pemakaian/ penambahan ragi
& sebelum
dipakai
Pembungkus
& diberikan
tidak
Memeriksa kondisi daun
Melakukan
pisang dan
pemeriksaan
tempat
visual
pengemasan
Di tempat pengemasan
Operator
Setiap
pengemas-
pelaksanaan
an
pengemasan
digunakan lagi atau harus dibersihkan
Review form Rekaman pembungku pembungkussan setiap an bulan
dahulu
pengemasan
Melakukan
bersih.
pemgemasan
69
ulang apabila lidi bambu patah (tidak rapat) Tempat pengemasan dilakukan didalam ruangan dalam keadaan bersih. Fermentasi
dilakukan
waktu dan
selama 24 jam Fermentasi
fermentasi dilakukan
suhu
berkala
34ᵒC.
Kondisi tempat fermentasi
Mengamati
Jika ragi
waktu dan
suhu secara
dengan suhu
Tempat untuk
Pengecekan
Melakukan
pengecekan
Petugas/ Tempat
operator
fermentasi
proses fermentasi
Setiap pelaksaan fermentasi
tidak dapat tumbuh, tempe tidak di distribusi
Review form fermentasi setiap bulan
Rekaman fermentasi
visual
70
ditempat yang bersih dan steril
71
LAMPIRAN FOTO
72
73
74