6 OKTOBER 2010
LAPORAN
TEORI LEGITIMASI KEKUASAAN
Oleh: Marcel (0131101056) Nadia Oka(0131101111) Novianti(0131101190) Sida Smarta(0131101106) Stephen(0131101205)
CIVIC EDUCATION S1 BISNIS PRASETIYA MULYA BUSINESS SCHOOL 2010
BAB I. PENDAHULUAN 1.1
Latar Belakang Setiap negara haruslah mempunyai kekuasaan yang jelas. Sejak dulu teori-teori yang menggolongkan negara-negara berdasarkan legitimasi kekuasaannya sudah berkembang. Meskipun Indonesia telah menganut sistem pemerintahan yang demokratis, akan tetapi perlu juga dianalisa berdasarkan sejarah-sejarah dan teori-teori yang ada.
1.2
Tujuan Menganalisa beberapa teori-teori yang ada dan juga mengkategorikan negara Indonesia kedalam salah satu teori yang ada.
1.3
Rumusan Masalah y
Bagaimana
perkembangan
dari
teori-teori
mengenai
legitimasi
kekuasaan? y
Termasuk kedalam teori legitimasi kekuasaan manakah negara Republik Indonesia?
BAB II. ISI 2.1 Teori Legitimasi Kekuasaan Negara adalah suatu organisasi kekuasaan dan organisasi itu merupakan tata kerja daripada alat-alat perlengkapan negara yang merupakan suatu keutuhan, tata kerja mana melukiskan hubungan serta pembagia n tugas dan kewajiban antara masingmasing alat perlengkapan negara itu untuk mencapai suatu tujuan tertentu.
Suatu
negara pasti dipimpim oleh pemegang kekuasaan. Dan berikut ini adalah beberapa teori tentang bagaimana kekuasaan itu didapat. y
Teori Teokrasi
Teori ini menyatakan bahwa asal atau sumber daripada kekuasaan itu sendiri adalah dari Tuhan. y
Teori Hukum Alam
Teori ini menyatakan bahwa kekuasaan itu berasal dari rakyat. Huku ini mengatakan bahwa kekuasaan itu berasal dari rakyat dan asal kekuasaanyang ada pada rakyat ini tidak lagi dianggap dari Tuhan, melainkan dari alam kodrat. Kemudian kekuasaan yang ada pada rakyat ini diserahkan kepada seseorang yang disebut raja, untuk menyelanggarakan kepentingan masyarakat. 1. Rousseau Rousseau mengatakan bahwa kekuasaan itu ada pada masyarakat, kemudian dengan melalui perjanjian masyarakat, kekuasaan itu diserahkan kepada raja. 2. Thomas Hobbes Thomas Hobbes mengatakan bahwa kekuasaan itu dari masing-masing orang secara langsung diserahkan kepada raja dengan melalui perjanjian masyarakat. Jadi sifat penyerahan kekuasaan dari orang-orang tersebut kepada raja, atau perjanjian masyarakatnya, bersifat langsung. Tentang pemegang kekuasaan (kekuasaan tertinggi atau kedaulatan). Kedaulatan itu artinya adalah kekuasaan yang tertinggi dalam suatu negara. Dalam Undang-undang Dasar Negara, dikatakan bahwa kedaulatan itu adalah
kekuasaan yang tertinggi. Tetapi kekuasaan yang tertinggi yang terkandung dalam Undang-undang Dasar Negara untuk apa dan bagaimana sifatnya. Salah seorang sarjana dari Perancis yang hidup pada abad ke-XVI yang bernama Jean Bodin mengatakan bahwa kedaulatan itu adalah kekuasaan tertinggi untuk menentukan hukum suatu negara, yang sifatnya : tunggal, asli, abadi, dan tidak dapat dibagi-bagi. Tetapi perumusan, atau tegasnya definisi kedaulatan dari Jean Bodin ini untuk masa sekarang tidak dapat dilaksanakan secara konsekuen, sebab pada waktu itu ia hanya meninjau souvereiniteit dalam hubungannya dengan masyarakat di dalam negeri itu saja. Jadi perumusannya itu bersifat intern. Hal ini terja di karena pada waktu itu hubungan antar negara belum intensif seperti sekarang ini. Yang sudah barang tentu untuk dewasa ini, dimana hubungan antar negara yang satu dengan yang lainnya itu sudah sebegitu luas, mau tidak mau suatu negara itu mesti terkena pengaruh dari hubungan antar negara-negara tersebut.
Sebagai akibat daripada hal tersebut maka orang mengenal : 1. Interne Souvereiniteit (kedaulatan kedala m) 2. Externe Souvereiniteit (kedaulatan keluar)
Menurut Jean Bodin, interne soubereiniteit itu yang memiliki adalah negara. Tetapi perlu diingat bahwa Jean Bodin itu tidak secara tegas membedakan antara pengertian negara dengan pengertian pemerintah. Kedaulatan adalah kekuasaan tertinggi. Sedangkan kekuasaan itu sendiri mempunyai arti sebagai kemampuan dari seseorang atau golongan orang untuk mengubah berbagai-bagai tabiat atau sikap, dalam suatu kebiasaan, menurut keinginannya, dan untuk mencegah perubahan-perubahan tabiat atau sikap yang tidak menjadi keinginannya dalam suatu kebiasaan. Berikut ini adalah beberapa teori kedaulatan.
y
Teori Kedaulatan Tuhan Teori ini mengatakan bahwa kekuasaan tertinggi itu ada pada tuhan. Teori ini berkembang pada jaman abad pertengahan, yaitu antara abad ke-V sampai abad ke-XV. Didalam perkembangannya teori ini sangat erat
hubungannya dengan perkembangan agama baru yang timbul pada saat itu, yaitu agam Kristen, yang kemudian diorganisir dalam suatu organisasi keagamaan, yaitu gereja yang dikepalai oleh seorang Paus. Sehingga pada jaman tersebut terdapat dua organisasi kekuasaan, yaitu organisasi kekuasaan negara yang diperintah oleh seorang raja, dan organisasi kekuasaan gereha yang dikepalai oleh seorang Paus, karena pada waktu itu organisasi gereja tersebut mempunyai alat-alat perlengkapan yang hampir sama dengan perlengkapan-perlengkapan negara.. Menurut Marsilius raja itu adalah wakil daripada Tuhan untuk melaksanakan kedaulatan atau memegang kedaulatan di dunia. Akibat dari ajaran Marsilius ini sangat terasa di abad-abad berikutnya. Karena raja-raja merasa berkuasa untuk berbuat apa saja yang menurut kehendaknya, dengan alasan bahwa perbuatannya itu adalah sudah menjadi kehendak Tuhan. Raja tidak merasa bertanggung jawab kepada siapapun kecuali kepada Tuhan. Bahkan raja merasa berkuasa menetapkan kepercayaan atau agama yang harus dianut oleh rakyatnya atau warga negaranya. Keadaan ini semakin memuncak pada jaman renaissance yang semula orang mengatakan bahwa hukum yang harus ditaati itu adalah hukum Tuhan, sekarang mereka berpendapat bahwa hukum negaralah yang harus ditaati, dan negaralah satu-satunya yang berwenang menentukan hukum. Dengan demikian timbul ajaran baru tentang kedaulatan. y
Teori Kedaulatan Negara Teori
kedaulatan
negara
mengatakan
bahwa
negaralah
yang
menciptakan hukum, jadi segala sesuatu harus tunduk kepada negara. Negara disini dianggap sebagai suatu keutuhan yang menciptakan peraturan-peraturan hukum, jadi adanya hukum itu karena adanya negara, dan tiada satupun hukum yang berlaku jika tidak dikehendaki oleh negara. Perlu diperhatikan bahwa hakekatnya teori kedaulatan negara itu atau Staat-Souvereiniteit, hanya mengatakan bahwa kekuasaan t ertinggi itu ada pada negara, entah kekuasaan itu sifatnya absolut, entah sifatnya terbatas, dan ini harus dibedakan dengan pengertian ajaran Staats-Absolutisme. Karena dalam ajaran Staats-Souvereiniteit itu ada pada prinsipnya hanya dikatakan
bahwa kekuasaan tertinggi itu ada pada negara, kekuasaan tertinggi ini mungkin bersifat absolut, jadi berarti tidak mungkin bersifat terbatas, dalam arti bahwa negara itu kekuasaannya meliputi segala segi kehidupan masyarakat, sehingga mengakibatkan para warga negara itu tidak lagi mempunyai kepribadian. Menurut Georg Jellinek, hukum itu merupakan penjelmaan daripada kehendak atau kemauan negara. Jadi negaralah yang menciptakan hukum, maka negara dianggap satu-satunya sumber hukum, dan negaralah yang memiliki kekuasaan tertinggi atau kedaulatan. Di luar negara tidak ada satu orangpun yang berwenang menetapkan hukum. Dalam hal ini berarti bahwa adat kebiasaan, yaitu hukum yang tidak tertulis, yang bukan dikeluarkan atau dibuat oleh negara, tetapi yang nyata-nyata berlaku di dalam masyarakat, tidak merupakan hukum. Dan memang demikian juga kalau menurut Jean Bodin: sedangkan kalau menurut Jellinek adat kebiasaan itu dapat menjadi hukum, apabila itu sudah ditetapkan oleh negara sebagai hukum. Menurut Krabbe diatas negara masih ada barang sesuatu souvereiniteit, yang berdaulat yaitu kesadaran hukum. Jadi yang berdaulat bukanlah negara, tetapi hukumlah yang berdaulat. Maka dengan demikian timbullah ajaran baru lagi tentang kedaulatan, yaitu teori kedaulatan hukum.
y
Teori Kedaulatan Hukum Menurut teori kedaulatan hukum atau Rechts-Soubereiniteit tersebut yang memiliki bahkan yang merupakan kekuasaan tertinggi didalam suatu negara itu adalah hukum itu sendiri. Karena baik raja atau penguasa maupun rakyat atau warganegara, bahkan negara itu sendiri semuanya tunduk kepada hukum. Semua sikap, tingkah laku dan perbuatannya harus sesuai atau menurut aturan hukum. Jadi menurut Krabbe yang berdaulat itu adalah hukum. Menurut Krabbe yang menjadi sumber hukum itu adalah rasa hukum yang terdapat di dalam masyarakat itu sendiri. Rasa hukum ini dalam bentuknya yang masih sederhana, jadi yang masih bersifat primitif atau yang tingkatannya masih rendah disebut instink hukum. Sedang dalam bentuknya yang lebih luas atau dalam tingkatnya yang lebih tinggi disebut kesadaran
hukum. Jadi menurut Krabbe hukum itu tidaklah timbul dari kehendak negara, dan dia memberikan kepada hukum suatu kepribadian tersendiri. Dan hukum itu berlaku terlepas daripada kehendak negara. Dengan demikian menurut Krabbe hukum itu adalah merupakan penjelmaan daripada salah satu bagian dari perasaan manusia. Terhadap banyak hal manusia itu mengeluarkan perasaannya, sehingga orang dapat membedakan adanya bermacam-macam norma, dan norma-norma itu sebetulnya terlepas dari kehendak kita, oleh karena itu kita lalu mau tidak mau tentu mengeluarkan reaksi, untuk menetapkan mana yang baik, mana yang adil, dan sebagainya.
y
Teori Kedaulatan Rakyat Ajaran dari kaum monarkomen tersebut di atas, khusunya ajaran dari Johannes Althusius, diteruskan oleh para sarjana dari hukum alam yang mencapai kesimpulan baru yaitu bahwa semula individu individu itu membentuk masyarakat, dan kepada masyarakat inilah para individu inilah menyerahkan kekuasaannya. Selanjutnya masyarakat inilah yang menyerahkan kekuasaannya kepada
raja. Sehingga sesungguhnya raja
mendapatkan
kekuasaan dari individu tersebut. Akan tetapi timbul persoalan baru yang mempermasalahkan dari mana individu mendapatkan kekuasaannya itu. Lalu para sarjana pun memberikan jawaban bahwa individu individu tersebut mendapatkan kekuasaan dari hukum alam. Jadi apabila disimpulkan raja mendapatkan kekuasaan dari rakyat, maka rakyat mendapatkan kekuasaan tertinggi, sehingga yang berdaulat adalah rakyat. Dari kesimpulan ini timbul ide baru tentang paham kedaulatan yaitu kedaulatan rakyat yang dipelopori oleh J.J. Rousseau. Adapun hal yang perlu diingat dari ajaran ini bahwa yang dimaksud dengan rakyat bukanlah penjumlahan dari individu individu dalam negara itu, melainkan adalah kesatua n yang dibentuk individu individu itu yang mempunyai kehendak, dan kehendak itu diperoleh melalui perjanjian masyarakat. Rousseau menyebut kehendak tadi sebagai kehendak umum atau folonte generale. Selain itu yang perlu diingat bahwa yang dimaksud oleh Rousseau dengan kedaulatan rakyat itu adalah cara atau sistem yang bagaimana pemecahan suatu soal memenuhi kehendak umum.
Teori kedaulatan rakyat ini sendiri juga diikuti oleh Emmanuel Kant yaitu yang mengatakan tujuan negara itu adalah untuk menegakan hukum dan menjamin kebebasan daripada warga negaranya. Dalam melaksanakan teori kedaulatan rakyat kita harus bisa membedakan organisasi itu sendiri dalam hal ini negara dengan alat alat yang menjalan organisasi itu. Hal ini penting sekali sebab jatuhnya orang menjalankan organisasi itu belum tentu mengakibatkan menjatuhkan organisasinya. Tetapi jatuhnya organisasi itu sendiri selalu membawa akibat jatuhnya badan badan yang menjalankan organiasasi itu. Jadi sebenarnya persolan legitimasi kekuasaan sangat erat hubungannya dengan tujuan negara. Sebab kita dapat mengakui sah atau tidaknya kekuasaan tergantung oleh tujuan
yang
direncanakan oleh pemerintah. Adapun
pemerintah disini meliputi seluruh badan kenegaraan yang ada dalam negara.
2.2
Bentuk-bentuk Legitimasi Pendobrakan legitimasi kekuasaan religius melahirkan etika politik. Ada dua perkembangan dalam pengertian manusia yang secara terpisah. Yang pertama, kesadaran bahwa hanya ada satu Allah dan segala dimensi yang lain adalah ciptaan belaka. Yang kedua, lahir bersama dengan filsafat paham modern di Yunani. Kenegaraan merupakan sesuatu yang biasa bagi mereka dan kekuasaan nampak sebagaimana a danya. Dua perkembangan penduniawian bidang kekuasaan politik itu secara mendalam mempengaruhi dua lingkungan budaya dan agama besar di dunia ini. Pertama di dunia Kristen dan kedua di dunia Islam. y
Paham Umum Legitimasi Menurut Max Weber ³kekuasaan adalah kemampuan untul, dalam suatu hubungan sosial, melaksanakan kemauan sendiri sekalipun mengalami perlawaanan, dan apa pun dasar kemampuan ini´. Setiap kekuasaan negara memiliki
otoritas
dan
wewenang.
Otoritas
adalah
kekuasaan
yang
dilembagakan, yaitu kekuasaan yang tidak hanya de facto menguasai, melainkan juga berhak untuk menuntut ketaatan, jadi berhak untuk
memberikan perintah. Wewenang memiliki keabsahan apabila sesuai dengan norma-norma yang ada. y
Obyek Legitimasi Ada dua pertanyaan legitimasi 1. Legitimasi materi wewenang mempertanyakan wewenang dari segi fungsi. Wewenang tertinggi dalam dimensi politis kehidupan manusia menjelmadalam dua lembaga yang sekaligus merupakan dua dimensi hakiki kekuasaan politik. Dalam hukum sebagai lembaga penataan masyarakat yang normatif, dan dalam kekuasaan negara sebagai lembaga penataan efektif. 2. Legitimasi subyek kekuasaan Mempertanyakan apa yang menjadi dasar wewenang seseorang. Ada 3 macam legitimasi subyek kekuasaan, yaitu legitimasi religius, legitimasi eliter, legitimasi demokratis.
Legitimasi religius Mendasarkan hak untuk memerintah pada faktor-faktor yang adiduniawi. Ada dua paham legitimasi religius, yaitu penguasa dipandang sebagai manusia yang memiliki kekuatan-kekuatan adiduniawi dan wewenang penguasa pada penetapan oleh Allah. Perbedaan antara dua paham tersebut ialah bahwa paham gaib tidak memungkinkan tuntutan legitimasi moral, sedangkan paham penetepan oleh Allah Yang Esa malah mempertajam tuntutan itu.
Legitimasi eliter Mendasarkan hak untuk memerintah pada kecakapan khusus suatu golongan untuk memerintah. Untuk memerintah rakyat dibutuhkan kualifikasi khusus. Kita dapat membedakan antara sekurangkurangnya empat macam legitimasi eliter. Yang tertua adalah legitimasi arsitokratis (suatu golongan dianggap lebih unggul dari masyarakat
lain
dalam
kemampuan
memimpin),
legitimasi
pragmatis (golongan yang de facto menganggap diri paling cocok untuk memegang kekuasaan dan sanggup untuk merebut serta untuk menangani), legitimasi ideologis (mengandaikan ada suatu ideologi
yang mengikat seluruh masyarakat), legitimasi teknokratis ( di zaman yang modern ini hanya mereka yang bertanggung jawab yang dapat menjalankan pemerintahan)
Legitimasi demokratis Berdasarkan prinsip kedaulatan rakyat, yang akan merupakan salah satu pokok pembahasan dalam buku ini.
2.3
Kriteria Legitimasi Pada prinsipnya ada 3 kemungkinan kriteria legitimasi, yaitu : a. Legitimasi Sosiologis Legitimasi sosiologis yaitu mempertanyakan mekanisme motivatif mana yang nyata-nyata wewenang
penguasa.
penggambaran
memmbuat masyarakat mau menerima
Sejauh
fungsi-fungsi
sosiologis yang
membatasi
terdapat
dalam
diri
pada
masyarakat,
sosiologis mengajukan pertanyaan apakah, dan karena motivasi manakah, suatu tatanan kenegaraan diterima dan disetujui oleh masyarakat. Max Weber merumuskan tiga motivasi penerimaan kekuasaan klasik : y
Legitimasi Tradisional Adalah keyakinan masyarakat tradisional, bahwa pihak yang menurut tradisi lama memegang pemerintahan memang berhak untuk berkuasa (ex : bangsawan atau keluarga raja)
y
Legitimasi Karismatik Adalah rasa hormat, kagum atau cinta masyarakat kepada seorang pribadi sehingga dengan sendirinya bersedia untuk taat kepadanya (ex : seseorang yang dianggap memiliki kesaktian)
y
Legitimasi Rasional-Legal Adalah kepercayaan pada tatanan hokum rasional yang melandasi kedudukan seorang pemimpin
b. Legalitas Kata µlegal¶ berarti µsesuai dengan hukum¶. Legalitas adalah kesesuaian dengan hokum yang berlaku. Legalitas adalah salah satu kemungkinan bagi keabsahan wewenang dan menuntut agar wewenang dijalankan sesuai dengan hukum yang berlaku. Adalah cukup jelas bahwa legalitas tidak mungkin merupakan tolak ukur paling fundamental bagi keabsahan
wewenang
politis,
karena
legalitas
hanya
dapat
memperbandingkan suatu tindakan dengan hukum yang berlaku, maka selalu sudah diandaikan keabsahan hukum. Pendasaran wewenang politik pada legalitas akhirnya merupakan regressus ad infinitum (mundur tanpa akhir) karena hukum positif yang mendasari legalitas s elalu harus berdasarkan suatu hukum positif lagi. Dengan kata lain, legitimasi paling fundamental tidak dapat didasarkan pada penetapan hukum positif. c. Legitimasi Etis Mempersoalkan keabsahan wewenang kekuasaan politik dari segi norma-norma moral. Setiap tindakan negara (eksekutif atau legislatif) dapat harus dipertanyakan dari segi norma-norma moral. Legitimasi etis yang menjadi pokok bahasan etika politik tidak menyangkut masing-masing kebujaksanaan dari kekuasaan politik, melainkan dasar kekuatan politis itu sendiri. 5. Kekhasan Legitimasi Etis a.
Legitimasi etis dan legalitas Legitimasi etis dimaksud pembenaran atau pengabsahan wewenang negara berdasarkan prinsip-prinsip moral, maka legalitas menyangkut fungsi-fungsi kekuasaan negara dan menuntut agar fungsi-fungsi itu diperoleh dan dilakukan sesuai dengan hukum yang berlaku.
Namun legalitas semata-mata tidak dapat menjamin legitimasi etis. Dikarenakan, legalitas hanya memakai hukum yang berlaku sebagai kriteria keabsahan.
BAB III. PENUTUP 3.1
Kesimpulan Berdasarkan analisa teori-teori yang ada, kami menyimpulkan negara Indonesia menganut teori kedaulatan rakyat, karena teori ini menggambarkan bahwa kekuasaan ada pada rakyat yang diwalkan oleh seseorang yang dipilih langsung oleh rakyat. Adapun struktur lembaga negara di Indonesia seperti DPR bersifat menampung setiap aspirasi dari masyarakat dan bertujuan untuk kebaikan masyarakat itu sendiri. Hal ini sesuai dengan teori yang dikemukakan oleh J.J. Rousseau bahwa kedaulatan rakyat itu adalah cara atau sistem yang bagaimana pemecahan suatu soal memenuhi kehendak umum.