LEMBAGA-LEMBAGA KEKUASAAN NEGARA DENGAN ISLAM
LEMBAGA-LEMBAGA KEKUASAAN NEGARA Diajukan untuk memenuhi salah satu tugas terstruktur pada mata kuliah Hukum Tata Negara Islam dari dosen : Dr.Widyawati,M.HI. Di susun oleh: Rubbani (1209305076) Tedy Herdiana (12093050) ILMU HUKUM C SEMESTER V
FAKULT AKULTAS SYARI’ SYARI’AH AH DAN HUKUM HUKUM UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SUNAN GUNUNG DJATI BANDUNG 2011 Kata Pengantar Bismillahhirohmannirohim Segala Segala puji bagi Allah Allah SWT. SWT. Zat yang telah telah mencipta menciptakan kan kaidah yang memberi memberi tuntunan tuntunan bagi manusia. manusia. Karena Karena berkat berkat rahmat rahmat dan hidayah-N hidayah-NY YA kami dapat menyelesaikan makalah Hukum Lingkungan Lingkungan yang berjudul “MENUMBUHKAN KESADARAN HUKUM LINGKUNGAN HIDUP DAN PENGELOLAAN LINGKUNGAN HIDUP DI DAERAH OTONOM” Kami mengucapkan banyak terima kasih pada semuah pihak yang telah memb memba antu ntu
dalam lam
pemb embuata uatan n
mak makalah lah
ini ini
sehin ehing gga, ga,
mak makalah alah
ini ini
dapat pat
terselesaikan tepat pada waktunya. Sebagai langkah awal, makalah ini masih jauh dari kesempu kesempurna rnaan an karena karena masih masih banyak banyak terdapat terdapat kesalah kesalahan an dan kekur kekuranga angan n didalamn didalamnya. ya. Oleh karena karena itu saya sangat mengharapka mengharapkan n kritik kritik dan saran saran yang bersifat membangun demi mencapai kesempurnaan makalah ini.
Semoga makalah ini bermanfaat dan dapat memberikan informasi bagi mahasiswa hususnya dan masyarakat umumnya dalam mengembangkan ilmu pengetahuan.
Bandung, November 2011,
Penulis
DAFTAR ISI Kata Pengantar.......................................................................................................... ........... i Daftar Isi....................................................................................................................... ....... ii
BAB I PENDAHULUAN A. Latar
Belakang
Masalah.......................................................................................... 1 B. Identifikasi
Masalah................................................................................................ 5
BAB II PEMBAHASAN 1. Kesadaran Manusia Terhadap Hukum
Lingkungan.................................................6 2. Pembangunan
Nasional
dan
Pembangunan
Berkelanjutan..........................................7
3. Kebijakan Pengelolaam Lingkungan Hidup Dalam Otonomi Daerah............................ 11
4. Potret Lingkungan Hidup di Daerah....................................
………………………………..13
BAB III KESIMPULAN.................................................................................. …………………….17 DAFTAR PUSTAKA ........................................................................................................... .18
BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah
Sebenarnya prinsip pembagian kekuasaan dalam islam lebih tepat di diskusikan secara terpisah dalam kerangka konsep Negara Islam. Karena pembahasanya lebih erat dengan Sistem pemerintahan Negara Islam. Dan itu membutuhkan sejarah dan penelitian yang cukup panjang mengenai bentuk Negara Islam. Akan tetapi di sini akan di singgung sedikit pembagian
kekuasaan dalam Islam sebagai pengetahuan apakah ada pemisahan atau pembagian kekuasaan dalam islam? Apakah sama atau sejalan dengan pembagian kekuasaan modern milik Montesquieu dan yang di pakai oleh Negara zaman sekarang? Di dalam sistem kekuasaan Islam menurut beberapa ahli juga terdapat pembagian kekuasaan seperti teori Trias Politica menurut fungsinya karena berdasarkan konstitusi negara Islam dijelaskan pada surat An-Nisa ayat 58-59 : “Sesungguhnya Allah menyuruh kamu menyampaikan amanah kepada yang berhak menerimanya dan menyuruh kamu apabila menetapkan hukum diantara manusia supaya kamu menetapkan dengan adil. Sesungguhnya Allah memberi pengajaran yang sebaik-baiknya kepada kamu. Sesungguhnya Allah adalah Maha Mendengar lagi Maha Melihat. Hai orang-orang yang beriman taatilah Allah dan taatilah Rasul, dan ulil amri diantara kamu. Kemudian jika kamu berlainan pendapat tentang sesesuatu maka kembalikanlah ia kepada Allah (Al-Qur’an) dan Rasul (Sunnahnya).[1] Ada banyak penafsiran dari beberapa tokoh Muslim tentang substansi dari ayat tersebut. Menurut Muhammad Rasyid Ridha ayat tersebut menyatakan bahwa terdapat kaidah-kaidah pemerintahan Islam. Sementara itu, menurut Sayyid Qutbh ayat ini menjelaskan kaidah-kaidah asasi tentang organisasi umat Islam (negara), kaidah-kaidah hukum dan dasar-dasar mengenai kekuasaan negara.Sedangkan Maulana Muhammad Ali menyatakan bahwa ayat ini menggariskan tiga aturan penting tentang hal-hal yang berhubungan dengan kesejahtraan umat Islam, terutama yang bertalian dengan pemerintahan. Dari ketiga penafsiran tokoh tersebut kita dapat menarik kesimpulan tentang dasar-dasar kaidah kekuasaan dan pemerintahan dalam Islam yang berlandaskan Al-Qur’an dengan dijalankan lewat ulil amri. Di dalam ayat tersebut terdapat kata ulil amri, yang memiliki banyak arti, diantaranya adalah ahlul halli wal aqdi (kelompok yang ahli dalam mengambil keputusan dan memberikan pertimbangan yang sehat demi kepentingan umum). Ulil amri juga dapat berarti pemerintahan dengan raja/khalifah/imam/amir sebagai kepala pemerintahan. Namun, ulil amri juga dapat berarti sekelompok orang yang bertugas menjalankan dan menjatuhkan hukum. Kita dapat menyimpulkan dari arti ulil amri menjadi sekelompok orang yang menjalankan pemerintahan dari segi eksekutif, legislatif, dan yudikatif. Eksekutif termuat di dalam pengertian ulil amri sebagai raja/khalifah/imam/amir yang memimpin pemerintahan. Kekuasaan legislatif termuat di dalam pengertian ulil amri sebagai ahlul halli wal aqdi suatu kelompok yang ahli dalam mengambil keputusan dan memberikan pertimbangan yang sehat demi kepentingan umum.
Sedangkan, untuk kekuasaan yudikatif termuat dalam pengertian ulil amri sebagai sekelompok orang yang bertugas dan menjalankan hukum. Dalam sebuah praktek ketatanegaraan tidak jarang terjadi pemusatan kekuasaan pada satu tangan, sehingga terjadi pengelolaan sistem pemerintahan yang dilakukan secara absolut atau otoriter, sebut saja misalnya seperti dalam bentuk monarki dimana kekuasaan berada ditangan seorang raja. Apalagi jika kekuasaan itu di warnai dengan paham teokrasi yang menggunakan prinsip kedaulatan Tuhan, maka kekuasaan Raja semakin absolute dan tak terbantahkan sebagaimana yang telah tergoreskan dalam sejarah peradaban Mesir, Yunani dan Romawi kuno, peradaban China, India, hingga peradaban Eropa. Maka untuk menghindari hal tersebut perlu adanya pembagian/pemisahan kekuasaan, sehingga terjadi kontrol dan keseimbangan diantara lembaga pemegang kekuasaan. Selanjutnya kita akan membahas apakah maksud dari prinsip ini? Bagaimana perkembangannya? Serta bagaimana praktek penerapannya dalam suatu negara? Begitu juga adakah pembagian kekuasaan dalam Islam dan seperti apakah?
1.2 Identifikasi Masalah
1. Apa saja pembagian kekuasaan (Lembaga Negara) dalam konsep Islam menurut para ulama ? 2.
Apa perbedaan lembaga legislatif (pembuat undang-undang ) dalam konsep islam dengan konsep tata negara barat?
BAB II PEMBAHASAN 1. Pembagian Lembaga Kekuasaan Negara Pada masa Khulafaurrasidin
Implementasi pembagian kekuasaan ini dapat kita lihat pada masa khulafaur rasyidin. Pada masa itu kekuasaan eksekutif dipegang oleh seorang khalifah, kekuasaan legislatif dipegang oleh Majelis Syuro, dan kekuasaan yudikatif dipegang oleh Qadhi atau hakim. Pada masa Khulafaur Rasyidin, khalifah (eksekutif) pertama dalam negara Islam adalah Abu Bakar. Sedangkan Majelis Syuro (legislatif) berisi tokoh-tokoh kaum Anshar dan Muhajirin. Kemudian, pada masa khalifah kedua, yaitu Umar Bin Khattab pembagian kekuasaan antara eksekutif, legislatif, dan yudikatif diperinci lewat undang-undang. Pada masa ini juga, Umar Bin Khattab membuat suatu undang-undang yang memisahkan antara kekuasaan eksekutif dengan yudikatif, dengan tujuan para qadhi sebagai pemegang kekuasaan yudikatif dalam memutuskan perkara harus bebas dari pengaruh eksekutif.[2]
Dengan demikian, sebenarnya, antara sistem pembagian kekuasaan Islam dengan sistem pembagian kekuasaan barat modern tidak ada perbedaan fundamental, hanya istilah penyebutannya dan cara kerjanyanya saja yang berbeda. Seperti yang telah disinggung diawal makalah ini tentang sistem berpikir politik barat yang antroposentrik dan Islam yang Teosentrik Pun begitu dengan sistem pembagian kekuasaan di Indonesia, tidak ada perbedaan yang fundamental dengan sistem pembagian kekuasaan Islam yang menempatkan presiden (khalifah) sebagai pemegang kekuasaan eksekutif, DPR (Majelis Syuro) sebagai pemegang kekuasaan legislatif, dan MA (Qadhi) sebagai pemegang kekuasaan yudikatif. Jadi, sebelum konsep trias politica lahir, Islam telah mengenal konsep tentang pembagian kekuasaan beratusratus tahun sebelumnya.
2. Pembagian Kekuasaan Menurut Para Ulama A. Abdul Wahab Khallaf
Membaginya menjadi tiga bagian, yaitu: 1.Lembaga
legislatif
(sultah
tasyri’iyah),
lembaga
ini
adalah
lembaga
negara
yang menjalankan kekuasaan untuk membuat undang-undang. 2.
Lembaga
eksekutif
(sultah
tanfiziyyah),
lembaga
ini
adalah
lembaga
negara
lembaga
ini
adalah
lembaga
negara
yang berfungsi menjalankan undang-undang. 3.
Lembaga
yudikatif
(sultah
Qada’iyyah),
yang menjalankan kekuasaan kehakiman.[3]
2.Abdul Kadir Audah
kekuasaan dalam negara Islam itu dibagi ke dalam lima bidang, artinya ada lima kekuasaan dalam Negara Islam, yaitu: 1. Sultah Tanfiz}iyyah (kekuasaan penyelenggara undang-undang). 2. Sultah Tashri’iyah (kekuasaan pembuat undang-undang). 3. Sultah Qadhoiyah (kekuasaan kehakiman). 4. Sultah Maliyah (kekuasaan keuangan). 5. Sultah Muraqabah wa Taqwim (kekuasaan pengawasan masyarakat).[4]
Kekuasaan berada di tangan empat pihak, yaitu Khalifah, Mu’awin Tafwidl, Wali dan Amil. Selain mereka, tidak dianggap sebagai penguasa, melainkan hanya pegawai pemerintah. khususnya yang berkaitan dengan perbedaan kekuasaan (al hukm, as sulthan) dengan administrasi (al idarah). Penguasa (al haakim) adalah orang yang menjalankan kekuasaan atau pemerintahan (munaffidzul hukm), yang berwenang untuk menerapkan peraturan dan undang-undang atas rakyat. Dalam struktur negara Khilafah, mereka yang memiliki kewenangan ini adalah empat pihak, yaitu Khalifah, Mu’awin Tafwidl, Wali dan Amil. Selain mereka, tidak termasuk penguasa tetapI termasuk pegawai pemerintah (al muwazhzhaf ) yang tugasnya berkaitan dengan administrasi, bukan kekuasaan. Administrasi (al idarah) merupakan kumpulan cara yang bersifat teknis (uslub) atau sarana fisik (wasilah) untuk melaksanakan suatu aktivitas tertentu.[5]
3. Lembaga Yudikatif/Kekuasaan Kehakiman (sultah Qada’iyyah)
Adapun menyelesaikan
mengenai
pentingnya
perkara-perkara
perbantahan
penganiayaan,
mengambil
hak
yang
melindungi
orang
punya
kekuasaan
dari
orang
yang
kehakiman
dan
adalah
permusuhan,
durjana
dan
kehilangan
untuk
pidana
mengembalikannya
hak-haknya,
dan kepada
mengawasi
harta
wakaf dan lain-lain. Tujuan pengadilan dalam Islam bukanlah untuk mengorek kesalahan dapat
dihukum, tetapi
supaya
yang
benar
Lembaga
peradilan
independen
yang
yang
menjadi
dinyatakan menurut
tidak
tujuan
benar para
membedakan
pokok
dan ulama
pihak-pihak
yaitu
yang fikih yang
agar
menegakkan kebenaran
salah
dinyatakan
merupakan bersengketa
salah. lembaga
di
hadapan
majlis hakim. Lembaga peradilan merupakan salah satu lembaga yang tidak terpisahkan dari tugas-tugas pemerintahan umum (al-wilayah al-‘ammah). Keberadaan
suatu
lembaga
peradilan
(al-Qada’)
memiliki
landasan
yang
kuat dalam Islam. Dasar disyariatkannya lembaga peradilan/ al-Qada’ salah satunya dalam Islam adalah firman Allah dalam surat Shaad ayat 26: “
Hai
Daud,
Sesungguhnya
kami
menjadikan
kamu
khalifah
(penguasa)
di
muka bumi, Maka berilah Keputusan (perkara) di antara manusia dengan adil dan
janganlah kamu mengikuti hawa nafsu, Karena ia akan menyesatkan kamu dari jalan
Allah.
Sesungguhnya
orang-orang
yang
sesat
darin
jalan
Allah
akan
mendapat azab yang berat, Karena mereka melupakan hari perhitungan”. Atas dasar ayat-ayat dan hadis di atas, para ulama fiqh sepakat menyatakan bahwa mengadakan dan menjalankan lembaga al-Qada’ itu hukumnya wajib kifayah (kewajiban kolektif umat Islam). Eksistensi harus
ada
untuk
lembaga
untuk
peradilan
melindungi
didukung
kepentingan-kepentingan
menghilangkan
berbagai
Dalam
pemerintahan
sejarah
Islam
sengketa
yang
Islam,
orang
dengan orang
timbul yang
akal.
yang
teraniaya
dalam
pertama
Sebab,
ia dan
masyarakat. kali
menjabat
hakim di Negara Islam adalah Rasulullah SAW, dan beliau menjalankan fungsi tersebut selaras dengan hukum Tuhan. Lembaga peradilan pada masa khulafa al-Rasyidin juga mengikuti prinsip peradilan
yang
kekhalifahan (dewan
pernah
bani
dilakukan
Abbasiyah,
pemeriksa
oleh
dibentuk
pelanggaran)
dan
Rasulullah dewan
SAW.
Madzalim/
selanjutnya
Baru
pada
Wilayah
dibentuk
zaman
al-Mazalim
dewan
hisbah
(kekuasaan al-Muhtasib).
4. Kekuasaan Eksekutif (Sulthah Tanfidziyyah)
Konsep Imamah/Imam, Khilafah/Khalifah, Imarah/Amir, Wizarah/Waazir Lembaga kepala Negara dan pemerintahan atau kekuasaan eksekutif diadakan sebagai pengganti fungsi kenabian dalam menjaga agama dan mengatur dunia. Pengangkatan Negara menurut umat islam adalah wajib menurut ijma’. akan tetapi dasar kewajiban itu diperselisihkan, apakah berdasarkan rasio atau syariat? Kemudian salah satu diskursus penting yang tidak pernah kering diperbincangkan banyak ulama adalah: bagaimana bentuk pemerintahan dalam Islam? Jawaban dari pertanyaan ini tidaklah tunggal. Masing-masing pihak memiliki argumentasi dan pendapat berbeda-beda. Ini menunjukkan betapa kaya dan beragam khazanah keilmuan yang dimiliki dunia Islam. Di antara banyak ulama yang mencoba memberikan jawaban atas pertanyaan tersebut adalah Taqiyuddin Ibnu Taymiyah (1263-1328) dalam risalahnya “al-Siyasah al-Syariyyah” (pemerintahan syariat). Dalam kitabnya ini, Ibnu Taymiyah menegaskan bahwa tujuan
kekuasaan adalah memperbaiki agama manusia dan mengatur urusan dunia yang tanpanya agama tidak sempurna. Bahkan, lanjut Ibnu Taymiyah, agama tidak akan tegak tanpa kekuasaan. Membangun dan mendirikan kekuasaan adalah kewajban agama yang paling luhur. Tujuannya mengantarkan manusia pada kebahagiaan dunia dan akhirat. Agama dan negara, kata Ibnu Taymiyah, ibarat sekeping uang logam yang sisi-sisinya saling melengkapi. “Qawwamu al-din bi al-saef wa al-mushaf,” tegas Ibnu Taymiyah. Maksudnya, agama tidak akan bisa tegak kecuali dengan mushaf (al-Quran dan al-Hadits) dan pedang (kekuasaan). Dari sini bisa dipahami bahwa kekuasaan (negara) dalam pandangan Ibnu Taymiyah semacam alat/eksekutor untuk memuluskan kepentingan dan tujuam agama, mulai dari persoalan persoalan privat, seperti salat, haji, zakat, dsb, hingga urusan publik, seperti hudud, pajak, hingga menyangkut pertahanan dan keamanan negara (Jihad). Ibnu Taymiyah masih belum mengenal pembagian kekuasaan dalam negara, seperti yang ditawarkan Jhon Locke dan Montesque yang membagi kekuasaan ke dalam tiga bagian: legislatif (al-sulthah al-tasyri’iyyah), eksekutif (al-Sulthah al-tanfidziyyah), dan yudikatif (alsulthah al-qadlaiyyah). model pembagian kekuasaan dimaksudkan untuk menghindari terpusatnya kekuasaan hanya pada satu orang (penguasa otoriter). Ia hanya mengenal seorang pemimpin
yang
memiliki
otoritas
tunggal,
seperti
yang
terjadi
pada
masanya.
Konsep Imamah/Imam Konsep Imamah bermula dari kata umat, jamaknya umam yang artinya umat, rakyat atau bangsa. Dalam bahasa inggrisnya disebut nation, people. Dalam kamus Munawwir, ia bermakna; imam atau pemimpin. Dari akar kata itulah muncul perkataan imamah. Makna Imam berarti pemimpin atau orang yang di depan. Kata "imam" dalam bahasa Arab tidak menunjukkan arti kesucian hidup. Dan imam adalah orang yang punya pengikut, tak soal dengan fakta apakah dia saleh atau tidak. Al-Qur'an sendiri menggunakan kata ini dalam kedua arti itu. Imamah adalah doktrin Syi’ah Islam tentang kepemimpinan politik dan spiritual dalam khilafah yang harus dipegang oleh salah seorang imam dari keturunan Sayyidina Ali. Setelah Nabi Muhammad meninggal, siapakah yang seharusnya memegang kepemimpinan khilafah? Keluarga Nabi menghendaki dari keluarganya yakni Ali bin Abi Thalib. Namun di saat mereka sibuk mengurus jenazah Nabi, Abu Bakar sudah dibai’at menjadi khalifah, sehingga mereka tidak sempat mengikuti pembai’atan itu.
Kerana itu, keluarga Nabi tersebut tidak segera berbaiat kepada Abu Bakar. Sungguhpun begitu, pada akhirnya mereka tidak boleh tidak membai’atnya juga. Di sinilah awal munculnya benih-benih perbedaan yang menjadi dua kelompok besar yaitu Sunni dan Syi’ah. Kelompok sunni percaya bahwa kepemimpinan harus dipegang oleh mereka yang dipilih. Sedang Syi’ah percaya secara definitif harus terdiri dari 12 orang keturunan Rasulullah. Ali bin Abi Thalib yang menjabat sekitar 17 Maret 599 M-28 Februari 661 H adalah khalifah yang keempat dan terakhir bagi kelompok sunni, tapi yang pertama bagi Syi’ah.Syi’ah sekarang ini, khususnya aliran istnaa-asyariyyah banyak berkembang di Iran, Iraq dan Lebanon. Setelah Imam yang kedua belas, konsep kepemimpinan Syi’ah tidak dapat dipertahankan lagi, sehingga muncul istilah Vilayat-e Faqih yang diderivasi oleh Imam Khomeini sehingga menghasilkan revolusi 1979 di Iran. Syi’ah 12 berpendapat bahwa setelah ghaibnya imam mereka yang kedua belas, kepemimpinan dilanjutkan oleh para sarjana, mujtahid, dan ayatullah sehingga sang imam muncul kembali. Dalam al-Ahkam al-Sulthaniyyah al-Mawardi tidak berbicara eksplisist tentang Negara maupun tentang konsep imamah. Dikarenakan keberadaan kekhalifahan Abbasiyah dan masyarakat Islam telah diterima sebagai realitas politik taken for granted.(di diwarisi). Dalam perspektif kontemporer imamah di identikkan dengan lembaga kepresidenan, dan imam disejajarkan dengan presiden atau kepala Negara. Imamah sebagai sebuah lembaga politik yang sangat sentral dan penting dalam Negara, mempunyai tugas utama yakni menjalankan fungsi kenabian dalam melindungi agama dan mengatur dunia. Kata Al-Mawardi, “Al-Imamah maudu’atu li khilafat al-nubuwwah fi hisarat al-din wa siyat al-dunya”. Menurutnya pelembagaan imamah dilakukan karena adanya perintah agama dan bukan karena pertimbangan akal. Alasannya firman Tuhan : “Wahai orang-orang yang beriman, taatlah kepada Allah, taatlah kepada Rasul dan kepada orang-orang
yang
mempunyai
otoritas
dari
kalangan
kamu”.(QS.
An-Nisa’:
59).
Pemilihan Imam dilakukan dengan Ijma’ (consensus) umat Islam dan hukumnya wajib. Dengan kata lain, imam di pilih melalui sebuat pemilihan yang dilakukan oleh pemilih dengan yang memenuhi syarat-syarat tertentu.
5. Kekuasaan Legislatif (sultah tasyri’iyah)
Berdasarkan musyawarah Rasulullah
atau saw
dalil
naqli
majelis dan
inilah
syuro
Khilafah
yang
dalam
Islamiyah
menjadi
fondasi
Daulah
Islamiyah
yang
berdirinya yang
dikembangkan
lembaga dibangun
oleh
Khulafar
Rasyidin. Perbedaan yang sangat mendasar antara majelis syuro menurut konsep Al-Qur’an yang dikembangkan
dalam Khilafah Islamiyah dengan
lembaga legislatif menurut
konsep trias politika adalah majelis syuro merupakan lembaga musyawarah yang tidak
terpisah
menurut
dengan
konsep
lembaga
trias
politika
kekhalifahan. adalah
Sedangkan
lembaga
yang
lembaga
terpisah
legislatif
dari
lembaga
eksekutif atau lembaga pemerintah. Tidak terpisahnya kekuasaan majelis syuro dengan lembaga kekhalifahan karena dalam konsepsi ketatanegaraan Islam tidak ada yang dinamakan lembaga pembuat hukum
dan
undang-undang
sebagaimana
yang
berlaku
dalam
konsep
trias
politika. Fungsi majelis syuro mengangkat aturan, hukum yang telah diturunkan Allah SWT
dan
dicontohkan
Rasulullah
hak
tugas
mempunyai
dan
saw,
begitu
mengangkat,
juga
lembaga
menerapkan,
kekhalifahan
menjalankan,
dan
melaksanakan aturan, hukum yang telah diturunkan Allah SWT dan dicontohkan Rasulullah saw. Seperti yang telah diterangkan dalam tulisan sebelum ini yaitu majelis syuro merupakan dewan musyawarah yang mempunyai fungsi untuk membicarakan segala urusan
baik
anggota
yang
majlis
disampaikan
syuro
dalam
oleh
hal
rakyat
keuangan,
maupun
yang
keamanan,
timbul
hukum,
dari
yang
para
nantinya
dikonsultasikan dengan Khalifah. Dimana dalam membicarakan segala urusan ini harus dikembalikan kepada dasar dan
sumber
hukum
yaitu
Al
Qur’an
dan
Sunnah.
Apabila
ternyata
tidak
ada
nas-nya (dasar Al Qur'an dan hadist) yang kuat, maka para mujtahid dan para akhli untuk
dalam
bidang masing-masing
mencari
hadits-hadits
hukum
yang
umum
dengan serta
dari anggota membandingkan menyesuaikan
majlis syuro dan dan
melakukan
meneliti
ijtihad
ayat-ayat
mempertimbangkan
dan
dengan
perkara yang sedang dibicarakan kemudian diqiaskan dengan hukum yang sudah ada yang berdekatan dengan perkara yang sedang dibicarakan itu. Dan apabila dalam melakukan ijtihad ini timbul beberapa pendapat yang berbeda,
dimana
masing-masingnya
memiliki
ayat-ayat
dan
hadits-hadits
yang
umum yang kuat, maka jalan keluarnya adalah bukan melalui pemungutan suara, tetapi diserahkan kepada Khalifah untuk dipakai
dan
ditetapkan
ditaati
oleh
seluruh
yang nantinya rakyat
memutuskan pendapat mana yang akan
akan diterapkan
termasuk
Khalifah
di Khilafah Islam untuk
dan
seluruh
penguasa
di
Khilafah Islam. Jadi dalam masalah pemutusan pendapat mengenai aturan, hukum, undang-undang antara
majelis
syuro
dan
lembaga
kekhalifahan
tidak
bisa
dipisahkan
satu
sama lain. Adapun dalam masalah fungsi majelis syuro memilih dan mengangkat khalifah itu
merupakan
memilih
dan
kekuasaan
hak
kekuasaan
mengangkat
untuk
Impeachment
dan
khalifah.
menurunkan
selama
khalifah
majelis Tetapi
atau tidak
syuro majelis
sebagai syuro
menjatuhkan
terbukti
wakil
tidak
punya
khalifah
menyeleweng
rakyat
atau
dari
untuk
hak
dan
melakukan
garis-garis
yang
majelis
syuro,
telah ditetapkan dalam Al Qur’an dan As-Sunnah. Jadi,
khalifah
melainkan
khalifah
garis-garis
yang
khalifah
tetap
bisa
bisa
telah berada
jatuh,
jatuh
bukan
kapan
ditetapkan digaris
karena
saja
dalam
yang
telah
Al
dijatuhkan
apabila
oleh
terbukti
Qur’an
dan
ditetapkan
menyeleweng As-Sunnah.
dalam
Al
dari
Selama
Qur’an
dan
As-Sunnah, maka selama itu khalifah terus memimpin dan menjadi imam khilafah Islamiyah. Pada masa pemerintahan Khulafaur Rasyidin tidak pernah terjadi Khalifah diturunkan atau melakukan
dijatuhkan.
tindakan
yang
Karena
memang tidak
menyeleweng
dari garis
terbukti bahwa yang
telah
para kahlifah
ditetapkan
dalam
Al Qur’an dan As-Sunnah. Adapun terbunuhnya Khalifah Utsman bin Affan bukan karena Khalifah telah menyeleweng dari garis yang telah ditetapkan dalam Al Qur’an dan As-Sunnah, melainkan
karena timbulnya
ketidak
puasan dari warga Khilafah Islamiyah
atas
kebijaksanaan Gubernur Affan.
politik
yang
Dan
Khalifah
ada
tali
timbulnya
Utsman
hubungan
bin
Affan
kekeluargaan
orang-orang
kaya
baru
atas
dengan
yang
pengangkatan Khalifah
memiliki
para
Utsman
harta
dan
bin tanah
yang luas di daerah yang dikuasai Khilafah Islamiyah, dimana Khalifah Utsman bin
Affan
sehingga
tidak
mampu
membangkitkan
mengatur rasa
dan
tidak
mengontrol
puas
dan
orang-orang
rasa
ketidak
kaya
adilan
baru
ini,
dikalangan
warga Khilafah Islamiyah. Jadi dalam ketatanegaraan Islam, konsep Check and Balances antara majelis syuro tetap
dan
lembaga
berada
di
kekhalifahan
garis
yang
telah
adalah
dengan
ditetapkan
melihat
dalam
Al
apakah
khalifah
Qur’an
dan
masih
As-Sunnah
atau sudah keluar. Dan majelis syuro tidak mempunyai hak Impeachment, karena jatuhnya
khalifah
syuro, melainkan
bukan kalau
karena
adanya
tuntutan
terbukti secara hukum
dan
tuduhan
khalifah telah
dari
majelis
menyeleweng
dari
garis yang telah ditetapkan dalam Al Qur’an dan As-Sunnah. Karena itu dalam ketatanegaraan Islam semangat musyawarah antara majelis syuro
dan
lembaga
kekhalifahan
merupakan
dorongan
dan
tenaga
bagi
lajunya
roda pemerintahan Khilafah Islamiyah yang didasarkan kepada aqidah Islam. 6. Pembatasan dan Pertanggungjawaban Kekuasaan
Setelah konsep pembagian kekuasaan tersebut masalah pokok berikutnya adalah tentang pembatasan dan pertanggungjawaban kekuasaan serta pergiliran kekuasaan menurut konsep Islam. Islam melalui Al-Qur’an sebagai sumber hukum utamanya telah menjelaskan tentang kewajiban bagi penguasa untuk tidak bertindak melebihi batas dan sewenang-wenang. Maka barangsiapa yang bertindak demikian, penguasa tersebut merupakan penguasa yang zhalim dan hanya akan menyengsarakan rakyatnya. Oleh karena itu, Islam sangat membatasi kekuasaan para penguasa sehingga baik para penguasa maupun rakyat yang dipimpinnya nantinya dapat selamat dunia dan akhirat. Sebab, dalam Islam pertanggungjawaban kekuasaan bukan hanya kepada manusia atau rakyat yang dipimpinnya, melainkan juga tanggung jawab kepada Tuhan sesuai dengan konsep kedaulatan Tuhan. Sedangkan, bagi rakyat yang dipimpinnya mendapat penguasa yang bijaksana dan adil merupakan suatu berkah dari Tuhan yang apabila disyukuri akan menambah keridhaan Tuhan pada rakyat suatu negeri. Penguasa yang adil menurut Islam adalah penguasa yang senantiasa mengikuti petunjuk dan hukum dari
Tuhan melalui Al-Qur’an. Selain itu penguasa yang adil juga merupakan penguasa yang memberikan hak-hak rakyatnya termasuk golongan minoritas (non-muslim), secara penuh tanpa dikurangi sedikitpun menurut Al-Qur’an dan kekuasaan yang diberikan oleh rakyat kepadanya, tidak dijadikan alat untuk membatasi atau mengurangi sedikitpun hak-hak dari rakyat yang dipimpinnya. Sehingga baik golongan mayoritas maupun golongan minoritas dapat menerima hak-haknya berdasarkan ketentuan yang diberikan Al-Qur’an. Hanya ada beberapa hak yang tidak bisa diterima oleh golongan minoritas, hak-hak itu antara lain berupa hak untuk menduduki posisi puncak dari kekuasaan eksekutif (Khalifah), legislatif (Majelis Syuro), dan yudikatif (Qadhi) karena posisi-posisi puncak tersebut, berdasarkan Al-Qur’an harus diisi oleh pemeluk Islam. Selain dari posisi-posisi tersebut, golongan minoritas diperkenankan untuk memegang jabatan penting lainnya dalam sebuah negara Islam. Sehingga dengan demikian, Islam juga menaruh perhatian terhadap kekuasaan bagi golongan minoritas. Negara yang baik adalah negara yang mempergilirkan pucuk kekuasaan secara teratur (suksesi) baik itu lewat pemilu, pewarisan tahta, dan sebagainya. Sebab, apabila tidak ada suksesi maka lama-kelamaan kecenderungan para penguasa untuk menyalahgunakan kekuasaan sangat besar dan akan timbul kesombongan, lupa diri, dan simbolisasi pada diri para penguasa sehingga hal tersebut sangat bertentangan dengan konsep kekuasaan menurut Islam karena dapat membawa para penguasa menjadi penguasa zhalim dan tiran. Namun, dalam Islam tidak ada konsep pergiliran kekuasaan secara jelas, bahkan konsep pembatasan masa jabatan dari pemegang kekuasaan eksekutif, legislatif, dan yudikatif pada masa Khulafaur Rasyidin belum ada tetapi, karena hal ini merupakan bentuk kemaslahatan untuk negara dan tidak ada larangan di dalam Al-Qur’an dan hadist maka pembatasan dan pergiliran kekuasaan dalam Islam hukumnya adalah boleh. Sehingga masalah pergiliran kekuasaan dan pembatasan masa jabatan pemimpin adalah masalah baru da lam konsep kekuasaan Islam. Oleh karena itu, masalah ini merupakan masalah yang harus dipecahkan melalui itjihad ulama— sebagai sumber hukum negara Islam yang ketiga. Menurut beberapa itjihad yang dilakukan ulama tentang pembatasan dan pergiliran kekuasaan, apabila eksekutif (khalifah) melakukan penyelewengan dan penyalahgunaan kekuasaan yang mengarah kepada tirani dan absolutisme maka dalam hal ini, Majelis Syurolah yang memberhentikannya sebelum masa jabatannya berakhir. Sebab dalam hal ini memiliki beberapa hak yang hampir sama dengan sistem politik negara barat. Hak-hak tersebut antara
lain, hak untuk mengangkat dan memilih khalifah (pengangkatan khalifah pada masa Khulafaur Rasyidin menggunakan sistem musyawarah sehingga beberapa ahli politik menyimpulkan bahwa
sistem pemerintahan
Islam
berdasarkan
sistem pemerintahan
perwakilan), hak untuk memecat dan memberhentikan khalifah, hak untuk membuat undangundang dan kebijaksaan, dan hak untuk melakukan control terhadap khalifah. Sehingga, jelaslah bahwa konsep pembatasan dan pergiliran kekuasaan Islam sebenarnya nyaris sama dengan konsep kekuasaan barat.
BAB III KESIMPULAN
1. Pembagian kekuasaan lembaga negara dalam islam menurut para ulama diantaranya : A. Abdul Wahab Khallaf Membaginya menjadi tiga bagian, yaitu: 1.Lembaga
legislatif
(sultah
tasyri’iyah),
lembaga
ini
adalah
lembaga
negara
yang menjalankan kekuasaan untuk membuat undang-undang. 2.
Lembaga
eksekutif
(sultah
tanfiziyyah),
lembaga
ini
adalah
lembaga
negara
lembaga
ini
adalah
lembaga
negara
yang berfungsi menjalankan undang-undang. 3.
Lembaga
yudikatif
(sultah
Qada’iyyah),
yang menjalankan kekuasaan kehakiman.
2.Abdul Kadir Audah kekuasaan dalam negara Islam itu dibagi ke dalam lima bidang, artinya ada lima kekuasaan dalam Negara Islam, yaitu: 1. Sultah Tanfiz}iyyah (kekuasaan penyelenggara undang-undang). 2. Sultah Tashri’iyah (kekuasaan pembuat undang-undang). 3. Sultah Qadhoiyah (kekuasaan kehakiman). 4. Sultah Maliyah (kekuasaan keuangan). 5. Sultah Muraqabah wa Taqwim (kekuasaan pengawasan masyarakat).
2. Perbedaan Lembaga Legislatif menurut konsep islam dan tata negara barat : Perbedaan yang sangat mendasar antara majelis syuro menurut konsep Al-Qur’an yang dikembangkan
dalam Khilafah Islamiyah dengan
lembaga legislatif menurut
konsep trias politika adalah majelis syuro merupakan lembaga musyawarah yang tidak
terpisah
menurut
dengan
konsep
trias
lembaga politika
kekhalifahan. adalah
lembaga
Sedangkan yang
lembaga
terpisah
dari
legislatif lembaga
eksekutif atau lembaga pemerintah. Tidak terpisahnya kekuasaan majelis syuro dengan lembaga kekhalifahan karena dalam konsepsi ketatanegaraan Islam tidak ada yang dinamakan lembaga pembuat hukum politika.
dan
undang-undang
sebagaimana
yang
berlaku
dalam
konsep
trias
DAFTAR PUSTAKA
Hamka,buya.Sejarah Umat Islam. Jakarta:1991.Muslim Cendikia.
Khalaf,Abdul Wahab. Perkembangan Sejarah Hukum Islam. Jakarta:2000.CV Pustaka Setia. Syekh Taqiyyuddin al-Nabhani,Hizbut Tahrir,kitab Nizhamu al-Islam dan penjelasannya,kitab Muqaddimah Ad Dustur. Jakarta:2000. HT press.
http://aliranim.blogspot.com/2010/09/kekuasaan-eksekutif-sulthah.html
http://fsqcairo.blogspot.com/2011/04/teori-pemisahan-kekuasaan-dan.html
[1]http://fsqcairo.blogspot.com/2011/04/teori-pemisahan-kekuasaan-dan.html [2] Syekh Taqiyyuddin al-Nabhani,Hizbut Tahrir,kitab Nizhamu al-Islam dan penjelasannya,kitab Muqaddimah Ad Dustur.Jakarta:2000.HT press.
[3] Prof.Khalaf,Abdul Wahab. Perkembangan Sejarah Hukum Tata Negara Islam.Jakarta:2000.CV Pustaka Setia.
[4] http://aliranim.blogspot.com/2010/09/kekuasaan-eksekutif-sulthah.html [5]Syekh Taqiyyuddin al-Nabhani,Hizbut Tahrir,kitab Nizhamu al-Islam dan penjelasannya dalam kitab Muqaddimah Ad Dustur.