1. Teori Legitimasi
"Legitimasi adalah persepsi umum atau asumsi bahwa tindakan yang diinginkan entitas, tepat dan dibangun dari norma-norma, nilai-nilai, keyakinan, dan definisi suatu sistem sosial " (Suchman, 1995). 1995). Teori legitimasi sendiri sendiri merupakan teori yang timbul dari implikasi keberadaan kontrak sosial antara perusahaan dan masyarakat. Hal ini didasari oleh harapan masyarakat tentang perilaku suatu perusahaan. Donaldson dan Dunfee (1994) mengemukakan mengenai tiga prinsip dalam
“micro social contracts”
sebagai dasar interaksi di antara organisasi dan
masyarakat. Pertama, komunitas lokal menetapkan norma etika untuk anggota mereka melalui micro social contracts. Kedua, spesifikasi norma micro social contracts didasarkan pada persetujuan dan didukung oleh hak untuk keluar. Terakhir, untuk menjadi sesuatu yang wajib, micro social contracts harus sesuai dengan hypernorms atau hak diakui secara luas. Selain itu, teori legitimasi merupakan teori yang menginterpretasikan bagaimana dan kenapa korporasi peduli dengan isu lingkungan (Nasi (Nasi et al.,1997). al.,1997). Dalam prespektif sistem diasumsikan bahwa organisasi dipengaruhi oleh masyarakat dan pada gilirannya organisasi yang mempengaruhi masyarakat tempat organisasi beroperasi. Dengan demikian ini berarti bahwa menurut teori legitimasi, tujuan perusahaan adalah untuk melegitimasi perilakunya dengan mengelola presepsi stakeholder.
Berhubungan
dengan
presepsi
stakeholder,Hybels stakeholder,Hybels
(1995)
mengidentifikasi (hal. 244) empat empat stakeholder organisasi yang mempengaruhi legitimasi perilaku bisnis suatu perusahaan:
a) Pemerintah, berkaitan dengan hal kontrak, undang-undang, dan masalah perpajakan. b) Publik,
berkaitan
dengan
perlindungan
pelanggan,
dukungan
terhadap
kepentingan masyarakat dan tenaga kerja. c) Lembaga keuangan, berkaitan dengan investasi. d) Media, berkaitan dengan pemantauan kinerja dan aktivitas perusahaan yang berkaitan dengan lingkungan dan sosial. Secara substansial pemberitaan media dapat mempengaruhi keputusan yang diambil oleh stakeholder lainnya. Oleh karena itu, organisasi
berusaha untuk membangun keselarasan antara
nilai-nilai sosial yang terkait dengan kegiatan mereka dan norma-norma perilaku yang dapat diterima dalam sistem sosial yang lebih besar di mana mereka merupakan bagiannya. Sejauh dua sistem nilai ini kongruen maka legitimasi organisasi dapat terjadi. Namun, ketika ada perbedaan aktual atau potensial antara dua sistem nilai di sana, maka akan ada ancaman terhadap legitimasi organisasi tersebut (Mathew, 1993). Perbedaan aktual atau potensial antara dua sistem nilai sosial sering disebut sebagai legitimation gap. Lindblom (1994) mengatakan bahwa terdapat empat strategi legitimasi yang dapat diadopsi oleh suatu organisasi ketika dihadapkan dengan legitimacy gap. Dalam hal ini suatu organisasi dapat: 1) Mengubah outputnya dan metode atau tujuan organisasi agar sesuai dengan harapan masyarakat yang relevan dan kemudian menginformasikannya kepada kelompok masyarakat tersebut. 2)
Tidak
mengubah
output,
metode
ataupun
tujuan
organisasi,
tetapi
mendemonstrasikan kesesuaian dari output, metode, dan tujuan melalui pendidikan dan informasi.
3) Mencoba untuk mengubah persepsi dari masyarakat dengan menghubungkan organisasi dengan simbol-simbol yang memiliki status legitimasi yang tinggi dan 4) Mencoba untuk mengubah harapan masyarakat dengan menyesuaikannya dengan output, tujuan dan metode organisasi.
Oleh karena itu, dalam konteks manajemen lingkungan dan auditing, menggunakan teori legitimasi memungkinkan untuk fokus terhadap hubungan antara organisasi dan masyarakat.
.
Teori legitimasi menjelaskan bahwa pengungkapan tanggung jawab sosial dilakukan perusahaan dalam upayanya untuk mendapatkan legitimasi dari masyarakat sekitar dan selanjutnya akan mengamankan perusahaan dari hal-hal 19
yang tidak diinginkan. Lebih jauh lagi, legitimasi ini akan meningkatkan reputasi perusahaan di mata masyarakat, yang pada akhirnya akan berpengaruh pada nilai perusahaan tersebut (Harsanti, 2011).