BAB III PENCABUTAN KEKUASAAN ORANG TUA TERHADAP ANAK MENURUT UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 23 TAHUN 2002 TENTANG PERLINDUNGAN ANAK
A. Pencabutan Kekuasaan Orang Tua Terhadap Anak
Di masyarakat Indonesia dikenal beberapa pola hubungan kekerabatan. Istilah
kekerabatan
sering
digunakan
dalam
pengertian
kerabat
dan
perkawinan, akan tetapi kedua hal ini dapat dibedakan yaitu pengertian kekerabatan terkandung pengertian hubungan darah sedangkan perkawinan tidak mempunyai pengertian hubungan darah. Dalam kehidupan, seorang anak dianggap sebagai keturunan dari kedua orang tuanya, sehingga anak tersebut mempunyai hubungan kekerabatan yang ditarik melalui a yah dan ibunya. Hubungan kekerabatan ini berfungsi sebagai sarana pengikat individu-individu
ke
dalam
kelompok-kelompok
masyarakat,
seperti
keluarga. Anak sebagai salah satu unsur dari suatu keluarga mengalami hubungan-hubungan antara pribadi yang pertama-tama dalam keluarganya, misalnya hubungan anak dengan orang tuanya, anak dengan sesama anak yang lain, anak dengan anggota kerabat orang tuanya. Hubungan seorang anak dengan kerabat lain itu tergantung dari status anak itu sendiri. Apakah dia adalah anak yang dilahirkan secara sah atau dia adalah anak luar kawin atau dia merupakan anak angkat. Dengan
35
36
adanya perbedaan status anak sah atau anak luar kawin menyebabkan timbulnya beberapa perbedaan dalam masalah mengenai: 1. Hak memakai nama keluarga 2. Pemberian izin perkawinan 3. Hak untuk mewarisi 4. Kekuasaan orang tua 1 Adapun akibat hukum dari adanya hubungan hukum antara anak dengan kedua orang tuanya adalah: 1. Adanya larangan kawin antara ayah dan anak perempuannya atau antara ibu dan anak laki-lakinya 2. Timbulnya hak dan kewajiban secara timbal balik dalam hal pemeliharaan 3. Jika ada ayah, maka ia harus selalu bertindak sebagai wali dari anak perempuannya yang akan melaksanakan akad nikah secara Islam, atau menjadi wali dari anaknya yang masih belum dewasa apabila anak tersebut akan melakukan hubungan hukum. 2 Berkenaan dengan judul skripsi ini, maka dalam pasal 26 UndangUndang Perlindungan Anak disebutkan pula bahwa: (1) Orang tua berkewajiban dan bertanggung jawab untuk: a. Mengasuh, memelihara, mendidik dan melindungi anak
1
Irma Setyowati Soemitro, Aspek Hukum Perlindungan Anak , Jakarta: Bumi Aksara, 1990,
hlm. 28 2
H.A.M. Effendy, Pokok-Pokok Hukum Adat , Duta Grafika, 1990, hlm. 92
37
b. Menumbuhkembangkan anak sesuai dengan kemampuan, bakat, dan minatnya, dan c. Mencegah terjadinya perkawinan pada usia anak-anak (2) Dalam hal orang tua tidak ada, atau tidak diketahui keberadaannya atau karena suatu sebab, tidak dapat melaksanakan kewajiban dan tanggung jawabnya, maka kewajiban dan tanggung jawab dapat beralih kepada keluarga,
yang
dilaksanakan
sesuai
dengan
ketentuan
peraturan
perundang-undangan yang berlaku. 3 Selanjutnya, dalam pasal 30 Undang-Undang Perlindungan Anak disebutkan bahwa: (1) Dalam hal orang tua sebagaimana dimaksud dalam pasal 26, melalaikan kewajibannya, terhadapnya dapat dilakukan tindakan pengawasan atau kuasa asuh orang tua dapat dicabut (2) Tindakan pengawasan terhadap orang tua atau pencabutan kuasa asuh sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dilakukan melalui penetapan pengadilan. 4 Perihal kekuasaan orang tua terhadap anak, juga dibahas lebih mendalam dalam Undang-Undang Perkawinan dan Kitab Undang-Undang Hukum Perdata. Menurut pasal 45 UU No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan disebutkan bahwa:
3
Undang-Undang tentang Perlindungan, Pengadilan dan Kesejahteraan Anak, Jakarta: Tamita Utama, 2003 , hlm. 14 4
Ibid ., hlm. 63
38
(1) Kedua orang tua wajib memelihara dan mendidik anak-anak mereka sebaik-baiknya (2) Kewajiban orang tua yang dimaksud dalam ayat (1) pasal ini berlaku sampai anak itu kawin atau dapat berdiri sendiri kewajiban mana berlaku terus meskipun perkawinan antara kedua orang tua putus. 5 Dalam hal demikian, kekuasaan tersebut dapat dicabut apabila ada alasan-alasan yang kuat akan pencabutan tersebut. Sebagaimana dijelaskan dalam pasal 49 Undang-Undang Perkawinan: (1) Salah seorang atau kedua orang tua dapat dicabut kekuasannya terhadap seorang anak atau lebih untuk waktu yang tertentu atas permintaan orang tua yang lain, keluarga anak dalam garis lurus ke atas dan saudara kandung yang telah dewasa atau pejabat yang berwenang dengan keputusan Pengadilan dalam hal-hal: a. Ia sangat melalaikan kewajibannya terhadap anaknya b. Ia berkelakuan buruk sekali (2) Meskipun orang tua dicabut kekuasaannya, mereka masih tetap berke wajiban
untuk
memberi
biaya
pemeliharaan
kepada
anak
tersebut.6 Kewajiban demikian dalam KUH Perdata disebutkan bahwa seorang anak yang sah sampai pada waktu ia mencapai usia dewasa atau kawin, berada di bawah kekuasaan orang tuanya (ouderlijke macht ), selama kedua orang tua itu terikat dalam hukum perkawinan. Dengan demikian, 5 6
Undang-Undang Pokok Perkawinan, Jakarta: Sinar Grafika, 2000, hlm. 14 Ibid ., hlm. 15
39
kekuasaan orang tua itu mulai berlaku sejak lahirnya anak atau sejak hari pengesahannya dan berakhir pada waktu anak itu menjadi dewasa atau kawin atau pada waktu perkawinan orang tuanya dihapuskan. Ada pula kemungkinan kekuasaan itu oleh hakim dicabut ( ontzet ) atau orang tua dibebaskan dari kekuasaannya itu (ontheven), karena suatu alasan.7 Yang mana di antara kedua hal tersebut terdapat perbedaan yang fundamentil. Dalam tulisan ini penulis tidak akan membahas keduanya secara mendetail, namun hanya akan membahas perihal pencabutan kekuasaan orang tua terhadap anak. Sebagai bahan perbandingan, terlebih dahulu penulis sampaikan tentang hal-hal pokok mengenai pembebasan orang tua terhadap anak. Seorang ayah atau ibu yang memangku kekuasaan orang tua dapat dibebaskan oleh hakim dari kekuasaannya itu. Syarat-syarat untuk pembebasan ini adalah: 1. Ketidakcakapan atau ketidakmampuan untuk menunaikan kewajibannya akan memelihara dan mendidik anak-anaknya. Misalnya: seorang ayah yang tidak dapat mengendalikan anaknya yang nakal, berarti dia tidak cakap dan sekaligus tak mampu untuk mendidik anak itu.
7
Subekti, Pokok-pokok Hukum Perdata, Jakarta: Intermasa, 1995, hlm. 51-52
40
2. Kepentingan anak-anak karena hal-hal lain tidak bertentangan dengan pembebasan itu. Tindakan pembebasan diadakan untuk kepentingan si anak. Oleh karena itu si ayah atau ibu yang memangku kekuasaan orang tua tidak boleh dibebaskan
dari
kekuasaan
itu,
apabila
kepentingan
si
anak
bertentangan dengan pembebasan itu. 3. Si ayah atau ibu yang memangku kekuasaan orang tua tidak mengajukan perlawanan. Menurut pasal 319 b ayat terakhir si ayah atau ibu yang memangku kekuasaan orang tua tidak boleh dibebaskan dari kekuasaan itu, jika ia mengajukan perlawanan terhadap permohonan itu. Perlu diingat bahwasanya
orang
gila
harus
dianggap
tidak
mampu
untuk
mengutarakan kehendaknya dan demikian tak mungkin mengajukan perlawanan atau keberatan. Orang gila tidak cakap dan tidak mampu untuk memelihara dan mendidik anak-anaknya, dan demikian ia boleh dibebaskan dari kekuasaan tersebut. 8 Pembebasan tersebut dapat dimohon kepada Hakim oleh Dewan Perwalian atau dituntut oleh kejaksaan. Orang tua yang menjalankan kekuasaan orang tua atau isteri atau suaminya tidak boleh mengajukan permohonan demikian. Karena apabila hal tersebut diperbolehkan akan ada ayah dan/atau ibu yang mengajukan permohonan demikian, untuk melepaskan diri dari kewajiban untuk memelihara dan mendidik anak8
Ko Tjay Sing, Hukum Perdata Jilid I Hukum Keluarga, Semarang: Seksi Perdata Barat Fakultas Hukum Universitas Diponegoro, 1981, hlm. 470-471
41
anaknya dan tidak mau mengetahui tentang anak-anaknya, kecuali mungkin hanya bersedia membiaya pemeliharaan dan pendidikannya saja. 9 Dengan demikian seorang ayah atau ibu dapat dibebaskan dari kekuasaan orang tua karena ia tidak cakap atau tidak mampu untuk memelihara dan/atau mendidik anak-anaknya, jadi ia dapat dibebaskan tanpa salah. Namun, alasan-alasan untuk pemecatan yang diperinci dalam pasal 319 a ayat (2) bersifat lain. Alasan-alasan itu mengandung kesalahan yang telah dilakukan oleh si ayah atau ibu yang bersangkutan. Pemecatan atau pencabutan adalah tindakan terhadap ayah atau ibu yang tidak baik. Di samping itu pencabutan kekuasaan orang tua terhadap anak selalu berakibat hilangnya nikmat hasil dari benda atau kekayaan si anak, sedang pembebasan kekuasaan orang tua tidak berakibat begitu, artinya orang tua yang dibebaskan masih bisa menikmati hasil benda atau kekayaan si anak. 10 Yang perlu diperhatikan di sini adalah bahwasanya pencabutan itu hanya dapat diputuskan apabila hal tersebut menurut pertimbangan hakim sangat perlu untuk kepentingan anak-anak.
B. Alasan Pencabutan Kekuasaan Orang Tua terhadap Anak
Sebagaimana dijelaskan di atas bahwa alasan-alasan pencabutan kekuasaan orang tua itu dapat dilakukan apabila adanya kesalahan yang telah dilakukan oleh si ayah atau ibu yang bersangkutan. Dalam Kitab
9
Ibid .
10
Subekti, Loc.Cit .
42
Undang-Undang Hukum Perdata, alasan-alasan tersebut dijabarkan lebih luas lagi. Adapun alasan-alasan tersebut adalah: 1. Menyalahgunakan kekuasaan orang tua atau terlalu mengabaikan kewajiban memelihara dan mendidik seorang anak atau lebih 2. Berkelakuan buruk 3. Dijatuhi hukuman yang tidak dapat ditarik kembali karena sengaja ikut serta dalam suatu kejahatan dengan seorang anak yang masih di bawah umur yang ada dalam kekuasaannya 4. Dijatuhi hukuman yang tidak dapat ditarik kembali karena melakukan kejahatan yang tercantum dalam bab XIII, XIV, XV, XVIII, XIX, dan XX. Buku kedua Kitab Undang-Undang Hukum Pidana, terhadap seorang anak di bawah umur yang ada dalam kekuasaannya 5. Dijatuhi hukuman badan yang tidak dapat ditarik kembali untuk dua tahun atau lebih Dalam pasal ini pengertian kejahatan meliputi juga keikutsertaan membantu dan percobaan melakukan kejahatan. 11 Yang dimaksud dengan kejahatan yang tercantum dalam ketentuan tersebut
adalah
bab
XIII
(kejahatan
terhadap
asal-usul
pernikahan/kejahatan melanggar kedudukan perdata), XIV (kejahatan terhadap kesusilaan), XV (meninggalkan orang yang perlu ditolong), XVIII (kejahatan terhadap kemerdekaan orang), XIX (kejahatan terhadap nyawa), XX (penganiayaan). 11
Niniek Suparni, Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, Jakarta: Rineka Cipta, 2000,
hlm. 78
43
Di bawah ini akan penulis jelaskan dari 5 alasan yang disebutkan di atas: 1.
Perbedaan antara “menyalahgunakan kekuasaan orang tua” dan “melalaikan kewajiban” dalam pasal 319 a ayat 2 sub I adalah bahwa menyalahgunakan kekuasaan orang tua itu terdiri atas perbuatan perbuatan yang dilakukan oleh si pemangku kekuasaan terhadap si anak, sedangkan melalaikan kewajiban terdiri atas tidak melakukan (melalaikan) suatu perbuatan yang harus dilakukan untuk menunaikan kewajiban dalam pemeliharaan dan pendidikan anak. Alasan tersebut hanya dapat digunakan untuk memutuskan pencabutan jika
apa
yang
diperbuat atau dilalaikan
itu
dapat
dipersalahkan kepada si ayah atau ibu yang bersangkutan. Apabila sesuatu telah diperbuat atau dilalaikan karena keadaan yang memaksa, maka pada pihak ayah atau ibu tidak ada kesalahan, dan dengan demikian mereka tidak dapat dicabut dari kekuasaan orang tua. Seorang ayah yang tidak bertindak, apabila isterinya mempunyai pengaruh yang buruk terhadap anak-anaknya, misalnya apabila si isteri menelantarkan atau memperlakukan anak-anaknya secara buruk, dapat dicabut dari kekuasaan orang tua terhadap anaknya, karena ia telah melalaikan kewajibannya. Demikian juga, apabila ia tidak menyekolahkan anakanaknya, membiarkan anaknya melakukan perbuatan yang tidak baik. 2.
Kelakuan buruk orang tua yang bersangkutan tidak perlu diketahui oleh umum. Tetapi untuk dapat digunakan sebagai alasan untuk permohonan
44
pencabutan kepada Hakim, setidaknya kelakuan itu harus diketahui oleh si pemohon. Kelakuan buruk hanya merupakan alasan untuk pemecatan, apabila kelakuan itu mempunyai pengaruh yang buruk terhadap si anak. Apakah kelakuan itu harus dianggap mempunyai pengaruh yang buruk terhadap anak atau tidak, itu diserahkan kepada pertimbangan Hakim, yang harus mempertimbangkan lingkungan kehidupan atau pergaulan dari orang tua dan anak. 3.
Orang yang sengaja ikut melakukan kejahatan dengan anak yang belum dewasa yang berada di bawah kekuasaannya, sehingga ia dihukum, bukanlah seorang yang seharusnya mendidik anak-anak. Dalam hal ini tidak hanya terhadap anak-anaknya sendiri yang berada dalam kekuasaannya, melainkan dapat juga terhadap anak orang lain.
4.
Alasan sub 3 dan 4 sesungguhnya tidak begitu perlu, karena apabila orang tua melakukan kejahatan itu, ia juga dapat dicabut dari kekuasaan orang tua karena ia mempunyai kelakuan yang buruk (alasan sub 2), atau ia telah menyalahgunakan kekuasaannya atau telah melalaikan kewajibannya (alasan sub 1). Tetapi alasan-alasan sub 3 dan 4 itu dapat mempermudah pembuktian karena keputusan Hakim, dengan mana orang tua tersebut telah dihukum, dapat digunakan sebagai bukti sah, sehingga tak perlu mengajukan saksi-saksi atau bukti-bukti lain.
5.
Seperti alasan-alasan lain, bahwa orang tua yang dihukum 2 tahun atau lebih, hanya dapat digunakan sebagai alasan untuk pemecatan, apabila
45
hukuman itu mempunyai pengaruh buruk terhadap anak-anak yang berada di bawah kekuasaan orang tua. 12 Perlu diperhatikan, bahwa alasan-alasan tersebut belum cukup untuk mencabut seorang ayah atau ibu dari kekuasaan orang tua terhadap sekalian anak-anaknya atau seorang atau lebih dari anak-anak itu. Pencabutan hanya diperbolehkan, apabila ada satu atau lebih alasan yang dimaksud di atas dan pencabutan itu sangat perlu untuk kepentingan anakanak. Jadi yang diutamakan adalah kepentingan anak. Seorang ayah atau ibu yang berkelakuan buruk (alasan no.2) atau yang mendapat hukuman badan 2 tahun (alasan 5), bisa sekali baik untuk anaknya. Dalam hal demikian kepentingan si anak tak menghendaki pencabutan kekuasaan orang tuanya. Dalam hal permohonan tersebut, Undang-Undang Perlindungan Anak menentukan siapa saja yang mempunyai hak atas permohonan tersebut. Sebagaimana dijelaskan dalam pasal 31: (1) Salah satu orang tua, saudara kandung, atau keluarga sampai derajat ketiga,
dapat
mengajukan
permohonan
ke
pengadilan
untuk
mendapatkan penetapan pengadilan tentang pencabutan kuasa asuh orang tua atau melakukan tindakan pengawasan apabila terdapat alasan yang kuat untuk itu. (2) Apabila salah satu orang tua, saudara kandung, atau keluarga sampai derajat ketiga, tidak dapat melaksanakan fungsinya, maka pencabutan
12
Ko Thay Sing, Op.Cit ., hlm. 474-475
46
kuasa asuh orang tua sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dapat juga diajukan oleh pejabat yang berwenang atau lembaga lain yang mempunyai kewenangan untuk itu (3) Penetapan pengadilan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dapat menunjuk orang perseorangan atau lembaga pemerintah/masyarakat untuk menjadi wali bagi yang bersangkutan (4) Perseorangan yang melaksanakan pengasuhan anak sebagaimana dimaksud dalam ayat (3) harus seagama dengan agama yang dianut anak yang akan diasuhnya. 13 Yang dimaksud dengan pejabat yang berwenang atau lembaga lain yang mempunyai kewenangan untuk itu, sebagaimana dijelaskan dalam Pasal 31 ayat (2) Undang-Undang Perlindungan Anak tersebut adalah Dewan Perwalian atau Kejaksaan.14
C. Cara Pemeriksaan Perkara Pencabutan Kekuasaan Orang Tua Terhadap Anak
Hukum Acara tentang pencabutan kekuasaan orang tua terhadap anak diatur dalam pasal 319 b sampai dengan 319 h, 319 k, dan 319 m Kitab Undang-Undang Hukum Perdata. Proses hukum acara tersebut adalah sebagai berikut:
13
Undang-Undang tentang Perlindungan, Pengadilan, dan Kesejahteraan Anak, Op.Cit .,
hlm. 16 14
Subekti, Loc.Cit .
47
1. Permohonan atau tuntutan harus memuat peristiwa-peristiwa dan keadaankeadaan yang menjadi dasarnya, dan diajukan bersama dengan surat-surat yang diperlukan sebagai bukti kepada pengadilan di tempat tinggal orang tua yang dimintakan pencabutannya. Jika suami isteri telah pisah meja atau pisah ranjang, maka permohonan tersebut harus diajukan kepada pengadilan yang memeriksa perkara pisah meja atau pisah ranjang tersebut. 2. Pengadilan mengambil keputusan, setelah mendeangar atau memanggil dengan sah kedua orang tua dan keluarga sedarah atau semenda anak itu dan
setelah
mendengar
dewan
perwalian.
Pengadilan
boleh
memerintahkan supaya saksi-saksi yang ditunjuk dan dipilih olehnya, baik dari keluarga sedarah atau semenda maupun dari luar mereka, dipanggil untuk didengar di bawah sumpah. 3. Pemanggilan dilakukan dengan surat tercatat. Pengadilan orang-orang yang tidak diketahui tempat kediamannya harus dimuat oleh Panitera Pengadilan dalam iklan-iklan surat yang ditunjuk oleh Pengadilan. 4. Selama pemeriksaan, setiap penduduk Indonesia yang berwenang untuk melakukan perwalian boleh mengajukan permohonan kepada Pengadilan supaya ditugaskan memangku perwalian. Jika permohonan dikabulkan maka suami atau isteri orang yang dibebaskan atau dicabut dari kekuasaan orang tua, dengan sendirinya menurut hukum harus melakukan kekuasaan orang tua, kecuali bila dia juga telah dibebaskan atau dicabut. Bila suami atau isterinya telah dibebaskan atau dicabut dari kekuasaan orang tua,
48
maka pengadilan harus mengadakan perwalian bagi anak yang terlepas dari kekuasaan orang tua. 5. Pemeriksaan perkara berlangsung dalam sidang tertutup, tetapi keputusan yang harus disertai dengan alasan-alasan karena mengenai perkara yang mengenai ketertiban umum, harus diucapkan dalam sidang terbuka dan dalam waktu sesingkat mungkin. Bila orang yang dimohon pencabutannya itu atas panggilan tidak datang, maka ia boleh mengajukan perlawanan dalam tiga puluh hari. Setelah keputusan atau akta yang dibuat berdasarkan hal itu atau yang dibuat untuk melaksanakan hal itu disampaikan kepadanya atau setelah ia melakukan suatu perbuatan yang tak dapat tidak memberi kesimpulan bahwa keputusan atua permulaan pelaksanaannya telah diketahui olehnya. 6. Orang yang telah dicabut dari kekuasaan orang tua, baik atas permohonan sendiri ataupun atas permohonan mereka yang berwenang untuk memohon pencabutan, atau atas tuntutan kejaksaan boleh diberi kekuasaan orang tua kembali atau diangkat menjadi wali atas anak-anaknya yang masih di bawah umur, bila ternyata bahwa peristiwa-peristiwa
yang telah
mengakibatkan pencabutan tidak lagi menjadi halangan untuk pemulihan atau pengangkatan itu. 7. Jika si anak belum dewasa tidak nyata-nyata berada di dalam kekuasaan pihak yang ditunjuk untuk memangku kekuasaan orang tua atau perwalian maka dalam keputusan hakim diperintahkan agar si anak diserahkan kepada pihak tersebut. Apabila perintahkan itu tak ditaati dengan sukarela,
49
maka perintahkan itu akan dijalankan oleh seorang juru sita dengan paksaan. 8. Setiap keputusan yang mengandung pencabutan dari kekuasaan orang tua, harus diberitahukan oleh panitera berupa salinan kepada pihak yang menerima kekuasaan orang buta itu atau kepada pihak yang ditugaskan untuk melakukan perwalian, demikian pula kepada dewan perwalian. 9. Segala surat permohonan, tuntutan, penetapan, pemberitahuan dan semua surat lain yang dibuat untuk memenuhi ketentuan bagian ini, bebas dari materai. Dan segala permohonan yang diajukan oleh Dewan Perwalian, harus diperiksa oleh pengadilan negeri dengan cuma-cuma. 15
D. Akibat Hukum dari Pencabutan Kekuasaan Orang Tua Terhadap Anak
Pada bagian awal sudah disebutkan bahwa, apabila penetapan pengadilan tentang pencabutan kekuasaan orang tua diputuskan maka hakim akan menunjuk wali bagi anak tersebut. Hal ini berarti bahwa kekuasaan orang tua yang dicabut beralih kepada wali yang ditunjuk oleh Hakim. Selain itu penetapan pengadilan tersebut harus memuat hal-hal sebagaimana dijelaskan pada Pasal 32 Undang-Undang Perlindungan Anak: “Penetapan pengadilan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 31 ayat (3) sekurang-kurangnya memuat ketentuan: a.
Tidak memutuskan hubungan darah antara anak dan orang tua kandungnya
15
Niniek Suparni, Op.Cit ., hlm. 79-87
50
b.
Tidak menghilangkan kewajiban orang tuanya untuk membiayai hidup anaknya, dan Batas waktu pencabutan.16
c.
Untuk mempermudah pemahaman ketiga hal tersebut, maka berikut ini akan penulis jelaskan satu-persatu. a. Hubungan darah antara anak dan orang tua kandungnya adalah suatu hubungan yang hakiki. Hubungan tersebut tidak akan hilang atau putus oleh alasan apapun, karena hal tersebut merupakan ketentuan Tuhan dan hukum alam. Jadi meskipun kekuasaan orang tua dicabut, hal tersebut tidak akan memutuskan hubungan darah antara anak dengan orang tua kandungnya. b. Atas tuntutan Dewan Perwalian, pengadilan tempat diajukannya permohonan penetapan pengadilan tentang pencabutan kuasa asuh orang tua boleh menentukan, bahwa ayah atau ibu yang telah dibebaskan atau dicabut dari kekuasaan orang tua wajib untuk memberi tunjangan,
yang
diperlukan
untuk
membiayai
pemeliharaan
dan
pendidikan anak yang bersangkutan. Tunjangan tersebut harus dibayar kepada Dewan Perwalian. Tuntutan itu dapat diajukan setelah ada keputusan pembebasan atau pencabutan atau dalam surat permohonan atau sepanjang perkara itu masih diperiksa. Dalam hal ini, maka jumlah tunjangan tersebut ditetapkan dalam keputusan tentang pembebasan atau pencabutan. 16
Undang-Undang tentang Perlindungan, Pengadilan, dan Kesejahteraan Anak, Op.Cit .,
hlm. 17
51
Pertimbangan adanya ketentuan pembayaran tunjangan harus dibayar kepada Dewan Perwalian adalah untuk mempermudah dalam pengawasan, apakah uang itu dibayarkan atau tidak. Dari pada uang tersebut harus dibayarkan langsung kepada pihak yang menjalankan kekuasaan orang tua atau perwalian. Jumlah
tersebut
ditetapkan
dalam
keseimbangan
antara
kebutuhan si anak dengan kemampuan (pendapatan dan kekayaan) ayah atau ibu yang wajib memberi tunjangan itu. Anak yang mempunyai harta kekayaan dan hasil cukup tidak memerlukan tunjangan tersebut. Dalam hal si ayah atau ibu dicabut dari kekuasaan orang tua, dan orang tua yang lain memangku kekuasaan itu atau ia hanya dibebaskan dari kekuasaan itu, sehingga ia mempunyai nikmat hasil atas harta kekayaan si anak, maka sebagaimana tercantum dalam pasal 312 sub 2 KUH Perdata, maka biaya pemeliharaan dan pendidikan si anak harus dibayar terlebih dahulu dari hasil-hasil harta kekayaan si anak. Jadi tidak selalu Dewan Perwalian akan menuntut tunjangan tersebut dari si ayah atau ibu yang telah dibebaskan atau dicabut dari kekuasaan orang tua. c. Pemecatan atau pencabutan kekuasaan orang tua diputuskan oleh Hakim untuk waktu tidak tertentu berdasar atas alasan-alasan tertentu, dan untuk kepentingan anak. Pencabutan atau pemecatan kedua orang tua mengakibatkan, bahwa si anak dipelihara dan dididik oleh orang lain. Pada umumnya pemeliharaan dan pendidikan anak-anak oleh orang tuanya sendiri adalah lebih baik dan ini juga sudah sewajarnya.
52
Oleh karena itu, apabila alasan-alasan untuk pembebasan atau pencabutan sudah tidak ada lagi, maka anak-anak selekas mungkin harus dikembalikan kepada orang tuanya, yaitu kekuasaan orang tua harus dipulihkan kembali. Orang tua yang telah dibebaskan dari kekuasaan orang tuanya kemudian bisa mampu dan cakap lagi untuk memelihara dan mendidik anak-anaknya, misalnya ia sudah sembuh dan telah meninggalkan rumah sakit atau ia sudah tak gila lagi. Orang tua yang dicabut misalnya karena kelakuan yang buruk, sudah merubah perilakunya dan kini kelakuannya sudah menjadi baik lagi. Dalam undang-undang tidak ditentukan dengan tegas, bahwa yang menentukan adalah kepentingan anak, karena pada saat pemutusan pembebasan dan pencabutan kekuasaan orang tua, kepentingan anak-anak yang menentukan. 17 Yang
perlu
diperhatikan
dalam
hal
ini
adalah
bahwasanya
pencabutan kekuasaan orang tua itu tidak termasuk kekuasaan sebagai wali nikah. Sebagaimana dijelaskan dalam penjelasan atas Undang-Undang Perkawinan pasal 49:”Bahwasanya yang dimaksud dengan kekuasaan dalam pasal ini tidak termasuk kekuasaan sebagai wali nikah”. 18 Kalau kita lihat perumusan tentang kekuasaan orang tua, baik dalam Undang-Undang Perlindungan Anak, Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, maupun Undang-Undang Perkawinan, kekuasaan orang tua itu berlangsung sepanjang tidak dibebaskan atau dicabut kekuasaannya. Hal ini 17
Ko Tjay Sing, Op.Cit ., hlm. 481-482
18
Undang-Undang Pokok Perkawinan, Op.Cit ., hlm. 30
53
berarti
bahwa
kekuasaan
orang
tua
terhadap
anak
dapat
dicabut
kekuasaannya selaku orang tua terhadap anaknya. Yang mana pemecatan atau pencabutan kekuasaan orang tua itu dapat dilakukan hanya oleh pengadilan. 19
19
Soedharyo Soimin, Hukum Orang dan Keluarga Perspektif Hukum Perdata/BW Hukum Islam dan Hukum Adat, Jakarta: Sinar Grafika, 2002, hlm. 51