TEORI KEKUASAAN NEGARA POLA RELASI KEKUASAAN DI INDONESIA PADA MASA ORDE BARU HINGGA ERA REFORMASI
Disusun oleh:
Anggina Mutiara Hanum 1406517960
PASCA SARJANA DEPARTEMEN ILMU POLITIK FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK
UNIVERSITAS INDONESIA DEPOK 2014
I.
KONSEP KEKUASAAN
Proses politik dalam Ilmu sosial bisa dianalisa melalui konsep kekuasaan,1 berangkat dari aspek espitemologi ilmu sosial dan tinjauan kepustakaannya, kekuasaan merupakan pilar penting dalam perubahan sosial, ekonomi dan tentu saja politik. Berbicara mengenai politik tidak dapat dilepaskan dengan power, In Politics, everything is all about power! Sehingga kekuasaan atau power secara umum dapat didefinisikan sebagai ‘kapabilitas seseorang untuk mencapai keinginannya’, politik menjadi instrumen yang digunakan untuk mendapatkan kekuasaan tersebut adalah dengan merujuk kepada siapa yang mendapatkannya, apa bentuk dari kekuasaan tersebut, kapan kekuasaan tersebut bisa diterapkan dan bagaimana cara pemilik kekuasaan untuk mendapatkan kekuasaan serta menjalankannya. Kekuasaan tidak dapat dilepaskan dari proses pengambilan keputusan. Definisi tentang kekuasaan terkadang tidak dapat dilepaskan dari proses pengambilan keputusan. Lasswell (Dalam Dwicaksono, 2003) berpendapat bahwa kekuasaan adalah partisipasi dalam membuat keputusan yang penting. Sheppered (dalam Abbot, 1995) berpendapat bahwa proses pengambilan keputusan publik adalah contoh nyata dari penggunaan kekuasaan. Dalam sejarah perkembangan konsep kekuasaan, terdapat banyak teori kekuasaan yang dirumuskan oleh tokoh-tokoh politik besar, teori mengenai kekuasaan mengalami metamorfosa dan proses dialektika untuk menuju sebuah penyempurnaan mengenai pemahaman para ahli mengenai kekuasaan. Berikut beberapa rumusan teori kekuasaan yang dikemukakan 3 ahli dengan beberapa distingsi dalam dimensinya. Robert A.Dahl Teori kekuasaan yang pertama adalah teori kekuasaan satu dimensi yang dikemukakan oleh Robert Dahl. Persepektif ini disebut sebagai pendekatan pluralis dan meningkatkan kepada peningkatan kekuasaan melalui proses pembuatan kebijakan dan perilaku yang bisa diamati. Persepektif satu dimensi ini menjelaskan sebuah kondisi dimana salah satu kelompok didominasi oleh kelompok yang lain, sehingga kelompok yang didominasi tidak bisa melakukan apapun tanpa ada ’perintah’ dari kelompok yang mendominasi. Steven Luke
1 Politik dalam ilmu sosial dilihat sebagai proses memperoleh kekuasaan—
Salah satu teori yang terkemuka adalah teori tiga dimensi kekuasaan yang dikemukakan oleh Luke2. Teori 3 dimensi kekuasaan merupakan sebuah evolusi dari teori lain yang berkembang sebelumnya. Michael Foucault Seorang filsuf yang memberikan gambaran kekuasaan dengan cara yang berbeda dari kebanyakan tokoh lainnya. Konsepsi yang dirumuskan oleh Foucault terbilang orisinil, orisinalitas itu bukan hanya terletak dalam definisi kekuasaan yang dikonsepsikan olehnya, tetapi juga tujuan dan sasaran dari kekuasaan tersebut. yang kemudian juga menggambarkan pola hubungan kekuasaan dengan pengetahuan, serta mekanisme dan teknik yang digunakannya untuk menganalisa kekuasaan. Menurut Michel Foucault, kekuasaan itu terlaksana bukan pertama-tama melalui kekerasan atau dari hasil persetujuan3, melainkan sebagai ‘seluruh struktur tindakan yang menekan dan mendorong tindakan-tindakan lain melalui rangsangan, persuasi, atau bisa juga melalui paksaan (coercive power) dan larangan.4 Hal ini menjadikan kekuasaan terkait langsung dengan control exercise—bagaimana kekuasaan itu dijalankan dalam praktiknya sehari-hari. Bisa dikatakan perbedaan utama antara Foucault dari kebanyakan filsuf lainnya ketika berbicara, memaknai konsep kekuasaan ialah dimana pemikir lainnya selalu menyentuh dimensi kerangka kekuasaan dan Negara, sedangkan Foucault menekankan hubungan antara kekuasaan dan subjek, mengandaikan bahwa kekuasaan itu banyak dan tersebar. Kekuasaan tidak mengacu pada satu sistem umum dominasi oleh seseorang atau suatu kelompok terhadap yang lain, tetapi menunjuk pada beragamnya hubungan kekuasaan, tidak terpusat pada satu titik atau satu sumber otoritas, tetapi berasal dari adanya perbedaan di dalam hubungan. Gagasan yang dikemukakan Foucault memang menuai banyak kritik dan bahkan dituduh sebagai bentuk relativisme5. Walaupun demikian Foucault mengakui bahwa hubungan kekuasaan tidak bisa dipisahkan dari relasi-relasi yang ada dalam proses hubungan ekonomi maupun politik, dan tujuan kekuasaan ialah memberi struktur-struktur kegiatan di dalam masyarakat. Struktur-struktur itu disebut dengan institusionalisasi
2 Teori 3 dimensi ini kemudian dikembangkan oleh John Gaventa 3 Berbeda dengan definisi kekuasaan oleh Thomas Hobbes dan John Locke 4 Haryatmoko. 2014 Etika Politik dan Kekuasaan. PT. Kompas Media Nusantara. Jakarta. 5 Margareth Wetherel
kekuasaan, yaitu keseluruhan struktur hukum dan politik serta aturan-aturan sosial yang melanggengkan suatu dominasi dan menjamin reproduksi kepatuhan.6 Sekalipun ada banyak teori yang berbeda-beda mengenai kekuasaan dilihat dari tinjauan kepustakaannya7, akan tetapi ada satu inti yang tampak dari semua perumusan itu, yaitu sebagai kemampuan (ability) seseorang (pelaku) untuk dapat mempengaruhi behavior pela lain (penerima) dengan sedemikian rupa. Sesuai dengan tujuan-tujuan yang dikehendaki pelaku, sehingga reaksi penerima merupakan perwujudan perilaku atas keinginan pelaku yang memiliki kekuasaan atas dirinya.8
i.
Upaya-Upaya dalam Memperoleh Kekuasaan 1) Dari kedudukan.9 Kedudukan dapat memberikan kekuasaan kepada seseorang
atau sekelompok orang karena yang bersangkutan menduduki posisi tadi. Semakin tinggi kedudukan maka akan semakin besar pula kekuasaan yang berada pada genggaman orang yang menduduki posisi tersebut. 2) Dari kepercayaan. Seseorang atau sekelompok orang dapat memiliki kekuasaan karena yang bersangkutan memang dipercaya untuk memilikinya atas dasar kepercayaan yang dianut masyarakat. Kekuasaan yang bersumber dari kepercayaan hanya muncul di masyarakat di mana anggota-anggotanya mempunyai kepercayaan yang dimiliki pemegang kekuasaan. “Kekuasaan bisa diperoleh dari kekerasan fisik (misalnya, seorang Polisi dapat memaksa penjahat untuk mengakui kejahatannya karena dari segi persenjataan polisi lebih kuat); pada kedudukan (misalnya, seorang komandan terhadap bawahannya, seorang atasan dapat memecat pegawainya); pada kekayaan (misalnya seorang pengusaha kaya dapat memengaruhi seorang politikus melalui kekayaannya); atau pada kepercayaan (misalnya, seorang pendeta terhadap umatnya)” 10 (Miriam Budiardjo, 1982 : 36). ii.
Upaya-upaya Dalam Mempertahankan Kekuasaan
6 Haryatmoko. 2014. Etika Politik dan Kekuasaan. PT. Kompas Media Nusantara. Jakarta. Hal. 246 7 Menurut Miriam Budiardjo di buku ‘Aneka Kuasa dan Wibawa’, kekuasaan dalam tinjauan pustaka dinilai sebagai satu pilar penting pada pemeliharaan sistem sosial. 8 konsepsi kekuasaan seperti yang digambarkan oleh Robert A. Dahl dan Harold D. Laswell
9 Menurut Haryanto (2005 : 22) 10 Miriam Budiardjo, Aneka Kuasa dan Wibawa. 1982. Hal. 36
Kekuasaan yang dimiliki oleh seseorang, sekelompok orang atau suatu negara terhadap pihak lain, dapat membuat penguasa tersebut berupaya untuk mencapai apa yang menjadi keinginan dan tujuannya. Cara untuk mempertahankan kekuasaan dapat dilakukan dengan cara damai, antara lain dengan demokrasi dan mencari dukungan pihak lain, atau dengan kekerasan, antara lain dengan penindasan dan memerangi pihak yang menentang kekuasaannya. Dalam masyarakat yang tidak demokratis atau masyarakat yang dipimpin oleh seorang yang diktator, penguasa mempertahankan kekuasaannya dengan paksaan. Di dalam masyarakat yang tidak demokratis, ada kecenderungan penguasa untuk masuk terlalu jauh dalam mengatur kehidupan dan kepercayaan serta pribadi warganya sesuai dengan keinginan penguasa. Dengan paksaan, warga ditujukan untuk patuh pada penguasa.11 Diantara banyak bentuk kekuasaan, kekuasaan politik merupakan hal yang paling penting untuk dipertahankan, karena dengan kekuasaan politik, penguasa dapat memengaruhi kebijakan umum (pemerintah) baik terbentuknya maupun akibat-akibatnya sesuai dengan tujuan-tujuan pemegang kekuasaan. Kekuasaan politik tidak hanya mencakup kekuasaan untuk mendapat ketaatan warga masyarakat, tetapi juga menyangkut pengendalian orang lain dengan tujuan untuk memengaruhi tindakan dan aktivitas penguasa di bidang administratif, legislatif dan yudikatif.12 Berdasarkan uraian di atas dapat dijelaskan, meskipun dalam mempertahankan kekuasaan ada berbagai macam cara, namun terdapat beberapa persamaan yaitu pihak satu ingin selalu memerintah pihak lain, ingin lebih tinggi dari pihak lain dan menginginkan ketaatan pihak lain.
iii.
Otoritas penguasa Penguasa adalah aktor yang memiliki, menguasai aktor lain dan memiliki sumber
daya yang berwujud maupun tidak berwujud beserta asetnya untuk memengaruhi peristiwa-peristiwa yang terjadi agar sesuai kehendaknya.13 Penguasa adalah seseorang yang mempunyai kemampuan untuk menjalin hubungan dan proses yang menghasilkan ketaatan dari pihak lain untuk tujuan-tujuan yang ditetapkannya.14 11 12 13 14
Haryanto, 2005. Hal.57 Miriam Budiardjo, Aneka Kuasa dan Wibawa. 1982. Hal. 37 (Walter S. Jones, 1993 : 3) Ossip K. Flechtheim dalam Miriam Budiarjo, 1982 : 35
Secara singkat dapat dijelaskan bahwa otoritas penguasa adalah hak, kekuasaan dan wewenang yang sah diberikan padanya untuk membuat peraturan yang harus ditaati atau diikuti pihak lain atau kekuasaan dan wewenang yang sah untuk membuat orang atau pihak lain bertindak sesuai dengan yang diinginkan penguasa Penelitian serta literasi yang ada memberikan pengetahuan kepada kita mengenai bahwa terdapat beberapa bentuk kekuasaan; dikatakan Negara ketika kekuasaan itu berwujud kepemimpinan yang bertanggung jawab dan dan dapat dimintai pertanggung jawabannya, dan sebagai Hukum ketika kekuasaan juga berbentuk keputusan-keputusan yang mengikat semua golongan masyarakat. Dalam politik, kekuasaan merupakan maneuver utama yang dimiliki individu ataupun kelompok untuk mencapai tujuantujuannya (kepentingan). Berdasarkan uraian diatas bisa dilihat bagaimana Kekuasaan memberikan sumbangan penting dalam pemeliharaan masyarakat sebagi suatu sistem. Untuk selanjutnya makalah ini akan memfokuskan kepada Kekuasaan Negara serta memberikan analisa akademik mengenai pola-pola yang terbentuk dalam relasi kekuasaan di Indonesia pada masa orde baru hingga ke era reformasi.
II.
TEORI KEKUASAAN NEGARA
Kekuasaan merupakan sesuatu yang tidak dapat dilepaskan dari proses pembuatan keputusan (decision making process,-red) yang melipatkan hubungan antar individu dan kelompok kepentingan dengan negara. Terdapat teori-teori penting yang menyatakan bahwa diperlukan kekuasaan yang besar bagi Negara untuk bisa menjalankan pemerintahannya demi kebaikan masyarakat. Teori ini muncul baik di kalangan pemikir yang berada di sisi kanan (conservative) ataupun yang ada di haluan kiri (radikal). Teori tentang kekuasaan Negara sudah menjadi salah satu issue penting semenjak jaman Yunani Kuno, dimana dua pemikir besar dimasa itu, Plato dan Aristotles berpendapat bahwa Negara memerlukan kekuasaan yang mutlak. Hal tersebut dikarenakan kekuasaan yang besar pada Negara sudah merupakan hal yang sewajarnya demi mendidik warga negaranya dengan nilai-nilai moral yang rasional. Kekuasaan yang besar diberikan kepada Negara dengan tujuan kepentingan rakyatnya. Yang kemudian menjadi masalah adalah bila ternyata dalam praktiknya kekuasaan tersebut tidak dipergunakan untuk tujuan awalnya (untuk kepentingan rakyat)
melainkan hanya demi kepentingan-kepentingan kelompok tertentu dengan menggunakan topeng Negara. Teori kekuasaan Negara dengan penekanan utamnya pada pengembangan kekuatan militer yang efektif oleh Negara, pertama kali didengukan di Jerman pada abad ke-19 oleh para sejarawan seperti Heinrich Von Treitschke dan para filosof seperti Friedrich Nietzsche dan juga didukung oleh beberapa penulis disana pada abad ke-20.15 Teori Kekuasaan Negara Erich Kauffmann:16
Esensi negara adalah machtentfaltung (pengembangan, peningkatan dan penyebaran kekuasaan), bersama-sama dengan kemauan untuk menjaga dan
mempertahankan diri dengan sukses. Upaya utama Negara adalah penanaman kekuatan yang tertinggi Ide sosial nyata dari Negara adalah ‘kejayaan dalam perang; dalam perperangan, Negara menunjukkan sendiri kebenaran esensinya; perang merupakan penampilan Negara yang tertinggi, dimana sifat istimewanya mencapai perkembangan maksimal.
POLA RELASI KEKUASAAN DI INDONESIA ORDE BARU Peninggalan rezim Orde Baru dimana menjadi lahan subur tumbuhnya Oligarki yang kebanyakan diisi oleh konglomerat keluarga soeharto dan kelompok tionghoa dengan pola patronase yang tersentral pada Suharto. Ditambah dengan adanya hubungan bisnis yang ditempuh melalui jalur-jalur informal berujung pada adanya privilege yang dimiliki segelintir pengusaha. Tidak hanya itu, kemudahan yang diberikan birokrasi orde baru kepada mereka dalam mengembangkan usaha dengan alasan meningkatkan pertumbuhan ekonomi Indonesia didukung oleh stabilitas politik yang mewarnai periode soeharto. Terdapat beberapa ciri yang untuk melihat pola kekuasaan seperti apa yang terjadi di dalam Orde Baru. Pertama, suatu oligarki kapitalis yang mampu menguasai dan, ‘secara instrumental’-tidak sekadar struktural-, memanfaatkan kekuasaan negara dan lembaga-lembaganya berikut dengan kekuatan pemaksa untuk kepentingan mereka sendiri; kedua, hubungan negara dan masyarakat yang ditandai dengan disorganisasi 15 SP. Varma. 2010. Teori Politik Modern; Teori Kekuasaan Negara. Hal, 243 16 Disitir dalam Arnold Brecht, Political Theory, The Foundation of Twentieth Century Political Thought, The Times of India Press, Bombay 1970, hal.345
sistematis terhadap kelompok civil society; ketiga, suatu sistem patronase yang luas dan kompleks yang dipersonifikasikan oleh Suharto sendiri dengan poros di Cendana. Sistem patronase ini menjalar dan menembus ke semua lapisan masyarakat dari Jakarta, provinsi, kabupaten, hingga ke desa-desa. ERA REFORMASI Transisi demokrasi era reformasi tidak sedang terjadi, yang terjadi adalah institusionalisasi predator yang terfragmentasi pasca jatuhnya kekuasaan orde baru. Elitelit bisnis yang berkuasa di zaman Orde baru tidak serta merta kehilangan tampuk kekuasaannya ketika lengsernya Soeharto. Yang terjadi hanya pemindahan area kekuasaan, mereka kemudian ikut bersaing dalam pemilu yang diikuti oleh partai-partai politik dengan menjadi donatur atau petinggi partai agar dapat memiliki kembali kendali sosial dan politik. Desentralisasi yang sering dikaitkan dengan demokratisasi tidak lebih dari sebuah proses pemindahan kekuasaan politik, fiskal, dan administratif kepada pemerintah daerah yang tentu saja memberikan celah kepada oligarki untuk masuk secara perlahan membangun kroni ke daerah-daerah. Proses edukasi politik yang perlahan-lahan terus digerakkan oleh kelompokkelompok civil society pada dasarnya bertujuan agar paradigma masyarakat berubah, ekspektasi masyarakat terhadap perubahan politik yang pada umumnya bersifat momentuman perlahan-lahan mulai bergeser ke arah yang lebih visioner. Disisi lain sistem demokrasi elit untuk konteks Indonesia sulit berubah mengingat luasnya wilayah dan heterogenitas masyarakat Indonesia, oleh karena itu sisi modernisasi harus dimanfaatkan oleh masyarakat dengan menuntut lahirnya profesionalisme birokrasi, transparansi kebijakan pemerintah, serta responsibilitas partai politik dalam menjalankan fungsi-fungsinya.
Desentralisasi Kekuasaan Pasca Orde Baru Desentralisasi Kekuasaan yang terjadi setelah keruntuhan Orde Baru hanyalah sekedar kebijakan formil untuk memuaskan tuntutan akan demokratisasi. Padahal yang terjadi dalam politik praktis di Indonesia dalam konteks distribusi kekuasaan secara nyata ialah dimana relasi-relasi kekuasaan, kekuatan-kekuatannya, seperti partai dan penguasanya, tetap merupakan bagian dari yang lama. Bentuk kekuasaanya mungkin berubah menjadi lebih demokratis. Akan tetapi, relasi kekuasaan yang menunjang
pemerintahan setelah Orde Baru tak mengalami banyak perubahan. Hal ini dibuktikan dengan masih banyak orang-orang Orde Baru yang memegang tampuk kekuasaan. Selanjutnya perubahan konstalasi politik dan struktur kekuasaan negara yang tidak dilakukan secara mendasar, melainkan hanya penyebaran kekuasaan yang awalnya sentralistik menjadi desentralistik. Sehingga dalam perkembangan sejarah di semua kawasan ataupun dalam konteks ini di Indonesia, pola relasi kekuasaan yang terbentuk dan dikembangkan oleh Negara sebagai kelas yang berkuasa dan memerintah, termasuk di dalamnya elit-elit bisnis dan oligarki partai-partai politik. Aplikasi Teori Kekuasaan Foucault mengenai hubungan kekuasaan tidak bisa dipisahkan dari relasi-relasi yang ada dalam proses hubungan ekonomi maupun politik, terefleksikan dalam pola relasi kekuasaan antara kelompok yang memiliki Capital secara ekonomi, mampu mempengaruhi perumusan kebijakan politik. Kekuasaan yang ada terinstitusionalisasi demi mendapatkan pengaruh/dominasi di kehidupan bernegara. Selanjutnya, hal ini menegaskan potensi terjadinya gejala dominasi kekuasaan oleh sekelompok orang, yang secara konkrit Kekuasaan Negara dipengaruhi oleh kelompok-kelompok yang memiliki kekuataan materril (kelompok kepentingan). Sehingga legitimasi kekuasaan yang dimiliki, melenceng dari tujuan awal mengapa suatu Negara diberikan kekuasaan yang mutlak, karena dengan adanya keterlibatan kepentingan kelompok-kelompok elit bisnis, akan memberikan repressi kepada rakyat yang tunduk kepaada kekuataan tersebut, dan apabila terus-terusan berada dibawah kondisi tidak berdaya, ketakutan, memberikan hak-haknya kepada pemerintah tetapi tidak merasa terlindungi, malah
sebaliknya berada dibawah tekanan-tekanan yang terus-menerus,
akhirnya terakumulasi, dan ketika rakyat yang memiliki kesaamaan perasaan dan kepentingan bersatu, terakumulasi secara massif, menimbulkan antagonisme antara rakyat dan Negara, hal tersebut yang kerap kali menjadi sumber penentangan rakyat terhadap pemerintah yang berkuasa, dan dalam sistem demokrasi yang dianut oleh Indonesia, dengan penolakan rakyat secara massif akan meminta kembali hak nya yang telah diamanatkan kepada Negara. Pada akhirnya, pemikiran para tokoh filsuf politik yang merumuskan teori kekuasaan ketika diaplikasikan dengan realitas penggunaan kekuasaan di Indonesia dapat memberikan wawasan yang lebih luas mengenai politik Indonesia, secara khusus untuk dapat menggapai pemahaman eksplisit mengenai kekuasaan Indonesia mulai dari zaman orde baru. Sehingga kita dapat memahami dan menganalisa perkembangan yang terjadi
di dalam transisi kekuasaan dan kepemimpinan di Indonesia di masa sekarang. DAFTAR PUSTAKA
Miriam Budiardjo, Aneka Kuasa dan Wibawa. 1982. Haryatmoko. Etika Politik dan Kekuasaan. PT. Kompas Media Nusantara. Jakarta. 2014 SP. Varma.. Teori Politik Modern; Teori Kekuasaan Negara. PT. RajaGrafindoPersada. Jakarta,2010. Arnold Brecht, Political Theory, The Foundation of Twentieth Century Political Thought, The Times of India Press, Bombay 1970.