KARYA TULIS ILMIAH TEKNIK ANESTESI GENERAL PADA PASIEN CA MAMMAE SINISTRA METODE RADIKAL MASTEKTOMI (LAPORAN KASUS)
Disusun Untuk Memenuhi Sebagian Syarat Mengikuti Ujian Program Pendidikan Profesi Pendidikan Kedokteran Di Bagian Ilmu Anestesi Rumah Sakit Umum Daerah dr. Soehadi Prijonegoro Sragen
Oleh: Isnani Nur Hidayah 11711144 Michelia Campaka 11711112
PEMBIMBING dr. IGL Sukamto, Sp.An dr. Hanifa Agung, Sp.An FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS ISLAM INDONESIA
YOGYAKARTA 2015 HALAMAN PENGESAHAN LAPORAN KASUS TEKNIK ANESTESI SPINAL PADA PASIEN DENGAN DIAGNOSIS APPENDICITIS KRONIS MENGGUNAKAN METODE LAPAROTOMI Oleh : Isnani Nur Hidayah 11711144 Michelia Campaka 11711112
Telah dipresentasikan pada 01 Juni 2015
Dan disetujui oleh :
Pembimbing I II
Pembimbing
dr. IGL. Sukamto, Sp.An Agung, Sp. An NIP. 195608281987031004 197702022010011017
dr. Hanifa NIP.
KATA PENGANTAR Assalamu’alaikum Wr. Wb. Segala puji syukur kami panjatkan kepada Allah SWT atas segala nikmat dan hidayah-Nya, terutama nikmat sehat dan semangat yang telah dilimpahkan sehingga kita menyelesaikan penulisan laporan kasus ini, dengan judul “TEKNIK ANESTESI SPINAL PADA PASIEN DENGAN DIAGNOSIS APPENDICITIS KRONIS MENGGUNAKAN METODE LAPAROTOMI” sebagai persyaratan mengikuti ujian akhir stase anestesi di RSUD dr. Soehadi Prijonegoro Sragen. Laporan kasus ini tidak akan dapat terselesaikan tanpa bimbingan dan bantuan dari berbagai pihak. Oleh karena itu penulis ingin menyampaikan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada: 1. Allah SWT yang memudahkan setiap langkah dengan limpahan rahmat dan berkah-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan karya tulis ini. 2. dr. IGL. Sukamto, Sp.An selaku pembimbing yang tengah kesibukannya bersedia meluangkan waktu untuk memberikan bimbingannya. 3. dr.Hanifa Agung, Sp.An selaku pembiming yang memberikan masukan dan saran, sehingga tersusun laporan kasus ini. 4. Bapak Harsono S.Kep selaku kepala instalasi bedah sentral di RSUD sragen. 5. Seluruh staf perawat anestesi dan perawat bedah yang memberikan banyak bimbingan dalam kegiatan sehari-hari di IBS. 6. Seluruh dosen fakultas kedokteran UII yang telah memberikan ilmunya hingga akhir studi.
Semoga Allah SWT senantiasa melimpahkan rahmat serta hidayah-Nya kepada semua pihak yang telah banyak membantu penulis dalam penulisan karya tulis ini. Penulis menyadari bahwa karya tulis ini jauh dari sempurna, namun dengan segala kemampuan yang ada, penulis berusaha menyusun karya tulis ilmiah dengan harapan semoga bermanfaat bagi semua pihak yang membaca. Amin. Wa’alaikumussalam Wr. Wb. Sragen,
01
Juni 2015 Penulis
INTISARI Latar Belakang
: Penatalaksanaan dalam pemilihan anestesi pada kasus
Appendisitis Kronis digunakan metode anestesi spinal yang disesuaikan dengan kondisi umum penderita, meliputi anamnesa, pemeriksaan fisik serta pemeriksaan penunjang, untuk menghasilkan suatu kondisi anestesi yang aman dan efektif. Tujuan : Tujuan umum dari karya tulis ini adalah mengetahui teknik spinal anestesi inhalasi pada penderita Appendisitis kronis. Metode : Pasien perempuan dengan berat badan 45 kg dan status fisik ASA I dilakukan anestesi umum inhalasi Endotracheal Tube (ET) dengan mucle relaxan pola pernafasan spontan pada pembedahan wide excisi di IBS RSUD Sragen pada tanggal 22 Mei 2015. Pada pukul 11.25 WIB pasien diberikan premedikasi Sulfas atropin 0,25 mg IV, fentanyl 100 meq IV dan sedacum 3 mg secara perlahan, pada pukul 10.27 induksi dengan tramus 15 mg diikuti dengan recofol 100 mg IV secara perlahan, kemudian dilakukan intubasi ET dengan ukuran tube 7,5 maintenance dengan O2 5 L, N2O 5 L ( 50:50) dan sevoflurance 3 %; monitoring tekanan darah 103-125/52/67 mmHg, frekuensi nadi 71-99, saturasi 99%, cairan
RL 500cc selama kurang lebih 6 jam, operasi dimulai pukul 11.35 sampai dengan 13.35, lama operasi 120 menit. Hasil : operasi ini berjalan selama 120 menit. Dengan keadaan pasien stabil dan tidak terjadi efek samping pasien sadar penuh dibawa ke Recovery Room. Simpulan : Pada makalah ini disajikan kasus pemilihan teknik anestesi general inhalasi pada operasi wide excisi pada penderita perempuan 19 tahun, operasi ini berjalan dengan lancar. Kata Kunci : General anestesi, inhalasi spontan, Endotracheal Tube, multiple FAM (Fibroadenoma Mammae).
BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang General anestesi merupakan pemberian obat anestesia yang akan berefek pada suatu keadaan tidak sadar yang bersifat sementara dan diikuti oleh hilangnya rasa nyeri diseluruh tubuh atau meniadakan nyeri secara sentral yang bersifat reversible disertai dengan hilangnya kesadaran (Dopson, 2009; Mangku 2010). Anestesi general bertujuan untuk mendapatkan efek hipnotik, analgetik dan relaksasi otot yang biasa disebut trias anestesi. Pada pengguanaan anestesi general pasien dapat bernafas sendiri secara spontan (SR), spontan tetapi mendapat sedikit bantuan (AR), dan dikontrol oleh tim anestesi (CR). Apendisitis merupakan salah satu penyakit penyebab akut abdomen yang paling sering dijumpai. Apendisitis terjadi karena adanya peradangan pada apendiks vermiformis atau umbai cacing yang disebabkan oleh infeksi bakteri. Penyakit ini paling sering menjadi penyebab bedah abdomen darurat. Apendisitis dapat menyerang seluruh kelompok usia baik laki-laki maupun perempuan. Isidensi jarang terjadi pada anak di usia kurang dari 1 tahun.
Sedangkan insidensi tertinggi terjadi pada usia 20-30 tahun, dengan insidensi lebih tinggi pada laki-laki, lebih dari itu insidensi semakin menurun (Sjamsuhidajat, 2005). Penyakit ini disebabkan oleh berbagai faktor pencetus terutama adalah karena adanya sumbatan lumen apendiks. Sumbatan ini dapat terjadi karena fecalith, hiperplasia limfoid, neoplasma maupun karena parasit yaitu cacing ascaris. Sumbatan pada lumen apendiks menyebabkan terganggunya aliran mukus didalamnya sehingga terjadi peningkatan tekanan. Meningkatnya tekanan intralumen menyebakan apendiks menjadi edem dan mudah terjadi infeksi bakteri (Sjamsuhidajat, 2005; Brunicardi, et al, 2010). Penatalaksanaan penyakit ini melalui prosedur
bedah
yang
disebut
apendiktomi. Prosedur bedah ini dilakukan untuk mengambil apendiks vermiformis yang bermasalah apabila diagnosis sudah ditegakkan. Prosedur bedah ini dapat dilakukan dengan metode open appendektomi dan laparoskopi.
1.2. Perumusan Masalah Bedasarkan uraian latar belakang masalah diatas, dapat dirumuskan permasalahn sebagai berikut : Bagaimana teknik anestesi spinal pada pasien appendisitis kronis dengan metode laparotomi? 1.3.
Tujuan
Tujuan umum dari karya tulis ilmiah ini adalah untuk mengetahui penggunaan anestesi spinal pada pasien appendisitis kronis dengan metode laparotomi. 1.4. Metode Penulisan Penulisan menggunakan metode
studi kasus dengan pendekatan proses
perjalanan penyakit dan penatalaksanaan. Teknik yang digunakan dalam pengumpulan data adalah studi kasus. 1.4.1. Studi Pustaka Studi kasus adalah cara penelitian dengan cara pengumpulan data secara komprehensif untuk mendapatkan data atau teori yang berhubungan dengan
teknik anestesi dan Appendisitis kronis melalui makalah penelitian diberbagai literatur yang digunakan sebagai referensi. 1.4.2. Wawancara/ Anamnesis Melakukan pendekatan pada psien dan keluarga dengan tanya jawab dan evaluasi klinis sesuai penyakit yang diderita. 1.4.3. Laporan Kasus Memberikan gambaran laporan kasus yang diambil dari keadaan pasien dan dibandingkan dengan teori penelitian dan literatur sebelumnya. 1.5.
Kerangka Konsep
Spinal Anestesi
BAB II
Penderita Appendisitis Kronis
TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Definisi dan Klasifikasi Anestesi dan reanimasi merupakan suatu tindakan menghilangkan rasa sakit ketika melakukan pembedahan dan berbagai prosedur lainnya yang menimbulkan rasa sakit pada tubuh sehingga membuat pasien merasa nyaman (Miller, 2009). Tindakan anestesi yang memadai harus mencakup 3 komponan (trias anestesi), diantaranya adalah : hipnotik yang artinya tidak sadar dan dilakukan dengan hambatan mental, analgesi yang artinya bebas nyeri dan dilakukan dengan hambatan sensoris, serta relaksasi otot yang artinya mati gerak atau otot menjadi rileks dengan hambatan reflex dan hambatan motoris ( Senapathi, Mangku, 2010). Asal kata anestesi (pembiusan; berasal dari bahasa yunani, an- “tidak, tanpa” dan aesthetos, “persepsi, kemampuan untuk merasa”), secara umum berarti suatu tindakan menghilangkan rasa sakit ketika melakukan pembedahan dan berbagai prosedur lainnya yang menimbulkan rasa sakit pada tubuh. Istilah anestesi digunakan pertama kali oleh Oliver Wendel Holmes pada tahun 1846. Obat yang
digunakan dalam menimbulkan anestesi disebut sebagai anestetik, dan kelompok ini dibedakan dalam anestetik umum dan anestetik lokal (Ganiswara, 2009). Secara umum, anestesi terbagi menajdi tiga teknik, yang pertama adalah anestesi lokal.
Anestesi lokal adalah anestesi yang dilakukan dengan
menyuntikkan obat anestesi lokal di sekitar lokasi pembedahan. Tindakan anestesi ini biasanya dilakukan oleh operator sendiri, contohnya anestesi topical (Latief et al, 2010). Kedua, yakni teknik anestesi regional , yaitu teknik yang dilakukan dengan menyuntikkan obat anestesi lokal dilokasi serat saraf yang menginervasi regional tertentu sehingga menyebabkan hambatan konduksi impuls aferen yang bersifat sementara. Teknik ini terbagi lagi menjadi anestesi regional spinal (blok subarachnoid) dan anestesi epidural (blok epidural). Blok subarachnoid adalah blok regional yang dilakukan dengan cara menyuntikkan obat anestesi lokal ruang subarachnoid melalui tindakan pungsi lumbal. Sedangkan blok epidural adalah tindakan blok regional yang dilakukan dengan cara menyuntikkan obat analgetik lokal ke dalam ruang epidural. Berdasarkan lokasinya, blok epidural dapat dilakukan melalui tiga cara, yaitu pendekatan torakal, pendekatan lumbal, dan pendekatan kaudal (Latief et al, 2010). Ketiga, yakni teknik anestesi general yaitu keadaan tidak sadar yang sifatnya sementara kemudian diikuti oleh hilangnya nyeri seluruh tubuh akibat pemberian obat anestesi. Menurut bentuk fisiknya anestesi general terbagi lagi menjadi teknik anestesi intravena dan anestesi inhalasi. Anestesi intravena dilakukan hanya dengan menyuntikkan obat langsung ke pembuluh darah dan vena. Anestesi total intravena memakai kombinasi obat anestesi intravena yang berkhasiat hipnotik, analgetik, dan relaksasi secara berimbang, sehingga memenuhi trias anestetik. Anestesi inhalasi merupakan salah satu teknik anestesi general dengan cara memberi kombinasi obat anestesi inhalasi berupa gas atau cairan yang mudah menguap melalui mesin anestesi untuk dihirup oleh pasien (Latief et al, 2010). 2.2. Pilihan Anastesi dan Reanimasi
Pertimbangan anestesi yang akan diberikan kepada pasien yang akan menjalani pembedahan, memperhatikan berbagai faktor, yaitu (Mangku, Senaphi, 2010) : 1. Umur Pemilihan anestesi pada pasien bayi dan anak adalah anestesi umum karena pasien ini kurang kooperatif. Pada orang dewasa biasa diberikan anestesi umum atau analgesia regional, tergantung dari jenis operasi yang dikerjakan. Pada orang tua cenderung dipilih anestesi regional, kecuali jika tindakan pembedahan yang akan dikerjakan tidak memungkinkan untuk anestesi regional. 2. Jenis Kelamin Faktor emosional dan rasa malu yang lebih dominan pada pasien wanita merupakan faktor pendukung pilihan anestesi umum, sebaliknya pada pasien laki-laki tidaklah demikian, sehingga bisa diberikan anestesi umum atau analgesia regional. Apabila dilakukan analgesia regional pada pasien wanita, dianjurkan untuk memberikan tumbuhan obat sedative. 3. Status Fisik Berkaitan dengan sistemik yang diderita pasien, komplikasi dari penyakit primernya dan terapi yang sedang dijalaninya. Hal ini penting, mengingat adanya interaksi antara penyakit sistemik/pengobatan yang sedang dijalani dengan tindakan/obat anestesi yang digunakan. 4. Jenis Operasi Analisis terhadap tindakan pembedahan atau operasi menghasilkan 4 pilihan masalah, yaitu: a. Lokasi operasi, misalnya pada operasi di daerah kepala leher, dipilih anestesi umum dengan fasilitas intubasi pipa endotrakeal untuk mempertahankan jalan nafas, sedangkan operasi di daerah abdominal bawah, anus, dan ekstremitas bawah dilakukan anestesia regional blok.
b. Posisi operasi, misalnya pada posisi tengkurap, harus dilakukan anestesia umum dengan fasilitas intubasi endotrakeal dan nafas kendali. c. Manipulasi operasi, misalnya pada operasi laparotomy dengan manipulasi intraabdominal yang luas dengan segala resikonya, membutuhkan relaksasi lapangan operasi optimal, harus dilakukan anestesia umum dengan fasilitas intubasi endotrakeal dan nafas kendali. d. Durasi operasi, misalnya pada operasi bedah saraf kraniotomi yang berlangsung lama, harus dilakukan anestesi umum dengan fasilitas intubasi endotrakeal dan nafas kendali. 5. Keterampilan Operator dan Peralatan yang dipakai Hal ini berkaitan dengan manipulasi yang durasi setiap tindakan pembedahan, sehingga pilihan anestesi harus disesuaikan dengan kondisi yang dihadapi. 6. Keterampilan/kemampuan pelaksana anestesi dan sarannya Pelaksana anestesi yang berpengalaman dengan berbagai teknik anestesi yang berpenglaman dengan berbagai teknik anestesi mampu memberikan pelayanan anestesi yang memadai dengan memanfaatkan sarana yang bersedia. 7. Permintaan pasien Pada pasien-pasien tertentu pasien tersebut mampu menentukan pilihan anestesi
yang
dikehendakinya,
sehingga
petugas
anestesi
harus
menyesuaikan jenis/teknik anestesia yang diberikan sesuai dengan permintaan pasien. Tujuan
dilakukannya
tindakan
intubasi
endotrakeal
adalah
untuk
membersihkan saluran trakheobronchial, mempertahankan jalan nafas agar tetap paten, mencegah aspirasi, serta mempermudah pemberian ventilasi dan oksigenasi bagi pasien operasi. Pada dasarnya, tujuan intubasi endotrakheal: a. Mempermudah pemberian anestesia b. Mempertahankan jalan nafas agar tetap bebas serta mempertahankan kelancaran pernafasan. c. Mencegah kemungkinan terjadinya aspirasi isi lambung (pada keadaan tidak sadar, lambung penuh dan tidak ada refleks batuk). d. Mempermudah pengisapan sekret trakheobronchial e. Pemakaian ventilasi mekanis yang lama
f. Mengatasi obstruksi laring akut Gambaran klasik yang betul ialah leher dalam keadaan fleksi ringan, sedangkan kepala dalam keadaan ekstensi. Ini disebut sebagai sniffing in the air position. Kesalahan yang umum adalah mengekstensikan kepala dan leher (Senapathi, Mangku, 2010).
2. 2.4.4. Pasca Anestesi Sebelum pasien pindah keruangan stelah dilakukan operasi terutama yang menggunakan general anestesi, maka kita perlu melakukan apakah pasien sudah dapat pindah ke ruangan atau masih perlu observasi diruang recovery room (RR) atau High Care Unit (HCU). Berikut merupakan skor yang biasa digunakan untuk menilai kondisi pasien pasca anestesi : Nilai Warna Merah muda Pucat Sianosis Pernapasan Dapat bernafas dalam dan batuk Dangkal namun pertukan udara adekut Apnue atau obstruksi Sirkulasi Tekanan darah penyimpangan <20% dari normal Tekana darah penyimpangan 20-50% dari normal Tekana darah penyimpangan >50% dari normal Kesadaran Sadar, siaga dan orientasi Bangun namun cepat kembali tertidur Tidak berespon Aktivitas Seluruh ektremitas dapat diangkat Dua ektremitas dapat digerakan Tidak bergerak >8 pindah keruangan
2 1 0 2 1 0 2 1 0 2 1 0 2 1 0
2.2.2. APENDISITIS DEFINISI Apendisitis merupakan infeksi yang disebabkan oleh mikroba yang menyebabkan inflamasi pada apendiks vermifomis atau umbai cacing. (Christoper, 2007). ETIOLOGI Faktor etiologi apendisitis kronis yang paling sering adalah obstruksi pada lumen apendiks. Obstruksi lumen appendiks dapat disebabkan oleh berbagai faktor diantaranya adalah fecalith, tumor apendiks dan cacing ascaris. Selain itu, hiperplasia jaringan limfoid juga dapat menjadi faktor penyebab apendisitis. Penyebab lainnya yang diduga berperan mengakibatkan terjadinya apendisitis adalah erosi pada mukosa apendiks karena parasit seperti Entamoeba histolytica. Sedangkan penelitian epidemiologi menunjukkan bahwa kebiasaan makan yang rendah serat serta munculnya konstipasi turut memperngaruhi munculnya apendisitis. Hal ini terjadi karena konstipasi menyebabkan terjadinya peningkatan tekanan intrasekal yang akhirnya dapat mengakibatkan sumbatan lumen apendiks secara fungsional. Sumbatan tersebut menyebabkan peningkatan pertumbuhan flora kolon yang dapat mempermudah terjadinya apendisitis. (Sjamsuhidajat, 2005). PATOFISIOLOGI Secara fisiologis apendiks menghasilkan mukus 1-2 ml setiap hari yang kemudian akan dialirkan ke lumen apendiks menuju sekum. Sumbatan pada lumen apendiks
mengakibatkan aliran mukus ini terhambat. Meskipun demikian, sekresi mukosa akan terjadi terus-menerus sehingga tekanan di dalam lumen apendiks akan meningkat. Peningkatan tekanan ini menyebabkan terhambatnya aliran limfe sehingga lumen apendiks menjadi edem. Stadium peradangan pada apendisitis akut ditandai dengan ekstravasasi bakteri yang dini. Sumbatan pada lumen apendiks juga mempermudah peningkatan pertumbuhan bakteri yang akan menyebabkan reaksi peradangan. Inervasi pada apendiks veriformis dengan usus halus yang sama mengakibatkan nyeri visera yang mula-mula seperti nyeri tumpul yang samar di area periumbilicus. Stadium apendisitis berikutnya adalah apendisitis supurativa-akuta. Stadium ini ditandai dengan peningkatan intralumen apendiks yang lebih lanjut, obstruksi vena, iskemia fokal dan iritasi serosa.
DIAGNOSIS DIAGNOSIS KLINIK 1. Gambaran klinik Fibroadenoma pada sebagian besar penderita tidak menunjukkan gejala dan terdeteksi setelah dilakukan pemeriksaan fisik. Pertumbuhan fibroadenoma relatif lambat dan hanya menunjukkan sedikit perubahan ukuran dan tekstur dalam beberapa bulan. Fibroadenoma memiliki gejala berupa benjolan dengan permukaan yang licin dan merah. Biasanya fibroadenoma tidak nyeri, tetapi kadang dirasakan nyeri bila ditekan (Sjamsuhidajat, 2005 ; Fleischer 2011). 2. Pemeriksaan fisik Secara klinik, fibroadenoma biasanya bermanifestasi sebagai massa soliter, diskret, dan mudah digerakkan, selama tidak terbentuk jaringan fibroblast di sekitar jaringan payudara, dengan diameter kira-kira 1-3 cm, tetapi ukurannya dapat bertambah sehingga membentuk nodul dan lobus.
Fibroadenoma dapat ditemukan di seluruh bagian payudara, tetapi lokasi tersering adalah pada kuadran lateral atas payudara. Tidak terlihat perubahan kontur payudara. Penarikan kulit dan axillary adenopathy yang signifikan pun tidak ditemukan(Sjamsuhidajat, 2005 ; Fleischer 2011). 3. Pemeriksaan histopatologi Secara makroskopis, semua tumor teraba padat dengan warna coklat-putih pada irisan, dengan bercak-bercak kuning-merah muda yang mencerminkan daerah kelanjar. Secara histologis, tumor terdiri atas jaringan ikat dan kelenjar dengan berbagai proporsi dan variasi. Tampak stroma fibroblastik longgar yang mengandung rongga mirip duktus atau kelenjar ini dilapisi oleh satu atau lebih lapisan sel yang reguler dengan membran basal jelas dan utuh. Meskipun di sebagian lesi duktus terbuka, bulat hingga oval dan cukup teratur (fibroadenoma perikanalikulis), sebagian lainnya tertekan oleh proliferasi ekstensif stroma sehingga pada potongan melintang rongga tersebut tampak sebagai celah atau struktur irreguler mirip bintang, (fibroadenoma intrakanalikularis) (Fleischer, 2011). . PEMERIKSAAN RADIOLOGIK 1. Mammografi Pada pemeriksaan mammografi, fibroadenoma digambarkan sebagai massa berbentuk bulat atau oval dengan batas yang halus dan berukuran sekitar 4-100 mm. Fibroadenoma biasanya memiliki densitas yang sama dengan jaringan kelenjar di sekitarnya, tetapi pada fibroadenoma yang besar dapat menunjukkan densitas yang lebih tinggi. Kadang-kadang tumor terdiri atas gambaran kalsifikasi yang kasar, yang diduga sebagai infraksi atau involusi. Gambaran kalsifikasi pada fibroadenoma biasanya di tepi atau di tengah berbentuk bulat, oval, atau berlobus-lobus. Pada wanita postmenopause, komponen fibroglandular dari fibroadenoma akan berkurang dan hanya meninggalkan gambaran kalsifikasi dengan sedikit atau tanpa komponen jaringan ikat (Fleischer, 2011).
2. Ultrasonografi (USG) Dalam pemeriksaan USG, fibroadenoma terlihat rata, berbatas tegas, berbentuk bulat, oval atau berupa nodul dan lebarnya lebih besar dibandingkan dengan diameter anteroposteriornya. Internal echogenic nya homogen dan ditemukan gambaran dari isoechoic sampai hipoechoic. Gambaran echogenic kapsul yang tipis, merupakan gambaran khas dari fibroadenoma dan mengindikasikan lesi tersebut jinak. Fibroadenoa tidak memiliki kapsul, gambaran kapsul yang terlihat pada pemeriksaan USG merupakan pseudokapsul yang disebabkan oleh penekanan dari jaringan sekitarnya (Fleischer, 2011). 3. Magnetic Ressinance Imaging (MRI) Dalam pemeriksaan MRI fibroadenoma tampak sebagai massa bulat atau oval yang rata dibandingkan dengan menggunakan kontras gadolinium-base.
Fibroadenoma
digambarkan
sebagai
lesi
yang
hypointenses atau isointense, jika dibandingkan dengan jaringan sekitarnya
dalam
gambaran
T1-weighted
dan
hipointenses
and
hyperintenses dalam gambaran T2-weighted (Fleischer, 2011).
DIAGNOSIS BANDING Padan kondisi tertentu, beberapa penyakit dapat dipertimbangkan sebagai diagnosis banding. Adapun diagnosis banding dari apendisitis, antara lain : 1. Gastroenteritis 2. 3. 4. Kista payudara. Kista payudara dapat berasal dari adenosis, ketika lamina duktus dan acini mengalami dilatasi dan dibatasi oleh jaringan epitel. Gambaran mammografinya berupa massa bulat atau oval yang berbatas tegas. Tepi kista ini dapat berbatasan dengan jaringan fibroganular, baik sebagian maupun seluruhnya. Gambaran USG pada kista adalah lesi dengan bentuk bulat atau oval, mempunyai batas tegas dan teratur, anechoic dan adanya penyengatan akustik posterior.
5. Papilloma. Merupakan lesi jinak yang berasal dari duktus laktiferus dan 75% tumbuh di bawah areola mammae. Papilloma memberikan gejala berupa sekresi cairan serous atau berdarah, adanya tumor sub areola kecil dengan diameter beberapa milimeter atai retraksi puting payudara (jarang ditemukan). Biasanya ukuran lesi papilloma sangat kecil, hanya beberapa milimeter, sehingga pada mammografi, terlihat gambaran sedikit penggembungan atau normal dari duktus retroareola. Gambaran USG kelainan ini adalah suatu lesi intraduktal dengan pelebaran duktus laktiferus (Eisenberg, 2010). PENATALAKSANAAN Operasi eksisi merupakan satu-satunya pengobatan untuk fibroadenoma. Operasi dilakukan sejak dini, hal ini bertujuan untuk memelihara fungsi payudara dan untuk menghindari bekas luka. Pemilihan tipe insisi dilakukan berdasarkan ukuran dan lokasi dari lesi di payudara. Terdapat tiga tipe insisi yang biasa digunakan, yaitu : 1. Radial incision, yaitu dengan menggunakan sinar. 2. Circum areolar incision. 3. Curve/semi circular incision. Tipe insisi yang paling sering digunakan adalah tipe radial. Tipe circum areolar, hanya meninggalkan sedikit bekas lukan dan deformitas, tetapi hanya memberikan pembukaan yang terbatas. Tetapi ini digunakan hanya untuk fibroadenoma yang tunggal, kecil, dan lokasinya sekitar 2 cm di sekitar batas areola. Semi circular incision biasanya digunakan untuk mengangkat tumor yang besar dan berada di daerah lateral payudara (Zieve, 2009). PROGNOSIS Prognosis dari penyakit apendisitis ditentukan oleh berbagai faktor diantaranya adalah kemajuan di bidang anestesi, antibiotik yang adekuat, kebutuhan cairan dan juga respon dari tubuh. Tingkat morbiditas dan angka kematian pasien apendisitis dipengaruhi usia pasien dan ada tidaknya ruptur apendiks sebelum
dilakukan prosedur bedah. Ruptur apendiks berkaitan dengan secara signifikan angka kematian dan angka morbiditas. Insiden abses intra-abdominal sekunder kontaminasi peritoneal dari gangren atau perforasi usus buntu telah menurun tajam sejak diperkenalkannya antibiotik ampuh. Situs kecenderungan untuk abses adalah fossa appendix, kantong Douglas, ruang subhepatic, dan antara loop dari usus. Dalam situs yang terakhir abses biasanya beberapa. Drainase transrectal lebih disukai untuk abses yang tonjolan ke dalam rektum.
Fistula tinja adalah menjengkelkan, tapi tidak terlalu berbahaya, komplikasi usus buntu yang mungkin disebabkan oleh peluruhan dari porsi sekum di dalam konstriksi tas-string jahitan; dengan menyelipkan dari ligatur off diikat, tetapi tidak terbalik, sisa appendix; atau dengan nekrosis dari abses melanggar batas sekum.
Obstruksi usus, awalnya lumpuh tapi kadang-kadang maju ke obstruksi mekanik, dapat terjadi dengan perlahan menyelesaikan peritonitis dengan abses loculated dan pembentukan adhesi riang. Komplikasi akhir yang cukup jarang. Obstruksi usus Band perekat setelah apendektomi tidak terjadi, tapi jauh lebih jarang daripada setelah terapi bedah panggul. Insiden hernia inguinalis adalah tiga kali lebih tinggi pada pasien yang telah memiliki operasi usus buntu. Hernia insisional adalah seperti dehiscence luka infeksi yang predisposisi, itu jarang terjadi pada insisi McBurney, dan tidak jarang dalam sayatan paramedian kanan bawah (Zieve, 2009).
BAB III LAPORAN KASUS 3.1. Identitas Pasien Nama
: Ny. S
Usia
: 19 tahun
Jenis Kelamin : Perempuan Agama
: Islam
Pekerjaan
: Mahasiswi
Alamat
: Bayut RT 12 Jambeyan Sambirejo Sragen
Tanggal masuk: 06 November 2015 No. RM
: 426716
Diagnosis
: Ca mammae sinistra
Berat Badan
: 45 kg
3.2. Anamnesis Anamnesis dilakukan pada tanggal 7 November 2015, pukul 14.00 WIB. Informasi diberikan oleh pasien. Keluhan Utama : Benjolan di payudara kiri. Riwayat penyakit sekarang : Pasien datang ke poli bedah onkologi RSUD dr Soehadi Prijonegoro Sragen pada Hari Kamis, tanggal 6 November 2015 dengan keluhan utama benjolan di payudara sebelah kiri. Benjolan tidak terasa nyeri namun saat diraba akan terasa panas. Riwayat penggunaan alat kontrasepsi disangkal. Riwayat penyakit dahulu : Keluhan sudah dirasakan sejak 2 tahun yang lalu. Pada awalnya hanya muncul benjolan kecil di payudara kiri, benjolan tidak terasa sakit. Beberapa waktu kemudian benjolan semakin bertambah besar. Tidak ada riwayat keluar darah maupun cairan dari puting susu. Pasien pernah berobat ke rumah sakit dan menurut dokter yang memeriksa pasien benjolan pada payudara kiri pasien meruakan tumor jinak. Saat itu pasien disarankan untuk menjalanan prosedur operasi, namun pasien menolak. Benjolan teraba keras, mobile, tidak terfiksasi dan terasa nyeri saat ditekan. Riwayat penyakit keluarga : Kakak pasien menderita sakit yang sama yaitu kanker payudara. Sekarang kakak pasien sudah meninggal dunia. Adik pasien mempunyai riwayat penyakit kanker leher rahim, dan sekarang sudah meninggal dunia. Ibu pasien mempunyai riwayat penyakit hipertensi. melitus, asma, dan alergi di keluarga pasien disangkal.
Riwayat diabetes
3.3. Pemeriksaan Fisik Dilakukan pada tanggal 08 November 2015 GCS : E4V5M6 = 15 BB : 45 kg Tekanan Darah : 111/61 Nadi : 73 Suhu : 36, 7 C Pernafasan : 20 x/ menit Status generalis a. Kulit
: Warna kulit sawo matang, tidak ikterik, tidak sianosis,
turgor kulit cukup b. Kepala : Konjungtiva anemis (-/-), Sklera ikterik (-/-) c. Pemeriksaan leher : Inspeksi : Leher bebas, tidak ada benjolan d. Pemeriksaan thorax : Jantung : Inspeksi : Tampak ictus cordis 2 cm di bawah papilla mammae sinistra Palpasi : ictus cordis teraba Perkusi : jantung dalam batas normal Auskultasi : S1 S2 reguler, tidak ditemukan gallop dan murmur Paru : Inspeksi : dinding dada sejajar dinding perut, tidak ditemukan retraksi dan ketertinggalan gerak Palpasi : simetris, vocal fremitus kanan sama
dengan kiri dan tidak
terdapat ketertinggalan gerak. Perkusi : sonor kedua lapang paru Aukultasi : tidak terdengar suara ronkhi pada kedua pulmo. Tidak terdengar suara wheezing. Payudara : Inspeksi : Tampak pembesaran payudara sebelah kiri Palpasi : Teraba benjolan keras, mobile dan nyeri tekan Aukultasi : Tidak terdengar suara bissing di kedua payudara. e. Pemeriksaan Abdomen : Inspeksi : Perut datar, simetris, tidak terdapat jelas dan massa Auskultasi : Suara bising usus (+) Perkusi : Timpani Palpasi : nyeri tekan (-). Hepar dan lien tidak teraba Nyeri ketok ginjal : (-)
f. Pemeriksaan ekstremitas : Tidak terdapat jejas, bekas trauma, massa dan sianosis Turgor kulit cukup, akral hangat, oedema (-) 3.4. Pemeriksaan Penunjang a. USG Mammae Pada tanggal 17 April telah dilakukan pemeriksaan USG mammae bilateral yang hasilnya adalah : Lesi hipoechoic mamma dextra et sinistra, suatu massa kistik, cenderung benigna DD : Fibroadenoma Mammae (FAM) bilateral. b. Pemeriksaan Laboratorium Tabel 2. Pemeriksaan Laboratorium Pemeriksaan Hemoglobin Hematokrit Eritrosit Leukosit Trombosit CT BT SGOT SGPT Ureum Creatinin Golongan Darah GDS HbsAg
Nilai normal 12,2 – 18,1 d/dL 37,7 -53,7 % 4,04 – 6,13 juta/µL 4,5 – 11,5 ribu/µL 150 – 450 ribu/µL 1-3 menit 1-6 menit <31U/I <32 U/I 10-50 mg/dL 0,60-0,90 mg/dL <200 mg/dL Negatif
Laporan Anestesi 1. Diagnosis Pra Bedah Ca Mammae Sinistra 2. Diagnosis Pasca Bedah Tumor Multiple Mammae Bilateral 3. Penatalaksanaan Preoperasi Infus RL 500 cc 4. Penalaksanaan Anestesi a. Jenis Pembedahan : Wide excisi bilateral
Hasil 12,6 36,4 4,34 6,66 312 3,00 4,30 16 9 14,1 0,71 AB 81 Negatif
b. c. d. e. f.
Jenis Anestesi Teknik Anestasi Mulai Anestasi Mulai Operasi Premedikasi
g. h. i. j. k. l. m. n. o. p.
Sedacum 3 mg Induksi Intubasi Medikasi tambahan Maintenance Respirasi Posisi Cairan Durante Operasi Selesai operasi Lama pembedahan Monitoring
: General anestesi : Anestesi Inhalasi : 22 Mei 2015 pukul 11.25 WIB : 22 Mei 2015 pukul 11.35 WIB : Sulfat Atropin 0,25 mg, Fentanyl 100 meq, : Recofol 100 mg, Tramus 15 mg : Endotracheal tube (ET) : Ketorolac 30 mg : O2, N2O, Sevoflurane 2-3% : Spontan menggunakan ET : Tidur terlentang : RL 1000 ml : 22 Mei 2015 pukul 13.35 WIB : 120 menit : Nadi pre-op : 73x/menit : Nadi durante : 80-100x/menit
Pada tanggal 22 Mei 2015, pukul 11.20 WIB, Sdr. A, 19 tahun tiba diruang operasi dengan terpasang infus RL 20 tpm. Dilakukan pemasangan manset dan pemasangan pulse oxymetri dengan tekanan darah awal 111/61 mmHg, nadi 73x/menit dan SpO2 99%. Pukul 11.25 WIB diberi premedikasi dengan injeksi Sedacum 3 mg, Fentanyl 100 meq, Sulfat Atropin 0.25 mg secara intravena. Setelah premedikasi dilakukan injeksi Tramus 15 mg (ditunggu hingga 2-3 menit untuk memberikan efek muscle relaxan), kemudian dilakukan induksi dengan injeksi Recofol 100 mg. Setelah itu dipasang ET untuk pemeliharaan respirasi dan juga menunggu kerja dari obat. Setelah pasien terinduksi dengan tanda-tanda tidak sadar, tertidur dan rileks, maka operasi dapat dimulai. Selama operasi berlangsung, nadi, tekanan darah, dan saturasi oksigen dimonitor setiap 5 menit. -
Jam 11.25 Jam 11.30 Jam 11.35 Jam 11.40 Jam 11.45 Jam 11.50 Jam 11.55 Jam 12.00
: TD 111/61 mmHg, nadi 73 x/menit, SpO2 99% : TD 117/62 mmHg, nadi 71 x/menit, SpO2 99% : TD 117/62 mmHg, nadi 74 x/menit, SpO2 99% : TD 105/55 mmHg, nadi 70 x/menit, SpO2 99% : TD 111/60 mmHg, nadi 82 x/menit, SpO2 99% : TD 113/64 mmHg, nadi 85 x/menit, SpO2 99% : TD 103/62 mmHg, nadi 82 x/menit, SpO2 99% : TD 113/61 mmHg, nadi 86 x/menit, SpO2 99%
-
Jam 12.05 Jam 12.10 Jam 12.15 Jam 12.20 Jam 12.25 Jam 12.30 Jam 12.35 Jam 12.40 Jam 12.45 Jam 12.50 Jam 12.55 Jam 13.00 Jam 13.05 Jam 13.10 Jam 13.15 Jam 13.20 Jam 13.25 Jam 13.30 Jam 13.35
: TD 112/57 mmHg, nadi 84 x/menit, SpO2 99% : TD 102/60 mmHg, nadi 83x/menit, SpO2 99% : TD 108/52 mmHg, nadi 77x/menit, SpO2 99% : TD 105/53 mmHg, nadi 76x/menit, SpO2 99% : TD 103/53 mmHg, nadi 77x/menit, SpO2 99% : TD 104/55 mmHg, nadi 73x/menit, SpO2 99% : TD 108/54 mmHg, nadi 73x/menit, SpO2 99% : TD 110/54 mmHg, nadi 89x/menit, SpO2 99% : TD 115/60 mmHg, nadi 87x/menit, SpO2 99% : TD 115/60 mmHg, nadi 80x/menit, SpO2 99% : TD 100/56 mmHg, nadi 77x/menit, SpO2 99% : TD 108/56 mmHg, nadi 75x/menit, SpO2 99% : TD 116/53 mmHg, nadi 79x/menit, SpO2 99% : TD 125/53 mmHg, nadi 75x/menit, SpO2 99% : TD 125/63 mmHg, nadi 93x/menit, SpO2 99% : TD 122/67 mmHg, nadi 102x/menit, SpO2 99% : TD 118/67 mmHg, nadi 89x/menit, SpO2 99% : TD 108/58 mmHg, nadi 99x/menit, SpO2 99% : TD 115/61 mmHg, nadi 75x/menit, SpO2 99%
Pembahasan A. Persiapan dan penilaian pra anestesi a. Kujungan Pada saat kunjungan pra anestesi dapat dilakukan anamnesis dan pemeriksaan untuk menentukan keadaan pasien dan berkaitan dengan pelaksanaan anestesi pasien yakni sebagai berikut :
-
Identitas Pasien Nama : NN. AAS Usia : 19 tahun Jenis Kelamin : Perempuan Agama : Islam Pekerjaan : Mahasiswi Alamat : Bayut RT 12 Jambeyan Sambirejo Sragen Tanggal masuk: 22 Mei 2015 No. RM : 426716 Diagnosis : Tumor mammae dextra et sinistra (bilateral) Berat Badan : 45 kg
-
Anamnesis Anamnesis dilakukan pada tanggal 23 Mei 2015, pukul 18.00 WIB.
-
Informasi diberikan oleh orang tua pasien dan pasien. Keluhan Utama : Benjolan di payudara kiri. Riwayat penyakit sekarang : Pasien datang ke IGD dengan keluhan utama benjolan di kedua payudara. Keluhan dirasa semakin memberat pada saat diraba. Pasien mengeluhkan sering terasa capek apabila setelah aktivitas berat dan tugas-tugas dari kampus badan sering terasa pegel-pegel, pusing
-
dan gampang masuk angin. Riwayat penyakit dahulu : Keluhan ini dirasakan sejak 6 bulan yang lalu. Benjolan awalnya teraba disebelah kanan terlebih dahulu kemudian sekitar 6 bulan benjolan teraba di kedua payudara. Benjolan teraba keras, mobile, tidak terfiksasi dan terasa nyeri saat ditekan. Awalnya benjolan teraba kecil dan tidak mengeluhkan nyeri atau sakit saat diraba, tetapi semakin lama
-
semakin membesar benjolan yang dirasakan. Riwayat penyakit keluarga : Ibu pasien menderita penyakit tumor payudara dan sudah dilakukan operasi selama 2 kali. Selain ibu pasien, bude dari keluarga ibu dan sepupu dari ayah juga terkena tumor payudara. Riwayat asma, alergi, dan riwayat penyakit yang sama dengan pasien disangkal.
-
Pemeriksaan Fisik Secara klinik, pada Sdr. A didapatkan benjolan disekitar putting di mammae sinistra. Menurut teori fibroadenoma biasanya bermanifestasi sebagai massa soliter, diskret, dan mudah digerakkan, selama tidak terbentuk jaringan fibroblast di sekitar jaringan payudara, dengan diameter kira-kira 1-3 cm, tetapi ukurannya dapat bertambah sehingga membentuk nodul dan lobus. Fibroadenoma dapat ditemukan di seluruh bagian payudara, tetapi lokasi tersering adalah pada kuadran lateral atas payudara. Tidak terlihat perubahan kontur payudara. Penarikan kulit dan axillary adenopathy yang signifikan pun tidak ditemukan.
-
Pemeriksaan Penunjang Tidak terdapat kelainan dari hasil pemeriksaan laboratorium darah rutin penunjang yang mempengaruhi kondisi pasien dan untuk tindakan
anestesi. Menurut Senapathi dan Mangku 2010, pemeriksaan darah rutin ditujukan kepada pasien yang dipersiapkan untuk operasi kecil dan sedang. Dari hasil kunjungan dapat diketahui kondisi pasien dan dinyatakan dengan status anestesi menurut The American Society of Anesthesiologist (ASA) ASA I ASA II
: Pasien dalam keadaan normal dan sehat : pasien dengan kelainan sistemik ringan sampai sedang
baik karena penyakit bedah maupun penyakit lain. Contohnya : pasien dengan batu ureter dengan hipertensi sedang terkontrol atau pasien apendisitis akut dengan leukositosis dan febris ASA III : pasien dengan gangguan atau penyakit sistemik berat yang diakibatkan karena berbagai penyebab. Contohnya : pasien apendisitis perforasi dengan septisemia. ASA IV : pasien dengan kelainan sistemik berat secara langsung mengancam kehidupannya. Contohnya pasien dengan syok. ASA V : pasien tak diharapkan hidup setelah 24 jam walaupun dioperasi atau tidak. Contohnya : pasien tua dengan perdarahan basis kranii dan syok hemoragik karena fraktur hepatic. Klasifikasi ASA juga dipakai pada pembedahan darurat dengan mencantumkan tanda darurat E (emergency), misalnya IE atau IIE. Pada kunjungan ini, tidak ditemukan kelainan sistemik pada pasien, pasien dalam keadaan sehat. Normal sehingga dilakukan operasi dengan ASA I. Pemilihan Teknik Anestesi Keputusan untuk menggunakan anestesi umum dikarenkan lokasi operasi didaerah kepala, leher, toraks, ektremitas atas dipilih anestesi umum, sedangkan operasi tubuh bagian bawah dapat digunakan blok spinal. Kedua, manipulasi yang dilakukan jika luas maka dengan segala resikonya maka akan dipertimbangkan dipilih anestesi umum. Ketiga, durasi operasi menentukan pilihan juga, jika durasi operasi lama maka akan dipilih anestesi umum (Mangku, 2010). Setiap pemberian anestesi umum, sering dilakukan pemberian fasilitas intubasi ET karena dengan fasilitas ini jalan nafas lebih dapat terkendali (Mangku, 2010). Pelaksanaan Anestesi dan Reanimasi
-
Premedikasi Premedikasi ialah pemberian obat 1-2 jam sebelum induksi anestesi dengan tujuan untuk melancarkan induksi, rumatan dan bangun dari anestesi diantaranya : 1. Meredakan kecemasan dan ketakutan 2. Memperlancar induksi anestesi 3. Mengurangi sekresi kelenjar ludah dan bronkus 4. Meminimalkan jumlah obat anestetik 5. Mengurangi mual muntah pasca bedah 6. Mencimptakan amnesia 7. Mengurangi isi cairan lambung 8. Mengurangi refleks yang membahayakan
Premedikasi yang diberikan yakni sulfas atropine 0,25 mg yang bekerja menurunkan tonus vagal dan memperbaiki kondisi sistem atrioventrikuler, fentanyl 100 meq merupakan obat narkotik sintetik yang paling banyak digunakan dan sedacum 3 mg yang memberika efek sedasi. -
Induksi dan Rumatan Anestesi
Induksi adalah usaha membawa atau membuat kondisi pasien dari sadar ke stadiumpembedahan (stadium III skala guedel) yang merupakan tindakan untuk membuat pasein dari sadar menjadi tidak sadar, sehingga memungkinkan dimulainya anestesi dan pembedahan. Pada pasien ini sebelumnya diberikan obat tramus 15 mg yang berfung sebagai merelaksasikan otot guna untuk mempermudah pemasangan ET selanjutnya menggunakan induksi recofol 100 mg yang menyebabkan pasien tidak sadar. -
Maintanance
Pada pasien ini untuk mantanance digunakan agent berupa sevofluren, O2 dan N2O. sevofluren digunakan terutama sebagai komponen hipnotik dalam pemeliharaan anestesi umum. Disamping efek hipnotiik, obat ini juga mempunyai efek analgetik ringan dan relaksasi otot ringan. Untuk dosis pemeliharaan den pola nafas spontan seperti pasien ini, konsentrasinya berkisar 2-3%. Kebutuhan cairan :
a. Sebelum operasi dan durante operasi Kebutuhan dasar menurut Mangku (2010), untuk dewasa 2cc/kgBB/jam. Jadi kebutuhan dasar Sdr. A (2 cc x 45 kg = 90 cc/jam) karena pasien dipuasakan selama 8 jam sehingga kebutuhan dasar = 90 x 8 = 720 cc Operasi sedang = 4-6 ml/kgBB/jam = 6 x 45 kg = 270 cc, karena operasi berlangsung selama 120 menit mka dibuthkan cairan b. Post Operasi Kebutuhan dasar Sdr. A (2 cc x 45 kg = 90 cc/jam, tetesan = 75 x 20/ 60 = -
1500/60 = 25 tpm) Pasca operasi
Nilai Warna Merah muda Pucat Sianosis Pernapasan Dapat bernafas dalam dan batuk Dangkal namun pertukan udara adekut Apnue atau obstruksi Sirkulasi Tekanan darah penyimpangan <20% dari
2 1 0 2 1 0 2
normal Tekana darah penyimpangan 20-50% dari 1 normal Tekana darah penyimpangan >50% dari normal Kesadaran Sadar, siaga dan orientasi Bangun namun cepat kembali tertidur Tidak berespon Aktivitas Seluruh ektremitas dapat diangkat Dua ektremitas dapat digerakan Tidak bergerak Skor total 9 pindah keruangan
0 2 1 0 2 1 0
BAB IV SIMPULAN Pada kasus ini dilakukan anestesi karena pertimbangan bagian operasi, luas operasi dan lama operasi. Selama keadaan operasi pasien diruang operasi, didapatkan tekanan dara berkisar 103-125/ 52-67, nadi berkisar 71-99x/menit, saturasi oksigen 99%. Pemilihan obat-obatan premedikasi dan induksi pada kasus ini relafit aman karena obat-obatan yang dipilih berisiko kecil untuk hepatotoksik.
DAFTAR PUSTAKA
Grace, P.A., Borley, N.R. 2002. Surgery At a Glance. United Kingdom : Blackwell Science Ltd. Sjamsuhidajat R, Wim de Jong. 2005. Buku Ajar Ilmu bedah, edisi 2. Jakarta : ECG Sabiston, D.C. 2007. Sabiston Textbook of Surgery : The Biological Basis of Modern Surgical Practice. 18th Ed. Philadelphia : Saunders Elsevier. Brunicardi, S.C. Andersen, D.K., Billiar, T.R., Dunn, D.L., Hunter, J.G., Matthews, J.B., Pollock, R.E. 2010. Schwartz’s Principles of Surgery. 9th Ed. United States of America : The McGraw-Hill Companies, Inc.
Latief, S.A., Suryadi, K.A., Dachlan, M.R., 2010. Petunjuk Praktis Anestesiologi (2nd ed). Jakarta : FK UI. Mangku, G., Senapathi, T.G., 2010. Buku Ajar Ilmu Anestesi dan Reanimasi. Jakarta: PT Macanan Jaya Cemerlang. Miller, R.D., et al, 2009. Miller’s Anesthesiologi (7th ed).
3.1. Identitas Pasien Nama
: Ny. S
Usia
: 19 tahun
Jenis Kelamin : Perempuan Agama
: Islam
Pekerjaan
: Mahasiswi
Alamat
: Bayut RT 12 Jambeyan Sambirejo Sragen
Tanggal masuk: 06 November 2015 No. RM
: 426716
Diagnosis
: Ca mammae sinistra
Berat Badan
: 45 kg
3.2. Anamnesis Anamnesis dilakukan pada tanggal 7 November 2015, pukul 14.00 WIB. Informasi diberikan oleh pasien. Keluhan Utama : Nyeri di peru sebelah kanan hingga ke pinggang. Riwayat penyakit sekarang : Pasien datang ke Instalasi Gawat Darurat RSUD dr Soehadi Prijonegoro Sragen pada tanggal 4 November 2015 dengan
keluhan utama nyeri di perut sebelah kanan yang menjalar ke penggang sebelah kanan. Nyeri dirasakan terus-menerus disertai rasa panas dan pegal. Pasien juga merasakan mual dan muntah serta cekot-cekot di seluruh bagian kepala. Selain itu pasien juga merasakan sakit dan panas saat buang air kecil. Warna air kencing sebelumnya kuning jernih, namun berubah menjadi seperti teh setelah pasien dirawat di bangsal. Pasien juga merasakan kencing yang tidak tuntas seperti anyang-anyangan. Sebelumnya pasien belum pernah berobat. Kebiasaan sering menahan kencing disangkal oleh pasien. Pasien setiap hari banyak minum air putih ± 1,5 liter perhari. Riwayat penyakit dahulu : Riwayat keluhan serupa disangkal, pasien menyatakan keluhan tersebut baru pertama kali dirasakan. Riwayat penyakit diabetes melitus, hipertensi, alergi dan penyakit berat lainnya disangkal. Riwayat penyakit keluarga : Tidak ditemukan keluhan serupa pada anggota keluarga pasien. 3.3. Pemeriksaan Fisik Dilakukan pada tanggal 08 November 2015 GCS : E4V5M6 = 15 BB : 45 kg Tekanan Darah : 111/61 Nadi : 73 Suhu : 36, 7 C Pernafasan : 20 x/ menit