Skenario 2 Blok 13 (Part 2) Author : Uray, Fida, Arnis, Nurlita
Trigger 2 Pasien diberikan diazepam tiap malam awalnya bisa tidur, namun sekarang sudah tidak bisa tidur lagi.
1. 2. 3. 4.
Learning Objectives Etiologi & Patofisiologi Insomnia? Kriteria Diagnostik Insomnia & Diagnosis Pasien? Bagaimanakah penatalaksanaan Insomnia yang baik? Kenapa Diazepam yang diberikan saat ini tidak dapat membantunya tidur lagi?
Answer 1. Etiologi & Patofisiologi Insomnia?
ETIOLOGI
Etiologi terjadinya insomnia dapat dibagi menjadi tiga yaitu : Faktor ekstrinsik misalnya cahaya, kebisingan, higiene, suhu, kelembaban dan perubahan lingkungan sekitar. Faktor instrinsik dibagi dalam penyebab organik misalnya gangguan atau penyakit organik dan psikologis contohnya con tohnya depresi, cemas berkabung serta higiene tidur/aktivitas mental sebelum tidur. Faktor iatrogenik misalnya penggunaan obat-obatan maupun makanan tertentu (Hamdy, 1994; Carney et al., 2005; Amir, 2007). Contohnya : Kopi (Coffee)
Penyebab lain yang diperkirakan berhubungan dengan insomnia pada perempuan adalah menopause. Penelitian di Perancis yang melibatkan 1000 perempuan setengah baya menunjukkan adanya hubungan antara menopause dengan gangguan tidur. Hal ini diperkirakan sebagai efek dari perubahan endokrin. Pada perempuan yang mendapat terapi estrogen dilaporkan mengalami perbaikan dalam tidurnya (Anonim, 2007; Amir, 2007). Higiene tidur yang buruk pada lansia sering merupakan penyebab insomnia dan merupakan faktor yang dapat diatasi oleh lansia itu sendiri di rumah (Bliwise, 2000; Carney et al., 2005; Amir, 2007). Jadwal tidur yang kacau, perkiraan kebutuhan tidur yang berlebihan dapat menyebabkan tidur siang yang terlalu banyak serta terlalu banyak waktu untuk tidur. (Carney, 2005; Amir, 2007). Kebiasaan makan yang buruk, kurang olah raga, penggunaan kafein, alkohol dan obatobatan lain dapat berpengaruh terhadap timbunya insomnia (Yates, 2005; Feldman & Abernathy, 2000; Amir, 2007).
Sumber : MISC 2010, Chapter 2 Hal 18, Sleeping Disorder (Insomnia), dr. Ida Rochmawati, M.Sc., Sp.KJ PATOFISIOLOGI
Adanya lesi maupun degenerasi thalamus akan menyebabkan insomnia (Yudofsky, 1997). Teori lainnya menduga bahwa insomnia berkaitan erat dengan neuroendokrin, terutama pengaruh ACTH-kortisol, hiperprolaktinemia, dan hormon pertumbuhan terhadap slowwave sleep (Carney et al., 2005). Melatonin, hormon dari glandula pineal yang disekresikan terutama pada malam hari (saat gelap), diperkirakan berperan dalam proses tidur-bangun (Czeisler & Khalsa, 2005; Haimov et al., 1994). Kadar melatonin tertinggi dalam darah terjadi pada saat tidur di malam hari dan kadar terendah adalah pada siang hari atau saat bangun. Pemberian melatonin dapat menginduksi tidur, dapat mempertahankan tidur atau keduanya (Czeisler & Khalsa, 2005).
Sumber : MISC 2010, Chapter 2, Hal 18, Sleeping Disorder (Insomnia), dr. Ida Rochmawati, M.Sc., Sp.KJ 2.
Kriteria Diagnostik Insomnia & Diagnosis Pasien? Pedoman diagnostik insomnia non organik menurut PPDGJ -III
Hal tersebut dibawah ini diperlukan untuk m embuat diagnosis pasti :
a.
Keluhan adanya kesulitan masuk tidur atau mempertahankan tidur atau kualitas tidur yang buruk,
b.
Gangguan terjadi minimal 3 kali dalam seminggu selama minimal satu bulan,
c.
Adanya preokupasi dengan tidak bisa tidur (sleeplessness) dan peduli yang berlebihan terhadap akibatnya pada malam hari dan sepanjang siang hari,
d.
Ketidakpuasan terhadapkuantitas dan atau kualitas tidur menyebabkan penderitaan yang cukup berat dan mempengaruhi fungsi dalam sosial dan pekerjaan.
Adanya gejala gangguan jiwa lain seperti depresi, anxietas, atau obsesi tidak menyebabkan diagnosis insomnia diabaikan. Semua ko-morbiditas harus dicantumkan karena membutuhkan terapi tersendiri.
Kriteria "lama tidur" (kuantitas) tidak digunakan untuk menentukan adanya gangguan, oleh karena luasnya variasi individual . Lama gangguan yang tidak memenuhi kriteria di atas (seperti pada "transient insomnia") tidak didiagnosis disini, dapat dimasukkan dalam reaksi stres akut (F43.0) atau ganguan penyesuaian (F43.2) Sumber :
PPDGJ-III
Sedangkan kriteria diagnostik untuk insomnia primer menurut DSM-IV
Keluhan yang menonjol adalah kesulitan untuk memulai atau mempertahankan tidur, atau tidur yang tidak menyegarkan, selama sekurangnya satu bulan. Gangguan tidur (atau kelelahan siang hari yang menyertai) menyebabkan penderitaan yang bermakna secara kllinis atau gangguan dalam fungsi sosial, pekerjaan, atau fungsi penting lain. Gangguan tidur tidak terjadi semata-mata selama perjalanan narkolepsi, gangguan tidur berhubungan pernapasan, gangguan tidur irama sirkardian, atau parasomia. Gangguan tidak terjadi semata-mata selama perjalanan gangguan mental lain (misalnya, gangguan depresif berat, gangguan kecemasan umum, delirium) Gangguan bukan karena efek fisiologis langsung dari suatu zat (misalnya, obat yang disalahgunakan, medikasi) atau suatu kondisi medis umum. Sumber : MISC 2010, Chapter 2 Hal 18 Pada tahun 1984,The International Institute of Health membuat suatu konsensus pengelompokan gangguan tidur berdasarkan lamanya gangguan yang terdiri dari: 1. Transient yaitu jika gangguan tidurnya kurang d ari 7 hari 2. Short term yaitu jika gangguan tidurnya menetap lebih dari 7 hari dan kurang dari 3 minggu. Kedua gangguan tersebut biasanya berhubungan dengan stress yang akut seperti perubahan kehidupan sosial, peningkatan emosional, faktor lingkungan, faktor sistemik, kelainan gangguan kesehatan, desinkronisaso irama sirkadian 3. Long term yaitu jika gangguan tidur menetap lebih dari 3 minggu. Biasanya berhubungan dengan gangguan tidur primer, gangguan psikiatri, gangguan kesehatan, gangguan psikologi. Sumber : Repository USU (Judul : Gangguan Tidur oleh Dr ISKANDAR JAPARDI – Fakultas Kedokteran Bagian Bedah Universitas Sumatera Utara)
3. Bagaimanakah penatalaksanaan Insomnia yang baik? 1. Pendekatan hubungan antara pasien dan dokter, tujuannya:
Untuk mencari penyebab dasarnya danpengobatan yang adekuat Sangat efektif untuk pasien gangguan tidur kronik
Untuk mencegah komplikasi sekunder yang diakibatkan oleh penggunaan obat hipnotik,alkohol, gangguan mental Untuk mengubah kebiasaan tidur yang jelek
2. Konseling dan Psikotherapi
Psikotherapi sangat membantu pada pasien dengan gangguan psikiatri seperti (depressi, obsessi, kompulsi), gangguan tidur kronik. Dengan psikoterapi ini kita dapat membantu mengatasi masalah-masalah gangguan tidur yang dihadapi oleh penderita tanpa penggunaan obat hipnotik.
3. Sleep hygiene terdiri dari:
Tidur dan bangunlah secara reguler/kebiasaan Hindari tidur pada siang hari/sambilan Jangan mengkonsumsi kafein pada malam hari Jangan menggunakan obat-obat stimulan seperti decongestan Lakukan latihan/olahraga yang ringan sebelum tidur Hindari makan pada saat mau tidur, tapi jangan tidur dengan perut kosong Segera bangun dari tempat bila tidak dapat tidur (15-30 menit) Hindari rasa cemas atau frustasi Buat suasana ruang tidur yang sejuk, sepi, aman dan enak
4. Pendekatan farmakologi Sumber : Repository USU (Judul : Gangguan Tidur oleh Dr ISKANDAR JAPARDI – Fakultas Kedokteran Bagian Bedah Universitas Sumatera Utara) 4. Kenapa Diazepam yang diberikan saat ini tidak dapat membantunya tidur lagi? Coba dicari sendiri :p wehehehe, Semoga Bermanfaat & Semoga Sukses!. Referensi Anti-Remed http://anti-remed.blogspot.com/2012/09/skenario-2-blok-13.html
Swamedikasi Insomnia oleh Apoteker 22.34 Health and Lifestyle, Terapi Farmasi pada Insomnia No comments
2011:
Swamedikasi atau pengobatan sendiri adalah tindakan yang dilakukan untuk mengatasi masalah kesehatan dengan menggunakan obatobatan yang dapat dikonsumsi tanpa pengawasan dari dokter. Swamedikasi ini sendiri terdapat batasan, dimana obat-obatan yang digunakan untuk pengobatan sendiri atau swamedikasi adalah obat tanpa resep / obat bebas / obat OTC (over the counter). Swamedikasi bukan berarti asal mengobati, justru pasien harus mencari informasi obat yang sesuai dengan penyakitnya dan apoteker memiliki peran disini
Apa yang bisa dilakukan apoteker pada swamedikasi gejala insomnia?
Apoteker dapat menggali informasi pasien untuk melakukan anamnesa kefarmasian. Setelah memperoleh informasi, apoteker menentukan terapi yang tepat untuk pasien. Dalam batasan swamedikasi, pasien dengan insomnia dapat diterapi dengan terapi non-farmakologi yaitu mengatur pola tidur dan manajemen stress. Swamedikasi terhadap pasien yang mengalami insomnia dapat dilakukan apabila jenis insomnia yang dialami tergolong insomnia jangka pendek (< 3 minggu) yang masih bisa diterapi dengan terapi nonfarmakologi. Hal ini dilakukan dengan KIE mengenai kebiasaan tidur yang sehat dan manajemen stress. Terapi farmakologi dapat dilakukan dengan pemberian produk OTC herbal atau antihistamin. Apoteker tidak diperbolehkan memberikan obat lain seperti obat penenang tanpa resep dokter. Efek samping dari obat dan kemungkinan terjadinya kekambuhan setelah pengobatan dihentikan harus diperhatikan secara seksama supaya tidak memperburuk kondisi pasien. Pasien perlu dirujuk ke dokter apabila mengalami insomnia kronis atau tidak membaik dengan pemberian terapi non-farmakologi dan farmakologi OTC. Rujukan ke dokter Pada insomnia yang tidak bisa ditangani dengan nonfarmakologi atau OTC, pasien dengan insomnia kronis (> 1 bulan) dan mungkin berhubungan dengan gangguan medis atau kejiwaan atau obat, atau mungkin psiko-fisiologis seperti kecemasan, perlu dirujuk ke dokter untuk pemeriksaan lebih lanjut dan mungkin memperoleh obat resep. Bagaimana
cara
melakukan
swamedikasi?
Dalam melakukan swamedikasi, terlebih dahulu apoteker melakukan anamnesa kefarmasian dengan mengajukan pertanyaan kepada pasien. Apabila pasien dengan insomnia meminta obat, pertanyaan yang dapat diajukan apoteker adalah mengenai hal-hal berikut: Pertanyaan dengan pola ASMETHOD A : Age / appearance
Nama dan usia pasien Pekerjaan/aktivitas sehari-hari pasien
S : Self or someone else
Siapa yang mengalami insomnia? Siapa yang akan menggunakan obat?
M : Medication
Pengobatan apa saja yang sudah/pernah digunakan pasien?
E : Extra medicine
Apakah pasien telah menggunakan obat atau suplemen untuk mengatasi insomnia yang dialami?
T : Time persisting
Sudah berapa lama pasien mengalami insomnia? Berapa lama pasien bisa tidur dalam sehari?
H : History
Apakah sebelumnya pasien pernah mengalami masalah insomnia? Bagaimana pola tidur pasien? Apakah pasien memiliki penyakit atau mengalami masalah/stress?
O : Other symptoms
Apakah ada gejala lain yang dirasakan? Misalnya demam, menggigil, batuk, atau pasien mengalami kecemasan
D : Danger symptom
Apakah pasien memiliki alergi obat? Apakah setelah menggunakan obat terdapat efek atau gejala yang mungkin berbahaya?
Setelah melakukan anamnesa kefarmasian, barulah apoteker dapat menentukan keputusan pemberian terapi yang tepat untuk pasien apakah menggunakan terapi nonfarmakologi atau
farmakologi. Penggunaan obat swamedikasi hanya untuk penggunaan jangka pendek saja (seminggu), karena jika gejala menetap atau bahkan makin memburuk maka pasien harus segera ke dokter.