Penyelesaian sengketa dalam hukum bisnis serta pembuktian
A. PENDAHULUAN
Semakin maraknya kegiatan bisnis, tidak mungkin di hindari adanya
sengketa diantara para pihak-pihak yang terlibat. Secara konvensional
penyelesaian sengketa dilakukan secara ligitasi (pengadilan), dimana posisi
para pihak berlawanan satu sama lain. Proses ini oleh kalangan bisnis
dianggap tidak efektif dan tidak efesien, terlalu formalistic, berbelit-
belit, penyelesaiannya membutuhkan waktu yang lama dan biayanya relative
mahal. Apalagi putusan pengadilan bersifat win-lose solution (menang
kalah), sehingga dapat merenggangkan hubungan kedua belah pihak di masa-
masa yang akan datang. Sebagai solusinya, kemudian berkembanglah model
penyelesaian sengketa non litigasi, yang dianggap lebih bisa mengakomodir
kelemahan-kelemahan model litigasi dan memberikan jalan keluar yang lebih
baik. Proses diluar litigasi dipandang lebih menghasilkan kesepakatan yang
win-win solution, menjamin kerahasiaan sengketa para pihak, menghindari
keterlambatan yang diakibatkan karena hal prosedural dan administratif,
menyelesaikan masalah secara komprehensif dalam kebersamaan, dan tetap
menjaga hubungan baik.
B. PENGERTIAN SENGKETA BISNIS
Dalam kamus bahasa Indonesia sengketa adalah pertentangan atau konflik.
Konflik berarti adanya oposisi, atau pertentangan antara kelompok atau
organisasi terhadap satu objek permasalahan. Menurut Winardi, Pertentangan
atau konflik yang terjadi antara individu – individu atau kelompok –
kelompok yang mempunyai hubungan atau kepentingan yang sama atas suatu
objek kepemilikan, yang menimbulkan akibat hukum antara satu dngan yang
lain.
Menurut Ali Achmad, sengketa adalah pertentangan antara dua pihak atau
lebih yang berawal dari persepsi yang berbeda tentang suatu kepemilikan
atau hak milik yang dapat menimbulkan akibat hukum antara keduanya.
Dari pendapat diatas dapat di simpulkan bahwa Sengketa adalah perilaku
pertentangan antara kedua orang atua lembaga atau lebih yang menimbulkan
suatu akibat hukum dan karenanya dapat diberikan sanksi hukum bagi salah
satu diantara keduanya.
Pertumbuhan ekonomi yang pesat dan kompleks melahirkan berbagai macam
bentuk kerja sama bisnis. mengingat kegiatan bisnis yang semakin meningkat,
maka tidak mungkin dihindari terjadinya sengketa diantara para pihak yang
terlibat. Sengketa muncul dikarenakan berbagai alasan dan masalah yang
melatar belakanginya, terutama karena adanya conflict of interest diantara
para pihak. Sengketa yang timbul diantara para pihak yang terlibat dalam
berbagai macam kegiatan bisnis atau perdagangan dinamakan sengketa bisnis.
Secara rinci sengketa bisnis dapat berupa sengketa sebagai berikut :
1. Sengketa Perniagaan
2. Sengketa Perbankan
3. Sengketa Keuangan
4. Sengketa Penanaman Modal
5. Sengketa Perindustrian
6. Sengketa HKI
7. Sengketa Konsumen
8. Sengketa Kontrak
9. Sengketa Pekerjaan
10. Sengketa Perburuhan
11. Sengketa Perusahaan
12. Sengketa Hak
13. Sengketa Property
14. Sengketa Pembangunan Konstruksi
C. MACAM-MACAM CARA PENYELESAIAN
Pertumbuhan ekonomi yang pesat dan kompleks melahirkan berbagai macam
bentuk kerjasama bisnis, yang meningkat dari hari ke hari. Semakin
meningkatnya kerjasama bisnis, menyebabkan semakin tinggi pula tingkat
sengketa diantara para pihak yang terlibat didalamnya. Penyelesaian
sengketa dapat berupa :
1. Litigasi
2. Non Litigasi
LITIGASI
Litigasi merupakan mekanisme penyelesaian sengketa melalui jalur
pengadilan. Adapun sisi positif menyelesaikan sengketa di jalur pengadilan
adalah :
a. Hukum yang berlaku adalah sistem hukum Indonesia
b. Berlangsung di wilayah Republik Indonesia
Sedangkan sisi negatifnya adalah :
1. Partner asing belum memberikan kepercayaan kepada efektivitas hukum di
Indonesia
2. Proses peradilan memakan waktu yang lama. Karena terbukanya kesempatan
untuk mengajukan upaya hukum atas putusan hakim, melalui banding,
kasasi dan peninjauan kembali.
3. Proses dilakukan terbuka untuk umum
Mekanisme penyelesaian sengketa dengan jalur pengadilan dilaksanakan di
lembaga penyelesaian sengketa bisnis. Di indonesia ada dua lembaga
penyelesaian sengketa bisnis yaitu
1. Pengadilan Umum
Pengadilan Negeri berwenang memeriksa sengketa bisnis, mempunyai
karakteristik :
1. Prosesnya sangat formal
2. Keputusan dibuat oleh pihak ketiga yang ditunjuk oleh negara
(hakim)
3. Para pihak tidak terlibat dalam pembuatan keputusan
4. Sifat keputusan memaksa dan mengikat (Coercive and binding)
5. Orientasi ke pada fakta hukum (mencari pihak yang bersalah)
6. Persidangan bersifat terbuka
2. Pengadilan Niaga
Pengadilan Niaga adalah pengadilan khusus yang berada di lingkungan
pengadilan umum yang mempunyai kompetensi untuk memeriksa dan
memutuskan Permohonan Pernyataan Pailit dan Penundaan Kewajiban
Pembayaran Utang (PKPU) dan sengketa HAKI. Pengadilan Niaga mempunyai
karakteristik sebagai berikut :
1. Prosesnya sangat formal
2. Keputusan dibuat oleh pihak ketiga yang ditunjuk oleh negara
(hakim)
3. Para pihak tidak terlibat dalam pembuatan keputusan
4. Sifat keputusan memaksa dan mengikat (coercive and binding
5. Orientasi pada fakta hukum (mencari pihak yang salah)
6. Proses persidangan bersifat terbuka
7. Waktu singkat.
NON-LITIGASI
Non litigasi merupakan mekanisme penyelesaian sengketa diluar
pengadilan. Pada masa sekarang ini masyarakat mulai beralih ke metode
alternative penyelesaian sengketa diluar pengadilan yang sering dikenal
dengan istilah ADR (Alternative Dispute Resolution).
Menurut Yahya Harahap dkk, ada faktor-faktor yang menjadi alasan perlunya
alternative penyelesaian sengketa (ADR) sebagai berikut :
a. Adanya tuntutan dunia bisnis.
b. Adanya berbagai kritik yang dilontarkan kepada lembaga peradilan.
c. Peradilan pada umumnya tidak responsif.
d. Keputusan pengadilan tidak menyelesaikan masalah.
e. Kemampuan para hakim bersifat generalis.
f. Adanya berbagai ungkapan yang mengurangi citra pengadilan.
g. Pencegahan terjadinya sengketa akan memperkecil sengketa.
Dasar hukum Alternativ Dispute Resolution/ADR sebagai berikut :
1. Dasar filosofi yaitu pancasila.
2. Reglement op de Burgerlijke Rechvordering (RV) atau pengaturan
Arbitrase.
3. Konvensi Washinton/dengan UU No 5/1968.
4. Konvensi New York dan Keppres No : 34/1981.
5. UU No : 14/1970 sekarang UU No : 4/2004.
6. Tahun 1977 didirikan BANI.
7. UU Nomor 30/1999 tentang Arbitrase.
Alternatif Penyelesaian Sengketa (termasuk arbitrase) dapat diberi
batasan sebagai sekumpulan prosedur atau mekanisme yang berfungsi memberi
alternatif atau pilihan suatu tata cara penyelesaian sengketa melalui
bentuk arbitrase agar memperoleh putusan akhir dan mengikat para pihak.
Secara umum, tidak selalu dengan melibatkan intervensi dan bantuan pihak
ketiga yang independent yang diminta membantu memudahkan penyelesaian
sengketa tersebut" (Abdulrasyid, 2002).
Dengan demikian, jelaslah yang dimaksud dengan ADR (Alternative Dispute
Resolution) atau Alternatif Penyelesaian Sengketa adalah suatu pranata
penyelesaian sengketa di luar pengadilan berdasarkan kesepakatan para pihak
dengan menyampingkan penyelesaian sengketa secara litigasi di pengadilan.
Dalam UU No. 30 Tahun 1999, dapat kita temui sekurangnya ada lima macam
cara penyelesaian sengketa di luar pengadilan yaitu
1. Konsultasi
2. Negosiasi.
3. Mediasi.
4. Konsiliasi.
5. Arbitrase.
a. KONSULTASI
Dalam Black's Law Dictionary yang dikutip oleh Gunawan Widjaja, pada
prinsipnya konsultasi merupakan suatu tindakan yang bersifat personal
antara suatu pihak tertentu, yang disebut dengan klien dengan pihak lain
yang merupakan pihak konsultan, yang memberikan pendapatnya kepada kliennya
untuk memenuhi keperluan dan kebutuhan kliennya tersebut (Widjaya, 2001).
Peran konsultan dalam menyelesaikan perselisihan atau sengketa yang ada
tidaklah dominan sama sekali. Konsultan hanyalah memberikan pendapat
(hukum), sebagaimana diminta oleh kliennya, yang untuk selanjutnya
keputusan mengenai penyelesaian sengketa tersebut akan diambil sendiri oleh
para pihak, meskipun adakalanya pihak konsultan juga diberikan kesempatan
untuk merumuskan bentuk-bentuk penyelesaian sengketa yang dikehendaki oleh
para pihak yang bersengketa tersebut.
b. NEGOSIASI
Istilah negosiasi berasal dari bahasa Inggris "Negotiation" yang
berarti perundingan, sedangkan orang yang mengadakan perundingan disebut
dengan "negosiator".
Pengertian negosiasia secara umum "adalah : suatu upaya penyelesaian
sengketa pihak tanpa melalui proses peradilan dengan tujuan untuk mencapai
kesepakatan bersama atas dasar kerja sama yang lebih harmonis dan kreatif".
Menurut Alan Fowler menjelaskan bahwa negosiasi terdiri dari beberapa
elemen yang merupakan prinsip-prinsip umum, yaitu :
1) Negosiasi melibatkan dua pihak atau lebih.
2) Pihak-pihak itu harus membutuhkan keterlibatan satu sama lain dalam
mencapai hasil yang diinginkan bersama.
3) Pihak-pihak yang bersangkutan setidak-tidaknya pada awalnya menganggap
negosiasi sebagai cara yang lebih memuaskan untuk menyelesaikan
perbedaan mereka dibandingkan dengan metode lain.
4) Masing-masing pihak harus beranggapan bahwa ada kemungkinan untuk
membujuk pihak lain untuk memodifikasi posisi awal mereka.
5) Setiap pihak harus mempunyai harapan akan sebuah hasil akhir yang
mereka terima dan suatu konsep tentang seperti apakah hasil akhir itu.
6) Masing-masing pihak harus mempunyai suatu tingkat kuasa atas kemampuan
pihak lain untuk bertindak.
7) Proses negosiasi itu sendiri pada dasarnya merupakan salah satu
interaksi diantara orang-orang, terutama antar komunikasi lisan yang
langsung, walaupun kadang dengan elemen tertulis yang penting.
Ada 2 Model Negosiasi yaitu :
1. Positional
Dalam model positional ada 2 hal yang penting yaitu :
a. Hard Negosiator (kompetetitif); Masing-masing pihak berusaha untuk
mendapatkan bagian yang terbesar dan memenangkan negosiasi tersebut.
b. Soft Negosiator; Selalu memberikan konsesi atau mengikuti kemauan yang
diminta pihak lain, karena ia lebih mementingkan hubungan baik dan
dinomorsatukan.
Model perundingan positional memiliki ciri-ciri berikut ini :
Dimulai dengan menawarkan sebuah solusi
Sikap dan perilaku negosiator seperti membagi kue
Tujuannya bagaimana memperoleh potongan kue yang terbesar
Mereka memposisikan pihak sebagai musuh yang harus dikalahkan bukan
sebagai teman untuk menyelesaikan masalah
Solusi hanya satu, yakni solusi saya
Memberikan konsesi adalah suatu kekalahan
2. Interest Based
Perundingan interest based ini didasarkan pada kepentingan bersama
(joint problem solving). Para pihak melihat permasalahan yang ada
tidak hanya milik satu orang, tetapi permasalahan bersama, sehingga
dicari bagaimana cara menyelesaikan persoalan yang ada.
Perundingan berdasar kepentingan dimulai dengan:
1. Mengembangkan dan menjaga hubungan
2. Para pihak berusaha mendidik satu dengan yang lain akan kebutuhan
mereka
3. Mereka akan selalu mencoba menyelesaikan masalah berdasarkan pada
kepentingan atau kebutuhan belah pihak
Ciri-Ciri Perundingan Berdasarkan Kepentingan
Tujuannya adalah win-win
Kebutuhan para pihak harus dibahas dalam rangka mencapai tujuan
Para negosiator adalah adalah individu yang menyelesaikan masalah
secara kooperatif
Menjaga pola hubungan positif selama perundingan
Mencoba mencari solusi, sehingga didapat penyelesaian yang memuaskan
Bagaimana mereka saling menjaga kepercayaan diri dan kepercayaan pihak
lain. Kunci negosiasi adalah trust.
Tahap-tahap dalam bernegosiasi, ada 3 tahapan antara lain :
1) Tahapan sebelum negosiasi dimulai
Dalam tahap sebelum negosiasi dimulai maka berlaku prinsip-prinsip
dasar tahap pra negosiasi, prinsip dasar tersebut sebagai berikut :
a. Pokok persoalan apa yang cenderung timbul dalam konteks kerja yang
umum yang memerlukan negosiasi.
b. Siapa yang terlibat dalam negosiasi ?
c. Apakah negosiasi itu perlu ?
d. Bagaimana kualitas hubungan diantara pihak-pihak itu?
2) Tahap berlangsungnya negosiasi
Pada tahap ini, beberapa hal yang perlu diperhatikan oleh negosiasi,
yaitu :
a. Menetapkan persoalan.
b. Menetapkan posisi awal.
c. Argumentasi.
d. Menyelidiki kemungkinan.
e. Menetapkan proposal.
f. Menetapkan dann menanda tangani persetujuan.
3) Tahap setelah negosiasi disimpulkan
Pada tahap negosiasi disimpulkan ini, hasil persetujuan tersebut harus
ditindak lanjuti, maka para pihak perlu melakukan beberapa langkah
sebagai berikut :
a. Memasukkan program pelaksanaan kedalam persetujuan itu.
b. Adakan tim bersama untuk meninjau pelaksanaan.
c. Pastikan informasi dan penjelasan yang memadai.
Faktor-Faktor Negosiasi, menurut garry Goodp aster terdapat beberapa hal
yang sangat mempengaruhi jalannya negosiasi, antara lain :
1. Kekuatan tawar menawar.
2. Pola tawar menawar.
3. Strategi dalam tawar menawar.
Dalam negosiasi akan selalu terdapat tawar menawar diantara para pihak,
tawar menawar tersebut bersifat relatif yang tergantung pada beberapa hal,
yaitu :
1) Bagaimana kebutuhan anda terhadap pihak lain.
2) Bagaimana kebutuhan pihak lain terhadap anda.
3) Bagaimana alternatif kedua belah pihak.
4) Apa persepsi para pihak mengenai kebutuhann serta pilihan-pilihannya.
Strategi dan Taktik Bernegosiasi
a. Menurut Garry Goodparter. Agar suatu negosiasi dapat berhasil dengan
baik setiap negosiator harus menggunakan strategi atau taktik
bernegosiasi, antara lain :
1) Bersaing (competing).
2) Berkompromi (compromising).
3) Pemecahan masalah (problem solving).
b. Menurut James G. Patterson, strategi bernegosiasi ada lima cara antara
lain:
1) Withdrawal/Avoidance
Yaitu : strategi menghindar atau melarikan diri, strategi ini
sangat baik dipergunakan bila :
a) Permasalahan tersebut sederhana atau sepele.
b) Bila pihak-pihak dalam suatu konflik kurang mampu menawarkan
solution.
c) Bila potensi kekalahan dalam konflik lebih berat berdasarkan
analisis Cost Benefit.
d) Bila tidak cukup waktu untuk menyelesaikan konflik.
2) Smoothing/Accommodation
Pengikut strategi ini merasa peduli terhadap orang dan mereka
mencoba menyelesaikan konflik dengan menjaga agar setiap orang
senang. Strategi ini baik digunakan bila :
a. Permasalahannya kecil.
b. Kerugian yang berhubungan akan diderita oleh semua pihak yang
terlibat dalam konflik.
c. Ada pengurangan tingkat konflik agar mendapatkan informasi yang
lebih banyak.
d. Sifat melembut juga berkembang.
3) Compromise, yaakni dimana para pihak mendapatkan hak yang sama
untuk mengekspresikan pendapat. Strategi ini sering digunakan untuk
mendapatkan solusi. Kompromi ini dapat dilakukan bila
a) Kedua belah pihak berkemungkinan mendapatkan keuntungan dalam
kompromi tersebut.
b) Bila solusi idela tidak diperlukan.
c) Bila anda perlu solusi sementara untuk masalah yang komplek.
d) Bila kedua belah pihak memiliki kekuatan yang sama.
4) Force/Competition. Para pihak hanya melihat konflik sebagai suatu
keadaan menang-kalah (win-lose), dimana pihak lawan mereka harus
kalah.
Strategi ini dapat digunakan bila :
a) Anda atau group perlu tindakan atau keputusan segera.
b) Semua pihak dalam konflik mengharapkan dan senang dengan
penggunaan kekuasaan/kekuatan.
c) Semua pihak dalam konflik mengerti dan menerima hubungan
kekuasaan diantara mereka.
5) Problem Solving. Strategi ini memberikan dasar pertimbangan bahwa
dengan strategi akan dapat dihasilkan keuntungan jika diselesaikan
dengan cara terbuka.
Strategi ini dapat efektif digunakan oleh para pihak yang tengah
menyelesaikan konflik bila :
a. Setiap orang dalam konflik terlatih menggunakan metode pemecahan
masalah.
b. Para pihak memiliki tujuan yang sama.
c. Konflik menghasilkan masalah pahaman.
c. MEDIASI
Istilah mediasi berasal dari bahasa Inggris "mediation" artinya adalah
penyelesaian sengketa dengan menengahi. Mediator adalah orang yang menjadi
penengah.
Pengertian Mediasi Adalah upaya penyelesaian sengketa para pihak dengan
kesepakatan bersama melalui mediator yang bersikap netral, dan tidak
membuat keputusan atau kesimpulan bagi para pihak tetapi menunjang
fasilitator untuk terlaksananya dialog antar pihak dengan suasana
keterbukaan, kejujuran, dann tukar pendapat untuk tercapainya mufakat.
Dengan kata lain proses negosiasi pemecahan masalah adalah : proses
dimana pihak luar yang tidak memihak (impartial) dan netral bekerja dengan
pihak yang bersengketa untuk membantu mereka memperoleh kesepakatan
perjanjian secara memuaskan.
Beberapa elemen mediasi antara lain :
1. Penyelesaian sengketa sukarela.
2. Intervensi/bantuan.
3. Pihak ketiga yang tidak berpihak.
4. Pengambilan keputusan oleh para pihak secara konsesus.
5. Partisipasi aktif.
Keuntungan-keuntungan dari metode penyelesaian melalui mediasi sebagai
berikut :
1. Keputusan yang hemat.
2. Penyelesaian secara cepat.
3. Hasil yang memuaskan bagi seluruh pihak.
4. Kesepakatan komprehensif dan customizea.
5. Praktek dan belajar prosedur penyelesaian masalah secara kreatif.
6. Tingkat pengendalian lebih besar dan hasil yang bisa didengar.
7. Pemberdayaan individu.
8. Keputusan-keputusan yang bisa dilaksanakan.
9. Melestarikan hubungan yang sudah berjalan.
10. Keputusan yang berlaku tanpa mengenal waktu.
Tujuan penyelesaian konflik melalui mediasi adalah sebagai berikut :
1. Untuk menghasilkan suatu rencana/kesepakatan kedepan yang dapat
diterima dan dijalankan oleh para pihak yang bersengketa.
2. Untuk mempersiapkan para pihak yang bersengketa untuk menerima
konsekuensi dari keputusan yang mereka buat.
3. Mengurangi kekhawatiran dan dampak negatif lainnya dari suatu konflik.
Mediator yang dipilih atau yang ditunjuk akan membantu penyelesaian
konflik, seperti :
a. Sebagai katalisator (mendorong suasana yang kondusif).
b. Sebagai pendidik (memahami kehendak, aspirasi, prosedur kerja, dan
kendala usaha para pihak).
c. Sebagai penerjemah (harus berusaha menyampaikan dan merumuskan usulan
pihak yang satu kepada pihak yang lain).
d. Sebagai nara sumber (mendaya gunakan informasi).
e. Sebagai penyandang berita jelek (para pihak dapat emosional).
f. Sebagai agen realitas (terus terang dijelaskan bahwa sasarannya tidak
mungkin dicapai melalui suatu proses perundingan).
g. Sebagai kambing hitam (pihak yang dipersalahkan)
Selain hal diatas seorang mediator juga berperan sebagai :
1. Pembuka jalur komunikasi.
2. Legitimizer/orang yang berwenang untuk mengesahkan.
3. Fasilitator proses.
4. Nara sumber.
5. Pelatih.
6. Pembahas masalah.
7. Perantara untuk melihat kenyataan.
8. Pemimpin.
Dalam menjalankan tugasnya seorang mediator dapat melakukan 2 macam peran,
yaitu :
1. Peran lemah/pasif.
2. Peran kuat/aktif.
Tipe-Tipe Mediator
1. Mediator hubungan sosial.
2. Mediator autoritatif.
3. Mediator mandiri.
Tahap-tahap mediasi, Garis besar pentahapan proses mediasi adalah sebagai
berikut :
1. Tahap pertama, pembentukan forum.
Dalam tahap ini kegiatan-kegiatan yang dilakukan adalah sebagai
berikut:
Rapat gabungan.
Pernyataan pembukaan oleh mediator, dalam hal ini yang dilakukan
adalah:
mendidik para pihak;
menentukan pokok-pokok aturan main;
membina hubungan dan kepercayaan.
Pernyataan para pihak, dalam hal ini yang dilakukan adalah:
dengar pendapat (hearing);
menyampaikan dan klarifikasi informasi;
cara-cara interaksi.
2. Tahap kedua, saling mengumpulkan dan membagi informasi.
Dalam tahap ini kegiatan-kegiatan yang dilakukan dengan mengadakan
rapat-rapat terpisah yang bertujuan untuk:
a. Mengembangkan informasi selanjutnya;
b. Mengetahui lebih dalam keinginan para pihak ;
c. Membantu para pihak untuk dapat mengetahui kepentingannya ;
d. Mendidik para pihak tentang cara tawar menawar penyelesaian
masalah.
3. Tahap ketiga, tawar menawar penyelesaian masalah.
Dalam tahap ketiga yang dilakukan mediator mengadakan rapat bersama
atau lanjutan rapat terpisah, dengan tujuan untuk:
a. Menetapkan agenda.
b. Kegiatan pemecahan masalah.
c. Menfasilitasi kerja sama.
d. Identifikasi dan klarifikasi isu dan masalah.
e. Mengembangkan alternatif dan pilihan-pilihan.
f. Memperkenalkan pilihan-pilihan tersebut.
g. Membantu para pihak untuk mengajukan, menilai dan
memprioritaskan kepentingan-kepentingannya.
4. Tahap keempat pengambilan keputusan.
Dalam tahap ini, kegiatan-kegiatan yang dilakukan sebagai berikut:
a. Rapat-rapat bersama.
b. Melokalisasikan pemecahan masalah dan mengevaluasi pemecahan
masalah.
c. Membantu para pihak untuk memperkecil perbedaan-perbedaan.
d. Mengkonfirmasi dan klarifikasi kontrak.
e. Membantu para pihak untuk memperbandingkan proposal penyelesaian
masalah dengan alternatif di luar kontrak.
f. Mendorong para pihak untuk menghasilkan dan menerima pemecahan
masalah.
g. Mengusahakan formula pemecahan masalah berdasarkan "win-win
solution" dan tidak ada satu pihakpun yang merasa kehilangan
muka.
h. Membantu para pihak untuk mendapatkan pilihannya.
i. Membantu para pihak untuk mengingat kembali kontraknya.
Taktik Mediator, Dalam memimpin penyelesaian sengketa, seorang mediator
harus memiliki taktik yang dapat membantu penyelesaian konflik, yaitu :
a. Taktik menyusun rangka/keputusan.
b. Taktik untuk mendapatkan wewenang dan kerja sama.
c. Taktik mengendalikan emosi dan menciptakan suasana yang tepat.
d. Taktik yang bersifat informatif.
e. Taktik pemecahan masalah.
f. Taktik menghindarkan rasa malu.
g. Taktik pemaksaan.
Teknik-Teknik Mediator, Untuk membantu proses penyelesaian sengketa,
seorang mediator dapat menggunakan beberapa teknik, yaitu :
1. Membangun kepercayaan.
2. Menganalisis konflik.
3. Mengumpulkan informasi.
4. Berbicara secara jelas.
5. Mendengarkan dengan penuh perhatian.
6. Meringkas/merumuskan ulang pembicaraan para pihak.
7. Menyusun aturan perundingan.
8. Mengorganisir pertemuan perundingan.
9. Mengatasi emosi para pihak.
10. Memanfaatkan "Causus/bilik kecil.
11. Mengungkapkan kepentingan yang masih tersembunyi.
12. Membujuk salah satu pihak/para pihak "BATNA".
13. Menyusun kesepakatan.
d. KONSILIASI
Jika mengacu kepada asal kata konsiliasi yaitu "conciliation" dalam
bahasa Inggris yang berarti perdamaian dalam bahasa Indonesia, maka dapat
dikatakan bahwa pada prinsipnya konsiliasi merupakan perdamaian. Konsiliasi
sebagai proses penyelesaian sengketa yang melibatkan pihak ketiga yang
netral dan tidak memihak dengan tugas sebagai fasilitator untuk menemukan
para pihak agar dapat dilakukan penyelesaian sengketa. Konsiliator dalam
menjalankan tugasnya harus mengetahui hak dan kewajiban para pihak,
kebiasaan bisnis, sehingga dapat mengarahkan penyelesaian sengeta dengan
berpegang kepada prinsip keadilan, kepastian dan objektivitas dari setiap
kasus tertentu.
Tugas dari konsiliator seperti juga mediator hanyalah sebagai pihak
fasilitator untuk melakukan komunikasi diantara pihak sehingga dapat
ditemukan solusi oleh para pihak. Pihak konsiliator hanya melakukan
tindakan- tindakan seperti mengatur waktu dan tempat pertemuan para pihak,
mengarahkan subjek pembicaraan, membawa pesan dari satu pihak kepada pihak
lain jika pesan tersbut tidak mungkin disampaikan langsung, dan lain-lain.
Sementara pihak mediator melakukan lebih jauh dari itu. Namun, keputusan
dan persetujuan terhadap keputusan perkara tetap terletak penuh di tangan
para pihak yang bersengketa.
e. ARBITRASE
Kata arbitrase berasal dari bahasa Latin arbitrare yang artinya
kekuasaan untuk menyelesaikan sesuatu menurut "kebijaksanaan". Dikaitkannya
istilah arbitrase dengan kebijaksanaan seolah – olah memberi petunjuk bahwa
majelis arbitrase tidak perlu memerhatikan hukum dalam menyelesaikan
sengketa para pihak, tetapi cukup mendasarkan pada kebijaksanaan. Pandangan
tersebut keliru karena arbiter juga menerapkan hukum seperti apa yang
dilakukan oleh hakim di pengadilan.
Secara umum arbitrase adalah suatu proses di mana dua pihak atau lebih
menyerahkan sengketa mereka kepada satu orang atau lebih yang imparsial
(disebut arbiter) untuk memperoleh suatu putusan yang final dan mengikat.
Dari pengertian itu terdapat tiga hal yang harus dipenuhi, yaitu : adanya
suatu sengketa; kesepakatan untuk menyerahkan ke pihak ketiga; dan putusan
final dan mengikat akan dijatuhkan.
Menurut Mertokusumo, arbitrase adalah suatu prosedur penyelesaian
sengketa di luar pengadilan berdasarkan persetujuan para pihak yang
berkepentingan untuk menyerahkan sengketa mereka kepada seorang wasit atau
arbiter.
Dalam Pasal 1 butir 1 Undang – Undang Nomor 30 Tahun 1999 disebutkan :
"Arbitrase adalah cara penyelesaian suatu sengketa perdata di luar
peradilan umum yang didasarkan pada perjanjian arbitrase yang dibuat secara
tertulis oleh para pihak yang bersengketa". Dari pengertian Pasal 1 butir 1
tersebut diketahui pula bahwa dasar dari arbitrase adalah perjanjian di
antara para pihak sendiri, yang didasarkan pada asas kebebasan berkontrak.
Hal ini sesuai dengan ketentuan dalam Pasal 1338 KUHPerdata, yang
menyatakan bahwa apa yang telah diperjanjikan oleh para pihak mengikat
mereka sebagai undang – undang.
Pada tanggal 12 Agustus 1999, telah disahkan Undang – Undang Nomor 30
Tahun 1999. Undang – Undang ini merupakan perubahan atas pengaturan
mengenai arbitrase yang sudah tidak memadai lagi
dengan tuntutan perdagangan Internasional.
JENIS ARBITRASE, Jenis – jenis arbitrase menurut Rv yaitu :
Arbitrase Ad Hoc (Volunter Arbitrase)
Arbitrase Ad Hoc (Volunter Arbitrase); Disebut dengan arbitrase ad hoc
atau volunteer arbitrase karena sifat dari arbitrase ini yang tidak
permanan atau insidentil. Arbitrase ini keberadaannya hanya untuk
memutuskan dan menyelesaikan suatu kasus sengketa tertentu saja.
Setelah sengketa selesai diputus, maka keberadaan arbitrase ad hoc
inipun lenyap dan berakhir dengan sendirinya. (para) arbiter yang
menangani penyelesaian sengketa ini ditentukan dan dipilih sendiri
oleh para pihak yang bersengketa; demikian pula tata cara pengangkatan
(para) arbiter, pemeriksaan dan penyelesaian sengketa, tenggang waktu
penyelesaian sengketa tidak memiliki bentuk yang baku. Hanya saja
dapat dijadikan patokan bahwa pemilihan-pemilihan dan penentuan
hal–hal tersebut terdahulu tidak boleh menyimpang dari apa yang telah
ditentukan oleh undang – undang.
Arbitrase Institusional (Lembaga Arbitrase)
Arbitrase Institusional (Lembaga Arbitrase); Arbitrase Institusional
ini merupakan suatu lembaga arbitrase yang khusus didirikan untuk
menyelesaikan sengketa yang terbit dari kalangan dunia usaha. Hampir
pada semua negara – negara maju terdapat lembaga arbitrase ini, yang
pada umumnya pendiriannya diprakarsai oleh Kamar Dagang dan Industri
Negara tersebut. Lembaga arbitrase ini mempunyai aturan main sendiri
– sendiri yang telah dibakukan. Secara umum dapat dikatakan bahwa
penunjukan lembaga ini berarti menundukkan diri pada aturan –aturan
main dari dan dalam lembaga ini. Untuk jelasnya, hal ini dapat dilihat
dari peraturan – peraturan yang berlaku untuk masing–masing lembaga
tersebut.
Arbitrase Institusional adalah arbitrase yang melembaga yang didirikan
dan melekat pada suatu badan (body) atau lembaga (Institution)
tertentu. Sifatnya permanen dan sengaja dibentuk guna menyelesaikan
sengketa yang terjadi sebagai akibat pelaksanaan perjanjian. Setelah
selesai memutus sengketa, arbitrase institusional tidak berakhir. Pada
umumnya, arbitrase institusional memiliki prosedur dan tata cara
pemeriksaan sengketa tersendiri. Arbiternya ditentukan dan diangkat
oleh lembaga arbitrase institusional sendiri.
SYARAT – SYARAT ARBITRASE
Berdasarkan ketentuan Pasal 2 Undang–Undang Nomor 30 Tahun 1999 yang
dapat diselesaikan melalui Arbitrase atau Alternatif penyelesaian Sengketa
adalah sengketa atau perbedaan pendapat yang timbul atau mungkin timbul
antar para pihak dalam suatu hubungan hukum tertentu yang telah
diperjanjikan sebelumnya bahwa penyelesaiannya akan ditentukan dengan cara
arbitrase atau Alternatif Penyelesaian Sengketa. Selanjutnya dalam Pasal 9
ayat (3) Undang – Undang Nomor 30 Tahun 1999 dinyatakan perjanjian tertulis
arbitrase harus memuat :
a. Masalah yang dipersengketakan
b. Nama lengkap dan tempat tinggal para pihak;
c. Nama lengkap dan tempat tinggal arbiter atau majelis arbiter;
d. Tempat arbiter atau majelis arbiter akan mengambil keputusan;
e. Nama lengkap Sekretaris;
f. Jangka waktu penyelesaian sengketa;
g. Pernyataan kesediaan dari arbiter, dan
h. Pernyataan kesediaan dari para pihak yang bersengketa untuk menanggung
segala biaya yang diperlukan untuk penyelesaian sengketa melalui
arbitrase.
Apabila perjanjian yang dibuat tidak memuat syarat– syarat seperti yang
disebutkan di atas, maka perjanjian tersebut batal demi hukum, akan tetapi
dalam Pasal 10 Undang – Undang Nomor 30 Tahun 1999 suatu perjanjian
arbitrase tidak menjadi batal dengan alasan – alasan sebagai berikut :
a. Meninggalkan salah satu pihak;
b. Bangkrutnya salah satu pihak;
c. Novasi;
d. Insolvensi salah satu pihak;
e. Pewarisan;
f. Berlakunya syarat – syarat hapusnya perikatan pokok
g. Bilamana pelaksanaan perjanjian tersebut dialih tugaskan pada pihak
ketiga dengan persetujuan pihak yang melakukan perjanjian arbitrase
tersebut; atau
h. Berakhirnya atau batalnya perjanjian pokok.
Dalam hal para pihak sudah memperjanjikan bahwa sengketa yang terjadi
atau yang akan terjadi antara mereka akan diselesaikan melalui arbitrase,
maka apabila timbul sengketa, pemohon harus memberitahukan dengan surat
tercatat, telegram, teleks, faksimili, email atau dengan buku ekspedisi
kepada termohon bahwa syarat arbitrase yang diadakan oleh pemohon atau
termohon berlaku. Surat pemberitahuan untuk mengadakan arbitrase tersebut
harus memuat dengan jelas;
1. Nama dan alamat
2. Penunjukan kepada klausula atau perjanjian arbitrase yang berlaku
3. Perjanjian atau masalah yang terjadi sengketa;
4. Dasar gugatan dan jumlah yang digugat, apabila ada;
5. cara penyelesaian yang dikehendaki; dan
6. Perjanjian yang diadakan oleh para pihak tentang jumlah arbitrase atau
apabila tidak pernah diadakan perjanjian semacam itu, pemohon dapat
mengajukan usul tentang jumlah arbiter yang dikehendaki dalam jumlah
ganjil.
MEKANISME ARBITRASE
Pada prinsipnya para pihak yang bersengketa bebas untuk menentukan
acara arbitrase yang digunakan dalam pemeriksaan sengketa sepanjang tidak
bertentangan dengan ketentuan Undang- Undang Nomor 30 Tahun 1999, penentuan
acara arbitrase ini harus diperjanjikan secara tegas dan tertulis.
Penyelesaian sengketa melalui arbitrase dapat dilakukan dengan menggunakan
lembaga arbitrase nasional atau internasional berdasarkan kesepakatan para
pihak.
Apabila sudah ditentukan lembaga yang dipilih, maka penyelesaian
sengketa dilakukan menurut peraturan dan acara dari lembaga yang dipilih
kecuali ditetapkan lain oleh para pihak. Dalam perjanjian tersebut harus
ada kesepakatan mengebnai ketentuan jangka waktu dan tempat diselenggarakan
arbitrase. Apabila jangka waktu dan tempat arbitrase tidak ditentukan, maka
arbiter atau majelis arbitrase berwenang untuk memperpanjang jangka waktu
tugasnya apabila.
1) Diajukan permohonan oleh salah satu pihak mengenai hal khusus
tertentu, misalnya karena adanya gugatan antara atau gugatan
insidentil di luar pokok sengketa, seperti permohonan jaminan;
2) Sebagai akibat ditetapkan putusan provisional atau putusan sela
lainnya, atau
3) Dianggap perlu oleh arbiter atau majelis arbitrase untuk kepentingan
pemeriksaan.
Sebaliknya apabila para pihak tidak menentukan sendiri ketentuan
mengenai acara arbitrase yang akan digunakan dalam pemeriksaan dan arbiter
atau majelis arbitrase telah terbentuk baik yang ditunjuk oleh para pihak,
atau diperiksa dan diputus menurut ketentuan Undang – Undang Nomor 30 Tahun
1999. Pemeriksaan sengketa dalam arbitrase harus dilakukan secara tertulis
tetapi tidak menutup kemungkinan pemeriksaan sengketa dilakukan secara
lisan apabila hal ini disetujui oleh para pihak atau dianggap perlu oleh
arbiter atau majelis arbitrase.
Arbiter atau majelis arbitrase dapat memerintahkan agar setiap dokumen
atau bukti disertai dengan terjemahan dalam bahasa yang ditetapkan oleh
arbiter atau majelis arbitrase . dalam pemeriksaan sengketa, para pihak
yang bersengketa diberi kesempatan yang sama dalam mengemukakan pendapat
masing – masing dan para pihak dapat diwakili oleh kuasanya yang dikuasakan
dengan kuasa khusus.
Dalam jangka waktu yang ditentukan oleh arbiter atau majelis arbitrase,
pemohon harus menyampaikan surat gugatannya kepada arbiter atau majelis
arbitrase. Surat gugatan tersebut harus memuat sekurang–kurangnya :
Nama lengkap dan tempat tinggal atau tempat kedudukan para pihak ;
Uraian singkat tentang sengketa disertai dengan lampiran bukti –
bukti ; dalam hal ini salinan perjanjian arbitrase harus juga diajukan
sebagai lampiran ;
Isi gugatan yang jelas. Apabila isi gugatan berupa uang, harus
disebutkan jumlahnya yang pasti.
Setelah menerima surat gugatan dari pemohon, arbiter atau majelis
arbitrase menyampaikan satu salinan gugatan tersebut kepada termohon dengan
disertai perintah bahwa termohon harus menanggapi dan memberikan jawabannya
secara tertulis dalam waktu paling lama 14 (empat belas) hari sejak
diterimanya salinan gugatan tersebut oleh termohon.
Apabila setelah 14 (empat belas) hari, termohon tidak menyampaikan
jawabannya, maka termohon akan dipanggil untuk menghadap dimuka sidang
arbitrase selambat–lambatnya 14 (empat belas) hari sejak dikeluarkannya
perintah itu. Kepada termohon akan diperintahkan untuk menyerahkan salinan
jawaban kepada pemohon, arbiter atau majelis arbitrase memerintahkan agar
para pihak atau kuasa mereka menghadap dimuka sidang arbitrase selambat –
lambatnya 14 (empat belas) hari terhitung sejak dikeluarkannya perintah
itu.
Apabila selambat – lambatnya 10 (sepuluh) hari setelah pemanggilan
dilakukan, termohon masih juga tidak datang kemuka persidangan tanpa alasan
yang sah, maka pemeriksaan akan diteruskan tanpa kehadiran termohon dan
gugatan pemohon dikabulkan seluruhnya kecuali apabila gugatan tidak
beralasan atau tidak berdasarkan hukum.
Apabila para pihak datang menghadap pada hari sidang yang telah
ditetapkan, arbiter atau majelis arbitrase akan mengusahakan perdamaian dan
apabila usaha perdamaian tercapai, maka arbiter atau majelis arbitrase akan
membuat akta perdamaian. akta perdamaian yang dikeluarkan oleh arbiter atau
majelis arbitrase, bersifat final dan mengikat para pihak. Sebaliknya
apabilla usaha perdamaian yang dilakukan arbiter atau majelis arbitrase
tidak berhasil, maka pemeriksaan terhadap pokok sengketa akan dilanjutkan.
Kepada para pihak akan diberi kesempatan terakhir untuk menjelaskan
secara tertulis pendirian masing–masing serta mengajukan bukti yang
dianggap perlu untuk menguatkan pendiriannya dalam jangka wakyu yang
ditetapkan oleh arbiter atau majelis arbitrase. Arbiter atau arbitrase juga
berhak untuk meminta kepada para pihak guna mengajukan penjelasan tambahan
secara tertulis, dokumen atau bukti lainnya yang dianggap perlu dalam
jangka waktu yang ditentukan oleh arbiter atau majelis arbitrase.
Selama pemeriksaan sengketa, pihak ketiga di luar perjanjian arbitrase
dapat turut serta dan menggabungkan diri dalam proses penyelesaian sengketa
melalui arbitrase, apabila terdapat unsure kepentingan yang terkait dan
keturutsertaanya disepakati oleh para pihak yang bersengketa serta
disetujui oleh arbiter atau majelis arbitrase yang memeriksa sengketa yang
bersangkutan. Selama pemeriksaan sengketa atas permohonan satu pihak,
arbiter atau majelis arbitrase dapat mengambil putusan provisional atau
putusan sela lainnya untuk mengatur ketertiban jalannya pemeriksaan
sengketa tersebut :
Penetapan sita jaminan;
Memerintahkan penitipan barang kepada pihak ketiga;
Menjual barang yang mudah rusak.
Pemeriksaan atau sengketa harus diselesaikan dalam waktu paling lama
180 ( seratus delapan puluh ) hari sejak arbiter atau majelis arbitrase
terbentuk, namun dengan persetujuan para pihak dan apabila diperlukan,
jangka waktu tersebut dapat diperpanjang,
BIAYA ARBITRASE
Pasal 76 dan Pasal 77 Undang – Undang Nomor 30 Tahun 1999 telah
mengatur ketentuan biaya arbitrase yang ditentukan oleh arbiter dan pihak
yang membayar biaya arbitrase tersebut. Dikatakan bahwa arbiter bertugas
menentukan biaya arbitrase yang meliputi biaya–biaya sebagai berikut :
honorarium arbiter;
biaya perjalanan dan biaya lainnya yang dikeluarkan oleh arbiter ;
biaya saksi dan / atau saksi ahli yang diperlukan dalam pemeriksaan
sengketa;
biaya administrasi.
Beban biaya arbitrase dipikul pihak yang kalah, kecuali dalam hal
tuntutan hanya dikabulkan sebagian, maka beban biaya arbitrase dipikul
kepada para pihak secara berimbang.
KELEBIHAN DAN KEKURANGAN ARBITRASE
KELEBIHAN ARBITRASE
Badan arbitrase komersial Internasional ini sekarang menjadi cara
penyelesaian sengketa bisnis yang paling disukai. Alasan–alasan para
pengusaha menyukai badan ini daripada pengadilan nasional bermacam – macam.
Yakni :
umumnya pengadilan nasional kurang mendapat kepercayaan dari
masyarakat penguasa (bisnis), sedangkan arbitrase komersial
internasional merupakan pengadilan pengusaha yang eksis untuk
menyelesaikan sengketa–sengketa di antara mereka (kalangan bisnis) dan
sesuai kebutuhan mereka.
Banyak pengadilan negara tidak mempunyai hakim–hakim yang
berkompeten atau yang berspesialisasi hukum komersial internasional,
sehingga karena keadaan ini pula mengapa para pihak lebih suka cara
arbitrase.
Berperkara melalui arbitrase lebih murah. Sebagai contoh, biaya
administratif (untuk pendaftaran) yang di dalam kerangka arbitrase
ICSID adalah US$ 100. Biaya untuk arbitrator adalah US$ 650 per hari
plus biaya – biaya perjalanan dan biaya hidup lainnya.
Berperkara melalui badan arbitrase tidak begitu formal dan lebih
fleksibel. Hakim, dalam hal ini arbitratornya, tidak perlu terikat
dengan aturan – aturan proses berperkara seperti halnya yang terjadi
pada pengadilan nasional.
Karena sifat fleksibilitas dan tidak adanya acara formil–formilan
ini nantinya berpengaruh pula pada para pihak yang bersengketa. Yakni,
mereka menjadi tidak terlalu bersitegang di dalam proses penyelesaian
perkara.
Melalui badan arbitrase, para pihak yang bersengketa diberi
kesempatan untuk memilih hakim (arbitrator) yang mereka anggap dapat
memenuhi harapan mereka baik dari segi keahlian atau pengetahuannya
pada sesuatu bidang tertentu.
Faktor kerahasiaan proses berperkara dan keputusan yang dikeluarkan
merupakan alasan utama mengapa badan arbitrase ini menjadi primadona
para pengusaha.
Tidak adanya pilihan hukum yang kaku dan tidak ditentukan
sebelumnya.
Penyelesaian sengketa melalui arbitrase ini tidak harus melulu
diselesaikan menurut proses hukum (tertentu saja), tetapi juga
dimungkinkan suatu penyelesaian secara kompromi di antara para pihak.
KEKURANGAN ARBITRASE
Meskipun arbitrase menyandang berbagai keuntungan seperti telah
dikemukakan di atas, namun di dalam prakteknya pun ternyata arbitrase
memiliki kelemahan–kelemahan yakni :
Untuk mempertemukan kehendak para pihak yang bersengketa dan
untuk membawanya ke badan arbitrase tidaklah mudah. Kedua pihak
harus sepakat. Padahal untuk dapat mencapai kesepakatan atau
persetujuan itu kadang-kadang memang sulit.
Pengakuan dan pelaksanaan keputusan arbitrase asing. Dewasa ini,
di banyak negara masalah tentang pengakuan dan pelaksanaan
keputusan arbitrase asing ini masih menjadi soal yang sulit.
Dalam arbitrase tidak dikenal adanya preseden hukum atau
keterikatan kepada putusan – putusan arbitrase sebelumnya. Jadi,
setiap sengketa yang telah diputus dibuang begitu saja, meski di
dalam putusan tersebut mengandung argumentasi-argumentasi hukum
para ahli – ahli hukum kenamaaan.
Arbitrase ternyata tidak mampu memberikan jawaban yang definitif
terhadap semua sengketa hukum. Hal ini berkaitan erat dengan
adanya konsep yang berbeda dengan yang ada di setiap negara.
Bagaimanapun juga keputusan arbitrase selalu bergantung kepada
bagaimana arbitrator mengeluarkan keputusan yang memuaskan
keinginan para pihak.
Menurut Prof. Dr. Komar Kantaatmadja, SH.,LLM ternyata arbitrase
pun dapat berlangsung lama dan karenanya membawa akibat biaya yang
tinggi, terutama dalam hal arbitrase luar negeri.
D. PEMBUKTIAN SECARA PERDATA
1. Pembuktian
Masuk kedalam pembahasan pembuktian, sebelumnya harus diketahui
bagaimana dan apa yang perlu dibuktikan atau objek dari pembuktian
tersebut, didalam pembahasan kali ini, pembuktian dikhususkan pada ranah
Hukum Acara Perdata yang dimana ada kaitannya dengan tugas hakim dalam
mengkonstatirkan peristiwa atau fakta yang diajukan para pihak. Kebenaran
yang diperoleh dari pembuktian berhubungan langsung dengan keputusan yang
adil oleh hakim. Ada hal atau peristiwa yang dikecualikan atau tidak perlu
diketahui oleh hakim, diantaranya :
Peristiwanya memang dianggap tidak perlu diketahui oleh atau tidak
mungkin diketahui oleh hakim.
Hakim secara ex officio dianggap mengenall peristiwanya, sehingga
tidak perlu dibuktikan lebih lanjut.
Pengetahuan tentang pengalaman.
Seperti yang dijelaskan dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata bahwa
pembuktian pada umumnya diatur dalam Buku Empat tentang Pembuktian dan
Daluarsa pasal 1865 "Setiap orang yang mengaku mempunyai suatu hak, atau
menunjuk suatu peristiwa untuk meneguhkan haknya itu atau untuk membantah
suatu hak orang lain, wajib membuktikan adanya hak itu atau kejadian yang
dikemukakan itu.
Terdapat juga hal yang perlu dibuktikan diluar yang telah dikecualikan
diatas, Membuktikan dalam pembahasan hukum acara dikenal mempunyai arti
yuridis. Seperti yang diuraikan Sudikno Mertokusumo dalam bukunya Hukum
Acara Perdata Indonesia, membuktikan berarti memberi dasar yang cukup
kepada hakim yang memeriksa perkara yang bersangkutan guna memberi
kepastian tentang kebenaran peristiwa yang diajukan.
Lebih lanjut Sudikno menjelaskan tujuan pembuktian. Bila dalam tujuan
pembuktian ilmiah adalah semata-mata untuk mengambil kesimpulan, tujuan
pembuktian yuridis adalah untuk mengambil keputusan yang bersifat
definitive, yakni keputusan yang pasti, dan tidak meragukan serta mempunyai
keputusan hukum. Putusan pengadilan harus objektif sehingga tidak ada pihak
yang merasakan terlalu rendah kadar keadilannya dari pihak lainnya.
Lebih dalam mengenai Hukum Pembuktian Positif, dalam acara perdata
diatur dalam HIR dan Rbg, serta dalam BW buku IV. Yang terantum dalam HIR
dan Rbg adalah hokum pembuktian yang materiil maupun formil.
Mengenai apa dan siapa yang dibuktikan dan membuktikan maka yang harus
dibuktikan adalah peristiwanya, hakim dalam proses perdata haruslah
menemukan peristiwanya atau hubungan hukumnya kemudian menerapkan hokum
terhadap peristiwa yang tersebut, kaitan antara peristiwa dan hukum yang
ada tersebut.
Dari peristiwa tersebut yang harus dibuktikan adalah kebenarannya
dimana kebenaran itu haruslah kebenaran formil, yang artinya hakim tidak
boleh melampaui batas yang diajukan oleh yang berperkara, maka hakim tidak
melihat kepada bobot atau isi, akan tetapi kepada luas daripada pemeriksaan
oleh hakim.
Pasal 178 ayat 3 HIR (Ps. 189 ayat 3 Rbg.50 ayat 3 Rv) melarang hakim
untuk menjatuhkan putusan atas perkara yang tidak dituntut, atau akan
meluluskan lebih dari yang dituntut. Yang mencari kebenaran dan menetapkan
peristiwa adalah hakim lalu yang wajib membuktikan atau mengajukan alat
alat bukti adalah yang berkepentingan didalam perkara atau sengketa,
berkepentingan bahwa gugatannya dikabulkan atau ditolak.
Sesuai pasal 283 HIR "Barang siapa beranggapan mempunyai suatu hak atau
suatu keadaan untuk menguatkan haknya atau menyangkal hak orang lain, harus
membuktikan hak atau keadaan itu (KUH Perdata 1865 ; HIR. 163).
Selanjutnya mengenai beban pembuktian, kedua belah pihak, baik
penggugat maupun tergugat dapat dibebani dengan pembuktian. Terutama
penggugat yang wajib membuktikan peristiwa yang diajukannya, sedang
tergugat berkewajiban membuktikan kebenaran bantahannya. Dalam hal ini ada
beberapa teori tentang beban pembuktian yang dapat merupakan pedoman bagi
hakim.
Teori Pembuktian yang bersifat menguatkan belaka (bloot affirmatief)
Teori ini mengemukakan sesuatu harus membuktikannya dan bukan yang
mengingkari atau menyangkalnya. Dasar hokum teori ini adalah pendapat
bahwa hal hal yang negative tidak mungkin dibuktikan (negativa opn
sunt probanda).
Teori Hukum Subjektif
Teori ini menggambarkan suatu proses perdata itu selalu merupakan
pelaksanaan hokum subjektif atau bertujuan memepertahankan hokum
subjektif, dan siapa yang mengemukakan atau mengaku mempunyai sesuatu
hak harus membuktikannya.
Teori ini berdasarkan pada pasal 1865 BW "Pasal 1865 Setiap orang yang
mengaku mempunyai suatu hak, atau menunjuk suatu peristiwa untuk
meneguhkan haknya itu atau untuk membantah suatu hak orang lain, wajib
membuktikan adanya hak itu atau kejadian yang dikemukakan itu."
Teori Hukum Objektif
Teori ini mengajukan tuntutan hak atau gugatan berarti bahwa penggugat
minta kepada hakim agar hakim menerapkan ketentuan-ketentuan hokum
objektif terhadap peristiwa yang diajukan.
Teori Hukum Publik
Menurut teori ini mencari kebenaran suatu peristiwa didalam peradilan
merupakan kepentingan publik.
Teori Hukum Acara
Asas audi et alteram atau juga asas kedudukan proseusuil yang sama
daripada para pihak di muka hakim yang merupakan asas pembagian beban
pembuktian menurut teori ini.
Selanjutnya mengenai alat pembuktian diatur dalam Kitab Undang-Undang
Hukum Perdata Pasal 1866, Alat pembuktian meliputi : bukti tertulis, bukti
saksi, persangkaan, pengakuan, sumpah. Pembahasan mengenai macam alat bukti
akan dibahas di poin kedua ditambah pemeriksaan setempat dan saksi ahli.
2. Alat Bukti
Pada bagian ini akan dibicirakan mengenai alat bukti, yang meliputi
pengertian jenis dan perkembangannya.
Pengertian Alat Bukti dan Perkembangannya.
Alat bukti ( bewijsmiddel ) memiliki macam-macam bentuk dan juga
jenisnya, yang memiliki kemampuan untuk menjelaskan dan juga memberikan
keterangan tentang masalah yang diperkarakan di pengadilan. Berdasarkan
keterangan dan penjelasan dari alat bukti itulah hakim melakukan penilaian,
pihak mana yang paling sempurna pembuktiannya.
Jadi, para pihak yang berperkara hanya dapat membuktikan kebenaran
dalil gugat dan dalil bantahan sesuai fakta-fakta yang mereka kemukakan
dengan jenis atau alat bukti tertentu. Hukum pembuktian yang berlaku di
Indonesia saat ini adalah masih berpegang pada jenis alat bukti tertentu
saja.
Para pihak yang terkait dalam persidangan (hakim-tergugat-penggugat)
tidak bebas menerima-mengajukan alat bukti dalam proses penyelesaian
perkara. Undang-undang telah menentukannya secara enumerative apa saja yang
sah dan bernilai sebagai alat bukti, dengan kata lain hukum pembuktian yang
berlaku disini masih bersifat tertutup dan terbatas.
Namun di beberapa Negara seperti Belanda, telah terjadi perpindahan
pola pembuktian yang sekarang telah berubah menjadi hukum pembuktian kea
rah system terbuka. Dalam hukum pembuktian di pengadilan tidak lagi
ditentukan secara enumerative lagi. Kebenaran tidak saja dapat diperoleh
melalui bukti-bukti tertentu saja melainkan dapat pula diperoleh dari alat
bukti apapun asal dapat diterima secara hukum kebenarannya dan tidak
mertentangan denga kepentingan umum. Artinya alat bukti yang sah dan
dibenarkan sebagai alat bukti tidak disebutkan satu persatu.
Namun demikian, oleh karena sampai sekarang hukum pembuktian di
Indonesia ini belum mengalami pembaharuan seperti yang terjadi di beberapa
Negara lainnya, para pihak yang berperkara maupun hakim masih berpegang
pada system lama karena sampai sekarang pengadilan belum berani melakukan
terobosan menerima alat bukti baru, diluar yang disebutkan Undang-Undang.
Macam-macam Alat Bukti
Menurut Sistem HIR, dalam hukum acara perdata hakim terikat pada alat-
alat bukti yang sah, yang artinya hakim hanya boleh memutuskan perkara
melalui alat bukti yang telah ditentukan sebelumnya oleh undang-undang.
Alat-alat bukti yang disebutkan oleh undang-undang adalah : alat bukti
tertulis, pembuktian dengan saksi, persangkaan-persangkaan, pengakuan dan
sumpah (ps. 164 HIR, ps. 1866 KUH Perdata).
a. Alat bukti tertulis
Alat bukti tertulis yang berisi keterangan tentang suatu peristiwa,
keadaan, atau hal-hal tertentu. Dalam hukum acara perdata dikenal beberapa
macam alat bukti tertulis diantaranya sebagai berikut.
Pertama adalah surat ialah sesuatu yang memuat tanda-tanda bacaan yang
dimaksudkan untuk mencurahkan isi hati atau untuk menyampaikan buah pikiran
seseorang dan dipergunakan sebagai pembuktian.
Surat sebaagai alat bukti tertulis dibagi menjadi dua yaitu surat
sebagai akta dan bukan akta, sedangkan akta sendiri lebih lanjut dibagi
menjadi akta otentik dan akta dibawah tangan.
Kedua adalah akta ialah surat sebagai alat bukti yang diberi tanda
tangan, yang memuat peristiwa yang menjadi dasar suatu hak atau perikatan,
yang dibuat sejak semula dengan sengaja untuk pembuktian. Jadi untuk dapat
dibuktikan menjadi akta sebuah surat haruslah ditandatangani.
Akta otentik ialah 'akta yang dibuat dalam bentuk yang ditentukan
undang-undang oleh atau dihadapan pejabat yang berwenang untuk itu
ditempat akta dibuat' (ps. 1868 KUH Perdata). Dari penjelasan pasal
diatas dapat disimpulkan bahwa akta otentik dibuat oleh atau
dihadapan pejabat yang berwenang yang disebut pejabat umum. Apabila
yang membuatnya pejabat yang tidak cakap - tidak berwenang atau
bentuknya cacat maka menurut Pasal 1869 KUH Perdata : akta tersebut
tidak sah atau tidak memenuhi syarat formil sebagai akta otentik;
namun akta yang demikian mempunyai nilai kekuatan sebagai akta
dibawah tangan.
Akta dibawah tangan ialah akta yang sengaja dibuat untuk pembuktian
oleh para pihak tanpa bantuan dari seorang pejabat. Jadi semata-mata
dibuat antara para pihak yang berkepentingan. Akta dibawah tangan
dirumuskan dalam Pasal 1874 KUH Perdata, yang mana menurut pasal
diatas, akata dibawah tangan ialah :
Tulisan atau akta yang ditandatangani dibawah tangan,
Tidak dibuat atau ditandatangani pihak yang berwenang.
Secara khusus ada akta dibawah tangan yang bersifat partai
yang dibuat oleh paling sedikit dua pihak.
Akta pengakuan sepihak ialah akta yang bukan termasuk dalam akta
dibawah tangan yang bersifat partai , tetapi merupakan surat
pengakuan sepihak dari tergugat. Oleh karena bentuknya adalah akta
pengakuan sepihak maka penilaian dan penerapannya tunduk pada
ketentuan Pasal 1878 KUH Perdata. Dengan demikian harus memenuhi
syarat :
Seluruh isi akta harus ditulis dengan tulisan tangan si
pembuat dan si penandatangan;
Atau paling tidak, pengakuan tentang jumlah atau objek barang
yang disebut didalamnya, ditulis tangan sendiri oleh pembuat
dan penanda tangan.
Selanjutnya ada penambahan alat bukti tertulis yang sifatnya
melengkapi namun membutuhkan bukti otentik atau butuh alat bukti aslinya,
diantaranya adalah alat bukti salinan, alat bukti kutipan dan alat bukti
fotokopi. Namun kembali ditegaskan kesemuanya alat bukti pelengkap tersebut
membutuhkan penunjukan barang aslinya.
b. Alat bukti kesaksian
Alat bukti kesaksian diatur dalam pasal 139-152, 168-172 HIR dan 1902-
1912 BW. Kesaksian adalah kepastian yang diberikan kepada hakim
dipersidangan tentang peristiwa yang dipersengketakan dengan jalan
pemberitahuan secara lisan dan pribadi oleh orang yang bukan salah satu
pihak dalam perkara, yang dipanggil dalam persidangan.
Jadi keterangan yang diberikan oleh seorang saksi haruslah kejadian
yang telah ia alami sendiri, sedangkan pendapat atau dugaan yang diperoleh
secara berfikir tidaklah termasuk dalam suatu kesaksian.
c. Alat bukti persangkaan
"Persangkaan adalah kesimpulan yang oleh undang-undang atau oleh hakim
ditarik dari satu peristiwa yang diketahui umum ke arah suatu peristiwa
yang tidak diketahui umum", pasal 1915 KUH Perdata. Kata lain dari
persangkaan adalah vermoedem yang berarti dugaan atau presumptive.
d. Alat bukti pengakuan
Pengakuan (bekentenis confession) diatur dalam HIR pasal 174-176 dan
KUH Perdata pasal 1923-1928. Pengakuan merupakan sebuah keterangan sepihak,
karenanya tidak diperlukan persetujuan dari pihak lawan.
Pengakuan merupakan pernyataan yang tegas, karena pengakuan secara diam-
diam tidaklah member kepastian kepada hakim tentang kebenaran suatu
peristiwa, pada hal alat bukti dimaksudkan untuk memberi kepastian kepada
hakim tentang kebenaran suatu peristiwa.
e. Alat bukti sumpah
Sumpah sebagai alat bukti ialah suatu keterangan atau pernyataan yang
dikuatkan atas nama Tuhan, dengan tujuan agar orang yang memberi keterangan
tersebut takut akan murka Tuhan bilamana ia berbohong. Sumpah tersebut
diikrarkan dengan lisan diucapkan di muka hakim dalam persidangan
dilaksanakan di hadapan pihak lawan dikarenakan tidak adanya alat bukti
lain.
f. Pemeriksaan setempat
Salah satu hal yang erat kaitannya dengan hukum pembuktian adalah
pemeriksaan setempat, namun secara formil ia tidak termasuk alat bukti
dalam Pasal 1866 KUH Perdata. Sumber formil dari pemeriksaan setempat ini
adalah ada pada pasal 153 HIR yang diantaranya memiliki maksud sebagai
berikut :
Proses pemeriksaan persidangan yang semestinya dilakukan diruang
sidang dapat dipindahkan ke tempat objek yang diperkarakan.
Persidangan ditempat seperti itu bertujuan untuk melihat keadaan
objek tersebut ditempat barang itu terletak.
Dan yang melakukannya adalah dapat seorang atau dua orang
anggota Majelis yang bersangkutan dibantu oleh seorang panitera.
g. Saksi ahli/Pendapat ahli
Agar maksud pemeriksaan ahli tidak menyimpang dari yang semestinya,
perlu dipahami dengan tepat arti dari kata ahli tersebut yang dikaitkan
dengan perkara yang bersangkutan. Secara umum pengertian ahli adalah orang
yang memiliki pengetahuan khusus dibidang tertentu. Raymond Emson menyebut,
"specialized are as of knowledge".
Jadi menurut hukum seseorang baru ahli apabila dia :
Memiliki pengetahuan khusus atau spesialisasi
Spesialisasi tersebut dapat berupa skill ataupun pengalaman
Sedemikian rupa spesialisasinya menyebabkan ia mampu membantu
menemukan fakta melebihi kemampuan umum orang biasa (ordinary
people).
Dari pengertian diaatas tidak semua orang dapat diangkat sebagai ahli.
Apalagi jika dikaitkan dengan perkara yang sedang diperiksa,
spesialisasinya mesti sesuai dengan bidang yang disengketakan.
E. KASUS TPI
KRONOLIGIS KASUS SENGKETA SAHAM TPI
Untuk menyelamatkan usahanya, Mbak Tutut minta bantuan Hary Tanoe
untuk merestrukturisasi utang-utang TPI. Klausul itu tertuang dalam
perjanjian yang ditandatangani oleh Mbak Tutut (pemlik maoritas TPI) dan
Hary Tanoesoedibyo (melalui PT Berkah Karya Bersama). Inti Perjanjiannya
adalah Hary Tanoe berjanji akan melunkasi semua hutang Mbak Tutut sesuai
dengan yang ada di dalam lampiran. Jika dapat menyelesaikan perjanjian maka
berhak melakukan subkripsi terhadap saham baru yang akan dikeluarkan TPI
dengan harga dan jumlah yang disepakati oleh para pemegang saham lama untuk
kepemilikan saham 75% TPI.
3 JUNI 2003
Pemegang Saham mayoritas Siti Hardiyanti Rukmana memberikan surat kuasa
kepada Harry Tanoesoedibjo.
21 JUNI 2003
Berbekar surat kuasa mbak Tutut, Hary Tanoe menggelar RUPS dan mengganti
jajaran Direksi TPI.
2004
Mak Tutut meminta kembali pengelolaan TPI karena Hary Tanoe tidak
menyelesaikan semua kewajiban yang dijanjikan. Bahkan Hary Tanoe menggunkan
dana internal TPI dan pernah mengusulkan untuk menjual tanah milik TPI
untuk melunasi pinjaman TPI namun tidak dipenuhi Hary Tanoe.
16 MARET 2005
Mbak Tutut menabut surat kuasa dan mengirim surat pembatalan atas
perjanjian, Mbak Tutut juga bersedia mengganti semua biaya yang telah
dikeluarkan oleh Hary Tanoe dalam rangka melaksanakan kewajibannya.
17 MARET 2005
Pemegang saham mayoritas TPI Mbak Tutut bersdama seluruh pemegang saham
yang sah menyelenggarakan RUPSLB untuk mengganti seluruh pngurus PTI yang
dientuk Hary Tanoe, namun pendaftaran hasl RUPSLB tanggal 17 Maret 2005
ditolak oleh Sisminbakum dengan alasan yang tidak masuk akal. (Belakangan
diketahui penolakan dilakukan oleh PT SRD perusahaan milik Hary Tanoe yang
mengelola instalasi Sisminbakum).
18 MARET 2005
Meskipun bukan pemilik sah dan kuasanya sudah dicabut, namun Hary Tanoe
mengadakan RUPSLB. Alam rapat tersebut Hary Tanoe menghilangkan hak saham
Mbak Tutut sebesr 75% dan berhasil didaftarkan karena PT SRD perusahaan
milik Hary Tanoe yang mengelola instalasi Sisminbakum
2003- 2010
Selama tujuh tahun Mbak Tutut meunutut keadilan dan meminta perlindungan
hukum kepada Menkumham, Kejaksaan, Bapepam, bahkan Bareskrim Mabes Polri.
Namun adanya Mafia Hukum telah sukses dan berhasil melindungi Hary Tanoe.
AWAL TAHUN 2010
Mbak Tutut mengadu kecurangan RUPSLB ke Menkumham Patrialis Akbar. Kemudian
Menteri membentuk Tim Khusus untuk menyelelidiki keabsahan penyelenggaraan
RUPS Hary Tanoe. Belakangan Tim mengeluarkan rekomendasi bahwa RUPSLB yang
digelar Hary Tanoe pada 18 Maret 2005 tidak sah dan penuh kejanggalan.
8 JUNI 2010
Melalui Surat Keputusan Dirjen AHU.2.AH.0304-11A. Menkumham Patrialis Akbar
ncabut Surat Keputusan Menkumham No. C-07564.HT.01.04.TH.2005 tertanggal 21
Maret 2005. Imbas dari pencabutan itu adaah surat pengesahan Akta RULBPS
TPI yang digelar Hary Tanoe dan tercatat No 16 tanggal 18 Maret 2005
menjadi batal demi hukum.
8 JUNI 2010
Melalui Surat Keputusan Dirjen AHU Kemenkumham kepada Plh Deputi Menteri
Sekretaris Negara Bidang Pengawaan tentang adanya satu tindakan yang
dilakukan oleh Hary Tanoesoedibjo menggunakan fasilitas negara dengan tidak
melalui proses persetujuan pejabat yang memiliki kewenangan. Hal ini
merupakan tindakan kriminal. Mahkamah Agung mengabulkan kasasi yang
diajukan Siti Hardiyanti Rukmana terkait sengketa kepemilikan stasiun
televisi TPI yang kini sudah berganti nama jadi MNC TV membuat saham-saham
grup MNC yang tercatat di Bursa Efek Indonesia (BEI) berada di zona merah.
Kabiro Hukum dan Humas MA, Ridwan Mansyur menjelaskan MA telah memutus
Perkara No. 862 K/Pdt/2013 dengan Pemohon Kasasi: Ny. Siti Hardiyanti
Rukmana dkk melawan Termohon kasasi: PT. Berkah Karya Bersama dkk.
Majelis hakim yang terdiri dari Hakim Soltoni Mohdally, Takdir Rakhmadi, I
Made Tara telah memutuskan perkara tersebut pada tanggal 2 Oktober 2013
dengan Amar putusan yang berbunyi:
Mengabulkan permohonan kasasi dari Pemohon Kasasi.
Membatalkan putusan PT. Jakarta No. 629/Pdt/2011 yang membatalkan
putusan PN. No. 10/pdt.g/2010.
Mengadili sendiri : mengabulkan gugatan penggugat (pemohon kasasi)
untuk sebagian
Menyatakan para tergugat (termohon kasasi) telah melakukan Perbuatan
Melawan Hukum
Menyatakan sah dan sesuai hukum keputusan RUPS yang tertuang dalam
akta
"Ini petikan singkatnya, selebihnya masih dalam proses minutasi, setelah
selesai akan dipublish di direktori putusan dan salinan resmi kepada para
pihak," kata Ridwan dalam penjelasan lewat pesan teks ke liputan6.com,
Kamis (10/10/2013).
AWAL MULA KASUS
Kasus pengambilialihan TPI sendiri bermula ketika Indosat membeli
obligasi convertible yang dikeluarkan TPI masing-masing senilai Rp 10
miliar atau totalnya Rp 150 miliar pada 15 Oktober 1997 dimana akan jatuh
tempo pada Oktober 2002. Lalu Harry membeli obligasi tersebut yang dalam
perjanjiannya bisa ditukar dengan saham TPI. Pihak Harry kala itu di atas
aangin karena bisa memiliki saham TPI jika pihak Tutut tak bisa membayar
utang obligasinya. Dalam hitung-hitungan waktu itu, nilai obligasi tersebut
setara dengan 75% saham TPI.
Harry Tanoe pun sudah menjalankan rencana akuisisi TPI sejak tahun 2003
namun perjalanannya sangat kompleks karena pihak Tutut tak ingin ada
pengambilalihan saham. Sampai akhirnya digelar RUPSLB TPI pada 18 Maret
2005 yang tanpa persetujuan Tutut mengubah kepemilikan saham.
Setelah ada keputusan ini, bisakah Tutut kembali memiliki TPI? Sepertinya
memang tidak mudah karena TPI sendiri sudah berganti nama menjadi MNC TV.
Kedua pihak nampaknya akan saling adu strategi untuk mempertahankan haknya
dalam TPI yang kini sudah jadi MNC TV itu.
PEYELESAIAN / PERMASALAHAN
Untuk perselisihan Televisi Pendidikan Indonesia (TPI), sebenarnya
sudah diserahkan ke BANI untuk dicari penyelesaiannya. Malahan, dua pihak
yaitu Siti Hardijanti Rukmana alias mbak Tutut, dan PT Berkah Karya Bersama
sudah menandatangani 'investment agreement' pada tahun 2005.
BANI adalah suatu badan yang dibentuk oleh pemerintah Indonesia untuk
penegakan hukum dalam penyelesaian sengketa atau beda pendapat . Arbitrase
berasal dari bahasa latin arbitrare yang artinya kekuasaan untuk
menyelesaikan sesuatu dengan bijaksana di luar pengadilan. Hukum arbitrase
di Indonesia tak bisa dilepaskan dari sejarah arbitrase negeri Belanda.
Saat pendudukan Belanda di Indonesia, arbitrase dibentuk untuk
menyelesaikan perselisihan di bidang ekspor hasil bumi Indonesia, soal
kebakaran dan soal asuransi kecelakaan.
Arbitrase di Indonesia berkembang pada tahun 1977 dengan dibentuknya
BANI. Sampai kini, BANI telah mengadakan kerjasama dengan Badan Arbitrase
lokal di negara-negara sepeti Jepang, Belanda, Korea, Australia , Philipina
dan Hong Kong. Kerjasama arbitrase negara-negara itu bersifat mengikat
Ruang lingkup arbitrase mencakup sektor perdagangan , industri dan
keuangan. Bidang-bidang yang ditangani antara lain bidang korporasi,
asuransi, lembaga keuangan, pabrikasi, hak kekayaan intelektual, lisensi
waralaba dll. Bila satu kasus sudah ditangani Badan Arbitrase, maka
pengadilan sudah tidak punya wewenang untuk mengadili sengketa para pihat
terkait.
Keputusan Mahkamah Agung (MA) menolak Peninjauan Kembali (PK) atas
sengketa kepemilikan saham Televisi Pendidikan Indonesia (TPI) akhir-akhir
banyak mendapat sorotan. Tak hanya sorotan tapi juga protes. Kenapa ? Itu
tak lain karena MA terlalu tergesa dalam mengambil keputusan. Disamping
itu, banyak pihak menuding bahwa dalam menangani proses ini MA tidak
menghormati proses hukum yang sedang berlangsung di Badang Arbitrase
Nasional Indonesia (BANI). Dalam sengketa kepemilikan saham TPI antara PT
Berkah Karya Bersama (BKB) dan Siti Hardiyanti Rukmana (Tutut Soeharto)
sebenarnya masih dalam tahap penanganan BANI.
Hotman Paris Hutapea sebagai kuasa hukum TPI pada tahun 2010 pernah
mengemukakan tentang hal itu. Lebih jauh lagi dia mengemukakan bahwa
Pengadilan Negeri tidak berwenang mengadili. Menurut Hotman Paris, isi
perjanjian tersebut menyebutkan setiap perselisihan menyangkut pengalihan
75 persen saham TPI yang berwenang mengadili adalah Badan Arbitrase
Nasional Indonesia (BANI). Surat tersebut ditandatangani oleh
Tutut.Sehingga, jika MA berani memutuskan kasus TPI dan mengabaikan proses
kasus itu di BANI, sama saja mencoreng hukum di Indonesia .
Namun, MA lewat nomor perkara 238 PK/PDT/2014 memutuskan menolak PK
yang diajukan sebelumnya oleh PT Berkah. Padahal, penyelesaian sengketa
melalui arbitrase sudah disepakati para pihak yang bersengketa.
Ini yang kemudian dipertanyakan oleh kuasa hukum PT Berkah Karya
Bersama, Andi Simangunsong. Merujuk pada ketentuan bahwa pengadilan tidak
lagi berwenang mengadili kasus yang sedang ditangani BANI, Andi menilai
bahwa putusan MA untuk kasus TPI adalah bentuk kemunduran hukum.
Sebenarnya Perbuatan Melawan Hukum (PMH) yang menjadi dasar PK MA tidak
dapat dibenarkan. Menurut pakar hukum Frans Hendrawinata,MA yang memutus
perkara tersebut melanggar UU Abitrase. Dia mencurigai ketidakpahaman tiga
hakim agung tersebut atau ada pengaruh lain, seperti uang.
Keputusan tersebut berdampak ke hal lain dan bisa berakibat fatal.
Antara lain mengakibatkan Indonesia akan dikenal sebagai negara yang tidak
ramah terhadap investasi, karena tidak mengindahkan Arbitrase Lokal dan
Internasional.
KESIMPULAN DAN SARAN
Sesuai aturan perundang-undangan pengadilan tidak berwenang mengadili
perkara sengketa antara PT Berkah Karya Bersama dg pihak Siti Hardiyanti
Rukmana dalam kasus kepemilikan TPI.
Pakar Hukum Universitas Airlangga Surabaya, Sogar Simamora, mengatakan,
dalam kontrak telah disepakati penyelesaian sengketa dilakukan oleh lembaga
arbitrase. Dengan kata lain, kewenangan penyelesaian hanya boleh dilakukan
Badan Administrasi Nasional Indonesia (BANI).
Menurut Guru Besar Hukum Kontrak Fakultas Hukum Unair ini, apabila
menyangkut sengketa kontrak atau sengketa perjanjian, maka harus melihat
klausul dalam kontraknya terlebih dahulu. Apabila telah diatur dan
disepakati permasalahan atau sengketa diselesaikan pada forum arbitrase,
maka sengketa ini tak bisa diambil alih oleh Mahkamah Agung (MA). Namun,
sebaliknya apabila sengketa disepakati dengan diselesaikan melalui
pengadilan negeri, tentu apabila terjadi sengketa yang berwenang menangani
dan memutus sengketa adalah pengadilan negeri hingga MA.
Kompetensi absolut yang disebut-sebut sebagai kewenangan yang
menyebabkan eksepsi PT Berkah Karya Bersama ditolak, merupakan badan
peradilan yang berwenang untk mengadili suatu perkara dan dalam kasus ini
tergantung bagaimana pengaturan klausul penyelesaian sengketa di dalam
kontrak untuk menentukan siapa yang berwenang mengadili perkara tersebut.
Daftar Pustaka
http://ml.scribd.com/doc/59602579/ian-Sengketa-Dalam-Hukum-Bisnis-Serta-
Pembuktian
Undang - Undang Republik Indonesia Nomor 30 Tahun 1999 Tentang Arbitrase
dan Alternatif Penyelesaian Sengketa
Undang - Undang Republik Indonesia Nomor 8 Tahun 2004 Tentang Perubahan
Atas Undang Nomor 2 Tahun 1986 Tentang Peradilan Umum
Tugas Kelompok
PENYELESAIAN SENGKETA DALAM HUKUM BISNIS SERTA PEMBUKTIAN
OLEH :
HAIDI RASIS
ARI SURYADI
HIJRATUL ASWAD
NOVIRA FAZRI NANDA
MAGISTER AKUNTANSI
FAKULTAS EKONOMI UNIVERSITAS RIAU
PEKANBARU
2014