PENYELESAIAN SENGKETA DALAM BANK SYARIAH
Makalah Ini Dibuat Guna Memenuhi Tugas Mata Kuliah Aspek Hukum Perbankan Syariah
Dosen Pengampu: Is Susanto, M. H.
Disusun Oleh:
Kelompok VIII
Tri Wahyu Ningsih 13
Wulan Barokah 13111268
Yuiasari 13111328
PROGRAM STUDI D-3 PERBANKAN SYARIAH
JURUSAN SAYRIAH DAN EKONOMI ISALM
SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM NEGERI
JURAI SIWO METRO
TAHUN 2015
KATA PENGANTAR
Puji syukur kehadirat Allah SWT yang telah memberikan rahmatNya kepada penulis sehingga tim penulis dapat menyelesaikan makalah berjudul Keberatan, Banding, dan Pengadilan Pajak. Sholawat teriring salam tak lupa terlimpah kepada Nabi Muhammad SAW, semoga kita semua selamat dunia akhirat.
Makalah berjudul penyelesaian sengketa dalam bank syariah ini nantinya akan berisi tentang cara penyelesaian sengketa dan sanksi-sanksi yang dikenakan kepada bank syariah atau UUS yang melanggar ketentuan pidana yang telah diatur.
Penulis tak lupa mengucapkan terimakasih kepada bapak Is Susanto yang telah membimbing tim penulis dalam menyelesaikan makalah ini. Kepada rekan-rekan yang senantiasa memberi semangat, penulis ucapkan termakasih. Manfaat dari tulisan ini diharapkan dapat membantu pembaca sebagaibahan pembelajaran. Dan kesalahn yang terdapat dalam penulisan makalah ini, penulis mohon untuk dapat memberikan saran guna perbaikan makalah selanjutnya.
Metro, 17 November 2015
Tim Penulis
DAFTAR ISI
JUDUL
KATA PENGANTAR i
DAFTAR ISI ii
BAB I PENDAHULUAN
Latar Belakang Masalah 1
Rumusan Masalah 1
Tujuan 1
BAB II PEMBAHASAN
Penyelesaian Sengketa 3
Sanksi Administrasi dan Sanksi Pidana 8
BAB III PENUTUP
Kesimpulan 15
DAFTAR PUSTAKA
BAB I
PENDAHULUAN
Latar Belakang Masalah
Kebutuhan masyarakat muslim Indonesia akan adanya bank yang beroperasi sesuai dengan nilai-nilai dan prinsip ekonomi islam, secara yuridis baru mulai diatur dalam undang-undang No 7 tahun 1992 tentang perbankan. Dalam undang-undang tersebut eksistensi bank islam atau perbankan syariah belum dinyatakan secara eksplisit, melainkan baru disebutkan dengan istilah "bank berdasarkan prinsip bagi hasil". Pasal 6 maupun pasal 13 UU tersebut yang menyatakan adanya bank berdasarkan prinsip bagi hasil terkesan hanya berupa sisipan, belum begitu tampak adanya kesungguhan untuk mengatur beroperasinya bank islam di Indonesia.
Upaya terus menerus dilakukan semua pihak untuk melengkapi aturan hukum beroperasinya bank syariah ternyata membuahkan hasil setelah disahkannya UU No. 21 Tahun 2008 tentang perbankan syariah pada tanggal 16 Juli 2008. Dengan adanya undang-undang tersebut, maka semakin mantaplah keberadaan bank syariah di Indonesia sebagai lembaga perantara keuangan dalam menjalankan aktivitasnya dapat diterapkan secara optimal, konkrit dan seutuhnya.
Ada berbagai permasalahan yang potensial timbul dalam praktek perbankan syariah antara bank dengan nasabah. Kemungkinan-kemungkinan sengketa biasanya berupa komplain karena ketidaksesuaian antara realitas dengan penawarannya, tidak sesuai dengan aturan main yang diperjanjikan, layanan dan alur birokrasi yang tidak masuk dalam draft akad, serta komplain terhadap lambatnya proses kerja. Pada awalnya yang menjadi kendala hukum bagi penyelesaian sengketa perbankan syariah adalah hendak dibawa kemana penyelesaiannya, karena Pengadilan Negeri tidak menggunakan syariah sebagai landasan hukum bagi penyelesaian perkara, sedangkan wewenang Pengadilan saat itu menurut UU No. 7 Tahun 1989 hanya terbatas mengadili perkara perkawinan, kewarisan, wasiat, hibah, wakaf dan shadaqoh.
Hal inilah yang melatar belakangi lahirnya UU No. 50 Tahun 2009 tentang perubahan kedua atas UU No. 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama yang menetapkan kewenangan lembaga Peradilan Agama untuk memeriksa, mengadili dan menyelesaikan perkara-perkara di bidang ekonomi Syariah.
Rumusan Masalah
Bagaimana cara menyelesaikan sengketa dalam perbankan?
Apa saja sanksi administrative dan sanksi pidana?
Tujuan
Mengetahui cara penyelesaian sengketa.
Mengetahui sanksi admistratif dan sanksi pidana.
BAB II
PEMBAHASAN
Penyelesaian Sengketa
Penyelesaian sengketa antara nasabah dan perbankan syariah diatur dalam Peraturan Bank Indoneia nomor 9/19/PBI/2007 pada pasal 4. Menyatakan bahwa penyelesaian sengketa antara bank dan nasabah dapat dilakukan melalui musyawarah, kemudian jika tidak dapat terpenuhi maka diselesaikan melalui mediasi. Terakhir, jika melalui mediasi juga belum selesai maka diselesaikan melalui aebitrase syariah atau melalui lembaga peradilan bedasarkan peraturan perundang-undang yang berlaku.
Sekarang akan dibahas cara penyelesaian sengketa melalui arbitrase dan pengadilan agama.
Penyelesaian Sengketa Dalam Arbitrase Dan Alternatif Penyelesaian Lain
Yang dimaksud dengan penyelesaian sengketa melalui arbitrase syariah atau arbitrase dijelaskan lebih lanjut lagi dalam Pasal 6 UU No 30 tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif penyelesaian Sengketa. Pengertian arbitrase dalam Prespektif Islam dapat disepadankan dengan istilah tahkim. Tahkim berasal dari kata hakkama, secara etimologis berarti menjadikan seseorang sebagai pencegah suatu sengketa. Pengertian tersebut erat kaitannya dengan pengertian menurut terminologisnya.
Gagasan berdirinya lembaga Arbitrase Islam Di Indonesia diawali dengan bertemunya para pakar, cendekiawan muslim, praktisi hukum para kyai dan ulama untuk bertukar pikiran tentang perlunya Lembaga Arbitrase Islam di Indonesia. Pertemuaan ini dimotori oleh Dewan Pimpinan MUI pada tanggal 22 April 1992. Setelah mengadakan beberapa kali rapat dan setelah diadakan beberapa kali penyempurnaan terhadap rancangan struktur organisasi dan prosedur beracara berakhirnya pada tanggal 23 Oktober 1993 tellah diresmikan Badan Arbitrase Muamalat Indonesia ( BAMUI). Sekerang sudah mengganti nama menjadi Badan Arbitrase Syari'ah Nasional (Basyarnas) yang diputuskan dalam Rekernas MUI tahun 2002.
Dalam UU No. 14 Tahun 1970 tentang ketentuan-ketentuan pokok kekuasaan kehakiman pasal 3 ayat (1) dijelaskan tentang kedudukan Basyarnas bahwa "Penyelesaian perkara di luar pengadilan atas dasar perdamaian atau melalui arbitrase tetap diperbolehkan, akan tetapi putusan arbiter hanya mempunyai kekuatan eksekutorial setelah memperoleh izin atau perintah untuk eksekusi dari pengadilan". Dari penjelasan tersebut maka keududkan dari basyarnas atau badan arbitrase nasional berada dibawah peradilan agama, tanpa adanya izin guna mengesahkan putusan dari basyarnas, maka penyelesaan sengketa belum dianggap selesai.
Selain kedudukan, Basyarnas juga memiliki kewenangan sebagai lembaga permanen yang didirikan oleh MUI yaitu menyelesaiakan kemungkinan terjadinya sengketa muamalat yang timbul dalam hubungan perdagangan, industri, keuangan, jasa. Disamping itu badan ini dapat memberikan sesuatu rekomendasi atau pendapat hukum yaitu, pendapat yang mengikat tanpa adanya sesuatu persoalan tertentu yang berkenaan dengan pelaksanaan perjanjian.
Beralih dari penyelesaian sengketa dalam arbitrase. Dalam penyelesaian sengketa ada alternative lain penyelesaian sengketa. Dalam hal ini, penyelesaian sengketa diseslesaikan dengan dibantu seorang mediator. Pelaksanaannya pun diatur dalam pasal 6 UU No. 30 Tahun 1999 Tentang Arbitrase dan Alternatif penyelesaian sengketa yang menjelaskan tentang mekanisme penyelesaian sengketa.Sengketa atau beda pendapat dalam bidang perdata islam dapat diselesaikan oleh para pihak melalui Alterntive penyelesaian sengketa yang didasarkan pada iktikad dengan mengesampingkan penyelesaian secara litigasi.
Secara terminology, cara alternative ini dikenal dengan Ash-shulhu, yang berarti memutuskan pertengkaran dan perselisihan. Dalam pengertian syariat Ash-shulhu adalah suatu jenis akad (perrjanjian) untuk mengahiri perlawanan (sengketa) antara dua orang yang bersengketa.
Apabila sengketa tersebut tidak diselesaikan, maka berdasarkan kesepakatan tertulis para pihak, sengketa atau beda pendapat diselesaikan melalui bantuan seseorang atau lebih penasehat ahli maupun melalui seorang mediator. Apabila para pihak tersebut dalam waktu 14 hari dengan bantuan seorang atau lebih penasehat ahli maupun melalui seorang mediator tidak berhasil juga mencapai kata sepakat atau mediator tidak berhasil mempertemukan kedu belah pihak, maka para pihak dapat menghubungi Lembaga Alternative penyelesaian sengketa untuk menunjuk seorang mediator.
Setelah penunjuk mediator oleh lembaga Alternative penyelesaian sengketa, dalam waktu paling lama 7 hari usaha mediasi harus sudah dapat dimulai. Usaha penyelesaian sengketa atau beda pendapat melalui mediator tersebut dengan memegangteguh kerahasiaan, dalam waktu paling lama 30 hari harus tercapai kesepakatan dalam bentuk tertulis yang ditandatangai oleh kedua belah pihak yang terkait. Kesepakatan penyelesaian sengketa atau beda pendapat secara tertulis adalah final dan mengikat para pihak untuk dilaksanakan dengan iktikkad baik serta wajib didaftarkan dipengadilan dalam waktu 30 hari sejak penandatanganan.
Kecenderungan mengenai pemilihan alternative penyelesaian lain dalam menyelesaikan sengketa dikarenakan beberapa alas an, sebagai berikut:
Kurang percayanya pada sistim pengadilan dan pada saat yang sama kurang dipahaminya keuntungan atau kelebihan sistem arbitrase dibanding pengadilan.
Kepercayaan masyarakat terhadap lembaga Arbitrase mulai menurun disebabkan banyaknya klausul-klausul arbitrase yang tidak berdiri sendrir, melainkan mengikuti klausul kemungkinan pengajuan sengketa ke pengadilan jika putusan arbitrasenya tidak berhasil diselesaikan.
Penyelesaian Sengketa Melalui Pengadilan
Apabila jalur arbitrase tidak dapat menyelesaikan perselisihan, maka lembaga peradilan adalah jalan terakhir sebagai pemutus perkara tersebut. Hakim harus memperhatikan rujukan yang berasal dari arbiter yang sebelumnya telah menangani kasus tersebut sebagai bahan pertimbangan dan untuk menghindari lamanya proses penyelesaian.
Dengan diamandemennya Undang-undang No 7 tahun 1989 Tentang Peradilan Agama oleh UU No. 3 Tahun 2006 tentang perubahan UU No 7 tahun 1989 tentang peradilan Agama, maka perdebatan mengenai siapa yang berwenang untuk menyelesaikan sengketa perbankan syari'ah sudah terjawab.
Adapun sengketa dibidang ekonomi syari'ah yang menjadi kewewenangan pengadilan Agama adalah.
Sengketa dibidang Ekonomi Syari'ah antara Lembaga keuangan dan lembaga pembiayaan syari'ah dengan nasabahnya
Sengketa di bidang Ekonomi syari'ah antara sesama lembaga keuangan dan lembaga pembiayaan syari'ah
Sengketa dibidang Ekonomi syari'ah antara orang-orang yang beragama islam yang mana akad perjanjiannya disebut dengan jelas bahwa kegiatan usaha yang dilakukan adalah berdasarkan prinsip-prinsip syari'ah.
Selain dalam hal diatas , pasal 49 UU No 3 tahun 2006 juga mengatur tentang kompetensi absolute (kewewenangan mutlak) peradilan agama. Oleh karena itu pihak-pihak yang melakukan perjanjian berdasarkan prinsip-prinsip syari'ah tidak dapat melakukan pilihan hukum untuk diadili dipengadilan yang lain. Dalam pasal tersebut yang berbunyi:
"Pengadilan agama bertugas dan berwenang memeriksa, memutus, dan menyelesaiakan perkara di tingkat pertama antara orang-orang yang beragama islam di bidang:
Perkawinan
Waris
Wasiat
Hibah
Wakaf
Zakat
Infak
Sedekah dan
Ekonomi syariah"
Penjelasan pasal 49 huruf i adalah yang dimaksud dengan ekonomi syariah adalah perbuatan atau kegiatan usaha yang dilaksanakan menurut prinsip syariah, antara lain meliputi: a. bank sayriah; b. lembaga keuangan mikro syariah; c. asuransi syariah; d. reasuransi syariah; e. reksadana syariah; f. obligasi syariah; g. sekuritas syariah; h. pembiayaan syariah; i. pegadaian syariah; j. dana pension lembaga keuangan syariah; k. bisnis syariah.
Sanksi Adminisratif dan Sanksi Pidana
Sanksi Administratif
Sanksi administrative diatur dalam UU Perbankan Syariah pasal 58 ayat 1 menjelaskan macam-macam sanksi administrasi kepada Bank Syariah dan UUS serta pengurus-pengurusssnya, yaitu a. denda uang; b. teguran tertulis; c. penurunan tingkat kesehatan bank syariah dan UUS; d. pelarangan untuk turut serta dalam pelaksanaan kliring; e. pembekuan kegiatan usaha tertentu, baik untuk kantor cabang tertentu maupun untuk bank syariah dan UUS secara keseluruhan; f. pemberhentian pengurus bank syariah dan bank umum konvensional yang memiliki UUS, dan selanjutnya menunjuk dan mengangkat pengganti sementara sampai Rapat Umum Pemegang Saham mengangkat pengganti yang tetap dengan persetujuan Bank Indonesia; g. pencantuman anggota pengurus, pegawai, dan pemegang saham bank syariah dan bank umum konvensional yang memiliki UUS dalam daftar oran tercela di bidang perbankan; dan/atau h. pencabutan izin usaha.
Selain dalam pasal diatas, sanksi admnistratif juga diatur dalam pasal 52 ayat 2 UU no. 7 tahun 1992 tentang perbankan, namun sanksi administrative hanya lebih banyak satu ketentuan sebagaimana telah diubah dengan UU No. 10 tahun 1998, kerena dalam UU perbankan syariah ada tambahan pada huruf h yang berbunyi: "(h) pencabutan izin usaha."
Kemudian dijelaskan juga dalam pasal 56 UU perbankan Syariah No. 21 tahun 2008 yang berbunyi:
"Bank Indonesia menetapkan sanksi administratif kepada Bank Syariah atau UUS, anggota dewan komisaris, anggota Dewan Pengawas Syariah, direksi, dan/atau pegawai Bank Syariah atau Bank Umum Konvensional yang memiliki UUS, yang menghalangi dan/atau tidak melaksanakan Prinsip Syariah dalam menjalankan usaha atau tugasnya atau tidak memenuhi kewajibannya sebagaimana ditentukan dalam Undang-Undang ini."
Masih bedasarkan UU Perbankan Syariah. Pada pasal selanjutnya, pasal 57 dijelaskan bahwa Bank Indonesia dapat memberikan sanksi administrative kepada bank Syariah atau UUS dikarenakan melanggar pasal 41 dan 44 UU Perbankan Syariah.
Sanksi Pidana
Tindak pidana yang ditetapkan dalam UU Perbankan Syariah sebanyak delapan pasal yang menjerat pelakunya dengan denda dan penjara. Adanya sanksi pidana ini adlah agar pihak-pihak terkait dengan perbankan syariah betul betul melaksanakan tugas, fungsi dan wewenangnya dengan baik.
Penjelasan mengenai delapan pasal ketentuan pidana adalah sebagai berikut;
Pasal 59 tentang pelanggaran izin usaha, jika bank syariah atau UUS yang melakukan kegiatan tanpa izin usaha maka akan mendapatkan
pidana penjara paling singkat 5 (lima) tahun dan paling lama 15 (lima belas) tahun dan pidana denda paling sedikit Rp10.000.000.000,00 (sepuluh miliar rupiah) dan paling banyak Rp200.000.000.000,00 (dua ratus miliar rupiah).
Pasal 60 tentang membuka rahasia bank tanpa izin, Setiap orang yang dengan sengaja tanpa membawa perintah tertulis atau izin dari Bank Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Pasal 42 dan Pasal 43 memaksa Bank Syariah, UUS, atau pihak terafiliasi untuk memberikan keterangan, dipidana dengan pidana penjara paling singkat 2 (dua) tahun dan paling lama 4 (empat) tahun dan pidana denda paling sedikit Rp10.000.000.000,00 (sepuluh miliar rupiah) dan paling banyak Rp200.000.000.000,00 (dua ratus miliar rupiah).
Kemudian, Anggota direksi, komisaris, pegawai Bank Syariah atau Bank Umum Konvensional yang memiliki UUS, atau Pihak Terafiliasi lainnya yang dengan sengaja memberikan keterangan yang wajib dirahasiakan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 41 dipidana dengan pidana penjara paling singkat 2 (dua) tahun dan paling lama 4 (empat) tahun dan pidana denda paling sedikit Rp4.000.000.000,00 (empat miliar rupiah) dan paling banyak Rp8.000.000.000,00 (delapan miliar rupiah).
Pasal 61 tentang kewajiban memberikan keterangan dengan izin, Anggota dewan komisaris, direksi, atau pegawai Bank Syariah atau Bank Umum Konvensional yang memiliki UUS yang dengan sengaja tidak memberikan keterangan yang wajib dipenuhi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 44, Pasal 47, dan Pasal 48 dipidana dengan pidana penjara paling singkat 2 (dua) tahun dan paling lama 7 (tujuh) tahun dan pidana denda paling sedikit Rp4.000.000.000,00 (empat miliar rupiah) dan paling banyak Rp15.000.000.000,00 (lima belas miliar rupiah).
Pasal 62 tentang prinsip kehati-hatian, apabila Anggota dewan komisaris, direksi, atau pegawai Bank Syariah atau Bank Umum Konvensional yang memiliki UUS yang dengan sengaja maka, tidak memberikan keterangan atau tidak melaksanakan perintah yang wajib dipenuhi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 52 dipidana dengan pidana penjara paling singkat 2 (dua) tahun dan paling lama 10 (sepuluh) tahun dan pidana denda paling sedikit
Rp5.000.000.000,00 (lima miliar rupiah) dan paling banyak Rp100.000.000.000,00 (seratus miliar rupiah).
Selain itu, Anggota dewan komisaris, direksi, atau pegawai Bank Syariah atau Bank Umum Konvensional yang memiliki UUS yang lalai tidak memberikan keterangan atau tidak melaksanakan perintah yang wajib dipenuhi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 52 dipidana dengan pidana kurungan paling singkat 1 (satu) tahun dan paling lama 2 (dua) tahun dan pidana denda paling sedikit Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah) dan paling banyak Rp2.000.000.000,00 (dua miliar rupiah).
Pasal 63 tentang pemalsuan dokumen, korupsi, dan tidak mematuhi UU, Anggota dewan komisaris, direksi, atau pegawai Bank Syariah atau Bank Umum Konvensional yang memiliki UUS yang dengan sengaja mengubah, mengaburkan, menyembunyikan, menghapus, atau menghilangkan adanya suatu pencatatan dalam pembukuan atau dalam laporan, dokumen atau laporan kegiatan usaha, dan/atau laporan transaksi atau rekening suatu Bank Syariah atau UUS, atau dengan sengaja mengubah, mengaburkan, menghilangkan, menyembunyikan, atau merusak catatan pembukuan tersebut dipidana dengan pidana penjara paling singkat 5 (lima) tahun dan paling lama 15 (lima belas) tahun dan pidana denda paling sedikit Rp10.000.000.000,00 (sepuluh miliar rupiah) dan paling banyak Rp200.000.000.000,00 (dua ratus miliar rupiah).
Kemudian jika tidak melaksanakan langkah-langkah yang diperlukan untuk memastikan ketaatan Bank Syariah atau UUS terhadap ketentuan dalam Undang-undang ini dipidana dengan pidana penjara paling singkat 3 (tiga) tahun dan paling lama 8 (delapan) tahun dan pidana denda paling sedikit Rp5.000.000.000,00 (lima miliar rupiah) dan paling banyak Rp100.000.000.000,00 (seratus miliar rupiah).
Pasal 64 tentang pihak terafiliasi yang tidak menaati UU perbankan syariah, Pihak Terafiliasi yang dengan sengaja tidak melaksanakan langkah-langkah yang diperlukan untuk memastikan ketaatan Bank Syariah atau Bank Umum Konvensional yang memiliki UUS terhadap ketentuan dalam Undang-Undang ini dipidana dengan pidana penjara paling singkat (tiga) tahun dan paling lama 8 (delapan) tahun dan pidana denda paling sedikit Rp5.000.000.000,00 (lima miliar rupiah) dan paling banyak Rp100.000.000.000,00 (seratus miliar rupiah).
Pasal 65 tentang pemegang saham yang menjadi provoker pelanggaran UU, Pemegang saham yang dengan sengaja menyuruh anggota dewan komisaris, direksi, atau pegawai Bank Syariah atau Bank Umum Konvensional yang memiliki UUS untuk melakukan atau tidak melakukan tindakan yang mengakibatkan Bank Syariah atau UUS tidak melaksanakan langkahlangkah yang diperlukan untuk memastikan ketaatan Bank Syariah atau UUS terhadap ketentuan dalam Undang-Undang ini dipidana dengan pidana penjara paling singkat 7 (tujuh) tahun dan paling lama 15 (lima belas) tahun dan pidana denda paling sedikit Rp10.000.000.000,00 (sepuluh miliar rupiah) dan paling banyak Rp200.000.000.000,00 (dua ratus miliar rupiah).
Pasal 66 tentang direksi dan pegawai yang merugikan bank sayriah, menghalangi pemeriksaan, dan lalai dalam mematuhi UU perbankan syariah, Anggota direksi atau pegawai Bank Syariah atau Bank Umum Konvensional yang memiliki UUS yang dengan sengaja tidak melakukan langkah-langkah yang diperlukan untuk memastikan ketaatan Bank Syariah
atau UUS terhadap ketentuan Batas Maksimum Pemberian Penyaluran Dana sebagaimana ditentukan dalam Undang-Undang ini dan/atau ketentuan yang berlaku dipidana dengan pidana penjara paling singkat 1 (satu) tahun dan paling lama 5 (lima) tahun dan pidana denda paling sedikit Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah) dan paling banyak Rp2.000.000.000,00 (dua miliar rupiah).
Kemudian, Anggota direksi dan pegawai Bank Syariah atau Bank Umum Konvensional yang memiliki UUS yang dengan sengaja melakukan penyalahgunaan dana Nasabah, Bank Syariah atau UUS dipidana dengan pidana penjara paling singkat 2 (dua) tahun dan paling lama 8 (delapan) tahun dan pidana denda paling sedikit Rp2.000.000.000,00 (dua miliar rupiah) dan paling banyak Rp4.000.000.000,00 (empat miliar rupiah).
BAB III
PENUTUP
KESIMPULAN
Penyelesaian sengketa antara nasabah dan perbankan syariah diatur dalam Peraturan Bank Indoneia nomor 9/19/PBI/2007 pada pasal 4. Menyatakan bahwa penyelesaian sengketa antara bank dan nasabah dapat dilakukan melalui musyawarah, kemudian jika tidak dapat terpenuhi maka diselesaikan melalui mediasi. Terakhir, jika melalui mediasi juga belum selesai maka diselesaikan melalui aebitrase syariah atau melalui lembaga peradilan bedasarkan peraturan perundang-undang yang berlaku. Kemudian tentang sanksi administratif dan sanksi pidana pun telah diatu dalam UU Perbankan Syariah.
DAFTAR PUSTAKA
Hasan, Zubairi. Undang Undang Perbankan Syariah, Titik Temu Hokum Islam Dan Hokum Nasional. Jakarta: PT raja Grafindo persada.
Rosyadi, A. Rahmat. 2002. Arbitrase dalam prespektif Islam dan Hukum Positif. Bandung: Citra Aditya Bakti.
NJ. Coulson. 1991. a History of Islamic Law. Edinburg: University Press.
Sumitro, Warkum. 2004. Asas-asas perbankan Islam & Lembaga-lembaga terkait (BAMUI,Takaful dan Pasar Modal Syari'ah di Indonesia. Jakarta: Raja Grafindo Persada.
Sabiq, Sayyid. 1997. Fiqih Sunnah ( Terjemah jilid 13). Bandung: PT. Al-Ma'arif
Manan, Abdul. 2007. Beberapa masalah Hukum dalam Praktek Ekonomi Syari'ah, Makalah diklat Calon Hakim Angkatan ke-2 di Banten.
16
Zubairi Hasan, Undang Undang Perbankan Syariah, Titik Temu Hokum Islam Dan Hokum Nasional, (PT raja Grafindo persada, Jakarta), h. 225
A. Rahmat Rosyadi, Arbitrase dalam prespektif Islam dan Hukum Positif, (Bandung: Citra Aditya Bakti),2002, hal. 43.
NJ. Coulson, a History of Islamic Law, (Edinburg: University Press) ,1991, h.10
Warkum Sumitro, Asas-asas perbankan Islam & Lembaga-lembaga terkait (BAMUI,Takaful dan Pasar Modal Syari'ah di Indonesia), ( Jakarta: Raja Grafindo Persada), 2004, h.167
Sayyid Sabiq, Fiqih Sunnah ( Terjemah jilid 13), Bandung:PT. Al-Ma'arif), 1997, h. 189
Abdul Manan, Beberapa masalah Hukum dalam Praktek Ekonomi Syari'ah, Makalah diklat Calon Hakim Angkatan ke-2 di Banten, 2007, h. 8
Zubairi Hasan, Undang Undang Perbankan Syariah, Titik Temu Hokum Islam Dan Hokum Nasional, (PT raja Grafindo persada, Jakarta), h. 226
Zubairi Hasan, Undang Undang Perbankan Syariah, Titik Temu Hokum Islam Dan Hokum Nasional, (PT raja Grafindo persada, Jakarta), h. 228
Ibid.,h. 231