M. Yahya Harahap, Hukum Acara Perdata, Tentang Gugatan, Persidangan, Penyitaan, Pembuktian dan Putusan Pengadilan, Jakarta: Sinar Grafika, 2007 hal: 233-235
https://nuryantoadaim.wordpress.com/2016/04/07/alternative-penyelesaian-sengketa-aps-dan-arbitrasi-sebagai-pembaharuan-mekanisme-penyelesaian-sengketa-perdata/ diakses pada 26/05/2017
Mahmud Kusuma, Menyelami Semangat Hukum Progresif: Terapi Paradigmatik bagi Lemahnya Penegakan Hukum Indonesia, Yogyakarta; AntonyLyb-Indonesia bekerja sama dengan LSHP-Indonesia, 2009 hal: 153-154
http://www.negarahukum.com/hukum/alternatif-penyelesaian-sengketa.html diakses pada 25/05/2017
Ibid
Frans Hendra Winarta. Hukum Penyelesaian Sengketa. Jakarta: Sinar Grafika. 2012 hal 7-8
BAB I
PENDAHULUAN
Latar Belakang
Berdasarkan praktek peradilan dalam berbagai sistem hukum yang berlaku di seluruh dunia, terdapat 2 (dua) model penyelesaian sengketa atau perkara tentunya termasuk juga dalam administrasi yang secara substansi tidak jauh berbeda dengan sengketa Tata Usaha Negara, yaitu:
Litigasi, jalur penyelesaian perkara ini melalui prosedur pengadilan yang ditentukan menurut sistem hukum yang berlaku pada Negara tertentu.
Out Court / Non Litigasi, merupakan jalur penyelesaian perkara di luar pengadilan. Metode penyelesaian ini lebih pupuler disebut sebagai Alternative Dispute Resolution (ADR) atau di Indonesia lebih dikenal dengan istilah Alternatif Penyelesaian Sengketa (APS).
Dalam penyelesaian sengketa perdata lah dikenal dengan penyelesaian secara Non Ligitasi, yang dimaksudkan untuk mencari jalan tengah atau sering disebut dengan win win solution. Dengan tujuan agar sengketa segera terselesaikan dan tidak menghabiskan banyak biaya. Dengan kemudahan yang ditawarkan cara inilah kemudian banyak diambil oleh pihak-pihak yang bersangkutan untuk menuntaskan perkara mereka, namun tak jarang juga menemui titik buntu dari cara ini.
Beberapa yang sangat lazim digunakan yaitu Mediasi, Arbitrase, dan konsiliasi. Namun Frans Winarta dalam bukunya menambahinya dengan Konsultasi, Negosiasi, dan Penialaian Ahli, yang diuraikan dari pengertian masing-masing lembaga penyelesaian sengketa.
Rumusan Masalah
Pengertian dan dasar hukum Alternatif Penyelesaian Sengketa
Macam-macam Alternatif Penyelesaian Sengketa
BAB II
PEMBAHASAN
Pengertian dan dasar hukum Alternatif Penyelesaian Sengketa
Alternatif Penyelesaian Sengketa (alternative dispute resolution) pada hakikatnya merupakan penyelesaian sengketa di luar pengadilan yang dilakukan secara damai.
Undang-Undang Nomor 30. Tahun 1999, di samping mengatur tentang arbitrase, juga undang-undang ini menekankan kepada penyelesaian sengketa alternatif berbentuk mediasi dan pemakaian tenaga ahli, bahkan tidak menutup kemungkinan penyelesaian sengketa melalui alternatif-alternatif lain.
Pengertian Alternative Dispute Resolution (ADR) di sini adalah lembaga penyelesaian sengketa atau beda pendapat melalui prosedur yang disepakati para pihak, yakni penyelesaian di luar pengadilan dengan cara konsultasi, negosiasi, mediasi, konsiliasi, atau penilaian ahli.
Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 telah menyediakan beberapa pranata pilihan penyelesaian sengketa secara damai yang dapat ditempuh para pihak untuk menyelesaikan sengketa perdata mereka, apakah mendayagunakan pranata negosiasi, konsiliasi, mediasi, atau penilaian ahli. Pilihan yang dapat diselesaikan oleh para pihak melalui pilihan penyelesaian sengketa hanyalah sengketa di bidang perdata saja.
Penyelesaian dalam bentuk perdamaian ini hanya akan mencapai tujuan dan sasarannya bila didasarkan pada itikad baik di antara pihak yang bersengketa dengan mengesampingkan penyelesaian secara litigasi di Pengadilan Negeri.
Dalam beberapa aspek proses penyelesaian ini dapat menimbulkan hal positif, berupa :
Mengurangi kemacetan di pengadilan
Meningkatkan keterlibatan masyarakat dalam proses penyelesaian sengketa
Memperlancar jalur memperoleh keadilan
Memperoleh penyelesaian sengketa secara win-win solution
Dari beberapa pencapaian keberhasilan alternative ini dapat diindikasikan beberapa cirri yang memang terdapat didalamnya, yaitu :
Sifat kesukarelaan dalam proses
Prosedur yang cepat
Keputusan non judicial (tidak menghukum)
Sifat rahasia (privatisasi sengketa)
Fleksibilitas dalam merancang syarat-syarat penyelesaian sengketa
Hemat waktu dan biaya
Perlindungan dan pemulihan hubungan yang ada
Kemudahan untuk melaksanakan hasil penyelesaian
Lebih mudah memperkirakan hasil
Di Indonesia khususnya APS sendiri wewenangnya diatur didalam beberapa kelembagaan :
Lembaga Perdamaian (dading) dalam penyelesaian sengketa perdata di pengadilan (vide : Pasal 130 HIR)
Lembaga Perantara dalam Penyelesaian Perselisihan Perburuhan/P4 (UU No.22 Tahun 1957)
Lembaga Badan Penasehat Perkawinan, Perselisihan, dan Perceraian (BP4)
Lembaga Penyelesaian Sengketa Lingkungan di Luar Pengadilan (vide: Pasal 31-33 UU No.23/1997 tentang pengelolaan lingkungan Hidup)
UU No.30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa.
Penyelesaian sengketa secara ligitasi sendiri dinilai oleh banyak ahli memiliki kelemahan yang kompleks. Diantaranya :
Penyelesaian sengketa lambat
Biaya perkara mahal
Peradilan tidak tanggap (unresponsive)
Putusan pengadilan tidak menyelesaikan masalah
Putusan pengadilan membingungkan
Putusan pengadilan tidak memberi kepastian hukum
Kemampuan para hakim bercorak generalis (umum)
Macam-macam Alternatif Penyelesaian Sengketa
Mediasi
Pengetian Mediasi menurut Christopher W. Moore, pada dasarnya Negosiasi ialah mengikut sertakan pihak ketiga yang ahli dalam cara-cara negosiasi yang efektif dan dapat membantu para pihak dalam sengketa dengan mengkoordinasikan proses diselenggarakannya kegiatan-kegiatan penyelesaian sengketa dan agar lebih efektif dalam bernegosiasi.
Adapun mekanisme proses penyelesaian perkara melalui Mediasi dapat berjalan dengan baik, bila diselenggarakan memenuhi dan sesuai dengan syarat-syarat sebagai berikut:
Para pihak mempunyai kekuatan tawar menawar yang sebanding
Para pihak menaruh perhatian terhadap hubungan di masa depan
Terdapat banyak persoalan yang memungkinkan terjadinya pertukaran
Terdapat urgensi dan batas waktu untuk menyelesaikan
Para pihak tidak mempunyai permusuhan yang berlangsung lama dan mendalam
Apabila para pihak mempunyai pendukung dan atau pengikut; mereka tidak dapat dikendalikan
Menetapkan preseden atau mempertahankan suatu hak tidak lebih penting disbanding menyelesaikan persoalan yang mendesak
Jika para pihak berada pada proses litigasi, kepentingan-kepentingan pelaku lainnya, seperti para Pengacara dan penjamin tidak akan diperlakukan dengan lebih baik disbandingkan dengan mediasi.
Konsiliasi
Konsiliasi Ialah satu budaya hukum yang erat dengan semangat kekeluargaan dan budaya patrimonialisme, sebagaimana yang dikatankan oleh Weber, di Negara Indonesia adalah penyelesaian sengketa secara kekeluargaan (musyawarah) atau konsiliasi. Daniel S. Lev mengatakan bahwa sebagian besar penduduk Indonesia, tidak termasuk yang tinggal di perkotaan, penduduk yang sekuler, serta mencakup masyarakat yang perekonomiannya tidak kompleks lebih menekankan pada cara-cara penyelesaian sengketa dengan cara kekeluargaan (musyawarah).
Hal ini sesuai dengan pola interaksi sosial yang dikembangkan seperti tenggang rasa, solidaritas serta menghindari perselisihan. Hal ini tentunya dengan beberapa perkecualian seperti masyarakat perkotaan dan dalam batas-batas tertentu juga meliputi suku Batak. Pada umumnya penyelesaian sengketa dengan cara kekeluargaan (musyawarah) menunjuk pada masyarakat Jawa yang kental dengan budaya komunal dan pola kepemimpinannya, tentunya dengan beberapa perkecualian.
Atau dalam beberapa istilah dapat diterjemahkan sebagai penyelesaian sengketa dengan intervensi pihak ketiga (konsiliator), dimana konsiliator bersifat lebih aktif, dengan mengambil inisiatif menyusun dan merumuskan langkah-langkah penyelesaian, yang selanjutnya ditawarkan dan diajukan kepada para pihak yang bersengketa. Konsiliator tidak berwenang membuat putusan, tetapi hanya berwenang membuat rekomendasi yang pelaksanaannya tergantung dari itikad baik para pihak yang bersengketa itu sendiri.
Arbitrase
Arbitrase dapat diidentifikasi defenisinya berdasarkan Pasal 1 UU Nomor 30 Tahun 1999, yakni suatu cara penyelesaian suatu sengketa perdata di luar peradilan umum yang didasarkan pada perjanjian arbitrase yang dibuat secara tertulis oleh para pihak yang bersengketa. Kemudian dalam Pasal 5 ayat 1 selanjutnya ditegaskan bahwa sengketa di bidang perdagangan dan mengenai hak yang menurut hukum dan peraturan perundang-undangan dikuasai sepenuhnya oleh pihak yang bersengketa.
Dengan demikian dalam sebuah arbitrase mesti ada kesepakatan tertulis dari para pihak untuk menyerahkan penyelesaian sengketa yang akan ataupun sudah terjadi, kepada seorang atau beberapa orang pihak ketiga di luar pengadilan umum untuk mendapatkan putusan. Dengan adanya kesepkatan tertulis tersebut, menekankan bahwa para pihak melepaskan haknya untuk menyelesaikan sengketanya di pengadilan. Beberapa hal yang harus diperhatikan dalam putusan arbitrase adalah:
Penyelsian sengketa yang bisa diselesaiakan adalah sengkea yang menyangkut hak pribadi yang dapat dikuasai sepenuhnya.
Putusan yang dihasilkan oleh arbitrase merupakan putusan akhir dan mengikat (final and binding) para pihak yang bersengketa.
Ada beberapa alasan sehingga dalam kalangan dunia bisnis Arbitrase lebih dominan digunakan karena dilatarbelakangi oleh beberapa faktor, antara lain:
adaya ketidakpercayaan terhadap pengadilan
proses arbitrase yang relatif lebih cepat
pelaksanaannya yang menjunjung tinggi asas konfidensialitas (kerahasiaan),
para pihak bebas memilih arbiter dengan pertimbangan keahlian,
para pihak bebas memilih hukum yang akan dipakai dalam proses arbitrase dan putusan yang dihasilkannya bersifat final and binding.
Secara garis besar Arbitrase terbagi atas dua macam, yaitu arbitrase Adhoc dan arbitrase Institusional. Arbitrase Adhoc adalah arbitrase yang didasarkan pada perjanjian arbitrase yang disebut setelah sengketa terjadi (Akta kompromis) dimana arbiter yang dipilih adalah bukan arbiter yang berasal dari suatau institusi arbitrase yang ada. Sedangkan arbitrase Institusional adalah arbitrase yang sudah permanen dan memiliki prosedur baku dalam penyelesaian sengketa seperti BAN, ICSID, dan Arbitration of ICC.
Konsultasi
Konsultasi adalah suatu tindakan yang bersifat personal antara satu pihak terstentu yang disebut klien dengan pihak lain yang disebut konsultan, yang memberikan pendapatnya kepada klien tersebut untuk memenuhi keperluannya. Klien tidak terikat atau berkewajiban untuk memenuhi pendapat konsultan.
Negosiasi
Negosiasi adalah bentuk penyelesaian sengketa antara para pihak sendiri, tanpa bantuan dari pihak lain dengan cara bermusyawarah atau berunding untuk mencari pemecahan yang dianggap adil oleh para pihak. Hasil dari negosiasi berupa penyelesaian secara kompromi, tidak mengikat secara hukum.
BAB III
PENUTUP
Kesimpulan
Alternatif Penyelesaian Sengketa (alternative dispute resolution) atau biasa diakronimkan dengan APS pada hakikatnya merupakan penyelesaian sengketa di luar pengadilan yang dilakukan secara damai.
Berdasarkan UU No. 30 Tahun 1999 tentang ADR dan Arbitrase dapat dibagi beberapa model.
pada dasarnya Negosiasi ialah turut mengikut sertakan pihak ketiga yang ahli dalam cara-cara negosiasi yang efektif dan dapat membantu para pihak dalam sengketa dengan mengkoordinasikan proses diselenggarakannya kegiatan-kegiatan penyelesaian sengketa dan agar lebih efektif dalam bernegosiasi.
Konsiliasi merupakan penyelesaian sengketa dengan intervensi pihak ketiga (konsiliator).
Arbitrase merupakan suatu cara penyelesaian suatu sengketa perdata di luar peradilan umum yang didasarkan pada perjanjian arbitrase yang dibuat secara tertulis oleh para pihak yang bersengketa.
Konsultasi adalah suatu tindakan yang bersifat personal antara satu pihak terstentu yang disebut klien dengan pihak lain yang disebut konsultan.
Negosiasi adalah bentuk penyelesaian sengketa antara para pihak sendiri.
Daftar Pustaka
Harahap, M. Yahya, 2007. Hukum Acara Perdata, Tentang Gugatan, Persidangan, Penyitaan, Pembuktian dan Putusan Pengadilan, Jakarta: Sinar Grafika.
Kusuma, Mahmud, 2009. Menyelami Semangat Hukum Progresif: Terapi Paradigmatik bagi Lemahnya Penegakan Hukum Indonesia, Yogyakarta; AntonyLyb-Indonesia bekerja sama dengan LSHP- Indonesia.
Winarta, Frans Hendra. 2012. Hukum Penyelesaian Sengketa. Jakarta: Sinar Grafika.
https://nuryantoadaim.wordpress.com/2016/04/07/alternative-penyelesaian-sengketa-aps-dan-arbitrasi-sebagai-pembaharuan-mekanisme-penyelesaian-sengketa-perdata/
http://www.negarahukum.com/hukum/alternatif-penyelesaian-sengketa.html
6
http://muhammadjokostainpo.blogspot.co.id/2017/06/alternatif-penyelesaian-sengketa-negara.html