PAK dalam Perjanjian Lama LATAR BELAKANG PL: BANGSA, AGAMA DAN BUDAYA YAHUDI
A. Bangsa Yahudi Bangsa yang penuh misteri, kecil tapi kuat, sedikit tapi menyebar ke seluruh dunia, menyebar tapi kemurniannya terjaga, kadang tidak bertanah air dan tak punya raja, tapi selalu menonjol dan memberi pengaruh kuat kepada dunia. Dianiaya, tapi bertahan bahkan berkelimpahan. Bangsa yang memiliki identitas yang kuat. B. Agama Yahudi Penganut agama Yudaisme yang mementingkan ketaatan kepada Hukum Agama agar dijalankan dengan penuh ketekunan. Kemurnian pengajarannya dijaga dari generasi ke generasi berikutnya untuk memberi dasar yang teguh bagi setiap tingkah laku dan tindakan. Hukum agama sering diaplikasikan secara harafiah. C. Budaya Yahudi Yang paling mengesankan dalam budaya Yahudi adalah perhatiannya pada pendidikan. Pendidikan menjadi bagian yang paling utama dan terpenting dalam budaya Yahudi. Semua bidang budaya diarahkan untuk menjadi tempat dimana mereka mendidik generasi muda, yang kelak akan memberi pengaruh yang besar. Obyek utama dalam pendidikan mereka adalah mempelajari Hukum Taurat. PRINSIP PENDIDIKAN DALAM PERJANJIAN LAMA
A. Prinsip-pri Prinsip-prinsip nsip yang yang Dipegang Dipegang oleh Bangsa Bangsa Yahudi Yahudi 1. Seluruh kebenaran adalah kebenaran Allah. Kej. 1:1 -- Segala sesuatu telah dijadikan oleh Allah dengan tujuan supaya manusia mengenal Allah dan berhubungan dengan-Nya. Cara Allah menyatakan diri adalah dengan: - Wa Wahy hyu u : Supaya orang menyadari dan mengakui keberadaan keberadaan Allah Umum melalui alam, sejarah, hati nurani manusia. - Wa Wahy hyu u : Supaya Supaya manusia menerima menerima keselamatan keselamatan dari Allah. Allah Khusus berinkarnasi menjadi manusia dalam diri Yesus Kristus. 2. Menurut Menurut konsep konsep Yahudi Yahudi tidak tidak ada ada perbedaan perbedaan nilai nilai antara antara duniawi duniawi dan rohani, semuanya ada dalam wilayah Tuhan. Itu sebabnya orang Yahudi percaya bahwa "seluruh hidup adalah suci". 3. Pendidikan berpusatkan pada Allah. Fokus utama dalam pendidikan Yahudi adalah: Yehova (Hab. ( Hab. 2:10 -kegagalan campur tangan Allah adalah kegagalan bangsa.) Bagi anak Yahudi tidak ada buku lain yang memiliki keharusan untuk dipelajari selain Alkitab (Taurat) untuk menjadi pegangan dan pelajaran tentang Allah dan karya-Nya 4. Pendidikan adalah kegiatan utama dan diintegrasikan dalam kehidupan sehari-hari. Dalam Kitab Talmud dikatakan kalau ingin menghancurkan bangsa Yahudi, kita harus membinasakan guru-gurunya. Bangsa Yahudi adalah bangsa pertama yang memiliki sistem pendidikan Nasional (Ula. ( Ula. 6:4-9) 6:4-9) Pendidikan mereka tidak hanya secara teori, tetapi menjadi kegiatan sehari-hari dalam cara hidup dan keagamaannya. Contoh: Kitab Imamat yang mengajarkan semua tata cara hidup dan beragama.
B. Tempat Pendidikan Anak Bangsa Yahudi Pendidikan anak Yahudi bermula di rumah. Berpangkal dari peranan seorang ibu Yahudi. Tugas kewajiban ibu adalah untuk menjaga kelangsungan hidup rumah tangga yang juga terkait erat dengan tugas rohani mendidik anak-anaknya, khususnya ketika masih balita. Jauh- jauh hari sebelum anak berhubungan dengan dunia luar, anak terlebih dahulu mendapat pendidikan dari ibunya sehingga sesudah menginjak usia remaja/pemuda ia sudah mempunyai dasar yang benar. Contoh: Melalui cerita-cerita sejarah bangsa dan hari-hari peringatan/besar. PRINSIP PENDIDIKAN MENURUT ULANGAN 6:4-9
Ulangan 6:4-9 menjadi pusat pengajaran pendidikan agama Kristen. Kitab-kitab lain yang membahas tentang pendidikan bersumber dari kitab Ulangan ini.
1. Ayat 4 ("Dengarlah, hai orang Israel: Tuhan itu Allah kita, Tuhan itu Esa!") Ayat ini disebut "Shema" atau pengakuan iman orang Yahudi (agama Yudaisme) yang artinya "Dengarlah". Yesus menyebut ayat ini sebagai hukum yang pertama - prinsip iman dan ketaatan. Memberikan konsep Allah yang paling akurat, jelas dan pendek Tuhan adalah unik, lain dengan yang lain. Dia Allah yang hidup, yang benar dan yang sempurna. Tidak ada Allah yang lain, hanya satu Allah saja. Ayat 4 ini bersamaan dengan ayat 5 diucapkan sedikitnya dua kali sehari oleh orang Yahudi dewasa laki-laki. Ayat ini diucapkan bersamaan dengan Ula. 11:13-21 dan Bil. 15:37-41. 2. Ayat 5 ("Kasihilah Tuhan Allahmu, dengan segenap hatimu dan dengan segenap jiwamu dan dengan segenap kekuatanmu.") Kasih harus menjadi motif setiap hubungan manusia dengan Tuhan. Kasih disebutkan pertama karena disanalah terletak pikiran, emosi, dan kehendak manusia. Tugas yang Tuhan berikan untuk manusia lakukan adalah kasihilah Allah Tuhanmu. Musa mengajarkan Israel untuk takut, tapi kasih lebih dalam dari takut. Mengasihi Tuhan artinya memilih Dia untuk suatu hubungan intim dan o dengan senang hati menaati perintah-perintah-Nya. Mengasihi dengan hati yang tulus, bukan hanya di mulut tapi juga dalam o tindakan. Mengasihi dengan seluruh kekuatan, memiliki semuanya. o Mengasihi dengan kasih yang terbaik, tidak ada yang melebihi kasih kita o kepada Dia, sehingga kita takluk kepada Dia. Mengasihi dengan seluruh akal budi/pengertian, karena kita kenal Dia maka o kita mengasihi dan mentaati perintah-Nya. 3. Ayat 6 ("Apa yang Kuperintahkan kepadamu hari ini haruslah engkau perhatikan.") Perintah Tuhan bukanlah untuk didengar dengan telinga saja, tapi juga dengan hati yang taat. Sebelum bertindak pikirkanlah lebih dahulu perintah Tuhan, maka hidupmu akan selamat. 4. Ayat 7 ("Harusla ("Haruslah h engkau mengaj mengajarka arkan n berulang-u berulang-ulang lang "kepada "kepada anakmu" anakmu" membicarakannya membicarakannya apabila engkau duduk di rumahmu, apabila engkau sedang dalam perjalanan, apabila engkau bangun.")
Mereka yang mengasihi Allah, mengasihi Firman-Nya dan melakukannya dengan meditasi, bertanggung jawab untuk merenungkannya dan menyimpannya dalam hati untuk diterapkan dalam kehidupan sehari-hari. Orangtua mempunyai tugas
B. Tempat Pendidikan Anak Bangsa Yahudi Pendidikan anak Yahudi bermula di rumah. Berpangkal dari peranan seorang ibu Yahudi. Tugas kewajiban ibu adalah untuk menjaga kelangsungan hidup rumah tangga yang juga terkait erat dengan tugas rohani mendidik anak-anaknya, khususnya ketika masih balita. Jauh- jauh hari sebelum anak berhubungan dengan dunia luar, anak terlebih dahulu mendapat pendidikan dari ibunya sehingga sesudah menginjak usia remaja/pemuda ia sudah mempunyai dasar yang benar. Contoh: Melalui cerita-cerita sejarah bangsa dan hari-hari peringatan/besar. PRINSIP PENDIDIKAN MENURUT ULANGAN 6:4-9
Ulangan 6:4-9 menjadi pusat pengajaran pendidikan agama Kristen. Kitab-kitab lain yang membahas tentang pendidikan bersumber dari kitab Ulangan ini.
1. Ayat 4 ("Dengarlah, hai orang Israel: Tuhan itu Allah kita, Tuhan itu Esa!") Ayat ini disebut "Shema" atau pengakuan iman orang Yahudi (agama Yudaisme) yang artinya "Dengarlah". Yesus menyebut ayat ini sebagai hukum yang pertama - prinsip iman dan ketaatan. Memberikan konsep Allah yang paling akurat, jelas dan pendek Tuhan adalah unik, lain dengan yang lain. Dia Allah yang hidup, yang benar dan yang sempurna. Tidak ada Allah yang lain, hanya satu Allah saja. Ayat 4 ini bersamaan dengan ayat 5 diucapkan sedikitnya dua kali sehari oleh orang Yahudi dewasa laki-laki. Ayat ini diucapkan bersamaan dengan Ula. 11:13-21 dan Bil. 15:37-41. 2. Ayat 5 ("Kasihilah Tuhan Allahmu, dengan segenap hatimu dan dengan segenap jiwamu dan dengan segenap kekuatanmu.") Kasih harus menjadi motif setiap hubungan manusia dengan Tuhan. Kasih disebutkan pertama karena disanalah terletak pikiran, emosi, dan kehendak manusia. Tugas yang Tuhan berikan untuk manusia lakukan adalah kasihilah Allah Tuhanmu. Musa mengajarkan Israel untuk takut, tapi kasih lebih dalam dari takut. Mengasihi Tuhan artinya memilih Dia untuk suatu hubungan intim dan o dengan senang hati menaati perintah-perintah-Nya. Mengasihi dengan hati yang tulus, bukan hanya di mulut tapi juga dalam o tindakan. Mengasihi dengan seluruh kekuatan, memiliki semuanya. o Mengasihi dengan kasih yang terbaik, tidak ada yang melebihi kasih kita o kepada Dia, sehingga kita takluk kepada Dia. Mengasihi dengan seluruh akal budi/pengertian, karena kita kenal Dia maka o kita mengasihi dan mentaati perintah-Nya. 3. Ayat 6 ("Apa yang Kuperintahkan kepadamu hari ini haruslah engkau perhatikan.") Perintah Tuhan bukanlah untuk didengar dengan telinga saja, tapi juga dengan hati yang taat. Sebelum bertindak pikirkanlah lebih dahulu perintah Tuhan, maka hidupmu akan selamat. 4. Ayat 7 ("Harusla ("Haruslah h engkau mengaj mengajarka arkan n berulang-u berulang-ulang lang "kepada "kepada anakmu" anakmu" membicarakannya membicarakannya apabila engkau duduk di rumahmu, apabila engkau sedang dalam perjalanan, apabila engkau bangun.")
Mereka yang mengasihi Allah, mengasihi Firman-Nya dan melakukannya dengan meditasi, bertanggung jawab untuk merenungkannya dan menyimpannya dalam hati untuk diterapkan dalam kehidupan sehari-hari. Orangtua mempunyai tugas
untuk mengajarkan Firman-Nya kepada anak-anak dengan didikan dan harus dimulai sejak dini dan berulang-ulang. Ayat 7 ini dipakai sebagai fondasi kurikulum pendidikan Kristen. 5. Ayat 8-9 8-9 ("Haruslah ("Haruslah juga juga engkau engkau mengikat mengikatkann kannya ya sebagai sebagai tanda tanda pada tanganmu dan haruslah itu menjadi lambang dahimu, dan haruslah engkau menuliskannya pada tiang pintu rumahmu dan pada pintu gerbangmu.")
Tulisan hukum-hukum belum menjadi milik umum, namun demikian, Allah menghendaki mereka melakukannya, supaya mereka terbiasa bergaul dengan hukum Allah. Orang Yahudi mengerti perintah ini dan melakukannya secara harafiah. Mereka mengenal 3 tanda-tanda untuk mengingat hukum Allah: a. Zizt Zizth h : Dip Dipakai akai/d /dip ipas asan ang g pada ada uju ujun ng jub jubah Iman Iman (Bil. 15:37-41) 15:37-41) b. Mezn ezna : Kotak kec keciil ya yang be beris risi Ul 6:4-9 diletakkan di sebelah kanan pintu c. Tephillin Tephillin : Dua kotak kotak kecil berbentuk berbentuk kubus kubus masing-masi masing-masing ng dari dari kertas kertas perkamen yang ditulis dengan tangan secara khusus berisi 4 ayat yaitu, Keluaran 13:1-10, 13:1-10, Keluaran 13:11-16, 13:11-16, Ulangan 6:4-9, 6:4-9, dan Ulangan 11:18-21. 11:18-21. Satu diikatkan di tangan kiri dan satu di dahi. Tanda-tanda ini dipakai pada saat sembahyang di luar hari Sabat. Tanda-tanda ini sangat indah sebagai peringatan akan kehadiran Allah di rumah dan akhirnya dipraktekkan untuk mengusir setan. Tanda-tanda simbolik ini dibuat supaya penekanan pemahaman ayat itu menjadi nyata sehingga pengajaran itu akan berlangsung terus- menerus. Sumber: Silabus PAK Anak, Dra. Yulia Oeniyati, Th.M., http://www.sabda.org/pepak/pustaka/050836/ .
PERJANJIAN LAMA DALAM PAK Menjadi sebuah hal yang menarik adalah ketika muncul sebuah pertanyaan, seberapa pentingkah Perjanjian Lama dalam ruang lingkup Pendidikan Agama Kristen (PAK)? Mungkin pertanyaan ini kita anggap sambil lalu, atau tidak terlalu penting, atau memang kita belum mengetahuinya. Mungkin ada yang mengatakan bahwa Perjanjian Lama (PL) tidak terlalu penting karena PL sudah berlalu dan sudah digenapi oleh Perjanjian Baru (PB), atau PB telah menjelaskan tentang pendidikan kekristenan. Apabila kita mempelajari dengan baik, Yesus Kristus menggunakan PL dalam mengajar di pelayanan-Nya (Mat.5:21-22; 22:39)? Para murid Yesus juga menggunakan PL dalam pelayanan (pemberitaan Injil)? Ternyata PL menjadi hal penting dalam membangun konsep dan pelaksanaan PAK. Pada topik ini, saya tidak menggunakan kata “PAK dalam Perjanjian Lama”, tetapi saya lebih menggunakan kata “PL dalam PAK”. Ya, karena bukan PAK yang ada dalam Perjanjian Lama, tetapi Perjanjian Lama-lah yang ada dalam PAK. Dengan kata lain, hal yang hendak dimaksudkan adalah PL digunakan dalam membangun dan membentuk PAK. Tentunya hal ini dilandasi bahwa PAK lahir setelah PL, walaupun dalam perspektif
lain diungkapkan bahwa kekristenan sudah ada dalam PL. Michelle Anthony mengomentari pentingnya dasar Alkitab dalam pendidikan anak karena Allah berkehendak menyediakan petunjuk tentang bagaimana memperhatikan serta memelihara anak. Baik Perjanjian Lama maupun Perjanjian Baru memberikan penjelasan mengenai perhatian terhadap kebutuhan fisik, emosi maupun kerohanian anak. LATAR BELAKANG PL: BANGSA, AGAMA DAN BUDAYA YAHUDI
A. Bangsa Yahudi Bangsa yang penuh misteri, kecil tapi kuat, sedikit tapi menyebar ke seluruh dunia, menyebar tapi kemurniannya terjaga, kadang tidak bertanah air dan tak punya raja, tapi selalu menonjol dan memberi pengaruh kuat kepada dunia. Dianiaya, tapi bertahan bahkan berkelimpahan. Bangsa yang memiliki identitas yang kuat. B. Agama Yahudi Penganut agama Yudaisme yang mementingkan ketaatan kepada Hukum Agama agar dijalankan dengan penuh ketekunan. Kemurnian pengajarannya dijaga dari generasi ke generasi berikutnya untuk memberi dasar yang teguh bagi setiap tingkah laku dan tindakan. Hukum agama sering diaplikasikan secara harafiah. C. Budaya Yahudi Yang paling mengesankan dalam budaya Yahudi adalah perhatiannya pada pendidikan. Pendidikan menjadi bagian yang paling utama dan terpenting dalam budaya Yahudi. Semua bidang budaya diarahkan untuk menjadi tempat dimana mereka mendidik generasi muda, yang kelak akan memberi pengaruh yang besar. Obyek utama dalam pendidikan mereka adalah mempelajari Hukum Taurat. PRINSIP PENDIDIKAN DALAM PERJANJIAN LAMA
a. Prinsip-prinsip yang Dipegang oleh Bangsa Yahudi 1. Seluruh kebenaran adalah kebenaran Allah. Kej. 1:1 -- Segala sesuatu telah dijadikan oleh Allah dengan tujuan supaya manusia mengenal Allah dan berhubungan dengan-Nya. Cara Allah menyatakan diri adalah dengan: - Wahyu Umum: Supaya orang menyadari dan mengakui keberadaan Allah melalui alam, sejarah, hati nurani manusia. - Wahyu Khusus: Supaya manusia menerima keselamatan dari Allah. Allah berinkarnasi menjadi manusia dalam diri Yesus Kristus. 2. Menurut konsep Yahudi tidak ada perbedaan nilai antara duniawi dan rohani, semuanya ada dalam wilayah Tuhan. Itu sebabnya orang Yahudi percaya bahwa "seluruh hidup adalah suci". 3. Pendidikan berpusatkan pada Allah. Fokus utama dalam pendidikan Yahudi adalah: Yehova (Hab. 2:10 -- kegagalan campur tangan Allah adalah kegagalan bangsa.) Bagi anak Yahudi tidak ada buku lain yang memiliki keharusan untuk dipelajari selain Alkitab (Taurat) untuk menjadi pegangan dan pelajaran tentang Allah dan karya-Nya 4. Pendidikan adalah kegiatan utama dan diintegrasikan dalam kehidupan sehari-hari. Dalam Kitab Talmud dikatakan kalau ingin menghancurkan bangsa Yahudi, kita harus membinasakan guru-gurunya. Bangsa Yahudi adalah bangsa pertama yang memiliki sistem pendidikan Nasional (Ula. 6:4-9) Pendidikan mereka tidak hanya secara teori, tetapi menjadi kegiatan sehari-hari dalam cara hidup dan keagamaannya. Contoh: Kitab Imamat yang mengajarkan semua tata cara hidup dan beragama.
b. Tempat Pendidikan Anak Bangsa Yahudi Pendidikan anak Yahudi bermula di rumah. Berpangkal dari peranan seorang ibu Yahudi. Tugas kewajiban ibu adalah untuk menjaga kelangsungan hidup rumah tangga yang juga terkait erat dengan tugas rohani mendidik anak-anaknya, khususnya ketika masih balita. Jauh- jauh hari sebelum anak berhubungan dengan dunia luar, anak terlebih dahulu mendapat pendidikan dari ibunya sehingga sesudah menginjak usia remaja/pemuda ia sudah mempunyai dasar yang benar. Contoh: Melalui cerita-cerita sejarah bangsa dan hari-hari peringatan/besar. PRINSIP PENDIDIKAN MENURUT ULANGAN 6:4-9 Ulangan 6:4-9 menjadi pusat pengajaran pendidikan agama Kristen. Kitab-kitab lain yang membahas tentang pendidikan bersumber dari kitab Ulangan ini. 1. Ayat 4 ("Dengarlah, hai orang Israel: Tuhan itu Allah kita, Tuhan itu Esa!") Ayat ini disebut "Shema" atau pengakuan iman orang Yahudi (agama Yudaisme) yang artinya "Dengarlah". Yesus menyebut ayat ini sebagai hukum yang pertama -- prinsip iman dan ketaatan. Memberikan konsep Allah yang paling akurat, jelas dan pendek Tuhan adalah unik, lain dengan yang lain. Dia Allah yang hidup, yang benar dan yang sempurna. Tidak ada Allah yang lain, hanya satu Allah saja. Ayat 4 ini bersamaan dengan ayat 5 diucapkan sedikitnya dua kali sehari oleh orang Yahudi dewasa laki-laki. Ayat ini diucapkan bersamaan dengan Ula. 11:13-21 dan Bil. 15:37-41. 2. Ayat 5 ("Kasihilah Tuhan Allahmu, dengan segenap hatimu dan dengan segenap jiwamu dan dengan segenap kekuatanmu.") Kasih harus menjadi motif setiap hubungan manusia dengan Tuhan. Kasih disebutkan pertama karena disanalah terletak pikiran, emosi, dan kehendak manusia. Tugas yang Tuhan berikan untuk manusia lakukan adalah kasihilah Allah Tuhanmu. Musa mengajarkan Israel untuk takut, tapi kasih lebih dalam dari takut. o Mengasihi Tuhan artinya memilih Dia untuk suatu hubungan intim dan dengan senang hati menaati perintah-perintah-Nya. o Mengasihi dengan hati yang tulus, bukan hanya di mulut tapi juga dalam tindakan. o Mengasihi dengan seluruh kekuatan, memiliki semuanya. o Mengasihi dengan kasih yang terbaik, tidak ada yang melebihi kasih kita kepada Dia, sehingga kita takluk kepada Dia. o Mengasihi dengan seluruh akal budi/pengertian, karena kita kenal Dia maka kita mengasihi dan mentaati perintah-Nya. 3. Ayat 6 ("Apa yang Kuperintahkan kepadamu hari ini haruslah engkau perhatikan.") Perintah Tuhan bukanlah untuk didengar dengan telinga saja, tapi juga dengan hati yang taat. Sebelum bertindak pikirkanlah lebih dahulu perintah Tuhan, maka hidupmu akan selamat. 4. Ayat 7 ("Haruslah engkau mengajarkan berulang-ulang "kepada anakmu" membicarakannya apabila engkau duduk di rumahmu, apabila engkau sedang dalam perjalanan, apabila engkau bangun.") Mereka yang mengasihi Allah, mengasihi Firman-Nya dan melakukannya dengan meditasi, bertanggung jawab untuk merenungkannya dan menyimpannya dalam hati untuk ditera pkan dalam kehidupan sehari-hari. Orangtua mempunyai tugas untuk mengajarkan Firman-Nya kepada anak-anak dengan didikan dan harus dimulai sejak dini dan berulang-ulang. Ayat 7 ini dipakai sebagai fondasi kurikulum pendidikan Kristen. 5. Ayat 8-9 ("Haruslah juga engkau mengikatkannya sebagai tanda pada tanganmu dan haruslah itu menjadi lambang dahimu, dan haruslah engkau menuliskannya pada tiang pintu rumahmu dan pada pintu gerbangmu.") Tulisan hukum-hukum belum menjadi milik umum, namun demikian, Allah menghendaki mereka melakukannya, supaya mereka terbiasa bergaul dengan hukum Allah. Orang Yahudi
mengerti perintah ini dan melakukannya secara harafiah. Mereka mengenal 3 tanda-tanda untuk mengingat hukum Allah: a. Zizth: Dipakai/dipasang pada ujung jubah Iman (Bil. 15:37-41) b. Mezna: Kotak kecil yang berisi Ul 6:4-9 diletakkan di sebelah kanan pintu c. Tephillin: Dua kotak kecil berbentuk kubus masing-masing dari kertas perkamen yang ditulis dengan tangan secara khusus berisi 4 ayat yaitu, Keluaran 13:1-10, Keluaran 13:11-16, Ulangan 6:4-9, dan Ulangan 11:18-21. Satu diikatkan di tangan kiri dan satu di dahi. Tanda-tanda ini dipakai pada saat sembahyang di luar hari Sabat. Tanda-tanda ini sangat indah sebagai peringatan akan kehadiran Allah di rumah dan akhirnya dipraktekkan untuk mengusir setan. Tanda-tanda simbolik ini dibuat supaya penekanan pemahaman ayat itu menjadi nyata sehingga pengajaran itu akan berlangsung terus- menerus.
PENERAPAN PENDIDIKAN KRISTEN PERJANJIAN LAMA DALAM ERA MODERN
Bagi orang Israel, pendidikan -- khususnya pendidikan rohani -- merupakan bagian integral dari perjanjian antara Allah dengan umat-Nya. Ulangan 6:4 memuat "Shema", yaitu doa yang diucapkan dua kali sehari, setiap pagi dan petang dalam ibadah di sinagoge. Ayat ini amat penting karena merupakan pengakuan iman yang sangat tegas akan Tuhan (Yahweh) sebagai satu-satunya Allah yang layak disembah: "Dengarlah, hai orang Israel: TUHAN itu Allah kita, TUHAN itu esa!" (Ulangan 6:4) Pernyataan ini kemudian langsung dilanjutkan dengan perintah rangkap untuk mengasihi Tuhan dengan segenap hati, jiwa, dan kekuatan mereka (ayat 5), menaruh perintah itu dalam hati (ayat 6), mengajarkannya kepada anak-anak mereka secara berulang-ulang (ayat 7), mengikatkannya sebagai tanda pada tangan dan dahi (ayat 8), dan menuliskannya di pintu rumah dan gerbang (ayat 9). Orang Israel menafsirkan perintah-perintah tersebut secara harafiah dengan membuat "tali sembahyang" yang diikatkan di dahi atau lengan dan berisi empat naskah, salah satunya adalah Ulangan 6:4-9 di atas. Ketiga naskah lainnya diambil dari Keluaran 13:1-10, Keluaran 13:11-16, dan Ulangan 11:18-21. Di dalam keempat naskah tersebut, kewajiban untuk mengajarkan hukum dan pengetahuan tentang Allah kepada anak-anak mendapat penekanan yang besar. Hal ini menunjukkan besarnya hubungan antara pendidikan rohani dalam rumah tangga dengan ketaatan kepada Allah.
PENERAPAN PENDIDIKAN PERJANJIAN LAMA UNTUK ERA MODERN
Era modern mengubah cara pandang para pendidik Kristen dalam mendidik anak. Toleransi tinggi dan keleluasaan tidak terbatas cenderung menjadi gaya pendidikan saat ini. Sebenarnya justru dalam era modern sekarang, pendidik Kristen harus menerapkan beberapa prinsip dalam Perjanjian Lama yang lebih disiplin dalam hal pendidikan anak. 1. Tanggung jawab pendidikan Kristen pertama-tama dan terutama terletak pada orang tua, yaitu ayah dan ibu (Amsal 1:8). Banyak keluarga Kristen masa kini yang menyerahkan pendidikan rohani anak mereka sepenuhnya pada gereja atau sekolah minggu. Mereka beranggapan bahwa gereja atau sekolah minggu tentunya memiliki "staf profesional" yang lebih handal dalam menangani pendidikan rohani anak mereka. Namun, mereka lupa bahwa lama waktu perjumpaan antara anak mereka dengan pendeta, pastor, gembala, guru sekolah minggu, atau pembimbing rohani anak yang hanya beberapa jam dalam seminggu, yang tentunya terlalu singkat untuk mengajarkan betapa luas dan dalamnya pengetahuan tentang
Allah. Satu hal lain yang terpenting adalah Allah sendiri telah meletakkan tugas untuk merawat, mengasuh, dan mendidik anak-anak ke dalam tangan orang tua. Merekalah yang harus mempersiapkan anak-anak mereka agar hidup berkenan kepada Allah. Gereja dan sekolah minggu hanya membantu dalam proses pendidikan tersebut. 2. Tujuan utama pendidikan Kristen adalah untuk mengajar anak-anak takut akan Tuhan, hidup menurut jalan-Nya, mengasihi-Nya, dan melayani-Nya dengan segenap hati dan jiwa mereka (Ulangan 10:12). Berlainan dengan pendidikan oleh dunia yang bertujuan untuk menciptakan generasi muda yang penuh ambisi untuk sukses, mandiri, dan percaya pada kekuatan diri sendiri, pendidikan Kristen mendidik anak-anak untuk memiliki sikap mementingkan Tuhan di atas segala-galanya, taat pada Tuhan, dan bergantung pada kekuatan Tuhan untuk terus berkarya. Nilai-nilai yang penting dalam pendidikan Kristen adalah kasih, ketaatan, kerendahan hati, dan kesediaan untuk ditegur. 3. Orang tua yang baik mendidik anaknya dengan teguran dan hajaran dalam kasih (Amsal 6:23). Ada teori pendidikan modern yang menyarankan agar orang tua jangan pernah menyakiti anak-anak mereka, baik secara fisik maupun secara verbal, atau melalui kata-kata karena hal tersebut dapat menimbulkan kebencian dan dendam pada orang tua dalam diri anak-anak. Teori ini menganjurkan orang tua untuk membangun anak-anaknya hanya melalui pujian dan dorongan. Hal ini bertentangan dengan kebenaran Alkitab yang mengatakan bahwa teguran dan hajaran juga dapat mendidik anak sama efektifnya dengan pujian dan dorongan, selama semuanya dilakukan dalam kasih. 4. Pendidikan Kristen harus dilakukan secara terus-menerus melalui kata-kata, sikap, dan perbuatan (Ulangan 6:7). Kata bahasa Ibrani yang dipakai dalam ayat ini adalah "shinnantam", yang berasal dari akar kata "shanan" yang berarti mengasah atau menajamkan, biasanya pedang atau anak panah. Kata ini dipakai sebagai simbol untuk menggambarkan kegiatan yang dilakukan berulang-ulang seperti orang mengasah sesuatu dengan tujuan untuk menajamkannya. Orang tua tidak dapat hanya mengandalkan khotbah atau pelajaran Alkitab setiap hari Minggu untuk memberi "makanan rohani" bagi anak-anak mereka. Orang tua harus secara rutin dan dalam segala kesempatan menyampaikan kebenaran firman Tuhan kepada anak-anak mereka. Lebih jauh lagi, orang tua harus menjadi teladan yang baik bagi anak-anak mereka, bukan hanya melalui perkataan, tapi juga perbuatan. Tanggung jawab pendidikan Kristen memang bukan tugas yang mudah, baik bagi bangsa Israel pada zaman Perjanjian Lama maupun bagi kita pada zaman sekarang. Setiap zaman memiliki kesulitan dan pergumulan masing-masing, namun prinsip-prinsip dasar pendidikan Kristen yang Alkitabiah tetap bertahan di tengah berbagai teori pendidikan baru yang muncul. Jika orang Israel menafsirkan Keluaran 13:9 atau Ulangan 6:8 secara harafiah dengan mengikatkan tali sembahyang pada lengan dan dahi mereka, "Hal itu bagimu harus menjadi tanda pada tanganmu dan menjadi peringatan di dahimu, supaya hukum TUHAN ada di bibirmu;" (Keluaran 13:9a) maka saat ini kita yang sudah mengerti makna sesungguhnya dari perintah ini harus senantiasa merenungkannya dalam pemikiran kita, mengatakannya setiap hari, dan melakukannya dengan segenap kemampuan tangan kita.
IMPLEMENTASI: PENDIDIKAN YANG MEMBERDAYAKAN DAN MEMBEBASKAN
Pendidikan adalah pemberdayaan potensi yang dimiliki oleh pendidik dan orangtua untuk menemukan dan memberdayakan potensi yang dimiliki oleh peserta didik. Untuk itu, upayaupaya yang perlu dilaksanakan adalah: 1. Pemulihan para pendidik (orangtua dan guru). Hal ini diperlukan karena orangtua atau
guru yang melakukan kekerasan terhadap anak, kemungkinan besar ia pun mengalami kekerasan pada masa kanak-kanaknya. 2. Jangan mendisiplinkan didik pada saat sedang marah, sibuk, stress, tegang, atau bermasalah dengan hal-hal yang lain, karena dapat berakibat fatal bagi anak. 3. Orangtua dan guru harus menyadari bahwa mereka dipanggil oleh untuk melayani melalui perhatian, pengajaran dan keteladanan yang diberikan kepada anak. 4. Kerja sama dengan organisasi-organisasi non-gereja untuk membekali guru dan orangtua agar dapat melaksanakan tanggung jawabnya dengan baik. 5. Penginjilan dan pembimbingan rohani yang dilaksanakan oleh sekolah kepada murid dan guru. 6. Pelaksanaan peraturan. a. Peraturan yang dimiliki oleh sekolah harus dijelaskan kepada orangtua dan siswa ketika siswa baru memasuki sekolah. b. Disiplin dilaksanakan secara konsisten berdasarkan keteladanan dan peraturan yang jelas. c. Sanksi diberikan sesuai dengan tingkat pelanggaran, tingkat perkembangan anak secara psikologis, daya tahan fisik anak, kesanggupan anak untuk menerimanya, dan tujuan dari pemberian sanksi. d. Memperhatikan penampilan/cara berpakaian dan model pakaian yang digunaka sebagai seragam. 7. Proses belajar mengajar. a. Menumbuhkan niat belajar anak dengan cara memotivasi dan memberikan semangat kepada anak. b. Menjalin rasa simpati/empati dan saling pengertian untuk menumbuhkan kepedulian social, toleransi, dan saling menghargai antara guru dan murid serta antara murid dengan murid. c. Menciptakan suasana riang, tanpa ada tekanan. d. Memberikan motivasi untuk bangkit apabila anak mengalami kegagalan. e. Mengembangkan rasa saling memiliki untuk membentuk kebersamaan, kesatuan, kesepakatan, dan dukungan belajar. f. Menujukkan teladan yang baik.
Sumber:
a. Abd.Rahman Assegaf, Pendidikan Tanpa Kekerasan: Tipologi Kondisi, Kasus, dan Konsep, Yogyakarta: Tirta Wacana Yogya, 2004. b. Daniel Agung Kurniawan Budilaksono, Penerapan Pendidikan Kristen Perjanjian Lama dalam Era Modern, http:// pepak.sabda.org/pustaka/050919/?kata=perjanjian+lama. c. Michelle Anthony, Christian Education, 2001. d. Peniel Maiaweng, Pendidikan Anti Kekerasan: Perspektif Teologis-Padeigogi, www.oase online.org. e. Robert R. Boehlke, Sejarah Perkembangan Pikiran dan Praktek Pendidikan Agama Kristen dari Plato sampai Ig. Loyola, Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2005. f. Yulia Oeniyati, Silabus PAK Anak, http://www.sabda.org/pepak/pustaka/050836/. Diposkan oleh Bobby Kurnia Putrawan di 9/23/2009 09:50:00 PM Kirimkan Ini lewat Email BlogThis! Berbagi ke Twitter Berbagi ke Facebook Berbagi ke Google Buzz Reaksi:
luralisme Agama Musuh Agama Agama - Document Transcript 1. PLURALISME AGAMA MUSUH AGAMAAGAMA (Pandangan Katolik, Protestan, Hindu, dan Islam terhadap paham Pluralisme Agama) OLEH : DR. ADIAN HUSAINI (Ketua Dewan Da’wah Islamiyah Indonesia/ Doktor bidang Peradaban Islam dari International Islamic University Malaysia) Dewan Da’wah Islamiyah Indonesia 2010 h t t p : / / w w w . a d i a n h u s a i ni . co m 1 2. “Paham Sekularisme, Pluralisme (Agama) dan Liberalisme bertentangan d engan Islam dan haram bagi umat Islam untuk memeluknya.” (Fatwa MUI, 2005). ‘’Pluralisme adalah suatu tantangan sekaligus bahaya yang sangat serius bagi kekristenan.’’ (Pdt. Dr. Stevri Lumintang). ‘’Setiap kali orang Hindu mendukung Universalisme Radikal, dan secara b ombastik memproklamasikan bahwa “semua agama adalah sama”, dia melakukan i tu atas kerugian besar dari agama Hindu yang dia katakan dia cintai.” (Dr. Frank Gaetano Morales, cendekiawan Hindu). h t t p : / / w w w . a d i a n hu s a in i . co m 2 3. I. Pluralisme Agama : Definisi dan Penyebarannya Pluralisme Agama (Religious Pluralism) adalah istilah khusus dalam kajian agamaagama. Sebagai ‘terminologi khusus’, istilah ini tidak dapat dimaknai sembarangan, misalnya disamakan dengan makna istilah ‘toleransi’, ‘saling menghormati’ (mutual respect), dan sebagainya. Sebagai satu paham (isme), yang membahas cara pandang terhadap agamaagama yang ada, istilah ‘Pluralisme Agama’ telah menjadi pembahasan panjang di kalangan para ilmuwan dalam studi agamaagama (religious studies). Dan memang, meskipun ada sejumlah definisi yang bersifat sosiologis, tetapi yang menjadi perhatian utama para peneliti dan tokohtokoh agama adalah definisi Pluralisme yang meletakkan kebenaran agamaagama sebagai kebenaran relatif dan menempatkan agamaagama pada posisi ”setara”, apapun jenis agama itu. Bahkan, sebagian pemeluk Pluralisme mendukung paham sikretisasi agama. Pluralisme Agama yang dibahas dalam buku ini didasarkan pada satu asumsi bahwa semua agama adalah jalan yang samasama sah menuju Tuhan yang sama. Jadi, menurut penganut paham ini, semua agama adalah jalan yang berbedabeda menuju Tuhan yang sama. Atau, mereka menyatakan, bahwa agama adalah persepsi manusia yang relatif terhadap Tuhan yang mutlak, sehingga – karena kerelativanny a – maka setiap pemeluk agama tidak boleh mengklaim atau meyakini, bahwa agamanya l ebih benar atau lebih baik dari agama lain; atau mengklaim bahwa hanya agamanya sendiri yang benar. Bahkan, menurut Charles Kimball, salah satu ciri agama jahat (evil) adalah agama yang memiliki klaim kebenaran mutlak (absolute truth claim) atas agamanya se
ndiri. 1 Paham ini telah menyerbu semua agama. Klaimklaim kebenaran mutlak atas masingmasing agama diruntuhkan, karena berbagai sebab dan alasan. Di kalangan Yahudi, misalnya, muncul nama Moses Mendelsohn (17291786), yang menggugat kebenaran eksklusif agama Yahudi. Menurut ajaran agama Yahudi, kata Mendelsohn, seluruh penduduk bumi mempunyai hak yang sah atas keselamatan, dan sarana untuk mencapai keselamatan itu tersebar sama luas – bukan hanya melalui agama Yahudi seperti umat manusia itu sendiri. 2 Frans Rosenzweig, tokoh Yahudi lainnya, menyatakan, bahwa agama yang benar adalah Yahudi dan Kristen. Islam adalah suatu tiruan dari agama Kristen dan agama Yahudi. 3 1 Charles Kimball, When Religion Becomes Evil, (New York: HarperSanFrancisco, 2002). 2 Harold Coward, Pluralisme: Tantangan bagi Agamaagama, (Yogyakarta: Kanisius, 1989), hal. 17. 3 Ibid, hal. 2122. Pandangan Rosensweig ini jelas sangat aneh, sebab sejak awalnya, Yahudi menolak keras klaim Kristen bahwa Jesus adalah Juru Selamat. Karena itu, Yahudi m enolak klaim Kristen tentang kebenaran Perjanjian Baru. Dan bagi Kristen, kaum Yahudilah yang bertan ggung jawab atas terbunuhnya Yesus, sehingga hampir sepanjang sejarahnya, kaum Yahudi di Eropa menjadi ajang pembantaian kaum Kristen. Encyclopaedia Judaica memberikan porsi yang sangat besar (73 halaman) untuk pembahasan sejarah antiYahudi (yang mereka sebut antiSemitism) di masa itu. Encyclopaedia ini menulis: “Sejak Kekristenan lahir sebagai satu sekte Yahudi pembangkang, pandangan tertentu terhadap Judaisme dalam Kitab Perjanjian Baru harus dilihat dalam perspektif ini). Sikap antiYahudi bisa ditelusuri dalam New Testament. “Mengenai Injil mereka adalah seteru Allah oleh karena kamu, tetapi mengenai pilihan mereka adalah kekasih Allah oleh karena nenek moyang.” (Roma, 11:28). Di antara New Testament, Matius dan Yohanes dikenal paling ‘hostile’ terhadap Judaisme. Yahudi secara kolektif dianggap bertanggung jawab terhadap penyaliban Jesus. “Dan seluruh rakyat itu menjawab: “Biarlah darahNya h t t p : / / w w w . a d i a n h u s a i n i . c o m 3 4. Salah satu teolog Kristen yang terkenal sebagai pengusung paham ini, Ernst Troeltsch, mengemukakan tiga sikap populer terhadap agamaagama, yaitu (1) semua agama adalah relatif. (2) Semua agama, secara esensial adalah sama. (3) Semua agama memiliki asalusul psikologis yang umum. Yang dimaksud dengan “relatif”, ialah bahwa semua agama adalah relatif, terbatas, tidak sempurna, dan merupakan satu proses pencarian. Karena itu, kekristenan adalah agama terbaik untuk orang Kristen, Hindu adalah terbaik untuk orang Hindu. Motto kaum Pluralis ialah: “pada intinya, semua agama adalah sama, jalanjalan yang berbeda yang membawa ke tujuan yang sama. (Deep down, all religions are the same – different paths leading to the sam e goal).” 4 Dalam tradisi Kristen, dikenal ada tiga cara pendekatan atau cara pandang teologis terhadap agama lain. Pertama, eksklusivisme, yang memandang hanya orang orang yang mendengar dan menerima Bibel Kristen yang akan diselamatk an. Di luar itu tidak selamat. Kedua, inklusivisme, yang berpandangan, meskipun Kristen merupakan agama yang benar, tetapi keselamatan juga mungkin terdapat pada agama lain. Ketiga,
pluralisme, yang memandang semua agama adalah jalan yang samasama sah menuju inti dari realitas agama. Dalam pandangan Pluralisme Agama, tidak ada agama yang dipandang lebih superior dari agama lainnya. Semuanya dianggap sebagai jalan yang samasama sah menuju Tuhan (all the religious traditions of humanity are equall y valid paths to the same core of religious reality. In pluralism, no one religion is s uperior to any other; the many religions are considered equally valid ways to know God). 5 Tokoh lain penganut paham Pluralisme Agama terkemuka di kalangan Kristen, yakni Prof. John Hick, menyatakan bahwa terminologi “religious pluralism” itu merujuk pada suatu teori dari hubungan antara agamaagama dengan seg ala perbedaan dan pertentangan klaimklaim mereka. Pluralisme, secara ekplisit menerima posisi yang ditanggungkan atas kami dan atas anakanak kami.” (Matius, 27:25). Yahudi juga diidentikkan dengan kekuatan jahat. “Iblislah yang menjadi bapamu dan kamu ingin melakukan keinginankeinginan bapamu.” (Yohanes, 8:44). Sikapsikap antiYahudi yang dikembangkan tokohtokoh Gereja kemudian, adalah variasi atau perluasan dari tuduhantuduhan yang tercantum dalam Injil. 1 (Encyclopaedia Judaica, (Jerusalem: Kater Publishing House Ltd), Vol. 2. Sejumlah Paus lainnya kemudian dikenal sangat antiYahudi. Pada tanggal 17 Juli 1555, hanya dua bulan setelah pengangkatannya, Paus Paulus IV, mengeluarkan dokumen (Papal Bull) yang dikenal dengan nama Cum nimis absurdum. Di sini Paus menekankan, bahwa para pembunuh Kr istus, yaitu kaum Yahudi, pada hakekatnya adalah budak dan seharusnya diperlakukan sebagai budak. Yahudi kemudian dipaksa tinggal dalam ‘ghetto’. Setiap ghetto hanya memiliki satu pintu masuk. Yahudi dip aksa menjual semua miliknya kepada kaum Kristen dengan harga sangat murah; maksimal 20 persen da ri harga yang seharusnya. Di tiap kota hanya boleh ada satu sinagog. Di Roma, tujuh dari delapan sinagog dihancurkan. Di Campagna, 17 dari 18 sinagog dihancurkan. Yahudi juga tidak boleh memiliki Kitab Suci. Saat menjadi kardinal, Paus Paulus IV membakar semua Kitab Yahudi, termasuk Talmud. Paus Paulus IV meninggal tahun 1559. Tetapi cum nimis absurdum tetap bertahan sampai tiga abad. 17 (Peter de Rosa, Vicars of Christ: The dark Side of the Papacy, (London: Bantam Press, 1991), hal. 266269. Tentang konflik YahudiKristen sepanjang sejarah, lihat Adian Husaini, Tinjauan Historis Konflik YahudiKristenIslam (Jakarta: GIP, 2004). 4 Paul F. Knitter, No Other Name?, dikutip dari Stevri I. Lumintang, Theologia AbuAbu: Tantangan dan Ancaman Racun Pluralisme dalam Teologi Kristen Masa Kini, (Malang: Gan dum Mas, 2004), hal. 67. 5 Alister E. Mcgrath, Christian Theology: an Introduction, (Oxford: Blackwell Publisher, 1994). p p 458 459; Daniel B. Clendenin, Many Gods Many Lords: Christianity Encounters World Religions, (Michigan : Baker Books, 1995). Hal. 12. h t t p : / / w w w . a d i a n h u s a i n i . c o m 4
5. lebih radikal yang diaplikasikan oleh inklusivisme: yaitu satu pandangan b ahwa agama agama besar mewujudkan persepsi, konsepsi, dan respon yang berbedabeda tentang “The Real” atau “The Ultimate”. Juga, bahwa tiaptiap agama menjadi jalan untuk menemukan keselamatan dan pembebasan. 6 Intinya, John Hick – salah satu tokoh utama paham religious pluralism mengajukan gagasan pluralisme sebagai pengembangan dari inklusivisme. Bahwa, agama adalah jalan yang berbedabeda menuju pada tujuan (the Ultimate) yang sama. Ia mengutip Jalaluddin Rumi yang menyatakan: “The lamps are different but the light is the same; it comes from beyond.” Menurut Hick, “the Real” yang merupakan “the final object of religious concern”, adalah merupakan konsep universal. Di Barat, kadang digunakan istilah “ultimate reality”; dalam istilah Sansekerta dikenal deng an “sat”; dalam Islam dikenal istilah alhaqq. 7 Pluralisme Agama berkembang pesat dalam masyarakat Kri stenBarat dise babkan setidaknya oleh tiga hal: yaitu (1) trauma sejarah kekuasaan Gereja di Za man Pertengahan dan konflik KatolikProtestan, (2) Problema teologis Kristen dan (3) problema Teks Bibel. Ketika Gereja berkuasa di zaman pertengahan, para tokohnya telah melakukan banyak kekeliruan dan kekerasan yang akhirnya menimbulkan sikap trauma masyarakat Barat terhadap klaim kebenaran satu agama tertentu. Problema yang menimpa masyarakat Kristen Barat ini kemudian diadopsi oleh sebagian k alangan Muslim yang ‘terpesona’ oleh Barat atau memandang bahwa hanya denga n mengikuti 6 John Hick, dalam Mircea Eliade (ed), The Encyclopedia of Religion, (New Yo rk: MacMillan Publishing Company, 1987), Vol. 12, hal. 331. Dalam pengantar bukunya, God Has M any Names, (Philadelphia: The Westminster Press, 1982), John Hick mengajak kaum Kristen untuk meninj au kembali pandangan mereka terhadap agama lain. Sejarah kekristenan Barat, menurut Hick, belum lam a sadar tentang ‘kondisi plural’. Sebelumnya, agamaagama seperti Hinduisme, Budhisme, Judaisme, dan Islam, pada umumnya dipandang sebagai sisasisa paganisme, yang dipandang inferior terhadap agama Kristen dan men jadi sasaran empuk kaum misionaris Kristen. Tapi, saat ini, kata Hick kepada kaum Kristen, ‘’kita semua telah menyadari bahwa – dalam berbagai tingkatan – sejarah kekristenan kita adalah salah satu dari berbagai arus kehidupa keagamaan, yang masingmasing memiliki satu bentuk pengalaman, pemikiran, dan spiritualitas keagamaan yang khas. Karena itu, kita harus menerima adanya keperluan untuk meninjau kembali pemahaman keagamaan kita, bukan sebagai satusatunya (agama), tetapi sebagai salah satu dari sekian banyak agama.’’ (To day, however, we have all become conscious, in varyi ng degrees, that our Christian history is one of a number of variant streams of religious life, each with its own distinctive forms of
experience, thought, and spirituality. And accordingly, we have come to ac cept the need to reunderstand our own faith, not as the one and only, but as one of several.’’ 7 The Encyclopedia of Religion, Vol. 12, hal. 332. Tinjauan kritis terhadap kutipan John Hick ini diberikan oleh Dr. Anis Malik Toha, Ketua Departement of Comparative Religion di International Islamic University Malaysia. Jalaluddin alRumi, yang berkata dalam salah satu bait dari syi’irnya yang ditulis dalam Al Matsnawi – menurut terjemahan R.A. Nicholson yang juga dirujuk oleh Hic k: “The light is not different, 1 (though) the lamp has become different” (Cahaya tidaklah berbeda, meskipun lampunya berbeda). Kemudian bait ini diadopsi oleh Hick secara bebas dan out of context menjadi: “The lamps are different, but the Light is the same” (Lampu adalah berbedabeda, tapi Cahaya tetap sama) untuk menegaskan hipotesisnya, dan dijadikan salah satu slogan untuk mengawali salah satu fasal yang secara khusus membentangkan teori pluralisme dalam bukunya An Interpretation of Religion. Begitu juga ia mendapatakan penggalan ayat dalam salah satu kitab suci Hindu, Bhagavad Gita, yang berbunyi: “Whatever Path Men Choose is Mine” (Jalan apapun yang dipilih manusia adalah milikKu), yang kemudian ia angkat menjadi judul salah satu makalahnya, dianggap mung kin bisa menyokong hipotesisnya ini. (Penjelasan ini dikutip dari artikel Dr. Anis Malik Toha, “Menuju Teologi Global”, di Majalah Islamia edisi 4, tahun 2004) . h t t p : / / w w w . a d i a n h u sa i n i. c o m 5 6. peradaban Baratlah maka kaum Muslim akan maju. Termasuk dalam hal c ara pandang terhadap agamaagama lain, banyak yang kemudian menjiplak begitu saja, cara pandang kaum Iklusifis dan Pluralis Kristen dalam memandang agamaagama lain. D i Indonesia, penyebaran paham ini sudah sangat meluas, baik dalam tataran wacana p ublik maupun bukubuku di perguruan tinggi. 8 Sebagai contoh, tokoh pembaruan Islam di Indonesia, Prof. Dr. Nurcholish Madjid, menyatakan, bahwa ada tiga sikap dialog agama yang dapat diambil. Yaitu, pertama, sikap eksklusif dalam melihat agama lain (Agamaagama lain adalah jalan yang salah, yang menyesatkan bagi pengikutnya). Kedua, sikap inklusif (A gamaagama lain adalah bentuk implisit agama kita). Ketiga, sikap pluralis – yang bisa terekspresi dalam macammacam rumusan, misalnya: “Agamaagama lain adalah jalan yang sama sama sah untuk mencapai Kebenaran yang Sama”, “agamaagama lain berbicara secara berbeda, tetapi merupakan Kebenarankebenaran yang sama sah”, atau “Setiap agama mengekspresikan bagian penting sebuah Kebenaran”. Lalu, tulis Nurcholish lagi, “Sebagai sebuah pandangan keagamaan, pada dasarnya Islam bersifat inklusif dan merentangkan tafsirannya ke arah yang semakin pluralis. Sebagai contoh, filsafat perenial yang belakangan banyak dibicarakan dalam dialog antar agama di Indonesia merentangkan pandangan pluralis dengan mengatakan bahwa setiap agama sebenarnya merupakan ekspresi keimanan terhadap Tuhan yang sama. Ibarat roda, pusat roda itu adalah Tuhan, dan jarijari itu adalah jalan dari berbagai Agama. Filsafat perenial juga membagi agama pada level esoterik (batin)
dan eksoterik (lahir). Satu agama berbeda dengan agama lain dalam level eksoterik, tetapi relatif sama dalam level esoteriknya. Oleh karena itu ada istilah "Satu Tuhan Banyak Jalan".” Nurcholish Madjid juga menulis: "Jadi Pluralisme sesungguhnya adalah sebuah Aturan Tuhan (Sunnat Allah, "Sunnatullah") yang tidak akan berubah, sehingga juga tidak mungkin dilawan atau diingkari." 9 Ulil Abshar Abdalla, mantan Koordinator Jaringan Islam Liberal, juga menyatakan: “Semua agama sama. Semuanya menuju jalan kebenaran. Ja di, Islam bukan yang paling benar.” (Majalah GATRA, 21 Desember 2002). Ia juga menulis: “Dengan tanpa rasa sungkan dan kikuk, saya mengatakan, semua agama adalah te pat berada pada jalan seperti itu, jalan panjang menuju Yang Mahabenar. Semua agama, d engan demikian, adalah benar, dengan variasi, tingkat dan kadar kedalaman yan g berbedabeda dalam menghayati jalan religiusitas itu. Semua agama ada dalam satu kel uarga besar 8 Lebih jauh tentang perkembangan peradaban Barat dan Pluralisme Agama lihat Adian Husaini, Wajah Peradaban Barat: Dari Hegemoni Kristen ke Dominasi SekularLiberal, (Jakarta:GIP, 2005). Contoh pandangan yang memuja Barat dan menganggap Barat sebagai sumber dan kiblat bagi kemajuan Islam dikemukakan oleh sejumlah tokoh sekular Turki yang memelopori Gerakan Turki Muda. Dalam katakata Abdullah Cevdet, seorang tokoh Gerakan Turki Muda: “Yang ada hanya satu peradaban, dan itu adalah peradaban Eropa. Karena itu, kita harus meminjam peradaban Barat, baik bunga mawarnya mau pun durinya sekaligus.” (There is only one civilization, and that is European civilization. Therefore, we must borrow western civilization with both its rose and its thorn). (Lebih jauh te ntang Gerakan Turki Muda dan ideologinya, lihat Adian Husaini, Tinjauan Historis Konflik YahudiKristenIslam, (Jakarta:GIP, 2004). 9 Lihat, buku Tiga Agama Satu Tuhan, (Bandung: Mizan, 1999), hal. xix., da n Nurcholish Madjid, Islam Doktrin dan Peradaban, (Jakarta: Paramadina, 1995), hal. lxxvii. h t t p : / / www.adianhusaini.com 6 7. yang sama: yaitu keluarga pencinta jalan menuju kebenaran yang tak per nah ada ujungnya.” (Kompas, 18112002) Ketika semua agama dipandang sebagai jalan yang samasama sah untuk menuju Tuhan – siapa pun Dia, apa pun nama dan sifatNya – maka muncullah pemikiran bahwa untuk menuju Tuhan bisa dilakukan dengan cara apa saja. Syariat dipanda ng sebagai hal yang tidak penting, sekedar teknis/cara menuju Tuhan (aspek eksoteris). S edangkan yang penting adalah aspek batin (esoteris). Karena itu, cara ibadah kepada Tuh an dianggap sebagai masalah ‘teknis’, soal ‘cara’, yang secara eksoterik memang berb edabeda, tetapi substansinya dianggap sama. Dr. Luthfi Assyaukanie, dosen Universitas Paramadina, menulis di Harian Kompas: “Seorang fideis Muslim, misalnya, bisa merasa dekat kepada Allah tanpa melewati jalur shalat karena ia bisa melakukannya lewat meditasi atau rit
usritus lain yang biasa dilakukan dalam persemedian spiritual. Dengan demikian, pengalaman keagamaan hampir sepenuhnya independen dari aturanaturan formal agama. Pada gilirannya, perangkat dan konsepkonsep agama seperti kitab suci, nabi, malaikat, dan lainlain tak terlalu penting lagi karena yang lebih penting adalah bagaimana seseorang bisa menikmati spiritualitas dan mentransendenkan dirinya dalam lompatan iman yang tanpa batas itu.” (Kompas, 3/9/2005) Sumanto AlQurtuby, alumnus Fakultas Syariah IAIN Semarang, juga menuli s dalam bukunya yang berjudul: Lubang Hitam Agama: “Jika kelak di akhirat, pertanyaan di atas diajukan kepada Tuhan, mungkin Dia hanya tersenyum simpul. Sambil menunjukkan surgaNya yang mahaluas, di sana ternyata telah menunggu banyak orang, antara lain, Jesus, Muhammad, S ahabat Umar, Ghandi, Luther, Abu Nawas, Romo Mangun, Bunda Teresa, Udin, Ba harudin Lopa, dan Munir!” (Lubang Hitam Agama, hal. 45). Yang perlu diperhatikan oleh umat Islam, khususnya kalangan lembaga pendidikan Islam, adalah bahwa penyebaran paham Pluralisme merupaka n proyek global yang melibatkan kepentingan dan dana yang sangat besar. Tidak heran, ji ka penyebaran paham ini menjadi perhatian negaranegara Barat dan LSMLSM global. Hampir seluruh LSM dan proyek yang dibiayai oleh LSMLSM Barat, seperti The Asia Founda tion, Ford Foundation, dan sejenisnya, adalah merekamereka yang bergerak dalam penyebaran paham Pluralisme Agama. LSMLSM Barat itu secara sistematis menyusup masuk ke lembagalembaga atau organisasi Islam dengan menawarkan proyekproyek penyebaran paham Pluralisme Agama. Berbagai buku, jurnal, artikel, dan sebagainya t elah diterbitkan dengan sokongan dana besarbesaran. Paham ini bahkan sudah menyusup di bukubuku yang diajarkan kepada mahasiswa Perguruan Tinggi Islam. Sebagai contoh, seorang dosen Ushuluddin Universitas Islam Negeri (UIN) Bandung menulis: “Setiap agama sudah pasti memiliki dan mengajarkan kebenaran. Keyakin an tentang yang benar itu didasarkan kepada Tuhan sebagai satusatunya sumber kebenaran.” (hal. 17)…“Keyakinan bahwa agama sendiri yang paling benar karena berasal dari Tuhan, sedangkan agama lain hanyalah konstruksi manusia, merupakan contoh penggunaan standar ganda itu. Dalam sejarah, standar ganda ini biasanya dipakai h t t p : / / w w w . a d i a n h u s a i n i . c o m 7 8. untuk menghakimi agama lain, dalam derajat keabsahan teologis di bawa h agamanya sendiri. Melalui standar ganda inilah, terjadi perang dan klaimklaim kebenaran dari satu agama atas agama lain.” (hal. 24) … Agama adalah seperangkat doktrin, kepercayaan, atau sekumpulan norma dan ajaran Tuhan yang bersifat universal dan mutlak kebenarannya. Adapun keberagamaan, adalah penyikapan atau pemahaman para penganut agama terhadap doktrin, kepercayaan, atau ajaranajaran Tuhan itu, yang tentu saja menjadi bersifat relatif, dan sudah pasti kebenarannya menjadi 10 bernilai relatif. (hal. 20). Karena itulah, kaum Pluralis Agama sangat terpukul dengan keluarnya fat wa MUI, tahun 2005, yang mengharamkan paham Pluralisme Agama. Karena itu, bisa
dipahami, jika dalam berbagai seminar dan kesempatan, MUI menjadi bah an cacimaki. Jurnal Justisia Fakultas Syariah IAIN Semarang edisi 28 Th XIII/2005, memuat laporan utama berjudul ”Majelis Ulama Indonesia Bukan Wakil Tuhan.” Dalam jurn al ini, misalnya, diturunkan wawancara dengan seorang staf Perhimpunan Bantu an Hukum Indonesia (PBHI), dengan judul ”MUI bisa Dijerat KUHP Provokator”. Ia me mbuat usulan untuk MUI: ”Jebloskan penjara saja dengan jeratan pasal 55 provokator, jel as hukumannya sampai 5 tahun.” Berikutnya, staf PBHI itu menyatakan, ”MU I kan hanya semacam menjual nama Tuhan saja. Dia seakanakan mendapatkan legitimasi Tuhan untuk menyatakan sesuatu ini mudharat, sesuatu ini sesat. Padahal dia se ndiri tidak mempunyai kewenangan seperti itu. Kalau persoalan agama, biarkan Tuha n yang menentukan.” Kita juga masih ingat, menyusul keluarnya fatwa tentang sekularisme, pluralisme agama, dan liberalisme, MUI dikatakan tolol, dan sebagainya. Dalam situsnya, Kedutaan Besar Amerika Serikat di Jakarta (http://www.usembassyjakarta.org/bhs/Laporan/indonesia_Laporan_depluAS.html) pada 4 Mei 2007, memuat halaman muka berjudul ”Dukungan terhadap Hak As asi Manusia dan Demokrasi: Catatan A.S. 2004 – 2005.” Ada baiknya disimak laporan yang ditulis dalam website Kedubes AS di Jakarta yang berkaitan dengan Islam dan plu ralisme agama berikut ini: ”Dalam usaha menjangkau masyarakat Muslim, Amerika Serikat menspon sori para pembicara dari lusinan pesantren, madrasah serta lembagalembaga pendidikan tinggi Islam, untuk bertukar pandangan tentang pluralisme, tol eransi dan penghargaan terhadap Hak Asasi Manusia. Kedutaan mengirimkan sej umlah pemimpin dari 80 pesantren ke Amerika Serikat untuk mengikuti suatu pro gram tigaminggu tentang pluralisme agama, pendidikan kewarganegaraan dan pembangunan pendidikan. Di samping itu, kedutaan juga mengirim 38 sis wa dan enam guru ke Amerika Serikat selama 4 minggu untuk mengikuti suatu Pr ogram Kepemimpinan Pemuda Muslim, dan melalui Program Pertukaran dan Stud i Pemuda (YES), lebih dari 60 siswa Muslim mengikuti program satutahun di sekolahsekolah menengah di seluruh Amerika Serikat. Wartawan dari kirakira 10 agen media Islam berkunjung ke Amerika Serikat untuk melakukan perj alanan pelaporan. Di tingkat universitas, suatu hibah multitahun membantu untuk melakukan suatu program pendidikan kewarganegaraan di seluruh sistem 10 Adeng Muchtar Ghazali, Ilmu Studi Agama, (Bandung: Pustaka Setia, 2005) .http://www.adianhusaini.com 8
9. Universitas Muhammadiyah. Bantuan lain yang terpisah membantu suatu lembaga studi Islam di Yogyakarta untuk melakukan pelatihan tentang Ha k Asasi Manusia dan menyelenggarakan kursuskursus yang meningkatkan toleransi. Bantuan juga diberikan kepada dua universitas Amerika Serikat untuk pela tihan dan pertukaran penanganan konflik, dan untuk mendirikan lima pusat med iasi di lembagalembaga Muslim. Dalam membantu jangkauan jangka panjang, lima American Corners dibu ka di lembagalembaga pendidikan tinggi Muslim di seluruh Indonesia. Amerika Serikat juga mendanai The Asia Foundation untuk mendirikan suatu pusat internasional dalam memajukan hubungan regional dan internasional di a ntara para intelektual dan aktivis Muslim progresif dalam mengangkat suatu wa cana tingkat internasional tentang penafsiran Islam progresif. Amerika Serikat j uga memberikan pendanaan kepada berbagai organisasi Muslim dan pesantre n untuk mengangkat persamaan jender dan anak perempuan dengan memperkuat pengertian tentang nilainilai tersebut di antara para pemimpin perempua n masyarakat dan membantu demokratisasi serta kesadaran jender di pesa ntren melalui pemberdayaan pemimpin pesantren lakilaki dan perempuan. Mengembangkan suatu lingkungan dimana orang Indonesia dapat secara bebas menggunakan hakhak sipil dan politik mereka adalah kritis bagi tujuan kebijakan luar negeri Amerika Serikat dalam memelihara pluralisme dan toleransi untuk menghadapi ekstrimisme.” Dua organisasi Islam terbesar di Indonesia yakni NU dan Muhammadiyah menjadi incaran utama dari infiltrasi paham ini. Itu misalnya bisa dilihat dalam artikel artikel yang diterbitkan oleh Jurnal Tashwirul Afkar (Diterbitkan oleh Lakpesdam NU dan The Asia Foundation), dan Jurnal Tanwir (diterbitkan oleh Pusat Studi Agama dan Peradaban Muhammadiyah dan The Asia Foundation). Mereka bukan saja menyebarkan paham ini secara asongan, tetapi memiliki program yang sistematis untuk mengubah kurikulum pendidikan Islam yang saat ini masih mereka anggap belum inkl usifpluralis. Sebagai contoh, Jurnal Tashwirul Afkar edisi No 11 tahun 2001, menampilkan laporan utama berjudul “Menuju Pendidikan Islam Pluralis”. Di tulis dal am J urnal ini: “Filosofi pendidikan Islam yang hanya membenarkan agamanya sendiri, tanpa mau menerima kebenaran agama lain mesti mendapat kritik untuk selanjutnya dilakukan reorientasi. Konsep imankafir, muslimnonmuslim, dan baikbenar (truth claim), yang sangat berpengaruh terhadap cara pandang Islam terhadap agama lain, mesti dibongkar agar umat Islam tidak lagi menganggap agama lain sebagai agama yang salah dan tidak ada jalan keselamatan. Jika cara pan dangnya bersifat eksklusif dan intoleran, maka teologi yang diterima adalah teologi eksklusif dan intoleran, yang pada gilirannya akan
merusak harmonisasi agama agama, dan sikap tidak menghargai kebenaran agama lain. Kegagalan dalam mengembangkan semangat toleransi dan pluralisme agama dalam pendidikan Islam akan membangkitkan sayap radikal Islam.” 11 11 Khamami Zada, Membebaskan Pendidikan Islam:Dari Eksklusivisme menuju Inklusivisme dan Pluralisme, Jurnal Tashwirul Afkar, edisi No 11 tahun 2001. h t t p : / / w w w.adianhusaini.com 9 10.Bukan hanya NU yang disusupi paham ini. Muhammadiyah pun juga kesus upan. Jurnal TANWIR edisi 2, Vol 1, Juli 2003, hal. 8283, terbitan Pusat Studi Agama dan Peradaban (PSAP) Muhammadiyah dan The Asia Foundation, juga secara sengaja menyebarkan paham ini. Jurnal ini, misalnya, mencatat: “Perbedaan ‘jalan’ maupun cara dalam praktik ritual tidaklah menjadi sebab ditolak atau tercelanya seseorang melakukan ‘penghormatan’ total kepada apa yang diyakini. Perbedaan jalan dan cara merupakan kekayaan bahasa Tuh an yang memang tidak bisa secara pasti dipahami oleh bahasabahasa manusia… Memperhatikan hal ini, maka tidak perlu lagi mempersoalkan mengapa antara orang Islam, Kristen, Hindu, Budha dan lain sebagainya tampaknya ‘berbeda’ dalam ‘mencapai’ Tuhan. Perbedaan ritual hanyalah perbedaan lahiriah ya ng bisa ditangkap oleh kasat mata, sedangkan hakikat ritual adalah ‘penghormatan’ atas apa yang dianggap suci, luhur, agung, dan sebagainya. Ritualritual hanyalah simbol manusia beragama karena mengikuti rangkaian sistematika tadi.” Di Jurnal ini dikutip juga ungkapan seorang dosen agama di Universitas Muhammadiyah Malang: “Perbedaan yang dimiliki oleh masingmasing agama pada dasarnya bersifat instrumental. Sementara di balik perbedaan itu, te rkandung pesan dasar yang sama yakni, ketuhanan dan kemanusiaan, yang memun gkinkan masingmasing agama dapat melakukan perjumpaan sejati.” 12 Ada yang berkampanye bahwa “Pluralisme agama” adalah paham yang tidak boleh ditinggalkan dan wajib diikuti oleh semua umat beragama. Berbagai organisasi dan tokoh agama aktif membentuk semacam “centre of religious pluralism”. Salah satu sebabnya, program ini memang mudah menyerap dana besar dari para donatur Barat (“laku dijual”). Seorang aktivis Jaringan Intelektual Muda Muhammadiyah (JIMM) menulis di media massa: “Karena itu, mari kita memproklamasikan kembali bahwa pluralisme agama sudah menjadi hukum Tuhan (sunnatullâh) yang tidak mungkin berubah. Dan, karena itu, mustahil pula kita melawan dan menghindari. S ebagai muslim, kita tidak punya jalan lain kecuali bersikap positif dan optimistis dalam menerima pluralisme agama sebagai hukum Tuhan.” 13 12 Jurnal TANWIR edisi 2, Vol 1, Juli 2003, hal. 8283, terbitan Pusat Studi Agama dan Peradaban (PSAP) Muhammadiyah dan The Asia Foundation. 13 Jawa Pos, 11 Januari 2004. Kelompok JIMM memang sangat aktif dalam me ngembangkan paham Pluralisme. Seorang aktivis JIMM mengusulkan agar definisi kafir sebagaimana dipahami kaum Muslim selama ini diubah. Ia menulis dalam sebuah buku: ”Jadi tidak semua non-
Muslim adalah kafir. NonMuslim di Mekkah punya kriteria kafir seperti yang disebut alQuran, yakni menutup diri dari kebenaran dari pihak lain. Alihalih berdialog untuk memperbaiki sistem yang tidak adil, mereka mengancam akan membunuh Muhammad dan para pengikutnya. Inilah su bstansi kafir , mereka adalah musuh semua agama dan kemanusiaan. Mereka penindas HAM dan tidak mau membuka diri untuk mendialogkan kebenaran... Dengan kata lain, Muslim yang melakukan penganiayaan dan penindasan dan penindasan pun dapat dikatakan sebagai kafir. Jadi, kafir tidak identik den gan nonMuslim, melainkan siapa pun dan beragama apa pun ketika tidak adil dan menindas maka ia disebut kafir... Akan lebih tepat jika term kafir dimaknai sebagai penindas, dan mukmin (orang beriman) a dalah pejuang pembebasan dari penindasan. .” (Kembali keAlQur’an, Menafsir Makna Zaman: Suarasuara kaum Muda h t t p : / / w w w . a d i a n h u s a i n i . c o m 10 11.Paham Pluralisme Agama ini pun sudah sempat disusupkan ke lingkungan Pondok Pesantren. Badan Kerjasama Pondok Pesantren Indonesia (BKSPPI) sempat ‘kecolongan’ menerbitkan sebuah Majalah bernama AlWASATHIYYAH, hasil kerjasama BKSPPI dan International Center for Islam and Pluralism (ICIP) – sebuah lembaga yang getol menyebarkan paham Pluralisme Agama. Tetapi, setelah menyadari bahaya paham Pluralisme Agama dan liberalisasi Islam pada umumnya, pimpinan BKSPPI segera mengambil sikap tegas : menghentikan penerbitan Majalah ALWASATHIYAH dan memutus hubungan dengan ICIP. Berikut ini sebagian contoh buku Pluralisme Agama yang dibiayai oleh LSM LSM asing seperti The Asia Foundation dan Ford Foundation: (1) Buku Fiqih Lintas Agama yang diterbitkan oleh Paramadina dan The Asia Foundation. Dengan berdasarkan pada Pluralisme Agama, buku ini kemudian juga merombak hukum Islam dalam bidang perkawinan, dengan menghalalkan perkawinan wanita Muslimah dengan lelaki nonMuslim: “Soal pernikahan lakilaki nonMuslim dengan wanita Muslim merupakan wilayah ijtihadi dan terikat dengan konteks tertentu, diantaranya konteks dakwah Islam pada saat itu. Yang mana jumlah umat Islam tidak sebesar saat ini, s ehingga pernikahan antar agama merupakan sesuatu yang terlarang. Karena kedu dukannya sebagai hukum yang lahir atas proses ijtihad, maka amat dimungkinkan bila dicetuskan pendapat baru, bahwa wanita Muslim boleh menikah dengan la kilaki nonMuslim, atau pernikahan beda agama secara lebih luas amat diperbolehkan, apapun agama dan aliran kepercayaannya.” 14 (2) Buku “Nilainilai Pluralisme dalam Islam”, (Kerjasama Fatayat Nahdhatul Ulama dan dengan Ford Foundation): Muhammadiyah”, editor: Pradana Boy ZTF dan M. Hilmi Faiq, pengantar oleh Moeslim Abdurrahman, 2004.) 14 A. Mun’im Sirry (ed), Fiqih Lintas Agama (Jakarta: Paramadina, 2004), hal. 164. Dalam buku ini juga disebutkan tentang persamaan semua agama: “Segi persamaan yang san gat asasi antara semua kitab suci
adalah ajaran Ketuhanan Yang Maha Esa. Hal ini berbeda dengan persoala n kaum musyrik yang pada zaman Nabi tinggal di kota Makkah. Kepada mereka inilah dialamatkan fir man Allah, “Katakan (Muhammad), “aku tidak menyembah yang kamu sembah, dan kamu pu n tidak menyhembah yang aku sembah… bagimu agamamu dan bagiku agamaku”. (Surah alKafirun). Ayat yang san gat menegaskan perbedaan konsep ‘sesembahan’ in ditujukan kepada kaum musyrik Qurai sy dan bukan kepada Ahli Kitab.” (hal. 5556). Pernyataan dalam buku Fiqih Lintas Agama ini jelas sangat keliru. Sebab, begitu banyak ayat alQuran yang menyebutkan, bahwa kaum Yahudi dan Nasrani adalah kaum kafir. Ji ka mereka mempunyai konsep ketuhanan yang sama dengan Islam, mengapa mereka dikatakan kafir? D alam Tafsir alAzhar, Prof. Hamka menulis: “Surat ini memberi pedoman yang tegas bagi kita pengikut Nabi Muhammad bahwasanya akidah tidaklah dapat diperdamaikan. Tauhid dan syirik tak dapat dipertemukan.” Logikanya, jika Surat alKafirun hanya ditujukan untuk kaum musyrik Arab saja, maka ini sama halnya, de ngan menyatakan, bahwa ayat itu sudah tidak berlaku lagi, karena kaum musyrik Arab sudah ti dak ada lagi. Atau, bisa juga dimengerti, bahwa kaum Muslim di Jawa boleh saling bergantiganti melakukan semba han dengan kaum musyrik Jawa, karena larangan itu hanya untuk musyrik Arab. Maka, logika buku Fiqih Lintas Agama itu jelas sangat keliru. h t t p : / / w w w . a d i a n h u s a i n i . c o m 11 12.Diantara isi buku ialah menyatakan bahwa semua agama adalah sama da n benar; Islam bukanlah satusatunya jalan kebenaran; dan agama dipandang sama dengan budaya (Pluralisme Agama): “Dalam konteks ini, maka Islam tak lain adalah satu j alan kebenaran diant ara jalan jalan kebenaran yang lain… artinya jalan menuju kebenaran tidak selamanya dan musti harus melalui jalan ‘agama’, tapi juga bisa memakai medium yang lain. Karena sifatnya yang demikian maka Islam kemudian b erdiri sejajar dengan praktik budaya yang ada. Tidak ada perbedaan yang signifi kan kecuali hanya ritualistik simbolistik. Sedangkan esensinya sama, yakni me nuju kebenaran transendental.” 15 Ternyata, bukan hanya Islam yang direpotkan oleh paham Pluralisme Agama. Semua agama direpotkan oleh paham ini. Dalam paparan berikutnya, akan terlihat, bagaimana sikap dari Katolik, Protestan, Hindu, dan Islam terhadap paham yang pada intinya ‘menyamakan semua agama’ ini. Padahal, setiap agama memang mempunyai ajaran dan klaim kebenaran masingmasing, yang unik dan khas, yang berbeda antara satu dengan lainnya. II. Pandangan Katolik Menghadapi serbuan paham Pluralisme Agama ini, maka para tokoh agama agama tidak tinggal diam. Paus Yohannes Paulus II, tahun 2000, mengeluarkan Dekrit ‘Dominus Jesus’. Berikut ini kita kutipkan pendapat tokoh Katolik Prof. Frans Magnis Suseno, tentang Pluralisme Agama, sebagaimana ditulis dalam bukunya, Menjadi Saksi
Kristus Di Tengah Masyarakat Majemuk. 16 Pluralisme agama, kata Frans Magnis Suseno, sebagaimana diperjuangkan di kalangan Kristen oleh teologteolog seperti John Hick, Paul F. Knitter (Protestan) dan Raimundo Panikkar (Katolik), adalah paham yang menolak eksklusivisme kebenaran. Bagi mereka, anggapan bahwa hanya agamanya sendiri yang benar merupakan kesombongan. Agamaagama hendaknya pertamapertama memperlihatkan kerendahan hati, tidak menganggap lebih benar daripada yang lainlain. Teologi yang mendasari anggapan itu adalah, kurang lebih, dan dengan rincian berbeda, anggapan bahwa agama agama merupakan ekspresi religiositas umat manusia. Para pendiri agama, seperti Buddha, Yesus, dan Muhammad merupakan geniusgenius religius, mereka menghayati dimensi religius secara mendalam. Mereka, mirip dengan orang yang bisa menemukan air di tanah, berakar dalam sungai keilahian mendalam yang mengalir di baw ah permukaan dan dari padanya segala ungkapan religiositas manusia hidup. Posisi ini bisa sekaligus berarti melepaskan adanya Allah personal. Jadi, yang sebenarnya diakui adalah dimensi transenden dan metafisik alam semesta manusia. Namun, bisa juga dengan mempertahankan paham Allah personal. 15 Lihat, buku “Nilainilai Pluralisme dalam Islam” (Jakarta: Fatayat Nahdhatul Ulama dan Ford Foundation, 2005), hal. 59. 16 Frans Magnis Suseno, Menjadi Saksi Kristus Di Tengah Masyarakat Majemu k, (Jakarta: Penerbit Obor, 2004), hal. 138141. h t t p : / / w w w . a d i a n h u s a i n i . c o m 12 13.Masih menurut penjelasan Frans Magnis Suseno, pluralisme agama itu sesuai dengan “semangat zaman”. Ia merupakan warisan filsafat Pencerahan 30 0 tahun lalu dan pada hakikatnya kembali ke pandangan Kant tentang agama sebagai lembaga moral, hanya dalam bahasa diperkaya oleh aliranaliran New Age yang, berlainan dengan Pencerahan, sangat terbuka terhadap segala macam dimensi “metafisik”, “kosmis”, “holistik”, “mistik”, dsb. Pluralisme sangat sesuai dengan anggapan yang sudah sangat meluas dalam masyarakat sekuler bahwa agama adalah masalah selera, yang termasuk “budaya hati” individual, mirip misalnya dengan dimensi estetik, dan bukan masalah kebenaran. Mengkliam kebenaran hanya bagi diri sendiri dianggap tidak toleran. Kata “dogma” menjadi kata negatif. Masih berpegang pada dogmadogma dianggap ketinggalan zaman. Paham Pluralisme agama, menurut Frans Magnis, jelasjelas ditolak oleh Gereja Katolik. Pada tahun 2000, Vatikan menerbitkan penjelasan ‘Dominus Jesus’. 17 Penjelasan ini, selain menolak paham Pluralisme Agama, juga menegaskan kembali bahwa Yesus Kristus adalah satusatunya pengantara keselamatan Ilahi dan tidak ada orang yang bisa ke Bapa selain melalui Yesus. Di kalangan Katolik sendiri, ‘Dominus Jesus’ menimbulkan reaksi keras. Frans Magnis sendiri mendukung ‘Domin us Jesus’ itu, dan menyatakan, bahwa ‘Dominus Jesus’ itu sudah perlu dan tepat waktu. Menurutnya, Pluralisme Agama hanya di permukaan saja kelihatan lebih rendah hati dan toleran dariupada sikap inklusif yang tetap meyakini imannya. Bukan namanya tol eransi apabila untuk mau saling menerima dituntut agar masingmasing melepaskan apa yang mereka yakini. Ambil saja sebagai
contoh Islam dan kristianitas. Pluralisme mengusulkan agar masingmasing saling menerima karena masingmasing tidak lebih dari ungkapan religiositas manusia, dan kalau begitu, tentu saja mengklaim kepenuhan k ebenaran tidak masuk akal. Namun yang nyatanyata dituntut kaum pluralis adalah agar Islam melepaskan klaimnya bahwa Allah dalam alQuran memberi petunjuk definitif, akhir dan benar tentang bagaimana manusia harus hidup agar ia selamat, dengan sekaligus membatalkan petunjukpetunjuk sebelumnya. Dari kaum Kristiani, kaum pluralis menuntut untuk mengesampingkan bahwa Yesus itu ‘Sang Jalan’, ‘Sang K ehidupan’ dan 17 Dominus Jesus dikonsep dan semula ditandantangani oleh Kardinal Ratzinger – sekarang Paus Benediktus XVI – dan dikeluarkan pada 28 Agustus 2000. Dokumen ini telah menimbulkan perdebatan sengit di kalangan Kristen, termasuk intern Katolik sendiri. Dokumen ini di keluarkan menyusul kehebohan di kalangan petinggi Katolik akibat keluarnya buku Toward a Christian Theology of Religious Pluralism karya Prof. Jacques Dupuis SJ, dosen di Gregorian University Roma. Dalam bukunya ini, Dupuis menyatakan, bahwa ‘kebenaran penuh’ (fullnes of thruth) tidak akan terla hir sampai datangnya kiamat atau kedatangan Yesus Kedua. Jadi, katanya, semua agama terus berjalan– sebagaimana Kristen – menuju kebenaran penuh tersebut. Semua agama disatukan dalam kerendahan hati karena kekurangan bersama dalam meraih kebenaran penuh tersebut. (Perdebatan tentang Dominus Je sus bisa dilihat, misalnya, dalam John Cornwell, The Pope in Winter, (London: Penguin Books, 2005), hal. 192199. Dalam Dominus Jesus disebutkan: “Indeed, God ‘desires all men to be sav ed and come to the knowledge of the truth' (1 Tim 2:4); that is, God wills the salvation of everyone throug h the knowledge of the truth. Salvation is found in the truth. Those who obey the promptings of the Spiri t of truth are already on the way of salvation. But the Church, to whom this truth has been entrusted, must go out to meet their desire, so as to bring them the truth. Because she believes in God's universal plan of salvation, the Church must be missionary.” (http://www.vatican.va/roman_curia/congregations/cfaith/documents/rc_co n_cfaith_doc_20000806_domin usiesus_en.html, 5 Maret 2005) h t t p : / / w w w . a d i a n h u s a i n i . c o m 13 14.‘Sang Kebenaran’, menjadi salah satu jalan, salah satu sumber kehidupan dan salah satu kebenaran, jadi melepaskan keyakinan lama yang mengatakan bahwa hanya melalui Putera manusia bisa sampai ke Bapa. Terhadap paham semacam itu, Frans Magnis menegaskan: “Menurut saya ini tidak lucu dan tidak serius. Ini sikap menghina kalau pun bermaksud baik. Toleransi tidak menuntut agar kita semua menjadi sama, mari kita bersedia saling meneri ma. Toleransi yang sebenarnya berarti menerima orang lain, kelompok lain, keberadaan agama lain, dengan baik, mengakui dan menghormati keberadaan mereka dalam kebe
rlainan mereka! Toleransi justru bukan asimilasi, melainkan hormat penuh identitas masin gmasing yang tidak sama.” 18 III. Pandangan Protestan Berbeda dengan agama Katolik yang memiliki pemimpin tertinggi dalam hi rarkis Gereja (Paus), dalam kalangan Protestan tidak bisa ditemukan satu sikap yang sama terhadap paham Pluralisme Agama. Teologteolog Protestan banyak yang menjadi polopor paham ini. Meskipun demikian, dari kalangan Protestan, juga mun cul tantangan keras terhadap paham Pluralisme Agama.Berikut ini sejumlah buku di Indonesia yang menyinggung masalah ini: Poltak YP Sibarani&Bernard Jody A. Siregar, dalam buku Beriman dan Beril mu: Panduan Pendidikan Agama Kristen untuk untuk Mahasiswa, menjelaskan: menjelaskan: “Pluralisme bukan sekedar menghargai pluralitas agama tetapi sekaligus menganggap (penganut) agama lain setara dengan agamanya. Ini adalah sikap yang mampu menerima dan menghargai dan memandang agama lain sebagai agama yang baik dan benar, serta mengakui adanya jalan keselamatan di dalamnya. Di satu pihak, jika tidak berhatihati, sikap ketiga ini dapat berb ahaya dan menciptakan polarisasi iman. Artinya, keimanannya atas agama yang diyakininya pada akhirnya bisa memudar dengan sendirinya, tanpa intervensi pihak lain.” 19 18 Sikap Katolik yang menolak paham Pluralisme Agama sangatlah logis, seb ab – meskipun dalam Konsili Vatikan II, Gereja Katolik telah telah mengubah sikapnya sikapnya terhadap agamaagama lain, tetapi Konsili juga menetapkan Dekrit Dekrit Ad Gentes Gentes (kepada bangsabangsa) yang mewajibkan seluruh Gereja untuk menjalankan kerja misionaris. Dalam pidatonya pada 7 Desember 1990, y ang bertajuk Redemptoris Missio (Tugas Perutusan Sang Penebus), yang diterbitan Konferensi Waligereja In donesia (KWI) tahun 2003, Paus Yohanes Paulus II mengatakan: “Tugas perutusan Kristus Sang Penebus, yang dipercayakan kepada Gereja, masih sangat jauh dari penyelesaian. Tatkala Masa Seribu Tahun K edua sesudah kedatangan Kristus hampir berakhir, satu pandangan menyeluruh atas umat manusia memperlihatkan bahwa tugas perutusan ini masih saja di tahap awal, dan bahwa kita harus melibatkan d iri kita sendiri dengan dengan sepenuh sepenuh hati… Kegiatan misioner yang secara khusus ditujukan “kepada para bangsa” (a d gentes) tampak sedang menyurut, dan kecenderungan ini tentu saja tidak sejalan dengan petunju kpetunjuk Konsili dan dengan pernyataanpernyataan Magisterium sesudahnya. Kesulitankesulitan baik yang datang dari dalam maupun yang datang dari luar, telah memperlemah daya dorong karya misioner G ereja kepada orangorang non Kristen, suatu kenyataan yang mestinya membangkitkan kepedulian di an tara semua orang yang percaya kepada Kristus. Sebab dalam sejarah Gereja, gerakan misioner selalu suda h merupakan tanda kehidupan, persis sebagaimana juga kemerosotannya merupakan tanda krisis iman.” 19 Poltak YP Sibarani&Bernard Jody A. Siregar, Beriman dan Berilmu: Panduan Pendidikan Agama Kristen untuk Mahasiswa, (Jakarta: Ramos Gospel Publishing House, 2005), hal. 126. h t t p : / / w w w . a d i a n h u s a i n i . c o m 14
15.Sebuah kajian dan kritik yang serius terhadap paham Pluralisme Agama dilakukan oleh Pendeta Dr. Stevri I. Lumintang, seorang pendeta di Gereja Keesaan I njil Indonesia. Kajian Stevri Lumintang dituangkan dalam sebuah buku setebal lebih dari 700 halaman, halaman, berjudul Theologia AbuAbu: Tantangan dan Ancaman Racun Pluralisme dalam Teologi Kristen Masa Kini, Kini, (Malang: Gandum Mas, 2004). Dicatat dalam ilustrasi sampul buku ini, bahwa Teologi AbuAbu adalah posisi teologi kaum pluralis. Karena teologi yang mereka bangun merupakan integrasi dari pelbagai warna kebenaran dari semua agama, filsafat dan budaya yang ada di dunia. Alkitab dipakai hanya sebagai salah satu sumber, itu pun dianggap sebagai mitos. Dan perpaduan multi kebenaran ini, lahirlah teologi abuabu, yaitu teologi buka n hitam, bukan juga putih, bukan teologi Kristen, bukan juga teologi salah satu agama yan g ada di dunia ini…. Namun teologi ini sedang meracuni, baik agama Kristen, maupun semua agama, dengan cara mencabut dan membuang semua unsurunsur absolut yang diklaim oleh masingmasing agama. Juga dikatakan dalam buku ini: ‘’Inti Teologi AbuAbu (Pluralisme) merupakan penyangkalan terhadap intisari atau jatidiri semua agama yang ada. Karena, perjuangan mereka membangun Teologi AbuAbu atau teologi agamaagama, harus dimulai dari usaha untuk menghancurkan batu sandungan yang menghalangi perwujudan teologi mereka. Batu sandungan utama yang harus mereka hancurkan atau paling tidak ya ng harus digulingkan ialah klaim kabsolutan dan kefinalitas(an) kebenaran yang ada di masingmasing agama. Di dalam konteks kekristenan, mereka harus menghancurkan keyakinan dan pengajaran tentang Yesus Kristus sebagai pernyataan Allah yang final.’’ 20 ‘’...Theologia abuabu (Pluralisme) yang kehadirannya seperti serigala berbulu domba, seolaholah menawarkan teologi yang sempurna, karena itu teologi tersebut mempersalahkan semua rumusan Teologi Tradisional yang selama ini dianut dan sudah berakar dalam gereja. Namun sesungguhnya Pluralisme sedang menawarkan agama baru...’’ 21 Menurut Stevri Lumintang: ‘’Pluralisme adalah suatu tantangan sekaligus bahaya yang sangat serius bagi kekristenan. Karena pluralisme bukanlah sekedar konsep sosiologis, anthropologis, melainkan konsep filsafat agama yang bertolak bukan dari Alkitab, melainkan bertolak dari fakta kemajemukan yang diikuti oleh tuntutan toleransi, dan diilhami oleh keadaan keadaan sosialpolitik yang didukung oleh kemajemukan etnis, budaya dan agama ; serta disponsori oleh semangat globalisasi dan filsafat relativisme yang mengiringinya. Pluralisme secara terangterangan menolak 20 Stevri I. Lumintang, Theologia AbuAbu: Tantangan dan Ancaman Racun Pluralisme dalam Teologi Kristen Masa Kini, Kini, (Malang: Gandum Mas, 2004), hal. 235236. 21 Ibid, hal. 1819. h t t p : / / w w w . a d i a n h u s a i n i . c o m 15 16.konsep kefinalitasan, eksklusivisme yang normatif, dan keunikan Yesus Kristus. Kristus bukan lagi satusatunya penyelamat, melainkan salah satu penyelamat. Inilah pluralisme, dan disinilah letaknya kehancuran kekristenan masa kini, sekalipun pada hakikatnya kekristenan tidak akan pernah hancur. Penyangkalan terhadap
semua intisari kekristenan ini, pada hekikatnya adalah upaya untuk membangun jalan raya bagi lalu lintas teologi agamaagama atau Theologi a Abu abu (Pluralisme). Oleh karena itu, semua disiplin ilmu teologi diupayakan untuk dikaji ulang (rekonstruksi) untuk membersihkan teologi Kristen dari rumusan rumusan tradisional atau ortodoks, yang pada hakikatnya merupakan batu sandungan terciptanya Theologia AbuAbu atau teologi agamaagama (Theo logia Religionum). 22 Dalam ‘Dokumen Keesaan GerejaPersekutuan GerejaPersekutuan Gerejagereja di Indonesia (DKGPGI) yang diputuskan dalam Sidang Raya XIV PGI di Wisma Kinasih, 29 November5 Desember 2004, masalah Pluralisme Agama tidak dibahas secara eksplisit. eksplisit. Tetapi, dokumen ini menunjukkan sikap eksklusivitas teologis kaum Protes tan. Misalnya, bisa dilihat dalam dalam ‘’Bab IV : Bersaksi dan Memberitakan Injil Kepada Kepada Segala Makhluk’’, yang menegaskan: “Gereja Harus Memberitakan Injil Kepada Segala Makhluk”. Disebutkan dalam bagian ini : ‘’Gerejagereja di Indonesia menegaskan bahwa Injil adalah Berita Kesukaan yang utuh dan menyeluruh, untuk segala makhluk , manusia dan alam lingkungan hidupnya serta keutuhannya : bahwa Injil yang seutuhnya diberitakan kepada manusia yang seutuhnya... ‘’ Dalam Tata dasar Persekutuan GerejaGereja di Indonesia pasal 3 (Pengakuan) disebutkan : ‘’Persekutuan ‘’Persekutuan Gerejagereja di Indonesia mengaku bahwa Yesus Kristus adalah Tuhan dan Juruselamat dunia serta Kepala Gereja, sumber kebenaran dan hidup, yang menghimpun dan menumbuhkan gereja, sesuai dengan Firman Allah dalam Alkitab, yaitu Perjanjian Lama dan Perjanjian Baru (1 Kor. 3 :11) : ‘’Karena tidak ada seorang pun yang dapat meletakkan dasar lain daripada dasar yang telah diletakkan yaitu Yesus Kristus.’’ (bnd. Mat. 16 : 16 ; ef. 4 :15 dan Ul. 7 :6). 23 Di dalam acara kebaktian Minggu, kaum Kristen biasanya mengucapkan a pa yang mereka sebut sebagai ‘sahadat rasuli’ atau ‘pengakuan iman rasuli’, yang juga disebut ‘dua belas pengakuan iman’, yang bunyinya : (1). Aku percaya kepada Al la h Bapa, yang Mahakuasa, Khalik langit dan bumi.(2) Dan kepada Yesus Kristus, AnakNya yang tunggal, Tuhan kita, (3) yang dikandung daripada Roh Kudus, lahir dari an ak dara Maria, (4) yang menderita di bawah pemerintahan Pontius Pilatus, disalibkan, mati dan dikuburkan, turun ke dalam kerajaan maut. (5) pada hari yang ketiga bangkit pula dari antara orang mati, (6) naik ke sorga, duduk di sebelah kanan Allah, Bapa yang Mahakuasa, (7) dan akan datang dari sana untuk menghakimi orang yang hidup dan yang mati, (8) Aku percaya kepada Roh Kudus; (9) gereja yang kudus dan am; persekutuan 22 Ibid, hal. 15. 23 Weinata Sairin Sair in (ed), ‘Dokumen Keesaan GerejaPersekutuan Gerejagereja di Indonesia (DKGPGI), (Jakarta: BPK, 2006). h t t p : / / w w w . a d i a n h u s a i n i . c o m 16 17.orang kudus; (10) pengampunan dosa; (11) kebangkitan daging; (12) dan hidup yang kekal. 24 IV. Pandangan Hindu Kaum Pluralis Agama dari berbagai penganut agama sering mengutip ucapan tokohtokoh Hindu untuk mendukung pendapat mereka. Sukidi, seorang propagandis Pluralisme Agama dari kalangan liberal di Muhammadiyah, misalnya, menulis dalam satu artikel di media massa :
“Dan, konsekuensinya, ada banyak kebenaran (many truths) dalam tradisi dan agamaagama. Nietzsche menegasikan adanya Kebenaran Tunggal dan justru bersikap afirmatif terhadap banyak kebenaran. Mahatma Gandhi pun seirama dengan mendeklarasikan bahwa semua agama entah Hinduisme, Buddhisme, Yahudi, Kristen, Islam, Zoroaster, maupun lainnya adalah benar. Dan, konsekuensinya, kebenaran ada dan ditemukan pada semua agama. Aga maagama itu diibaratkan, dalam nalar pluralisme Gandhi, seperti pohon yang memiliki banyak cabang (many), tapi berasal dari satu akar (the One). Akar yang sa tu itulah yang menjadi asal dan orientasi agamaagama. Karena itu, mari kita memproklamasikan kembali bahwa pluralisme agama sudah menjadi hukum Tuhan (sunnatullâh) yang tidak mungkin berubah. Dan, karena itu, mustah il pula kita melawan dan menghindari. Sebagai muslim, kita tidak punya jalan lain kecuali bersikap positif dan optimistis dalam menerima pluralisme agama sebagai hukum Tuhan. (Jawa Pos, 11 Januari 2004). Dalam paparannya tentang Hinduism dari bukunya, The World’s Religions, Prof. Huston Smith juga menulis satu subbab berjudul “Many Paths to the Same Summit”. Huston Smith menulis: “Early on, the Vedas announced Hinduism’s classic contention that the various religions are but different languages through which God speaks to the human heart. “Truth is one; sages call it by different names.” (Terjemahan bebasnya: Sejak dulu, kitabkitab Veda menyatakan pandangan Hindu klasik, bahwa agama agama yang berbeda hanyalah merupakan bahasa yang berbedabeda yang digunakan Tuhan untuk berbicara kepada hati manusia. Kebenaran mema ng satu; orangorang bijak menyebutnya dengan nama yang berbedabeda). 25 Untuk memperkuat penjelasannya tentang sikap ‘Pluralistik’ agama Hindu, Huston Smith juga mengutip ungkapan ‘orang suci Hindu’ abad ke19, yaitu 24 Dr. Harun Hadiwijono, Inilah Sahadatku, (Jakarta: BPK, 2001), hal. 11. Kau m Katolik di Indonesia juga menggunakan istilah sahadat untuk menyebut ‘Nicene Creed’ yang salah satu versi redaksinya berbunyi: “Kami percaya akan satu Allah, Bapa yang Mahakuasa, Pencipta halhal ya ng kelihatan dan tak kelihatan, Dan akan satu Tuhan Yesus Kristus, Sang Sabda dari Allah, Terang dari Ter ang, Hidup dari Hidup, Putra Allah yang Tunggal Yang pertama lahir dari semua ciptaan, Dilahirkan dari Bapa, Sebelum segala abad ... “ (Alex I. Suwandi PR, Tanya Jawab Syahadat Iman Katolik, (Yogyakarta: Kan isius, 1992), hal. 910. 25 Huston Smith, The World’s Religions, (New York: Harper CollinsPubliser, 1991), hal. 73. h t t p : / / w w w . a d i a n h u s a i n i . c o m 17
Peranan Gereja Yang Diakonal Dan Penanganan HIV/ Aids Diakoni FM
Pengantar Selamat ulang tahun ke 25 kependetaan bapak Pdt. W.P. Tampubolon, Sth. Penulis turut merasakan kebahagiaan jubilaris dan mensyukuri segala berkat Tuhan yang beliau terima selama kurun waktu 25 tahun silam dalam proses pelayanan Gereja Tuhan.
Penulis mengenal jubilaris sebagai sosok pelayan yang memiliki pola pikir produktip dan progressif. Beliau memiliki pengalaman pelayanan yang matang baik di dalam maupun di luar negeri yang turut memampukan beliau dalam pelayanan masa kini sekaligus juga mempersiapkan pelayanan untuk kepentingan masa depan. Kiranya tidak berlebihan apabila penulis juga telah menyaksian bahwa jubilaris adalah salah satu pendeta senior yang selalu punya keinginan untuk menghancurkan tembok pemisah yang sering membatasi komunikasi antara pelayan senior dan junior. Dari keramahan dan keluwesan beliau bergaul dengan para pelayan muda maka tidak salah apabila dikatakan bahwa beliau sangat konsisten untuk membangun kerjasama yang baik dengan para pelayan yang lebih muda. Dalam hal ini, penulis selalu ingat dengan kalimat singkat yang pernah beliau utarakan dalam bahasa Batak kepada penulis dan rekan pelayan muda lainnya, “ molo hupasobok diringku tu hamu unang ma nian rajumi hamu sarupa hamu dohot ahu”. Secara jujur harus diakui, ketika para pelayan senior mau mendekatkan diri bahkan menyesuaikan diri kepada pelayan muda saat itu para pelayan muda semakin kurang menghargai seniornya sebagaimana layaknya. Namun, juga tidak dapat dipungkiri banyak pelayan junior yang menghormati seniornya justru mendapat perlakuan kurang wajar. Akan tetapi, jubilaris menurut penulis punya kemampuan membangun hubungan kerja sama yang leih harmonis dengan juniornya karena keakraban dan komunikasi beliau tidak terlalu formal. Di samping itu, jubilaris tidak jarang melakukan pendekatan kultural kepada rekan sekerjanya yakni sistim kekerabatan ‘dalihan na tolu’. Semoga ke depan, dalam usia yang lebih lanjut, kiranya jubilaris tetap teguh dan kokoh serta lebih energik untuk menunaikan tugas dan pelayanannya sebagai hamba Tuhan. Dalam rangka memeriahkan 25 tahun kependetaan sang Jubilaris, dengan senang hati dan rasa syukur kepad Tuhan, penulis menyumbangkan tulisan ini, walau dalam waktu yang sangat singkat. Semoga tulisan sederhana ini bermanfaat bagi pembaca. 1. Pendahuluan Koinonia, marturia dan diakonia merupakan tri tugas panggilan gereja yang tidak terpisahkan satu dengan yang lain. Ketiga tugas ini punya korelasi interdependensi antara yang satu dengan yang lain. Hal ini dapat dikatakan karena diakonia sendiri adalah pelayanan. Koinonia sebagai persekutuan akan hidup survive,jika terjadi saling melayani di tengahtengah persekutuan itu. Demikian juga halnya marturia, merupakan pelayanan pewartaan kerajaan Allah melalui Injil sebagai khabar keselamatan yang diberitakan ke dalam persekutuan secara sentripetal maupun ke luar persekutuan itu secara sentripugal. Dan diakonia itu menjdai tindakan nyata sebagai pengimplementasian dari pewartaan Injil melalui berbagai aksi sosial; sosial politik, ekonomi dan budaya. Oleh karena itu, pelayanan diakonia sebenarnya sangatlah luas dan didalamnya terdapat beberapa metode pelayanan diakonia yang bervariasi.
Melihat betapa luasnya cakupan pelayanan diakonia, penulis membatasi tulisan ini khusus melihat PERANAN GEREJA YANG DIAKONAL DALAM PENANGANAN HIV/AIDS dengan mengingat HIV/AIDS sudah merupakan permasalahan dunia dan butuh penanganan yang sungguh-sungguh dari semua pihak. Dari berbagai bentuk pelayanan diakonia saat ini dikenal (karitatif, reformatif dan transformatif). Penulis membahas peranan gereja yang diakonal dengan bentuk pelayanan transformatif dengan tindakan preventif dan protektif baik melalui pelayanan pastoral maupun juru kampanye, dalam hal ini melalui khotbah, PA, sermon dan lain-lain. Bentuk pelayanan transformatif merupakan bentuk pelayanan jangka panjang dengan mengesampingkan sikap ketergantungan dari orang yang dilayani kepada pelayan sekaligus konsisten dengan pemandirian orang yang dilayani. Bentuk pelayanan seperti ini juga tidak menempatkan orang yang dilayani sebagai objek melainkan memposisikannya sebagai mitra kerja. Memberdayakan orang yang dilayani bukan saja untuk mampu melepaskan diri dari permasalahan yang ia hadapi tetapi lebih dari itu, pada akhirnya mampu melayani orang lain. Demikianlah ODHA/OHIDA (Orang Dengan HIV/AIDS atau Orang Dengan AIDS) pada akhirnya mampu melayani bersama gereja atau di dalam gereja untuk melakukan pelayanan preventif maupun protektif kepada yang belum terinfeksi virus HIV maupun yang sudah. HIV/AIDS bukan hanya masalah kesehatan saja, melainkan telah jadi masalah kemanusiaan di seluruh dunia, bahkan sudah jadi sebuah epidemi yang pertumbuhannya sangat pesat ibarat sarang labalaba. Lebih berbahaya lagi perkembangannya ibarat belut dalam lumpur, sangat sulit dideteksi. Oleh karena itu, semua pihak sangat diharapkan turut berpartisipasi aktip dalam penanganan HIV/AIDS yang sampai saat ini belum ditemukan obat yang ampuh untuk mengatasinya. Di samping lembaga pemerintah maupun rumah sakit, selama ini berbagai LSM sudah berpartisipasi aktip dalam penanganan HIV/AIDS. Namun kita masih merasakan adanya sikap kekakuan bahkan kepasifan daripada Gereja untuk terlibat langsung dalam penanganan HIV/AIDS. Gereja cenderung menyuarakan penanganan HIV/AIDS dalam tingkat oral pada berbagai seminar maupun rapat yang diadakan namun belum sampai kepada aksi nyata. Gereja telah menyuarakan bahaya HIV/AIDS, namun barangkali masih pada tingkat kognitif atau mungkin afektif, belum sampai pada tingkat psikomotoris. Untuk itu, sudah waktunya Gereja membuka mata dan secara aktip membangun pelayanan diakonal dalam penanganan HIV/AIDS. Gereja dirasa perlu bahkan sudah mendesak untuk segera memberdayakan warga dan pelayan untuk peka dan proaktip menangani masalah kemanusiaan tersebut. Untuk itu, Komite HIV/AIDS yang telah dibentuk HKBP merupakan langkah positip dan konstruktip untuk melakukan penanganan terhadap HIV/AIDS. Namun sebagaimana telah ditegaskan bahwa HIV/AIDS adalah tanggung jawab bersama dari setiap lapisan warga gereja maupun masyarakat. Namun sebelumnya perlu dipahami dasar-dasar teologi diakonia yang menjadi landasan pelayanan gereja terhadap ODHA dan OHIDA. 2. Diakonia dalam Perjanjian Baru Ada dua kata yang perlu dibahas dalam Kitab Perjanjian Baru berkaitan dengan istilah ‘diakonia’ yakni: Pelayan. Istilah diakonia adalah istilah yang diambil dari bahasa Yunani yang diterima dan diakui sebagai bahasa asli kitab Perjanjian Baru. Itu sebabnya penulis membatasi pembahasan landasan teologia diakonia hanya pada kitab Perjanjian Baru, walaupun harus diakui ada
beberapa kata dalam Perjanjian Lama yang berbahasa Ibrani diterjemahkan dengan istilahistilah yang berhubungan dengan diakonia sebagaimana ditemukan dalam kitab Septuaginta (Alf Obtestadt, Membangun Gereja yang Diakonal). Secara etimologi, diakonia berasal dari kata ‘deacon’ yang diterjemahkan menjadi pelayan, hamba, pelayanan dan melayani. Kata ’deacon’ ditemukan sebanyak seratus kali dalm kitab Perjanjian Baru. Hal ini menunjukkan kata ‘deacon’ itu merupakan kata yang sangat populer, penting dan punya makna khusus dalam karya penyelamatan Yesus sendiri. Pada dasarnya, ‘deacon’ itu merupakan hamba. Bahkan sebelum zaman Perjanjian Baru juga dalam dunia Hellenistik tahun 330-37 BC, istilah hamba sudah dikenal sebagai pelayan dalam kegiatan kultus di tempat ibadah orang-orang Yunani. Dari kata ‘deacon’ kita mengenal istilah ‘diaconos’ yakni pelayan. Paulus sebagai pemberita Injil juga menyebut diri dan rekannya Epafras sebagai pelayan (Kol 1:7,23,25). Itu berarti bahwa pemberitaan injil oleh Paulus yang dapat dikategorikan ke dalam istilah ‘marturia’ merupakan suatu hal yang tidak terpisahkan dari diakonia karena orang yang memberitakan Injil juga adalah pelayan. Demikian juga halnya ketika Yesus makan bersama dengan para muridNya, dimana pada saat itu ada dari antara muridNya bertengkar memperdebatkan siapa dari antara mereka yang terbesar. Yesus justru menegaskan bahwa yang terbesar adalah pelayan. Yesus selanjutnya menyebutkan bahwa diriNya sendirilah pelayan itu (Luk 22:26f). Hal ini dikatakan oleh Yesus dalam konteks makan bersama yang didasari oleh persekutuan atau koinonia yang di dalamnya terjadi proses saling melayani. Dengan demikian diakonia juta merupakan suatu hal yang tidak terpisahkan dari koinonia. Walaupun demikian istilah ‘diaconos’ juga dipergunakan untuk suatu jabatan gerejawi (Flp 1:1) dimana selain penilik jemaat juga ada diaken. Disamping itu pelayanan bukan hanya karena jabatan tetapi karena karunia Roh (Rom 12:7). Selanjutnya Rasul Paulus memberikan persyaratan untuk menjadi diaken (1 Tim 3:8ff) yang intinya bahwa rahasia iman harus tetap tersimpan dan terpelihara di dalam hati. Itu artinya bahwa segala tugas pelayanan para diaken tidak boleh dilakukan tanpa iman yang benar. Pelayanan itu sendiri harus dimulai dari diri sendiri maupun keluarga sebagai lembaga terkecil di tengahtengah masyarakat. Pelayanan. Pelayanan yang lebih agung dan mulia mengacu kepada pelayanan Kristus (Ibr 8:6). Pelayanan Yesus sekaligus menyempurnakan pelayanan para nabi dimana pelayanan itu adalah penyangkalan diri sehingga pelayanan itu adalah untuk orang lain. Dalam pemahaman seperti itulah Yesus berkata, “Karena Anak Manusia juga datang bukan untuk dilayani, melainkan untuk melayani dan untuk memberikan nyawaNya menjadi tebusan bagi banyak orang” (Mrk 10:45). Melakukan pelayanan terhadap orang lain itu berarti melakukan pelayanan kepada Kriatus sendiri (Mat 25:44). Itu makanya Kristus menekankan pelayanan kepada orang lain terutama kepada orang-orang yang paling hina karena pelayanan seperti itu adalah pelayanan kapada Dia. Pelayanan para rasul dan para pelayan lainnya merupakan pelayanan yang diterima dari Tuhan maupun yang diterima melalui gereja sehingga ‘harus dijalankan sepenuhnya’ (Kol 4:17; Rom 12:7; 1Tim 3:8ff). Lebih luas lagi bahwa pelayanan itu merupakan tugas dan danggungjawab imamat am orang-orang percaya (1Pet 2:9) sehingga dalam implementasinya perlu pemberdayaan warga jemaat untuk saling melayani dan untuk melayani orang lain di
luar jemaat itu sendiri karena sasaran pelayanan itu adalah masyarakat universal (Roma 15:16). Melayani sesama orang-orang percaya merupakan titik berangkat untuk melayani masyarakat yang lebih luas. Itu makanya Rasul Paulus menekankan pentingnya pelayanan yang berkualitas di dalam kasih kepada sesama seiman (Gal 6:10). 3. Dasar pemahaman pelaksanaan pelayanan Gereja terhadap ODHA/OHIDA 3.1. ODHA/OHIDA Istilah ODHA/OHIDA ini disosialisasikan sebagai pengganti istilah diskriminatif yang selama ini dipergunakan yakni penderita HIV/AIDS. Disamping itu, istilah yang lama itu juga sangat menakutkan ODHA dan OHIDA sekaligus mendukung mereka pada sikap pesimistik dan keputusasaan.
Human Immunodeficiency Syndrome (HIV) merupakan virus yang yang melemahkan bahkan menghilangkan sistim kekebalan tubuh manusia, sementara itu Acquired Immuno Deficiency Syndrome (AIDS) merupakan kumpulan gejala penyakit akibat hilangnya sistim kekebalan tubuh. Kumpulan gejala penyakit tersebut bukanlah yang diturunkan atau penyakit keturunan melainkan diperoleh. Oleh karena itu, memang tidak dapat disangkal bahwa banyak gejala penyakit tersebut diperoleh akibat kesalahan sendiri atau karena kebejatan moral. Inilah yang menjadi dasar masyarakat umum untuk cenderung mmbenci dan mendiskreditkan ODHA/OHIDA itu sehingga terjadi stigmatisasi dan diskriminasi. Sikap seperti ini bukannya mampu meselesaikan permasalahan yang sedang mengglobal ini malah justru turut mempercepat merebaknya HIV/AIDS ke manamana. Hal ini diakibatkan oleh rasa keputusasaan para ODHA/OHIDA yang semakin tertutup dan tidak turut membantu penanganan HIV/AIDS. Disamping itu, banyak orang yang tidak bersedia memeriksakan diri karena takut apabila terdeteksi mereka akan didiskriminasi dan distigmatisasi. Padahal HIV itu adalah virus yang sangat sulit dideteksi karena belum menunjukkan geala penyakit. Barulah ketika HIV sampai kepada AIDS maka virus dapat terdeteksi. Untuk itu, apakah ODHA dan OHIDA itu masih harus dibenci karena ada anggapan bahwa penyakit yang diderita adalah akibat tindakan amoral? Ataukah satusatunya jalan adalah merangkul, mengasihi bahkan menjadikan mereka sebagai mitra kerja? Alkitab adalah landasan pemahaman teologis dan pelayanan diakonal. 3.2. Yesus dan Orang sakit dalam Perjanjian Baru. Dari sekian banyak pelayanan Yesus untuk menyembuhkan orang sakit, ada dua hal yang menarik ditelusuri berkaitan dengan topik ini, yaitu penyembuhan orang sakit karena dosanya (Yoh 5:14; bnd Mrk 2:1-12; Mzm 103:3) dan penyembuhan orang sakit bukan karena dosanya maupun orang tuanya (Yoh 9:2-3). Sangat menarik bahwa Yesus bersedia menyembuhkan orang sakit walaupun penyakit itu adalah akibat dosa yang diperbuat. Yesus tidak mengadakan stigmatisasi dan diskriminasi walaupun hal itu bisa terjadi di tengahtengah masyarakat Yahudi pada waktu itu. Dimana menurut pemahaman Yudaisme penyakit adalah salah satu konsekwensi logis dari pada dosa. Sering mnurut mereka bahwa orang sakit adalah orang berdosa. Itu makanya tidak jarang mereka justru mengucilkan orang sakit terutama orang yang berpenyakit kusta. Bagi Yesus, tidak ada orang yang tidak berdosa. Hal ini ia katakan dimana orangorang Yahudi secara khusus kaum elitis di dalamnya mengklaim dirinya sebagai orang orang yang benar karena melaksanakan hukum taurat disisi lain menghakimi para pemungut cukai sebagai orang-orang berdosa. Dalam hal ini Yesus berkata, “Aku datang bukan untuk orang benar, melainkan untuk orang berdosa” (Mrk 2:17). Pernyataan Yesus ini perlu direvitalisasi dalam kehidupan gereja sekaligus ditransformasikan dalam kehidupan masa kini terutama
dalam pelayanan ODHA/OHIDA yang selama ini sering didiskriminasikan. ODHA/OHIDA hendaknya menjadi bagian yang integral dari keseluruhan pelayanan diakonal gereja pada masa kini dn yang akan datang. 3.3. Gereja adalah tubuh Kristus dan persekutuan orang-orang percaya Rasul Paulus telah menggambarkan orang-orang percaya dengan adanya satu tubuh sebagai wadah persekutuan para anggota dengan fungsi yang berbedabeda (I Kor 12:12-26; Rom 12:4 —8). Setiap orang percaya yang mempunyai latarbelakang, pola pikir dan pergumulan yang berbeda, secara organisma adalah tubuh Kristus (I Kor 12:27). Kemajemukan orang-orang percaya justru diikat oleh satu iman, satu pengharapan dan satu kasih (I Kor 13:13), namun yang paling besar di antaranya ialah kasih. Kasih merupakan satusatunya bukti nyata dari realisasi iman dan pengharapan. Oleh karena itu, idealnya setiap anggota tubuh harus saling mengasihi antara yang satu dengan yang lain tanpa memandang latarbelakang denominasi maupun organisasi demi keutuhan tubuh yang satu itu yakni gereja yang esa sebagai tubuh Kristus.
Gereja sebagai tubuh Kristus telah hadir di tengahtengah dunia ini untuk melaksanakan tri tugas panggilannya yaitu koinonia, marturia, dan diakonia. Gereja diharapkan untuk melaksanakan ketiga tugas ini dalam penanganan HIV/AIDS, dimana gereja harus membangun suatu prsekutuan kasih, mewartakan kasih dan melayankan kasih kepada ODHA/OHIDA. Untuk itu Gereja punya posisi dan peranan yang sangat strategis untuk turut ambil bagian dalam penanganan masalah HIV/AIDS. 3.4. Fungsi protektip dan preventip gereja Fungsi protektip dibutuhkan terutama bagi mereka yang sudah terlanjur ODHA/OHIDA. Mereka harus dilindungi dari serangan dan hujatan masyarakat. Untuk itu, Gereja juga perlu mendirikan semacam wadah dimana ODHA/OHIDA dapat dilayani lebih intensif, efektif dan efisien. Dalam wadah tersebut, mereka benarbenar dapat merasakan kedamaian sampai pada akhirnya mereka terlepas dari belenggu rasa malu dan minder. Disanalah mereka akan dilayani secara pastoral konseling untuk memulihkan mental dan spiritual yang lebih kuat. Di samping itu, perlu disosialisasikan seluasluasnya kepada masyarakat bahwa ODHA/OHIDA adalah sesama manusia yan membutuhkan perlakuan yang wajar sebagaimana masyarakat lainnya. Melalui sosialisasi itu diharapkan kesediaan masyarakat dapat menerima ODHA/OHIDA sebagaimana para penderita penyakit lainnya.
Sementara fungsi preventip akan lebih diarahkan kepada masyarakat yang belum terinfeksi virus HIV terutama bagi mereka yang berpeluang besar akan terserang dilihat dari segi tingkahlakunya misalnya para pecandu narkoba yang menggunakan jarum suntik dan para pelaku seks bebas. Untuk itu, ODHA/OHIDA merupakan mitra kerja gereja yang sangat efektip untuk melakukan tindakan pencegahan penularan virus HIv. Untuk itu, pemahaman bahwa konselor adalah setara dengan ODHA/OHIDA amatlah penting. Dengan demiikian, gereja maupun para konselor akan mampu membangun “sharing” dan berdiskusi secara “konfidensial” artinya konselor tidak memberitahukan rahasia pembicaraan tanpa seizin ODHA/OHIDA. Rasa kebersamaan atau “partnership” akan memperkuat rasa saling mempercayai antara kedua belah pihak. Rasa saling percaya akan memotivasi para penderita untuk lebih terbuka dan jujur dan pada akhirnya melalui pastoral konseling, para penderita akan menjadi mitra gereja dalam penanganan HIV/AIDS. Lambang-lambang HIV/AIDS seperti tengkorak yang sangat menakutkan dan menggambarkan maut sangatlah kurang baik karena berpengaruh negatip terhadap kejiwaan si pederita. ODHA/OHIDA perlu diberdayakan menjadi juru kampanye, bahkan sebagai tenaga konselor yang didampingi oleh
pelayan gereja dalam rangka tindakan preventip maupun protektip. Tindakan preventip dapat dilakukan selualuasnya baik melalui pembinaan terhadap warga gereja (pemuda, kaum bapa, kaum ibu dll) melalui ibadah, khotbah, selebaran dll. 3.5. Perlunya sikap inklusivisme dan universalisme Yesus pernah berkata, “Bukan orang sehat yang memerlukan tabib, tetapi orang sakit; Aku datang bukan untuk memanggil orang benar, melainkan orang berdosa” (Mrk 2:17). Hal ini dikatakan oleh Yesus karena ahli-ahli Taurat dan golongan Farisi yang eksklusive melihat Yesus sedang makan bersama pemungut cukai dan orang berdosa. Demikian juga ketika orang-orang Farisi dan ahli-ahi Taurat datang kepada Yesus sambil membawa seorang perempuan yang tertangkap basah berzinah, mereka memperdebatkan hukum Musa kepada Yesus bahwa orang yang demikian harus dilempari dengan batu. Yesus berkata, “Barang siapa di antara kamu yang tidak berdosa, hendaklah ia yang pertama melemparkan batu kepada perempuan itu” (Yoh 8:7). Dengan jelas Yesus mau menghancurkan tembok pemisah antara kaum elitis Yahudi yang cenderung membenarkan diri dengan masyarakat jelata yang sering disalahkan dan dihakimi. Demikian juga ODHA/OHIDA harus diperlakukan setara dengan manusia yang lain.
Semua bangsa, seluruh dunia, dimana ODHA/OHIDA turut di dalamnya pada akhirnya menjadi landasan pendaratan Firman Tuhan. ODHA/OHIDA tidak boleh dipisahkan atau dibedabedakan hanya karena latarbelakang bangsa, etnis, budaya bahkan agama yang berbeda. Mereka berhak memperoleh perlakuan secara manusiawi. Untuk itu, sikap primordialisme dan nepotisme tidak dibutuhkan dalam proses pelayanan pastoral terhadap ODHA/OHIDA. 3.6. Kasih sebagai landasan pastoral Sebagaimana telah disinggung di atas bahwa yang paling besar dari ketiga hal utama-iman, pengharapan, kasih- adalah kasih. Rasul Paulus telah menjabarkan buah-buah kasih itu secara panjang lebar dalam 1 Kor 13:4-8a. Sebagai landasan pastoral gereja, sangatlah penting dihayati bahwa kasih itu sabar, murah hati, tidak memegahkan diri, tidak pemarah dan tidak menyimpan kesalahan orang lain, kasih itu tidak berkesudahan.
Kita tahu bahwa HIV/AIDS lebih banyak ditimbulkan oleh tindakan kejahatan seperti kejahatan seksual dan penggunaan narkoba melalui jaruum suntik. Namun Gereja harus mampu membedakan dan memisahkan kejahatan dari orang jahat, dimana orang jahat sebenarnya tidak identik dengan kejahatan. Sebagaimana seorang dokter harus mampu memisahkan penyakit dari orang sakit. Seorang dokter tidak pernah berniat membunuh orang sakit tetapi justru ingin mematikan penyakit agar si penderita memperoleh kesembuhan. Karena itu, seorang dokter mutlak mengasihi orang sakit sekigus membenci penyakit yang mengakibatkan penderitaan itu sendiri. Gereja sedapat mungkin harus membenci bahkan menghempang penularan HIV/AIDS namun tidak boleh membenci ODHA/OHIDA. Mereka merupakan korban pertama dari kejahatan dan virus HIV. Seorang konselor yang benarbenar dilandasi oleh kasih harus menunjukkan sikap sabar, tidak mudah putus asa. Dia harus dengan sabar membongkar latarbelakang penularan virus HIV kepada para korban. Tentu saja butuh waktu yang relatif lama, karena penderita harus diyakinkan terlebih dahullu sehingga ia tidak merasa malu untuk mengungkapkannya. Murah hati merupakan penampakan kasih dari konselor yang bersedia memberikan pelayanan
dengan segenap hati dan hidupnya. Tentu saja murah hati tidak boleh diukur dari pemberian material tetapi diukur dari kerelaan untuk mengorbankan tenaga, waktu dan pikiran untuk selalu setia mendampingi penderita di dalam pergumulan hidupnya. Tidak memegahkan diri berarti gereja maupun konselor tidak menempatkan diri lebih tinggi dari para penderita HIV/AIDS. Sebaliknya justru harus merendahkan diri dan menghayati bahwa setiap manusia mempunyai standard yang sama di hadapan Tuhan sebagaimana dalam teologia penciptaan dimana bahwa manusia itu ialah “imago dei”. Namun karena kelemahan manusia itu atas godaan sang iblis, semua manusia telah jatuh ke dalam dosa tanpa terkecuali. Oleh karena itu, semua manusia telah berdosa dan harus diselamatkan. Pihak Gereja atau konselor tidak berhak membenarkan diri sebagai orang kudus sekaligus menghakimi penderita HIV/AIDS sebagai orang-orang berdosa dan jahat. Kemudian sikap tidak pemarah tidak terpisahkan dari tidak memegahkan diri. Sikap marah terhadap ODHA/OHIDA karena perbuatannya tidak akan menolong mereka, tetapi justru akan menjerumuskan mereka kepada kehidupan yang lebih isolatif (lebih suka mengurung dirisendiri). Untuk itu Gereja harus berusaha menumbuhkan sikap percaya diri bahwa mereka dapat diterima di tengahtengah gereja dan masyarakat sebagai orang yang patut dilayani secara wajar. Sikap tidak menyimpan kesalahan orang lain amatlah penting dalam pelayanan pastoral konseling ini. Dimana kesalahan mereka tidak bisa dijadikan sebagai dasar untuk menyalahkan dan menghakimi. Tetapi mereka harus diberdayakan untuk menempuh jalan hidup yang lebih baik bahkan menjadi mitra gereja untuk menghempang penyebaran virus HIV/AIDS. Kasih itu tidak berkesudahan adalah dasar yang paling utama sebagaimana kasih Allah juga tidak pernah berkesudahan. Gereja dan konselor harus merevitalisasi peranan kasih sehingga gereja dan konselor tidak akan pernah merasa jenuh dan bosan, tetapi selalu segar dalam pelayanan pastoral kepada ODHA/OHIDA sekalipun pelayanan tersebut bukan tanpa masalah. 4.Penutup Reposisi dan revitalisasi peranan gereja adalah hal yang sangat mendesak melihat permasalahan sosil disekitarnya yang semakin rumit yang disadari atau tidak asti punya dampak destruktif kepada kehidupan gereja itu sendiri. Selain itu pelayananan sebagaimana telah diuraikan di atas juga adalah pelayanan yang diterima dari Tuhan Raja Gereja yang tidak hanya mementingkan bentuk-bentuk pelayanan formal dan rutin. Kiranya gereja juga memberdayakan para pelayannya maupun warganya untuk tidak hanya menjalankan pelayanan internal tetapi juga menjalankan pelayanan kepada yang lain (Paul Knitter, Satu Bumi Banyak Agama) yakni yang lain yang religius dan yang lain yang menderita khususnya saudara-saudara kita yang kekasih, ODHA/OHIDA. Inklusivitas pelayanan gereja seperti ini merupakan suatu rekonstruksi pelayanan Yesus pada dunia masa kini sebagai salah satu bagian kecil dari perwujudan visi sang Raja Gereja yakni keselamatan dunia. (Penulis:Pdt. E.R. Siahaan, S.Th. Dpk Rakom Diakoni FM) • • • •
Artikel dibaca 514x [0] komentar
• • • • • •
1 2 3 4 5
• • • • • •
Formulir Komentar Nama þÿ
Asal Kota þÿ
Email þÿ
Komentar
Tulisan Terkait Artikel: 31 May 10 22:00 WIB Bandung \ Roni Vikers Ketika Mereka Menentukan Antara Sekolah, Bermain atau Ngamen… ?
Artikel: 24 May 10 15:07 WIB Yogyakarta \ Indie Radio Dunia Broadcast Rakom Perlu Mempertimbangkan Sound Card yang Berkualitas Bagus tapi Ekonomis
Artikel: 5 May 10 11:41 WIB Aceh \ Genta FM Derita Lumpuh Nuraini
Kode Keamanan* þÿ
Kirim
Wajib di isi [may not leaved blank]
Disclaimer : Komentar adalah tanggapan pribadi, tidak mewakili kebijakan Suara Komunitas. Pengelola berhak mengubah/menghapus katakata yang berbau pelecehan, intimidasi,
bertendensi suku, agama, ras, dan antar golongan
• •
Terbaru Terpopuler
19:0 Bertani Melon Memiliki Nilai Ekonomis Tinggi 9 Oleh: Adam Gita Swara Mungkin sebagian besar masyarakat menilai kalau bertani melon adalah pekerjaan yang membutuhkan waktu yang banyak dan rentan dengan penyakit. Tetapi Liputan Khusus > Nusa Tenggara Barat > Gita Swara FM 17:4 Rekrutmen CPNS, KLU Tetapakan UI sebagai Penyelengara 5 Lombok Utara, Suara Komunitas – Setelah beberapa waktu lalu pemerintah Kabupaten Lombok Utara (KLU) belum memastikan penyelenggra atau pelaksana rekrutmen penerimaan Calon Pegawai Negeri Sipil Liputan Khusus > Nusa Tenggara Barat > Gita Swara FM 17:4 UPTD Dikbudpora KLU Usulkan 4 SD Filial Difinitif 3 Lombok Utara, Suara Komunitas – Unit Pelaksana Tehnis Dinas Pendidikan kebudayaan Pemuda dan Olah raga KLU, megusulkan sebanyak 4 unit SD Filial yang ada di kecamatan bayan untuk dirubah Liputan Khusus > Nusa Tenggara Barat > Gita Swara FM 17:4 RPJMD KLU 2010-2015, Sektor pendidikan,Kesehatan dan Infrastruktur jadi 3 Prioritas Lombok Utara, Suara Komunitas - Guna memberikan pemahaman kepada stake holder Liputan Khusus > Nusa Tenggara Barat > Gita Swara FM 06:2 Keakraban Tim Jalin Merapi Magelang 7 K FM Magelang – Dinginnya pagi suasana di gunung merapi Magelang sudah menjadi hal biasa bagi masyarakat sini, akan tetapi bagaimana para relawan JMM? Keaktifan gunung Artikel > Magelang > K FM 00:1 Manfaatkan Situs Jejaring Sosial, Jalin Merapi Informasikan Kondisi 9 Pengungsi MAGELANG. Tim Jaringan Informasi Lintas Merapi (Jalin Merapi) yang tersebar di beberapa titik di Magelang, Boyolali, Klaten dan Yogyakarta memanfaatkan fasilitas grup di situs jejaring Berita > Magelang > Muhammad A.Rofiq 22:1 Jalin Merapi Swadaya Mendirikan Posko 5 MAGELANG. Aktifitas Gunung Merapi yang berada di perbatasan Jawa Tengah dan Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY), belum menunjukkan
penurunnya. Hal ini ditandai dengan masih terjadinya Berita > Magelang > Muhammad A.Rofiq 19:2 Sholat Ghaib dan Doa Bersama untuk Korban Bencana 1 Lombok Utara, Suara Komunitas – Sebagai wujud kepedulian dan solidaritas nasional terhadap korban jiwa akibat meletusnya gunung merapi, jawa tengah, dan bencana gempa bumi yang Berita > Nusa Tenggara Barat > Primadona FM 19:1 Pendidikan Anak Harus Dilakukan Sejak Dini 0 Lombok Utara, Suara Komunitas - Anak merupakan amanah dari Allah, karenanya perlu diberikan pendidikan sejak dini, sehingga menjadi anak, bukan saja berguna untuk agamanya, tapi juga Berita > Nusa Tenggara Barat > Primadona FM 19:0 Sektor Pendidikan, Kesehatan dan Infrastruktur Jadi Prioritas 4 Lombok Utara, Suara Komunitas - Guna memberikan pemahaman kepada stake holder dan masyarakat, sekaligus sebagai upaya konsolidasi dan integrasi perencanaan pembamgunan daerah Berita > Nusa Tenggara Barat > Primadona FM Berita Foto
Rekrutmen CPNS, KLU Tetapakan UI sebagai Penyelengara
oleh: Gita Swara FM. [ +-->]
•
• • • • • • • • • •
• • • • •
10 Komentar Terbaru cut feby berkata : ass mav pak saya ingin ... Mujibur rahman berkata : Semoga bermanfaat,dan ... rifson berkata : mudahan jaringan ini ... rokhim berkata : saya sangat setuju adanya ... cah ncomal berkata : disidokare emangnya ada ... Rahmad suryadi berkata : saya pernah punya teman ... ali erfan berkata : selain pisang mang ga ... Prie berkata : Keinginan tak selamanya ... suswono berkata : Direktur Manajemen Tangkolo ... hary gatho berkata : ingin gabung ma pemuda ...
Siapa Kami Peta Umpan Balik Tanya-Jawab © SuaraKomunitas 2010
Statistik pengunjung: online 6 Script timer: 0.189820 seconds.
Peranan Gereja Yang Diakonal Dan Penanganan HIV/ Aids Diakoni FM Pengantar Selamat ulang tahun ke 25 kependetaan bapak Pdt. W.P. Tampubolon, Sth. Penulis turut merasakan kebahagiaan jubilaris dan mensyukuri segala berkat Tuhan yang beliau terima selama kurun waktu 25 tahun silam dalam proses pelayanan Gereja Tuhan.
Penulis mengenal jubilaris sebagai sosok pelayan yang memiliki pola pikir produktip dan progressif. Beliau memiliki pengalaman pelayanan yang matang baik di dalam maupun di luar negeri yang turut memampukan beliau dalam pelayanan masa kini sekaligus juga mempersiapkan pelayanan untuk kepentingan masa depan. Kiranya tidak berlebihan apabila penulis juga telah menyaksian bahwa jubilaris adalah salah satu pendeta senior yang selalu punya keinginan untuk menghancurkan tembok pemisah yang sering membatasi komunikasi
antara pelayan senior dan junior. Dari keramahan dan keluwesan beliau bergaul dengan para pelayan muda maka tidak salah apabila dikatakan bahwa beliau sangat konsisten untuk membangun kerjasama yang baik dengan para pelayan yang lebih muda. Dalam hal ini, penulis selalu ingat dengan kalimat singkat yang pernah beliau utarakan dalam bahasa Batak kepada penulis dan rekan pelayan muda lainnya, “ molo hupasobok diringku tu hamu unang ma nian rajumi hamu sarupa hamu dohot ahu”. Secara jujur harus diakui, ketika para pelayan senior mau mendekatkan diri bahkan menyesuaikan diri kepada pelayan muda saat itu para pelayan muda semakin kurang menghargai seniornya sebagaimana layaknya. Namun, juga tidak dapat dipungkiri banyak pelayan junior yang menghormati seniornya justru mendapat perlakuan kurang wajar. Akan tetapi, jubilaris menurut penulis punya kemampuan membangun hubungan kerja sama yang leih harmonis dengan juniornya karena keakraban dan komunikasi beliau tidak terlalu formal. Di samping itu, jubilaris tidak jarang melakukan pendekatan kultural kepada rekan sekerjanya yakni sistim kekerabatan ‘dalihan na tolu’. Semoga ke depan, dalam usia yang lebih lanjut, kiranya jubilaris tetap teguh dan kokoh serta lebih energik untuk menunaikan tugas dan pelayanannya sebagai hamba Tuhan. Dalam rangka memeriahkan 25 tahun kependetaan sang Jubilaris, dengan senang hati dan rasa syukur kepad Tuhan, penulis menyumbangkan tulisan ini, walau dalam waktu yang sangat singkat. Semoga tulisan sederhana ini bermanfaat bagi pembaca. 1. Pendahuluan Koinonia, marturia dan diakonia merupakan tri tugas panggilan gereja yang tidak terpisahkan satu dengan yang lain. Ketiga tugas ini punya korelasi interdependensi antara yang satu dengan yang lain. Hal ini dapat dikatakan karena diakonia sendiri adalah pelayanan. Koinonia sebagai persekutuan akan hidup survive,jika terjadi saling melayani di tengahtengah persekutuan itu. Demikian juga halnya marturia, merupakan pelayanan pewartaan kerajaan Allah melalui Injil sebagai khabar keselamatan yang diberitakan ke dalam persekutuan secara sentripetal maupun ke luar persekutuan itu secara sentripugal. Dan diakonia itu menjdai tindakan nyata sebagai pengimplementasian dari pewartaan Injil melalui berbagai aksi sosial; sosial politik, ekonomi dan budaya. Oleh karena itu, pelayanan diakonia sebenarnya sangatlah luas dan didalamnya terdapat beberapa metode pelayanan diakonia yang bervariasi.
Melihat betapa luasnya cakupan pelayanan diakonia, penulis membatasi tulisan ini khusus melihat PERANAN GEREJA YANG DIAKONAL DALAM PENANGANAN HIV/AIDS dengan mengingat HIV/AIDS sudah merupakan permasalahan dunia dan butuh penanganan yang sungguh-sungguh dari semua pihak. Dari berbagai bentuk pelayanan diakonia saat ini dikenal (karitatif, reformatif dan transformatif). Penulis membahas peranan gereja yang diakonal dengan bentuk pelayanan transformatif dengan tindakan preventif dan protektif baik melalui pelayanan pastoral maupun juru kampanye, dalam hal ini melalui khotbah, PA, sermon dan lain-lain. Bentuk pelayanan transformatif merupakan bentuk pelayanan jangka panjang dengan mengesampingkan sikap ketergantungan dari orang yang dilayani kepada pelayan sekaligus konsisten dengan pemandirian orang yang dilayani.
Bentuk pelayanan seperti ini juga tidak menempatkan orang yang dilayani sebagai objek melainkan memposisikannya sebagai mitra kerja. Memberdayakan orang yang dilayani bukan saja untuk mampu melepaskan diri dari permasalahan yang ia hadapi tetapi lebih dari itu, pada akhirnya mampu melayani orang lain. Demikianlah ODHA/OHIDA (Orang Dengan HIV/AIDS atau Orang Dengan AIDS) pada akhirnya mampu melayani bersama gereja atau di dalam gereja untuk melakukan pelayanan preventif maupun protektif kepada yang belum terinfeksi virus HIV maupun yang sudah. HIV/AIDS bukan hanya masalah kesehatan saja, melainkan telah jadi masalah kemanusiaan di seluruh dunia, bahkan sudah jadi sebuah epidemi yang pertumbuhannya sangat pesat ibarat sarang labalaba. Lebih berbahaya lagi perkembangannya ibarat belut dalam lumpur, sangat sulit dideteksi. Oleh karena itu, semua pihak sangat diharapkan turut berpartisipasi aktip dalam penanganan HIV/AIDS yang sampai saat ini belum ditemukan obat yang ampuh untuk mengatasinya. Di samping lembaga pemerintah maupun rumah sakit, selama ini berbagai LSM sudah berpartisipasi aktip dalam penanganan HIV/AIDS. Namun kita masih merasakan adanya sikap kekakuan bahkan kepasifan daripada Gereja untuk terlibat langsung dalam penanganan HIV/AIDS. Gereja cenderung menyuarakan penanganan HIV/AIDS dalam tingkat oral pada berbagai seminar maupun rapat yang diadakan namun belum sampai kepada aksi nyata. Gereja telah menyuarakan bahaya HIV/AIDS, namun barangkali masih pada tingkat kognitif atau mungkin afektif, belum sampai pada tingkat psikomotoris. Untuk itu, sudah waktunya Gereja membuka mata dan secara aktip membangun pelayanan diakonal dalam penanganan HIV/AIDS. Gereja dirasa perlu bahkan sudah mendesak untuk segera memberdayakan warga dan pelayan untuk peka dan proaktip menangani masalah kemanusiaan tersebut. Untuk itu, Komite HIV/AIDS yang telah dibentuk HKBP merupakan langkah positip dan konstruktip untuk melakukan penanganan terhadap HIV/AIDS. Namun sebagaimana telah ditegaskan bahwa HIV/AIDS adalah tanggung jawab bersama dari setiap lapisan warga gereja maupun masyarakat. Namun sebelumnya perlu dipahami dasar-dasar teologi diakonia yang menjadi landasan pelayanan gereja terhadap ODHA dan OHIDA. 2. Diakonia dalam Perjanjian Baru Ada dua kata yang perlu dibahas dalam Kitab Perjanjian Baru berkaitan dengan istilah ‘diakonia’ yakni: Pelayan. Istilah diakonia adalah istilah yang diambil dari bahasa Yunani yang diterima dan diakui sebagai bahasa asli kitab Perjanjian Baru. Itu sebabnya penulis membatasi pembahasan landasan teologia diakonia hanya pada kitab Perjanjian Baru, walaupun harus diakui ada beberapa kata dalam Perjanjian Lama yang berbahasa Ibrani diterjemahkan dengan istilahistilah yang berhubungan dengan diakonia sebagaimana ditemukan dalam kitab Septuaginta (Alf Obtestadt, Membangun Gereja yang Diakonal).
Secara etimologi, diakonia berasal dari kata ‘deacon’ yang diterjemahkan menjadi pelayan, hamba, pelayanan dan melayani. Kata ’deacon’ ditemukan sebanyak seratus kali dalm kitab Perjanjian Baru. Hal ini menunjukkan kata ‘deacon’ itu merupakan kata yang sangat populer, penting dan punya makna khusus dalam karya penyelamatan Yesus sendiri. Pada dasarnya, ‘deacon’ itu merupakan hamba. Bahkan sebelum zaman Perjanjian Baru juga dalam dunia Hellenistik tahun 330-37 BC, istilah hamba sudah dikenal sebagai pelayan dalam kegiatan kultus di tempat ibadah orang-orang Yunani.
Dari kata ‘deacon’ kita mengenal istilah ‘diaconos’ yakni pelayan. Paulus sebagai pemberita Injil juga menyebut diri dan rekannya Epafras sebagai pelayan (Kol 1:7,23,25). Itu berarti bahwa pemberitaan injil oleh Paulus yang dapat dikategorikan ke dalam istilah ‘marturia’ merupakan suatu hal yang tidak terpisahkan dari diakonia karena orang yang memberitakan Injil juga adalah pelayan. Demikian juga halnya ketika Yesus makan bersama dengan para muridNya, dimana pada saat itu ada dari antara muridNya bertengkar memperdebatkan siapa dari antara mereka yang terbesar. Yesus justru menegaskan bahwa yang terbesar adalah pelayan. Yesus selanjutnya menyebutkan bahwa diriNya sendirilah pelayan itu (Luk 22:26f). Hal ini dikatakan oleh Yesus dalam konteks makan bersama yang didasari oleh persekutuan atau koinonia yang di dalamnya terjadi proses saling melayani. Dengan demikian diakonia juta merupakan suatu hal yang tidak terpisahkan dari koinonia. Walaupun demikian istilah ‘diaconos’ juga dipergunakan untuk suatu jabatan gerejawi (Flp 1:1) dimana selain penilik jemaat juga ada diaken. Disamping itu pelayanan bukan hanya karena jabatan tetapi karena karunia Roh (Rom 12:7). Selanjutnya Rasul Paulus memberikan persyaratan untuk menjadi diaken (1 Tim 3:8ff) yang intinya bahwa rahasia iman harus tetap tersimpan dan terpelihara di dalam hati. Itu artinya bahwa segala tugas pelayanan para diaken tidak boleh dilakukan tanpa iman yang benar. Pelayanan itu sendiri harus dimulai dari diri sendiri maupun keluarga sebagai lembaga terkecil di tengahtengah masyarakat. Pelayanan. Pelayanan yang lebih agung dan mulia mengacu kepada pelayanan Kristus (Ibr 8:6). Pelayanan Yesus sekaligus menyempurnakan pelayanan para nabi dimana pelayanan itu adalah penyangkalan diri sehingga pelayanan itu adalah untuk orang lain. Dalam pemahaman seperti itulah Yesus berkata, “Karena Anak Manusia juga datang bukan untuk dilayani, melainkan untuk melayani dan untuk memberikan nyawaNya menjadi tebusan bagi banyak orang” (Mrk 10:45). Melakukan pelayanan terhadap orang lain itu berarti melakukan pelayanan kepada Kriatus sendiri (Mat 25:44). Itu makanya Kristus menekankan pelayanan kepada orang lain terutama kepada orang-orang yang paling hina karena pelayanan seperti itu adalah pelayanan kapada Dia. Pelayanan para rasul dan para pelayan lainnya merupakan pelayanan yang diterima dari Tuhan maupun yang diterima melalui gereja sehingga ‘harus dijalankan sepenuhnya’ (Kol 4:17; Rom 12:7; 1Tim 3:8ff). Lebih luas lagi bahwa pelayanan itu merupakan tugas dan danggungjawab imamat am orang-orang percaya (1Pet 2:9) sehingga dalam implementasinya perlu pemberdayaan warga jemaat untuk saling melayani dan untuk melayani orang lain di luar jemaat itu sendiri karena sasaran pelayanan itu adalah masyarakat universal (Roma 15:16). Melayani sesama orang-orang percaya merupakan titik berangkat untuk melayani masyarakat yang lebih luas. Itu makanya Rasul Paulus menekankan pentingnya pelayanan yang berkualitas di dalam kasih kepada sesama seiman (Gal 6:10). 3. Dasar pemahaman pelaksanaan pelayanan Gereja terhadap ODHA/OHIDA 3.1. ODHA/OHIDA Istilah ODHA/OHIDA ini disosialisasikan sebagai pengganti istilah diskriminatif yang selama ini dipergunakan yakni penderita HIV/AIDS. Disamping itu, istilah yang lama itu juga sangat menakutkan ODHA dan OHIDA sekaligus mendukung mereka pada sikap pesimistik dan keputusasaan.
Human Immunodeficiency Syndrome (HIV) merupakan virus yang yang melemahkan bahkan menghilangkan sistim kekebalan tubuh manusia, sementara itu Acquired Immuno Deficiency Syndrome (AIDS) merupakan kumpulan gejala penyakit akibat hilangnya sistim kekebalan tubuh. Kumpulan gejala penyakit tersebut bukanlah yang diturunkan atau penyakit keturunan melainkan diperoleh. Oleh karena itu, memang tidak dapat disangkal bahwa banyak gejala penyakit tersebut diperoleh akibat kesalahan sendiri atau karena kebejatan moral. Inilah yang menjadi dasar masyarakat umum untuk cenderung mmbenci dan mendiskreditkan ODHA/OHIDA itu sehingga terjadi stigmatisasi dan diskriminasi. Sikap seperti ini bukannya mampu meselesaikan permasalahan yang sedang mengglobal ini malah justru turut mempercepat merebaknya HIV/AIDS ke manamana. Hal ini diakibatkan oleh rasa keputusasaan para ODHA/OHIDA yang semakin tertutup dan tidak turut membantu penanganan HIV/AIDS. Disamping itu, banyak orang yang tidak bersedia memeriksakan diri karena takut apabila terdeteksi mereka akan didiskriminasi dan distigmatisasi. Padahal HIV itu adalah virus yang sangat sulit dideteksi karena belum menunjukkan geala penyakit. Barulah ketika HIV sampai kepada AIDS maka virus dapat terdeteksi. Untuk itu, apakah ODHA dan OHIDA itu masih harus dibenci karena ada anggapan bahwa penyakit yang diderita adalah akibat tindakan amoral? Ataukah satusatunya jalan adalah merangkul, mengasihi bahkan menjadikan mereka sebagai mitra kerja? Alkitab adalah landasan pemahaman teologis dan pelayanan diakonal. 3.2. Yesus dan Orang sakit dalam Perjanjian Baru. Dari sekian banyak pelayanan Yesus untuk menyembuhkan orang sakit, ada dua hal yang menarik ditelusuri berkaitan dengan topik ini, yaitu penyembuhan orang sakit karena dosanya (Yoh 5:14; bnd Mrk 2:1-12; Mzm 103:3) dan penyembuhan orang sakit bukan karena dosanya maupun orang tuanya (Yoh 9:2-3). Sangat menarik bahwa Yesus bersedia menyembuhkan orang sakit walaupun penyakit itu adalah akibat dosa yang diperbuat. Yesus tidak mengadakan stigmatisasi dan diskriminasi walaupun hal itu bisa terjadi di tengahtengah masyarakat Yahudi pada waktu itu. Dimana menurut pemahaman Yudaisme penyakit adalah salah satu konsekwensi logis dari pada dosa. Sering mnurut mereka bahwa orang sakit adalah orang berdosa. Itu makanya tidak jarang mereka justru mengucilkan orang sakit terutama orang yang berpenyakit kusta. Bagi Yesus, tidak ada orang yang tidak berdosa. Hal ini ia katakan dimana orangorang Yahudi secara khusus kaum elitis di dalamnya mengklaim dirinya sebagai orang orang yang benar karena melaksanakan hukum taurat disisi lain menghakimi para pemungut cukai sebagai orang-orang berdosa. Dalam hal ini Yesus berkata, “Aku datang bukan untuk orang benar, melainkan untuk orang berdosa” (Mrk 2:17). Pernyataan Yesus ini perlu direvitalisasi dalam kehidupan gereja sekaligus ditransformasikan dalam kehidupan masa kini terutama dalam pelayanan ODHA/OHIDA yang selama ini sering didiskriminasikan. ODHA/OHIDA hendaknya menjadi bagian yang integral dari keseluruhan pelayanan diakonal gereja pada masa kini dn yang akan datang. 3.3. Gereja adalah tubuh Kristus dan persekutuan orang-orang percaya Rasul Paulus telah menggambarkan orang-orang percaya dengan adanya satu tubuh sebagai wadah persekutuan para anggota dengan fungsi yang berbedabeda (I Kor 12:12-26; Rom 12:4 —8). Setiap orang percaya yang mempunyai latarbelakang, pola pikir dan pergumulan yang berbeda, secara organisma adalah tubuh Kristus (I Kor 12:27). Kemajemukan orang-orang percaya justru diikat oleh satu iman, satu pengharapan dan satu kasih (I Kor 13:13), namun yang paling besar di antaranya ialah kasih. Kasih merupakan satusatunya bukti nyata dari
realisasi iman dan pengharapan. Oleh karena itu, idealnya setiap anggota tubuh harus saling mengasihi antara yang satu dengan yang lain tanpa memandang latarbelakang denominasi maupun organisasi demi keutuhan tubuh yang satu itu yakni gereja yang esa sebagai tubuh Kristus. Gereja sebagai tubuh Kristus telah hadir di tengahtengah dunia ini untuk melaksanakan tri tugas panggilannya yaitu koinonia, marturia, dan diakonia. Gereja diharapkan untuk melaksanakan ketiga tugas ini dalam penanganan HIV/AIDS, dimana gereja harus membangun suatu prsekutuan kasih, mewartakan kasih dan melayankan kasih kepada ODHA/OHIDA. Untuk itu Gereja punya posisi dan peranan yang sangat strategis untuk turut ambil bagian dalam penanganan masalah HIV/AIDS. 3.4. Fungsi protektip dan preventip gereja Fungsi protektip dibutuhkan terutama bagi mereka yang sudah terlanjur ODHA/OHIDA. Mereka harus dilindungi dari serangan dan hujatan masyarakat. Untuk itu, Gereja juga perlu mendirikan semacam wadah dimana ODHA/OHIDA dapat dilayani lebih intensif, efektif dan efisien. Dalam wadah tersebut, mereka benarbenar dapat merasakan kedamaian sampai pada akhirnya mereka terlepas dari belenggu rasa malu dan minder. Disanalah mereka akan dilayani secara pastoral konseling untuk memulihkan mental dan spiritual yang lebih kuat. Di samping itu, perlu disosialisasikan seluasluasnya kepada masyarakat bahwa ODHA/OHIDA adalah sesama manusia yan membutuhkan perlakuan yang wajar sebagaimana masyarakat lainnya. Melalui sosialisasi itu diharapkan kesediaan masyarakat dapat menerima ODHA/OHIDA sebagaimana para penderita penyakit lainnya.
Sementara fungsi preventip akan lebih diarahkan kepada masyarakat yang belum terinfeksi virus HIV terutama bagi mereka yang berpeluang besar akan terserang dilihat dari segi tingkahlakunya misalnya para pecandu narkoba yang menggunakan jarum suntik dan para pelaku seks bebas. Untuk itu, ODHA/OHIDA merupakan mitra kerja gereja yang sangat efektip untuk melakukan tindakan pencegahan penularan virus HIv. Untuk itu, pemahaman bahwa konselor adalah setara dengan ODHA/OHIDA amatlah penting. Dengan demiikian, gereja maupun para konselor akan mampu membangun “sharing” dan berdiskusi secara “konfidensial” artinya konselor tidak memberitahukan rahasia pembicaraan tanpa seizin ODHA/OHIDA. Rasa kebersamaan atau “partnership” akan memperkuat rasa saling mempercayai antara kedua belah pihak. Rasa saling percaya akan memotivasi para penderita untuk lebih terbuka dan jujur dan pada akhirnya melalui pastoral konseling, para penderita akan menjadi mitra gereja dalam penanganan HIV/AIDS. Lambang-lambang HIV/AIDS seperti tengkorak yang sangat menakutkan dan menggambarkan maut sangatlah kurang baik karena berpengaruh negatip terhadap kejiwaan si pederita. ODHA/OHIDA perlu diberdayakan menjadi juru kampanye, bahkan sebagai tenaga konselor yang didampingi oleh pelayan gereja dalam rangka tindakan preventip maupun protektip. Tindakan preventip dapat dilakukan selualuasnya baik melalui pembinaan terhadap warga gereja (pemuda, kaum bapa, kaum ibu dll) melalui ibadah, khotbah, selebaran dll. 3.5. Perlunya sikap inklusivisme dan universalisme Yesus pernah berkata, “Bukan orang sehat yang memerlukan tabib, tetapi orang sakit; Aku datang bukan untuk memanggil orang benar, melainkan orang berdosa” (Mrk 2:17). Hal ini dikatakan oleh Yesus karena ahli-ahli Taurat dan golongan Farisi yang eksklusive melihat Yesus sedang makan bersama pemungut cukai dan orang berdosa. Demikian juga ketika orang-orang Farisi dan ahli-ahi Taurat datang kepada Yesus sambil membawa seorang perempuan yang tertangkap basah berzinah, mereka memperdebatkan hukum Musa kepada
Yesus bahwa orang yang demikian harus dilempari dengan batu. Yesus berkata, “Barang siapa di antara kamu yang tidak berdosa, hendaklah ia yang pertama melemparkan batu kepada perempuan itu” (Yoh 8:7). Dengan jelas Yesus mau menghancurkan tembok pemisah antara kaum elitis Yahudi yang cenderung membenarkan diri dengan masyarakat jelata yang sering disalahkan dan dihakimi. Demikian juga ODHA/OHIDA harus diperlakukan setara dengan manusia yang lain. Semua bangsa, seluruh dunia, dimana ODHA/OHIDA turut di dalamnya pada akhirnya menjadi landasan pendaratan Firman Tuhan. ODHA/OHIDA tidak boleh dipisahkan atau dibedabedakan hanya karena latarbelakang bangsa, etnis, budaya bahkan agama yang berbeda. Mereka berhak memperoleh perlakuan secara manusiawi. Untuk itu, sikap primordialisme dan nepotisme tidak dibutuhkan dalam proses pelayanan pastoral terhadap ODHA/OHIDA. 3.6. Kasih sebagai landasan pastoral Sebagaimana telah disinggung di atas bahwa yang paling besar dari ketiga hal utama-iman, pengharapan, kasih- adalah kasih. Rasul Paulus telah menjabarkan buah-buah kasih itu secara panjang lebar dalam 1 Kor 13:4-8a. Sebagai landasan pastoral gereja, sangatlah penting dihayati bahwa kasih itu sabar, murah hati, tidak memegahkan diri, tidak pemarah dan tidak menyimpan kesalahan orang lain, kasih itu tidak berkesudahan.
Kita tahu bahwa HIV/AIDS lebih banyak ditimbulkan oleh tindakan kejahatan seperti kejahatan seksual dan penggunaan narkoba melalui jaruum suntik. Namun Gereja harus mampu membedakan dan memisahkan kejahatan dari orang jahat, dimana orang jahat sebenarnya tidak identik dengan kejahatan. Sebagaimana seorang dokter harus mampu memisahkan penyakit dari orang sakit. Seorang dokter tidak pernah berniat membunuh orang sakit tetapi justru ingin mematikan penyakit agar si penderita memperoleh kesembuhan. Karena itu, seorang dokter mutlak mengasihi orang sakit sekigus membenci penyakit yang mengakibatkan penderitaan itu sendiri. Gereja sedapat mungkin harus membenci bahkan menghempang penularan HIV/AIDS namun tidak boleh membenci ODHA/OHIDA. Mereka merupakan korban pertama dari kejahatan dan virus HIV. Seorang konselor yang benarbenar dilandasi oleh kasih harus menunjukkan sikap sabar, tidak mudah putus asa. Dia harus dengan sabar membongkar latarbelakang penularan virus HIV kepada para korban. Tentu saja butuh waktu yang relatif lama, karena penderita harus diyakinkan terlebih dahullu sehingga ia tidak merasa malu untuk mengungkapkannya. Murah hati merupakan penampakan kasih dari konselor yang bersedia memberikan pelayanan dengan segenap hati dan hidupnya. Tentu saja murah hati tidak boleh diukur dari pemberian material tetapi diukur dari kerelaan untuk mengorbankan tenaga, waktu dan pikiran untuk selalu setia mendampingi penderita di dalam pergumulan hidupnya. Tidak memegahkan diri berarti gereja maupun konselor tidak menempatkan diri lebih tinggi dari para penderita HIV/AIDS. Sebaliknya justru harus merendahkan diri dan menghayati bahwa setiap manusia mempunyai standard yang sama di hadapan Tuhan sebagaimana dalam teologia penciptaan dimana bahwa manusia itu ialah “imago dei”. Namun karena kelemahan manusia itu atas godaan sang iblis, semua manusia telah jatuh ke dalam dosa tanpa terkecuali. Oleh karena itu, semua manusia telah berdosa dan harus diselamatkan. Pihak Gereja atau konselor tidak berhak membenarkan diri sebagai orang kudus sekaligus menghakimi penderita HIV/AIDS sebagai orang-orang berdosa dan jahat. Kemudian sikap tidak pemarah tidak
terpisahkan dari tidak memegahkan diri. Sikap marah terhadap ODHA/OHIDA karena perbuatannya tidak akan menolong mereka, tetapi justru akan menjerumuskan mereka kepada kehidupan yang lebih isolatif (lebih suka mengurung dirisendiri). Untuk itu Gereja harus berusaha menumbuhkan sikap percaya diri bahwa mereka dapat diterima di tengahtengah gereja dan masyarakat sebagai orang yang patut dilayani secara wajar. Sikap tidak menyimpan kesalahan orang lain amatlah penting dalam pelayanan pastoral konseling ini. Dimana kesalahan mereka tidak bisa dijadikan sebagai dasar untuk menyalahkan dan menghakimi. Tetapi mereka harus diberdayakan untuk menempuh jalan hidup yang lebih baik bahkan menjadi mitra gereja untuk menghempang penyebaran virus HIV/AIDS. Kasih itu tidak berkesudahan adalah dasar yang paling utama sebagaimana kasih Allah juga tidak pernah berkesudahan. Gereja dan konselor harus merevitalisasi peranan kasih sehingga gereja dan konselor tidak akan pernah merasa jenuh dan bosan, tetapi selalu segar dalam pelayanan pastoral kepada ODHA/OHIDA sekalipun pelayanan tersebut bukan tanpa masalah. 4.Penutup Reposisi dan revitalisasi peranan gereja adalah hal yang sangat mendesak melihat permasalahan sosil disekitarnya yang semakin rumit yang disadari atau tidak asti punya dampak destruktif kepada kehidupan gereja itu sendiri. Selain itu pelayananan sebagaimana telah diuraikan di atas juga adalah pelayanan yang diterima dari Tuhan Raja Gereja yang tidak hanya mementingkan bentuk-bentuk pelayanan formal dan rutin. Kiranya gereja juga memberdayakan para pelayannya maupun warganya untuk tidak hanya menjalankan pelayanan internal tetapi juga menjalankan pelayanan kepada yang lain (Paul Knitter, Satu Bumi Banyak Agama) yakni yang lain yang religius dan yang lain yang menderita khususnya saudara-saudara kita yang kekasih, ODHA/OHIDA. Inklusivitas pelayanan gereja seperti ini merupakan suatu rekonstruksi pelayanan Yesus pada dunia masa kini sebagai salah satu bagian kecil dari perwujudan visi sang Raja Gereja yakni keselamatan dunia. (Penulis:Pdt. E.R. Siahaan, S.Th. Dpk Rakom Diakoni FM)
Allah islam = Allah kristen ? Saudara/i ykk,
Banyak pertanyaan diajukan mengenai 'Apakah Allah Islam sama dengan Allah Kristen?' dan argumentasi yang banyak dikemukakan adalah bahwa 'Allah Islam tidak sama dengan Allah Kristen' alasannya 'Karena ajaran keduanya berbeda!'. Pandangan ini tercermin dalam buku Dr. Robert Morey yang beredar bahkan dianut belakangan ini di kalangan tertentu di Indonesia: "Islam claims that Allah is the same God who was revealed in the Bible. This logically implies in the positive sense that the concept of God set forth in the Quran will correspond in all points to the concept of God found in the Bible. This also implies in the negative sense that if the Bible and the Quran have differing views of God, then Islam's claim is false." (Islamic Invasion, Harvest House Publishers, 1992, h.57). Definisi Morey ini memiliki kelemahan dasar berfikir yang fatal yang menganggap masalahmasalah teologi (ilmu sosial) bersifat eksakta dan mencampur adukkan pengertian soal 'identitas' dan 'opini' (meta basis). Dari dasar berfikir atau asumsi ini, maka dihasilkan
kesimpulan bahwa (1) Bila Allah Islam adalah Tuhan Kristen, maka secara positif konsep keduanya mengenai Tuhan harusnya sama dalam setiap butirnya, sebaliknya secara negatif disebut bahwa (2) Bila Al-Quran dan Alkitab memiliki pandangan berbeda mengenai Tuhan, maka klaim Islam adalah salah. Pandangan yang terlalu sederhana ini dengan mudah bisa digugurkan bila kita mengambil contoh soal 'Suharto' mantan presiden ORBA. Menurut definisi Morley, bila Suharto yang dimaksudkan oleh para pengikut ORBA sama dengan Suharto yang di demo mahasiswa, maka konsep keduanya mengenai Suharto akan sama dalam setiap butirnya. Faktanya sekalipun Suhartonya sama konsep keduanya berbeda. Bagi para pengikut ORBA, Suharto adalah bapak pembangunan yang membawa kesejahteraan dan mendatangkan kesatuan dan keamanan regional, padahal Suharto yang sama itu oleh para mahasiswa dianggap sebagai bapak pembangkrutan yang membawa kemiskinan karena KKN dan tiran yang membawa bangsa Indonesia kepada disintegrasi bangsa. Mengapa berbeda? Dan kalau berbeda apakah klaim mahasiswa mengenai Suharto salah? Di sini kita berhubungan dengan dua soal yang tidak bisa dicampur adukkan satu dengan lainnya, yaitu bahwa Suharto sebagai pribadi (oknum) dengan namanya dan konsep orang (ajaran atau aqidah) mengenai oknum yang sama itu. Soal yang sama terjadi dalam hubungan dengan pertanyaan mengenai apakah 'Allah Islam sama dengan Tuhan Kristen?'. Jawabannya perlu kita lihat dari Kitab Suci Islam (Al-Quran) maupun Kristen (Al-Kitab), dan juga sejarah bangsa dan bahasa Semit.
EL SEMIT
Faktanya, bila kita membandingkan agama Yahudi (Alkitab Perjanjian Lama), Kristen (Alkitab Perjanjian Lama dan Baru), dan Islam (Al-Quran), kita dapat melihat bahwa ada butir-butir yang sama, namun banyak butir-butir lainnya yang tidak sama (jadi bukan semua sama atau semua tidak sama). Bila kita melihat Alkitab PL, kita dapat mengetahui bahwa nama Tuhan 'El/Elohim' adalah pencipta langit dan bumi, manusia dan segala isinya. Dan ia juga Tuhan yang menyatakan dirinya kepada Adam, Nuh, Abraham, Ishak, dan Yakub. Agama Yahudi, Kristen dan Islam mempercayai itu semua, namun mereka berbeda dalam kepercayaan akan wahyu mana yang dari El yang sama itu yang dipercayai. Agama Yahudi mempercayai wahyu yang dibukukan menjadi Alkitab Perjanjian Lama, namun sekalipun agama Kristen menerima hal ini, agama Kristen juga mengakui penggenapan dalam Tuhan Yesus Kristus yang wahyunya dibukukan dalam Perjanjian Baru padahal Yahudi menolak. "Katakanlah: Kami telah beriman kepada Allah dan (kitab) yang diturunkan kepada kami dan apa-apa yang diturunkan kepada Ibrahim, Isma'il, Ishaq, Y'qub dan anak-anaknya, (begitu juga kepada kitab) yang diturunkan kepada Musa dan 'Isa, dan apa-apa yang diturunkan kepada nabi-nabi dari Tuhan mereka, tiadalah kami perbedakan seorang juga di antara mereka itu dan kami patuh kepada Allah" (Al-Quran, Al-Baqarah, 2:136, Mahmud Yunus, Tafsir Quran Karim).
Agama Islam, sekalipun menerima kitab yang diterima Ibrahim, Ishak, Yakub dan Isa, namun lebih menerima kitab wahyu yang diterima Muhammad dari jalur Ismael, dan menerima kitab-kitab Ibrahim, Ishak, Yakub dan Isa sejauh diterima oleh Muhammad yang dipercayai sebagai nabi, dan sekalipun menerima kitab-kitab Yahudi dan Kristen, namun karena dianggap telah dipalsukan, maka kepercayaan kepada berita Al-Kitab terbatas hanya bila hal itu dikuatkan dalam Al-Quran. Jadi, dari terang Alkitab (PL+PB) dan Al-Quran jelas terlihat bahwa sebagai oknum dengan namanya, Allah Islam adalah Tuhan Yahudi dan Kristen. Namun karena wahyu yang dipercayai berbeda, dengan sendirinya banyak pengajaran (aqidah)nya yang berbeda. Agama Yahudi, kepercayaannya hanya bergantung kepada Perjanjian Lama, akibatnya mereka memandang Tuhan 'El' (yang sejak Musa diberi nama juga sebagai 'Yahweh' (Kel.6:1-2)) sebagai Tuhan monotheisme yang transenden dengan hukum Taurat sebagai pedoman, namun agama Kristen berbeda dan menerima kenyataan bahwa El Abraham itu juga telah menyatakan diri dalam oknum Yesus dalam ke-Tritunggalannya, dan hukum kasih/Injil menjadi pedomannya. Islam mengikuti jalur Abraham mempercayai Tuhan 'El' itu yang dalam dialek Arab disebut 'Allah' (dari al-ilah). Dalam bahasa Ibrani kata sandang 'the' ('al' dalam dialek Arab dan 'ha' dalam dialek Aram-Siria namun diletakkan di belakang menjadi 'alaha') tidak digunakan bila menyebut Tuhan. Dari sejarah kita mengetahui bahwa sejak awalnya 'El' bisa memiliki arti umum sebagai sebutan untuk 'Tuhan/Ketuhanan' dan 'Elohim' sering digunakan dalam arti kata jamak (politheistik) dan dipakai oleh suku-suku keturunan Sem (menjadi rumpun Semit) dan karena perkembangan zaman sering merosot sehingga dimengerti dalam berbagai-bagai ajaran aqidah, namun 'El/Il' juga digunakan untuk menyebut 'nama diri' Tuhan. "'Ilu, El' sebagai sebutan untuk ketuhanan. Istilah 'il mempunyai arti sebutan umum (generic appelative) untuk menunjuk pada 'tuhan' atau 'ketuhanan' pada tahap awal semua cabang utama rumpun bahasa Semit. Ini terlihat jelas di Semit Timur, Akadian kuno (ilu) dan dialekdialek sesaudara dimulai zaman pra-Sargon (sebelum 2360 BC) dan berlanjut sampai akhir masa Babil. Penggunaan sebagai sebutan juga muncul di Semit Barat Laut, di Amrit ('ilu, 'ilum, 'ila), di Ugarit, di Ibrani, dan umum di dialek-dialek Arab Selatan kuno, di Arab Utara digantikan dengan nama 'ilah. 'Ilu, El juga digunakan sebagai Nama Diri (proper name). … Di Semit Timur ada bukti kuno yang menunjukkan bahwa 'Il' adalah nama diri tuhan … tuhan Il (kemudian El Semit) adalah kepala ketuhanan pada rumpun Semit Mesopotamia pada masa Pra-Sargon." (G. Johanes Botterwech, Theological Dictionary of the Old Testament, Vol.I, 242-244). Dari sejarah ini kita dapat melihat bahwa 'Allah' di kalangan bangsa dan bahasa Arab tidak lain menunjuk pada 'El' Semit' yang sama, ini dijelaskan dalam buku-buku teologi Kristen maupun Ensiklopedia Islam bahwa setidaknya bangsa Arab mewarisi tiga jalur nenek moyang yang semuanya mengenal 'El Abraham' yaitu sebagai keturunan Sem, Yoktan (keturunan Eber), dan Adnan (keturunan Ismael anak Abraham). Bahwa ajaran/konsep mengenai 'Allah' (El) itu kemudian merosot dan makin tidak mendekati hakekat yang di'nama'kan dan ditujukan kepada pribadi lain seperti yang terjadi pada jalur Ishak (Kel.32, Anak Lembu Emas disebut 'Elohim' dan 'Yahweh') maupun jalur Ismael (masa
jahiliah, dewa berhala disebut 'Allah'), tentu tidak mengurangi hakekat nama itu sendiri sebagai menunjuk kepada 'El' semitik dan monotheisme Abraham. Namun, sekalipun diyakini bahwa 'Allah' Yahudi, Kristen dan Islam sama, tentu tidak disimpulkan bahwa Tuhan Semua Agama sama. Dalam pengertian 'Universalisme' (pluralisme agama) disebutkan bahwa semua agama itu menyembah Tuhan yang sama (universal) namun melalui jalan-jalan yang berbeda (partikular). Kita harus menyadari bahwa setidaknya ada 4 golongan agama, yaitu : (1) 'Theisme' - Tuhan yang berpribadi (Yahudi, Kristen, Islam), (2) 'Monisme' - Tuhan kekuatan semesta (Hindu-Upanishad, Tao dan Kebatinan), (3) Non-Theis - Tuhan yang 'non-exist' (Buddhisme), dan (4) Demonisme - Tuhan Okultis (satanisme). Bisa juga dimasukkan 'politheisme' (HinduVeda) sebagai golongan ke-5. Sudah jelas ke-empat (atau ke-lima) bentuk Tuhan itu tidak sama, namun harus diakui bahwa Tuhan 'Theisme' (Yahudi, Kristen, Islam) adalah Tuhan Semitik agama samawi yang berpribadi, berfirman dan menurunkan wahyu kepada umatnya, jadi sekalipun kita menyebut Tuhan Theisme Yahudi, Kristen dan Islam menunjuk pada oknum yang sama namun sekalipun ada yang sama juga ada yang berbeda ajaran/aqidahnya, sedang Tuhan Theisme, Monisme, Non-Theisme, dan Demonisme jelas berbeda baik sebagai nama oknum maupun ajaran/aqidahnya. Tetapi bagaimana dengan definisi yang dicantumkan dalam kamus-kamus dalam bahasa Inggeris? Disana disebutkan bahwa "Allah … Muslim's name for God" (a.l. Oxford Dictionary & Grollier Ensyclopedia). Kita dapat membandingkan hal ini dengan definisi yang disebutkan dalam Enyclopaedia Britannica, yang sekalipun mengakui ke-khasan nama Allah dalam penggunaannya di kalangan agama Islam sebagai salah satu artinya, dalam arti yang lain jelas memberikan pengertian yang lebih ilmiah dan lebih mengandung kebenaran: "Allah (Arabic:"God"), the one and only God in the religion of Islam. Etymologically, the name Allah is probably a contraction of the Arabic al-Ilah, "the God." The name's origin can be traced back to the earliest Semitic writings in which the word for god was Il or El, the latter being an Old Testament synonim for Yahweh. Allah is the standard Arabic word for "God" and is used by Arab Christians as well as by Muslims." Definisi yang benar ini juga disebutkan dalam Ensiklopedi Nasional Indonesia dimana disebutkan bahwa: "ALLAH adalah Tuhan, pencipta alam raya termasuk segala isinya". (Vol.I, h.270). Memang dalam literatur Barat termasuk dalam beberapa kamus, ada sentimen kuat anti Arab/Islam sehingga sering timbul ungkapan-ungkapan memojokkan yang tidak ilmiah seperti ucapan Morley di atas yang memberi stigmata seakan-akan nama 'Allah' itu nama dewa/i masa jahiliah Arab seperti Dewa Pengairan atau Dewa Bulan, namun banyak pula literatur Barat yang lebih bersifat netral dan ilmiah seperti Ensyclopaedia Britannica dan umumnya kamus-kamus teologia yang menyebut bahwa nama 'Allah' adalah nama dalam dialek/bahasa Arab untuk menunjuk pada 'El' Semitik, dan juga digunakan oleh orang Arab pra-Islam (terutama kaum Hanif yang tetap mempertahankan Allah monotheisme Abraham) maupun bangsa Arab yang menganut agama Yahudi dan Kristen:
"Karena Islam memperbaiki agama yang dibawa Ibrahim, yakni agama fitrah, maka jahiliyah dipandang sebagai sebuah zaman sebelum kedatangan Islam, ibarat kegelapan sebelum terbit fajar. Pada zaman ini ajaran monotheisme Ibrahim telah musnah berganti dengan sitem paganisme, dan diwarnai dekadensi moral. Sejumlah berhala sesembahan didatangkan ke Makkah dari berbagai negeri di Timur Tengah. Namun tidak semua warga Arab pada saat itu menganut sistem keyakinan pagan, melainkan terdapat beberapa suku Arab memeluk agama Kristen dan Yahudi. Bahkan terdapat sejumlah pribadi yang menekuni dunia spiritual, mereka itu dinamakan 'hunafa' (tgl. hanif) yang mana mereka tidak memihak kepada satu di antara kedua agama tersebut, melainkan mereka bertahan pada ajaran monotheisme Ibrahim". (Cyrill Glasse, Ensiklopedia Islam, h.190, dibawah kata al-Jahiliah). Kenyataan ini juga diperkuat dengan ditemukannya peninggalan arkeologis beberapa abad sebelum masa Islam abad-VII (yang secara keliru disebut dalam buku Morley bahwa Alkitab dalam bahasa Arab baru ada pada abad-IX dan menggunakan nama Allah karena dipaksa orang Islam dan bandingkan dengan buku-buku yang bertema 'Asal bukan Allah' yang menganggap orang Islam tidak menyukai orang Kristen menggunakan nama 'Allah'). Suatu pengingkaran sejarah yang dihasilkan semangat Arab/Islam fobia, sebab jauh sebelum ada agama Islam nama Allah sudah digunakan bersama-sama oleh umat Yahudi Arab, Kristen Arab dan bangsa Arab pra-Islam.
Namun, kalau 'El' (Ibrani) sama dengan 'Alaha' (Aram-Siria) dan 'Allah' (Arab), mengapa tidak memilih saja 'El/Elohim' yang merupakan bahasa aslinya? Tuhan dalam menyebarkan firmannya menggunakan kendaraan bahasa-bahasa. Pada zaman Ezra, Alkitab Ibrani sudah diterjemahkan ke dalam bahasa Aram, dan sejak itu sampai abad ke-XIX bahasa Ibrani hanya digunakan dalam penulisan/penyalinan Kitab Suci saja. Ketika bahasa Yunani menguasai kawasan sekitar Laut Tengah, atas perintah imam besar di Yerusalem, Eliezer, Alkitab PL diterjemahkan dari bahasa Ibrani ke bahasa Yunani (Septuaginta/LXX), inilah yang digunakan Yesus, para Rasul, umat Kristen dan dipakai juga di sinagoga-sinagoga. Demikian juga di hari Pentakosta, Roh Kudus sendiri mengilhami para Rasul untuk mengkotbahkan firman (termasuk nama El/Theos) ke bahasa-bahasa pendengar, dalam arti kata penerjemahan nama Tuhan ke dalam bahasa-bahasa lokal didorong oleh Roh Tuhan/Kudus sendiri. Berbeda dengan 'El' yang diterjemahkan ke dalam bahasa Yunani sebagai 'Theos' dan bahasa Barat sebagai 'God, Gott, Dieu', maka nama 'Allah' (Arab) sebenarnya bukan terjemahan melainkan perkembangan dialek dalam rumpun Semit sendiri untuk menyebut El (di samping a.l. Alaha dalam bahasa Aram-Siria). Islam sudah masuk ke Indonesia sejak abad ke-XIII, Kristen Katolik baru masuk abad keXVI dan Protestan pada abad ke-XVII, ini berarti sudah tiga abad lebih dimana agama Islam dan bahasa Arab sudah merakyat di Indonesia, dan kemudian nama 'Allah' masuk menjadi kosa-kata bahasa Indonesia. Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, dalam bahasa Indonesia, ada banyak kosa-kata yang berasal dari bahasa asing, yaitu bahasa Arab (1.495, termasuk kata 'Allah'), Inggeris (1.610), dan Belanda (3.280), maka adalah tepat bila kata yang sekarang menjadi kosa-kata Indonesia itu dipakai untuk menyebut El/Elohim Perjanjian Lama dan Theos Perjanjian Baru dalam Alkitab terjemahan bahasa Indonesia, karena kata itu bukan saja dekat tetapi termasuk keluarga serumpun Semit dengan bahasa Ibrani. Dari pembahasan di atas dapatlah disimpulkan jawab atas pertanyaan judul artikel ini, yaitu
bahwa sebagai oknum dengan namanya "Allah Islam adalah Tuhan Kristen" atau "Allah Islam adalah Allah Kristen" pula, namun perlu disadari bahwa karena Kitab Suci yang dipercayai keduanya berbeda, maka jelas pula bahwa sekalipun ada samanya, keduanya memiliki banyak perbedaan dalam hal konsep/ajaran/aqidah.
-------------------
Allah Bangsa Arab Saudara/i ykk,
Artikel berjudul 'Allah Islam = Allah Kristen?' ternyata mendapat sambutan luas. Banyak yang bersyukur atas informasi yang diperoleh yang dapat menghilangkan prasangka prasangka sebelumnya, namun ada juga beberapa yang masih mempertanyakan beberapa bagian dari artikel tersebut. Dari pertanyaan yang masuk, ada dua kesalah pahaman sebagai penyebabnya, yaitu:
(1) Kesalah pahaman yang masih mencampur adukkan pengertian 'Allah' sebagai nama dan ajaran/aqidah/konsep yang berbeda dalam Islam dan Kristen; dan (2) Kesalah pahaman yang menjurus pada anggapan seakan-akan dengan menyebut 'Allah Islam = Allah Kristen' (dalam nama itu) sebagai pandangan Universalisme yang merelatifkan semua agama yang menuju 'Yang SATU'. Dalam artikel tersebut sebenarnya sudah jelas bahwa (1) yang dimaksudkan sebagai sama adalah bahwa nama 'Allah' dalam Islam dan Kristen menunjuk pada 'El' Abraham, namun pengertian ini jelas bisa merosot seperti dalam kasus 'Lembu Muda Emas' (Kel.32) pada bangsa Israel dan 'masa Jahiliah' pada bangsa Arab, dan (2) Sekalipun ada kesamaaan 'Allah' ketiga agama Semitik dan Samawi (Yahudi, Kristen & Islam) tidak dimaksudkan sebagai sama dengan agama-agama lain yang 'tuhan'nya bersifat monistis, politheistis, non-theistis maupun demonistis yang oleh penganut universalisme dianggap sebagai 'Yang SATU' (Untuk pembahasan ini, silahkan membuka http://www.yabina.org dan bacalah YBA-maya bulan Mei 2000 tentang 'Pluralisme Agama & Dialog'. Untuk memperjelas mengenai nama 'Allah' yang menuju oknum yang sama (sekalipun ajaran/aqidahnya beda), kita dapat melihat sejarah bangsa Arab dan hubungannya dengan nama 'El' dari beberapa kutipan dari sumber Krtisten maupun Islam: "orang Arab mencakup keturunan Aram (Kej.10:22), Eber (Kej.10:24-29), Abraham dari Keturah (Kej.25:1-4) dan dari Hagar (Kej.25:13-16) ... Keturunan Joktan (anak Eber) mencakup beberapa suku Arab (Kej.10:26-29)." ('Arabians' dalam The Interpreter's Dictionary of the Bible, (vol-I), hlm.182).
"Berita Alkitab yang pertama yang memberikan penjelasan mengenai penduduk Arabia adalah Daftar Bangsa-Bangsa dalam kitab Kejadian 10, yang mencantumkan sejumlah orang-
orang Arab-Selatan sebagai keturunan Yoktan dan Kusy. kemudian hari sejumlah suku-suku dari Arab Utara disebut sebagai keturunan Abraham melalui Keturah dan Hagar (Kej.25). lagi di antara keturunan Esau (Kej.36) sejumlah orang Arab disebut. Di masda Yakub, dua kelompok keturunan Abraham yaitu orang-orang Ismaili dan medianit dijumpais ebagai pedagang-pedagang caravan (Kej.37:25-36)" ('Arabia' dalam The New Bible Dictionary, hlm.54).
"Masyarakat Semit yang merupakan penduduk asli gurun pasir Arabia ... . Masyarakat yang berdarah Arab asli dan berbahasa Arab tersebar di sepanjang jazirah Arabia, terbentang dari Yaman dan pantai Afrika dekat Yaman sampai kepada gurun pasir Syria dan Irak Selatan ... . Tradisi Arabia Selatan yang diyakini bahwa mereka merupakan keturunan dari seorang nabi bernama Qahthan, yang di dalam Bibel disebut Joktan, dan Tradisi Arabia Utara yang diyakini sebagai keturunan nabi Adnan, dan darinya terbentuk keturunan Isma'il, putra Ibrahim ... . Istilah Arab berarti "Nomads". Bangsa Arab Utara dipandang sebagai Arab al-Musta'ribah (Arab yang di Arabkan), sementara bangsa Arab keturunan Quathan yang tinggal di wilayah selatan menamakan dirinya sebagai Arab Muta'arribah, atau suku-suku hasil percampuran dengan Arab al-'Aribah (Arab Asli) ... . Kelompok Arab yang asli ini, yakni keturunan Aram putra Shem putra nabi Nuh" ('Bangsa Arab' dalam Cyril Glasse, Ensiklopedia Islam, hlm.4950). "Adnan. Anak turunan Nabi Isma'il yang menjadi nenek moyang suku-suku Arabia Utara ... nenek moyang suku Arabia Selatan adalah Quahthan, yang dalam Bibel disebut Joktan". ('Adnan' dalam Glasse, hlm.12-13). Jadi bangsa Arab merupakan setidaknya keturunan dari tiga jalur semitik, yaitu dari Aram (anak Sem anak Nuh), Yoktan (anak Eber cicit Sem), dan dari Adnan (keturunan Ismael anak Abraham). Jadi jelas bahwa bangsa Arab sejak awalnya juga mengenal 'El' Nuh, 'El' Eber (yang dari nama ini lahir bangsa Ibrani, jadi orang Arab pada jalur ini bisa juga dibilang sebagai keturunan Ibrani), dan 'El' Abraham yang juga dikenal Ismael. Itulah sebabnya bangsa Arab yang mengikuti agama Yahudi, Kristen maupun yang Islam sama-sama menyebut nama 'Allah' untuk menyebut 'El' Abraham. "Kata "Allah" merupakan pengkhususan dari kata al-ilah (ketuhanan) ... Kata "Allah" merupakan sebuah nama yang hanya pantas dan tepat untuk Tuhan, yang melalui kata tersebut dapat memanggil-Nya secara langsung. Ia merupakan kata pembuka menuju Esensi (hakikat) ketuhanan, yang berada di balik kata tersebut bahkan yang tersembunyi di balik dunia ini. Nama "Allah" telah dikenal dan dipakai sebelum al-Qur'an diwahyukan; misalnya nama Abd al-Allah (hamba Allah), nama Ayah Nabi Muhammad. Kata ini tidak hanya khusus bagi Islam saja, melainkan ia juga merupakan nama yang, oleh ummat Kristen yang berbahasa Arab dari gereja-gereja Timur, digunakan untuk memanggil Tuhan." (Glasse, hlm.23). "Etymologically, the name Allah is probably a contraction of the Arabic al-Ilah, "the God." The name's origin can be traced back to the earliest Semitic writings in which the word for god was Il or El, the latter being an Old Testament synonim for Yahweh. Allah is the standard Arabic word for "God" and is used by Arab Christians as well as by Muslims." (Encyclopaedia Britannica)
Perlu diketahui bahwa nama 'Allah' adalah perkembangan ke dalam dialek 'Arab' dari nama 'El' menjadi 'Al-Ilah' (jadi bukan terjemahan). Dalam bahasa Ibrani, kata sandang 'ha' (dalam Arab 'al') tidak umum dipakai apalagi untuk menyebut 'El', sedangkan dalam bahasa AramSiria diletakkan di belakang menjadi 'alaha'. Sama halnya peristiwa kasus 'Lembu Muda Emas' di Israel, bangsa Arab juga mengenal kemerosototan ini pada masa 'Jahiliah' sebelum kehadiran Islam, namun nama 'Allah' itu dilestarikan oleh kaum 'Hanif' (Hunafa) yang tetap menyembah 'Allah Monotheisme Ibrahim.'. "Gagasan tentang Tuhan Yang Esa yang disebut dengan Nama Allah, sudah dikenal oleh Bangsa Arab kuno ... Kelompok keagamaan lainnya sebelum Islam adalah hunafa' (tngl.hanif), sebuah kata yang pada asalnya ditujukan pada keyakinan monotheisme zaman kuno yang berpangkal pada ajaran Ibrahim dan Ismail. Menjelang abad ke-7, kesadaran agama Ibrahim di kalangan bangsa Arab ini telah menghilang, dan kedudukannya digantikan oleh pemujaan sejumlah berhala ... dalam waktu 20 tahun seluruh tradisi Jahiliyyah tersebut terhapus oleh ajaran Tuhan yang terakhir, yakni Risalah Islam". (Glasse, hlm.50-51) "Hanif . Asal kata ini tidak diketahui secara pasti, namun ia digunakan dalam pernyataan alQur'an dengan pengertian "orang yang mengikuti keyakinan (kepercayaan) monotheisme (jamk. Khunafa). Sebuah kata sifat yang ditujukan oleh al-Qur'an terhadap nabi Ibrahim dan terhadap mereka yang sebelum masa Islam menjaga kemurnian dan kelurusan naluri-naluri keagamaan mereka dan sama sekali tidak terlibat dalam tradisi paganisme (keberhalaan) dan politheisme. Mereka yang tergolong hunafa antara Nabi Ibrahim dengan Nabi Muhammad terdapat sejumlah generasi Ibrahimiyyah dan Isma'illiyyah". (Glasse, hlm.124)
Dari beberapa fakta sejarah ini kita dapat mengetahui bahwa memang 'Allah Islam' sebagai oknum sama dengan 'Allah Kristen', namun harus diketahui bahwa ajarannya berbeda karena mempercayai wahyu yang berbeda. Dalam kekristenan sendiri ada perbedaan-perbedaan ajaran yang dihasilkan iman akan wahyu yang berbeda. Agama Yahudi mempercayai Wahyu dan Perjanjian yang dijanjikan kepada Abraham Ishak dan Yakub yang tertuang dalam Alkitab Perjanjian Lama, Agama Kristen mempercayai Wahyu PL yang digenapi dalam Yesus yang menjadi Tuhan dan Kristus sebagai Perjanjian Baru. Agama Islam sekalipun menerima kitab-kitab PL + PB namun tidak mempercayainya karena dianggap sudah dipalsukan dan menerima Wahyu yang dipercayai diterima oleh Muhammad. Kiranya uraian ini memperjelas.
Salam kasih dari Herlianto/YBA.
Disalindari : http://www.yabina.org/layout2.htm
Artikel terkait : - ALLAH IS GOD, di http://www.sarapanpagi.org/allah-is-god ... .html#p3568
- ALLAH = Moon God?, di http://www.sarapanpagi.org/allah-moon-g ... .html#p3569 - Buku : THE ISLAMIC INVASION, di http://www.sarapanpagi.org/buku-the-isl ... .html#p3571
• • • • • • • • • •
Home Pertumbuhan Dialog Tanya-Jawab Renungan Galeri Kesaksian Artikel doa | SUMBANGAN |
Apakah agama Kristen bersifat eksklusif atau inklusif? hide Google Search Results
You arrived here after searching for the following phrases: • • •
teologia kristen nubuat
Click a phrase to jump to the first occurrence, or return to the search results.
PEMBAHASAN • • •
• •
Pertanyaan: Jawaban: 1. Kaum Yahudi sebagai bangsa pilihan dan pengajaran Tuhan yang bertahap II. Keselamatan universal bagi seluruh bangsa III. Kesimpulan
Pertanyaan: “Polemik Alquran terhadap orang Yahudi sebetulnya bukan menyangkut ketuhanan tetapi manusia, bahwa mereka sombong sekali dan mengklaim diri sebagai the choosen people, umat pilihan Tuhan. Klaim seperti ini kemudian mengakibatkan universalisme ajaran Tuhan dikebiri untuk hanya menjadi suatu ajaran nasional, bahkan tribal (kesukuan). Agama Kristen, mungkin sudah sejak Nabi isa, dengan sedikit ekses melalui Paulus membuat penyimpangan yang sangat serius, yakni hendak penguniversalkan ajaran Tuhan. Akibatnya, agama yang semula diperuntukkan intern Yahudi, oleh Paulus diuniversalkan sehingga bisa menjadi agamanya kaum Gentiles (orang Yunani, Romawi, dan sebagainya). Polemik Alquran terhadap Kristen yang utama adalah mengenai teologinya, sedangkan kemanusiaannya banyak mendapat pujian. Misalnya, …dan Kami tanamkan ke dalam hati mereka yang menjadi pengikutnya rasa cinta (santun-NM) dan kasih sayang (Q.,57:27). Dalam skema Alquran, Nabi Isa tampil untuk menetralisasi kekakuan orientasi hukum pada agama Yahudi yang sudah pada tingkat menjadi eksesif sehingga mengancam orientasi kemanusiaan. Maka maksud kedatangan Nabi Isa dilambangkan dalam firman-Nya, Dan untuk menghalalkan bagi kamu apa yang sebagian diharamkan kepada kamu (Q.,3:50), dan kemudian dikompensasi dengan ajaran kasih. Dengan adanya unsur kasih, maka konsep kemanusiaan dalam Kristen lebih universal dibanding dengan Yahudi. Pada perkembangan lebih lanjut, Paulus memperkenallkan doktrin kejatuhan Adam dan konsep tentang Isa sebagai juru selamat. Untuk mendukung ini, kemudian ditekankan konsep manusia sebagai makhluk yang pada dasarnya jahat, sebuah pesimisme kepada kemanusiaan. Menurut Russell, pesimisme itulah yang menyebabkan Eropa mengalami zaman kegelapan luar biasa. Hanya dengan datangnya Islam, Eropa muncul kembali melalui zaman pencerahan.” Sumber: Ensiklopedi Nurcholish Madjid ini saya dapatkan dari salah satu website berita online. M0hon penjelasan dari tim katolisitas. - Ndro
Jawaban: Shalom Ndro, Terima kasih atas pertanyaannya. Menurut saya, dalam artikel tersebut disebutkan dua hal yang saling bertentangan (eksklusif dan inklusif) dan keduanya dipandang salah oleh penulis. Pada saat konsep keselamatan dalam Perjanjian Lama dipandang sebagai sesuatu yang ekslusif, maka mereka (orang Yahudi) dicap sombong dan universalisme ajaran dipandang telah dikebiri. Namun, pada saat keselamatan diberikan secara eksplisit untuk menjangkau seluruh bangsa (inklusif), maka hal ini juga dipandang sebagai kesalahan serius, karena ingin menguniversalkan ajaran Tuhan. Dengan demikian, saya pikir, maka seseorang harus mengambil sikap, apakah ajaran Kristen adalah eksklusif (menjangkau umat Yahudi saja) atau inklusif (menjangkau seluruh bangsa).
1. Kaum Yahudi sebagai bangsa pilihan dan pengajaran Tuhan yang bertahap
1. Kalau dikatakan bahwa umat Yahudi adalah sombong, karena menganggap diri mereka sebagai bangsa pilihan, maka ini sebenarnya tidak benar, karena tidak ada yang perlu disombongkan dari diri mereka. Hal ini ditegaskan di dalam kitab Ulangan 7:7, yang menuliskan “ Bukan karena lebih banyak jumlahmu dari bangsa manapun juga, maka hati TUHAN terpikat olehmu dan memilih kamu–bukankah kamu ini yang paling kecil dari segala bangsa? – ” Lebih lanjut, bahkan di Alkitab dikatakan bahwa mereka adalah bangsa yang keras hatinya, sehingga mereka sering mendapatkan pengajaran dari Allah. “18 Sebab itu TUHAN sangat murka kepada Israel, dan menjauhkan mereka dari hadapan Nya; tidak ada yang tinggal kecuali suku Yehuda saja. — 19 Juga Yehuda tidak berpegang pada perintah TUHAN, Allah mereka, tetapi mereka hidup menurut ketetapan yang telah dibuat Israel, 20 jadi TUHAN menolak segenap keturunan Israel: Ia menindas mereka dan menyerahkan mereka ke dalam tangan perampok-perampok, sampai habis mereka dibuang Nya dari hadapan-Nya. – ” (2Raj 17:18-20). Jadi, walaupun Israel adalah bangsa pilihan, namun mereka juga mendapatkan didikan dari Tuhan. Oleh karena itu, terpilihnya bangsa pilihan ini bukan karena kehebatan bangsa Israel, namun karena kebijaksanaan Tuhan. Jadi, dengan demikian tidak ada yang perlu disombongkan dari bangsa Israel, karena terpilihnya bangsa ini sebagai bangsa pilihan adalah bukan karena kebesaran bangsa ini, namun karena Tuhan yang memilihnya. 2. Dari sisi yang lain, maka terpilihnya bangsa Israel sebagai bangsa pilihan adalah merupakan cara Allah untuk mendidik umat manusia secara bertahap. Dalam hal ini, kita dapat melihat adanya prinsip mediasi – yaitu melalui seseorang atau bangsa, maka seluruh dunia dapat mengerti rencana keselamatan Allah. Oleh karena itu, adalah hal yang wajar, kalau Allah memilih satu bangsa, sehingga melalui bangsa tersebut, maka keselamatan dapat datang ke seluruh dunia. 3. Walaupun kita melihat bagaimana Allah membela bangsa pilihan dan juga membiarkan bangsa Israel menderita karena kesalahan mereka sendiri atau bahkan menghukum bangsa Israel karena dosa-dosa mereka, namun kita dapat melihat adanya konsep keselamatan yang bersifat universal. Hal ini terlihat dari beberapa ayat berikut ini:
Oleh keturunanmulah semua bangsa di bumi akan mendapat berkat , karena engkau mendengarkan firman-Ku. ” (Kej 22:18) Aku akan membuat banyak keturunanmu seperti bintang di langit; Aku akan memberikan kepada keturunanmu seluruh negeri ini, dan oleh keturunanmu semua bangsa di bumi akan mendapat berkat ,” (Kej 26:4) 4. Dengan demikian, terlihat adanya nubuat yang diberikan dalam Perjanjian Lama, akan adanya Mesias (yang terpenuhi dalam diri Yesus), yang akan memberikan berkat kepada seluruh bangsa. Nubuat ini diberikan dari generasi-generasi. Silakan melihat nubuat-nubuat ini secara lebih mendetail di artikel ini – silakan klik . Dari pemaparan ini, maka terlihat bahwa tidak ada yang perlu disombongkan dari umat Israel dan keselamatan bagi seluruh bangsa bukanlah diperuntukkan bagi umat Israel semata, namun juga diperuntukkan untuk semua bangsa, yang kemudian ditegaskan di dalam Perjanjian Baru.
II. Keselamatan universal bagi seluruh bangsa
1. Kalau di artikel tersebut dikatakan bahwa terjadi kesalahan yang serius dari rasul Paulus, yang menyebabkan agama yang sebenarnya hanya diperuntukkan oleh kaum Yahudi kemudian menjadi agama untuk segala bangsa, maka sebenarnya pernyataan ini telah mempunyai asumsi yang perlu dibuktikan kebenaran terlebih dahulu – yaitu asumsi bahwa agama Kristen hanya diperuntukkan untuk kaum Yahudi. Untuk menunjukkan bahwa ra sul Paulus hanya mengajarkan apa yang telah diperintahkan oleh Kristus, maka kita sebenarnya dapat melihat pesan Yesus sebelum Dia naik ke Sorga, yaitu “ 19 Karena itu pergilah, jadikanlah semua bangsa murid-Ku dan baptislah mereka dalam nama Bapa dan Anak dan Roh Kudus, 20 dan ajarlah mereka melakukan segala sesuatu yang telah Kuperintahkan kepadamu. Dan ketahuilah, Aku menyertai kamu senantiasa sampai kepada akhir zaman. ” (Mt 28:19-20) Silakan melihat diskusi tentang keaslian dari ayat ini di sini – silakan klik . Dari kutipan ini, kita melihat bahwa Paulus konsisten dalam memberikan pesan Kristus, sehingga dia mengatakan bahwa Yesus telah mengalami maut untuk keselamatan umat manusia (lih. Ibr 2:9; Tit 2:11; 1Tim 2:6), karena Yesus adalah juru selamat seluruh umat manusia (lih. 1Tim 4:10). 2. Dan memang dikatakan bahwa polemik utama antara agama Kristen dan Islam adalah mengenai teologi. Hal ini disebabkan karena teologi Kristen berpusat pada Kristus yang telah membuktikan Diri-Nya sebagai Tuhan. Untuk itu, silakan membaca beberapa artikel Kristologi berikut ini: Iman Katolik bersumber pada Allah Tritunggal dan berpusat pada Kristus, Allah yang menjelma menjadi manusia untuk menyelamatkan kita. Inkarnasi, Allah menjadi manusia, adalah perbuatan Tuhan yang terbesar , yang menunjukkan segala kesempurnaanNya: KebesaranNya, namun juga KasihNya yang menyertai kita. Penjelmaan Allah ini telah dinubuatkan oleh para nabi. Yesus Kristus yang kita imani sekarang adalah sungguh Yesus Tuhan yang ber-inkarnasi dan masuk ke dalam sejarah manusia, karena Yesus sungguh Allah dan sungguh manusia. Adalah menjadi hal yang wajar jika kita mempunyai perbedaan teologis, kalau Wahyu Allah yang dipercayai sebagai pilar kebenaran adalah berbeda. Mari kita melihat beberapa perbedaan yang disorot dalam artikel tersebut: a. Dikatakan “ Dalam skema Alquran, Nabi Isa tampil untuk menetralisasi kekakuan orientasi hukum pada agama Yahudi yang sudah pada tingkat menjadi eksesif sehingga mengancam orientasi kemanusiaan ” Dalam Kitab Suci dikatakan bahwa Yesus Kristus datang bukan untuk menetralisir orientasi hukum agama Yahudi, namun lebih daripada itu, Kritus datang ke dunia ini sebagai penggenapan dari nubuat-nubuat yang diberikan dari generasi-generasi di dalam Perjanjian Lama. Dan yang paling penting, kedatangan-Nya adalah untuk menyelamatkan manusia dari belenggu dosa. Untuk le bih lengkapnya, silakan membaca beberapa link Kristologi di atas. b. Dikatakan “ Maka maksud kedatangan Nabi Isa dilambangkan dalam firman-Nya, Dan untuk menghalalkan bagi kamu apa yang sebagian diharamkan kepada kamu (Q.,3:50), dan kemudian dikompensasi dengan ajaran kasih ” Untuk mengatakan bahwa Yesus Kristus dilambangkan dengan Firman sebenarnya tidaklah tepat, karena Yesus Kristus adalah Firman itu sendiri, karena Yesus adalah Tuhan, seperti yang dituliskan di dalam Yoh 1:1 “ Pada mulanya adalah Firman; Firman itu bersama-sama dengan Allah dan Firman itu adalah
Allah.” Untuk mengatakan bahwa agama Kristen mengajarkan hal-hal yang diharamkan, yang kemudian dikompensasi dengan kasih, perlu dianalisa lebih lanjut. Tidak terlalu jelas bagi saya tentang apa yang dimaksud dengan “ sebagian diharamkan ” dalam tulisan tersebut. Kalau kasih dikatakan hanya sekedar kompensasi, maka sebenarnya ini adalah pernyataan yang salah, karena kalau kita benar-benar membaca Alkitab secara keseluruhan, maka inti pengajaran dari kekristenan adalah kasih, karena Allah adalah kasih (1 Yoh 4:8)- yang telah dibuktikan-Nya dengan pengorbanan Kristus di kayu salib. Inilah bukti kasih yang terbesar dalam sejarah umat manusia.
c. Dikatakan “ Pada perkembangan lebih lanjut, Paulus memperkenalkan doktrin kejatuhan Adam dan konsep tentang Isa sebagai juru selamat. ” Untuk menjawab hal ini, kita dapat melihat analisa dosa asal, yang dapat dilihat keberadaannya di dalam Perjanjian Lama dan juga Perjanjian Baru: Manusia pertama telah berbuat dosa:
Dalam kitab Kejadian dinyatakan bahwa Adam dan Hawa telah berdosa dan oleh karena itu, maka Adam dan Hawa dan seluruh keturunannya harus menanggung dosa. (lih Kej 2). “Tetapi karena dengki setan maka maut masuk ke dunia, dan yang menjadi milik setan mencari maut itu. ” (Keb 2:24). “Tetapi aku takut, kalau-kalau pikiran kamu disesatkan dari kesetiaan kamu yang sejati kepada Kristus, sama seperti Hawa diperdayakan oleh ular itu dengan kelicikannya. ” (2 Kor 11:3; 1 Tim 2:14; Rm 5:12; Yoh 8:44). Dosa manusia pertama adalah dosa kesombongan (lih. Rm 5:19; Tob 4:14; Sir 10:14-15). Dosa asal ini diturunkan kepada semua manusia:
“Sesungguhnya, dalam kesalahan aku diperanakkan, dalam dosa aku dikandung ibuku” (Mz 51:7). “Siapa dapat mendatangkan yang tahir dari yang najis? Seorangpun tidak! ” (Ay 14:4). “Tetapi karena dengki setan maka maut masuk ke dunia , dan yang menjadi milik setan mencari maut itu. “(Keb 2:24). “ From the woman came the beginning of sin, and by her we all die. ” (LXX/ Septuagint – Sir 25:33). Dan kemudian rasul Paulus memberikan penegasan dengan memberikan perbandingan antara Adam, manusia pertama yang jatuh ke dalam dosa kesombongan, dan Kristus yang membebaskan manusia dari dosa dengan ketaatan kepada Allah (Rom 5:12-21, lihat juga Rom 5:12-19, 1 Kor 15:21, dan Ef 2:1-3).
Dengan demikian, terlihat jelas, bahwa doktrin dosa asal, bukan dimulai dari rasul Paulus, namun juga telah terlihat di dalam Perjanjian Lama. d. Kemudian dilanjutkan “ Pada perkembangan lebih lanjut, Paulus memperkenallkan doktrin kejatuhan Adam dan konsep tentang Isa sebagai juru selamat. ” Pernyataan ini perlu ditelaah lebih jauh. Kejatuhan Adam telah ditulis di dalam Kitab Kejadian, yang ditulis sekitar 1500 SM. Dan kalaupun kejatuhan Adam ini dihubungkan dengan Kristus, karena memang Kristus adalah Adam ke-dua, yang menyambung kembali hubungan yang terputus antara manusia dan Allah, yang disebabkan oleh dosa Adam. Justru pemenuhan apa yang telah dijanjikan oleh Allah dalam diri Yesus, sebenarnya menjadi salah satu alasan, bahwa doktrin ini bukanlah sesuatu yang terjadi kemudian, namun suatu kebenaran yang saling berhubungan. Kita melihat Allah berkata “ Aku akan mengadakan permusuhan antara engkau dan perempuan ini, antara keturunanmu dan keturunannya; keturunannya akan meremukkan kepalamu, dan engkau akan meremukkan tumitnya. ” (Kej 3:15). Penggenapan nubuat ini adalah pada diri Yesus, yang telah menginjak setan dengan mematahkan kuasa dosa dengan pengorbanan- Nya di kayu salib. e. Dikatakan “Untuk mendukung ini, kemudian ditekankan konsep manusia sebagai makhluk yang pada dasarnya jahat, sebuah pesimisme kepada kemanusiaan. ” Mungkin kalimat di atas ingin menyentuh doktrin dosa asal, yang seolah-olah dipandang bahwa manusia pada dasarnya jahat. Namun, ini adalah suatu kesimpulan yang keliru. Alkitab mengatakan bahwa manusia diciptakan menurut gambaran Allah. Oleh karena itu, manusia diciptakan baik adanya. Namun, yang membuat manusia terpisah dari Tuhan adalah karena manusia pertama telah berbuat dosa; dan dosa inilah yang diturunkan kepada semua keturunannya, yang disebut dosa asal. Kenyataan bahwa manusia mempunyai kecenderungan berbuat dosa adalah sesuatu yang nyata. Dengan demikian, seseorang yang tidak setuju dengan dosa asal, harus menyetujui bahwa Tuhan menciptakan manusia dengan tidak sempurna adanya. Namun, kalau demikian, maka ini berlawanan dengan hakekat Allah yang maha kasih. Bagaimana mungkin Tuhan sengaja menciptakan manusia yang mempunyai kecenderungan berbuat dosa? Suatu kebenaran dapat dilihat dari efeknya. Kita juga dapat melihat kebenaran dosa asal ini dari efeknya, yaitu apa yang dilakukan oleh manusia. Diskusi panjang tentang dosa asal dapat dilihat di sini – silakan klik . Dosa asal bukanlah pandangan yang pesimis, karena Tuhan telah memberikan solusinya, yaitu rahmat yang mengalir dari pengorbanan Kristus, yang memungkinkan manusia dibebaskan dari dosa asal, yaitu dengan pembaptisan. Dengan demikian, dalam kondisi yang sulit ini, umat Kristen justru melihat kehidupan dan manusia secara lebih optimis, karena Yesus Kristus sendiri memberikan pengharapan. Dan pembaptisan yang menghantar manusia dalam kekudusan ini telah dibuktikan oleh para kudus dalam sejarah Gereja Katolik. Kita melihat bagaimana yang terberkati Bunda Teresa dari Kalkuta membuktikan dirinya sebagai orang kudus, karena secara terus menerus dia bekerja sama dengan rahmat Allah dalam kehidupannya. Dengan demikian, Gereja Katolik justru melihat bahwa meskipun manusia sebagai mahluk ciptaan Tuhan yang diciptakan baik adanya, memilih untuk berbuat dosa, namun manusia tetap dicintai oleh Allah. Sebagai buktinya, Allah memberikan Putera-Nya yang tunggal untuk menebus dosa dunia. Dan dengan penebusan-Nya di kayu salib, maka rahmat Allah terus mengalir, yang memungkinkan manusia untuk hidup dalam kekudusan. Silakan melihat artikel kesempurnaan rancangan keselamatan Allah (silakan klik ).
f. Dikatakan “Menurut Russell, pesimisme itulah yang menyebabkan Eropa mengalami zaman kegelapan luar biasa. Hanya dengan datangnya Islam, Eropa muncul kembali melalui zaman pencerahan. ” Menurut saya, kesimpulan ini tidaklah benar dalam dua hal. Pertama , jaman kegelapan sering dipakai dalam konteks yang salah. Kita dapat melihat pada abad pertengahan, ordo Benediktus membentuk Eropa menjadi begitu maju. Pendidikan juga mengalami perkembangan luar biasa. Kedua, telah dibuktikan di atas, bahwa doktrin dosa asal yang dibarengi dengan penebusan Kristus, membuat umat Kristen memandang hidup dengan lebih optimis. Dengan demikian, kesimpulan bahwa hanya dengan datangnya Islam maka Eropa dapat kembali kepada zaman pencerahan tidaklah berhubungan, karena asumsiasumsi awal belum dapat dibuktikan kebenarannya. III. Kesimpulan
Dari pemaparan di atas, maka terlihat bahwa sebenarnya Perjanjian Lama juga mempunyai konsep keselamatan yang diperuntukkan bagi semua bangsa, yang dipenuhi oleh Yesus Kristus dan diperintahkan sendiri oleh Kristus untuk menyebarkan kabar gembira ke segala bangsa. Dan pengajaran ini dipertegas oleh para penulis Alkitab Perjanjian Baru. Dengan demikian, agama Kristen secara hakiki adalah agama yang inklusif, karena Allah menginginkan segala bangsa memperoleh keselamatan. Semoga jawaban singkat ini dapat membantu. Salam kasih dalam Kristus Tuhan, stef – katolisitas.org
PLURALISME DAN PLURALITAS Penutupan mesjid dan gedung pertemuan Ahmadyah belum lama ini ditengah-tengah ditutupnya puluhan gereja khususnya gereja-gereja rumah tangga menyusul Fatwa MUI yang mengharamkan Pluralisme agama mencuatkan kembali pemikiran kearah toleransi beragama dan diskusi Pluralisme agama-agama. PLURALISME Istilah ‘Plural ’ sudah jelas kita mengerti sebagai ‘jamak’, dan ‘ Pluralitas’ adalah kenyataan yang harus diterima bahwa kita berada dalam kondisi di Indonesia dan dunia masakini dimana kita menghadapi kejamakan cara berfikir, cara hidup, dan cara beragama. Sampai di sini, Pluralitas hanya menyadari adanya kepelbagaian di dunia. Lain halnya dengan ‘Pluralisme,’ istilah ini berkembang ditengah-tengah ‘eksklusivisme agama’ yang makin berkembang pada era reformasi sebagai akibat reaksi terhadap fundamentalisme dan modernisme, atau yang dikenal sebagai salah satu cabang reaksi ‘posmo.’ Dalam hal agama, eksklusivisme ditujukan pada kenyataan bahwa setiap agama cenderung mengklaim sebagai satusatunya agama dimana terdapat jalan keselamatan dan diluar itu tidak ada jalan lain. Sejak dulu eksklusivisme tidak menjadi masalah, namun eksklusivisme itu menjadi tiran ketika bergabung dengan kekuatan politik kolonial dan menjadi mayoritas sehingga menganggap yang lain yang mayoritas itu sebagai lebih inferior dan harus ditobatkan (proselitasi). Kondisi ini dalam abad kolonialisme menempatkan kekristenan sebagai agama mayoritas dan eksklusif di tengahtengah bangsa dan agama ditempat jajahan yang semula dianggap inferior. Dengan latar belakang demikianlah, ketika pada akhir abad-XIX dan awal abad-XX terjadi gerakan nasionalisme dan kemerdekaan bangsa-bangsa terjajah, keseimbangan menjadi berubah dimana bangsa-bangsa jajahan mendirikan negara sendiri dan menentukan identitas sendiri (termasuk tradisi budaya agama) yang juga di klaim sebagai eksklusif. Perbenturan peradaban inilah
yang melahirkan usaha-usaha yang mengarah pada penerimaan kejamakan dalam beragama atau dikenal sebagai ‘Pluralisme’ yaitu ‘suatu situasi di mana berbagai agama berinteraksi dalam suasana saling menghargai dan dilandasi rasa kesatuan sekalipun berbeda faham.’ Jadi kalau eksklusivisme menganggap agama sendiri benar yang lain tidak maka pluralisme menganggap semua agama itu benar jadi harus diterima dengan terbuka sekalipun berbeda dengan agama sendiri. Sikap demikian tentu berdampak pagi pandangan ‘ Fundamentalisme ’ dalam agamaagama yang cenderung mengklaim agamanya sendiri sebagai jalan kebenaran satu-satunya. Selain fundamentalisme, reaksi eksklusif lainnya adalah ‘ Proselitisme’ ynag menolak kebenaran agama lain dan menjadikan pengikut agama lain menjadi pengikut agama sendiri dengan berbagai cara. Sebaliknya, ada juga reaksi ‘Sinkretisme’ yang bersifat kompromistis dengan cara mencampuradukkan keyakinan agama-agama yang bertemu itu. INKLUSIVISME Reaksi keempat berjalan lebih jauh dari Sinkretisme dan dikenal sebagai ‘ Inklusivisme’ yang berusaha untuk menggapai kesatuan agama-agama, dan berbeda dengan eksklusivisme, di sini ada usaha untuk ‘menjadikan agama-agama yang banyak itu sebagai salah satu facet dari agama yang satu,’ dan berbeda dengan sinkretisme yang mencampur-adukkan agama-agama, disini agamaagama diperas menjadi satu. Dari kubu pluralisme dan inklusivisme inilah kemudian dipopulerkan dialog antar agama sebagai pengganti misi penobatan. Pada awal tahun 1960-an sebagai hasil Konsili Vatikan-II, Gereja Katolik Roma membuka peluang kearah itu, dan di awal tahun 1970-an menyusul Dewan Gereja Dunia (WCC) juga membuka diri akan dialog antar agama. Pada abad-XX relativisme agama dikaitkan dengan kemajuan evolusioner dipopulerkan oleh Ernst Troeltsch yang menolak absolutisme agama dan menjadikan ‘Yang Mutlak’ menjadi tujuan bersama dalam proses evolusioner dalam semua agama. Sikap Troeltsch ditolak Karl Barth yang mengajukan pandangan eksklusif dan tidak mengenal kompromi mengenai pewahyuan diri Allah dalam Yesus Kristus, namun berbeda dengan eksklusivisme, Barth berpendapat bahwa agama Kristen itu yang benar, namun sejauh agama Kristen melalui rahmat hidup karena rahmat ia menjadi tempat agama yang benar. John Hick menafsirkan kembali Kristologi tradisional dengan mengemukakan bahwa istilah ‘Allah’ bukanlah seperti yang dikemukakan sebagai pribadi dalam agama teistik melainkan sebenarnya merupakan ‘realitas tak terbatas yang dipahami dengan berbagai cara melalui berbagai bentuk pengalaman beragama’ yang disebutnya sebagai ‘Yang Nyata.’ Wilfred Cantwell Smith mengungkapkan bahwa manusia sekarang memasuki tahapan baru pluralisme agama dimana agama-agama perlu merumuskan kembali dan menguji teori-teori agamanya sendiri dan mengembangkan teori-teori agama yang bisa diterima oleh agama-agama lain. Smith menolak kristologi yang eksklusif. Kristen Stendahl dari Harvard menafsirkan PL & PB sebagai suatu kesaksian tentang ‘partikularisme dalam kerangka universalisme.’ Tidak semua sepakat dengan Hick, Karl Rahner , teolog Roma Katolik, berusaha secara sistematis untuk menegaskan keeksklusifan dan universalitas Kristus dan sekaligus menghormati kehendak Allah untuk menyelamatkan yang sifatnya universal. Dalam pandangannya yang kelihatannya seperti mendua, Rahner tetap menganggap Kristus secara eksklusif, tetapi secara universal agama-agama lain menghadirkan ‘kristen anonim.’ Rahner berusaha mendamaikan rahmat Allah yang menyelamatkan, yang universal sifatnya, dengan keeksklusivan Kristus sebagai kriteria yang nyata dan sempurna untuk rahmat itu. Ini bisa dijadikan dasar bagi umat Kristen untuk bersikap toleran, rendah hati, namun tegas terhadap semua orang non-Kristen. Stanley Samartha mengemukakan bahwa umat Kristen harus mendekati dialog antar-agama atas dasar teosentris dan bukan kristosentris. Samartha mendefinisikan dialog sebagai ‘upaya untuk memahami dan menyatakan partikularitas kita bukan hanya dalam kaitan dengan warisan kita sendiri tetapi juga dalam hubungan dengan warisan rohani tetangga-tetangga.’ Raimundo Panikkar yang beribu Kristen RK dan berayah Hindu meneruskan, bahwa: ‘kebenaran yang dikemukakan agama adalah universal dan dianggap sebagai pendirian yang partikular dan terbatas, sedangkan sebetulnya masing-masing merupakan perumusan yang memang dibatasi oleh faktor budaya mengenai suatu kebenaran yang lebih universal.’
Dari berbagai pandangan di atas, inklusivisme kemudian dimengerti sebagai sikap yang menerima kebenaran semua agama, dan bahwa agama itu hanya merupakan jalan partikular untuk mencapai kebenaran yang universal yang menyembah Tuhan ‘Yang SATU’ itu. ESENSI INKLUSIVISME Apakah Sebenarnya esensi Inklusivisme itu? Sebenarnya esensi inklusivisme adalah ‘Relativisme’ yang dilandaskan kepercayaan bahwa agama-agama pada hakekatnya sama dan dianggap sebagai sesuatu yang relatif sesuai dengan tahap perkembangannya dalam evolusi agama. Agama-agama tidak lain adalah jalan partikularis menuju yang universalis. Ini mendorong kearah pandangan mengenai kesatuan agama yang disebut ‘universalisme.’ ‘Universalisme’ berlandaskan logika bersama mengenai ‘Yang Satu dan Yang Banyak.’ Dari perspektif filsafat dan teologi, logika bahwa suatu sumber realitas dialami dalam pluralitas cara tampaknya, oleh teolog tertentu dianggap sebagai cara yang paling memuaskan untuk menjelaskan fakta pluralisme keagamaan, ini bisa disebut pendekatan yang ‘theosentris.’ Sebenarnya pandangan demikian didasarkan gagasan ‘Veda’ Hinduisme mengenai hakekat ‘Yang SATU’ yang disebut dengan ‘banyak nama.’ Pandangan ini disebut sebagai ‘Monisme’ yang beranggapan adanya satu keberadaan tunggal ‘Yang Satu’ yang tidak berpribadi (berbeda dengan theisme yang mempercayai Tuhan yang berpribadi). Pandangan Relativisme dan Universalisme tidak beda dengan faham ‘ Mistisisme’ mengenai keyakinan ‘kesatuan manusia yang sezat dengan sumbernya.’ (Yaitu Yang SATU itu). Dalam mistik Hinduisme, penyatuan itu dianggap sebagai penyatuan ‘atman dengan brahman’ atau dalam mistik Buddhisme ‘atman dengan an-atman.’ Di kalangan kristen, ketiga esensi ini berkembang lebih jauh menuju ‘de-kristosentrisme,’ dari kristosentris menuju ‘theosentris’ namun yang dimaksud adalah ‘theos yang tidak berpribadi’ yang merupakan esensi mistik universal. Pandangan theolog liberal yang menganut inklusivisme cenderung untuk ‘memikirkan kembali Kristologi’ yang ujung-ujungnya menjadikan Kristus bukan sebagai jalan yang unik tetapi sekedar sebagai salah satu dari jalan yang banyak itu, Kristus tidak lebih hanya sekedar ‘avatar’ yang sama dengan tokoh-tokoh agama lain. SIKAP MENGHADAPI PLURALISME Pluralisme berkembang sebagai reaksi ‘eksklusivisme’ dan ‘fundamentalisme’ agama yang sering membuat manusia terpecah-pecah, namun Pluralisme ujung-ujungnya bukannya suatu keterbukaan terhadap pluralitas (keperlbagaian) tetapi berujung kepada penyamaan semua agama bahkan kemudian cenderung menjurus pada ‘inklusivisme’ yang ingin memeras agama menjadi satu agama universalis yang menuju ‘Yang SATU’ yang tidak berpribadi itu. Di satu sisi memang kita harus berfikir terbuka bahwa kita hidup di bumi tidak sendirian tetapi berada di tengah-tengah agama lain jadi kita harus menerima kenyataan adanya agama-agama yang berbeda, tetapi menganggap semua agama sebagai sama dan menuju ‘Yang SATU’ rasanya terlalu meremehkan sejarah agama yang sudah ribuan tahun dengan keunikannya masing-masing. Memang pluralisme kelihatan seakan-akan merupakan jalan kompromi yang terbaik untuk menyatukan perbedaan faham agama-agama yang acapkali menimbulkan pertikaian dan perang, namun pluralisme kurang menghargai keunikan agama-agama, khususnya keunikan Kristus yang cenderung di ‘de-kristosentris’kan. Umat kristen memang seharusnya tidak bersifat eksklusif dalam segala hal tetapi bersikap eksklusif dalam kredo (pengakuan percaya) adalah perlu, sebab sejarah agama Kristen yang dikandung Perjanjian Lama dan Perjanjian Baru cukup meyakinkan untuk menerima keunikan Kristus. Jadi eksklusivisme dalam iman perlu namun ini jangan menjadikan kita eksklusif dalam sikap. Kita dapat menerima kehadiran agama-agama lain dengan sikap terbuka yang inklusif bahwa semua adalah umat manusia yang dikasihi oleh Tuhan yang berpribadi yang menyatakan diri dalam Kristus, namun penerimaan ini tidak harus menuju sikap yang menganggap semua jalan itu sama atau menganggap bahwa penganut agama lain sebagai ‘kristen anonim’ tetapi kita dapat menganggap
mereka sebagai umat manusia yang tetap membutuhkan karunia keselamatan dari Tuhan, dan kita jangan berspekulasi mengenai ‘semua jalan ke Roma’ melainkan kita perlu untuk bersaksi mengenai ‘via dolorosa’ jalan menuju ke Golgota. Umat kristen diharapkan dapat terbuka menghadapi kehadiran agama-agama, kita perlu mempelajari kitab suci dan pendapat-pendapat dari kalangan agama-agama lain, namun karunia keselamatan yang kita peroleh, ibarat ‘mutiara yang sudah ditemukan’ perlu kita bagikan sebagai kesaksian kepada mereka yang belum mengenal keindahan mutiara tersebut. Eksklusivisme dan fundamentalisme agama perlu dibuka agar kita tidak menjadi penganut Kristus yang sempit yang tidak toleran dan bersifat menghakimi agama lain, tetapi sikap eksklusivis harus disertai dengan sikap yang terbuka dan toleran. Menghargai perbedaan-perbedaan itu penting, tetapi menerima perbedaan itu seakan-akan tidak berbeda jelas keliru. Untuk mencapai ini, jalan ‘Kasih’ adalah jalan terbaik untuk bersaksi, bukan dengan sikap memaksa dan menganggap rendah orang lain, tetapi dengan sikap kasih kepada sesama karena untuk itulah Kristus telah mati bagi kita. Rasul Paulus menunjukkan sikap yang inklusif sekaligus beriman eksklusif ketika ia berbicara di Athena (Kisah 17:16-34). Ia menunjukkan sikap inklusif dengan bertukar pikiran dengan orangorang Yahudi dan para filsuf Epikuri dan Stoa. Ia mempelajari kitab suci dan tulisan para pujangga mereka. Ia tidak menolak kerinduan orang-orang dalam menyembah ‘Allah Yang Tidak Dikenal’ tetapi Paulus sedih hatinya melihat banyaknya berhala dan kuil-kuil di kota itu, karena itulah iman eksklusifnya menghasilkan suatu kesaksian bahwa ‘Yang Tidak Dikenal’ itu diperjelasnya dengan memperkenalkan keunikan Allah yang menjadikan langit dan bumi, Tuhan atas langit dan bumi yang memberikan hidup dan nafas kepada semua orang, dan Injil tentang Yesus yang telah bangkit. Ia tidak memaksa orang lain mengikut Kristus (proselitisme) melainkan ia men’share’kan imannya dan biarlah orang lain yang menentukan iman mereka sendiri. Alhasil ada juga yang percaya dengan kesungguhan hati tanpa dipaksa atau terpaksa. Haleluyah! Salam kasih dari Redaksi www.yabina.org Untuk menguji klaim universalisme masing-masing agama baik Islam maupun Kristen, kita harus melakukan asumsi terlebih dahulu terhadap kitab suci dan tokoh sumber religius kedua agama tersebut secara seimbang: Asumsi 1: Muhammad adalah nabi/rasul yang diutus oleh Allah untuk seluruh alam, dan Al-Qur’an adalah satusatunya kitab suci yang benar-benar merupakan wahyu dari Allah melalui perantaraan Jibril/Roh Kudus untuk seluruh alam. Asumsi 2: Yesus adalah nabi/rasul (bahkan Tuhan) yang diutus oleh Allah untuk seluruh alam, dan Alkitab adalah satu-satunya kitab suci yang benar-benar merupakan wahyu dari Allah melalui kuasa Roh Kudus-Nya untuk seluruh alam.
Sekarang, marilah kita selidiki, apakah kedua agama tersebut benar-benar universal, ditinjau dari catatan kitab suci masing-masing. Universalkah Islam? Al-Qur’an menegaskan kepada manusia bahwa agama di sisi Allah hanyalah Islam. Sesungguhnya agama (yang diridai) di sisi Allah hanyalah Islam. Tiada berselisih orang-orang yang telah diberi Al Kitab kecuali sesudah datang pengetahuan kepada mereka, karena kedengkian (yang ada) di antara mereka. Barang siapa yang kafir terhadap ayat-ayat Allah maka sesungguhnya Allah sangat cepat hisab-Nya. (QS.3:19). Al-Qur’an juga menjelaskan definisi dari Islam itu sendiri, yakni penyerahan diri secara total. Kemudian jika mereka mendebat kamu (tentang kebenaran Islam), maka katakanlah: “Aku menyerahkan diriku kepada Allah dan (demikian pula) orang-
orang yang mengikutiku”. Dan katakanlah kepada orang-orang yang telah diberi Al Kitab dan kepada orang-orang yang ummi: “Apakah kamu (mau) masuk Islam”. Jika mereka masuk Islam, sesungguhnya mereka telah mendapat petunjuk, dan jika mereka berpaling, maka kewajiban kamu hanyalah menyampaikan (ayat-ayat Allah). Dan Allah Maha Melihat akan hamba-hamba- Nya. (QS.3:20). Agama Islam dalam pandangan Al-Qur’an tidak diciptakan pada masa Nabi Muhammad SAW, tetapi sudah hadir semenjak manusia pertama, Nabi Adam AS. Dan sesungguhnya telah Kami perintahkan kepada Adam dahulu, maka ia lupa (akan perintah itu), dan tidak Kami dapati padanya kemauan yang kuat. (QS.20:115). Dia telah mensyari’atkan bagi kamu tentang agama apa yang telah diwasiatkan-Nya kepada Nuh dan apa yang telah Kami wahyukan kepadamu dan apa yang telah Kami wasiatkan kepada Ibrahim, Musa dan Isa yaitu : Tegakkanlah agama dan janganlah kamu berpecah belah tentangnya. Amat berat bagi orang- orang musyrik agama yang kamu seru mereka kepadanya. Allah menarik kepada agama itu orang yang dikehendaki-Nya dan memberi petunjuk kepada (agama)-Nya orang yang kembali (kepada-Nya). (QS.42:13). Ibrahim bukan seorang Yahudi dan bukan (pula) seorang Nasrani, akan tetapi dia adalahseorang yang lurus lagi berserah diri (kepada Allah), dan sekali-kali bukanlah dia termasuk golongan orang-orang musyrik. Sesungguhnya orang yang paling dekat kepada Ibrahim adalah orang-orang yang mengikutinya dan Nabi ini (Muhammad), serta orang-orang yang beriman (kepada Nabi Muhammad), dan Allah adalah pelindung semua orang-orang yang beriman. (QS.3:67-68).
Dan Ibrahim telah mewasiatkan ucapan itu kepada anak-anaknya, demikian pulaYakub. (Ibrahim berkata): “Hai anak-anakku! Seseungguhnya Allah telah memilih agama ini (Islam) bagimu, maka janganlah kamu mati kecuali dalam memeluk agama Islam.” (QS.2:132).
Dan sesungguhnya Kami telah mengutus rasul pada tiap-tiap umat (untuk menyerukan): “Sembahlah Allah (saja), dan jauhilah Thaghut itu”, maka di antara umat itu ada orang-orang yang diberi petunjuk oleh Allah dan ada pula di antaranya orang-orang yang telah pasti kesesatan baginya. Maka berjalanlah kamu di muka bumi dan perhatikanlah bagaimana kesudahan orang-orang yang mendustakan (rasul-rasul). (QS.16:36). Dan Kami tidak mengutus seorang rasul pun sebelum kamu, melainkan Kami wahyukan kepadanya: “Bahwasanya tidak ada Tuhan (yang hak) melainkan Aku, maka sembahlah olehmu sekalian akan Aku”. (QS.21:25)
Dan sesungguhnya telah Kami utus beberapa orang rasul sebelum kamu, di antara mereka ada yang Kami ceritakan kepadamu dan di antara mereka ada (pula) yang tidak Kami ceritakan kepadamu.Tidak dapat bagi seorang rasul membawa suatu mu’jizat, melainkan dengan seizin Allah; maka apabila telah datang perintah Allah, diputuskan (semua perkara) dengan adil. Dan ketika itu rugilah orang-orang yang berpegang kepada yang batil. (QS.40:78). Beberapa ayat Al-Qur’an di atas dengan jelas menegaskan bahwa Islam sudah hadir semenjak zaman Adam. Al-Qur’an juga menjelaskan bahwa nabi/rasul itu tidak hanya berjumlah 25 orang saja sebagaimana tersebut namanya di dalam Al-Qur’an, tetapi melebihi jumlah itu (QS.40:78), namun Al-Qur’an tidak menjelaskan angka pastinya. Jelasnya, Allah telah mengutus nabi/rasul kepada tiap- tiap umat di muka bumi ini (QS.16:36) dan senantiasa memerintahkan makhluk-Nya untuk hanya menyembah kepada-Nya, karena tidak ada tuhan selain Allah (QS.21:25). Inilah inti dari agama Islam.
Berbeda dengan umat-umat sebelumnya dimana masing-masing umat memiliki nabi/rasul, Al-Qur’an menegaskan bahwa diutusnya Nabi Muhammad SAW adalah untuk seluruh alam dan sekaligus menjadi penutup para nabi/rasul. Dan tiadalah Kami mengutus kamu (Muhammad), melainkan untuk menjadi rahmat bagi semesta alam. (QS.21:107).
Dan tiadalah Kami mengutus kamu (Muhammad), melainkan kepada umat manusia seluruhnya sebagai pembawa barita gembira dan sebagai pemberi peringatan, tetapi kebanyakan manusia tiada mengetahui. (QS.34:28) Muhammad itu sekali-kali bukanlah bapak dari seorang laki-laki di antara kamu, tetapi dia adalah Rasulullah dan penutup nabi-nabi. Dan adalah Allah Maha Mengetahui segala sesuatu. (QS.33:40). Al-Qur’an juga menegaskan bahwa dirinya adalah satu-satunya kitab yang menjadi peringatan bagi seluruh alam. Katakanlah (hai Muhammad): “Aku tidak meminta upah sedikitpun padamu atas da’wahku dan bukanlah aku termasuk orang-orang yang mengada-adakan. Al Qur’an ini tidak lain hanyalah peringatan bagi semesta alam.(QS.38:86-87). Dari uraian singkat di atas, tampak jelas bahwa Islam adalah agama untuk seluruh alam, karenanya, Islam layak mendapat predikat agama universal.
Universalkah Kristen? Alkitab secara tegas menyatakan bahwa Kristen lahir setelah penyaliban Yesus, sebagaimana dilansir dalam pernyataan Paulus Tarsus berikut ini:
GALATIA: 2:16 Kamu tahu, bahwa tidak seorangpun yang dibenarkan oleh karena melakukan hukum Taurat, tetapi hanya oleh karena iman dalam Kristus Yesus. Sebab itu kamipun telah percaya kepada Kristus Yesus, supaya kami dibenarkan oleh karena iman dalam Kristus dan bukan oleh karena melakukan hukum Taurat. Sebab: “tidak ada seorangpun yang dibenarkan” oleh karena melakukan hukum Taurat.
3:13 Kristus telah menebus kita dari kutuk hukum Taurat dengan jalan menjadi kutuk karena kita, sebab ada tertulis: “Terkutuklah orang yang digantung pada kayu salib!” Pada bagian lain, Paulus Tarsus juga menyatakan bahwa ia mendapat amanat dari Yesus untuk menyebarkan agama Kristen kepada bangsa-bangsa non-Yahudi. Sebagaimana pernyataan Paulus Tarsus di dalam Alkitab berikut ini:
GALATIA: 1:16 berkenan menyatakan Anak-Nya di dalam aku, supaya aku memberitakan Dia di antara bangsa-bangsa bukan Yahudi, maka sesaatpun aku tidak minta pertimbangan kepada manusia; Namun demikian, dapatkah Kristen dipandang sebagai agama universal yang berdiri di atas kebenaran wahyu Allah?
Alkitab sama sekali menolak keberadaan agama Kristen sebelum, bahkan hingga masa Yesus. Bahwa agama sebelum Yesus, yang konon diridlai oleh Tuhan menurut Alkitab, adalah agama Yahudi (baca: Perjanjian Lama). Lebih jauh, agama Yahudi merupakan agama untuk golongan tertentu saja, yakni umat Israel (baca: Perjanjian Lama). Padahal, pada masa itu, yaitu ketika para nabi/rasul diutus untuk umat Israel, manusia sudah menyebar ke seluruh pelosok bumi, bukan hanya di israel. Sebut saja, bangsa Romawi, Yunani, Mesir, Arab, India, Cina, dan lain sebagainya. Namun demikian, Alkitab secara khusus mencatat keberadaan umat lain selain Israel, yakni umat Nabi Ayub AS, bangsa Edom, (baca:Kitab Ayub). Terhadap umat-umat lain, Perjanjian Lama sama sekali tidak menjelaskannya, bahkan terkesan tidak mau tahu, setidaknya kepada siapa umat-umat tersebut harus mengabdi. Dengan demikian, dari uraian singkat diatas, tampak jelas bahwa Kristen adalah agama baru, yang lahir kira-kira 2.000 tahun yang lalu ketika Yesus konon mengajarkan Kristen
menurut Paulus Tarsus. Lalu, dapatkah Kristen dipandang sebagai agama yang layak mendapat predikatuniversal dalam pengertian agama wahyu?
Jawabannya terletak pada hati nurani masing-masing pembacanya. Tetapi yang terpenting harus diingat adalah bahwa agama Kristen sama sekali belum eksis di dunia ini pada era sebelum Yesus. Tentu saja, ini akan sulit dimengerti, bagaimana mungkin agama universal harus datang kemudian?
MENEMPA PEDANG-PEDANG MENJADI MATA BAJAK: Misi Rekonsiliasi dalam Alkitab oleh: Markus Hildebrandt Rambe, Dosen Misiologi STT Intim Makassar (Bagian dari Bahan Kuliah "Misi Rekonsiliasi", Bahan lengkap dapat diakses lewat http://www.geocities.com/misirekonsiliasi)
A. Rekonsiliasi dalam Perjanjian Lama 1. Hubungan yang universal antara Allah dan manusia Bukan tidak sengaja semua pernyataan alkitabiah dirangkaikan dengan refleksi tentang hubungan Allah dengan semua manusia dan seluruh ciptaan. Pengakuan bahwa "Allah menciptakan manusia menurut gambar-Nya" (Kej 1:27) dalam kisah penciptaan melampaui semua batasan manusiawi seperti seks, ras, etnis, bangsa atau agama. Tanpa kecuali manusia diciptakan untuk hidup dalam relasi yang utuh dengan Allah. Dari-Nya ia mendapat martabat, kebebasan, tanggung jawab dan berkat. Bukan jasa atau kwalitas moral, tetapi relasi inilah yang membuat setiap ciptaan dinyatakan "baik", karena "dunia hidup sepenuhnya dalam kehadiran Allah dan di bahwa kekuasaan Allah" 1. Hubungan dan perjanjian penciptaan inilah yang mejadi titik tolak untuk kerukunan dan perdamaian antara Allah dan manusia dan antara manusia dengan sesamanya. Allah yang memberi martabat kepada manusia dan mengakisi kehidupannya (baik dalam aspek rohani maupun jasmani,bekan secara dualistis), dan ini menjadi dasar bahwa manusia harus mengasihi dan menghormati kehidupan yang suci itu. Akan tetapi, Alkitab tidak punya ilusi tentang watak manusia. Dalam kisah tentang kejatuhan manusia ke dalam dosa, penyebab keterpisahan manusia dari Allah, permusuhan antarmanusia dan ketidakselarasan antara manusia dengan alam semesta terletak pada keinginan manusia untuk "menjadi seperti Allah" (Kej 3:5)2. Dosa asal dalam pemahaman Alkitab ini tidak terfokus kepada kecenderungan manusia untuk melanggar hukum-hukum moral, tetapi pertama-tama adalah "kerusakan relasional (hubungan)": Karena manusia mau menjadi pencipta dirinya sendiri yang tidak membutuhkan Allah lagi, ia hidup dalam hubungan yang hancur dengan Allah, sesama manusia dan ciptaan dan bahkan dengan dirinya sendiri. Dosa asal manusia adalah ketidakmampuannya untuk mendamaikan hubunganhubungan tersebut melalui usaha sendiri. 3 Dengan demikian, rekonsiliasi menjadi kebutuhan dasar manusia yang mencakup seluruh aspek kemanusiaan, baik dalam arti rohani maupun dalam sifatnya sebagai makhluk sosial. Karena manusia telah kehilangan sifatnya sebagai ciptaan - yaitu kesatuan dengan penciptanya - ia kehilangan identitas dirinya. Krisis identitas ini mengakibatkan rasa malu (Kej 3:10) dan kecemburuan yang berakhir dengan penyangkalan dan pembunuhan saudaranya (seperti Kain dan Habel Kej. 4). Ia mencari identitas melalui supremasi ras, politik, ekologi, agama dsb. Keseberagaman dan pluralitas ciptaan selaku kekayaan dan karunia baik dari pencipta dijadikan dasar untuk kehancuran kesatuan dan komunikasi
antarmanusia, karena "mencari nama" , seperti dalam kisah tentang menara Babel (Kej 11:19). Yang terjadi adalah dehumanisasi, yaitu keterasingan manusia dari dasar keberadaannya, dari diri sendiri (terlepas kesatuan antara tubuh dan roh) dan dari sesamanya 4. Hanya karena inisiatif dan anugerah Allah maka kejahatan manusia (Kej 3; 4; 6; 8:21) tidak berakhir dengan pembinasaan manusia. Manusia dibebaskan dari ancaman maut dan penghukuman yang seharusnya ia terima. Allah sendiri menjembatani jarak relasi dengan membangun kembali hubungan perjanjian dengan manusia dan ter us-menerus hadir dan terlibat dalam sejarah manusia. "Pendamaian adalah manifestasi daripada kepedulian Allah terhadap ciptaan-Nya."5
tyrb
Perjanjian ( ) Allah dengan Nuh (Kej 8:21 - 9:17) adalah perjanjian pertama yang memperbaruhi "perjanjian penciptaan": "Aku takkan mengutuk bumi ini lagi karena manusia, sekalipun yang ditimbulkan hatinya adalah jahat dari sejak kecilnya, dan Aku takkan membinasakan lagi segala yang hidup seperti yang telah Kulakukan. Selama bumi masih ada, takkan berhenti-henti musim menabur dan menuai, dingin dan panas, kemarau dan hujan, siang dan malam." (Kej 8:21-22). Dengan berkat Allah (Kej 9:1) Nuh sebagai nenek moyang seluruh umat manusia, dengan semua keturunannya, diterima kembali ke dalam hubungan dengan Allah.
Perjanjian ini menjadi dasar untuk semua perjanjian yang berikutnya dan bermaksud untuk memulihkan dan mempertahankan hubungan antara Allah dan manusia dan antarmanusia (karena menang sering sekali manusia/Israel menolak dan melanggar perjanjiannya dengan Allah dan implikasinya): Perjanjian dengan Abraham (Kej 15), Yosua (Yos 24), Musa (Kel 19; 24; 34; Ul 26), Daud (2 Sam 7), Yosia (2 Raj 23), sampai janji bahwa Allah akan mengadakan perjanjian baru, di mana Taurat Allah akan ditaruh dalam batin dan ditulis dalam hati mereka (Yer 31:31-34) dan yang akan menjadi "perjanjian bagi umat manusia dan terang untuk bangsa-bangsa" (Yes 42:6). Hubungan antara Israel dan Allah 6 akan pulih kembali seperti hubungan antara ayah dan anaknya (2 Sam 7:14; Maz 89:27 dll.) atau antara suami dan isteri (Hos 2). Pengharapan atas "Perjanjian damai" (Hes 27:26) untuk bangsa Israel itu bermuara ke dalam pengharapan dan janji dalam perspektif yang universal, yaitu penciptaan "langit yang baru dan bumi yang baru", di mana "tidak akan kedengaran lagi bunyi tangisan dan bunyi erang" (Yes 65:17+19). Perdamaian taman Eden dan kerukunan alam semesta dan keadilan untuk mereka yang tertindas akan diadakan kembali (bdk. Yes 11:1-9 dll.): "Serigala akan tinggal bersama domba, dan mancan tutul akan berbaring di samping kambing" (Yes 11:6)7. Dari situ jelas, bahwa pemulihan kembali dan pemeliharaan hubungan manusia dengan Allah hanya dimungkinkan oleh kesabaran dan pengampunan Allah . Hanya perjanjian Allah memungkinkan rekonsiliasi yang membebaskan manusia baik dari dosa sendiri maupun dari penderitaan karena dosa-dosa orang lain. Namun, di sisi lain rekonsiliasi dan perjanjian ini selalu dikaitkan dengan kewajiban manusia terhadap Allah dan sesama manusia/ciptaan dan tidak bebas dari pengadilan Allah dan tuntutan untuk bertobat. Perjanjian berhubungan baik dengan tuntutan kultis-religius (dasarnya: "jangan ada padamu allah lain di hadapan-Ku", Ul 5:7; Kel 20:3; "Kasihilah Tuhan, Allahmu, dengan segenap hatimu dan dengan segenap jiwamu dan dengan segenap kekuatanmu", Ul 6:4), maupun tuntutan sosial (perintah-perintah Allah; mewujudkan keadilan, membebaskan dari utang; tidak membalas berlebihan: "...mata ganti mata, gigi
ganti gigi..." (Kel 21:24)8; "janganlah engkau menuntut balas, dan janganlah menaruh dendam ... melainkan kasihilah sesamamu seperti dirimu sendiri" Im 19). Dari situ tampak bahwa rekonsiliasi antara Allah dan manusia dan rekonsiliasi antarmanusia saling terkait- dan tidak ada yang satu tanpa yang lain. Dalam Perjanjian Lama9 ditemukan banyak contoh yang konkrit bagaimana, atas dasar tersebut, rekonsiliasi antarmanusia atau antarbangsa bisa berhasil: misalnya rekonsiliasi Esau dengan Yakub Kej 33,Yusuf dengan saudara-saudaranya Kej 45 atau Daud dengan Saul 1 Sam 27. Yang menarik adalah bahwa yang berinisiatif untuk pengampunan dan rekonsiliasi dan membuka jalan untuk pertobatan sering adalah pihak yang diperlakukan tidak adil. Sekali lagi, rekonsiliasi antarmanusia mencerminkan rekonsiliasi yang telah diberi Allah.
2. Hubungan yang khusus antara Allah dan bangsa Isra el
Dalam Perjanjian Lama ditemukan suatu ketegangan yang konstruktif antara universalisme dan partikularisme. Yang sering dijadikan pusat perhatian adalah bangsa Israel sebagai bangsa pilihan Allah dan sejarah Allah dengan bangsa-Nya. Tetapi pilihan khusus dan partikuler oleh Allah itu hanya punya makna dalam kerangka hubungan universal antara Allah dan dunia. Mulai dengan pemilihan Abraham - bapak leluhur bersama orang Yahudi, Kristen dan Islam perjanjian Allah mencakup hubungan khusus, tetapi tidak eksklusif antara Allah dan keturunan-keturunan Abraham. Tujuan perjanjian khusus ini menjadi jelas dalam Kej 12:3 kepada Abraham: "Aku... memberkati engkau ... dan engkau akan menjadi berkat. Aku akan memberkati orang-orang yang memberkati engkau, dan mengutuk orang-orang yang mengutuk engkau, dan olehmu semua kaum di muka bumi akan mendapat berkat." Abraham harus menjadi berkat untuk orang yang tidak sebangsa dan seagama dengan dia, dan dia pun akan diberkati oleh orang-orang beragama lain (misalnya oleh Melchisedek, Kej 14:19; bdk Bileam dalam Bilangan 22 atau Korsey dalamYes 44:28 yang menjadi saluran berkat Allah untuk bangsa Israel). Israel hanyalah salah satu bangsa yang punya hubungan langsung dengan Allah (bdk. Ul 32:8-9) dan menerima penghakiman dan belas kasihan dari Allah (bdk. Yes 19; 40-55; Yeh; Yun dll.). Meskipun sering kita temukan eksklusivisme dan etnosentrisme Israel dalam Perjanjian Lama, sikap itu selalu dan langsung dikritik misalnya oleh para nabi seperti Amos: "Bukankah kamu sama seperti orang Etiopia bagi-Ku, hai orang Israel? ... Bukankah Aku telah menuntun orang Israel keluar dari tanah Mesir, orang Filistin dari Kaftor, dan orang Aram dari Kir?" (Am 9:7) Di satu pihak bangsa lain adalah "lawan-lawan politik atau paling tidak saingan Israel; pada pihak lain Allah sendiri telah membawa mereka ke lingkungan visi Israel." 10 Di satu sisi, bangsa Israel memisahkan diri dari agama-agama sekeliling dan menolak secara tegas pemujaan berhala. Namun Israel bisa juga melihat dan mengakui bahwa Allah telah bekerja di tengah-tengah bangsa dan agama lain. Ia bahkan dapat menerima pengaruh dan belajar dari agama lain11. Pemilihan dan pengistimewaan bangsa Israel bukan karena jasanya atau karena ia lebih layak dari pada bangsa lain. Partikularisme adalah partikularisme fungsional, partikularisme
untuk universalisme. Ia harus menjadi terang bagi bangsa-bangsa lain (Yes 49:6), dan kalau berada di tengah-tengah bangsa dan orang beragama lain, seperti dalam pembuangan di Babel, ia harus mengusahakan "kesejahteraan kota" itu dan berdoa untuk mereka (Yer 29:7 syalom untuk bangsa yang berkuasa atas mereka!). Ia tidak punya panggilan untuk "mengyahudikan" bangsa-bangsa lain, namun ia punya misi - atau lebih tepat: peranan dalam misi rekonsiliasi Allah - terhadap bangsa lain (yaitu menjadi berkat, dan menjadi saksi yang setia tentang keesaan Allah, perintah-Nya, keadilan-Nya dan tindakan-tindakan pembebasan Nya).
Tidak ada hak istimewa bangsa ini di hadapan Allah. Sebaliknya, ia punya kewajiban khusus dalam hubungannya dengan Allah dan membutuhkan rekonsiliasi lebih dari bangsa-bangsa lain karena ketidaktaatannya kepada Tuhannya. Kebutuhan rekonsiliasi mencakup baik aspek individual maupun aspek kolektif (yang tidak dapat dipisahkan), dan berhubungan dengan kesalahan atau pelanggaran kultis, religius, yuridis dan moralis. Bangsa Allah dipanggil terus-menerus untuk bertobat kepada Allah. Rekonsiliasi punya peranan yang sangat besar dalam kultus12. Salah satunya adalah ritus penebusan melalui korban. Dengan menjalankan aturan-aturan ritual hubungan antara seorang secara individual atau sekolompok secara kolektif dengan Allah bisa dipulihkan kembali. Beban dosa ditebus (di samping syafaat, doa, puasa dll.)misalnya lewat korban bakaran (binatang) atau seekor kambing jantang yang secara simbolis dibebankan dengan dosa-dosa manusia dan diusir ke padang gurun (bdk Paskah I m 16; Bil 29 - "kambing jantang dosa" atau "kambing hitam"). Korban tersebut menjadi wakil untuk menerima murkah dan hukuman yang terkait dengan dosa atau pelanggaran yang telah dilakukan. 13 Korban memberikan penggantian. Darah yang ditumpuhkan berarti pendamaian untuk kehidupan bagi yang mempersembahkan korban itu 14. Ritus rekonsiliasi tersebut tidak akan meniadakan kesalahan atau tanggung jawab si pedosa, melainkan menghalangi akibat atau efek yang membawa murka untuk si individual atau kolektif. Persyaratannya adalah penyesalan yang jujur dan pengakuan kesalahan yang terbuka serta kesediaan untuk bertobat dan hidup kembali sesuai dengan kehendak Allah. Namun pelaksanaan ritus tidaklah otomatis menjamin rekonsiliasi dan penghapusan dosa, melainkan ini merupakan tindakan Allah yang bebas (bdk Im 4; Kel 34:67).15 Berhubungan dengan hari raya orang Yahudi yang besar, Yom Kippur (Yom hak-Kippurim) atau "Hari Rekonsiliasi" (bdk "liturgi rekonsiliasi Im 16), juga ditekankan bahwa pengampunan baru berlaku, kalau - dalam hal pelanggaran dalam hubungan antarmanusia kerugian digantidan rekonsiliasi dengan orang yang dirugikan telah dicapai (bdk Bil 5,7)16. Para nabi dengan tegas mengritik praktek kultus yang hanya bersifat munafik dan tidak berhubungan dengan keadilan dan perdamaian antarmanusia: "Aku membenci, Aku menghinakan perayaanmu dan Aku tidak senang kepada perkumpulan rayamu. Sungguh, apabila kamu mempersembahkan kepada-Ku korban-korban bakaran dan korban-korban sajianmu, Aku tidak suka ... Jauhkanlah dari pada-Ku keramaian nyanyian-nyanyianmu, lagu gambusmu tidak mau aku dengar. Tetapi biarlah keadilan bergulung-gulung dan kebenaran seperti sungai yang selalu mengalir." (Amos 5:21-24; bdk. Hos 6:6; Yes 1:10-17; Yes 58:6-8; Mi 6:6-8). Keadilan dan kebenaran (bdk Mzm 98:9) menjadi ukuran untuk keabsahan rekonsiliasi. 17 Aspek rekonsiliasi ini juga nampak dalam aturan-aturan sabat, tahun sabat dan tahun yobel (Im 25; bdk. Kel 23:10-11; Ul 15:1-18; Bil 36:4; Im 27:16-25) yang
dihubungkan dengan aspek pembebasan untuk semua ciptaan (membiarkan tanah dan binatang-binatang, membebaskan hamba-hamba, menghapuskan utang-utang...). Misi rekonsiliasi Allah juga menuntut sikap kerendahan hati dari bangsa Israel. Melayani untuk rekonsiliasi bahkan bisa berarti bersedia untuk menderita. Itu dicerminkan dalam Deuteroyesaya dan Tritoyesaya tentang "hamba Tuhan yang menderita". Hamba Tuhan menjadi gambaran bukan hanya untuk misi seorang nabi atau untuk mesias yang akan datang, tetapi model untuk misi rekonsiliasi Israel. Hamba Tuhan dalam kidung pertama digambarkan sebagai orang pilihan yang dipanggil untuk menjadi model perjanjian Allah dengan dunia, sehingga ia dapat menjadi "perjanjian bagi umat manusia dan terang bagi bangsa-bangsa" (Yes 42:6)18, dan - dalam kidung kedua - "agar keselamatan Allah sampai ke ujung bumi." (Yes 49:6). Ia hidup dan mati bahkan bagi mereka di luar lingkup batasan ras dan bangsanya sendiri. Dalam Yes 50 dan Yes 52/53 hamba itu digambarkan sebagai murid atau tokoh yang menderita karena kesetiaannya dan bahkan "mati bagi kepentingan orang banyak": "...dia tertikam oleh karena pemberontakan kita, dia diremukkan oleh karena kejahatan kita; ganjaran yang mendatangkan keselamatan (perdamaian) bagi kita, ditimpakan kepadanya, dan oleh bilur-bilurnya kita akan sembuh" (Yes 53:5)19. Misi Israel dalam Yes 52:13 -53:12 terutama dipahami dalam rangka solidaritas dengan penderitaan dunia di sekelilingnya, dan melalui itu menjadi "penyembuh yang terluka". Israel (disini dalam konteks pembuangan di Babel, di mana Israel sendiri mengharapkan pembebasan dan menjadi penerima "ganti rugi" melalui "korban penebus salah ( asham)"20) menjadi berkat untuk bangsa lain bukan dari posisi yang kuat, superior, eksklusif dan triumfalistik, dan juga bukan sebagai "korban yang tidak bersalah" dalam arti wacana korban 21, melainkan dalam "solidaritas sesama korban". Tujuan dan visi rekonsiliasi adalah "perjanjian abadi" (Yes 55:3): "...biarpun gunung gunung beranjak dan bukit-bukit bergoyang, tetapi kasih setia-Ku tidak akan beranjak dari
padamu dan perjanjian damai-Ku (berit syalom (Yes 54:10; bdk Yeh 34:25; 37:26).
~wlv tyrb ) tidak akan bergoyang"
~wlv
Konsep Perjanjian Lama tentang syalom adalah konsep perdamaian yang sangat holistik. Di satu sisi, syalom adalah kata ucapan selamat sehari-hari, di sisi lain punya arti religius yang sangat mendalam. Syalom tidak memisahkan perdamaian dengan Allah (tidak ada "individualisasi" dan spiritualisasi") dari perdamaian dengan manusia, tidak memisahkan perdamaian rohani dengan perdamaian jasmani dan sosial. 22 Syalom adalah anugerah Allah dan sekaligus tanggung jawab manusia. Syalom sebagai pengalaman iman, panggilan etis dan harapan untuk masa depan melampaui tradisi-tradisi kaku dan permusuhan terhadap bangsa lain dalam Perjanjian Lama23. Memang tidak dapat disangkal bahwa perhatian masih dipusatkan kepada peranan sentral bangsa Israel dalam sejarah keselamatan Allah. Tetapi simbol-simbol identitas yang eksklusiv telah dibuka seperti dalam visi tentang ziarah bangsa-bangsa ke bukit Sion: "Akan terjadi pada hari-hari yang terakhir: gunung tempat rumah Tuhan akan berdiri tegak di hulu gunung-gunung dan menjulang tinggi di atas bukit-bukit; segala bangsa akan berduyunduyun ke sana, dan banyak suku bangsa akan pergi serta berkata: "Mari kita naik ke gunung Tuhan, ke rumah Allah Yakub, supaya Ia mengajar kita tentang jalan-jalan-Nya, dan supaya kita berjalan menempuhnya; sebab dari Sion akan keluar pengajaran dan firman Tuhan dari Yerusalem." Ia akan menjadi hakim antara bangsa-bangsa dan akan menjadi wasit bagi banyak suku bangsa; maka mereka akan menempa pedang-pedang menjadi mata bajak dan
tombak-tombaknya menjadi pisau pemangkas; bangsa tidak akan lagi mengangkat pedang terhadap bangsa, dan mereka tidak akan lagi belajar perang. Hai kaum keturunan Yakub, mari kita berjalan di dalam terang Tuhan!" (Yes 2:1-5). Kalimat terakhir itu - "...mari kita berjalan dalam terang Tuhan" - membuat visi syalom yang universal itu menjadi misi rekonsiliasi untuk damai sejahtera untuk seluruh dunia dan alam semesta. 24 Saya mau menyimpulkan "misi rekonsiliasi dalam Perjanjian Lama" dengan sebuah simbol
tyrb
~wlv
untuk perjanjian ( ) Allah berit ) Allah sebai dasar rekonsiliasi dan syalom ( sebagai visi dan misi rekonsiliasi, yaitu pelangi dan burung merpati yang membawa sehelai daun zaitun (dari kisah tentang air bah dan perjanjian dengan Nuh Kej 5-9): Pelangi sebagai tanda rekonsiliasi antara Allah dan manusia, dan antara manusia yang begitu beranekaragam. Merpati sebagai duta perdamaian yang membuka kemungkinan untuk kehidupan baru di tengah keadaan yang tanpa harapan. Mengapa Nama ‘Yahwe’ Diganti dengan ’Allah?’ (Kajian tentang Asal-usul dan Tradisi Teologis) OPINI Jufri Kano | 24 Oktober 2010 | 16:52 64 4 1 dari 1 Kompasianer menilai Bermanfaat. Pengantar
Sebagai makhluk yang diciptakan untuk sesuatu yang tidak terbatas, manusia tidak pernah dapat puas dengan dunia yang terbatas ini. Segala harta dunia ini, segala silau teknologinya yang canggih, segala kepuasan yang ditawarkannya, pada hakikatnya tidak pernah dapat memuaskan hati manusia yang selalu merindukan sesuatu yang mengatasi dunia ini. Ada banyak interpretasi tentang realitas yang tidak terbatas itu, semuanya bertujuan agar manusia sampai kepada pemahaman yang akurat tentang Yang Absolut itu sendiri. Bagi orang Arab, realitas yang tidak terbatas itu adalah Allah , sedangkan orang Yahudi menyebutnya Yahwe. Di antara kedua kata tersebut, kata ‘Allah’ merupakan kata yang paling populer dan digunakan bersama-sama oleh penganut agama Yahudi, Kristen, dan Islam. Akan tetapi, belakangan ini penggunaan kata Allah di kalangan Kristen menuai kritik yang tajam dari umat Islam. Menurut umat Islam, kata Allah merupakan trade mark umat Islam saja. Muncul pertanyaan: apakah kata ‘Allah’ milik ekslusif orang Islam? Ataukah ada kata lain yang lebih orisinil untuk mengetahui identitas sang causa prima non causata itu? Untuk menjawab pertanyaan itu, akan dibicarakan dulu asal-usul kata Allah. 1. Asal-usul Kata ‘Allah’
Secara etimologis, kata ‘Allah’ merupakan perpaduan dua kata Arab: al- dan ilah, artinya Yang Mahakuasa. Kata Semit ilah sama arti dan akarnya dengan kata Ibrani el yang berarti yang kuat, yang berkuasa, dan menjadi sebutan untuk Tuhan. Karena dikira ada banyak el atau ilah (politeisme), maka satu ilah disebut sebagai El-Elyon , Allah Tertinggi, yang diakui sebagai Pencipta langit dan bumi. Kata ‘Allah’ sudah dikenal oleh masyarakat Arab sebelum Islam untuk menunjuk Pencipta alam semesta, yang terlalu jauh atau tinggi untuk disembah
atau dimintai perhatian. Sudah di masa sebelum Islam, al-ilah disambung menjadi Allah . Dengan demikian, kata Allah bukan ciptaan orang Islam, melainkan ia merupakan kata biasa dalam bahasa Arab lepas dari ikatan dengan salah satu agama tertentu.[1] 2. Tradisi Teologis Perubahan Nama
Bangsa Israel lahir dan berkembang di dalam suasana keagamaan yang serba ragam dengan nama sesembahan mereka masing-masing. Sejumlah Kitab Perjanjian Lama menyebutkan bahwa nama pribadi sesembahan bangsa Israel adalah Yahwe. Nama ini membedakan sesembahan bangsa Israel dengan ilah-ilah bangsa lain (Ul 7:25). Nama Yahwe amat sering digunakan dalam Alkitab Ibrani. Dengan nama Yahwe, Allah telah menyatakan diri dalam sejarah bangsa Israel. Bangsa Israel sudah mengenal Yahwe, sebab Yahwe sendiri telah menyatakan diri-Nya kepada mereka: “Aku ini Yahwe, itulah nama-Ku” (Yes 42:8). Nama Yahwe diartikan sebagai “Dia ada,” dalam arti “ada untuk umat-Nya,” hadir dan bertindak bagi mereka, menyertai mereka dalam perjalanan keluar dari perbudakan. Namun demikian, bangsa Israel masih mencari Dia, memanggil Dia dengan nama-nama ilahi yang berasal dari dunia keagamaan bangsa-bangsa di daerah pengembaraan mereka sebab Yahwe sendiri berkenan memperkenalkan diri-Nya di bawah nama-nama itu. Muncul pertanyaan: apakah sama antara Yahwe dengan sembahan bangsa-bangsa pengembara itu? Jauh dari menyamakan diri dengan sembahan-sembahan itu, Yahwe seakan-akan merebut, menyita, dan mengambil alih namanama mereka.[2] Latar belakang kafir dari nama-nama itu tidak dapat menghalangi penggunaannya sebagai alat pernyataan diri Yahwe kepada para bapa leluhur Israel. Yahwe berkenan mempergunakan ciri-ciri keagamaan sekedar untuk menyatakan diri-Nya yang sebenarnya. Meskipun bangsa Israel mengenal Yahwe, tetapi nama yang kudus ini tidak boleh disebut dengan sia-sia mengingat arti penting sebuah nama dalam Perjanjian Lama. Nama mewakili pribadi dan mengetahui nama seseorang kadang-kadang menguasai orang itu (bdk. Kej 32:30).[3] Oleh karenanya, orang-orang Israel zaman dulu mengganti nama Yahwe dengan istilah Adonai. Kebiasaan bangsa Israel untuk menggantikan kata ‘Yahwe’ dengan kata ’ Adonai‘ diikuti oleh Yesus dan para rasul-Nya. Lembaga Alkitab Indonesia kiranya juga mengikuti kebiasaan ini dalam menerjemahkan Yahwe dengan kata ‘Allah.’ Terjemahan ini tepat mengingat sebutan ‘Allah’ itu memiliki jangkauan luas dan universal, melampaui batas bangsa. Oleh karenanya, kita sebagai umat Kristen jelas tidak rela disuruh untuk melepaskan sebutan ‘Allah’ itu. 3. Penggunaan Kata “Allah” dalam Tradisi Arab Kristen
Secara historis, terdapat pandangan di kalangan orang banyak, baik yang Muslim maupun yang bukan Muslim, tentang adanya kesejajaran antara ‘ke-Islam-an’ dan ke-Arab-an.’ Pandangan seperti itu jelas tidak didasarkan pada kenyataan tetapi hanya didasarkan pada kesan semata. Akibatnya, banyak orang mengira bahwa hanya orang Islam yang percaya kepada Allah, atau bahwa kata ‘Allah’ itu sendiri adalah milik ekslusif orang Islam. Padahal dalam kenyataannya, bahasa Arab bukanlah bahasa khusus orang-orang Muslim dan agama Islam, melainkan juga bahasa kaum non-Muslim dan agama bukan Islam sebab di kalangan bangsa Arab terdapat kelompok-kelompok bukan Islam, seperti Yahudi dan Kristen. [4]
Sebagai orang yang berkebangsaan Arab, mereka juga menggunakan kata ‘Allah’ dan percaya kepada Allah. Dalam terjemahan Kitab Suci Perjanjian Lama dan Kitab Suci Perjanjian Baru ke dalam bahasa Siryani yang digunakan di Siria sebelum kedatangan agama Islam, kata yang digunakan untuk menyebut Allah adalah kata yang biasa digunakan dalam bahasa-bahasa Semit (Ibrani, Arami, Arab, dan lain-lain), yakni kata yang memiliki akar kata’ l.‘ Kata tersebut dalam bahasa Siryani diucapkan alaha, “dewa itu” yang sama artinya dengan haeloah dalam bahasa Ibrani, atau Allah dalam bahasa Arab. Dengan demikian, sangat masuk akal kalau orang-orang Islam menggunakan kata ‘Allah’ untuk menunjuk kepada sesembahan mereka, dan orang-orang Yahudi dan Kristen Arab memakai kata ‘Allah’ yang sama itu pula untuk menyebut sesembahan mereka. Ketika orang-orang Muslim Arab melakukan ekspansi militer dan politik keluar Jazirah Arabia, mereka membawa agama Islam kepada masyarakat bukan Arab. Dengan demikian, masyarakat bukan Arab tersebut menggunakan bahasa Arab setelah wilayah mereka dikuasai oleh orang-orang Arab sehingga mereka pun memakai kata ‘Allah.’ Jadi, kata ‘Allah’ bukan kepunyaan orang Islam saja melainkan kepunyaan semua orang yang menggunakan bahasa Arab itu. Ia sudah digunakan oleh orang Arab pada zaman sebelum Islam. Kata ‘Allah’ ini kemudian dipegang bersama-sama oleh orang Yahudi dan Kristen yang menggunakan bahasa Arab, demikian pula oleh orang Islam, semuanya berdasarkan latar belakang etimologis kata itu sendiri dan tradisi teologis agama-agama mereka yang berakar dalam Perjanjian Lama. 4. Tanggapan Kritis
Agama Kristen mengakui bahwa Allah memperlihatkan diri-Nya lewat suatu kebudayaan yang konkret dan definitif. Hal ini tampak jelas dalam diri Yesus Kristus yang lahir pada suatu waktu tertentu, di suatu tempat tertentu, dan berintegrasi dalam suatu kebudayaan tertentu yaitu kebudayaan Yahudi Palestina. Warta universal dari Allah yang dimaklumkan dalam diri Yesus Kristus dialamatkan kepada manusia dari suatu kebudayaan tertentu pula. Pewartaan tersebut bisa ditanggapi lewat unsur budaya setempat, yaitu bahasa mereka sendiri. Pengakuan inilah yang merupakan salah satu pendorong bagi umat Kristiani untuk menghormati bahasa setempat dalam usaha mencapai pemahaman yang akurat tentang Yang Absolut itu sendiri.[5] Dengan kata lain, latar belakang permasalahan perbedaan penggunaan kata untuk menyebut realitas yang tidak terbatas itu bagi umat Kristiani tidak terlalu dipersoalkan. Inti yang mau diambil oleh umat Kristiani adalah bahwa dengan penggunaan kata tertentu misalnya kata ‘Allah’ untuk menyebut Yang Absolut itu, kehadiran Dia yang disebutkan itu dapat ditangkap, dipahami, dan diterima oleh orang-orang yang dalam kenyataannya terikat dalam konteks bahasa tertentu. Penggunaan kata ‘Allah’ di kalangan Kristen merupakan wujud khusus yang menandakan bahwa Allah hadir dan berbicara dengan bahasa orang setempat, yaitu masyarakat yang menjadi pendengar-Nya. Allah menggunakan medium bahasa setempat untuk mengungkapkan siapa diri-Nya, namun kehadiran-Nya lepas dari semua bahasa yang digunakan oleh manusia manapun. Jadi, kehadiran Allah melampaui setiap kata yang kita pakai untuk menyebut-Nya. Kata ‘Allah’ dipakai untuk merumuskan penghayatan atau penangkapan kita tentang realitas tertinggi, bukan realitas in se- Nya. Dengan demikian, yang lebih penting bagi kita ialah