BAB I PENDAHULUAN
Nyeri dikatakan sebagai salah satu tanda alami dari suatu penyakit yang paling pertama muncul dan menjadi gejala yang paling dominan diantara pengalaman sensorik lain yang dinilai oleh manusia pada suatu penyakit. Nyeri sendiri dapat diartikan sebagai suatu pengalaman sensorik yang tidak mengenakkan yang berhubungan dengan suatu kerusakan jaringan atau hanya berupa potensi kerusakan jaringan. Walaupun ketidaknyamanan dari suatu nyeri, nyeri dapat diterima oleh seorang penderitanya sebagai suatu mekanisme untuk menghindari keadaan yang berbahaya, mencegah kerusakan lebih jauh, dan untuk mendorong proses suatu penyembuhan. Nyeri membuat kita menjauhkan diri dari hal berbahaya yang dapat menyebabkan stimulus noksius yaitu akar dari suatu nyeri. Nyeri sendiri menurut patofisiologinya dapat dibagi atas 4, yaitu : a. Nyeri nosiseptif atau nyeri inflamasi, yaitu nyeri yang timbul akibat adanya stimulus mekanis terhadap nosiseptor nosiseptor b. Nyeri neuropatik, yaitu nyeri yang timbul akibat disfungsi primer pada system saraf. c. Nyeri idiopatik, nyeri dimana kelainan patologik tidak dapat ditemukan d. Nyeri psikologik, bersumber dari emosi/psikis dan biasanya tidak disadari
(3)
Pada makalah ini kami akan membahas tentang nyeri neuropatik dan neuro nosiseptif yang akan dibahas selanjutnya. sela njutnya.
1
BAB II NYERI
2.1.DEFINISI NYERI Menurut InternationalAssociation
for Study of Pain (IASP), nyeri adalah
sensori subyektif dan emosional yang tidak menyenangkan yang didapat terkait dengan kerusakan jaringan aktual maupun maupun potensial, atau ata u menggambarkan kondisi terjadinya kerusakan. Persepsi
yang
disebabkan
oleh
ransangan
yang
potensial
dapat
menimbulkan kerusakan jaringan disebut nosisepsion. nosisepsion. Nosisepsion merupakan langkah awal proses nyeri. Reseptor neurologik yang dapat membedakan antara rangsangan nyeri dengan rangsangan lain disebut nosiseptor. Nyeri dapat mengakibatkan impairment dan disabilitas.Impairment adalah abnormalitas struktur atau hilangnya fungsi anatomik maupun psikologik. Sedangkan disabilitas adalah hasil dari impairment yaitu keterbatasan atau gangguan kemampuan untuk melakukan aktivitas yang normal. Nyeri juga merupakan alasan tersering yang di berikan oleh pasien apabila mereka ditanyakan kenapa berobat. Dampak nyeri nyeri pada perasaan sejahtera sejahtera pasien sudah sedemikian luas diterima sehingga banyak institusi sekarang menyebut nyeri sebagai ³tanda vital kelima´, dan mengelompokkannya bersama tanda-tanda klasik suhu, nadi, pernapasan, dan tekanan darah. Dapat dikatakan pula rasa nyeri merupakan mekanisme perlindungan. Bila kulit menjadi nyeri akibat iskemia, dalam keadaan bawah sadar, orang yang merasakan
nyeri
akan
mengubah
posisinya.
Tetapi,
keadaan
ini
akan
menimbulkan peluruhan dan deskuamasi seluruh kulit pada daerah yang tertekan. Nyeri merupakan sensasi tidak menyenangkan yang terlokalisasi pada suatu bagian tubuh. Fungsi sistem sensorik nyeri adalah untuk mendeteksi, melokalisasi dan mengidentifikasi proses kerusakan jaringan. Nyeri seringkali dijelaskan dala m istilah proses destruktif jaringan (misalnya: ditusuk-tusuk, ditusuk-tusuk, panas pana s terbakar, melilit, sperti dirobek-robek, seperti diremas-remas) dan atau suatu reaksi badan atau emosi (misalnya perasaan takut, mual, mabuk). Sifat-sifat ini menunjukkan dualitas nyeri, nyeri merupakan sensasi atau emosi. Jika akut nyeri secara karakteristik berhubungan dengan perubahan tingkah laku dan respons
2
BAB II NYERI
2.1.DEFINISI NYERI Menurut InternationalAssociation
for Study of Pain (IASP), nyeri adalah
sensori subyektif dan emosional yang tidak menyenangkan yang didapat terkait dengan kerusakan jaringan aktual maupun maupun potensial, atau ata u menggambarkan kondisi terjadinya kerusakan. Persepsi
yang
disebabkan
oleh
ransangan
yang
potensial
dapat
menimbulkan kerusakan jaringan disebut nosisepsion. nosisepsion. Nosisepsion merupakan langkah awal proses nyeri. Reseptor neurologik yang dapat membedakan antara rangsangan nyeri dengan rangsangan lain disebut nosiseptor. Nyeri dapat mengakibatkan impairment dan disabilitas.Impairment adalah abnormalitas struktur atau hilangnya fungsi anatomik maupun psikologik. Sedangkan disabilitas adalah hasil dari impairment yaitu keterbatasan atau gangguan kemampuan untuk melakukan aktivitas yang normal. Nyeri juga merupakan alasan tersering yang di berikan oleh pasien apabila mereka ditanyakan kenapa berobat. Dampak nyeri nyeri pada perasaan sejahtera sejahtera pasien sudah sedemikian luas diterima sehingga banyak institusi sekarang menyebut nyeri sebagai ³tanda vital kelima´, dan mengelompokkannya bersama tanda-tanda klasik suhu, nadi, pernapasan, dan tekanan darah. Dapat dikatakan pula rasa nyeri merupakan mekanisme perlindungan. Bila kulit menjadi nyeri akibat iskemia, dalam keadaan bawah sadar, orang yang merasakan
nyeri
akan
mengubah
posisinya.
Tetapi,
keadaan
ini
akan
menimbulkan peluruhan dan deskuamasi seluruh kulit pada daerah yang tertekan. Nyeri merupakan sensasi tidak menyenangkan yang terlokalisasi pada suatu bagian tubuh. Fungsi sistem sensorik nyeri adalah untuk mendeteksi, melokalisasi dan mengidentifikasi proses kerusakan jaringan. Nyeri seringkali dijelaskan dala m istilah proses destruktif jaringan (misalnya: ditusuk-tusuk, ditusuk-tusuk, panas pana s terbakar, melilit, sperti dirobek-robek, seperti diremas-remas) dan atau suatu reaksi badan atau emosi (misalnya perasaan takut, mual, mabuk). Sifat-sifat ini menunjukkan dualitas nyeri, nyeri merupakan sensasi atau emosi. Jika akut nyeri secara karakteristik berhubungan dengan perubahan tingkah laku dan respons
2
stress yang terdiri dari: meningkatnya tekanan darah, denyut nadi, diameter pupil dan kadar kortisol plasma. Selain itu, kontraksi otolokal ( misalnya fleksi anggota badan, kekakuan dinding abdomen) seringkali terlihat dan dapat menyebabkan nyeri sekunder.
2.2.KLASIFIKASI NYERI
Neyeri somatik Nyeri nosiseptif
Nyeri viseral Nyeri Nyeri neuropatik Nyeri nonnosiseptif Nyeri psikogenik
Gambar 1. Klasifikasi Nyeri Jenis-jenis nyeri : y
Nyeri nosiseptif adalah nyeri yang ti mbul mbul sebagai akibat a kibat peransangan pada nosiseptor (serabut A- dan serabut C) oleh ransangan mekanik, terminal atau termikal.
y
Nyeri somatik adalah nyeri yang timbul pada organ non viseral, misal nyeri pasca bedah, nyeri metatastik, nyeri tulang, dan nyeri artritik.
y
Nyeri viseral adalah nyeri berasal dari organ viseral, biasanya akibat distensi organ yang berongga, misalnya usus, kantung empedu, pankreas jantung. Nyeri juga sering diikuti referred pain dan sensasi otonom, seperti mual dan muntah.
y
Nyeri neuropatik, timbul akibat iritasi atau trauma pada saraf. Seringkali persiten, walaupun penyebabnya sudah tidak ada. Biasanya paien merasakan rasa seperti terbakar, seperti tersengat listrik atau alodinia dan disestesia.
3
y
Nyeri pisogenik yaitu nyeri yang tidak memenuhi kriteria nyeri somatik dan nyeri neuropatik, dan memenuhi kriteria untuk depresi atau kelainan psikosomatik.
2.3.RESEPTOR NYERI DAN STIMULASINYA
Kapasitas jaringan unutk menimbulkan nyeri apabila jaringan tersebut mendapat rangsangan yang mengganggu bergantung pada keberadaan nosiseptor. N osiseptor adalah saraf eferen primer untuk menerima dan menyalurkan
rangsangan nyeri. Nosiseptor terletak di jaringan subkutis, otot rangka dan sendi. Reseptor nyeri divesera tidak terdapat di parenkeim organ internal itu sendiri, tetapi di permukaan periotenum, membrane pleura, dura meter, dan dinding pembuluh darah. Reseptor yang terdapat di kulit dan jaringan lain semuanya merupakan ujung saraf bebas. Reseptor ini tersebar luas pada permukaan superisial kulit dan juga dijaringan dalam tertentu, misalnya periosteum, dinding arteri, permukaan sendi dan falks serta tentorium tempurung kepala. Sebagian besar jaringan dlam lainnya hanya sedikit sekali dipersarafi oleh unjung saraf nyeri; namun, setiap kerusakan jaringan yang luas dapap bergabbung sehingga pada kebanykan dareah tersebut akan ti mbul tipe rasa nyeri pegal yang lambat da n kronik. Rasa nyeri dapat dirasajan melalui berbagai jenis rangsangan. Semua ini dikelompokkan sebagai rangsangan nyeri mekanis, suhu,
dan kimiawi. Pada
umumnya nyeri cepat diperoleh melalui rangsangan jenis mekanis atau suhu, sedangkan nyeri lambat dapat diperoleh melalui ketiga jenis tersebut. Beberapa zat yang merangsang jenis nyeri kimiawi adalah bradikinin, serotin, histamine, ion kalium, asam, asetilkolin dan enzim proteolitik. Selain itu, prostaglandin I dan substansi P meningkatkan sensitivitas ujung-ujung serabut nyeri tetapi tidak secara langsung merangsangnya. Substansi kimia terutama penting untuk perangsangan lambat, jenis rasa nyeri yang menusuk yang terjadi setelah cedera jaringan. Berbeda dengan kebanykan reseptor sensoris tubuh lainnya, reseptor nyeri sedikit sekali beradaptasi dan kadang tidak beradaptasi sama sekali. Ternyata pada beberapa kindisi, eksitasi serabut rasa nyeri menjadi semakin bertambah secara
4
progresif terutama pada rasa nyeri mual-menusuk-lambat, karena stimulus rasa nyeri berlangsung terus-menerus. Keadaan ini akan meningkatkan sensitivitas reseptor nyeri dan disebut hiperalgesia.
2.4.JALUR NYERI DI SISTEM SARAF PUSAT
a. Jalur Ascendens Serat saraf C dan A- aferen yang menyalurkan implus nyeri masuk ke medula spinalis di akar saraf dorsal. Serat-serat memisah sewaktu masuk ke korda dan kemudian kembali menyatu di kornu dorsalis posterior pada medula spinalis. Daerah ini menerima, menyalurkan, dan memproses implus sensorik. Kornu dorsalis medula spinalis dibagi menjadi lapisan-lapisan sel yang disebut lamina. Dua dari lapisan ini, yang disebut substansia gelatinosa, sangat penting dalam transmisi dan modulasi nyeri. Dari kornu dorsalis, implus nyeri dikirim ke neuron-neuron yang menyalurkan informasi ke sisi berlawanan medula spinalis di komisura anterior dan kemudian menyatu di traktus lateralis, yang naik ke tala mus dan struktur otak lainnya. Dengan demikian, transmisi implus nyeri di medula spinalis bersifat kontrlateral terhadap sisi tubuh tempat implus tersebut berasal. Traktus neospinotalamikus adalah suatu sistem langsung yang membawa informasi diskriminatif sensorik mengenai nyeri cepat atau a kut dari nosiseptor A ke daerah talamus. Sistem ini barakhir di dalam nukleus posterolateral ventralis hipotalamus. Nyeri disebut juga sensasi talamus mungkin karena dibawa kesadaran oleh talamus. Sebuah neuron di talamus kemudian memproyeksikan akso-aksonnya melalui bagian posterior kapsula interna untuk membawa implus nyeri ke korteks somatosensorik primer dan girus pascacentralis. Dipostulasikan bahwa pola tersusun ini penting bagi aspek sensorik-diskriminatif nyeri akut yang dirasakan yaitu, lokasi, sifat, dan intensitas nyeri. Traktur paleospinotalamikus adalah suatu jalur multisinaps difus yang membawa implus ke farmasio retikularis batang otak sebelum berakhir di nukleus parafasikularis dan nukleus intralaminar lain di talamus, hipotalamus, nukleus sistem limbik, dan korteks otak depan. Karena implus disalurkan lebih lambat dari implus di traktus neospinotalamikus, maka nyeri yang ditimbulkannya berkaitan dengan rasa panas, pegal, dan sensasi yang lokalisasinya samar. Besar
5
kemungkinannya sensasi viseral disalurkan oleh sistem ini. Sistem ini sangat penting pada nyeri kronik, dan memperantarai respons otonom terkait, perilaku emosional, dan penurunan ambang sering terjadi. Dengan demikian, jalur paleospinotalamikus disebut sebagai suatu sist em nosiseptor motivasional.
b. Jalur Descendens Salah satu jalur descendens yang telah diidentifikasi sebagai jalur penting dalam sistem modulasi nyeri adalah jalur yang mencakup tiga komponnen berikut 1. Substans grisea periakuaduktus (PAG) dan substansia grisea periventrikel (PVG) mesensefalon dan pons bagian atas yang mengelilingi akuaduktus Sylvius. 2. Neuron-neuron dari daerah satu mengirim implus ke nukleus rafe magnus (NR M)
yang
terletak
dipons
dibagian
atas
dan
nukleus
retikularis
paragigantoselularis (PGL) di medula lateralis. 3. Implus di transmisikan dari nukleus di ke kompleks inhibitorik nyeri yang terletak di kornu dorsalis medula spinalis.
6
2.5.MEKANISME NYERI
Mekanisme
Nyeri Pengalaman subjektif nyeri yg bagaimanapun juga
PERSEPSI
dihasilkan oleh aktifitas
MODULASI
a. Melibatkan aktifitas saraf setinggi medula spinalis b. Melibatkan faktor2 kimiawi yg menimbulkan atau meningkatkan aktivitas direseptor nyeri aferen primer
a. Implus nyeri dari dr tempat transduksi melewati saraf perifer sampai ke terminal medula spinalis b. Dari jaringan neuron2 yg ada dimedula spinalis ke otak TRANSMISI
a. Terjadi stimulus noxious menyebabkan stimulasi nociceptor. b. Pada stimulasi nociceptor, stimulus noxious di ubah menjadi aksi potensial
TRANSDUKSI
2.6.NYERI NOSISEPTIF
Definisi Nyeri Nosiseptif
Nyeri nosiseptif merupakan suatu nyeri yang ditimbulkan oleh suatu rangsangan pada nosiseptor. Nosiseptor ini merupakan suatu ujung saraf bebas yang berakhir pada kulit untuk mendeteksi suatu nyeri kulit. Nosiseptor juga terdapat pada tendon dan sendi, untuk mendeteksi nyeri somatik dan pada organ tubuh untuk mendeteksi nyeri visceral. Reseptor nyeri ini sangat banyak pada kulit, sehingga suatu stimulus yang menyebabkan nyeri sangat mudah dideteksi dan dilokalisasi tempat rangsangan tersebut terjadi pada kulit. Input noksius ditransmisikan ke korda spinalis dari berbagai ujung saraf bebas pada kulit, otot, sendi, dura, dan viscera.
7
Komponen Nyeri Nosiseptif
Banyak teori berusaha untuk menjelaskan dasar neurologis dari nyeri nosiseptif, meskipun tidak ada satu teori yang menjelaskan secara sempurna bagaimana nyeri tersebut ditransmisikan atau diserap. Untuk memudahkan memahami fisiologinya, maka nyeri nosiseptif dibagi atas 4 tahapan yaitu : y
Transduksi : Stimulus noksius yang kemudian ditransformasikan menjadi impuls berupa suatu aktifitas elektrik pada ujung bebas saraf sensorik.
y
Transmisi : Propagasi atau perambatan dari impuls tersebut pada sistem saraf sensorik
y
Modulasi
: Proses interaksi antara sistem analgesik endogen dengan
input nyeri yang masuk di kornu posterior medula spinalis y
Persepsi: Adanya interaksi antara transduksi, transmisi, dan modulasi yang kemudian membentuk suatu pengalaman emosional yang subjektif.
Transduksi
Pada nyeri nosiseptif, fase pertamanya adalah transduksi, konversi stimulus yang intens apakah itu stimuli kimiawi seperti pH rendah yang terjadi pada jaringan yang meradang , stimulus panas diatas 420C, atau kekuatan mekanis. Disini didapati adanya protein transducer spesifik yang diekspresikan dalam neuron nosiseptif ini dan mengkonversi stimulus noksious menjadi aliran yang menembus membran, membuat depolarisasi membran dan mengaktifkan terminal perifer. Proses ini tidak melibatkan prostanoid atau produksi prostaglandin oleh siklo-oksigenase, sehingga nyeri ini, atau proses ini, tidak dipengaruhi oleh penghambat enzim COX-2 . (7) Neuron transduksi diperanka n oleh suatu nosiseptor berupa serabut A- dan serabut C yang menerima langsung suatu stimulus noksius.
(3)
Serabut A- merupakan suatu serabut saraf dengan tebal 1- 3 mm dan diliputi oleh selaput mielin yang tipis. Kecepatan transimisi impuls pada serabut A- adalah sekitar 20m/s. Seperti serabut sensorik lainnya, serabut A-
8
merupakan perpanjangan dari pesudounipolar neuron dimana tubuh selnya berlokasi pada akar ganglion dorsal.
(4)
Sedangkan serabut C merupakan suatu serabut saraf dengan tebal 1 mm dan tidak memiliki mielin. Karena serabut ini sangat tipis dan karena tidak memiliki mielin yang mempercepat transmisi saraf, kecepatan konduksi rendah, dan suatu rangsang berespon dengan kecepatan 1m/s.
(4)
Serabut A- dan serabut C tidak hanya berbeda dalam struktur dan kecepatan transmisinya namun mereka juga mempunyai kemampuan yang berbeda dalam mendeteksi suatu stimulus. Serabut A- mentransimsisikan nyeri tajam dan tusukan. dan serabut C menghantarkan sensasi berupa sentuhan, getaran, suhu, dan tekanan halus. Walaupun dengan adanya perbedaan ini, kedua tipe serabut ini memiliki jalur yang sama dalam menghantarkan stimulus yang terdeteksi. Rute dari impuls saraf ini biasanya disebut dengan ´jalur nyeri´.
(8, 9)
Selain dari peran serabut A- dan serabut C, disebutkan juga terdapat peran dari neuroregulator yang merupakan suatu substansi yang memberikan efek pada transmisi stimulus saraf, biasanya substansi ini ditemukan pada nosiseptor yaitu akhir saraf dalam kornu dorsalis medulla spinalis dan pada tempat reseptor dalam
saluran
spinotalamik.
Neuroregulator
ada
dua
macam,
yaitu
neurotransmitter dan neuromodulator. Neurotransmitter mengirimkan impuls elektrik melewati celah synaptik antara 2 serabut saraf dan neuromodulator berfungsi memodifikasi aktivitas saraf dan mengatur transmisi stimulus saraf tanpa mentransfer secara langsung sinyal saraf melalui synaps
(4)
Transmisi
Disini terjadi transfer informasi dari neuron nosiseptif primer ke neuron di kornu dorsalis, selanjutnya ke neuron proyeksi yang akan meneruskan impuls ke otak. Transmisi ini melibatkan pelepasan asam amino decarboxilic glutamate, juga peptida seperti substantia P yang bekerja pada reseptor penting di neuron postsinaptic. Selanjutnya ini akan memungkinkan transfer yang cepat dari input mengenai intensitas, durasi, lokasi, dari stimuli perifer yang berbeda lokasi.
9
Secara umum, ada dua cara bagaimana sensasi nosiseptif dapat mencapai susunan saraf pusat, yaitu melalui traktus neospinothalamic untuk ´nyeri cepat ± spontan´ dan traktus paleospinothalamic untuk ´nyeri lambat´.
(9)
Pada traktus neospinothalamik, nyeri secara cepat bertransmisi melalui serabut A- dan kemudian berujung pada kornu dorsalis di medulla spinalis dan kemudian bersinapsis dengan dendrit pada neospinothlamaik melalui bantuan suatu neurotransmitter. Akson dari neuron ini menuju ke otak dan menyebrang ke sisi lain melalui commisura alba anterior, naik keatas dengan columna anterolateral yang kontralateral. Serabut ini kemudian berakhir pada kompleks ventrobasal pada thalamus dan bersinapsis dengan dendrit pada korteks somatosensorik. Nyeri cepat-spontan ini dirasakan dalam waktu 1/10 detik dari suatu stimulus nyeri tajam, tusuk, dan gores.
(9)
Pada traktus paleospinothalamik, nyeri lambat dihantarkan oleh serabut C ke lamina II dan III dari cornu dorsalis yang dikenal dengan substantia gelatinosa. Impuls kemudian dibawa oleh serabut saraf yang berakhir pada lamina V, juga pada kornu dorsalis, bersinaps dengan neuron yang bergabung dengan serabut dari jalur cepat, menyebrangi sisi berlawanan via commisura alba anterior dan naik ke aras melalui jalur anterolateral. Neuron ini kemudian berakhir dalam batang otak, dengan sepersepuluh serabut berhenti di thalamus dan yang lainnya pada medulla, pons, dan substantia grisea sentralis dari t ectum mesencephalon. (9) Sebenarnya terdapat beragam jalur khusus hantaran sinyal dari kerusakan jaringan dibawa ke berbagai tujuan, dimana dapat memprovokasi proses kompleks. Transmisi nosiseptif sentripetal memicu berbagai jalur : spinoreticular, spinomesencephalic, spinolimbic, spinocervical, dan spinothalamic.
(9)
Traktus spinoreticular membawa jalur aferen dari somatosensorik dan viscerosensorik yang berakhir pada tempat yang berbeda pada batang otak. Traktus spinomesencephalik mengandung berbagai proyeksi yang berakhir pada tempat yang berbeda dalam nukleus diencephali. Traktus spinolimbik termasuk dari bagian spinohipotalamik yang mencapai kedua bagian lateral dan medial dari hypothalamus dan kemudian traktus spinoamygdala yang memanjang ke nukleus sentralis dari amygdala. Traktus spinoservikal, seperti spinothalamik membawa sinyal ke thalamus.
(3)
10
Modulasi
Pada fase modulasi terdapat suatu interaksi dengan system inhibisi dari transmisi nosisepsi berupa suatu analgesic endogen. Konsep dari system ini yaitu berdasarkan dari suatu sifat, fisiologik, dan morfologi dari sirkuit yang termasuk koneksi antara periaqueductal gray matter dan nucleus raphe magnus dan formasi retikuler sekitar dan menuju ke medulla spinalis Analgesik endogen meliputi : - Opiat endogen - Serotonergik - Noradrenergik (Norepinephric) Sistem analgesik endogen ini memiliki kemampuan menekan input nyeri di kornu posterior dan proses desendern yang dikontrol oleh otak seseorang, kornu posterior diibaratkan sebagai pintu gerbang yang dapat tertutup adalah terbuka dalam
menyalurkan
input
nyeri.
Proses
modulasi
ini
dipengaruhi
oleh
kepribadian, motivasi, pendidikan, status emosional &kultur seseorang. Secara skematik proses modulasi dapat dilihat pada skema dibawah ini
Persepsi
Fase ini merupakan titik kesadaran seseorang terhadap nyeri, pada saat individu menjadi sadar akan adanya suatu nyeri, maka akan terjadi suatu reaksi
11
yang kompleks. Persepsi ini menyadarkan individu dan mengartikan nyeri itu sehingga kemudian individu itu dapat bereaksi . (8) Fase ini dimulai pada saat dimana nosiseptor telah mengirimkan sinyal pada formatio reticularis dan thalamus, sensasi nyeri memasuki pusat kesadaran dan afek. Sinyal ini kemudian dilanjutkan ke area limbik. Area ini mengandung sel sel yang bisa mengatur emosi. Area ini yang akan memproses reaksi emosi terhadap suatu nyeri. Proses ini berlangsung sangat cepat sehingga suatu stimulus nyeri dapat segera menghasilkan emosi.
(7, 9)
Skema proses terjadinya nyeri nosiseptif
Nyeri Somatik Superfisial (kulit)
Nyeri kulit berasal dari struktur-struktur superfisial kulit dan jaringan subkutis. Stimulus yang efktif untuk menimbulkan nyeri dikulit dapat berupa rangsangan mekanis, suhu, kimiawi, atau listrik. Apabila hanya kulit yang terlibat, nyeri yang sering dirasakn sebagai menyengat, tajam, mengiris, atau seperti terbakar; tetapi apabila pembuluh darah ikut berperan menimbulkan nyeri, sifat nyeri menjadi berdenyut. Kulit memiliki banyak saraf sensorik sehingga kerusakan di kulit menimbulkan sensasi yang lokalisasinya lebih akurat dan presisi yang lebih luas dibandingkan di bagian tubuh lain. Daerah nyeri mungkin terbatas di sepanjang suatu dermatom tertentu yang dipersarafi oleh satu akar
12
dorsal (sensorik). Namun, dermatoom-dermatom bukanlah komponen yang tersendiri atau terpisah. Diantara dua dermatom yang berdekatan banyak terdapat tumpang-tindih, dan tumpang ±tindih tersebut meningkat apabila yang terlibat adalah sensasi nyeri dan suhu dibandingkan dengan sensasi sentuh. Karena itu, apabila satu saraf spinal kehilangan sama sekali fungsinya, di kulit tidak ditemukan daerah yang mengalami anestesia total, karena saraf-saraf dari dua dermatom di dekatnya akan menyerap rangsangan sensoris. Di pihak lain, apabila akar dorsal dari satu saraf spinal mengalami iritasi, seperti pada herpes zoster, rangsangan yang mengganggu akan diraskan secara subjektif dari seluruh dermatom, termasuk bagian yang t umpang tindih.
Nyeri Somatik Dalam
Nerisomatik dalam mengacu kepada nyeri yang berasal dari otot, tendon, ligamentum, tulang, sendi, dan arteri. Struktur-struktur ini memiliki lebih sedikit reseptor nyeri sehingga lokalisasi nyeri sering tidak jelas. Nyeri dirasakn lebih difus daripada nyeri kulit dan cenderung menyebar ke daerah disekitarnya. Nyeri dari berbagai struktur dalam berbeda. Nyeri akbat suatu cedera akut pada sendi memiliki lokalisasi yang jelas danbiasnya dirasakan sebagai rasa kronik sendi (artritis), yang dirasakan adalah nyeri pegal-tumpul yang dsertai seperti tertusuk apabila sendi bergerak. Nyeri tulang berasal dai stimulasi reseptor nyeri di periosteum dan lokalisasinya yang kurang jelas dan dirasakan sebagai rasa pegal tumpul atu kram. Nyeri otot rangka akan terasa menghebat saat otot berkontraksi dalam keadaan iskemia.
Nyeri Visera
Nyeri visera mengacu kepada nyeri yang berasla dari organ-organ tubuh. Reseptor nyeri visera lebih jarang dibandingkan dengan reseptor nyeri somatik dan terletak di dinding otot polos organ-organ berongga (lambung, kandung empedu, saluran empedu, ureter, kandung kemih) dan di kapsul organ-organ padat (hati, pankreas, ginjal). Parenkim visera relatif tidak senseitif terhadap sayatan, panas, atau cubitan.
Mekanisme
utama dalam menimbulkan nyeri visera adalah
peregangan atau distensi abnormal dinding atai kapsul organ, iskemia, dan
13
peradangan. Usus adalah sumber nyeri kram atau perih atau nyeri interiritasi oleh zat-zat kimia yang dihasilkan oleh peradangan atau apabila teregang. Visera dipersarafi oleh dua rute : melalui saraf-saraf yang memiliki fungsi autonom ( jalur visera se jati), seperti saraf splanknikus, dan melalui sara spinal yang mempersarai struktur somatik ( jalur parietal ). Pleura parietalis,peritoneum, dan bagian bawah perikardium peka terahadap nyeri tetapi sifersarafi oleh sarafsaraf spinal dan bukan ssistem saraf otonom (SSO). Nyeri yang disalurkan melalui jalur visera sejati kurang jelas lokalisasinya dan sering dirujuk ke suatu daerah permukaan kulit (dermatom) yang jauh dari asalnya. Dipihak lain, nyeri yang disalurkan melalui jalur parietal dirasakan dapat diatas daerah yang nyeri. Semua neuron yang dirangsang oleh masukan aferen visera juga dibuktikan menerima masukan somatik. Persarafan fanda ini mungkin merupakan salah satu alasan bagi kurangnya lokalisasi rangsangan viseral dan adanya fenomena nyeri rujukan. Nyeri viseral disalurkan melalui serat simpatis dan parasimpatis SSO. Aferen visera biasanya adalah serat tipe C, dan sensasi nyeri yang diahasilkan biasanya memiliki kulaitas tumpul atau pegal. Impuls nyeri dari visera torak dan abdomen hampir secara eksklusif dihantarkan melalui sistem saraf simpatis; impuls berjalan disaraf simpatis melalui ganglion simpatis tanpa bersinaps, dan kemudian mencapai saraf spinal melalui ramus komunikans alba dan kemudian ke ganglion akar dorsal. Namun impuls nyeri dari faring, trakea, dan esofagus diperantarai oleh aferen vagus, dan nyeri dari struktur-struktur dalam panggul disalurkan melalui saraf parasimpatis sakrum. Dijalur sentral, impuls nyeri visera, sera sensasi visera lainnya, berjalan dengan rute yang sama dengan impuls dari struktur somatik. Faktor ini penting, dalam pengalihan nyeri somatik yang sering dari visera
Penatalaksanaan Nyeri Nosiseptif
Seperti yang kita ketahui bahwa nyeri klinis umumnya terdiri atas nyeri inflamasi dan nyeri neuropatik. Keduanya menunjukkan simtom yang sama tetapi berbeda
dalam
strategi
pengobatan
yang
disebabkan
perbedaan
dalam
patofisiologi.
14
Nyeri nosiseptif timbul akibat stimulasi reseptor nyeri yang berasal dari organ visceral atau somatik. Stimulus nyeri berkaitan dengan inflamasi jaringan, deformasi mekanik, injuri yang sedang berlangsung atau destruksi. Oleh karena itu penting untuk mencari dan mengobati jaringan yang rusak atau yang mengalami inflamasi sebagai penyebab nyeri. Sebagai contoh, pasien datang dengan
nyeri
nosiseptif
akibat polymyalgia
rheumatic maka
diberikan
kortikosteroid sistemik. Akan tetapi, sementara mencari penyebab nyeri, tidak ada pendapat yang melarang pemberian analgesik untuk mengurangi nyeri.
10,11
Nyeri nosisepsi ini sendiri dapat berupa akut maupun kronik. Beberapa literatur mengemukakan bahwa nyeri nosisepsi yang akut itu berupa kerusakan soft tissue, atau inflamasi. Hal ini lebih mudah ditangani, yaitu dapat dengan menghilangkan penyebab nyeri itu sendiri misalnya seperti yang dikemukakan diatas, yaitu dengan pemberian opioid misalnya morfin, sedangkan yang nonopioid dapat berupa aspirin yang mekanisme kerjanya menginhibisi sintesis prostaglandin dan AINS, parasetamol. Selain itu dapat juga diberikan analgesia regional baik secara sederhana yaitu dengan blok saraf dan anestesi lokal, maupun dengan teknologi tinggi berupa epidural infussion dan anast etik opioid lokal. Untuk nyeri nosisepsi kronik, penanganannya berupa terapi farmaka, blok transmisi saraf, dan alternatif.12
Terapi farmaka terdiri dari
Terapi analgesik seperti NSAID/ Paraceta mol-opiod Terapi analgesik ajuvan, seperti antidepresan, antikonvulsan
Terapi blok transmisi
Irreversibel, yaitu operasi dan destruksi saraf. Reversibel, yaitu injeksi anestesi lokal
Terapi alternatif
Stimulator Akupuntur Hipnosis Psikologi
15
Tujuan keseluruhan dalam pengobatan nyeri adalah mengurangi nyeri sebesar-besarnya dengan kemungkinan efek samping paling kecil. Terdapat dua metode umum untuk terapi nyeri : farmakologik dan non farmakologik. 13
13,14
Pendekatan farmakologik
Terapi secara farmakologis pada nyeri inflamasi yang utama adalah OAINS, COX-2 inhibitors(coxib), analgetika opioid , dan analgetika adjuvan. Nyeri akut dan nyeri kronik memerlukan pendekatan terapi yang berbeda. Pada penderita nyeri akut, diperlukan obat yang dapat menghilangkan nyeri dengan cepat. Pasien lebih dapat mentolerir efek samping obat daripada nyerinya. Pada penderita kronik, pasien kurang dapat mentolerir efek samping obat. Istilah ³pukul dulu, urusan belakang´ tampak cukup tepat untuk menggambarkan prinsip tatalaksana nyeri akut. Prinsip pengobatan nyeri akut dan berat (nilai Visual Analogue Scale = VAS 7-10) yaitu pemberian obat yang efek analgetiknya kuat dan cepat dengan dosis optimal. Pada nyeri akut, dokter harus memilih dosis optimum obat dengan mempertimbangkan kondisi pasien dan keparahan nyeri. Pada nyeri kronik, dokter harus mulai dengan dosis efektif yang serendah mungkin untuk kemudian ditingkatkan sampai nyeri terkendali. Pemilihan obat awal pada nyeri kronik ditentukan oleh keparahan nyeri. Protokol ini dikenal dengan nama WHO analgesic ladder.
Analgesik nonopioid
11,13
Langkah pertama, sering efektif untuk penatalaksanaan nyeri ringan sampai
sedang,
menggunakan
analgesik
nonopioid,
terutama
asetaminofen(Tylenol) dan OAINS. OAINS sangat efektif untuk mengatasi nyeri akut derajat ringan, penyakit meradang yang kronik seperti arthritis, dan nyeri akibat-kanker yang ringan. OAINS menghasilkan analgesia dengan bekerja di tempat cedera melalui inhibisi sintesis prostaglandin dari prekursor asam arakidonat. Dengan demikian, OAINS mengganggu mekanisme nosiseptor aferen primer dengan menghambat sintesis prostaglandin. Efek samping yang sering adalah iritasi GI/ulkus peptikum dan menghambat agregasi platelet. Inhibitor COX-2 spesifik (seperti celecoxib dan lumiracoxib) mengurangi
16
resiko efek samping tersebut. Inhibitor COX-2 bersifat selektif karena hanya menghambat jalur COX-2. Tidak terpengaruhnya jalur COX-1 ini melindungi produk-produk prostaglandin yang ³baik´ yang diperlukan untuk fungsi fisiologis seperti melindungi mukosa lambung dan filtrasi glomerulus di ginjal.
Analgesik Opioid
11,13,15,16
Analgesik opioid merupakan kelompok obat yang memiliki sifat-sifat seperti opium atau morfin.Opioid saat ini adalah analgesik paling kuat yang tersedia dandiguna kan dalam penatalaksanaan nyeri sedang-berat sampai berat. Analgesik opioid efektif dalam penanganan nyeri nosiseptif maupun neuropatik. Obat-obat ini merupakan patokan dalam pengobatan nyeri pascaoperasi dan nyeri terkait kanker.
Morfin
adalah salah satu obat yang paling luas digunakan untuk
mengobati nyeri berat dan masih menjadi standar pembanding untuk menilai obat anlgesik lain. Berbeda dengan OAINS yang bekerja di perifer, morfin menimbulkan efek analgesiknya di sentral.
Mekanisme
pasti kerja opioid telah semakin jelas sejak
penemuan reseptor-reseptor opuioid endogen di sistem limbic, thalamus, PAG, substansia gelatinosa kornu dorsalis, dan usus. Opioid eksogen seperti morfin menimbulkan efek dengan mengikat reseptor opioid endogen (endorphinenkefalin); yaitu morfin memiliki efek agonis (meningkatkan kerja reseptor). Dengan mengikat reseptor opioid di nucleus modulasi nyeri di batang otak, morfin menimbulkan efek pada system-sistem desndens yang menghambat nyeri. Di tingkat kornu dorsalis medulla spinalis, morfin juga dapat menghambat transmisi impuls nosiseptor yang dating dengan mengikat reseptor opioid di substansia gelatinosa. Obat-obat golongan opioid memiliki pola efek sa mping yang sangat mirip, termasuk depresi pernapasan, mual, muntah, sedasi, dan konstipasi. Selain itu, semua opioid berpotensi menimbulkan toleransi, ketergantungan, dan ketagihan (adiksi).
17
Adjuvan atau koanalgesik 10,13
Obat adjuvan atau koanalgetik adalah obat yang semula dikembangkan untuk tujuan selain menghilangkan nyeri tetapi kemudian ditemukan memiliki sifat analgetik atau efek komplementer dalam penatalaksanaan pasien dengan nyeri. Nyeri tulang tipikal tidak dapat sepenuhnya dikontrol dengan pemberian narkotik. Oleh karena itu, obat adjuvan ditambahkan pada regimen narkotik. Terapi adjuvan lini pertama pada nyeri tulang adalah OAINS dan kortikosteroid seperti prednison (30-60 mg/hari per oral), dexametason (decadron; 16 mg/hari per oral) dan methlprednisolone (medrol; 120 mg/hari per oral). Adjuvan lain untuk analgesik adalah agonis reseptor adrenergic-alfa (misalnya, agonis alfa-2, klonidin), yang sering diberikan secara intraspinal bersama dengan opioid atau analgesik local; obat ini juga memiliki efek analgetik apabila diberikan secara sistemis karena memulihkan respon adrenergic simpatis yang berlebihan di reseptor sentral da n perifer.
Pendekatan Nonfarmakologik Metode
non farmakologik untuk mengendalikan nyeri dapat dibagi
menjadi dua kelompok : terapi dan modalitas fisik serta strategi kognitif-perilaku. Terapi fisik untuk meredakan nyeri mencakup beragam bentuk stimulasi kulit (pijat, stimulasi saraf dengan listrik transkutis, akupungtur,, aplikasi panas atau dingin, olahraga). Sedangkan, startegi kognitif-prilaku bermanfaat dalam mengubah persepsi pasien terhadap nyeri, dan member pasien perasaan yang lebih mampu untuk mengendalikan nyeri. Strategi ini mencakup relaksasi, penciptaan khayalan (imagery), hypnosis, dan biofeedbac k.13
2.7.NYERI NEUROPATIK
Definisi Nyeri Neurpatik
Nyeri neuropatik yang didefinisikan sebagai nyeri akibat lesi jaringan saraf baik perifer maupun sentral bisa diakibatkan oleh beberapa penyebab seperti amputasi, toksis (akibat khemoterapi) metabolik (diabetik neuropati) atau juga
18
infeksi misalnya herpes zoster pada neuralgia pasca herpes dan lain-lain. Nyeri pada neuropatik bisa muncul spontan (tanpa stimulus) maupun dengan stimulus atau juga kombinasi.
Meskipun
jarang, nyeri juga dihasilkan oleh kerusakan SSP,
terutama jaras spinotalamik atau talamus. Nyeri neuropatik secara sering sedemikian hebat dan tidak teratasi dengan pengobatan nyeri standar. Nyeri neuropatik secara tipikal mempunyai kualitas seperti terbakar, kesemutan atau tersengat listrik dan dapat ditimbulkan dengan sentuhan yang sangat ringan. Gambaran ini jarang ditemukan pada tipe nyeri yang lain. Pada pemeriksaan, deficit sensorik secara khas dijumpai pada daera h yang nyeri. Berbagai mekanisme mendukung terjadinya nyeri neuropatik. Aferen primer yang rusak, termasuk nosiseptor menjadi sangat sensitive terhadap stimulasi mekanis dan menimbulkan hantaran energy dari neuron ke neuron lainnya (impuls) tanpa adanya rangsangan. Aferen primer yang rusak juga dapat menyebabkan sensitivitas terhadap norepineprin yang dilepaskan oleh neuron pascaganglion simpatik. Hal yang menarik adalah neuron transmisi-nyeri spinal yang tidak dapat menerima masukan normalnya dapat menjadi aktif secara spontan.
Maka
baik perubahan sistem saraf pusat maupun perifer dapat
menyebabkan terjadinya nyeri neuropatik. Nyeri neuropatik juga disebut sebagai nyeri kronik berbeda dengan nyeri akut atau nosiseptif dalam hal etiologi, patofisiologi, diagnosis dan terapi. Nyeri akut adalah nyeri yang sifatnya self-limiting dan dianggap sebagai proteksi biologik melalui signal nyeri pada proses kerusakan jaringan. Nyeri pada tipe akut merupakan simptom akibat kerusakan jaringan itu sendiri dan berlokasi disekitar kerusakan jaringan dan mempunyai efek psikologis sangat minimal dibanding dengan nyeri kronik. Nyeri ini dipicu oleh keberadaan neurotransmiter sebagai reaksi stimulasi terhadap reseptor serabut alfa-delta dan C polimodal yang berlokasi di kulit, tulang, jaringan ikat otot dan organ visera. Stimulus ini bisa berupa mekhanik, kimia dan termis, demikian juga infeksi dan tumor.
Epidemiologi Nyeri Neuropatik Menurut
Bennet (1978) dan Tollison (1998), di Amerika Serikat terdapat
kira-kira 75-8 juta penderita nyeri kronik, dengan 25 juta diantaranya penderita
19
artrirtis. Diperkirakan ada 600.000 penderita artritis baru setiap tahunnya. Jumlah penderita nyeri neuropatik lebih kurang 1% dari total penduduk di luar nyeri punggung bawah. Untuk nyeri punggung bawah sendiri diperkirakan 15% dari jumlah penduduk (Fordyce, 1995). Insidensi maupun prevalensi nyeri akut belum diketahui, tetapi diperkirakan operasi dan trauma penyebab utama nyeri akut (Loeser and Melzack, 1999;
McQuay
and Moore, 1999)
Etiologi Nyeri Neuropatik
Penyebab nyeri neuropatik yang paling sering : Nyeri neuropatik perifer y
Poliradikuloneuropati demielinasi inflamasi akut dan kronik
y
Polineuropati alkoholik
y
Polineuropati oleh karena kemoterapi
y
Sindrom nyeri regional kompleks (complex regional pain syndrome)
y
Neuropati jebakan ( misalnya, carpal tunnel syndrome)
y
Neuropati sensoris oleh karena HIV
y
Neuralgia iatrogenik (misalnya, nyeri post mastektomi atau nyeri post thorakotomi)
y
y
Neuropati sensoris idiopatik Kompresi atau infiltrasi saraf oleh tumor
y
Neuropati oleh karena defisiensi nutrisional
y
Neuropati diabetik
y
Phnatom limb pain
y
Neuralgia post herpetik
y
Pleksopati post radiasi
y
Radikulopati (servikal, thorakal, atau lumbosakral)
y
Neuropati oleh karena paparan toksik
y
Neuralgia trigeminus (Tic Doulorex)
y
Neuralgia post traumatik
Nyeri neuropatik sentral y
Mielopati
kompresif dengan stenosis spinalis 20
y
Mielopati
HIV
y
Multiple sclerosis
y
Penyakit Parkinson
y
Mielopati
post iskemik
y
Mielopati
post radiasi
y
Nyeri post stroke
y
Nyeri post trauma korda spinalis
y
Siringomielia
Patofisiologi Nyeri Neuropatik Mekanisme
yang mendasari munculnya nyeri neuropati adalah: sensitisasi
perifer, ectopic discharge, sprouting, sensitisasi sentral, dan disinhibisi. Perubahan ekspresi dan distribusi saluran ion natrium dan kalium terjadi setelah cedera saraf, dan meningkatkan eksitabilitas membran, sehingga muncul aktivitas ektopik yang bertanggung jawab terhadap munculnya nyeri neuropatik spontan (Woolf, 2004). Kerusakan jaringan dapat berupa rangkaian peristiwa yang terjadi di nosiseptor disebut nyeri inflamasi akut atau nyeri nosiseptif, atau terjadi di jaringan saraf, baik serabut saraf pusat maupun perifer disebut nyeri neuropatik. Trauma atau lesi di jaringan akan direspon oleh nosiseptor dengan mengeluarkan berbagai mediator infla masi, seperti bradikinin, prostaglandin, histamin, dan sebagainya.
Mediator
inflamasi dapat mengaktivasi nosiseptor yang menyebabkan
munculnya nyeri spontan, atau membuat nosiseptor lebih sensitif (sensitasi) secara langsung maupun tidak langsung. Sensitasi nosiseptor menyebabkan munculnya hiperalgesia. Trauma atau lesi serabut saraf di perifer atau sentral dapat memacu terjadinya remodelling atau hipereksibilitas membran sel. Di bagian proksimal lesi yang masih berhubungan dengan badan sel dalam beberapa jam atau hari, tumbuh tunas-tunas baru (sprouting). Tunas-tunas baru ini, ada yang tumbuh dan mencapai organ target, sedangkan sebagian lainnya tidak mencapai organ target dan membentuk semacam pentolan yang disebut neuroma. Pada neuroma terjadi akumulasi berbagai ion-channel, terutama Na+ channel. Akumulasi Na+ channel menyebabkan munculnya ectopic pacemaker. Di samping ion channel juga terlihat adanya molekul-molekul transducer dan reseptor baru yang semuanya dapat
21
menyebabkan
terjadinya
ectopic
discharge,
abnormal
mechanosensitivity,
thermosensitivity, dan chemosensitivity (Devor and Seltzer, 1990). Ectopic discharge dan sensitisasi dari berbagai reseptor (mechanical, termal, chemical) dapat menyebabkan timbulnya nyeri spontan dan evoked pain. Lesi jaringan mungkin berlangsung singkat, dan bila lesi sembuh nyeri akan hilang. Akan tetapi, lesi yang berlanjut menyebabkan neuron-neuron di kornu dorsalis dibanjiri potensial aksi yang mungkin mengakibatkan terjadinya sensisitasi neuron-neuron tersebut. Sensitisasi neuron di kornu dorsalis menjadi penyebab timbulnya alodinia dan hiperalgesia sekunder. Dari keterangan di atas, secara sederhana dapat disimpulkan bahwa nyeri timbul karena aktivasi dan sensitisasi sistem nosiseptif baik perifer maupun sentral. Baik nyeri neuropatik perifer maupun sentral berawal dari sensitisasi neuron sebagai stimulus noksious melalui jaras nyeri sampai ke sentral. Bagian dari jaras ini dimulai dari kornu dorsalis, traktus spinotalamikus (struktur somatik) dan kolum dorsalis (untuk viseral), sampai talamus sensomotorik, limbik, korteks prefrontal dan korteks insula. Karakteristik sensitisasi neuron bergantung pada: meningkatnya aktivitas neuron; rendahnya ambang batas stimulus terhadap aktivitas neuron itu sendiri misalnya terhadap stimulus yang nonnoksious, dan luasnya penyebaran areal yang mengandung reseptor yang mengakibatkan peningkatan letupan-letupan dari berbagai neuron. Sensitisasi ini pada umumnya berasosiasi dengan terjadinya denervasi jaringan saraf akibat lesi dita mbah dengan stimulasi yang terus menerus dan inpuls aferen baik yang berasal dari perifer maupun sentral dan juga bergantung pada aktivasi kanal ion di akson yang berkaitan
dengan
berkembangnya
reseptor
penelitian
A MPA/kainat secara
dan
molekuler
NMDA. maka
Sejalan
ditemukan
dengan beberapa
kebersamaan antara nyeri neuropatik dengan epilepsi dalam hal patologinya tentang keterlibatan reseptor misalnya N MDA dan AMPA dan plastisitas disinapsis, immediate early gene changes. Yang berbeda hanyalah dalam hal burst discharge secara paroksismal pada epilepsi sementara pada neuropatik yang terjadi adalah ectopic discharge. Nyeri neuropatik muncul akibat proses patologi yang berlangsung berupa perubahan sensitisasi baik perifer maupun sentral yang berdampak pada fungsi sistem inhibitorik serta gangguan interaksi antara somatik
22
dan simpatetik. Keadaan ini memberikan gambaran umum berupa alodinia dan hiperalgesia. Permasalahan pada nyeri neuropatik adalah menyangkut terapi yang berkaitan dengan kerusakan neuron dan sifatnya ireversibel. Pada umumnya hal ini terjadi akibat proses apoptosis yang dipicu baik melalui modulasi intrinsik kalsium di neuron sendiri maupun akibat proses inflamasi sebagai faktor ekstrinsik. Kejadian inilah yang mendasari konsep nyeri kronik yang ireversibel pada sistem saraf. Atas dasar ini jugalah maka nyeri neuropatik harus secepat mungkin di terapi untuk menghindari proses mengarah ke plastisitas sebagai nyeri kronik. Neuron sensorik nosiseptif berakhir pada bagian lamina paling superfisial dari medula spinalis. Sebaliknya, serabut sensorik dengan ambang rendah (raba, tekanan, vibrasi, dan gerakan sendi) berakhir pada lapisan yang dalam. Penelitian eksperimental pada tikus menunjukkan adanya perubahan fisik sirkuit ini setelah cedera pada saraf. Pa da beberapa minggu setelah cedera, terjadi pertumbuhan baru atau sprouting affreen dengan non noksious ke daerah-daerah akhiran nosiseptor. Sampai saat ini belum diketahui benar apakah hal yang serupa juga terjadi pada pasien dengan nyeri neuropati. Hal ini menjelaskan mengapa banyak kasus nyeri intraktabel terhadap terapi. Rasa nyeri akibat sentuhan ringan pada pasien nyeri neuropati disebabkan oleh karena respon sentral abnormal serabut sensorik non noksious. Reaksi sentral yang abnormal ini dapat disebabkan oleh faktor sensitisasi sentral, reorganisasi struktural, dan hilangnya inhibisi (Woolf, 2004). Nyeri neuropati merupakan nyeri yang dikarenakan adanya lesi pada sistem saraf perifer maupun pusat. Nyeri ini bersifat kronik dan mengakibatkan penurunan kualitas hidup penderita. Nyeri neuropati melibatkan gangguan neuronal fungsional dimana saraf perifer atau sentral terlibat dan menimbulkan nyeri khas bersifat epikritik (tajam dan menyetrum) yg ditimbulkan oleh serabut A yg rusak, atau protopatik seperti disestesia, rasa terbakar, parestesia dengan lokalisasi tak jelas yang disebabkan oleh serabut C yang abnormal. Gejala-gejala ini biasa disertai dengan defisit neurologik atau gangguan fungsi lokal. Umumnya, lesi saraf tepi maupun sentral berakibat hilangnya fungsi seluruh atau sebagian sistim saraf tersebut, ini sering disebut sebagai gejala negatif. Akan tetapi, pada bagian kecil penderita dengan lesi saraf tepi, seperti pada penderita stroke, akan menunjukkan gejala positif yang berupa disestesia,
23
parestesia atau nyeri. Nyeri yang terjadi akibat lesi sistem saraf ini dinamakan nyeri neuropatik. Nyeri neuropatik adalah nyeri yang didahuluhi atau disebabkan oleh lesi atau disfungsi primer pada sistem saraf. Iskemia, keracunan zat tonik, infeksi dan gangguan metabolik dapat menyebabkan lesi serabut saraf aferen. Lesi tersebut dapat mengubah fungsi neuron sensorik yang dalam keadaan normal dipertahankan secara aktif oleh keseimbangan antara neuron dengan lingkungannya. Gangguan yang terjadi dapat berupa gangguan keseimbangan neuron sensorik, melalui perubahan molekular, sehingga aktivitas serabut saraf aferen menjadi abnormal (mekanisme perifer) yang selanjutnya menyebabkan gangguan nosiseptik sentral. Pada nyeri inflamasi maupun nyeri neuropatik sudah jelas keterlibatan reseptor NMDA dalam proses sensitisasi sentral yang menimbulkan gejala hiperalgesia terutama sekunder dan alodinia. Akan tetapi di klinik ada perbedaaan dalam terapi untuk kedua jenis nyeri inflamasi sedangkan untuk nyeri neuropatik obat tersebut kurang efektif. Banyak teori telah dikembangkan untuk menerangkan perbedaan tersebut. Prinsip terjadinya nyeri adalah gangguan keseimbangan antara eksitasi dan inhibisi akibat kerusakan jaringan (inflamasi) atau sistem saraf (neuropatik). Eksitasi meningkat pada kedua jenis nyeri tersebut pada neyeri neuropatik dari beberapa keterangan sebelumnya telah diketahui bahwa inhibisi menurun yang sering disebut dengan istilah disinhibisi. Disinhibisi dapat disebabkan oleh penurunan reseptor opioid di neuron kornu dorsalis terutama di presinap serabut C.
Penatalaksanaan Nyeri Neuropatik
Obat-obatan yang banyak digunakan sebagai terapi nyeri neuropati adalah anti depresan trisiklik dan anti konvulsan karbamasepin. y
Anti depresan Dari berbagai jenis anti depresan, yang paling sering digunakan untuk
terapi nyeri neuropati adalah golongan trisiklik, seperti amitriptilin, imipramin, maprotilin, desipramin.
Mekanisme
kerja anti depresan trisiklik (TCA) terutama
mampu memodulasi transmisi dari serotonin dan norepinefrin (NE). Anti depresan
24
trisiklik menghambat pengambilan kembali serotonin (5-HT) dan noradrenalin oleh reseptor presineptik. Disamping itu, anti depresan trisiklik juga menurunkan jumlah reseptor 5-HT (autoreseptor), sehingga secara keseluruhan mampu meningkatkan konsentrasi 5-HT dicelah sinaptik. Hambatan reuptake norepinefrin juga meningkatkan konsentrasi norepinefrin dicelah sinaptik. Peningkatan konsentrasi norepinefrin dicelah sinaptik menyebabkan penurunan jumlah reseptor adrenalin beta yang akan mengurangi aktivitas adenilsiklasi. Penurunan aktivitas adenilsiklasi ini akan mengurangi siklik adenosum monofosfat dan mengurangi pembukaan Si-Na. Penurunan Si-Na yang membuka berarti depolarisasi menurun dan nyeri berkurang. y
Anti konvulsan Anti konvulsan merupakan gabungan berbagai macam obat yang
dimasukkan kedalam satu golongan yang mempunyai kemampuan untuk menekan kepekaan abnormal dari neuron-neuron di sistem saraf sentral. Seperti diketahui nyeri neuropati timbul karena adanya aktifitas abnormal dari sistem saraf. Nyeri neuropati dipicu oleh hipereksitabilitas sistem saraf sentral yang dapat menyebabkan nyeri spontan dan paroksismal. Reseptor N MDA dalam influks Ca2+ sangat berperan dalam proses kejadian wind-up pada nyeri neuropati. Prinsip pengobatan nyeri neuropati adalah penghentian proses hiperaktivitas terutama dengan blok Si-Na atau pencegahan sensitisasi sentral dan peningkatan inhibisi. y
Karbamasepin dan Okskarbasepin Mekanisme
kerja utama adalah memblok voltage-sensitive sodium
channels (VSSC). Efek ini mampu mengurangi cetusan dengan frekuensi tinggi dari neuron. Okskarbasepin merupakan anti konvulsan yang struktur kimianya mirip karbamasepin maupun amitriptilin. Dari berbagai uji coba klinik, pengobatan
dengan
okskarbasepin
pada
berbagai
jenis
nyeri
neuropati
menunjukkan hasil yang memuaskan, sama, atau sedikit diatas karbamazepin, hanya saja okskarbasepin mempunyai efek sa mping yang minimal. y
Lamotrigin Merupakan
anti konvulsan baru untuk stabilisasi membran melalui
VSCC, merubah atau mengurangi pelepasan glutamat maupun aspartat dari
25
neuron presinaptik, meningkatkan konsentrasi GABA di otak. Khusus untuk nyeri neuropati penderita HIV, digunakan lamotrigin sampai dosis 300 mg perhari. Hasilnya, efektivitas lamotrigin lebih ba ik dari plasebo, tetapi 11 dari 20 penderita dilakukan penghentian obat karena efek samping. Efek samping utama lamotrigin adalah skin rash, terutama bila dosis ditingkatkan dengan cepat.
y
Gabapentin Akhir-akhir ini, penggunaan gabapentin untuk nyeri neuropati cukup
populer mengingat efek yang cukup baik dengan efek samping minimal. Khusus mengenai gabapentin, telah banyak publikasi mengenai obat ini diantaranya untuk nyeri neuropati diabetika, nyeri pasca herpes, nyeri neuropati sehubungan dengan infeksi HIV, nyeri neuropati sehubungan dengan kanker dan nyeri neuropati deafferentasi. Gabapentin cukup efektif dalam mengurangi intensitas nyeri pada nyeri neuropati yang disebabkan oleh neuropati diabetik, neuralgia pasca herpes, sklerosis multipel dan lainnya. Dalochio, Nicholson mengatakan bahwa gabapentin dapat digunakan sebagai terapi berbagai jenis neuropati sesuai denngan kemampuan gabapentin yang dapat masuk kedalam sel untuk berinteraksi dengan reseptor 2 yang merupakan subunit dari Ca2+-channel.
2.8.FAKTOR YANG MEMPENGARUHI RESPON NYERI
1) Usia Anak belum bisa mengungkapkan nyeri, sehingga perawat harus mengkaji respon nyeri pada anak. Pada orang dewasa kadang melaporkan nyeri jika sudah patologis dan mengalami kerusakan fungsi. Pada lansia cenderung memendam nyeri yang dialami, karena mereka mengangnggap nyeri adalah hal alamiah yang harus dijalani dan mereka takut kalau mengalami penyakit berat atau meninggal jika nyeri diperiksakan. 2) Jenis kelamin Gill (1990) mengungkapkan laki-laki dan wnita tidak berbeda secara signifikan dalam merespon nyeri, justru lebih dipengaruhi faktor budaya (ex: tidak pantas kalo laki-laki mengeluh nyeri, wanita boleh mengeluh nyeri). 3) Kultur
26
Orang belajar dari budayanya, bagaimana seharusnya mereka berespon terhadap nyeri misalnya seperti suatu daerah menganut kepercayaan bahwa nyeri adalah akibat yang harus diterima karena mereka melakukan kesalahan, jadi mereka tidak mengeluh jika ada nyeri.
4) Makna nyeri Berhubungan dengan bagaimana pengalaman seseorang terhadap nyeri dan dan bagaimana mengatasinya. 5) Perhatian Tingkat
seorang
klien
memfokuskan
mempengaruhi persepsi nyeri.
Menurut
perhatiannya
pada
nyeri
dapat
Gill (1990), perhatian yang meningkat
dihubungkan dengan nyeri yang meningkat, sedangkan upaya distraksi dihubungkan dengan respon nyeri yang menurun. Tehnik relaksasi, guided imagery merupakan tehnik untuk mengatasi nyeri. 6) Ansietas Cemas meningkatkan persepsi terhadap nyeri dan nyeri bisa menyebabkan seseorang cemas. 7) Pengalaman masa lalu Seseorang yang pernah berhasil mengatasi nyeri dimasa lampau, dan saat ini nyeri yang sama timbul, maka ia akan lebih mudah mengatasi nyerinya.
Mudah
tidaknya seseorang mengatasi nyeri tergantung pengalaman di masa lalu dalam mengatasi nyeri. 8) Pola koping Pola koping adaptif akan mempermudah seseorang mengatasi nyeri dan sebaliknya pola koping yang maladaptive akan menyulitkan seseorang mengatasi nyeri. 9) Support keluarga dan sosial Individu yang mengalami nyeri seringkali bergantung kepada anggota keluarga atau teman dekat untuk memperoleh dukungan dan perlindungan
27
2.9.INTENSITAS NYERI
Intensitas nyeri adalah gambaran tentang seberapa parah nyeri dirasakan oleh individu, pengukuran intensitas nyeri sangat subjektif dan individual dan kemungkinan nyeri dalam intensitas yang sama dirasakan sangat berbeda oleh dua orang yang berbeda oleh dua orang yang berbeda. Pengukuran nyeri dengan pendekatan objektif yang paling mungkin adalah menggunakan respon fisiologik tubuh terhadap nyeri itu sendiri. Namun, pengukuran dengan tehnik ini juga tidak dapat memberikan gambaran pasti tentang nyeri itu sendiri (Tamsuri, 2007).
Menurut
smeltzer, S.C bare B.G (2002) adalah sebagai berikut :
1) skala intensitas nyeri deskritif
2) Skala identitas nyeri numerik
3) Skala analog visual
28
4) Skala nyeri menurut bourbanis
Keterangan :
0 :Tidak nyeri 1-3 : Nyeri ringan : secara obyektif klien dapat berkomunikasi dengan baik. 4-6 : Nyeri sedang : Secara obyektif klien mendesis, menyeringai, dapat menunjukkan lokasi nyeri, dapat mendeskripsikannya, dapat mengikuti perintah dengan baik. 7-9 : Nyeri berat : secara obyektif klien terkadang tidak dapat mengikuti perintah tapi masih respon terhadap tindakan, dapat menunjukkan lokasi nyeri, tidak dapat mendeskripsikannya, tidak dapat diatasi dengan alih posisi nafas panjang dan distraksi 10 : Nyeri sangat berat : Pasien sudah tidak mampu lagi berkomunikasi, memukul.
Karakteristik paling subyektif pada nyeri adlah tingkat keparahan atau intensitas nyeri tersebut. Klien seringkali diminta untuk mendeskripsikan nyeri sebagai yang ringan, sedang atau parah. Namun, makna istilah-istilah ini berbeda bagi perawat dan klien. Dari waktu ke waktu informasi jenis ini juga sulit untuk dipastikan. Skala deskritif merupakan alat pengukuran tingkat keparahan nyeri yang lebih obyektif. Skala pendeskripsi verbal ( V erbal Descriptor Scale, VDS) merupakan sebuah garis yang terdiri dari tiga sampai lima kata pendeskripsi yang tersusun dengan jarak yang sama di sepanjang garis. Pendeskripsi ini diranking dari ³tidak terasa nyeri´ sampai ³nyeri yang tidak tertahankan´. Perawat menunjukkan klien skala tersebut dan meminta klien untuk memilih intensitas nyeri trbaru yang ia rasakan. Perawat juga menanyakan seberapa jauh nyeri terasa paling menyakitkan dan seberapa jauh nyeri terasa paling tidak menyakitkan. Alat VDS ini memungkinkan klien memilih sebuah kategori untuk mendeskripsikan
29
nyeri. Skala penilaian numerik ( N umerical rating scales, NRS) lebih digunakan sebagai pengganti alat pendeskripsi kata. Dalam hal ini, klien menilai nyeri dengan menggunakan skala 0-10. Skala paling efektif digunakan saat mengkaji intensitas nyeri sebelum dan setelah intervensi terapeutik. Apabila digunakan skala untuk menilai nyeri, maka direkomendasikan patokan 10 cm. Skala analog visual (V isual analog scale, VAS) tidak melebel subdivisi. VAS adalah suatu garis lurus, yang mewakili intensitas nyeri yang terus menerus dan pendeskripsi verbal pada setiap ujungnya. Skala ini memberi klien kebebasan penuh
untuk
pengukuran
mengidentifikasi keparahan
nyeri
keparahan yang
lebih
nyeri.
VAS
sensitif
dapat
karena
merupakan klien
dapat
mengidentifikasi setiap titik pada rangkaian dari pada dipaksa memilih satu kata atau satu angka. Skala nyeri harus dirancang sehingga skala tersebut mudah digunakan dan tidak mengkomsumsi banyak waktu saat klien melengkapinya. Apabila klien dapat membaca dan memahami skala, maka deskripsi nyeri akan lebih akurat. Skala deskritif bermanfaat bukan saja dalam upaya mengkaji tingkat keparahan nyeri, tapi juga, mengevaluasi perubahan kondisi klien. Perawat dapat menggunakan setelah terapi atau saat gejala menjadi lebih memburuk atau menilai apakah nyeri mengalami penurunan atau peningkatan.
30
BAB III PENUTUP
Nyeri didefinisikan sebagai suatu keadaan yang mempengaruhi seseorang dan ekstensinya diketahui bila seseorang pernah mengalaminya.
Menurut
InternationalAssociation for Study of Pain (IASP), nyeri adalah sensori subyektif dan emosional yang tidak menyenangkan yang didapat terkait dengan kerusakan jaringan aktual maupun potensial, atau menggambarkan kondisi terjadinya kerusakan. Nyeri nosiseptif merupakan suatu nyeri yang ditimbulkan oleh suatu rangsangan pada nosiseptor. Nosiseptor ini merupakan suatu ujung saraf bebas yang berakhir pada kulit untuk mendeteksi suatu nyeri kulit. Nosiseptor juga terdapat pada tendon dan sendi, untuk mendeteksi nyeri somatik dan pada organ tubuh untuk mendeteksi nyeri visceral. Proses nyeri nosiseptif melewati beberapa tahap hingga menimbulkan persepsi nyeri pada penderita. Proses ini dibagai dala 4 ta hapan : y
Transduksi : Stimulus noksius yang kemudian ditransformasikan menjadi impuls berupa suatu aktifitas elektrik pada ujung bebas saraf sensorik.
y
Transmisi : Propagasi atau perambatan dari impuls tersebut pada sistem saraf sensorik
y
Modulasi
: Proses interaksi antara sistem analgesik endogen dengan
input nyeri yang masuk di kornu posterior medula spinalis y
Persepsi: Adanya interaksi antara transduksi, transmisi, dan modulasi yang kemudian membentuk suatu pengalaman emosional yang subjektif.
Nyeri neuropatik yang didefinisikan sebagai nyeri akibat lesi jaringan saraf baik perifer maupun sentral bisa diakibatkan oleh beberapa penyebab seperti amputasi, toksis (akibat khemoterapi) metabolik (diabetik neuropati) atau juga infeksi misalnya herpes zoster pada neuralgia pasca herpes dan lain-lain. Nyeri pada neuropatik bisa muncul spontan (tanpa stimulus) maupun dengan stimulus atau juga kombinasi.
Meskipun
jarang, nyeri juga dihasilkan oleh kerusakan SSP,
31
terutama jaras spinotalamik atau talamus. Nyeri neuropatik secara sering sedemikian hebat dan tidak teratasi dengan pengobatan nyeri standar. Mekanisme
yang mendasari munculnya nyeri neuropati adalah: sensitisasi
perifer, ectopic discharge, sprouting, sensitisasi sentral, dan disinhibisi. Perubahan ekspresi dan distribusi saluran ion natrium dan kalium terjadi setelah cedera saraf, dan meningkatkan eksitabilitas membran, sehingga muncul aktivitas ektopik yang bertanggung jawab terhadap munculnya nyeri neuropatik spontan
32
DAFTAR PUSTAKA
1. IASP Pain Terminolog [on line].2008 [cited 2008 February 8]: available
from: http://www.iasppain.org/AM/Template.cfm?Section=General_Resource_L inks&Template=/CM/HTMLDisplay.cfm&ContentID=3058, 2. Penar,L. Nociception.[on line] .2000 [cited 2008 February 8] : available
from: http://serendip.brynmawr.edu/exchange/node/1712, 3. Chapman CR . Psychological Aspects of Pain : A Consciousness Studies
Perspective ± in the THE NEUROLOGICAL BASIS OF PAIN. Editor. Pappagallo M. McGraw Hill. 2004 p156-9 4. Wikipedia. Pain and N ociception. [on line] 2008 February 6 [cited 2008 february
8]
available
from
:http://en.wikipedia.org/wiki/Pain_and_nociception 5. Kuntoro, HP. Patofisiologi N yeri Dari Aspek Fisioterapi Dari Aspek N yeri. [on
line]
.2007
[cited
2008
february
6]
:
Available
from
:
http://www.fisiosby.com/index.php?option=com_content&task=view&id= 8&Itemid=7 6. Richeimer,S.U nderstanding nociceptive and neuropathic pain . [on line] 2006
[cited
2008
february
8]
:
Available
from
:www.helpforpain.com/arch2000dec.htm 7. Anonymous. Pain Outline. [online] 2007 [ cited 2008 February 18] : Available from : http://library.med.utah.edu/pain_center/education/outlines/toc.html 8. Surota, Aspek N eurobiologi N yeri dan Inflamasi dalam Kumpulan Makalah
Pertemuan Ilmiah Nasional II : Nyeri Kepala, Nyeri, dan Vertigo.
Editor. Lex
Mono.
Erlangga Universities Press. Surabaya. 2006. p51- 66
9. Purwandari,R. N yeri [online ].2006 December [cited 2008 february 9] : Available from : http://www.elearning.unej.ac.id/courses/IKU13236c49/document/NYERI handout.doc?cidReq=IKU13239dc2
33