OSTEOARTHRITIS DAN OSTEOPOROSIS Osteoarthritis (OA)adalah gangguan sendi yang kronis disertai kerusakan tulang rawan sendi, diikuti osteofit dan fibrosis pada kapsul sendi. . Etiologi dari osteoarthitis terdiri dari primer (idiopatik/ tidak diketahui penyebabnya) dan sekunder seperti olahraga, trauma, atau obesitas dimana peningkatan berat badan berhubungan dengan kejadian OA (peningkatan 1kg berat badan dapat meningkatkan 10% resiko terkena OA), Terdapat pula etiologi genetik yaitu kondisi khusus pada kondisi kartilago seseorang. Patofisiologi dari OA yaitu terjadi karena lapisan permukaan kartilago sobek dan aus, kartilago tidak mendapatkan nutrisi dan cairan yang dibutuhkan dalam jumlah yang cukup sehingga kartilago mengering dan retak. Kartilago yang kering dan retak menyebabkan terjadinya kontak antara tulang dengan tulang sehingga timbul nyeri akibat aktivasi dari nosiseptif ujung-ujung saraf didalam sendi oleh iritan mekanis/kimiawi. Faktor resiko dari OA diantaranya adalah obesitas, pengulangan kerja yang melibabkan sendi cecara terus menerus, trauma pada sendi, bertambahnya usia, dan faktor genetik. Gejala yang sering muncul adalah nyeri yang dalam, nyeri saat bergerak biasanya kurang dari 30 menit, keterbatasan gerak sendi karena kekakuan, dapat berefek pada k eterbatasan aktifitas sehari hari. Tujuan dari terapi OA adalah untuk mengedukasi pasien, mengurangi kesakitan atau nyeri, untuk menjaga atau meningkatkan mobilitas sendi, membatasi kerusakan fungsi dan meningkatkan kualitas hidup pasien. Terapi yang diberikan terdiri dari terapi farmakologi dan terapi non farmakologi (1). Terapi farmakologi, parasetamol merupakan first line terapi efek yang dihasilkan sedikit lebih kecil dibandingkan dengan NSAID. NSAID memiliki resiko tinggi terhadap GI dibanding dengan parasetamol. Parasetamol berfungsi sebagai analgetik dan atipiretik dengan mekanisme menaikan ambang rasa nyeri pada dosis 650mg (2). Terdapat pula golongan NSAID dimana mekanisme kerjanya adalah dengan memblokade sintesis prostalgladin dengan cara menghambat pada enzim cyclooxygenase(COX) baik COX 1 maupun COX 2 dimana prostalgladin merupakan mediator dari nyeri, demam, fungsi ginjal, perbaikan jaringan. Contoh NSAID diantaranya adalah golongan salisilat, indomethacin, golongan asam asetat: diclofenak, ketorolac, golongan asam propionat: ibuprofen, golongan fenamat :asam mefenamat, ketoprofen, naproxen golongan oxicam:piroxicam, meloxicam. Kemudian ada juga golongan NSAID selektif COX 2 inhibitor yang bekerja dengan menghambat secara selektif pada COX 2 yang memproduksi prostalgladin. Contoh obat NSAID selektif COX 2 adalah celecoxib dan valdecoxib. Selain itu terdapat suplemen yang dapat merangsang sintesis kartilago yaitu glucosamin dan chondroitin. Ada pula sediaan capsaicin dalam bentuk topikal dengan mekanisme kerja memblok rasa nyeri agar tidak sampai ke syaraf nosiseptif menggunakan substance P. Injeksi asam hialuronat dapat digunakan sebagai pelumas sendi. Selain itu juga bisa digunakan sebagai suplemen kortikosteroid, Kemudian apabila rasa nyeri sudah sangat parah terdapat analgetik narkotik. Terapi non farmakologi sangat membantu dalam penatalaksanaan osteoarthritis, terapi non farmakologi yang biasanya di berikan adalah diet, terapi fisik( akupuntur, yoga, penguatan), aplikasi panas dingin, pembedahan (1). Osteoporosis adalah suatu kondisi yang ditandai dengan penurunan kepadatan tulang, penurunan kekuatan tulang, dan mengakibatkan tulang rapuh Gangguan ini melemahkan tulang dan mengakibatkan sering terjadinya patah tulang. Penyebab terjadinya osteoporosis adalah multifaktorial, dengan banyak faktor risiko. Namun dari berbagai faktor risiko tersebut, yang paling banyak dan umum dijumpai adalah (1): 1. Osteoporosis postmenopause Dalam keadaan normal estrogen akan mencapai sel osteoblas dan beraktivitas melalui reseptor yang terdapat dalam sitosol, mengakibatkan menurunnya sekresi sitokin seperti IL-1, IL- 6, dan TNF α yang berfungsi dalam penyerapan tulang. Di lain pihak, estrogen akan meningkatkan sekresi TGF β yang merupakan mediator untuk menarik sel osteoblas ke daerah tulang yang mengalami penyerapan oleh osteoklas. Sedangkan efek estrogen normal pada osteoklas adalah menekan diferensiasi dan aktivasi sel osteoklas dewasa. Defisiensi estrogen setelah menopause meningkatkan proliferasi, diferensiasi, dan aktivasi osteoklas baru dan memperpanjang memperpanjang masa hidup osteoklas lama, sehingga resorpsi tulang melebihi pembentukannya. 2. Osteoporosis terkait usia Titik puncak massa tulang terjadi pada usia sekitar 30 tahun, dan setelah itu mekanisme resorpsi tulang menjadi lebih jauh lebih cepat dibanding pembentukan tulang. Progresifitas resorpsi tulang merupakan kondisi normal dalam proses penuaan. Peristiwa ini diawali pada usia 30 hingga 50 tahun. Perkembangan resorpsi tulang lebih cepat pada tulang trabekular dibanding tulang kortikal, dan pada wanita menjelang menopause. Progresifitas resorpsi pada usia tua juga diperburuk dengan penurunan fungsi organ tubuh, termasuk penurunan absorbsi kalsium di usus, meningkatnya hormon paratiroid dalam serum, dan menurunnya laju aktivasi vitamin D yang lazim terjadi seiring proses penuaan. 3. Osteoporosis sekunder Merupakan osteoporosis yang disebabkan oleh penyakit atau penggunaan obat tertentu. Penyebab paling umum osteoporosis sekunder adalah defisiensi vitamin D dan terapi glukokortikoid. Terdapat tanda dan gejala yang mengawali osteoporosis. Tanda yang sering terjjadi adalah pemendekan tinggi badan (> 1,5 inchi), kifosis, atau lordosis; fraktur tulang punggung, panggul, pergelangan tangan, dan kepadatan tulang rendah pada pemeriksaan radiografi. Sedangkan gejala yang sering muncul adalah nyeri,
imobilitas, depresi, ketakutan, dan rasa rendah diri karena keterbatasan fisik. mencegah terjadinya fraktur dan komplikasi. Tujuan dari terapi osteoporosis adalah pemeliharaan dan meningkatkan densitas mineral tulang; mencegah pengeroposan tulang; serta mengurangi morbiditas dan mortalitas yang berhubungan dengan osteoporosis. Terapi yang diberikan terdiri dari terapi non farmakologi dan terapi farmakologi. Pada terapi non farmakologi dapat dilakukan dengan asupan nutrisi yang cukup dan pemeliharaan berat badan yang ideal. Diet kalsium penting untuk memelihara densitas tulang. Selain itu olahraga seperti berjalan, jogging, menari dan panjat tebing dapat bermanfaat dalam mencegah kerapuhan dan fraktur tulang. Hal tersebut dapat memelihara kekuatan tulang (3). Prinsip latihan fisik untuk kesehatan tulang adalah latihan pembebanan, gerakan dinamis dan ritmis, serta latihan daya tahan (endurans) dalam bentuk aerobic low impact . Senam osteoporosis untuk mencegah dan mengobati terjadinya pengeroposan tulang. Daerah yang rawan osteoporosis adalah area tulang punggung, pangkal paha dan pergelangan tangan (4). Pada terapi farmakologi, terdapat beberapa jenis obat yang dapat digunakan. Kalsium dapat diberikan karena berfungsi sebagai integritas sistem saraf dan otot, untuk kontraktilitas jantung normal dan koagulasi darah. Kalsium berfungsi sebagai kofaktor enzim dan mempengaruhi aktivitas sekresi kelenjar endokrin dan eksokrin. Selain itu terdapat pula vitamin D yang membantu dalam proses penyerapan kalsium. Kalsitriol dipercaya merupakan bentuk vitamin D 3 yang paling aktif dalam menstimulasi transport kalsium usus dan fosfat. Kemudian terdapat golongan bifosfonat seperti alendronat yang bekerja dengan menginhibisi resorpsi tulang normal dan abnormal. Selective Estrogen Receptor Modulators (SERMs) yang salah satu obatnya adalah raloxifene, yang merupakan reseptor estrogen selektif yang mengurangi resorpsi tulang dan menurunkan pembengkokan tulang. Kemudian terdapat kalsitonin yang bersama dengan hormon paratiroid, berperan dalam mengatur homeostasis Ca dan metabolisme Ca tulang. Kalsitonin dilepaskan dari kelenjar tiroidketika terjadi peningkatan kadar kalsium serum. Selain terapi yang disebutkan diatas terdapat terapi estrogen dan terapi hormonal, f itoestrogen, testosterone, teriparatide, dan diuretic tiazid (5). Terdapat hubungan terbalik antara osteoarthritis dan osteoporosis. Pada penderita OA, perempuan maupun laki-laki mengalami peningkatan kepadatan mineral tulang pada beberapa tempat di tulang kerangka. Hubungan tersebut timbul karena kondisi kedua penyakit diatas sama-sama dipengaruhi oleh berat badan. Orang gemuk mempunyai densitas tulang yang lebih tinggi, tetapi juga meningkatkan risiko terjadinya OA. Walaupun pasien OA umumnya berisiko rendah terhadap osteoporosis, mereka tidak terlindungi dari retak tulang. Pasien OA tubuhnya tidak stabil dan cenderung mudah jatuh. Dengan demikian meskipun kepadatan tulangnya cukup tinggi, risiko terjadinya fraktur sama dengan pasien osteoporosis (6). Terjadinya osteoporosis tidak terlepas dari factor menopause, utamanya pada kasus osteoporosis wanita. Defisiensi estrogen setelah menopause menyebabkan resorpsi tulang melebihi pembentukannya. Pada penelitian, menopause yang terjadi sebelum usia 47 tahun meningkatkan resiko kematian serta meningkatkan resiko kerapuhan dan patah tulang akibat osteoporosis pada usia 77 tahun (7). Selain itu, terapi atau penggunaan glukokortikoid seperti methyl prednisolon secara terus menerus juga menyebabkan efek samping berupa osteoporosis. Kortikosteroid menyebabkan penurunan penyerapan kalsium dari usus, peningkatan hilangnya kalsium dari usus, peningkatan hilangnya kalsium melalui ginjal dalam air seni dan peningkatan hilangnya kalsium tulang. Sehingga diperlukan pengukuran kepadatan tulang pasien untuk mengidentifikasi kemungkinan osteoporosis (8). Pada skenario ditemukan adanya DRP dan non-DRP. DRP yang ditemukna diantaranya adalah dosis terlalu besar yaitu alendronat 70mg sekali sehari, dimana untuk alendronat dosis yang diperbolehkan adalah 5mg-10mg sekali sehari atau 35mg-70mg seminggu sekali (9). Kemudian terdapat efek obat yang tidak diinginkan yaitu pada riwayat penggunaan methyl prednisolon selama 6 bulan untuk tujuan terapi osteoarthritis, diduga menyebabkan kejadian osteoporosis. Selain itu, terdapat interaksi antara alendronat dengan celecoxib yang menyebabkan gangguan pencernaan (10). Sedangkan untuk non-DRP ditemui yaitu berat badan pasien yang termasuk obesitas dapat memperburuk osteoarthritis yang telah diderita. Selain itu kebiasaan minum kopi 3 cangkir sehari, dimana kafein yang terdapat dalam kopi dapat menghambat penyerapan kalsium dan meningkatkan pengeuaran kalsium melalui urin sehingga pada konsumsi jangka panjang dapat menyebabkan kerapuhan tulang, didukung dengan kondisi pasien yang telah mengalami menopause (11). Solusi yang disarankan adalah dengan menyesuaikan dosis alendronat sesuai dengan guideline yaitu 5mg-10mg sekali sehari atau 35mg-70mg seminggu sekali. Kemudian penghentian penggunaan methyl prednisolone dengan celecoxib pada resep dirasa sudah tepat. Pada interaksi antara alendronat dengan celecoxib, karena interaksi yang terjadi tergolong moderat maka celecoxib tetap dapat diberikan namun harus dengan monitoring ada tidaknya gangguan pencernaan yang timbul. Pengatasan pada non-DRP, sebaiknya disarankan kepada pasien untuk melakukan diet penurunan berat badan dengan mengontrol asupan makanan yang bernutrisi dan melakukan olahraga. Kemudian disarankan pada pasien untuk mengurangi atau menghilangkan kebiasaan mengkonsumsi kopi karena dapat memperburuk kondisi pasien. DAFTAR PUSTAKA 1. Joseph T.Dipiro, 2012. Pharmacoterapy:A Pathophysiology Approach, 9 Ed . Mcgraw-Hill Medical Publishing Division, New York.
2. Prior, M.J., Harrison, D.D., Frustaci, M.E., 2014. A randomized, double-blind, placebo-controlled 12 week trial of acetaminophen extended release for the treatment of signs and symptoms of osteoarthritis. Curr . Med. Res. Opin. 30, 2377 –2387. 3. Chisholm-burns, Marie A., Wells, Barbara G., Schwinghammer, Terry L., Malone, Patrick M., Kolesar, Jill M., Rotschafer, John C., Dipiro, Joseph T., 2008, Pharmacotherapy principles and practice, United States of America : McGraw-Hill Companies, Inc. 4. Anonim,2011,SenamOsteoporosis,http://www.medistra.com/index.php?option=com_content&view=arti cle&id=45:Senam%20Osteoporosis, diakses tanggal 7 April 2017. 5. Anonim, 2008, MIMS Indonesia Petunjuk Konsultasi , Edisi 8 2008/2009, Jakarta: Info Master. 6. Anonim, 2006, PHARMACEUTICAL CARE UNTUK PASIEN PENYAKIT ARTHRITIS REMATIK, Direktorat Bina Farmasi Komunitas dan Klinik Ditjen Bina Kefarmasian dan Alat Kesehatan, Departemen Kesehatan, Jakarta. 7. Svejme,O., Ahlborg, HG., Nilsson, J-A° et all, 2012, Early Menopause And Risk Of Osteoporosis, Fracture And Mortality: A 34-Year Prospective Observational Study In 390 Women, An International Journal of Obstetrics and Gynaecology, 810-816. 8. Shun-Li Kan (MD)a, Zhi-Fang Yuan (MD)b, Yan Li (MD)a, et all., 2016, Alendronate Prevents Glucocorticoid-Induced Osteoporosis In Patients With Rheumatic Diseases A Meta-Analysis, Medicine 95:25, 1-11. 9. Lacy, Charles F., et al, 2009, Drug Information Handbook , 17th Edition, Lexi Comp, America. 10. Anonym, 2017,Drug Interactions Report, https://www.drugs.com/interactions-check.php?drug_list=1160,560-0,2917-17929, diakses tanggal 8 April 2017. 11. Rapuri, B, Prema., Gallagher, CJ., Kinyamu, H, Karini, et all, 2001, Caffein Intake Increases the Rate of Bone Loss in Elderly Women and Interacts with Vitamin D Receptor Genotypes 1-4, The American Journal of Clinical Nutrition, 74: 694-700.